Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur, penulis persembahkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Oleh

karena itu, penulis berhasil menyusun Makalah “Sholat Wanita”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

demi perbaikan Makalah ini. Harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat

bagi pembaca.

Muaradua, April 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
A. Shalat berjamaah bagi wanita...............................................................4
B. Posisi Imam Wanita..............................................................................6
C. Mengeraskan suara dalam shalat jahriyyah..........................................8
D. Dimana Sebaiknya Kaum Wanita Shalat..............................................10
E. Shaf makmum yang paling baik...........................................................11
BAB III PENUTUP.........................................................................................13
A. Kesimpulan..........................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

Islam adalah sebuah agama yang diturunkan di jazirah arab pada abad ke
7, dan penyebar agama ini adalah Nabi Muhammad SAW, islam merupakan salah
satu agama samawi yang di turunkan oleh Allah SWT kepada utusan-NYA
melalui malaikat Jibril, dan islam merupakan agama satu satunya yang diridhoi
oleh Allah SWT sebagai mana Allah menyebutkan dalam firmannya dalam surat
Ali-Imron ayat 19 Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah
hanyalah Islam.
Seperti halnya agama samawi yang lain islam juga memiliki tuntunan
hidup bagi pemeluknya yaitu kitab suci Al-Qura’an yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui pelantara malaikat Jibril yang diturunkan dalam 2
tahap ayaitu, pertama diturunkan secara sekaligus atau secara keseluruhan dari
dari sidrotul muntaha’ ke baitul izzah pada tanggal 17 Ramadhan, dan yang kedua
secara berangsur angsur dari sidrotul muntaha’ kepada Nabi Muhammad SAW,
ayat yang paling pertama kali diturunkan kepada Rosululloh adalah surat Al-Alaq
ayat 1-5. (lihat kitab attibyan fi ulumil qur’an karya muh,asshobani).
Islam merupakan agama tauhid dan inti ajaran nya pun adalah ketauhidan.
Agama islam dibangun dari 5 unsur yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan
ibadah haji, sebagai mana yang terdapat dalam sabda Rosululloh.
Salah satu unsur terpenting dari agam islam adalah shalat, umat islam
sangatlah diwajibkan untuk selalu melaksanakan shalat dan apabila meninggalkan
maka akan mendapatkan dosa, dan shalat adalah unsur pertama yang akan
ditanyakan pada yaumul hisab nanti, saking pentingnya yang namanya shalat
Rosul bersabda dalam haditsnya bahwa shalat itu adalah tiangnya agama,
layaknya sebuah bangunan apabila pondasi tidak kuat maka bangunan itu pun
tidak akan kuat samakin lama akan semakin keropos begitu pun dengan pun islam
pondasi agama islam adalah shalat jika shalatnya seorang hamba itu lemah maka
kualitas agamanya pun lemah dan semakin lama akan menghilang, tapi yang

3
menjadi permasalahan disini adalah begitu banyaknya perbedaan ikhtilaf dalam
masalah pelaksanaan shalat, dan sangat pula kajinnya tentang masalah shalat, baik
itu shalat wajib yang 5 waktu, shalat tathowu, ataupun shalat nafilah. Salah
satunya kajian tentang aturan-aturan fiqh yang berkaitan dengan perempuan ketika
bersama- sama kaum lelaki. Misalnya dalam masalah shalat berjama’ah di masjid
bagi perempuan atau tidak wajibnya perempuan shalat Jum’at.
Terdapat banyak hadis Nabi SAW dengan kualitas shahih atau hasan yang
memandang shalat perempuan lebih baik dilakukan di rumahnya daripada shalat
berjama’ah dengan kaum laki-laki di masjid, antara lain :
“Seorang perempuan datang kepada Nabi SAW, lalu berkaata : “Aku
ingin shalat bersamamu.” Nabi menjawab : “Aku tahu kamu senang bisa shalat
bersamaku, tetapi shalatmu di rumahmu (bait) lebih baik dari shalatmu di
kamarmu, dan shalat di kamar lebih baik daripada shalat di rumahmu (daar), dan
shalatmu dirumahmu lebih banyak daripada shalat di masjidku” (Hadis riwayat
Ahmad, Ibnu Hizaimah, Ibnu Hibban. Al Haitsami mengatakan bahwa para
perawi hadis ini terpercaya (tsiqoh)
Shalat berjama’ah di masjid itu hanya di wajibkan untuk laki-laki dengan
perolehan pahala sebanyak 27 kali lipat dibandingkan dengan shalat sendiri. Jadi,
shalat bagi wanita Muslimah itu lebih baik di kerjakan di rumah daripada di
masjid. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah :
‫َص اَل ُة اْلَم ْر َأِة ِفي َبيِتَها َأْفَض ُل ِم ْن َص اَل ِتَها ِفي الَم ْس ِج د‬

“Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di


masjid” (HR. Abu Dawud dan Al –Hakim)

Namun demikian, hendaknya wanita Muslimah shalat berjamaah di masjid


apabila tidak ada sesuatu yang dikhawatirkannya (menimbulkan fitnah).

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits yang menjelaskan dengan


jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang pergi ke masjid. Akan tetapi dengan
syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama yang diambil dari hadits-
hadits untuk menjauhkan dari fitnah yaitu:

1. Tidak memakai wangi-wangian,

4
2. Tidak tabarruj, Tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya,
3. Tidak memakai baju yang mewah,
4. Tidak berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya
dapat menimbulkan fitnah,
Akan tetapi, ada sebuah pertanyaan lalu bagaimana dengan ketentuan
shalat berjamaah khusuh bagi kaum hawa? Dimana letak imamnya? Bagaimana
aturan shafnya? Dan yang membahas dalam kajian tersebut masih sedikit
pembahasannya dan kaum hawa pun tidak mengetahui bagaimana ketentuan
shalat berjamaah bagi wanitu. Oleh karena itu, penulis disini ingin sedikit
membahas tentang bagaimana ketentuan shalat berjamaah bagi wanita.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Shalat berjamaah bagi wanita


Kaum wanita disunnahkan mengadakan jamaah sendiri dengan imam yang
paling aqra’ di antara mereka. Masalah ini tidak ada khilaf di dalamnya. Setiap
shalat Fardhu ataupun Nafilah yang mana kaum laki-laki diperintahkan agar
mengadakan jama’ah, maka bagi wanita disyari’atkan pula. Seperti ini adalah
pendapat Ibnu Mundzir dari A’isyah, Ummu Salamah, Hammah, ‘Atha’, ats-
Tsauri, al-‘Auza’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan tiada seorangpun dari sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam yang menyelisihiya.
Jamaah kaum wanita di rumah adalah lebih utama daripada kehadiran mereka
di masjid bersama kaum laki-laki. Hal ini selama tidak ada unsur larangannya dan
bahaya di dalamnya. Karena inilah jika ada sekelompok wanita yang tinggal di
rumah, sekolah, universitas ataupun rumah-rumah kontrakan maka disunnahkan
bagi mereka untuk melaksanakan jama’ah shalat.
Kebolehan wanita melaksanakan shalat berjamaan juga berdasarkan
keumuman hadits yang menceritakan keutamaan shalat jama’ah. Dan asalnya,
wanita memiliki hukum yang sama dengan laki-laki sampai ada dalil yang
membedakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‫إنما النساء شقائق الرجال‬
“Wanita adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Maksudnya adalah shalat
jama’ah bersama wanita tetap dibolehkan sebagaimana pria berjama’ah dengan
sesama pria.

Hal ini juga pernah dilakukan oleh beberapa sahabat wanita seperti Ummu
Salamah dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik,
509).

Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:

6
‫أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صالة مكتوبة‬
“’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan
mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur Rozak, Ad Daruquthniy,
Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan oleh Syaikh Al Albani, namun
dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh.
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh
binti Husain, dia mengatakan:
‫أمتنا أم سلمة في صالة العصر قامت بيننا‬
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan
beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi Syaibah, Al
Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah
dari Ummul Hasan)
Ummul Hasan juga pernah melihat Ummu Salamah –istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam- mengimami para wanita (dan Ummu Salamah berdiri) di shaf
mereka. (Atsar ini adalah atsar yang bisa diamalkan sebagaimana kata Syaikh Al
Albani.
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama’ah bagi wanita dengan
sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab “Wanita
sebagai imam”,
.‫ َيُز وُرَها ِفى َبْيِتَها َو َجَعَل َلَها ُم َؤ ِّذ ًنا ُيَؤ ِّذ ُن َلَها َو َأَم َر َها َأْن َتُؤ َّم َأْهَل َداِرَها‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا‬
‫َقاَل َع ْبُد الَّرْح َمِن َفَأَنا َر َأْيُت ُم َؤ ِّذ َنَها َشْيًخ ا َك ِبيًرا‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waroqoh
di rumahnya. Dan beliau memerintahkan seseorang untuk adzan. Lalu beliau
memerintah Ummu Waroqoh untuk mengimami para wanita di rumah tersebut.”
‘Abdurrahman (bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan
tersebut adalah seorang pria tua.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini hasan) ia adalah wanita yang sudah hafal al-Qur’an.
Dr. Shalih bin Ghanim as-Sadlan berkata,” Beberapa hadits dan atsar di
atas adalah saksi nyata atas bolehnya kaum wanita mengadakan shalat jama’ah
sendiri, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Daud adz-

7
Dzahiri dan para pengikutnya. Barangsiapa yang menentang pendapat ini dengan
pendapat lain, maka perkataannya tertolak. Tiada dalil shahih yang menopangnya
dan sangat bertolak belakang dengan sunnah shahihah lagi muhkamah yang jelas
membolehkan kaum wanita megadakan jama’ah sendiri, apalagi telah jelas dalil
umum yang menyatakan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:
‫َص َالُة اْلَج َم اَع ِة َأْفَض ُل ِم ْن َص َالِة اْلَفِّذ ِبَس ْبٍع َو ِع ْش ِرْيَن َد َر َج ًة‬
Artinya,“ Shalat jama’ah lebih utama daripada shalat sendiri dengan 27
derajat.”
Kiranya dalil ini cukup sebagai bantahan bagi mereka. Bagaimana
mungkin mereka menyelisihinya, padahal hadits-hadits dan atsar yang shahih
jalas-jelas telah mensyari’atkannya.

Maka dari semua hadits dan pendapat yang ada kami berkesimpulan
bahwa disunnahkan wanita untuk melakukan shalat jama’ah sesama wanita karena
kami memandang sabda Rosul yang menyebutkan bahwa shalat berjama’ah itu
lebih utama dibandingkan dengan shalat sendirian dengan mendapat 27 derajat
pahala, itu umum berlaku untuk wanita dan laki-laki sebagaimana sabda Rosul
juga yang telah disebutkan diatas bahwa wanita itu bagian dari laki-laki.

B. Posisi Imam Wanita


Berbeda dengan laki laki apabila ia menjadi imam maka ia berdiri didepan,
Seorang wanita, apabila hendak menjadi imam sesama kaum wanita maka baginya
untuk berdiri di tengah-tengah shaff. Hal ini sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh ummahatul mukminin.
Berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Atha’ :
‫ َو َك ٰذ ِلَك ُر ِو َي َع ِن الَّنْخ ِفِّي َأَّن َعاِئَشَة َر ِض َي ُهللا‬. ‫ َو َتُقْو ُم َم َع ُهَّن ِفى الَّصِّف‬. ‫ َكاَنْت َعاِئَش ُة َتُؤ ُّم الِّنَس اَء‬: ‫َقاَل َع َطاُء‬
‫ َأَّم َتَنا ُأُّم َس َلَم َة َز ْو َج ُة الَّنِبِّي ِفى َص َالِة‬: ‫ َو َقاَلْت ُح ِج ْيَر َة‬.‫ َفَتُقْو ُم َو َس ًطا‬. ‫َع ْنَها َكاَنْت َتُؤ ُّم الِّنَس اَء ِفى َشْهِر َر َم َض اَن‬
‫ الجزء األول‬،‫ (يسئلونك في الدين والحياة‬.‫اْلَع ْص ـِر َفَقاَم ْت َبْيَنَنا‬
“Berkata Atha’ : Aisyah (istri Nabi) mengimami perempuan dan dia berdiri
bersama mereka dalam shaf. Dan demikian pula diriwayatkan dari An-Nakhfy :
Sesungguhnya Aisyah mengimami perempuan pada bulan Ramadhan, maka dia

8
berdiri di tengah-tengah. Dan berkata Hujirah : Kami diimami oleh Ummi
Salamah (istri Nabi) pada shalat Ashar, maka dia berdiri di antara kami”.
Dan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhuma, “dia
menyuruh budak perempuannya agar mengimami keluarganya yang wanita di
beberapa malam bulan Ramadhan” HR al-Baihaqi.
Dari beberapa hadits tersebut dapat kita simpulkan bahwa posisi imam
wanita adalah ditengah sebagaimana hadits dari aisyah tadi. Imam Ibnu Ishaq
Rahimahullah berkata, ”Menurut sunnah, imam seorang wanita adalah di tengah.
Hal ini adalah sebagaiman yang dilakukan oleh ibunda ‘Aisyah dan Ummu
Salamah Radiyallahu 'anhuma, bahwa keduanya mengimami dan berdiri di
tengah.” Akan tetapi ada beberapa syarat ketika sesorang menjadi seorang imam,
sedikitnya ada 5 syarat :
1. Yang paling mengetahui agama
2. Aqra’
3. Menjauhi perbuatan syubhat
4. Yang lebih tua umurnya
5. Berakhlak baik.

Hal ini disandarkan pada sabda Rosululloh SAW

‫ ُثَّم َأْو َر َعُهْم َأْي َأْكَثُر ُهْم‬،‫ ُثَّم َأْح َس ُنُهْم ِقَر اَءِة ِلِكَتاِب ِهللا َع َّز َو َج َّل‬، ‫ِإَّن اَألَح َّق ِباِإل َم اَم ِة ُهَو َأْعَلُم اْلَقْو َم ِبْاَألْح َك اِم‬
40)٤٥ ،‫ الجزء الثانى‬،‫ (يسئلونك في الدين والحياة‬. .‫ ُثَّم َأْح َس ُنُهْم َأْخ َالًقا‬،‫ ُثَّم َأْك َبُر ُهْم َس ًنا‬،‫ِاْج ِتَناًبا ِللُّش ُبَهـات‬.

“Sesungguhnya yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling
mengetahui/ menegakkan hukum agama, kemudian yang paling baik bacaannya
terhadap kitab Allah, kemudian yang paling menjauhi perbuatan syubhat,
kemudian yang lebih tua umurnya, kemudian orang yang paling baik akhlaknya”.
Akan tetapi apabila seorang yang memenuhi kelima syarat tersebut tidak
ada maka pilihlah yang paling aqra’ diantara wanita.
Akan tetapi, pada dewasa ini muncul sebuah pertanyaan Bolehkah Seorang
Wanita Menjadi Imam Bagi Laki-laki? Abu Ishaq berkata,” Seorang laki-laki
tidak diperbolehkan untuk shalat di belakang seorang wanita. Hal ini sebagaiman

9
yang pernah dikatakan oleh sahabat Jabir Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkhutbah seraya bersabda:
‫َالُتَؤ ِّم ُن اْلَم ْر َأُة َر ُج ًال‬
Artinya,” Janganlah seorang wanita itu mengimami laki-laki.”

Seorang laki-laki jika shalat di balakang wanita dan tidak mengetahui


kalau yang menjadi imam adalah wanita--maka dia harus mengulangi shalatnya.
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Hadits dari Jabir Radhiyallahu
'anhu yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah dan al-Baihaqi adalah lemah
sanadnya. Sahabat kami telah sepakat, bahwa seorang laki-laki--baik sudah
baligh ataupun masih bayi--adalah tidak boleh untuk shalat di belakang wanita.
Larangan ini adalah berlaku umum, baik shalat Fardhu, Tarawih maupun seluruh
shalat Nafilah. Ini adalah madzhab kami, jumhur ulama salaf ataupun khalaf.
Demikian juga Fuqaha yang tujuh, Fuqaha Madinah yaitu Tabi’in dan imam
Malik, Abu hanifah, Sufyan, Ahmad dan Daud.”
Imam Abu Tsaur, al-Mazini dan Ibnu Jarir berkata,” Kaum laki-laki sah
saja shalat di belakang wanita.” Batallah shalat seorang laki-laki, yang shalat di
belakang wanita. Adapun shalat wanita tersebut beserta kaum wanita yang di
belakangnya adalah sah--dalam seluruh shalat, selain shalat Jum’ah.

C. Mengeraskan suara dalam shalat jahriyyah


Apabila seorang wanita menjadi imam untuk wanita lain dalam shalat
jahriyyah maka dia mengeraskan bacaannya karena hal ini merupakan tata cara
sholat jahriyyah, selagi di sana tidak ada laki-laki asing yang bukan mahramnya.
Ketika terdapat laki-laki bukan mahram di sekitarnya maka dia tidak boleh
mengeraskan bacaannya. Demikianlah yang menjadi pendapat ulama madzhab
syafi’i dan hambali. Adapun ulama madzhab maliki mereka berpendapat bahwa
imam wanita tidak mengeraskan bacaannya karena dapat menimbulkan fitnah.
Pendapat ini juga merupakan dzahir dari pendapat ulama hanafiyyah. Namun
berbeda dengan Muhammadiyah, Muhammadiyah memandang boleh seorang
wanita mengeraskan suara dalam shalat yang bersifat jahriyyah meskipun

10
disekitarnya terdapat lelaki, karena Muhammadiyah berpandangan bahwa suara
wanita bukanlah aurat karena hadits yang menerangkan bahwa suara wanita itu
adalah aurat itu bukanlah hadits shahih, sebagian berpendapat hadits ini dhaif
(lemah) dan sebagian yang lain bahkan mengatakannya sebagai hadits maudu`
(palsu). Dan juga berdasarkan hadits

‫ َج اَء الَّنِبُّي‬: ‫ َقاَلِت الُّر َبِّي ُع ِبْنُت ُم َّع ِّوِذ ْبِن َع ْف َر اَء‬: ‫َح َّد َثَنا ُمَس َّدٌد َح َّد َثَنا ِبْش ُر ْبُن اْلُم َفَّض ِل َح َّد َثَنا َخ اِلُد ْبُن َذْك َو ان َقاَل‬
‫ َفَجَع َلْت ُج َو ْيِر َي اٌت َلَن ا َيْض ِرْبَن‬،‫َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَد َخ َل ِح يَن ُبِنَي َعلّي َفَج لَس َع َلى ِفراِش ي َك َم ْج ِلِس َك ِم ِّني‬
‫ َدَعي َه ِذِه َو َق ْو ِلي‬: ‫ َفَق اَل‬، ‫ َوِفيَنا َنِبٌّي َيْع َلُم َم ا ِفي َغ ِد‬: ‫ ِإْذ َقاَلْت ِإْح َداُهَّن‬،‫بالُدِّف َو َيْنُدْبَن َم ْن ُقِتَل ِم ْن آَباِئي َيْو َم َبْد ٍر‬
]‫ [رواه البخارى‬. ‫ِباَّلِذ ِي ُكْنِت َتُقوِليَن‬

Artinya: “Menceritakan pada kami Musaddad (dari) Bisyr bin Mufadhal (dari)
Khalid bin Dzakwan: Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ berkata: Nabi saw
datang (menghadiri pesta nikah) lalu duduk (di tempat yang sama ketika) aku
(dulu) menikah (sehingga) aku dan Nabi saling berhadapan. (Lalu) beberapa
wanita membawakan nyanyian disertai iringan tambor untuk mengenang
keluarganya yang mati syahid di Badar. Salah seorang wanita (penyanyi)
tersebut mengatakan bahwa (di depan mereka) ada Rasul yang mengetahui apa
yang terjadi hari esok. Rasul bersabda: Jauhi meramal dan teruslah bernyanyi.”
[HR. al-Bukhari]
Dalam hadits itu menunjukan bahwa seorang wanita dibolehkan untuk
bernyanyi sepanjang tidak menunjukan auratnya dan juga kita bisa mengambil
dalil dengan ibbarotunnas bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
Begitu pula dalam permasalahan adzan bagi kaum wanita, apakah boleh
wanita mengumandangkan adzan, mayoritas ulama dari madzhab hanafi, maliki,
syafi’i dan hambali berpendapat bahwa hal tersebut adalah perkara yang tidak
disyari’atkan. Karena adzan dikumandangkan untuk tujuan memanggil orang-
orang agar berjama’ah (yaitu para laki-laki). Sementara wanita tidak diwajibkan
shalat jamaah di masjid.
Akan tetapi dalam madzhab syafi’iyyah, ada yang berpendapat dianjurkan
adzan bagi wanita. Imam An Nawawi berkata dalam kitab beliau: “Oleh karena itu

11
maka kita katakan bahwa wanita boleh adzan akan tetapi dia tidak boleh
mengangkat suaranya di atas suara yang dapat didengar oleh para wanita”.
Hal ini disepakati oleh ulama syafi’i dan ditegaskan dalam kitab Al Umm.
Jika mengangkat suara lebih dari itu, maka hukumnya haram sebagaimana
terlarangnya membuka wajah di hadapan laki-laki asing. Karena sesungguhnya
wanita dapat menimbulkan fitnah bagi laki-laki melalui suaranya, sebagaimana
dia menjadi fitnah dengan wajahnya.
Dari semua pendapat diatas penulis disini lebih memilih bahwasanya
mengumandangkan adzan bagi kaum wanita itu tidak disyari’atkan dengan
memandang agar untuk berhati-hati dikarenakan takut akan terjadi sebuah fitnah.

D. Dimana Sebaiknya Kaum Wanita Shalat


Seorang wanita diperbolehkan untuk menghadiri shalat jamaah bersama
kaum laki-laki di masjid. Meskipun demikian, rumah mereka tetap yang lebih
baik bagi mereka untuk melaksanakan shalat. Sebagaiman yang terdapat dalam
hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam berikut:
Ummu Salamah meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam,
beliau bersabda:
‫َخْيُر َم َس اِج ِد الِّنَس اِء َقْعُر ُبُيْو ِتِهَّن‬
”Artinya,“ Sebaik-baik masjid bagi kaum wanita adalah kamar dalam rumahnya
Imam Abu Daud dan yang lainnya meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin
Umar Radiyallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda:

‫َص َالُة اْلَم ْر َأِة ِفي َبْيِتَها َأْفَض ُل ِم ْن َص َالِتَها ِفي ُحْج َرِتَها َو َص َالُتَها ِفي َم ْخ َد ِع َها َأْفَض ُل ِم ْن َص َالِتَها ِفي َبْيِتَها‬

Artinya,” Shalatnya seorang wanita di dalam kamarnya adalah lebih baik


daripada shalatanya di bagian dalam rumahnya adalah lebih baik daripada
shalatnya di dalam rumahnya.”
Syaikh asy-Syanqithi berkata,” Ketahuilah, bahwa shalatnya kaum wanita
di rumahnya adalah lebih utama daripada shalat mereka di masjid, meskipun itu

12
masjid Nabawi. Adapun yang dimaksudkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
Wasallam:

‫َص َالٌة ِفي َم ْس ِج ِد ي َهَذ ا َخْيٌر ِم ْن َأْلِف َص َالٍة ِفْيَم ا ِسَو اُه ِإَّال اْلَم ْس ِج َد اْلَحَر اَم‬
Artinya,“ Shalat di masjidku ini adalah seribu kali lebih baik daripada shalat di
selainnya, kecuali di Masjidil Haram.” khusus bagi kaum laki-laki, sementara
bagi wanita maka shalat di rumah adalah lebih baik daripada shalat berjamaah di
masjid.”

E. Shaf makmum yang paling baik


Shaff terdepan adalah shaff yang paling bagi kaum laki-laki dan terjelek
bagi kaum wanita. Sebaliknya, shaff terbelakang adalah yang terjelek bagi kaum
laki-laki dan terbaik bagi kaum wanita. Hal tersebut adalah keumuman maksud
dari hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam. Namun bagaimanakah
sebenarnya maksud dari hadits tersebut, apakah jika jamaahnya kaum laki-laki
bersama dengan kaum wanita berlaku hukumnya seperti itu ?. Dan bagaiman jika
jamaah tersebut hanya kaum wanita saja ?.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu
'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah bersabda:
‫َخْيُر ُص ُفْو ِف الِّر َج اِل َأَّو ُلَها َو َش ُّر َها آِخ ُرَها َو َخْيُر ُص ُفْو ِف الِّنَس اِء آِخ ُرَها َو َش ُّر َها َأَّو ُلَها‬
Artinya,” Sebaik-baik shaff kaum laki-laki adalah yang paling awal dan sejelek-
jeleknya adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaff kaum wanita adalah yang
paling akhir dan sejelek-jelaknya adalah yang paling awal.” HR Muslim.
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata,” Shaff bagi laki-laki yang
terbaik--secara umum-- adalah yang paling awal, selamanya. Sedangkan yang
paling jelek adalah yang paling akhir, selamanya. Adapun bagi wanita, maka
maksud dari hadits adalah shaff kaum wanita yang mengikuti shalatnya kaum
laki-laki. Sementara kalau mereka shalat sendiri (sesama kaum wanita), maka
sebagaiman kaum laki-laki, yaitu sebaik-baik shaff mereka adalah yang paling
awal dan sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir. Ketahuilah, bahwa shaff awal
yang terpuji--sebagaimana tersebut dalam hadits--dan yang utama serta dianjurkan

13
untuk dijaga adalah shaff setelah imam. Sama halnya, baik orang tersebut datang
dahulu atau datang terakhir.”
Dengan demikian, penulis disini berkesimpulan jika wanita melakukan
shalat jama’ah dengan kaum laki laki maka shaff yang paling baik/utama adalah
shaff yang paling belakang, akan tetapi ketika wanita melakukan shalat jama’ah
dengan sesama wanita maka sahaff yang paling baik adalah yang paling depan
sebagaimana laki laki, karena berdasarkan sabda Rosululloh
‫إنما النساء شقائق الرجال‬
“Wanita adalah bagian dari pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kaum wanita disunnahkan mengadakan jamaah sendiri dengan imam
yang paling aqra’ di antara mereka
2. Seorang wanita yang menjadi imam, maka ia berdiri tengah-tengah shaff,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Shahabiyah.
3. Seorang wanita yang menjadi imam, ia boleh mengeraskan
suaranyadalam shalat Jahriyah.
4. Seorang wanita tidak diperkenankan mengimami kaum laki-laki.
5. Shaff kaum wanita paling depan adalah yang paling jelek, sedang paling
belakang adalah paling baik. Ini adalah apabila mereka berjamaah
bersama kaum laki-laki.
6. Apabila mereka (kaum wanita), berjamaah sesama kaum wanita, maka
hukumnya adalah sebagaimana shaff laki-laki, yaitu paling utama adalah
shaff yang paling depan dan yang paling jelek adalah shaff yang paling
belakang.

Demikianlah sedikit pembahasan mengenai “hukum shalat jamaah bagi


kaum wanita” yang dapat kami tulis dalam makalah ini. Semoga bisa
menambahkan pengetahuan bagi penulis terutama dan bagi semua pembaca
umumnya. Atas segala masukan dan saran pembaca, sangat penulis harapkan.
Akhir dakwah kami, segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan
shalawat serta salam atas Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

15

Anda mungkin juga menyukai