DISUSUN OLEH:
SYIKA MAHIRA_2111201
PUTRI LESTARI_2111193
AMAD LEGI_2111200
TAHUN AJARAN
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas semua
limpahan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul” Objek Kajian Psikologi Agama “ ini meskipun dengan sederhana. Harapan penulis
semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini bisa disusun dengan baik
atas bantuan dari berbagai pihak . penulis mengucapkan terimaksih kepada Dosen Pengampu
Bapak Muhammad Rofiq Anwar, S.Pd.I, M.Pd yang telah memberikan bimbingan terhadap
pembuatan makalah ini sehingga bisa disusun dengan baik , dan penulis menyadari masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu penulis berharap masukan dan
saran agar penulis dapat memperbaiki di masa yang akan mendatang.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kata “tarawih” merupakan bentuk jamak (plural) dari tarwihah, artinya istirahat untuk
menghilangkan kepenatan, berasal dari kata ar-rahah (rehat) yang berarti hilangnya
kesulitan dan keletihan. Kata tarwihah pada mulanya digunakan untuk majelis secara
umum. Kemudian kata itu digunakan untuk menunjukkan majelis yang diadakan
setelah empat rakaat pada malam-malam bulan Ramadhan. Kemudian setiap empat
rakaat itu dinamakan tarawih secara majas. Shalatnya dinamakan shalat tarawih,
karena kaum muslimin dahulu suka memanjangkan shalat mereka, kemudian duduk
beristirahat setelah empat rakaat, setiap dua rakaat ditutup dengan satu salam.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada malam keempat, masjid menjadi sesak dan tak mampu menampung
seluruh jamaah. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tak kunjung
keluar dari kamarnya. Hingga fajar menyingsing, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam baru keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Selepas itu beliau
berkhutbah, “Saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya
khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak mampu
melakukannya.”
Akhirnya shalat malam di bulan Ramadhan dilaksanakan secara sendiri-
sendiri. Kondisi seperti itu berlanjut hingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam wafat. Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan awal
kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah,
Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan shalat tersebut berjamaah
dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Kaab dan Tamim Ad-
Dariy sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, “Sebaik-baik bid’ah
adalah ini.”
B. BERJAMAAH ATAU SENDIRIAN DALAM SHOLAT TARAWIH
Para ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama dalam
melaksanakan shalat tarawih, apakah dilaksanakan secara sendirian
(munfarid) atau berjamaah?
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa disunnahkan shalat
tarawih berjamaah. Ulama Malikiyah juga berpendapat serupa, hanya saja
mereka menganjurkan pelaksanaan shalat tarawih di rumah secara
berjamaah selama tidak menyebabkan masjid menjadi kosong sama sekali
dan dilakukan dengan semangat di dalam rumah. Adapun para ulama
Syafiiyah, yang menjadi mazhab mereka adalah shalat tarawih secara
berjamaah lebih utama secara mutlak. Imam Nawawi berkata, “Itulah yang
diambil oleh kebanyakan ulama. Adapun Rabiah, Malik, Abu Yusuf dan lain-
lain, mereka mengatakan bahwa sendirian lebih utama.”
Mayoritas ulama berdalil dengan ijma’ sahabat, yaitu bahwa mereka dahulu
berkumpul berjamaah di masjid untuk shalat tarawih pada masa Umar bin
Khatthab tanpa ada pengingkaran dari seorang pun. Hal ini menjadi alasan
terkuat disunnahkannya shalat tarawih secara berjamaah.
Namun, siapa saja yang memperhatikan dalil kedua belah pihak di atas akan
mendapati bahwa shalat tarawih berjamaah di masjid telah ada pada masa
Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi, hal itu kemudian dihentikan karena
khawatir akan diwajibkan. Ini adalah salah satu bukti kasih sayang Nabi SAW
terhadap umatnya, bukan karena berjamaah menyelisihi petunjuk beliau.
Adapun setelah beliau wafat, maka kekhawatiran ini menjadi hilang sehingga
hukumnya kembali kepada asalnya.
Adapun yang sedang kita bahas di sini, bukanlah termasuk dalam kategori
tercela, bahkan ia terpuji karena ia bersumber dari hadits yang menyatakan
tentang shalat tarawih secara berjamaah. Sedangkan larangan Nabi SAW itu
adalah karena alasan kekhawatiran akan diwajibkannya shalat tarawih,
sehingga setelah beliau wafat, kekhawatiran itu sudah hilang karena tidak
ada wahyu lagi setelah beliau wafat.