Anda di halaman 1dari 14

PENGANTAR FIKIH MUAMALAH

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES 3)
Fakultas Syariah dan Hukum Islam Iain Bone
Oleh:
KELOMPOK 7

MUH RISALDI
NIM. 742342021076
RISDA MAULANA
NIM. 742342021074

DOSEN PENGAJAR : MUAMMAR HASRI,M.H

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ PENGANTAR FIKIH
MUAMALAH” serta tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan
besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita
menuju alam yang terang benderang seperti sekarang ini.
Makalah ini di persiapkan dan di susun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Fiqh Muamalah serta menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak MUAMMAR HASRI,M.H selaku dosen pengajar mata kuliah Fiqh Muamalah
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah
Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari bahwa baik dalam penyampaian
maupun penulisan masih banyak kekurangannya, untuk itu saran dan kritik dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan untuk penunjang dalam pembuatan makalah penulis
berikutnya.

Bone, 25 Maret 2022

Kelompok 1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….……..iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah ………………………………..……………………1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Fikih, Muamalah dan Fiqh Muamalah…..........................…2
B. Kedudukan Fikih Muamalah dalam Islam ………….......................…...3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………..… ...…..4
B. Saran ………………………………………………………….…….....5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama yang universal, mengajarkan seluruh aspek kehidupan
penganutnya seperti masalah ibadah, akhlaq termasuk juga tata cara dalam kehidupan
sehari-hari yang sering kita sebut dengan muamalah. Akan tetapi sebagai salah satu
aspek yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam, ketentuannya tidak tercantum
secara rinci dan jelas dalam al-Qur‟an sehingga perlu penjelasan yang lebih rinci dan
mendalam melalui ijtihad para ulama. Islam memberikan aturan-aturan yang longgar dalam
bidang muamalah, karena bidang tersebut amat dinamis mengalami perkembangan.Meskipun
demikian, Islam memberikan ketentuan agar perkembangan di bidang muamalah tersebut
tidak menimbulkan kerugian salah satu pihak. Bidang muamalah berkaitan dengan
kehidupan duniawi, namun dalam prakteknya tidak dapat dipisahkan dengan ukhrawi,
sehingga dalam ketentuannya mengadung aspek halal, haram, sah, rusak dan batal.

Sebagian besar kehidupan manusia diisi dengan aktivitas muamalah (ibadah dalam
arti luas), dan selebihnya sebagian kecil waktunya diisi dengan aktivitas ibadah (ibadah
dalam arti sempit yaitu ibadah ritual, seperti : shalat, puasa, zakat, haji). Tidaklah mungkin
Allah SWT Yang Maha Tahu melepaskan kendali aspek muamalah begitu saja tanpa ada
aturan dari-Nya. Dengan demikian ajaran Islam yang lengkap dan menyeluruh ini sebagian
besar mengatur tentang muamalah. Para Sahabat dan para Ulama menegaskan pentingnya
memahami muamalah atau mempelajari fiqh muamalah.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas, penulis akan mengkaji lebih lanjut dalam rumusan masalah
agar lebih terarah dan fokus mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan HAM?
2. Bagaimana penegakan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan?
3. Bagaimana upaya pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan yang ingin disampaikan penulis dalam makalah sesuai dengan latar belakang yang
dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan HAM
2. Untuk mengetahui bagaimana penegakan HAM di Indonesia pasca kemerdekaan
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

E. Hukum Shalat Berjamaah

Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum shalat berjamaah.


Ada yang mengatakan fardhu 'ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah berdosa.
Ada yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah
kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat
jamaah hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah
muakkadah.

Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta dalil masing-masing.
1. Fardhu Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy Syafi'i dan Abu Hanifah7. Demikian
juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau (mutaqaddimin) maupun yang
berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat kebanyakan ulama dari kalangan
mazhab Al Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah ada yang
menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya. Sebaliknya, bila
tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka berdosalah semua orang yang ada
disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An Nawawi disebutkan bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu 'ain untuk shalat Jumat. Sedangkan untuk
shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang paling shahih hukumnya adalah fardhu
kifayah, tapi juga ada yang mengatakan hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan
hukumnya fardhu 'ain.

Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas adalah :

ِ ‫ ( ا ِم ْن ثَالثَ ٍة ل َوالَ ال ا ُم ال َغن َِم القَا‬: ‫ َل هللاِ – لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه لَّ َم – ُل‬: ‫الدَّرْ دَاء – هللاُ – ا َل‬
‫صيَة) اهُ ا ُو َد ا ٍد‬
Abu Darda' radhiyallahu 'anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam mengatakan, 'Tidak ada tiga orang di satu desa atau kampung yang tidak
ditegakkan shalat di sana kecuali mereka telah didirikan oleh setan. Maka harus bagi kalian
untuk berjamaah, karena serigala hanya akan memakan domba yang jauh dari kawannya.'”
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad hasan) [HR. Abu Daud, tidak. 547 dan An-
Nasa'i, no. 848. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.]

Sumber https://rumaysho.com/16432-satu-kampung-tidak-shalat-berjamaah-berarti-sudah-
dikuasai-setan.html
Dari Malik bin Al-Huwairits bahwa Rasulullah SAW, ‘Kembalilah kalian kepada keluarga
kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan perintahkan mereka
melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah seorang kalian melantunkan
adzan dan yang paling tua menjadi
Imam.(HR. Muslim) Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,
‘Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)

Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi’i mengatakan bahwa shalat


berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘ain dengan berdasarkan hadits ini.

B. Fardhu ‘Ain

Yang berpendapat demikian adalah Atha’ bin Abil Rabah, Al-Auza’i, Abu Tsaur,
Ibnu Khuzaemah, Ibnu. Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah dan mazhab Hanabilah.
Atho’ berkata bahwa kewajiban yang Harus dilakukan dan tidak halal selain itu, yaitu ketika
Seseorang mendengar Adzan, haruslah dia Mendatanginya untuk shalat.”
Dalilnya adalah hadits berikut:

Dari Aisyah radhiyallahuanhu berkata, ‘Siapa yang mendengar adzan tapi tidak
menjawabnya (dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya ¹0
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat jamaah tanpa udzur, dia
berdoa namun shalatnya tetap sah.

‫اس ثم‬rr‫ؤم الن‬rr‫ر رجالً في‬rr‫ا ثم آم‬rr‫ؤذن له‬rr‫الة في‬rr‫ر بالص‬rr‫ده ل ثم أم‬rr‫ي بي‬rr‫لقد هممت أن آمر بحطب فيخطب والذي نفس‬
‫أخالف إلى رجال ال يشهدون الصالة فأحرق عليهم‬
‫بيوهم‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh aku
punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu
orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat
kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-
rumah mereka dengan api”. (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Sunnah Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah sebagaimana
disebutkan oleh imam As-Syaukani¹¹. Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah
dalam masalah hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat
yang mengatakan bahwa hukumnya fardhu 'ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat,
tentu tidak bisa diterima.

Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat berjamaah itu hukumnya
sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya kecuali karena uzur. Dalam hal
ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah tentang sunnah muakkadah. sama dengan
wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah muakkadah itu sama dengan wajib ¹2.

Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah dalam kitabnya Al-
Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain shalat Jumat hukumnya
sunnah muakkadah¹³.Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan secara
berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah¹4. Ad-Dardir berkata bahwa shalat
fardhu dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah¹5.
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain adalah dalil-dalil
berikut ini: Dari Ibnu Umar radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Shalat
berjamaah itu lebih utama dari shalat sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)¹6. Ash-
Shan'ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40 menyebutkan setelah
menyebutkan. hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil bahwa shalat fardhu berjamaah itu
hukumnya tidak wajib.

Selain itu mereka juga menggunakan hadits. berikut ini :

Dari Abi Musa radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya
orang yang mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya.
Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang yang
shalat sendirian kemudian tidur.¹7
4. Syarat Sahnya Shalat

Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum syarat fardhu berjamaah
adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak
dikerjakan dengan berjamaah. Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu Taymiyah
dalam salah satu pendapatnya ¹8. Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga
Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa serta mazhabZhahiriyah ¹9. Termasuk diantaranya adalah para
ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu
Khuzaemah. Dalil yang mereka gunakan adalah :

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersaba, 'Siapa yang mendengar
adzan tapi tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada
uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,


"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat Isya dan Shubuh.
Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka
akan mendatanginya meski dengan merangkak. Sungguh aku punya keinginan untuk
memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam.
Kemudian pergi bersamaku dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke
suatu kaum yang tidak ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan
api". (HR. Bukhari dan Muslim)

‫يس ِلي‬ َ َ‫ ل‬، ِ‫ول هللا‬ َ rr‫ يا َر ُس‬: ‫ فقَا َل‬، ‫ي – صلى هللا عليه وسلم – َر ُج ٌل أ ْع َمى‬ َّ ‫ َأتَى النب‬: ‫ال‬ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ – َر‬
َ َ‫ ق‬، – ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬
‫ا َولَّى‬rr‫ فَلَّ َم‬، ُ‫ص لَه‬َ ‫ فَ َر َّخ‬، ‫ُصلِّي فِي بَ ْيتِ ِه‬
َ ‫ص لَهُ فَي‬ َ ‫أن يُ َر ِّخ‬ ْ – ‫ فَ َسَأ َل َرسُو َل هللاِ – صلى هللا عليه وسلم‬، ‫ْج ِد‬ ِ ‫قَاِئ ٌد يَقُو ُدنِي إلى ْال َمس‬
)) ْ‫أجب‬ ِ َ‫ (( ف‬: ‫ قَا َل‬. ‫ نَ َع ْم‬: ‫صالَ ِة ؟ )) قَا َل‬ َّ ‫ (( هَلْ تَ ْس َم ُع النِّدَا َء بِال‬: ُ‫ فَقَا َل لَه‬، ُ‫َدعَاه‬
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan
seorang lelaki yang buta. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki seorang penuntun
yang menuntunku ke masjid.’ Maka ia meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk memberinya keringanan sehingga dapat shalat di rumahnya. Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya keringanan tersebut. Namun ketika
orang itu berbalik, beliau memanggilnya, lalu berkata kepadanya, ‘Apakah engkau
mendengar panggilan shalat?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka penuhilah
panggilan azan tersebut.’ (HR. Muslim, no. 503)

Sumber https://rumaysho.com/16191-buta-saja-disuruh-pergi-ke-masjid-shalat-
berjamaah.html
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan dipilihnya. Dan bila
kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat menyebutkan bahwa shalat
berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh lebih mudah bagi kebanyakan umat
Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat. Meskipun demikian, kami tetap
menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara shalat berjamaah, karena keutamaannya
yang disepakati semua ulama.

A. Pengertian dan Dasar Hukum Shalat Berjama’ah

Shalat berjama’ah ( ‫( الجماعة صالة‬yaitu shalat yang dilakukan secara

bersama-sama dengan dituntun oleh seorang yang disebut imam1.Apabila dua

orang shalat bersama-sama dan salah seorang di antara mereka mengikuti

yang lain, keduanya dinamakan shalat berjama’ah. Orang yang diikuti (yang

dihadapan) dinamakan imam, sedangkan yang mengikuti di belakang

dinamakan makmum2.

Dalam buku Fiqh Islam lengkap yang ditulis olehMoh. Rifa’i

menyatakan, shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh orang

banyak bersama-sama, sekurang-kurangnya dua orang, seorang diantara

mereka yang lebih fasih bacaannya dan lebih mengerti tentang hukum Islam

dipilih menjadi imam. Dia berdiri di depan sekali, dan lainnya berdiri dibelakangnya sebagai
makmum/pengikut3.

1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), Ed. Ke-1, Cet.Ke-3, h. 31
2
Sulaiman Rasjid, Haji, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012), Cet. Ke-57,
h. 106
3
Moh. Rifa’i, Fiqh Islam Lengkap,(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h.145
Shalat dapat dilakukan sendirian dan dapat pula diselenggarakan secara berjama’ah. Sedang
shalat berjama’ah jauh lebih afdhal karena di dalamnya terdapat perasaan ukhuwah dan
menambah semangat beribadah,dalam suasana teratur di bawah pimpinan seorang imam4

Selain soal ibadah, dalam sholat berjama’ah terdapat pula di dalamnya

silaturahmi dan bila perlu bermuzakarah, berdiskusi, serta tentang keperluan

bersama sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw terutama pada sholat

subuh5.Rasulullah saw. senantiasa melaksanakan shalat fardhu dengan

berjama’ah. Perintah untuk berjama’ah itu terdapat pada ayat dan beberapa

hadist berikut:6

‫ك َو ْليَْأ ُخ ُذوا َأ ْسلِ َحتَهُ ْم فَِإ َذا َس َجدُوا فَ ْليَ ُكونُو‬


َ ‫صاَل ةَ فَ ْلتَقُ ْم طَاِئفَةٌ ِم ْنهُ ْم َم َع‬
َّ ‫وَِإ َذا ُك ْنتَ فِي ِه ْم فََأقَ ْمتَ لَهُ ُم ال‬

Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu
hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu.”
Ayat ini jelas memerintahkan beliau agar tetap melaksanakan shalat
dengan berjama’ah di dalam keadaan berkecamuknya perang dan ini memberi
petunjuk bahwa tuntutan pelaksanaan jama’ah pada keadaan aman tentu lebih
keras adanya7.
Selain itu ada hadist yang mengatakan:
(‫صالَ ةُ اِالَّ ا ْستَحْ َو َذ َعلَ ْي ِه ُم ال َّش ْيطَانـُفَ َعلَ ْي ُك ْم‬
َّ ‫في ْ قـَرْ يَ ٍة اَوْ بَ ْد ٍو الَ تـُقَا ُم فِ ْي ِه ْم ال‬
ِ ‫َما ِم ْن ثَالَ ثَ ٍة‬
ِ ‫الج َما َع ِة فَاِن ََّما يَْأ ُك ُل الذِّْئبُ ِمنَ ْال َغن َِم القَا‬
‫صيَةَ ) َوحجَّة من قَا َل ِإنـَّهَا فرض عين َأ َح ا ِديث‬ َْ ِ‫ب‬
‫ِمنـْه‬

Artinya: “Tidak ada tiga orang, baik di kampung maupun di padang pasir,
yang tidak ditegakkan pada mereka shalat kecuali mereka itu
4
Imam Hambali, Khusyuk Sholat Kesalahan-Kesalahan Dalam Sholat Dan Bagaimana Memperbaikinya, alih
bahasa oleh Sudarmadji, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2004), Cet. Ke-1, h. 123
5
Ibid
6
Lahmuddin Nasution, Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1987), h.89
7
Ibid
dikuasai oleh syaitan. Oleh karena itu hendaklah kamu tetap
berjama’ah, sebab sesungguhnya serigala hanya akan memakan
kambing yang menjauhi kelompoknya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad,
Nasa’i Ibn Hibban dan Hakim)8

. Masbuk
 Devinisi Masbuq
Secara etimologi Masbuq adalah isim maf’ul dari kata “  ‫”سبق‬  yang bermakna “
terdahului/tertinggal”.
Adapun secara terminologi Masbuq adalah Orang yang tertinggal sebagian raka’at atau
semuanya dari imam dalam sholat berjama’ah. Atau orang yang mendapati imam setelah
raka’at pertama atau lebih dalam sholat berjama’ah. (Kamus al-Muhith, Qawaid al-Fiqh dan
Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, 1/400)

Menurut ulama Hanafiyah masbuk adalah orang yang mendapati imam setelah imam dapat
satu rakaat atau lebih. Adapun menurut ulama Syafi’iyah masbuk berarti makmum yang
melakukan takbiratul ihramnya terlambat (tidak satu waktu) dari takbiratul ihram imam pada
rakaat pertama, atau pada takbir setelahnya, sekalipun ia sempat berdiri untuk dapat membaca
al-Fatihah[3].
 
2.       Kapan Seorang Makmum itu Disebut Masbuq?
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Dimana ada dua pendapat  mengenai kapan
seorang makmum itu disebut masbuq.
 
Pendapat Pertama:
Yaitu pendapat Jumhur Ulama yang menyatakan bahwa seorang makmum disebut masbuq itu
apabila ia tertinggal ruku’ bersama imam.  Jika seorang makmum mendapati imam sedang
ruku’, kemudian ia ruku bersama imam, maka ia mendapatkan satu raka’at dan tidak disebut
masbuq. Dan gugurlah kewajiban membaca surat al-Fatihah.
Dalil-dalil Pendapat Pertama:
َ ‫ك الرُّ ُكوْ َع فَقَ ْد َأ ْد َر‬
} 116 ‫ الفقه اإلسالمي – سليمان رشيد‬، ‫ { أبو داود‬ َ‫ك ال َّر ْك َعة‬ َ ‫َم ْن َأ ْد َر‬
Artinya: “Siapa yang mendapatkan ruku’, maka ia mendapatkan satu raka’at”. (HR. Abu
Dawud, FIqh Islam-Sulaiman Rasyid : 116)

8
َّ ‫ ” ِإ َذا ِجْئتُ ْم ِإلَى ال‬: ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلّى هللا عليه و سلم‬،‫ع َْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬
‫صالَ ِة َو نَحْ نُ ُسجُوْ ٌد فَا ْس ُج ُدوْ ا َو‬
}145 : 3  ‫عون المعبود‬،207 : 1 ‫{ رواه أبو داود‬ “  َ‫صالَة‬ َ ‫الَ تَ ُع ُّدوْ ها َ َشيْئا ً َو َم ْن َأ ْد َركَ ال َّر ْك َعةَ فَقَ ْد َأ ْد َر‬
َّ ‫ك ال‬
Dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “ Apabila kamu
datang untuk shalat, padahal kami sedang sujud, maka bersujudlah, dan jangan kamu hitung
sesuatu (satu raka’at) dan siapa yang mendapatkan ruku’, bererti ia mendapat satu rak’at
dalam sholat (nya)”. ( H.R Abu Dawud 1 : 207, Aunul Ma’bud – Syarah Sunan Abu Dawud 
3 : 145 )
Jumhur Ulama berkata:  “Yang dimaksud dengan raka’at disni adalah ruku’, maka yang
mendapati imam sedang ruku’ kemudian ia ruku’ maka ia mendapatkan satu raka’at. (Al-
Mu’in Al-Mubin 1 : 93, Aunul Ma’bud 3 : 145)
‫ك لِلنَّبِ ِّي صلّى هللا عليه‬ ِ َ‫ِإ َّن َأبا َ بَ ْك َرةَ ِإ ْنتَهَى ِإلَى النَّبِ ِّي صلّى هللا عليه و سلم َو هُ َو َرا ِك ٌع فَ َر َك َع قَ ْب َل َأ ْن ي‬
َ ِ‫ص َل ِإلَى الصَّفِّ فَ َذ َك َر َذل‬
}381  : 2 ‫ فتح الباري‬،‫{ رواه البخاري‬  “ ‫ ” زَ ادَكَ هللاُ ِحرْ صا ً َو الَ تُ ِع ْد‬: ‫و سلم فَقا َ َل‬
“ Sesungguhnya Abu Bakrah telah datang untuk solat bersama Nabi SAW (sedangkan) Nabi
SAW dalam keadaan ruku’, kemudian ia ruku’ sebelum sampai menuju shaf. Hal itu
disampaikan kepada Nabi SAW, maka Nabi SAW bersabda  (kepadanya) : “ Semoga Allah
menambahkan kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi ”.
Dari dalil-dalil diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang
dikatakan masbuk itu apabila ia tidak sempat ruku’ bersama imam.
Pendapat Kedua
Pendapat ini mengatakan bahwa makmum disebut masbuk apabila ia tertinggal bacaan surat
Al-Fatihah. Ini adalah pendapat segolongan dari ulama. Diantaranya adalah ucapan Abu
Hurairah, diriwayatkan oleh Imam Bukhori tentang bacaan al-Afatihah di belakang imam dari
setiap pendapat yang mewajibkan bacaan al-Afatihah di belakang imam. Demikian pula
pendapat Ibnu Khuzaimah, Dhob’i dan selain keduanya dari Muhaddits
Syafi’iyyah kemudian diperkuat oleh Syaikh Taqiyyuddin As-Subki dari Ulama
Mutakhkhirin dan ditarjih oleh al-Muqbili, ia berkata: “Aku telah mengkaji permasalahan ini
dan aku menghimpunnya pada pengkajianku secara fiqih dan hadits maka aku tidak
mendapatkan darinya selain yang telah aku sebutkan yaitu tidak terhitung raka’at dengan
mendapatkan ruku’. (‘Aunul Ma’bud 3:146)
Sanggahan Pendapat kedua terhadap dalil-dalil jumhur ulama yang menyatakan bahwa
makmum yang mendapatkan ruku bersama imam maka ia mendapatkan satu raka’at.
Diantaranya:
Dalam Sunan Abu Dawud tidak ada redaksi hadits dengan lafazh matan seperti tersebut
diatas. Pendapat ini cenderung beranggapan salah tukil saja.
Pada hadits (no 2) terdapat rawi yang bernama Yahya Bin Abi Sulaiman Al-Madani. Menurut
Amirul Mukminin dalam hadits (yaitu) Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari dalam (kitab) Juz-
u Al-Qiraat, Yahya (ini) munkarul hadits. ( Mizanul I’tidal 4 : 383, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Sedangkan yang dimaksud dengan Munkarul Hadits menurut pernyataan Imam Bukhori
adalah: “ Setiap orang yang aku nyatakan Munkarul Hadits, berarti tidak dapat dijadikan
hujjah ”. Bahkan dalam satu riwayat (dinyatakan) : “ tidak boleh meriwayatkannya ”. ( Fathul
Mughits  1 : 346 ). Imam Syaukani berkata : “Hadits tersebut bukan dalil atas pendapat
mereka, kerana anda pasti tahu, bahwa yang disebut raka’at itu (mencakup) semua aspek;
bacaan, rukun-rukunnya secara hakiki syar’i, maupun ‘urf (kebiasaan). Kedua arti tersebut
harus lebih didahulukan daripada arti menurut bahasa. Demikian ketetapan para ahli Ushul
Fiqih. ( Nailul Authar, Asy-Syaukani 2 : 219 )
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla telah menjawab / membahas mengenai hadits Abu
Bakrah, (menurutnya) bahwa hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah / alasan /
argumentasi oleh mereka dalam hal tersebut (yaitu termasuk raka’at asalkan mendapat ruku’)
kerana pada hadits tersebut tidak dinyatakan cukup (terhitung) raka’at. ( Aunul Ma’bud,
Syarah Sunan Abu Dawud 3  : 146 ).
Menurut Asy-Syaukani : Dalam hadits tersebut tidak ada dalil / bukan dalil yang menguatkan
pendapat mereka, kerana sebagaimana (dimaklumi) tidak ada perintah mengulangi (raka’at),
tapi juga tidak menyatakan terhitung raka’at. Adapun Nabi mendoakan kepadanya agar lebih
bersungguh-sungguh, itu tidak berarti terhitung satu raka’at. ( ‘Aunul Ma’bud, 3:146 )
Adapun dalil-dalil pendapat kedua ini, bahwa seorang disebut masbuk apabila tertinggal
bacaan al-Fatihah bukan tertinggal ruku’ adalah:
َ ‫ ِإ ْن َأ ْد َر ْكتَ ْالقَوْ َم رُ ُكوْ عا ً لَ ْم تَ ْعتَ َّد بِتِ ْل‬: ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه َأنَّهُ قا َ َل‬
{‫ عون المعبود‬،‫ { رواه البخاري‬.‫ك ال َّر ْك َع ِة‬
3:147,
Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya ia berkata : “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum sedang
ruku’, maka tidak terhitung raka’at ”. ( H.R Al-Bukhari, Aunul Ma’bud 3 : 147 )
Imam Syaukani berkata: “Telah diketahui sebelumnya bahwa kewajiban membaca Al-
Fatihah itu untuk imam dan makmum pada setiap raka’at. Dan kami telah menjelaskan bahwa
dalil-dalil tersebut sah untuk dijadikan hujjah bahwa membaca Al-Fatihah itu termasuk syarat
sahnya sholat. Maka siapa saja yang mengira bahwa sholat itu sah tanpa membaca al-Fatihah,
ia haruslah menunjukkan keterangan yang mengkhususkan dalil-dalil tersebut.”

ِ َ ‫ ُك ِّل َر ْك َع ٍة بِفاَتِ َح ِة ْال ِكتا‬  {


 ‫{ رواه الترمذي‬ .‫ب‬
Dari Qatadah, bahwa Nabi SAW membaca Fatihatil Kitab pada setiap raka’at ”.  ( H.R  At-
Tirmidzi )
َ‫صالَ ِة َو َعلَ ْي ُك ُم ال َّس ِك ْينَةَ َو ْال ِوقا َ َر َو ال‬
َّ ‫ ِإ َذا َس ِم ْعتُ ُم ْاِإل قا َ َمةَ فَا ْم ُشوْ ا ِإلَى ال‬: ‫ع َْن َأبِ ْي هُ َري َْرةَ ع َِن النَّبِ ِّي صلّى هللا عليه و سلّم قا َ َل‬
167 :2 {‫ فتح الباري‬،‫ { رواه الجماعة‬.‫صلُّوْ ا َو ما َ فاَتَ ُك ْم فََأتِ ُّموْ ا‬ َ َ‫ْر ُعوْ ا فَما َ َأ ْد َر ْكتُ ْم ف‬
ِ ‫تُس‬,  
Dari Abi Hurairah, dari Nabi SAW, ia bersabda : “ Apabila kamu mendengar Iqamah,
pergilah untuk sholat, dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu-buru. Apa yang kamu
dapati (bersama imam) sholatlah, dan apa yang ketinggalan (dari imam), maka
sempurnakanlah ”. ( H.R  Al-Jama’ah, Fathul Bari 2 : 167 )
Menurut Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari : Hadits tersebut
dapat dijadikan dalil / alasan bahwa orang yang mendapatkan imam sedang ruku tidak
dihitung raka’at, kerana ada perintah untuk menyempurnakan  (apa-apa) yang ketinggalan,
sedangkan (dalam hal ini) jelas makmum ketinggalan (tidak ikut berdiri dan membaca
fatihah). (Fathul Bari : 2: 170)
Imam Syaukani berkata : “Dengan ini, jelaslah kelemahan alasan-alasan pendapat Jumhur
Ulama yang menyatakan bahwa siapa yang mendapatkan imam dalam keadaan ruku’,
termasuk raka’at bersamanya (imam) dan dapat dihitung satu raka’at sekalipun tidak
mendapat bacaan (Al-Fatihah) sedikitpun”. ( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 :
147 )
Inilah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, salah seorang mujtahid serta tokoh agama, beliau
berpendapat bahwa yang mendapat ruku’ (bersama-sama dengan imam) tidak dihitung
mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihatul Kitab (dengan sempurna), maka ia mesti
mengulangi lagi raka’at  (yang tidak sempat membaca Al-Fatihah) setelah imam salam. 
( Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abu Dawud 3 : 152 )

C. Yang Harus Dilakukan Saat Masbuk


Dalam kitab al-Mughni disebutkan bahwa hukumnya sunnah bagi siapa yang masbuk untuk
segera mengikuti imam sekalipun ia tidak dihitung mendapat satu rakaat[4]. Sebagaimana
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah
seorang diantara kalian datang untuk shalat (berjamaah) sedangkan kami sudah dalam posisi
sujud, maka hendaklah ia segera ikut sujud, dan itu tidak bisa dihitung mendapat sesuatupun
(rakaat), serta barangsiapa mendapatkan ruku’ (bersama imam), maka ia dihitung mendapat
satu rakaat[5].”
Sayyid Sabiq juga mengatakan bahwa siapa yang hendak shalat dan mendapati imam (ingin
ikut berjamaah), hendaknya ia melakukan takbiratul ihram dalam posisi berdiri dan segera
mengikuti gerakan imam (dalam kondisi apapun) yang sedang imam tersebut kerjakan[6].

Anda mungkin juga menyukai