Anda di halaman 1dari 6

SUMBER 1 : CARIUSTADZ.

ID

Ibadah haji diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu dalam hal
materi, fisik, dan mental. Tidak ada perbedaan kewajiban antara laki-
laki dan perempuan. Akan tetapi, perempuan sebagai makhluk yang
secara biologis menghadapi siklus menstruasi dan sebagainya, bisa
dibilang menjadi lebih berat.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seperti bagaimana ketika


sedang melaksanakan rukun haji, tiba-tiba keluar haid? Apakah
seorang istri wajib mendapatkan izin dari suami untuk melaksanakan
ibadah haji? Dan sebagainya. Artikel ini akan mengulas setidaknya
dua pertanyaan tersebut.

Sebelum menguraikan jawaban atas pertanyaan di atas, perlu


disampaikan bahwa Nabi Muhammad saw sangat mengapresiasi
perempuan yang melaksanakan ibadah haji. Bahkan pahala haji bagi
perempuan setara dengan berjihad. Hal ini sebagaimana tertera
dalam sebuah riwayat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Majjah dari Aisyah RA, berikut:

‫ يا رسول هللا! نرى الجهاد أفضل األعمال أفال نجاهد؟! قال عليه الصالة‬:‫قال الرسول ﷺ لما قالت عائشة‬
‫ع‬
‫ عليكنن جهاد ال قتال فيه الحج وال مرة‬:‫والسلام‬

“Rasul saw bersabda ketika ‘Aisyah RA bertanya, Wahai Rasulullah,


kami telah melihat bahwa jihad itu adalah pekerjaan yang paling
mulia, maka apakah kami tidak ikut untuk berjihad (dalam artian ikut
perang)? Lalu Rasulullah pun menjawab, “Kalian memiliki jihadnya
sendiri yang tidak ada peperangan di dalamnya, yaitu haji dan
umrah.”

Jika dilihat dari konteks historis, haji dan umrahnya perempuan


dihitung sama dengan pahala jihad dalam artian perang karena pada
saat itu untuk berangkat haji dan umrah perempuan harus
melakukan persiapan berlipat-lipat dibanding laki-laki. Mereka
memiliki tanggung jawab mengatur bekal perjalanan dari Madinah
ke Makkah. Belum lagi urusan keluarga yang ditinggal yang harus
juga diberikan perbekalan yang cukup mulai saat berangkat hingga
kembali lagi.

Kembali pada dua pertanyaan yang diajukan di awal. Pertama,


bagaimana perempuan yang sedang berhaji, keluar darah haid?
Dalam menjawab ini Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi dalam salah satu
kitabnya, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah mengatakan para perempuan
jika mengalami haid pada saat melakukan rukunnya haji atau
bahkan sebelumnya, maka hendaknya segera mengambil tindakan
supaya darah haidnya tidak mengalir. Setelah itu baru melangkah
menuju Baitul Haram dan melaksanakan tawaf. Hanya saja setelah
itu harus membayar dam dengan hewan kurban (budnah) atau jika
tidak mampu cukup menggantinya dengan puasa.

Kedua, terkait dengan izin dari suami untuk melaksanakan


ibadah haji. Masih menurut Syakh Mutawalli al-Sya’rawi dalam kitab
yang sama, meminta izin kepada suami bagi perempuan yang
hendak melaksanakan haji itu sifatnya hanya dianjurkan (mustahab).
Jika tidak diizinkan pun boleh keluar karena haji adalah ibadah wajib.
Posisinya seperti melaksanakan shalat yang tidak ada hak bagi
siapapun melarangnya termasuk larangan suami kepada istri. Dan
ibadah wajib itu harus dilakukan bagi siapapun, serta tidak ada
alasan apapun untuk patuh atas maksiat terhadap Tuhannya.

Demikian ulasan singkat mengenai fikih perempuan yang berkaitan


dengan ibadah haji. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
SUMBER 2 : UIN TULUNGAGUNG

Tak kalah serunya, pembahasan fikih perempuan pada hari ke-2,


yakni Selasa, 19 April 2022, berhasil menggeliatkan acara sertifikasi
pembimbing Manasik Haji Tahun 2022, yang diselenggarakan oleh
Kantor Wilayah Kementeriann Agama Provinsi Jawa Timur
bekerjasama dengan UIN Satu Tulunagung. Penyampaian materi
Fikih Perempuan memperoleh sambutan yang antusias dari para
peserta. Pembahasan materi disusun dengan apik dan rapi, diselingi
dengan diskusi dan tanya jawab antar kelompok. Hadir sebagai
narasumber, yakni Ibu Hj. Ainun Naimah, S.H.I., M.Pd. Beliau adalah
Dosen Tetap pada STIT UW Jombang. Hadir sebagai Moderator pada
sesi pukul 13.00 s.d 15.30 WIB, yakni Ustadz Rohmat, S.Hum., M.Pd
yang menjabat sebagai Koorprodi Manajemen Dakwah UIN Satu
Tulungagung.

Menurut Narasumber bahwa perempuan menempati urutan


tertingggi dalam jumlah porsi jamaah haji Indonesia. Hingga saat ini,
perempuan masih dominan sebagai jamaah dalam proses
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Berdasarkan statistik yang
diterbitkan oleh kementerian agama, sejak tahun 2020 hingga saat
ini tercatat sekitar 53 % jamaah haji Indonesia pada setiap tahunnya
adalah perempuan.
Naimah berpendapat bahwa perempuan memiliki istithiah
(kemampuan) dalam melaksanakan haji, yakni perempuan boleh
dibayarkan oleh suami. Maka boleh, jika sang istri mampu
membayar biaya haji dari uang suami. Sebagaimana Firmah Allah
Swt:

‫ۗ َالِّر َج اُل َقَّو اُم ْو َن َع َلى الِّنَس ۤا ِء ِبَم ا َفَّض َل ُهّٰللا َبْع َض ُهْم َع ٰل ى َبْع ٍض َّو ِبَم ٓا َاْنَفُقْو ا ِم ْن َاْم َو اِلِهْم‬
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan
nafkah dari hartanya”. (QS. An-Nisa’ : 34)

Juga Firman Allah Swt:

… ‫… ۗ َو ِهّٰلِل َع َلى الَّناِس ِح ُّج اْلَبْيِت َمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْياًل‬


“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang
mampu mengadakan perjalanan ke sana”. (QS. Ali Imron : 97)

Sedangkan Dimensi-dimensi Fikih Perempuan dalam Madzhab Ahlus


Sunah Wal Jamaah antara lain:

1.Imam Hanafi : Perjalanan yang lebih dari 3 hari harus Bersama


mahrom

2.Imam Hanbali : Tidak wajib haji bagi wanita yang tidak memiliki
mahrom.

3.Imam Ahmad : Bersama suami/ mahrom todak menjadi syarat


menunaikan ibadah haji wajib.
4.An-Nakho’I, Hasan Bashri, Ats-Tsawri, Ishaq, dan para sahabat
imam Abu Hanifah : Syarat pergi dengan mahrom adalah masuk
kategori syarat kemampuan melaksanakan ibdah haji yang harus
dipenuhi.

5.Imam Syafi’I : wanita boleh pergi Bersama-sama wanita lain yang


terpercaya, khusu pada haji wajib. Dan tidak berlaku pada haji
tathawwu’. Imam Nawawi dalam kitab syarah Shohih Muslim Juz 2
“Pergi Bersama muhrim tidak menjadi syarat, yang menjadi syarat
adalah terjaminnya keamanan wanita yang bersangkutan.”

Adapun ketentuan pakaian ihram perempuan, sebagaimana


hadis Nabi Saw Dari Ibnu “Umar, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
wanita yang ihrom, tidak boleh memakai selubung muka (al intiqaab)
dan sarung tangan.” (HR. Ahmad, Bukhori, Nasa’I, dan Tirmidzi yang
mengatakan shahih)

Wanita boleh memakai pakaian apa saja untuk ihrom asal


menutup aurot, menutupi seluruh anggota badan kecuali wajah dan
telapak tangan, yang lebih utama pakaian yang berwarna putih.

Sedangkan Larangan Haji untuk perempuan antara lain:

1. Jima’ dan pendahuluannya (Rafats)

2. Mendurhakai perintah dan larangan Allah (fusuq)

3.Bermusuhan, bertengkar dan berbantahan (jidal)

4. Memakai sarung tangan yang menutup telapak

5. Memakai pakaian yang bercelup harum-haruman

6. Memakai minyak wangi

7. Mnecabut rambut
8. Memotong kuku

9. Memotong tumbuh-tumbuhan

10. Menutup muka

11. Aqad nikah

12. Memakan daging buruan

13. Menangkap hewan buruan

14. Memburu buruan, melenyapkannya, menjual, dan membelinya.

(Ois-Budi-Rohmat-Wahab)

Anda mungkin juga menyukai