Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FIKIH
TENTANG
SHOLAT JAMA’ DAN QASHAR

DOSEN PENGAMPUN : KHAIRUDIN, MA


DI SUSUN OLEH : NURILLAH

INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIYAH BIMA


TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa lagi pada
jaman modern ini adalah perjalanan. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga dan menyita
waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Demi sebuah perjalanan, banyak hal dan kadang
kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada
kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah
satunya adalah kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Shalat 5 waktu. Dalam Islam sudah
ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Shalat yang
dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para
pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholihnya, sebagaimana firman
Allah SWT :

‫ُيِريُد ٱُهَّلل ِبُك ُم ٱۡل ُيۡس َر َو اَل ُيِريُد ِبُك ُم ٱۡل ُع ۡس َر‬......
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. Al Baqarah : 185)
.....ۚ ‫ ُهَو ٱۡج َتَبٰى ُك ۡم َو َم ا َجَعَل َع َلۡي ُك ۡم ِفي ٱلِّديِن ِم ۡن َحَر ٖۚج‬......
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS.Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat. Karenanya shalat
merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia disebut penghancur agama
tetapi sebaliknya ketika ia melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya maka ia disebut
sebagai penegak agama. Karenanya, seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau
bagaimanapun juga tak terkecuali dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia diperbolehkan
bertayammum, begitu pula dengan shalat yang dapat dilakukan dengan cara dijama’
(dirangkap) maupun diqashar (dipotong).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud shalat jama’ dan shalat qashar?


2. Apakah dasar hukum shalat jama’ dan shalat qashar?
3. Apakah rukun dan syarat shalat jama’ dan shalat qashar?
4. Apakah yang memperbolehkan shalat jama’ dan shalat qashar?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Shalat Jama’ dan Shalat Qashar

1. Shalat jama’
Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat Maghrib
dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’ taqdim atau di waktu shalat
kedua yang disebut jama’ ta’khir.Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal,
shalat wajib harus dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan. Akan tetapi
apabila dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81 Km, atau
dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’.
Hukum melaksanakan jama’ adalah boleh. Sebagaimana seseorang yang melakukan jama’
bila shalat sendirian dan tidak jama’ bila shalat berjamaah. Namun lebih utama tidak
melakukan jama’.

Menurut Yusuf Qaradhawi, sesungguhnya kebolehan menjama’ itu jarang dan


kemungkinannya sangat kecil, ha nya dalam rangka menghilangkan “masyaqqat” serta
kesulitan yang kadang-kadang dihadapi manusia. Jama’ terbagi menjadi dua:

1.) Jama’ Taqdim


Ialah penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama, misalnya
shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat Dzuhur.
Syarat-syarat jama’Taqdim:
a.) Jarak perjalanan minimal 2 marhalah
b.) Dalam perjalanan yang diperbolehkan (bukan perjalanan haram)
c.) Urut (memulai dengan shalat yang pertama), yakni memulai shalat Dzuhur atau shalat
Maghrib terlebih dahulu kemudian diikuti shalat Ashar atau shalat Isya’
e.) Niat jama’ sebelum selesai salam shalat yang pertama
f.) Waktu shalat yang pertama masih cukup untuk melaksanakan dua shalat yang di- jama’
g.) Melakukan shalat yang pertama dan shalat yang kedua secara berkesinambungan menurut
pandangan umum atau tidak melebihi kadar shalat dua rakaat dengan cepat
h.) Ada dugaan sahnya shalat yang pertama
i.) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga takbiratul ihram shalat yang kedua sempurna
j.) Meyakini telah diperbolehkan jama’, sekiranya telah terpenuhi seluruh syarat-syaratnya.

2.) Jama’ Ta’khir

Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya shalat Dzuhur
dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.

Syarat-syaratnya, yaitu:
a.) Niat jama’ta’khir di waktu shalat yang pertama sekiranya masih tersisa kadar waktu untuk
melakukan satu rakaat shalat
b.) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga shalat yang kedua selesai.
2. Shalat Qashar

Shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua rakaat oleh
seorang musafir.
Para Imam telah sepakat bahwa musafir boleh meng-qashar shalat yang empat rakaat
menjadi dua rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah qashar shalat itu
merupakan rukhsah (keringanan) atau ‘azimah (ketetapan mutlak). Selain itu, ulama’ berbeda
pendapat dalam beberapa hal yaitu: Mengqashar shalat dan hukumnya, Jarak tempuh
perjalanan yang membolehkan qashar, Jenis perjalanan yang membolehkan qashar, Tempat
dibolehkannya qashar, Batas perjalanan dan kebolehan qashar.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap musafir. Maka
fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4 rakaat dan tidak duduk sesudah 2
rakaat pertama, batallah shalatnya, karena ia meninggalkan fardhu duduk terakhir. Dan
apabila ia duduk sesudah dua rakaat pertama, shalat fardlunya dan dua rakaat yang akhir
dihitung sunat. Dan itu juga madzhab Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu
‘s-Sunan:“Madzhab kebanyakan mala salaf dan fuqoha beberapa kota, qashar shalat dalam
perjalanan adalah wajib. Dan itu pendapat ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, dan
pendapat ‘Umar bin Abd. ‘Aziz, Qataadan, dan al-Hasan”

Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hambal) berpendapat bahwa qashar bukan wajib
‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi), maka si mukallaf dapat memilih tentang
menggugurkan fardhu itu antara ‘azimah menyempurnakan 4 rakaat dan rukhshah qashar.
Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum rukhshah ini:
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qashar sunat muakkad yang kalau ditinggalkan dengan
sengaja wajib i’adah dalam waktunya, dan ketinggalan karena lupa wajib sujud sahwi.
Berkata ulama Hanabilah, bahwa qashar itu lebih utama dan tidak makruh dengan ‘azimah.
Dan itulah yang masyhur dari mazhab Syafi’i apabila perjalanan itu 3 hari. Jika perjalanan
kurang dari 3 hari, maka menyempurnakan adalah lebih utama . kata mereka: itu untuk keluar
dari ikhtilaf Abu Hanifah dan orang-orang yang sependapat dengannya.
Kaitannya dengan hal di atas dalam hal perjalanan dan kebolehan mengqashar Imam Syafi’i
dan Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang berniat hendak bermukim lebih dari
empat hari maka haurus mencukupkan shalat dan kalau kurang dari 4 harimaka boleh
mengqashar shalat. Kata Imam Abu Hanifah, tidak boleh qashar kalau Safar itu kurang dari 3
marhalah, yakni perjalanan 24 farsakh.
B. Dasar Hukum

Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:

‫َو ِإَذ ا َضَر ۡب ُتۡم ِفي ٱَأۡلۡر ِض َفَلۡي َس َع َلۡي ُك ۡم ُجَناٌح َأن َتۡق ُصُروْا ِم َن ٱلَّص َلٰو ِة ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم َأن َيۡف ِتَنُك ُم ٱَّلِذ يَن َكَفُر ٓو ْۚا ِإَّن ٱۡل َٰك ِفِريَن َك اُنوْا َلُك ۡم‬
١٠١ ‫َع ُد ّٗو ا ُّم ِبيٗن ا‬
Artinya:“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-
qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 101)

Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah berkata kepada
Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi).
Umar menjawab, “Saya heran juga sebagaimana engkau, maka saya tanyakan kepada
Rasulullah Saw., dan beliau menjawab: “Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah
kepada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut Abu Hanifah,
bukanlah rukhsah (pelaksanaan kewajiban yang mendapat keringanan karena ada kesulitan),
melainkan ‘azimah (pelaksanaan kewajiban yang sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan, tidak mendapat keringanan). Dengan demikian, shalat dalam perjalanan cukup
dilakukan dua rakaat saja.

Abu Ya’la berkata: “kebolehan menjama’kan shalat di dalam safar, adalah dikala orang yang
menjama’kan itu menghadapi halangan-halangan yang membolehkan ia meninggalkan
jama’ah dan Jum’at, umpamanya belum singgah di suatu tempat.

Diberitakan oleh Kuraib dari Ibnu ‘Abbas RA. berkata: “apakah tidak lebih baik saya
kabarkan kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW. dalam safar ?” Kami menjawab: “Baik
sekali” kata Ibnu ‘Abbas: “Adalah Nabi SAW. dan apabila telah tergelincir matahari sedang
beliau masih di rumah (di tempat yang beliau singgah) beliau kumpulkan antara dhuhur dan
‘ashar sebelum berangkat, dan apabila matahari belum tergelincir waktu beliau masih di
rumah, beliaupun terus berangkat sehingga apabila telah datang waktu ‘ashar, beliaupun
berhenti, menjama’kan antara dhuhur dan ‘ashar. Dan apabila datang waktu maghrib, sedang
beliau belum berangkat, beliau mengumpulkan antara maghrib dan ‘isya. Apabila belum
datang waktu maghrib beliaupun terus berangkat dan pada waktu ‘isya beliau berhenti lalu
beliau mengumpulkan antara keduanya.” (HR. Ahmad dan Asy-Syafi’y)
C. Syarat

a.) Perjalanan Jauh bukan untuk Kemaksiatan

Bepergian itu disyaratkan bukan karena maksiat. Jadi meliputi pergi yang wajib seperti
pergi untuk melaksanakan ibadah haji dan membayar hutang dan semacamnya, demikian
pergi yang mubah seperti pergi untuk berdagang dan berpesiar, juga meliputi pergi yang
makruh seperti orang yang pergi sendirian dan terpisah dari kawannya.

b.) Jarak perjalanan mencapai 16 farsakh

Al-Bukhari menambahkan komentar pada riwayatnya: “Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas r.a.
meong-qashar shalat dan tidak berpuasa dalam sepanjang perjalanan empat bard, yaitu 19
fasakh, setara dengan 81 kilometer. Yang dilakukan keduanya berdasarkan petunjuk Nabi
(tauqifi) atau sepengetahuan Nabi Saw., (Al-Bukhari, Taqshir al-Shalah, Bab I “Fi Kam
Taqshir al-Shalah”).

Jarak qashar shalat dalam kitab-kitab fiqh:

No Versi Ukuran (Km)

1 Versi kitab tanwir al-qulub 80,640


2 Versi mayoritas ulama’ 119,99988
3 Hanafiyyah 96
4 Kitab Fiqh al-Islami 88,74
5 Versi Imam Makmun 89,999992
6 Versi Imam Ahmad Hussain al-Mishiry 94,5

Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan musafir
melaksanakan sholat jama’ dan qashar. Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad berpendapat
bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan mukim (tinggal) di tempat tersebut.
Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4 hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas
bin Malik), 12 hari (H.R. Ahmad, dari ‘imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan
19 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Abbas).
c.) Shalat yang diqashar adalah empat rakaat
d.) Berniat meng-qashar shalat ketika takbiratul ihram
e.) Tidak bermakmum pada orang yang mukmin (penduduk setempat)
Madzhab Hanafi, dibolehkan meong-qashar shalat bagi siapa pun yang berniat melakukan
perjalanan dan bermaksud untuk tujuan tertentu meskipun ia bermaksiat dalam perjalanannya
selama ia telah melewati rumah-rumah di daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati
bangunan yang menyatu dengan desa. Selain itu disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan
dalam tiga hal berikut: bebas untuk menentukan bermukim atau bepergian, balig, dan
perjalanan tiga kurang dari tiga hari.
Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah (1) berniat untuk tinggal di suatu tempat
selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari datang dan pergi. (2) ketika telah kembali ke tempat
asalnya. (3) niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk
qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan syarat-syarat qashar.
D. Hal-hal yang memperbolehkan shalat Jama’
a.) Bermukim di Arafah dan Muzdalifah
Para ulama’ bersepakat bahwa menjama’ shalat dzuhur dan ashar secara taqdim pada
waktu dzuhur ketika berada di Arafah, begitu pula antara shalat maghrib dan isya’ secara
takhir di waktu isya’ ketika berada di Muzdalifah hukumnya sunnah. Hal ini merujuk kepada
sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah.
b.) Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal) atau
dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan menjama’ shalat, baik
dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan selama berada ditempat
yang dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat
itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW.
‫َك اَن َر ُسوُل ِهَّللا َيْج َم ُع َبْيَن َص اَل ِة الُّظْهِر َو اْلَع ْص ِر ِإَذ ا َك اَن َع َلى َظْهِر َس ْيٍر َو َيْج َم ُع َبْيَن اْلَم ْغ ِر ِب َو اْلِع َش اِء‬

”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di tengah
perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
c.) Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat lebat, maka
dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan ‘ashar,“Nabi saw pernah
menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.” (HR.
Bukhari)
d.) Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar dalam
menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya,
khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu
dikerjakan dengan cara dijama’
e.) Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang, akan tetapi
yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.

‫َع ْن َيْع َلى ْبِن ُأَم َّيَة َقاَل ُقْلُت ِلُع َم َر ْبِن اْلَخ َّطاِب َلْيَس َع َلْيُك ْم ُجَناٌح َأْن َتْقُصُروا ِم ْن الَّص َالِة ِإْن ِخ ْفُتْم َأْن َيْفِتَنُك ْم اَّلِذ يَن َكَفُروا َفَقْد‬
‫َأِم َن الَّناُس َفَقاَل َع ِج ْبُت ِمَّم ا َع ِج ْبَت ِم ْنُه َفَس َأْلُت َر ُسوَل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َع ْن َذ ِلَك َفَقاَل َص َد َقٌة َتَص َّد َق ُهللا ِبَها َع َلْيُك ْم‬
‫ رواه مسلم‬.‫َفاْقَبُلوا َص َد َقَتُه‬
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar Ibnul
Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru minashalah in
khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya orang-orang dalam keadaan
aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu.
Kemudian saya menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah
pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-
Nya.”(HR. Muslim)
f.) Keperluan (kepentingan) Mendesak
Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan beberapa
keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi kewajiban bagi setiap
muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang yang tidak dalam safar, jika ada
kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.
PENUTUP

KESIMPULAN

Shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat Maghrib dan
shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’ taqdim atau di waktu shalat
kedua yang disebut jama’ ta’khir. Sedangkan shalat Qashar adalah melaksanakan shalat
Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua rakaat oleh seorang musafir

Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:

‫َو ِإَذ ا َضَر ۡب ُتۡم ِفي ٱَأۡلۡر ِض َفَلۡي َس َع َلۡي ُك ۡم ُجَناٌح َأن َتۡق ُصُروْا ِم َن ٱلَّص َلٰو ِة ِإۡن ِخ ۡف ُتۡم َأن َيۡف ِتَنُك ُم ٱَّلِذ يَن َكَفُر ٓو ْۚا ِإَّن ٱۡل َٰك ِفِريَن َك اُنوْا َلُك ۡم‬
١٠١ ‫َع ُد ّٗو ا ُّم ِبيٗن ا‬
Artinya:“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-
qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-
orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. An-Nisa’ [4]: 101)
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah berkata kepada
Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman (tidak takut lagi).
Umar menjawab, “Saya heran juga sebagaimana engkau, maka saya tanyakan kepada
Rasulullah Saw., dan beliau menjawab: “Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah
kepada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
Syarat sahnya adalah perjalanan Jauh bukan untuk Kemaksiatan, Jarak perjalanan
mencapai 16 farsakh, Shalat yang diqashar adalah empat rakaat, Berniat meng-qashar shalat
ketika takbiratul ihram, dan Tidak bermakmum pada orang yang mukmin (penduduk
setempat).
Sedangkan, hal-hal yang memperbolehkan shalat jama’: bermukim di Arafah dan
Muzdalifah, Safar (Bepergian), Hujan, Sakit, Takut, dan Keperluan (kepentingan) Mendesak
DAFTAR PUSTAKA

al-Bugha, Musthafa Dib. 2012.Al-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah Kwa al-Taqrib,


diterjemahkan oleh Toto Edidarmo, Ringkasan Fikih Madzhab Syafi’i Penjelasan Kitab
Matan Abu Syuja’ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadis.Jakarta: Naoura Books.
al-Dimasyiqi, Syaikh al-Alamah Muhammad bin ‘Abdurrahman. 2015. Fikih Empat
Madzhab.Bandung: Hasyimi.
al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar. 1983.Kifayatl Akhyar, alih bahasa: Anas Thohir
Syamsuddin. Surabaya: Bina Ilmu.
ar-Rahbawi, Syaikh Abdul Qadir. 2007. as-Sholah ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, alih bahasa:
Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Shalat menurut Empat Madzhab.Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.ash-Shiddiqie. 2001. Teungku Muhammad Hasbi.Hukum-hukum Fiqh Islam
Tinjauan Antar Madzhab.Semarang: Pustaka Rizki Putera.
az-Zuhaili, Wahbah. 2010.Fiqih Islam Kwa Adilatuhu Jil. II. Jakarta: Gema Insani
Dyah, Rustam. 2015.Fikih Ibadah Kontemporer.Semarang: CV. Karya Abadi.
Qardhawi, Yusuf. 1995.Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I.Jakarta: Gema Insani.
Rasjid, Sulaiman. 2012. Fiqh Sunnah. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rusyd, Ibnu. 1990.Bidayatul Mujtahid Juz.I ( Terj. MA Abdurahman & A.Haris Abdullah ).
Semarang: CV as Syifa’.Sabiq, Sayyid.Fiqh Sunah Juz I. Beirut: Darul Kutub al-’Aarobi.
Shaleh, H. E. Hassan. 2008.Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT
RajaGrafindo.Syaltout, Syaikh Muhammad. 1973.Muqaranatul Madzahib Fii Fiqhi, alih
bahasa: Ismuha, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqh.Jakarta: Bintang Buan.
Tim kajian Ahla Shuffah. 2014.Kamus Fiqh. Kediri: Lirboyo Press.

Footnote :

[1] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 166.
[2] Rustam Dyah, Fikih Ibadah Kontemporer, (Semarang: CV. Karya Abadi, 2015), hal. 46.
[3] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 166.
[4] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hal.
328.
[5] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 167.
[6] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal. 164.
[7] Syaikh al-Alamah Muhammad bin ‘Abdurrahman da-Dimasyiqi, Fikih Empat Madzhab,
(Bandung: Hasyimi, 2015) hal. 85.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Juz.I ( Terj. MA Abdurahman & A.Haris Abdullah ),
(Semarang: CV as Syifa’, , 1990), hal. 350.
[9] Syaikh Muhammad Syaltout, Muqaranatul Madzahib Fii Fiqhi,alih bahasa: Ismuha,
Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqh, (Jakarta: Bintang Buan, 1973), hal. 63-64.
[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah Juz I, (Beirut: Darul Kutub al’ arobi, tt), hal 287.
[11] Teungku Muhammad Hasbi sah-Shiddiqie, Hukum-hukum Fiqh Islam Tinjauan Antar
Madzhab.(Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001), Hal. 87.
[12] Sulaiman Rasjid, Fiqh Sunnah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), cet. 47, hlm
118

Anda mungkin juga menyukai