Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih adalah salah satu hal yang erat kaitannya dengan islam. Semua
yang berkaitan dengan ibadah dalam Al-Quran bersifat umum, jadi semua
dijabarkan di dalam ilmu fiqih. Hal ini agar memudahkan para pemeluk agama
islam. Karena pada dasarnya agama islam itu mempermudah pemeluknya, bukan
malah mempersulit..
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas
kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang
menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling
pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat
menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena
sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal
sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian
(ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang
banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
‫اختالف امتى رحمة رواه البيهقى فى الرسالة االشعرية‬
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam
Risalah Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku   hanya  kepada satu pendapat saja.
Seperti permasalahan tentang bagaimana hokum seorang wanita ketika dalam
keadaan haid membaca al-qur’an atau masuk kedalam masjid. Hal ini masih
terjadi ikhtilaf diantara para ulama. Maka dari itu, kami akan membahasan
bagaimana hokum wanita haid membaca al-qur’an dan masuk kedalam masjid.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di jelaskan, maka dapat di
rumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Hanafi tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
2. Bagaimana pendapat Imam Malik tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
3. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
4. Bagaimana pendapat Imam Hambali tentang wanita haid yang membaca Al-
Qur’an dan memasuki Masjid?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Hanafi tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid.
2. Untuk mengetahui pendapat Imam Malik tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid.
3. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid?
4. Untuk mengetahui pendapat Imam Hambali tentang wanita haid yang
membaca Al-Qur’an dan memasuki Masjid?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendapat Imam Hanafi
1. Membaca Al-Qur’an
Dalam mazhab ini wanita yang haid dilarang membaca Al-Quran
walaupun hanya sebagian dari potongan satu ayat yang sekiranya merupakan
susunan kalimat yang difahami manusia. Namun tidak mengapa jika hanya
membaca mufradatnya (kosa kata) saja dan juga tidak mengapa jika
membacanya dengan niat berdzikir, memuji Allah Ta’ala tanpa meniatkan
untuk membaca Al-Quran, kebolehan ini hanya berlaku jika ayat-ayat tersebut
bernuansa doa tetapi jika ayatnya secara jelas tidak mengandung unsur doa
maka haram membacanya seperti surah al-Masad.
Dalam mazhab ini juga dibolehkan membaca al-Quran dalam keadaan haid
bagi seorang pengajar Al-Quran dengan syarat dia haruslah mengeja kata
perkata. Dimakruhkan membaca ayat-ayat al-Quran yang telah
dinasakh(dihapus) bacaannya. Adapun doa qunut, dzikir-dzikir dan doa-doa
lainnya tidak diharamkan membacanya. Berikut ini teks dalam kitab-kitab
mazhab Hanafi.
As-Sarakhsi (483 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Al-Mabsuth sebagai berikut :
‫وليس للحائض مس المصحف وال دخول المسجد وال قراءة آية تامة من القرآن‬
“Seseorang yang sedang haid tidak diperbolehkan memegang mushaf,
memasuki masjid dan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna“.
Imam al-Kasani (587 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Badai’ Ash-Shanai’ fi Tartibi as-Syarai’ sebagai
berikut :
،‫حف إال بغالف‬jj‫ ومس ال ُمص‬،‫رآن‬jj‫راءة الق‬jj‫ وق‬،‫وم‬jj‫ والص‬،‫الة‬jj‫واز الص‬jj‫ع ج‬jj‫اس فمن‬jj‫ا حكم الحيض والنف‬jj‫َوأم‬
‫ والطواف بالبيت‬،‫ودخول المسجد‬
“Adapun hukum wanita haid dan nifas maka tidak diperbolehkan shalat, puasa,
membaca al-Qur’an, memegang mushaf tanpa sampul, masuk masjid, dan
thawaf di baitullah”.
Ibnu Abdin (1252 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanafi
menuliskan dalam kitabnya Radd al-Muhtar ala ad-Dur al-Mukhtar sebagai
berikut :
‫ة‬jj‫ه كلم‬jj‫ة تعليم‬jj‫ائض المعلم‬jj‫وز للح‬jj‫قوله وقراءة قرآن) أي ولو دون آية من المركبات ال المفردات ; ألنه ج‬
‫ة‬jj‫رأت الفاتح‬jj‫و ق‬jj‫ده ) فل‬jj‫ه بقص‬jj‫نف ( قول‬jj‫كلمة كما قدمناه وكالقرآن التوراة واإلنجيل والزبور كما قدمه المص‬
‫ون‬jj‫دمناه عن العي‬jj‫على وجه الدعاء أو شيئا من اآليات التي فيها معنى الدعاء ولم ترد القراءة ال بأس به كما ق‬
‫ألبي الليث وأن مفهومه أن ما ليس فيه معنى الدعاء كسورة أبي لهب ال يؤثر فيه قصد غير القرآنية‬
Maksud kalimat (tidak boleh) “membaca Al-Quran” adalah tidak bolehnya
membaca di bawah satu ayat dalam bentuk susunan kalimat dan bukan kosa
katanya, dikarenakan boleh bagi seorang pengajar Al-Quran mengajarkan kata
perkata yang terdapat dalam Al-Quran sebagaimana yang telah kami paparkan
sebelumnya. Taurat, Injil dan Zabur juga sama seperti Al-Quran yang tidak
boleh dibaca bagi wanita haid seperti yang telah dijelaskan oleh pengarang
kitab (Durru Al-Mukhtar).
Maksud kalimat “dengan meniatkannya” yaitu jika membaca Al-Fatihah
ataupun ayat-ayat lainnya yang mempunyai makna doa di dalamnya serta
dengan meniatkannya sebagai doa saja tanpa meniatkan membaca Al-Quran
maka hal itu dibolehkan. Namun niat tersebut (yaitu niat berdzikir dan berdoa
tanpa niat membaca Al-Quran) tidak akan berpengaruh jika dalam ayat itu
tidak tekandung makna doa dan membaca ayat tersebut diharamkan seperti
ayat-ayat dalam surah Abi Lahab.[ CITATION Isn18 \l 1057 ]
B. Memasuki Masjid
Masuknya wanita haidh ke masjid terjadi sedikit khilaf dikalangan ulama.
Madzhab Syafi’i membolehkan wanita haidh masuk masjid kalau hanya
sekedar lewat tanpa berdiam diri, begitu juga madzhab hambali membolehkan
kalau sekedar berlalu karena ada hajat atau keperluan dan madzhab Maliki
membolehkan kalau dalam kondisi darurat, sedangkan madzhab Hanafi
mengaharamkan secara mutlak bagi wanita haidh masuk masjid, baik sekedar
lewat apalagi sampai berdiam diri. 10 Secara umum mereka bersepakat bahwa
haram hukumnya wanita haidh berdiam diri di masjid, misalkan untuk i’tikaf,
belajar dan kegiatan yang mengharuskan berdiam diri di masjid. Dasarnya
adalah ayat Al-Quran dan sunnah nabawiyah berikut ini :
‫بِي ٍل َحتَّى‬j‫ابِ ِري َس‬jَ‫ا إِاَّل ع‬jً‫ونَ َواَل ُجنُب‬jُ‫ا تَقُول‬j‫وا َم‬j‫ارى َحتَّى تَ ْعلَ ُم‬ َ ‫ َك‬j‫اَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُس‬j‫الص‬
َّ ‫وا‬jُ‫وا اَل تَ ْق َرب‬jُ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
‫وا‬jj‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬jj‫ دُوا َم‬j‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم ت َِج‬ َ ْ‫تَ ْغت َِسلُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا‬
َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau
sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS.
An-Nisa: 43).
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Abu Daud)
Salah satu hujjah bagi wanita haidh boleh masuk masjid sekedar berlalu saja
selain ayat di atas, adalah hadis nabi SAW. Beliau Saw mengatakan kepada
Aisyah radhiallahuanha : “Dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu berkata bahwa
ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam sedang berada didalam masjid
beliau berkata: “Hai ‘Aisyah! Ambilkan pakaianku. Aisyah berkata:
Sesungguhnya saya sedang haid. Beliau berkata: Sesungguhnya darah haidmu
bukan ditanganmu. Kemudian Aisyah mengambilkannya.” (HR. Ath-Thabrani)
[ CITATION Isn18 \l 1033 ]

B. Pendapat Imam Malik


1. Menyentuh dan Membaca Al-Qur’an
Sebagian para Ulama berpendapat bahwa konteks haid dan orang berada
dalam keadaan junub itu sama dikarenakan keduanya berada dalam kondisi
hadas besar. Hukum menyentuh dan membawa Al-Qur'an bagi perempuan haid
dan orang junub salah satunya terdapat dalam Q.S Al-Waqiah ayat 79:
َ‫اَل يَ َم ُّسهُ إِاَّل ْال ُمطَهَّ ُروْ ن‬
Artinya:
“Tidak yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan”.
Imam Malik memperkuat hukum mengenai dilarangnya menyentuh dan
membawa Al-Qur’an dalam hadits sebagai berikut:
َ ِ ‫م أَ ﱠن ِﰲ ْاﻟ ِﻜﺘَﺎب اﻟﱠ ِﺬي َﻛﺘَﺒَﻪُ َرﺳُﻮل ﻪﱠﻠﻟا‬jٍ ‫ْﻦ َﺣ ْﺰ‬jِ ‫ﺮ ﺑ‬jِ ‫ى ﺑَ ْﻜ‬jْ ِ‫ﻦ أَب‬jِ ‫ ْﺑ‬jِ ‫ﺪ ﻪﱠﻠﻟا‬jِ ‫َﻦ َﻋ ْﺒ‬jْ ‫ ﻋ‬j‫َﻦ َﻣﺎﻟِﻚ‬jْ ‫ي ﻋ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﻪﱠﻠﻟا ُ َﻋﻠَ ْﻴ ِﻪ‬ jْ ِ‫َﺣ ﱠﺪﺛَن‬
jَ ْ‫ي يَح‬
‫ﻃﺎ ِﻫ ٌﺮ‬َ ‫َو َﺳﻠﱠﻢ ﻟِ َﻌ ْﻤ ِﺮو ْﺑ ِﻦ َﺣ ْﺰ ٍم أَ ْن ﻻَ يَ َمسَّ ْاﻟﻘُﺮْ آنَ إِﻻﱠ‬
Artinya:
Yahya menceritakan kepadaku dari Malik dari Abdullah Ibn Abi Bakr Ibnu
Hazm bahwa dalam kitab yang telah di tulis oleh Rasulullah Saw untuk Amr
Ibn Hazm bahwa: “Tidaklah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci”.
Berdasarkan ayat dan hadits diatas menjelaskan bahwa orang sedang
dalam keadan haid tidak boleh menyentuh dan membawanya kecuali dengan
syarat ketika menyentuh dan membawa Al-Qur'an bagi perempuan haid adalah
orang yang membawanya sebagai seorang muslim dan oarang yang menyentuh
dan membawa mushaf tersebut ialah seorang pengajar atau pelajar. Adapun
untuk membacanya diperbolehkan, apabila telah memenuhi syarat bahwa
membaca satu ayat Al-Qur’an yang sudah dihafal atau semisalnya dalam dua
kondisi yaitu:
a. Hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi diri dari musuh atau semisalnya.
b. Ketika sedang menunjukkan hukum-hukum syariat.
Selain alasan di atas dapat disimpulkan membaca Al-Qur'an baik dalam
jumlah yang banyak ataupun sedikit itu diharamkan [ CITATION Abd08 \l 1057 ].
2. Masuk Masjid
Dasar hukum mengenai perempuan yang dalam keadaan haid masuk ke
masjid terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 43
‫بِي ٍل َحتَّ ٰى‬j‫ابِ ِري َس‬jj‫ا إِاَّل َع‬jjً‫ونَ َواَل ُجنُب‬jjُ‫ا تَقُول‬jj‫وا َم‬jj‫ َكا َر ٰى َحتَّ ٰى تَ ْعلَ ُم‬j‫اَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُس‬j‫الص‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَ ْق َربُوا‬
‫وا‬jj‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬jj‫ض ٰى أَوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم ت َِجدُوا َم‬
َ ْ‫تَ ْغت َِسلُوا ۚ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ۗ إِ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُو ًرا‬
َ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu
saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun”.
Berdasarkan ayat di atas masuk masjid dan menetap di sana diharamkan
atas orang yang dalam keadaan haid dan junub atau sekedar . Akan tetapi
dibolehkan masuk masjid dalam dua kondisi yaitu [ CITATION Abd08 \l 1057 ]:
a. Jika tidak ditemukan air untuk mandi kecuali dalam masjid dan dia tidak ada
jalan ketempat tersebut kecuai melewati masjid serta tidak ada orang yang
mengambilkan air untuknya. Maka dalam kondisi ini boleh melewati masjid
hanya untuk mandi.
b. Jika dia khawatir dengan penyakit yang menimpa dirinya dan tidak menemukan
ma’wa selain di masjid maka dalam kondisi ini ia hendaklah bertayamum
ketika hendak memasuki masjid dan rumahnya di sana hingga hilang apa yang
dikhawatirkan terhadap dirinya.
Maka bagi orang yang musafir, atau sakit yang dalam kondisi junub tidak
mudah untuk menggunakan air maka dia bertayammum memasuki masjid dan
shalat di masjid dengan tayamumnya itu. Akan tetapi tidaklah boleh bermukim di
sana kecuali dalam kondisi darurat.jika ia bermimpi di dalam masjid maka
hendaklah ia segera keluar dari masjid. Maka, tidak dibolehkan masuk masjid
kecuali dalam kondisi darurat[ CITATION Abd08 \l 1057 ].

C. Pendapat Imam Syafi’i


1. Membaca Al-Qur’an
Dalam mazhab ini seorang wanita haid diharamkan membaca al-Quran
walaupun hanya sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan
membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. hal ini
ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Quran. Namun
boleh membaca ayat al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan syarat tidak
meniatkan untuk membaca al-Quran.
Boleh juga membaca Al-Quran di dalam hati dengan tanpa menggerakkan
bibir ataupun menggerakkan bibir dengan syarat dirinya tidak bisa mendengar
bacaannya. Boleh juga membaca ayat-ayat al-Quran yang telah di nasakh
tulisannya. Berikut ini teks dalam kitab-kitab mazhab Syaifi’i
Imam An-Nawawi (676 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Syafi’i
menuliskan dalam kitabnya al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab sebagai berikut :
‫ تحريمها‬: ‫ قد ذكرنا أن مذهبنا المشهور‬. ‫في مذاهب العلماء في قراءة الحائض القرآن‬
Menurut An-Nawawi dalam (Reza, 2017), pendapat para ulama mazhab tentang
hukum seorang wanita haid membaca al-Quran. Sebagaimana yang telah kami
sebutkan sesuai dengan pendapat yang masyhur di mazhab kami adalah haram
baginya membaca Al-Quran.
‫در ; وألن‬jj‫ذا الق‬jj‫ا في ه‬jj‫ى غالب‬jj‫ وال ينس‬, ‫بعة‬jj‫ام أو س‬jj‫ فإن مدة الحيض غالبا ستة أي‬, ‫وأما خوف النسيان فنادر‬
‫ وهللا أعلم‬, ‫خوف النسيان ينتفي بإمرار القرآن على القلب‬
Menurut An-Nawawi dalam (Reza, 2017), Adapun kekhawatiran (seorang
wanita haid) akan lupanya hapalan Al-Quran maka hal itu sangat jarang terjadi
dikarenakan waktu haid biasanya 6 atau 7 hari dan dalam rentang waktu ini
biasanya seorang tidak akan lupa hapalannya. Kekhawatiran akan lupanya
hapalan bisa ditanggulangi dengan membacanya dalam hati. Wallahu ‘Alam.
Al-Khatib Asy-Syirbini (977 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Syafi’i
menuliskan dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj sebagai berikut :
‫ي ِي‬j‫ال القاض‬jj‫ا ق‬jj‫ كم‬. ‫رس‬j‫ ( القرآن ) لمسلم أي ويحرم بالجنابة القرآن باللفظ وباإلشارة من األخ‬: ‫و ثانيهما‬
‫ سواء أقصد مع ذلك غيرها أم‬, ‫ ولو بعض آية كحرف لإلخالل بالتعظيم‬, ‫فتاويه فإنها منزلة منزلة النطق هنا‬
(‫ ولحديث الترمذي وغيره)ال يقرأ الجنب وال الحائض شيئا من القرآن‬, ‫ال‬
Yang kedua adalah haram bagi seorang muslim membaca Al-Quran dalam
keadaan junub dengan melafadzkannya begitu juga dengan isyarat bagi seorang
yang bisu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qadhi Husein dalam fatwa-
fatwanya : dalam masalah ini memberikan isyarat sama kedudukannya dengan
melafadzkannya. Tidak boleh membaca setengah ayat seperti satu huruf dalam
Al-Quran karena hal itu bisa menjatuhkan kehormatan Al-Quran. Sama saja jika
dia menggabungkan niat membaca dengan niat selainnya (berdzikir) ataupun
tidak, sebagaimana yang tertera dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-
Tirmidzi dan yang lainnya “ haram bagi seorang junub dan seorang wanita haid
membaca Al-Quran”.
‫رآن‬jj‫راء الق‬jj‫بر إج‬jj‫ ولمن به حدث أك‬, ‫الحيض‬
ِ ‫ وسيأتي حكمهما في باب‬, ‫والحائض والنفساء في ذلك كالجنب‬
; ‫ه‬jj‫مع نفس‬jj‫ه بحيث ال يس‬jj‫انه وهمس‬jj‫ك لس‬jj‫ وتحري‬, ‫ وقراءة ما نسخت تالوته‬, ‫ ونظر في المصحف‬, ‫علَى قلبه‬
‫ألَنَها لَيست بقراءة قرآن‬
Menurut Al-Khatib Asy-Syirbini dalam (Reza, 2017), Wanita yang sedang haid
dan nifas sama saja dengan seorang yang junub dan hukum tentang keduanya
akan dibahas nanti di bab haid. Siapa saja yang sedang dalam hadats besar
maka boleh membaca Al-Quran dalam hati, melihat mushaf, membaca ayat-ayat
Al-Quran yang sudah dinasakh tulisannya, menggerakkan bibir serta berkomat-
kamit dan suaranya tidak terdengar oleh dirinya sendiri karena hal ini tidaklah
dianggap sebagai membaca (dalam literatur bahasa arab) [ CITATION Fai17 \l
1057 ].
Menurut Imam Syafi’i wanita yang sedang haid diharamkan untuk
membaca Al-Qur’an walaupun hanya sebagian ayat saja, meskipun niatnya untuk
berdzikir dan menggabungkannya dengan membaca Al-Qur’an tetap saja dilarang.
Menurut Syafi’i itu bertujuan untuk menghormati Al-Qur’an, karena Al-Qur’an
itu suci. Namun Syafi’i mengatakan boleh membaca Al-Qur’an yang bernuansa
dzikir tapi tidak boleh diniatkian untuk membaca Al-Qur’an. Atau boleh
membaca Al-Qur’an di dalam hati tanpa mengucapkannya secara lisan dengan
alasan dia tidak bisa mendangar bacaannya.
Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya pun sependapat bahwa wanita
yang sedang haid tidak boleh dan haram membaca Al-Qur’an, walaupun banyak
wanita haid yang khawatir akan lupanya hafalan Al-Qur’an ketika ia diharamkan
membaca Al-Qur’an itu tidak benar karena waktu haid hanya berlangsung 6-7
hari. Karena jika khawatir lupa akan hafalannya ia bisa membacakannya dalam
hati.Sedangkan menurut Al-Khatib Asy-Syirbini ia menyatakan bahwa, haram
wanita yang sedang junub (haid) begitu juga hanya mengisyaratkannya untuk
orang yang bisu pun haram. Wanita haid diperbolehkan hanya membaca dalam
hati, menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara yang terdengar oleh dirinya
sendiri karena itu tidak dianggap sebagai membaca.
B. Memasuki Masjid
Diharamkan bagi orang yang junub dan haid berdiam diri di dalam masjid,
baik dalam keadaan duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia
telah berwudhu atau dalam keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan
baginya melewati dengan tidak berdiam diri (mendiami), apakah dalam keadaan
ada kepentingan atau tidak. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhaanahu wa
Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub,
terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi”. (Q.S an-Nisa’:43) [CITATION
San14 \p 12 \l 1057 ].
Menurut Imam Syafi’i wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki
masjid, dalam artian berdiam diri baik duduk, berdiri atau hanya diam saja.
Wanita yang sedang haid hanya boleh melewati atau sekedar lewat dari masjid
tersebut, meskipun ada keperluan atau tidak wanita yang sedang haid tidak boleh
berdiam diri di masjid. Karena haid sama dengan junub, jadi wanita sedang dalam
keadaan tidak suci, ia harus melewati masa haid itu sebelum ia masuk masjid.

D. Pendapat Imam Hambali


1. Membaca Al-Qur’an
Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-
Hanabilah berpendapat bahwa melafadzkan ayat-ayat Al-Quran termasuk hal yang
diharamkan bagi wanita haid. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah :
”Janganlah seorang yang sedang haid atau junub membaca sesuatu dari Al-Quran”
(HR. Tirmidzi).
Dalam madzhab Hambali boleh membaca potongan ayat. Yang
diharamkan adalah membaca sampai satu ayat atau lebih (Isnawati, 2018: 12).
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran tentang menyentuh Al-Quran:
َ‫اَل يَ َم ُّسهُ إِاَّل ْال ُمطَهَّرُون‬
“Dan tidak menyentuhnya kecuali orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah : 79)
Jumhur ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa
orang yang berhadats besar termasuk juga orang yang haidh dilarang menyentuh
mushaf Al-Qur’an (Isnawati, 2018: 11).
Di antara dalil yang menguatkan adalah larangan Rasulullah SAW dalam
surat yang beliau kirim kepada penduduk Yaman, dimana bunyinya:
“Janganlah menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci.” (HR. Ad-
Daruquthnyi) (Isnawati, 2018: 11).
Tentang menyentuh mushaf Al Qur’an dengan pembatas ketika berhadats,
maka terdapat perselisihan di antara para ulama. Ada ulama yang membolehkan
dan ada yang tidak. (Tuasikal, 2010). Namun yang tepat dalam masalah ini adalah
dibolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats dengan menggunakan
pembatas selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf (artinya: tidak
dibeli beserta mushaf seperti sampul). Seperti yang digunakan sebagai pembatas
di sini adalah sarung tangan. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan
menyentuh mushaf secara langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas,
maka yang disentuh adalah pembatasnya dan bukan mushafnya. Demikian
pendapat yang dipilih oleh ulama Hambali [ CITATION Tua10 \l 1057 ].
B. Memasuki Masjid
Menurut [CITATION San10 \p 12 \l 1057 ] mazhab ini sependapat dengan
mazhab imam Syafi’i, hanya saja mereka membolehkan berlalu saja manakala
ada kepentingan tertentu, seperti mengambil sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau
karena merupakan jalan. Adapun selain yang demikian maka tidak boleh. Mereka
juga beralasan dengan ayat Q.S An-Nisa: 43,
‫بِي ٍل َحتَّى‬j‫ابِ ِري َس‬jَ‫ا إِاَّل ع‬jً‫ونَ َواَل ُجنُب‬jُ‫ا تَقُول‬j‫وا َم‬j‫ارى َحتَّى تَ ْعلَ ُم‬ َ ‫ َك‬j‫اَل ةَ َوأَ ْنتُ ْم ُس‬j‫الص‬
َّ ‫وا‬jُ‫وا اَل تَ ْق َرب‬jُ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
‫وا‬jj‫ا ًء فَتَيَ َّم ُم‬jj‫ دُوا َم‬j‫ضى أَوْ َعلَى َسفَ ٍر أَوْ َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمنَ ْالغَائِ ِط أَوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم ت َِج‬ َ ْ‫تَ ْغت َِسلُوا َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬
‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوأَ ْي ِدي ُك ْم ِإ َّن هَّللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُورًا‬
َ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,
(jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali
sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS. An-Nisa: 43).
Menurut sebagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk
bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi. Ayat ini bukan larangan
wanita haid masuk masjid. Sebagaimana hadis Hasrah dan hadis ‘Aisyah, bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berkata kepadanya: “Siapkanlah
al-humrah (semacam sajadah) dari masjid. Lalu ‘Aisyah berkata: Saya sedang
haid. Beliau bersabda: Sesungguhnya haid kamu tidak di tanganmu” (Riwayat
Muslim dan Turmudzi, No. 134, Abu Dawud, No. 261, An-Nasa’i, No. 272, dan
Ibnu Majah, No. 632). Mereka juga melarang bagi seorang wanita haid sekedar
berlalu saja kalau dikhawatirkan akan mengotori masjid [CITATION San10 \p 13 \l
1057 ].
Hal ini menunjukkan isyarat kesepakatan (ijma’) mereka dalam masalah
ini, di mana yang demikian merupakan pengkhususan dari dalil yang bermakna
umum. Dan disamping juga dengan berwudhu maka hukum hadast besar (junub)
menjadi lebih ringan sebagaimana tayamum manakala tidak mendapati air
berdasarkan perintah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang
junub agar berwudhu apabila ingin tidur, dan dianjurkan apabila hendak makan
dan mengulangi hubungan suami istri (jima’). Adapun wanita yang sedang haid
maka tidak diperbolehkan berdiam diri di masjid, karena berwudhunya dalam
kondisi demikian tidak sah. Dan yang demikian adalah pendapat Ishaq bin
Rahawaih juga [CITATION San10 \p 13 \l 1057 ]
BAB III
ANALISIS
A. Hanafi
1. Memasuki Masjid
Alasan atas larangan ini sebenarnya bukan lantaran takut darah itu
mengotori masjid. Juga bukan karena wanita yang sedang haidh itu tidak suci.
Namun larangan itu semata-mata karena status wanita yang sedang haidh itu
dalam keadaan janabah atau berhadats besar. Ketidak-suciannya dalam hal ini
bukan karena najisnya, tetapi karena hadatsnya.
Kita perlu membedakan antara orang terkena najis dengan orang yang
berhadats. Orang terkena najis, asalkan najisnya terbungkus dan tidak mengalir
keluar, maka pada dasarnya dibolehkan masjid masjid. Misalnya orang luka dan
wanita yang dalam keadaan istihadhah. Sementara orang yang berhadats itu
sebenarnya tidak selalu mengandung najis. Misalnya orang yang melakukan
hubungan suami istri, tentu tidak ada najis pada tubuh mereka. Namun demikian,
status orang itu berhadats. Dan oleh karena itu dilarang masuk ke dalam masjid.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa sebab larangan wanita haidh
masuk masjid karena takut darahnya akan mengotori masjid, dipatahkan dengan
dibolehkannya wanita yang sedang istihadhah masuk ke dalam masjid. Begitu
juga orang yang luka berdarah tetapi diperban, tetap diperbolehkan shalat dan
masuk masjid.

1. Dalil Ayat Al-Quran


Para ulama sepakat menjadikan ayat ke-43 dari surat An-Nisa' sebagai
dalil diharamkannya orang yang berhadats besar masuk ke dalam masjid, dimana
termasuk di dalamnya adalah wanita haidh.
Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu salat sedang kamu dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar
berlalu saja hingga kamu mandi.(QS. An-Nisa' : 43)
Meski pun dzahir ayat ini berupa larangan mendekati shalat buat orang
yang mabuk, namun maksud larangan bagi orang junub pada ayat ini adalah
larangan untuk memasuki tempat shalat, yang dalam hal ini khusus berlaku hanya
untuk masjid.
2. Sunnah Nabawiyah
Haramnya orang yang berhadats besar masuk ke masjid juga dikuatkan
dengan dalill dari Sunnah Nabawiyah. Di antarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
‘Tidak kuhalalkan masjid bagi orang yang junub dan haidh’. (HR. Abu
Daud)
Sebagian kalangan ada yang mengatakan bahwa hadits ini dhaif, sehingga mereka
menolak haramnya wanita haidh masuk masjid hanya semata-mata karena
dianggap hadits ini dhaif.
Namun sebagian ulama yang lain tidak sependapat. Karena ternyata
kedhaifan suatu hadits menurut sebagian ulama, tidak lantas menjadikan hadits itu
pasti dhaif. Dan ternyata sebagian ulama lain berpendapat hadits ini bukan hadits
dhaif.

2. Membaca Al-qur’an
Dalam Mazhab Hanafi, perempuan yang sedang haid diharamkan
membaca al-Quran meskipun satu ayat. Berbeda jika ia mengeja perkata suatu
ayat, maka hal itu diperbolehkan.
Pun demikian dengan perempuan haid yang membaca al-Quran dengan
niat dzikir atau memuji kepada Allah SWT, ia diperkenankan membaca al-Quran.
Hal itu dengan ketentuan khusus. Yakni, ayat-ayat yang dibaca terdapat unsur
doa.
Apabila ayat-ayat yang dibacakan bernuansa doa, namun redaksi ayatnya
tidak secara mengandung muatan doa, maka haram bagi wanita haid membacanya
seperti Surat al-Masad.
Salah satu ulama mazhab Hanafi, as-Sarakhsi (483 H) menjelaskan bahwa
wanita haid tidak diperkenankan membaca ayat al-Quran, memegang mushaf dan
masuk ke masjid.
‫وليس للحائض مس المصحف وال دخول المسجد وال قراءة آية تامة من القرآن‬

“seseorang yang sedang haid tidak diperbolehkan memegang mushaf, memasuki


masjid dan membaca satu ayat Al-Qur’an dengan sempurna“.

B. Imam Malik
1. Membaca Al-Qur’an
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan haid itu di qiyaskan dengan
orang yang sedang dalam keadaan junub, orang yang sedang dalam keadaan
junub itu berhadats besar sehingga untuk menyucikannya itu harus mandi
besar. Dari analogi atau qiyas tersebut maka Imam Malik berpendapat bahwa
dalam keadaan haid tidak diperbolehkan untuk memegang atau membaca Al-
Qur’an dikarenakan perempuan tersebut dalam keadaan hadats besar, sesuai
dengan pendapat Ibnu Abdil Barr (w. 463) salah satu ulama mazhab Al-
Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai
berikut:
‫ا‬jj‫ائض وأم‬jj‫راءة الح‬jj‫حابه في ق‬jj‫ك وأص‬jj‫رآن على اختالف عن مال‬jj‫يئا من الق‬jj‫ائض ش‬jj‫رأ الجنب وال الح‬jj‫وال يق‬
‫اء على أن‬j‫ثر العلم‬j‫ وأك‬،‫دهما‬j‫ة بأح‬j‫دث] الجناب‬j‫ الطهر بالماء أو بالصعيد فال يقرأ حتى يرفع [ح‬j‫الجنب يمكنه‬
‫دا‬jj‫ وأما المصحف فال يمسه أحد قاص‬،‫الحائض والجنب ال يقرءان شيئا من القرآن ولو قرأت الحائض لصلت‬
‫إليه مباشرا له أو غير مباشر إال وهو على طهارة‬
Artinya:
“Wanita yang haidh dan junub tidaklah membaca sesuatupun dari Al-Qur’an,
berbeda dengan pendapat yang  diriwayatkan Imam Malik dan Ulama
Malikiyah lainnya. Orang Junub memungkinkan untuknya bersuci, baik dengan
air ataupun dengan tanah. Kebanyakan ulama melarang wanita haidh danjunub
membaca sesuatu pun dari Al-Qu’an. Kalau dia membacanya sama halnya
hukumnya dia shalat. Sedangkan dalam menyentuh mushaf, tidak
diperkenankan seorang pun menyentuhnya, kecuali dalam keadaan suci. Baik
tersentuh secara langsung maupun menggunakan penghalang atau perantara”.  
Bagi seorang tahfizh, pengajar atau pelajar diperbolehkan untuk
memegang dan membaca Al-Qur’an, dikarenakan bagi seorang hafizh
ditakutkan hafalannya lupa karena tidak murojaah, sedangkan untuk pengajar
dan pelajar dilakukan karena untuk menuntut ilmu atau ta’lim sehingga cara
pengambilan hukumnya dengan menggunakan metode istihsan (mengambil
kebaikan) sesuai dengan pendapat Ibnu Rusyd (w. 595) menegaskan dalam
kitabnya Bidayatul Mujtahid :
‫ وهو مذهب مالك‬،‫فأجازوا للحائض القراءة القليلة استحسانا؛ لطول مقامها حائضا‬
Artinya:
“Para ulama yang membolehkan wanita haidh membaca sedikit Al-qur’an
dengan dalil Istihsan, karena lamanya masa haidh.  Ini adalah pendapat
madzhab Maliki”.
Sedangkan bagi orang yang junub tetap tidak diperbolehkan membawa
ataupun membaca Al-Qur’an, walaupun kedudukan orang yang haid dan
junub itu sama dalam keadaan hadats besar, yang membedakan dari keduanya
yaitu junub terjadi karena kehendak yang melakukannya, berbeda dengan
wanita haid yang tidak berdasar kehendak sendiri dan dari masa hadats
besarnya pun berbeda, masa haid lebih lama dibanding dengan masa junub
sesuai pendapat Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah
di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
‫راءة على‬jj‫حف للق‬jj‫اهرا ومس المص‬jj‫رآن ظ‬jj‫راءة الق‬jj‫واز ق‬jj‫ائض في ج‬jj‫ارق الجنب الح‬jj‫راز يف‬jj‫امن في الط‬jj‫الث‬
.‫المشهور في الحائض لحاجة التعليم وخوف النسيان‬
Hukum kedelapan: Dalam Kitab Ath-Thiraz : Hukum terhadap wanita
haidh dan junub itu dalam kebolehan  membaca  Al-qur’an itu berbeda,
begitu juga menyentuh mushaf.
2. Masuk masjid
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan dalam keadaan haid
tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam masjid dikarenakan dalam
sejarahnya beliau hanya tinggal di kota Madinah, sehingga beliau sangat
dipengaruhi oleh amalan penduduk Madinah. Pada zaman dahulu ketika
Rasulullah Saw dan Aisyah hendak pergi haji dari Madinah ke Mekah,
Aisyah menangis karena haid. Rasulullah Saw bersabda:
ْ ‫ت َحت َّى ت‬
ْ‫َطه ُِري‬ ِ ‫ َغ ْي َر أَ ْن الَ تَطُوفيْى بِ ْالبَ ْي‬، ‫فَا ْف َعلِ ْي َما يَ ْف َع ُل ْال َحا ُّج‬
Artinya:
“Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali
thawaf di Baitullah sampai engkau suci.” (HR Muslim, Kitabul Hajj no.
1211)
Dari hadits di atas, Imam Malik berpendapat bahwa wanita haid
tidak di perbolehkan untuk masuk masjid, karena Rasulullah pun melarang
Aisyah untuk melakukan thawaf yaitu mengelilingi ka’bah di Masjidi
Haram pada saat haid, maka Imam Malik pun mengambil kesimpulan
bahwa perempuan yang sedang haid tidak boleh masuk ke dalam masjid.
Begitu pun dalam Q.S An-Nisa ayat 43 apabila orang yang sedang
sedang dalam keadaan junub di analogikan dengan perempuan yang
sedang haid maka perempuan haid tidak di perbolehkan untuk masuk
kedalam masjid. Namun, jika dalam keadaan madharat diperbolehkan
untuk melewat di sekitar masjid dikarenakan apabila ada seseorang yang
memiliki rumah bersampingan dengan masjid, ketika berpergian keluar
harus melewati masjid maka itu diperbolehkan sesuai dengan kalimat
dalam ayat tersebut yaitu illa abiri (kecuali melewatinya) maka itu
diperbolehkan, karena lafazh illa dalam ayat tersebut berarti sebagai
pengecualian.
C. Imam Syafi’i
1. Membaca Qur’an
Dalam mazhab ini seorang wanita haid diharamkan membaca al-Quran
walaupun hanya sebagian ayat, baik itu menggabungkan niat berdzikir dan
membaca al-Quran ataupun hanya untuk membaca Al-Quran saja. hal ini
ditujukan agar manusia lebih menghormati dan mengagungkan al-Quran.
Namun boleh membaca ayat al-Quran yang bernuansa dzikir dan doa dengan
syarat tidak meniatkan untuk membaca al-Quran.
Boleh juga membaca Al-Quran di dalam hati dengan tanpa menggerakkan
bibir ataupun menggerakkan bibir dengan syarat dirinya tidak bisa mendengar
bacaannya. Boleh juga membaca ayat-ayat al-Quran yang telah di nasakh
tulisannya.
2. Masuk masjid
Diharamkan bagi orang yang junub dan haid berdiam diri di dalam masjid,
baik dalam keadaan duduk, berdiri, atau dalam keadaan apapun, dan apakah dia
telah berwudhu atau dalam keadan selain yang demikian. Dan diperbolehkan
baginya melewati dengan tidak berdiam diri (mendiami), apakah dalam
keadaan ada kepentingan atau tidak.
Di madinah tempat imam Syafi’i tinggal pun melarang wanita yang sedang
haid di kawasan masjid madinah, karena takutnya darah najis yang ada di
wanita haid tersebut jatuh dan menempel pada daerah masjid itu dan
menjadikan masjid itu kotor. Darah kotor yang ada pada wanita haid itu
termasuk najis dan ditakutkan mengotori dan mentidak sucikan masjid itu
sendiri.
D. Imam Hambali
1. Membaca Al-qur’an
Dalam mazhab ini wanita yang sedang haid diharamkan membaca al-
Quran baik itu satu ayat atau lebih. Namun jika membaca kalimat yang
merupakan potongan dari satu ayat maka tidaklah mengapa selama ayat tersebut
tidak panjang, begitu pula mengulang-ulanginya karena membaca sebagian
kalimat dari satu ayat tidaklah menunjukkan kemu’jizatannya.
Boleh membaca ayat-ayat al-Quran dengan cara mengejanya kata perkata,
bertafakkur dengan ayat al-Quran, menggerakkan kedua bibirnya namun huruf-
huruf yang keluar darinya tidak jelas terdengar dan juga membaca sebagian ayat
berturut-turut ataupun membaca beberapa ayat namun diselingi dengan diam yang
lama.
Boleh juga membaca sebuah kalimat yang mempunyai makna yang sama
dengan al-Quran namun tidak meniatkan membaca al-Quran seperti membaca
basmalah, hamdalah, istirja (innalillahi wa inna ilaihi rajiu’n) dan membaca doa
ketika menaiki kendaraan. Jika ada yang membacakan baginya al-Quran dan dia
diam untuk mendengarkan maka tidak mengapa hal itu karena tidak dianggap
sebagai membaca.
Boleh juga membaca ayat-ayat yang bernuansa dzikir ataupun membaca
al-Quran jika takut hilangnya hapalan bahkan wajib menurut Ibnu Taymiyah (w
728 H). Berikut ini teks dalam kitab-kitab mazhab Hanbali.
Ibnu Qudamah (w 620 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Hanbali
menuliskan dalam kitabnya al-Mughni sebagai berikut :

‫و ال يقرأ القرآن جنب وال حائض وال نفساء‬

‫وحيرم عليهم قراءة آية فأما بعض آية فإن كان مما ال يتميز به القرآن من غريه كالتسمية واحلمد‬

‫هلل وسائر الذكر فإن مل يقصد به القرآن فال بأس فإنه ال خالف يف أن هلم ذكر اهلل تعاىل‬
Seorang yang junub, wanita yang dalam masa haid dan nifas tidak
dibolehkan membaca al-Quran……haram bagi mereka ( seorang junub, wanita
haid dan nifas) membaca satu ayat al-Quran, namun boleh membaca sebagian
potongan dari satu ayat jika tidak bisa membedakan antara al-Quran dengan
selainnya seperti membaca basmalah, hamdalah dan semua dzikir dengan syarat
tidak meniatkan membaca al-Quran, karena kebolehan berdzikir kepada Allah
Ta’ala tidak ada khilaf di dalamnya.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Hanbali di dalam
kitabnya al-Inshaf fi Ma’rifati ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut :

‫ َو َعلَْي ِه‬. ‫ب‬


ِ ‫يح ِم ْن الْم ْذ َه‬
ِ ‫الص ِح‬ ِ ‫ مُتْنَع احْل ائِض ِمن قِراء ِة الْ ُقر‬. ) ‫آن‬
َّ ‫آن ُمطْلَ ًقا َعلَى‬ ِ ‫َقولُه ( وقِراء ِة الْ ُقر‬
َ ْ ََ ْ ُ َ ُ ْ َََ ُْ
‫ ال مُتْنَ ُع ِمْنه‬: ‫يل‬ِ ِ ِ ِِ ِ
ِ ْ ‫اهري األ‬
َ ‫ َوق‬. ‫ َوقَطَ َع به َكثريٌ مْن ُه ْم‬, ‫َص َحاب‬ ُ َ‫مَج‬
Wanita yang haid dilarang muthlak membaca al-Quran menurut pendapat
yang shahih dalam mazhab dan begipula sesuai dengan pendapat jumhur ulama
mazhab hanabilah yang mereka ini memastikan kebenaran pendapat ini. Namun
ada juga pendapat minor yang tidak melarang wanita haid membaca al-Quran.
Al-Buhuty (w. 1051 H) salah satu ulama mazhab Hanbali di dalam
kitabnya Kasysyafu al-Qinna’ menuliskan sebagai berikut :
ِ ‫وحرم علَي ِه ( قِراءةُ آي ٍة فَص‬
) ‫اع ًدا‬ َ َ َ َ ْ َ َ َُ َ
Haram baginya (orang yang wajib mandi untuk menghilangkan hadats besar
seperti seorang yang junub, haid dan nifas) membaca satu ayat atau lebih.

‫َن َما ال يَتِ ُّم‬


َّ ‫ب ; أل‬ ِ
ُ ‫ بَ ْل جَي‬, ُ‫ت ن ْسيَانَه‬
ْ َ َُ ِ ِ‫اح لِْل َحائ‬
ِ َ‫ض أَ ْن َت ْقرأَه إذَا خاف‬ ِ
ُ َ‫اختَ َار الشَّْي ُخ تَق ُّي الدِّي ِن أَنَّهُ يُب‬
ْ ‫َو‬
ِ ِ ْ ‫ض آي ٍة ; ) ; ألَنَّه ال‬ ِِ ِ ِِ ِ
, ‫َّح‬
ُ ‫إع َج َاز فيه الْ ُمَنق‬ ُ َ ِ ‫ َو ( ال ) حَيْ ُر ُم َعلَْيه قَراءَةُ ( َب ْع‬, ‫ب‬
ٌ ‫ب إال به َواج‬
ُ ‫الْ َواج‬
‫ض ( َما مَلْ َيتَ َحيَّ ْل َعلَى قَِراءَ ٍة حَتْ ُر ُم َعلَْي ِه ) َك ِقَراءَ ِة آيٍَة‬ ْ ‫َما مَلْ تَ ُك ْن طَ ِويلَةً ( َولَ ْو َكَّر َرهُ ) أ‬
َ ‫ الَْب ْع‬: ‫َي‬
ُّ ‫َن احْلِيَ َل َغْيُر َجائَِز ٍة يِف َش ْي ٍء ِم ْن أ ُُمو ِر‬
‫الد ْنيَا‬ َّ ‫ لِ َما يَأْيِت أ‬, ‫فَأَ ْكَثَر‬

Syeikh Taqiyuddin (Ibnu Taymiyah) membolehkan wanita haid membaca


al-Quran jika khawatir hapalannya akan lupa bahkan hal itu menjadi wajib
dikarenakan tidaklah sempurna sebuah kewajiban melainkan dengan
mendatangkannya maka hukumnya menjadi wajib.
Tidak haram baginya membaca sebagian potongan dalam satu ayat
karena jika ditinjau tidaklah ada yang menunjukkan kemukjizatan al-Quran dan
juga selama ayat tersebut tidak panjang. Boleh baginya mengulang-ulang
sebagian potongan dalam satu ayat selama tidak menggunakan tipu muslihat
yang digunakan untuk bacaan Al-Quran yang diharamkan untuknya seperti
membaca satu ayat penuh atau lebih dari itu. sebagaimana yang telah diketahui
bahwa tipu muslihat itu tidak dibolehkan menggunakannya untuk urusan dunia.

َّ ‫س بِِقَراءَ ٍة لَهُ َفتَْبطُ ُل بِِه‬


( ُ‫الصالةُ ) َولَه‬ ِ
َ ‫ الْ ُق ْرآن ; ألَنَّهُ لَْي‬: ‫َي‬
ِ ِ ِ ُ‫ اجْلُن‬: ‫َي‬
ْ ‫ب َوحَنْ ِوه ( َت َه ِّجيه ) أ‬ ْ‫أ‬
ِ ِ ِ َّ ‫ ولَه‬, ‫ول‬ ِ ‫خِل ر‬
ُ ‫الت َف ُّكُر ف ِيه َوحَتْ ِر‬
ْ ‫يك َش َفَتْيه بِه َما مَلْ يَُبنِّي‬ َُ
ِ ‫ ذَ َكره يِف الْ ُفص‬, ‫وج ِه َعن نَظْ ِم ِه وإِ ْعجا ِز ِه‬
ُ َُ َ َ ْ ُُ
‫ قَالَهُ يِف الْ ُمْب ِد ِع‬, ‫ت َبْيَن َها ُس ُكوتًا طَ ِويال‬ ٍ ٍ ِ ٍ ِ ‫وف وقِراءةُ أَبع‬
َ ‫ أ َْو آيَات َس َك‬, ‫اض آيَة ُمَت َواليَة‬ َ ْ َ َ َ َ ‫ احْلُُر‬.
Boleh bagi seorang yang junub atau semisalnya mengeja al-Quran karena
hal itu tidak dinamakan sebagai membaca dan mengeja al-Quran dalam shalat
akan membatalkan shalatnya disebabkan ejaan sudah tidak lagi sebagai ayat
yang tersusun rapi dan tidak terdapat kemukjizatan di dalamnya. Boleh baginya
untuk bertafakkur dengan al-Quran, menggerakkan kedua bibirnya dalam
membaca al-Quran selama huruf yang keluar darinya tidak jelas terdengar,
membaca sebagian potongan ayat secara berturut-turut ataupun membaca
beberapa ayat yang diantara ayat-ayat tersebut terpisah oleh diam yang lama.
ِ ِ ِ ِّ ( ُ‫لَه‬
ْ َ‫ ل َما َر َوى ُم ْسل ٌم َع ْن َعائ َشةَ قَال‬, ‫ أَ ْن يَ ْذ ُكَر اللَّهَ َت َعاىَل‬: ‫َي‬
( ‫ { َكا َن النَّيِب ُّ ) َو‬: ‫ت‬ ْ ‫الذ ْكُر ) أ‬
} ‫َحيَانِِه‬
ْ ‫صلى اهلل عليه وسلم يَ ْذ ُكُر اللَّهَ َعلَى ُك ِّل أ‬
Boleh baginya berdzikir kepada Allah Ta’ala sebagaimana Imam Muslim
meriwayatkan hadits dari Sayyidah ‘Aisyah R.A. bahwa Nabi S.A.W selalu
berdzikir di setiap waktunya.

( ‫ َو َكآيَِة‬, ‫ني‬ ِ ِّ ‫ص ْده َكالْبسملَ ِة و َقو ِل احْل م ُد لِلَّ ِه ر‬


ِ
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ُ ‫َولَهُ َق ْو ُل َما َوافَ َق ُق ْرآنًا َومَلْ َي ْق‬
ِ ِ ِِ ِ
ِ ‫االسرِت ْ َج‬
‫اع‬ ْ ) { ‫وب ) } إنَّا للَّه َوإِنَّا إلَْيه َراجعُو َن‬ ُّ ( ‫ ( َو ) َكآيَِة‬. ٌ‫ض آيٍَة ال آيَة‬
ِ ‫الر ُك‬ ُ ‫َوه َي َب ْع‬
ِ ‫ني وإِنَّا إىَل ر ِّبنَا لَمْن َقلِبو َن } و َك َذا آيةُ النُّز‬ِ ِ َّ
{ : ‫ول‬ ُ َ َ ُ ُ َ َ َ ‫{ ُسْب َحا َن الذي َس َّخَر لَنَا َه َذا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬
‫الو ٍة َو ) أَ ْن ( يُ ْقَرأَ َعلَْي ِه‬ِ ِ ِ ِ ‫ ( ولَه أَ ْن يْنظُر يِف الْم‬. } ‫ب أَنْ ِزلْيِن مْنزال مبار ًكا‬
َ ‫ص َحف م ْن َغرْي ت‬
ْ ُ َ َ َُ َ َُ َ ُ ِّ ‫َوقُ ْل َر‬

‫ب إىَل الْ ِقَراءَ ِة قَالَهُ أَبُو الْ َم َعايِل‬ ِ ِ ِ ‫يِف‬


ُ ‫ت ) ; ألَنَّهُ َهذه احْلَالَة ال يُْن َس‬
ِ
ٌ ‫َو ُه َو َساك‬
Boleh baginya membaca kalimat yang sama dengan ayat Al-Quran namun
tidak meniatkannya untuk membaca al-Quran seperti membaca basmalah,
hamdalah, ayat istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi raji’un) karena dia hanya
potongan ayat dan tidak dihitung sebagai satu ayat, ayat yang dipakai untuk
berdoa ketika menaiki kendaraan

‫ني َوإِنَّا إىَل َر ِّبنَا لَ ُمْن َقلِبُو َن‬ِ ِ


َ ‫ُسْب َحا َن الَّذي َس َّخَر لَنَا َه َذا َو َما ُكنَّا لَهُ ُم ْق ِرن‬
Ataupun ketika turun dari kendaraan

‫ب أَنْ ِزلْيِن ُمْنَزال ُمبَ َار ًكا‬


ِّ ‫َوقُ ْل َر‬
Boleh juga baginya melihat mushaf tanpa membacanya atau dibacakan
untuknya dan dia hanya diam mendengarkannya. Hal ini tidak disebut sebagai
membaca sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Al-Ma’ali.
BAB IV
KESIMPULAN
Para ulama mazhab sudah menyetujui bahwa wanita yang sedang haid,
memiliki beberapa larangan dan itu adalah membaca sekaligus memegang Al-
Qur’an dan memasuki atau berdiam diri di Masjid. Ini bertujuan agar mensucikan
tempat dan wahyu Allah dari hadas besar seperti haid. Adapun alasannya
mengapa, sudah di jelaskan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh membaca
dan juga memegang Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu suci, hendaknya
menghormati dan mengagungkan kalimatnya, dan juga tidak boleh memasuki dan
juga berdiam diri di masjid karen wanita yang sedang haid memiliki darah hadas
besar yang harus dibersihkan dan darahnya itu tidak suci. Seluruh ulama mazhab
sependapat tentang hal ini tapi ada juga beberapa ulama selain ulama mazhab,
yang meringankan dengan cara, tidak meniatkan membaca Al-Qur’an tersebut,
tidak terdengar suaranya, ubah niat membaca menjadi berdzikir, dan juga hanya
sekedar mengingat ayatnya saja.
Hal itu menyatakan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh membaca
Al-Qur’an dan memasuki masjid, akan tetapi sebagian ulama meringankan dengan
cara mengubah niatnya saja. Dan ini tidak merubah sifat bahwa wanita itu adalah
makhluk yang suci, akan tetapi jika sudah haid maka ada batasan-batasan yang
tidak boleh ia lalui sebagai umat muslimah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziry, A. (2008). Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madhab Al-Arba'ah. Beirut: Dar Al-
Fikr.
Isnawati. (2018). Larangan-larangan Wanita Haid. Jakarta Selatan: Rumah Fiqih
Publishing.
Reza, F. (2017, January 18). Rumah Fiqih Indonesia. Diambil kembali dari
rumahfiqih.com: https://www.rumahfiqih.com/fikrah-499-bolehkah-seorang-
wanita-haid-membaca-al-quran.html
Sanawiah. (2010). Pendapat Ulama Terhadap Wanita Haid Berada di dalam
Masjid. Jurnal SANAU FAI, Vol. 2 No. 1, 12-14.
Sanawiah. (2014). Pendapat Ulama Terhadap Wanita Haid Berada di Dalam
Masjid. Jurnal Sanau FAI, 1-21.
Tuasikal. (2010, November 27). Rumaysho. Diambil kembali dari rumaysho.com:
https://rumaysho.com/1161-menyentuh-mushaf-al-quran-bagi-orang-yang-
berhadats.html

Anda mungkin juga menyukai