Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

OBJEK KAJIAN PRAKTEK IBADAH KEMASYARAKATAN

DOSEN PENGAMPU: RATNA DEWI, M.A

DISUSUN OLEH:

SYIKA MAHIRA_2111201

PUTRI LESTARI_2111193

AMAD LEGI_2111200

ARDIAN MAJID KOBAT_2111215

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK BANGKA BELITUNG

TAHUN AJARAN

2022/2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas semua
limpahan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul” Objek Kajian Psikologi Agama “ ini meskipun dengan sederhana. Harapan penulis
semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini bisa disusun dengan baik
atas bantuan dari berbagai pihak . penulis mengucapkan terimaksih kepada Dosen Pengampu
Bapak Muhammad Rofiq Anwar, S.Pd.I, M.Pd yang telah memberikan bimbingan terhadap
pembuatan makalah ini sehingga bisa disusun dengan baik , dan penulis menyadari masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu penulis berharap masukan dan
saran agar penulis dapat memperbaiki di masa yang akan mendatang.

Bangka, 27 September 2022

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kata “tarawih” merupakan bentuk jamak (plural) dari tarwihah, artinya istirahat untuk
menghilangkan kepenatan, berasal dari kata ar-rahah (rehat) yang berarti hilangnya
kesulitan dan keletihan. Kata tarwihah pada mulanya digunakan untuk majelis secara
umum. Kemudian kata itu digunakan untuk menunjukkan majelis yang diadakan
setelah empat rakaat pada malam-malam bulan Ramadhan. Kemudian setiap empat
rakaat itu dinamakan tarawih secara majas. Shalatnya dinamakan shalat tarawih,
karena kaum muslimin dahulu suka memanjangkan shalat mereka, kemudian duduk
beristirahat setelah empat rakaat, setiap dua rakaat ditutup dengan satu salam.

B.    RUMUSAN MASALAH


1.    Sejarah Shalat Tarawih
2.    Berjamaah Atau Sendirian Dalam Sholat Tarawih
3.    Hukum Dan Keutamaan Shalat Tarawih
4.    Pendapat Para Fuqoha
5.    Dalil Tarawih 20 Rakaat

C.    TUJUAN MASALAH


1.    Mengetahui Sejarah Shalat Tarawih
2.    Memahami mana yang lebih utama, Berjamaah Atau Sendirian Dalam Sholat
Tarawih
3.    Mengetahui Hukum Dan Keutamaan Shalat Tarawih
4.    Mencermati Pendapat Para Fuqoha
5.    Mengetahui dan memahami Dalil Tarawih 20 Rakaat

BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH SHALAT TARAWIH


Pada suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
keluar menuju masjid untuk mendirikan shalat malam. Lalu datanglah
beberapa sahabat dan bermakmum di belakang beliau. Ketika Shubuh tiba,
orang-orang berbincang-bincang mengenai hal tersebut.  Pada malam
selanjutnya, jumlah jamaah semakin bertambah daripada sebelumnya.
Demikianlah seterusnya hingga tiga malam berturut-turut.

Pada malam keempat, masjid menjadi sesak dan tak mampu menampung
seluruh jamaah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tak kunjung
keluar dari kamarnya. Hingga fajar menyingsing, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam baru keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Selepas itu beliau
berkhutbah, “Saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya
khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak mampu
melakukannya.”
Akhirnya shalat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-
sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam wafat. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal
kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah,
Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan shalat tersebut berjamaah
dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-
Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-baik bid’ah
adalah ini.”
B. BERJAMAAH ATAU SENDIRIAN DALAM SHOLAT TARAWIH
Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama dalam
melaksanakan shalat tarawih, apakah dilaksanakan secara sendirian
(munfarid) atau berjamaah?
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa disunnahkan shalat
tarawih berjamaah. Ulama Malikiyah juga berpendapat serupa, hanya saja
mereka menganjurkan pelaksanaan shalat  tarawih di rumah secara
berjamaah selama tidak menyebabkan masjid menjadi kosong sama sekali
dan dilakukan dengan semangat di dalam rumah. Adapun para ulama
Syafiiyah, yang menjadi mazhab mereka adalah shalat tarawih secara
berjamaah lebih utama secara mutlak. Imam Nawawi berkata, “Itulah yang
diambil oleh kebanyakan ulama. Adapun Rabiah, Malik, Abu Yusuf dan lain-
lain, mereka mengatakan bahwa sendirian lebih utama.”

Mayoritas ulama berdalil dengan ijma’ sahabat, yaitu bahwa mereka dahulu
berkumpul berjamaah di masjid untuk shalat tarawih pada masa Umar bin
Khatthab tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Hal ini menjadi alasan
terkuat disunnahkannya shalat tarawih secara berjamaah.

Adapun yang berpendapat bahwa shalat sendirian lebih utama, mereka


berdalil dengan hadits Aisyah tentang shalat tarawih Rasulullah SAW, juga
dengan hadits yang berbunyi, “Shalatlah kalian di rumah kalian masing-
masing.” Dikuatkan lagi oleh hadits shahih yang sudah sangat populer yaitu,
“Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang yang dilakukan di dalam
rumahnya, kecuali shalat wajib (fardhu).” (HR. Bukhari dan Muslim). Ash-
Shan’ani juga memilih pendapat kedua ini. Beliau berkata, “Sebaik-baik
perkara adalah apa yang dahulu dilakukan pada masa Nabi SAW.”

Namun, siapa saja yang memperhatikan dalil kedua belah pihak di atas akan
mendapati bahwa shalat tarawih berjamaah di masjid telah ada pada masa
Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi, hal itu kemudian dihentikan karena
khawatir akan diwajibkan. Ini adalah salah satu bukti kasih sayang Nabi SAW
terhadap umatnya, bukan karena berjamaah menyelisihi petunjuk beliau.
Adapun setelah beliau wafat, maka kekhawatiran ini menjadi hilang sehingga
hukumnya kembali kepada asalnya.

Adapun perkataan Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam, “Tidak ada bid’ah


yang terpuji,” ini adalah perkataan keliru yang dimaksudkan untuk
menjatuhkan reputasi Khalifah Umar bin Khatthab, karena kata bid’ah secara
bahasa berarti sesuatu yang baru diadakan tanpa ada contoh sebelumnya,
dengan pengertian ini maka bid’ah ada yang hukumnya wajib seperti
mendokumentasikan ilmu-ilmu pengetahuan dan membantah orang-orang
ateis, atau bisa menjadi sunnah seperti membangun sekolah atau madrasah,
dan bisa juga mubah seperti variasi rumah dan pakaian. Dalam hadits,
“Setiap bid’ah adalah sesat” di sini bid’ah bermakna lawan kata dari sunnah.
Inilah yang sudah pasti tercela dan sesat.

Adapun yang sedang kita bahas di sini, bukanlah termasuk dalam kategori
tercela, bahkan ia terpuji karena ia bersumber dari hadits yang menyatakan
tentang shalat tarawih secara berjamaah. Sedangkan larangan Nabi SAW itu
adalah karena alasan kekhawatiran akan diwajibkannya shalat tarawih,
sehingga setelah beliau wafat, kekhawatiran itu sudah hilang karena tidak
ada wahyu lagi setelah beliau wafat.

Kemudian, hadits “Sebaik-baik shalat seseorang adalah yang dilakukan di


rumahnya”, hadits ini masih bersifat umum dan ia telah dikhususkan oleh
hal-hal lain seperti shalat Idul Fitri dan Idul Adha, shalat istisqa, shalat
gerhana dan lain-lain. Dengan demikian, shalat tarawih keliar dari keumuman
hadits tersebut dan masuk ke dalam kekhususan hadits yang disebutkan
sebelumnya tentang shalat tarawih berjamaah. Apalagi dikuatkan dengan
ijma’ sahabat, sehingga menjadikan shalat tarawih berjamaah menjadi
sunnah yang dianjurkan, sebagaimana mazhab mayoritas ulama.
C. HUKUM DAN KEUTAMAAN SHALAT TARAWIH
Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa shalat tarawih hukumnya sunnah,
bahkan menurut Hanafiyah, Hanabilah dan beberapa Malikiyah hukumnya
sunnah muakkadah (ditekankan). Hukum itu mencakup laki-laki dan
perempuan.
Shalat tarawih termasuk salah satu syiar agama Islam. Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan puasa
Ramadan dan aku menyunnahkan bangun (shalat di malam hari)nya.” Abu
Hurairah berkata, “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
menganjurkan shalat tarawih tanpa memaksa.” Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa bangun pada bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan
rasa harap, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
D. PENDAPAT PARA FUQOHA
Imam Tirmidzi berkata, “Para ahli ilmu berbeda pendapat mengenai Qiyam
Ramadan, sebagian mereka berpendapat bahwa shalat tarawih dilaksanakan
41 rakaat bersama witir, ini adalah perkataan penduduk Madinah, dan yang
diamalkan adalah ini menurut mereka di Madinah. Sedangkan kebanyakan
ahli ilmu mengikuti apa yang diriwayatkan dari Umar, Ali dan sahabat Nabi
SAW lainnya yaitu 20 rakaat, ini adalah pendapat Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak
dan Asy-Syafii. Asy-Syafii berkata: ‘inilah yang saya dapati di negeri kami,
Makkah, mereka melaksanakannya 20 rakaat’. Ahmad berkata: ‘telah
diriwayatkan dalam masalah ini bermacam-macam riwayat’, dan beliau tidak
memutuskan salah satunya. Ishaq berkata: ‘bahkan kami memilih 41
berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Kaab’.”

Berikut ini kutipan pernyataan-pernyataan para ulama mengenai jumlah


rakaat shalat tarawih:
Imam Syafii rahimahullahu ta’ala (w.204H) berkata: “Adapun shalat pada
bulan Ramadhan, maka sholat munfarid (sendirian) lebih aku sukai, dan aku
melihat mereka di Madinah berdiri (shalat) dengan tigapuluh sembilan
rakaat. Yang lebih aku sukai adalah dua puluh (rakaat).”
Beliau juga berkata: “Tidak ada batasan dalam masalah ini, dan tidak ada
pula ketentuan yang harus dipatuhi, karena sesungguhnya ia (tarawih) itu
adalah nafilah (shalat sunnah tambahan). Jika mereka memperpanjang
berdiri dan mempersedikit sujud, maka itu baik dan lebih aku sukai. Namun
jika mereka memperbanyak rukuk dan sujud, maka itu juga baik.”
Ibnu Abdil Barr rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Paling sedikit shalat
tarawih dilaksanakan duabelas rakaat, dua-dua, kemudian witir. Itulah shalat
yang dahulu dilakukan oleh Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan dan
selainnya. Jamaah dari para ulama dan salafus sholih di Madinah menyukai
duapuluh rakaat dan witir. Sebagian lain menyukai tiga puluh enam rakaat
dan witir, dan inilah yang dipilih oleh Malik dalam riwayat Ibnul Qasim
darinya.”
Al-Kamal bin Al-Humam rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Shalat tarawih
duapuluh rakaat adalah termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin. Sabda
Rasulullah SAW: ‘Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin’ adalah anjuran dari beliau untuk mengikuti sunnah
mereka.”
Al-Kasani rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Umar (bin Khattab)
mengumpulkan para sahabat Rasulullah SAW pada bulan Ramadhan dengan
diimami oleh Ubay bin Kaab RA. Mereka shalat sebanyak duapuluh rakaat,
dan tak satu pun yang mengingkari hal itu, sehingga menjadi ijma’ dari
mereka atas hal itu.”
Ad-Dasuqi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Dahulu itulah yang diamalkan
oleh para sahabat dan tabiin.”
Ibn Abidin rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Itulah yang diamalkan oleh
manusia di Timur dan di Barat.”
Ali As-Sanhuri rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Itulah yang diamalkan
manusia dan berlanjut sampai di zaman kita di seluruh negeri.”
Ulama Hanabilah mengatakan: “Ini merupakan hal yang masyhur di kalangan
para sahabat sehingga menjadi ijma’.”
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Pasal:
pendapat yang dipilih oleh Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal)
rahimahullah dalam masalah ini adalah duapuluh rakaat.”
Dalam Asy-Syarh Al-Kabir juga disebutkan: “Pasal: jumlah rakaat shalata
tarawih adalah duapuluh rakaat. Itu adalah pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah
dan Asy-Syafii. Adapun Malik ia berkata: tigapuluh enam.”
Al-‘Adawi rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata: “Sebelas rakaat itu dahulu
adalah permulaan perkara, kemudian berpindah menjadi duapuluh. Oleh
karena itu, Ibnu Habib berkata: ‘Umar kembali kepada duapuluh tiga rakaat’.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullahu ta’ala (w.H) berkata:
“Yang paling baik adalah disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin. Kalau
mereka mampu berdiri lama, maka sepuluh rakaat dan tiga rakaat setelahnya
sebagaimana Nabi SAW melakukan shalat untuk dirinya sendiri, baik di bulan
Ramadan maupun di bulan lainnya, itulah yang paling baik. Kalau mereka tak
mampu, maka duapuluh rakaat itulah yang paling baik. Itulah yang
diamalkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Jumlah itu  merupakan
pertengahan antara sepuluh dengan empat puluh. Kalau dilakukan sebanyak
empat puluh atau selainnya juga boleh tanpa ada larangan. Hal itu telah
dinyatakan oleh lebih dari satu imam, di antaranya adalah Imam Ahmad dan
lain-lain. Beliau berkata: Barangsiapa mengira bahwa shalat tarawih dibatasi
jumlah tertentu dari Nabi SAW yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi,
maka ia telah keliru.

Anda mungkin juga menyukai