PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan islam. Semua
yang berkaitan dengan ibadah dalam Al-Quran bersifat umum, jadi semua
dijabarkan di dalam ilmu fiqih. Hal ini agar memudahkan para pemeluk agama
islam. Karena pada dasarnya agama islam itu mempermudah pemeluknya, bukan
malah mempersulit..
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang
menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling
pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat
menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena
sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal
sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang
banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
اختالف امتى رحمة رواه البيهقى فى الرسالة االشعرية
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam
Risalah Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Seperti permasalahan tentang bagaimana hokum seorang wanita ketika dalam
keadaan haid membaca al-qur’an atau masuk kedalam masjid. Hal ini masih
terjadi ikhtilaf diantara para ulama. Maka dari itu, kami akan membahasan
bagaimana hokum wanita haid membaca al-qur’an dan masuk kedalam masjid.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di jelaskan, maka dapat di
rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Hanafi tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
2. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
3. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
4. Bagaimana pendapat Imam Hambali tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Hanafi tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid.
2. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid.
3. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid?
4. Untuk mengetahui pendapat Imam Hambali tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat Imam Hanafi
1. Membaca Al-Qur’an
Dalam mazhab ini wanita yang haid dilarang membaca Al-Quran
walaupun hanya sebagian dari potongan satu ayat yang sekiranya merupakan
susunan kalimat yang difahami manusia. Namun tidak mengapa jika hanya
membaca mufradatnya (kosa kata) saja dan juga tidak mengapa jika
membacanya dengan niat berdzikir, memuji Allah Ta’ala tanpa meniatkan
untuk membaca Al-Quran, kebolehan ini hanya berlaku jika ayat-ayat tersebut
bernuansa doa tetapi jika ayatnya secara jelas tidak mengandung unsur doa
maka haram membacanya seperti surah al-Masad.
Dalam mazhab ini juga dibolehkan membaca al-Quran dalam keadaan haid
bagi seorang pengajar Al-Quran dengan syarat dia haruslah mengeja kata
perkata. Dimakruhkan membaca ayat-ayat al-Quran yang telah
dinasakh(dihapus) bacaannya. Adapun doa qunut, dzikir-dzikir dan doa-doa
lainnya tidak diharamkan membacanya. Berikut ini teks dalam kitab-kitab
mazhab Hanafi.
As-Sarakhsi (483 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
وليس للحائض مس المصحف وال دخول المسجد وال قراءة آية تامة من القرآن
“Seseorang yang sedang haid tidak diperbolehkan memegang mushaf,
memasuki masjid dan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna“.
Imam al-Kasani (587 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi as-Syarai’ sebagai
berikut :
،حف إال بغالفjj ومس ال ُمص،رآنjjراءة القjj وق،ومjj والص،الةjjواز الصjjع جjjاس فمنjjا حكم الحيض والنفjjَوأم
والطواف بالبيت،ودخول المسجد
“Adapun hukum wanita haid dan nifas maka tidak diperbolehkan shalat, puasa,
membaca al-Qur’an, memegang mushaf tanpa sampul, masuk masjid, dan
thawaf di baitullah”.
Ibnu Abdin (1252 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar sebagai
berikut :
ةjjه كلمjjة تعليمjjائض المعلمjjوز للحjjقوله وقراءة قرآن) أي ولو دون آية من المركبات ال المفردات ; ألنه ج
ةjjرأت الفاتحjjو قjjده ) فلjjه بقصjjنف ( قولjjكلمة كما قدمناه وكالقرآن التوراة واإلنجيل والزبور كما قدمه المص
ونjjدمناه عن العيjjعلى وجه الدعاء أو شيئا من اآليات التي فيها معنى الدعاء ولم ترد القراءة ال بأس به كما ق
ألبي الليث وأن مفهومه أن ما ليس فيه معنى الدعاء كسورة أبي لهب ال يؤثر فيه قصد غير القرآنية
Maksud kalimat (tidak boleh) “membaca Al-Quran” adalah tidak bolehnya
membaca di bawah satu ayat dalam bentuk susunan kalimat dan bukan kosa
katanya, dikarenakan boleh bagi seorang pengajar Al-Quran mengajarkan kata
perkata yang terdapat dalam Al-Quran sebagaimana yang telah kami paparkan
sebelumnya. Taurat, Injil dan Zabur juga sama seperti Al-Quran yang tidak
boleh dibaca bagi wanita haid seperti yang telah dijelaskan oleh pengarang
kitab (Durru Al-Mukhtar).
Maksud kalimat “dengan meniatkannya” yaitu jika membaca Al-Fatihah
ataupun ayat-ayat lainnya yang mempunyai makna doa di dalamnya serta
dengan meniatkannya sebagai doa saja tanpa meniatkan membaca Al-Quran
maka hal itu dibolehkan. Namun niat tersebut (yaitu niat berdzikir dan berdoa
tanpa niat membaca Al-Quran) tidak akan berpengaruh jika dalam ayat itu
tidak tekandung makna doa dan membaca ayat tersebut diharamkan seperti
ayat-ayat dalam surah Abi Lahab.[ CITATION Isn18 \l 1057 ]
B. Memasuki Masjid
Masuknya wanita haidh ke masjid terjadi sedikit khilaf dikalangan ulama.
Madzhab Syafi’i membolehkan wanita haidh masuk masjid kalau hanya
sekedar lewat tanpa berdiam diri, begitu juga madzhab hambali membolehkan
kalau sekedar berlalu karena ada hajat atau keperluan dan madzhab Maliki
membolehkan kalau dalam kondisi darurat, sedangkan madzhab Hanafi
mengaharamkan secara mutlak bagi wanita haidh masuk masjid, baik sekedar
lewat apalagi sampai berdiam diri. 10 Secara umum mereka bersepakat bahwa
haram hukumnya wanita haidh berdiam diri di masjid, misalkan untuk i’tikaf,
belajar dan kegiatan yang mengharuskan berdiam diri di masjid. Dasarnya
adalah ayat Al-Quran dan sunnah nabawiyah berikut ini :
بِي ٍل َحتَّىjابِ ِري َسjَا إِاَّل عjًونَ َواَل ُجنُبjُا تَقُولjوا َمjارى َحتَّى تَ ْعلَ ُم َ َكjاَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُسjالص
َّ واjُوا اَل تَ ْق َربjُيَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن
واjjا ًء فَتَيَ َّم ُمjj دُوا َمjضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم ت َِج َ ْتَ ْغت َِسلُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر
ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا
َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS.
An-Nisa: 43).
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Abu Daud)
Salah satu hujjah bagi wanita haidh boleh masuk masjid sekedar berlalu saja
selain ayat di atas, adalah hadis nabi SAW. Beliau Saw mengatakan kepada
Aisyah radhiallahuanha : “Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata bahwa
ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sedang berada didalam masjid
beliau berkata: “Hai ‘Aisyah! Ambilkan pakaianku. Aisyah berkata:
Sesungguhnya saya sedang haid. Beliau berkata: Sesungguhnya darah haidmu
bukan ditanganmu. Kemudian Aisyah mengambilkannya.” (HR. Ath-Thabrani)
[ CITATION Isn18 \l 1033 ]
2. Membaca Al-qur’an
Dalam Mazhab Hanafi, perempuan yang sedang haid diharamkan
membaca al-Quran meskipun satu ayat. Berbeda jika ia mengeja perkata suatu
ayat, maka hal itu diperbolehkan.
Pun demikian dengan perempuan haid yang membaca al-Quran dengan
niat dzikir atau memuji kepada Allah SWT, ia diperkenankan membaca al-Quran.
Hal itu dengan ketentuan khusus. Yakni, ayat-ayat yang dibaca terdapat unsur
doa.
Apabila ayat-ayat yang dibacakan bernuansa doa, namun redaksi ayatnya
tidak secara mengandung muatan doa, maka haram bagi wanita haid membacanya
seperti Surat al-Masad.
Salah satu ulama mazhab Hanafi, as-Sarakhsi (483 H) menjelaskan bahwa
wanita haid tidak diperkenankan membaca ayat al-Quran, memegang mushaf dan
masuk ke masjid.
وليس للحائض مس المصحف وال دخول المسجد وال قراءة آية تامة من القرآن
B. Imam Malik
1. Membaca Al-Qur’an
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan haid itu di qiyaskan dengan
orang yang sedang dalam keadaan junub, orang yang sedang dalam keadaan
junub itu berhadats besar sehingga untuk menyucikannya itu harus mandi
besar. Dari analogi atau qiyas tersebut maka Imam Malik berpendapat bahwa
dalam keadaan haid tidak diperbolehkan untuk memegang atau membaca Al-
Qur’an dikarenakan perempuan tersebut dalam keadaan hadats besar, sesuai
dengan pendapat Ibnu Abdil Barr (w. 463) salah satu ulama mazhab Al-
Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai
berikut:
اjjائض وأمjjراءة الحjjحابه في قjjك وأصjjرآن على اختالف عن مالjjيئا من القjjائض شjjرأ الجنب وال الحjjوال يق
اء على أنjثر العلمj وأك،دهماjة بأحjدث] الجنابj الطهر بالماء أو بالصعيد فال يقرأ حتى يرفع [حjالجنب يمكنه
داjj وأما المصحف فال يمسه أحد قاص،الحائض والجنب ال يقرءان شيئا من القرآن ولو قرأت الحائض لصلت
إليه مباشرا له أو غير مباشر إال وهو على طهارة
Artinya:
“Wanita yang haidh dan junub tidaklah membaca sesuatupun dari Al-Qur’an,
berbeda dengan pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Ulama
Malikiyah lainnya. Orang Junub memungkinkan untuknya bersuci, baik dengan
air ataupun dengan tanah. Kebanyakan ulama melarang wanita haidh danjunub
membaca sesuatu pun dari Al-Qu’an. Kalau dia membacanya sama halnya
hukumnya dia shalat. Sedangkan dalam menyentuh mushaf, tidak
diperkenankan seorang pun menyentuhnya, kecuali dalam keadaan suci. Baik
tersentuh secara langsung maupun menggunakan penghalang atau perantara”.
Bagi seorang tahfizh, pengajar atau pelajar diperbolehkan untuk
memegang dan membaca Al-Qur’an, dikarenakan bagi seorang hafizh
ditakutkan hafalannya lupa karena tidak murojaah, sedangkan untuk pengajar
dan pelajar dilakukan karena untuk menuntut ilmu atau ta’lim sehingga cara
pengambilan hukumnya dengan menggunakan metode istihsan (mengambil
kebaikan) sesuai dengan pendapat Ibnu Rusyd (w. 595) menegaskan dalam
kitabnya Bidayatul Mujtahid :
وهو مذهب مالك،فأجازوا للحائض القراءة القليلة استحسانا؛ لطول مقامها حائضا
Artinya:
“Para ulama yang membolehkan wanita haidh membaca sedikit Al-qur’an
dengan dalil Istihsan, karena lamanya masa haidh. Ini adalah pendapat
madzhab Maliki”.
Sedangkan bagi orang yang junub tetap tidak diperbolehkan membawa
ataupun membaca Al-Qur’an, walaupun kedudukan orang yang haid dan
junub itu sama dalam keadaan hadats besar, yang membedakan dari keduanya
yaitu junub terjadi karena kehendak yang melakukannya, berbeda dengan
wanita haid yang tidak berdasar kehendak sendiri dan dari masa hadats
besarnya pun berbeda, masa haid lebih lama dibanding dengan masa junub
sesuai pendapat Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah
di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
راءة علىjjحف للقjjاهرا ومس المصjjرآن ظjjراءة القjjواز قjjائض في جjjارق الجنب الحjjراز يفjjامن في الطjjالث
.المشهور في الحائض لحاجة التعليم وخوف النسيان
Hukum kedelapan: Dalam Kitab Ath-Thiraz : Hukum terhadap wanita
haidh dan junub itu dalam kebolehan membaca Al-qur’an itu berbeda,
begitu juga menyentuh mushaf.
2. Masuk masjid
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan dalam keadaan haid
tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam masjid dikarenakan dalam
sejarahnya beliau hanya tinggal di kota Madinah, sehingga beliau sangat
dipengaruhi oleh amalan penduduk Madinah. Pada zaman dahulu ketika
Rasulullah Saw dan Aisyah hendak pergi haji dari Madinah ke Mekah,
Aisyah menangis karena haid. Rasulullah Saw bersabda:
ْ ت َحت َّى ت
َْطه ُِري ِ َغ ْي َر أَ ْن الَ تَطُوفيْى بِ ْالبَ ْي، فَا ْف َعلِ ْي َما يَ ْف َع ُل ْال َحا ُّج
Artinya:
“Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali
thawaf di Baitullah sampai engkau suci.” (HR Muslim, Kitabul Hajj no.
1211)
Dari hadits di atas, Imam Malik berpendapat bahwa wanita haid
tidak di perbolehkan untuk masuk masjid, karena Rasulullah pun melarang
Aisyah untuk melakukan thawaf yaitu mengelilingi ka’bah di Masjidi
Haram pada saat haid, maka Imam Malik pun mengambil kesimpulan
bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh masuk ke dalam masjid.
Begitu pun dalam Q.S An-Nisa ayat 43 apabila orang yang sedang
sedang dalam keadaan junub di analogikan dengan perempuan yang
sedang haid maka perempuan haid tidak di perbolehkan untuk masuk
kedalam masjid. Namun, jika dalam keadaan madharat diperbolehkan
untuk melewat di sekitar masjid dikarenakan apabila ada seseorang yang
memiliki rumah bersampingan dengan masjid, ketika berpergian keluar
harus melewati masjid maka itu diperbolehkan sesuai dengan kalimat
dalam ayat tersebut yaitu illa abiri (kecuali melewatinya) maka itu
diperbolehkan, karena lafazh illa dalam ayat tersebut berarti sebagai
pengecualian.
C. Imam Syafi’i
1. Membaca Qur’an
Dalam mazhab ini seorang wanita haid diharamkan membaca al-Quran
walaupun hanya sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan
membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. hal ini
ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Quran.
Namun boleh membaca ayat al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan
syarat tidak meniatkan untuk membaca al-Quran.
Boleh juga membaca Al-Quran di dalam hati dengan tanpa menggerakkan
bibir ataupun menggerakkan bibir dengan syarat dirinya tidak bisa mendengar
bacaannya. Boleh juga membaca ayat-ayat al-Quran yang telah di nasakh
tulisannya.
2. Masuk masjid
Diharamkan bagi orang yang junub dan haid berdiam diri di dalam masjid,
baik dalam keadaan duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia
telah berwudhu atau dalam keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan
baginya melewati dengan tidak berdiam diri (mendiami), apakah dalam
keadaan ada kepentingan atau tidak.
Di madinah tempat imam Syafi’i tinggal pun melarang wanita yang sedang
haid di kawasan masjid madinah, karena takutnya darah najis yang ada di
wanita haid tersebut jatuh dan menempel pada daerah masjid itu dan
menjadikan masjid itu kotor. Darah kotor yang ada pada wanita haid itu
termasuk najis dan ditakutkan mengotori dan mentidak sucikan masjid itu
sendiri.
D. Imam Hambali
1. Membaca Al-qur’an
Dalam mazhab ini wanita yang sedang haid diharamkan membaca al-
Quran baik itu satu ayat atau lebih. Namun jika membaca kalimat yang
merupakan potongan dari satu ayat maka tidaklah mengapa selama ayat tersebut
tidak panjang, begitu pula mengulang-ulanginya karena membaca sebagian
kalimat dari satu ayat tidaklah menunjukkan kemu’jizatannya.
Boleh membaca ayat-ayat al-Quran dengan cara mengejanya kata perkata,
bertafakkur dengan ayat al-Quran, menggerakkan kedua bibirnya namun huruf-
huruf yang keluar darinya tidak jelas terdengar dan juga membaca sebagian ayat
berturut-turut ataupun membaca beberapa ayat namun diselingi dengan diam yang
lama.
Boleh juga membaca sebuah kalimat yang mempunyai makna yang sama
dengan al-Quran namun tidak meniatkan membaca al-Quran seperti membaca
basmalah, hamdalah, istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiu’n) dan membaca doa
ketika menaiki kendaraan. Jika ada yang membacakan baginya al-Quran dan dia
diam untuk mendengarkan maka tidak mengapa hal itu karena tidak dianggap
sebagai membaca.
Boleh juga membaca ayat-ayat yang bernuansa dzikir ataupun membaca
al-Quran jika takut hilangnya hapalan bahkan wajib menurut Ibnu Taymiyah (w
728 H). Berikut ini teks dalam kitab-kitab mazhab Hanbali.
Ibnu Qudamah (w 620 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanbali
menuliskan dalam kitabnya al-Mughni sebagai berikut :
وحيرم عليهم قراءة آية فأما بعض آية فإن كان مما ال يتميز به القرآن من غريه كالتسمية واحلمد
هلل وسائر الذكر فإن مل يقصد به القرآن فال بأس فإنه ال خالف يف أن هلم ذكر اهلل تعاىل
Seorang yang junub, wanita yang dalam masa haid dan nifas tidak
dibolehkan membaca al-Quran……haram bagi mereka ( seorang junub, wanita
haid dan nifas) membaca satu ayat al-Quran, namun boleh membaca sebagian
potongan dari satu ayat jika tidak bisa membedakan antara al-Quran dengan
selainnya seperti membaca basmalah, hamdalah dan semua dzikir dengan syarat
tidak meniatkan membaca al-Quran, karena kebolehan berdzikir kepada Allah
Ta’ala tidak ada khilaf di dalamnya.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Hanbali di dalam
kitabnya al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :