Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis bisa menyelesaikan
makalah mata kuliah “Hukum Peribadatan Islam”. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada insan yang mulia, Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan
pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Hukum Peribadatan
Islam di program studi Hukum Tata Negara fakultas Syariah dan Hukum pada UIN
Sunan Ampel Surabaya. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Peribadatan Islam dan kepada
segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan
makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Haji merupakan rukun Islam yang ke-5. Selain ibadah jasmaniah seperti shalat
dan puasa, haji termasuk ke dalam ibadah maliyyah (harta) sama halnya seperti zakat
karena menuntut pengorbanan harta di jalan Allah. Definisi haji secara bahasa ialah
menuju tempat yang mulia. Sedangkan secara istilah haji berarti menuju Baitullah
(Ka’bah) untuk menunaikan perbuatan yang difardukan, seperti tawaf di sekitar
Ka’bah dan wukuf di Arafah, dalam keadaan ihram dengan niat haji.1
Hukum melaksanakan haji adalah wajib bagi setiap manusia yang memiliki
kemampuan untuk menunaikannya, yaitu sehat badannya, mampu berangkat ke sana
dan aman perjalanannya. Allah berfirman dalam Q.S. Ali Imran ayat 97 yang
berbunyi:
ت َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِياًل َو َم ْن َكفَ َر فَإ ِ َّن هَّللا َ َغنِ ٌّي َع ِن ْال َعالَ ِمين
ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي
ِ ََّوهَّلِل ِ َعلَى الن
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)
siapa yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam” (Ali Imran [3]:97)
Dalam ayat ini Allah SWT mewajibkan kepada manusia untuk mengunjungi
Baitullah manakala mereka memiliki kemudahan untuk menunaikannya. Tetapi
jika mereka tidak mau, maka itu adalah sikap kufur. Ayat ini menyatakan masalah
kewajiban haji secara umum kepada semua manusia. Jadi, pelaksanaan haji harus
dilaksanakan sesegera mungkin ketika syarat wajib haji sudah terpenuhi. Apabila
seseorang yang sudah memenuhi syarat wajib haji menangguhkan
melaksanakannya, maka hal ini dihukumi berdosa.
Dalam pelaksanaannya, haji memiliki beberapa ketentuan tentang syarat sah haji,
rukun haji, wajib haji, sunnah haji, dan larangan-larangan dalam haji serta
konsekuensinya. Selain itu haji memiliki beberapa hikmah dan manfaat bagi
kesehatan fisik dan psikis manusia. Biasanyan masa pelaksanaan haji adalah beberapa
hari di bulan Dzulhijjah, sedangkan tempat pelaksanaanya adalah Mekkah, Arafah,
Mina, dan Musdalifah.
1
Nuruddin ‘Itr, Tuntas Memahami Haji dan Umrah, (Jakarta: Qalam, 2017), 21-22.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan sunah-sunah dalam haji? Dan apa sajakah
yang termasuk di dalamnya?
2. Apa saja larangan-larangan dalam haji dan apa konsekuensi dari masing-
masing pelanggarannya?
3. Hikmah apa saja yang terkandung dalam ibadah haji dan umrah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami dengan baik yang dimaksud dengan sunah-sunah haji dan
yang termasuk di dalamnya.
2. Untuk mempelajari larangan-larangan dalam pelaksanaan ibadah haji serta
konsekuensi dari pelanggarannya.
3. Untuk mempelajari dan menghayati hikmah dari pelaksanaan ibadah haji dan
umrah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. SUNNAH-SUNNAH DALAM PELAKSANAAN IBADAH HAJI
Sunnah haji adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan sah atau
tidaknya haji, tidak diwajibkan pula membayar dam bila meninggalkannya,
dan tidak berdosa meninggalkannya meskipun dengan sengaja. Akan tetapi,
pahala ibadah haji dirasa kurang sempurna bila tidak melakukan kesunahan
haji. Berikut yang termasuk ke dalam sunnah-sunnah haji:
1. Sunnah-Sunnah Haji dalam Ihram
Ulama mazhab sepakat bahwa orang yang sedang melaksanakan
ihram disunnahkan untuk:2
a. Membersihkan badan atau bersuci, seperti : mandi walau pada
wanita yang sedang haid dan nifas, karena tujuannya adalah
untuk kebersihan.
b. Menggunting kumis.
c. Melebatkan (memperbanyak dan tidak memendekkan) rambut
dari awal bulan Dzulqa’dah bila hendak melakukan haji
tamattu’.
d. Membuang bulu yang ada di badan dan di ketiak.
e. Menggunakan wangi-wangian di badan sebelum ihram. Jika
dipakai di pakaian, maka wangi-wangian tersebut tidak boleh
berbau melekat setelah ihram (menurut Hanafi).
f. Melakukan ihram setelah Dzuhur atau pada waktu shalat-shalat
lainnya.
g. Shalat ihram enam, empat, atau paling sedikit dua rakaat.
h. Mengangkat suara ketika membaca talbiah.
i. Bertahmid, bertasbih, dan bertakbir sebelum memulai ihram.
j. Berihram dengan menghadap kiblat
2. Sunnah-Sunnah Haji dalam Tawaf
Dalam buku Fiqhus Sunnah, dijelaskan dalam judul “Sunnah Al-
Thawaf” (Sunnah-Sunnah Tawaf) seperti berikut:3
a. Menghadap Hajar Aswad ketika memulai tawaf, disertai membaca
2
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab Cetakan ke-8, terj. Masykur A.B. dkk, ( Jakarta: Basrie Press,
1991 ), 285-288.
3
Ibid., 314-315.
tahlil dan takbir, serta mengangkat tangan, seperti ketika takbir
dalam shalat. Kemudian melambaikan kedua tangannya ke arah
Hajar Aswad, mengecupnya tanpa suara (tidak berbunyi), dan
meletakkan pipinya pada Hajar Aswad, serta menyentuh Hajar
Aswad dengan tangannya, jika tidak dapat menyentuhnya, beri
isyarat dengan tangan, lalu ciumlah tangan tersebut.4
b. Al-Idhthiba’, yaitu meletakkan pertengahan kain ihram di bawah
ketiak kanan, dan kedua ujungnya dihubungkan di atas bahu kiri
(khusus bagi kaum laki-laki dan dilakukan di luar shalat).
c. Lari-lari kecil pada tiga putaran pertama,lalu berjalan biasa pada
empat putaran berikutnya (khusus bagi kaum laki-laki dan dilakukan
pada thawaf umrah dan pada setiap thawaf yang diikuti sa’i di dalam
ibadah haji).
d. Shalat dua rakaat sesudah thawaf di makam nabi Ibrahim AS atau
di tempat lain di dalam masjid (jika tidak memungkinkan di
maqam). Di dalam shalat sunnah ini disunnahkan membaca surat Al-
Kafirun pada rakaat pertama dan Al-Ikhlas pada rakaat ke-2.
e. Meminum air Zam-zam sesudah thawaf.
4
Muhammadiyah Ja’far, Tuntunan Praktis Ibadah Zakat, Puasa, dan Haji, (Jakarta: Kalam Mulia, 1997), 229.
5
Ibid., 239.
atas segala sesuatu. Tiada sesembahan yang haq melainkan Dia, tiada sekutu bagi-
Nya, yang menepati janji-Nya, yang memenangkan hamba-Nya dan yang
menghancurkan golongan-golongan (kafir) dengan tanpa dibantu siapapun."
Ulangilah dzikir tersebut sebanyak tiga kali dan berdo’alah pada tiap-tiap selesai
membacanya lalu melakukan dzikir dan doa yang disukai mengenai duniawi dan
ukhrawi.6
d. Suci daripada hadas (kecil maupan besar) dan dari khubus (segala
macam kotoran).
e. Kemudian turunlah untuk melakukan sa’i antara Shafa dan
Marwah. Bila Anda berada di antara dua tanda hijau, lakukanlah sa’i
dengan berlari kecil (khusus untuk laki-laki dan tidak bagi wanita).
Jika Anda telah sampai di Marwah, naiklah ke atasnya dan
menghadaplah ke Ka’bah, kemudian ucapkan sebagaimana yang
Anda ucapkan di Shafa. Demikian hendaknya yang Anda lakukan
pada putaran berikutnya. Pergi (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu
kali putaran dan kembali (dari Marwah ke Shafa) juga dihitung satu
kali putaran hingga sempurna menjadi tujuh kali putaran. Karena itu,
putaran sa’i yang ke-7 berakhir di Marwah.
f. Disunnahkan pula berdo'a diantara Shafa dan marwa, berdzikir
kepada Allah dan membaca Al-Qur'an. Telah diriwayatkan bahwa
ketika sa'i Nabi SAW membaca:
رب اغفر وارحم إنك انت األعز األكرم
(Rabigh fir warham, innaka antal a'azzul akram)
Artinya: "Ya Tuhanku, ampunilah dan rahmatilah aku, sungguh
Engkau Mahakuat lagi Mahamulia."
g. Menuju ke Mina. Disunahkan jamaah haji menuju ke Mina (suatu
kota terletak antara Mekah dan Musdalifah yang berjarak 8 km dari
Mekah) pada hari ke delapan bulan Dzulhijjah, yang dinamakan
hari tarwiyah. Disunnahkan pula memperbanyak doa dan talbiyah,
serta melakukan shalat lima waktu dengan bermalam di Mina dan
tidak boleh keluar dari Mina hingga terbit matahari pada hari ke-9
(hari Arafah).7
6
Ibid., 239.
7
Ibid., 241.
4. Sunnah-Sunnah Haji dalam Wuquf di Arafah
Bagi orang yang sedang melaksanakan wuquf di Arafah
disunnahkan atasnya untuk:
a. Untuk berwuquf di Arafah disunnahkan untuk mandi terlebih
dahulu, seperti mandi Jum’at.
b. Disunnahkan suci secara sempurna.
c. Menghadap kiblat, memperbanyak membaca istighfar, dan berdoa
secara khusus dengan khusu'.
5. Sunnah-Sunnah Haji dalam Wuquf di Muzdalifah
a. Segera melakukan shalat fajar begitu waktunya tiba. Tetapi ini
tidak dianggap sunnah oleh Hanafi. 8
b. Bagi yang belum pernah haji disunnahkan untuk menyentuhkan
kakinya(tidak memakai alas kaki) di Masy’arul Haram (menurut
madzhab Imamiyah).9
c. Disunnahkan membawa batu untuk melempar (jumrah) dari
Musdalifah ke Mina dengan jumlah sebanyak tujuh puluh (menurut
Imamiyah, Syafi’i, dan Maliki).10
6. Sunnah Haji dalam Pelemparan Batu (Jumratul ‘Aqabah) di Mina
a. Menurut Imamiyah, batu yang akan dilemparkan disunnahkan
batu sebesar ujung jari, berwarna khirsy (tidak hitam, tidak putih,
dan tidak merah).
b. Disunnahkaan menghadap kiblat.
c. Disunnahkan sambil berjalan kaki ketika melempar,
diperbolehkan juga sambil menaiki kendaraan.
d. Disunnahkan melempar batu dengan tangan kanan dan berdoa
dengan baik.
11
Nuruddin, Haji dan Umrah, 227-228
12
Ibid., 232.
lupa, bodoh soal hukum, atau keliru? Berikut penjelasannya:
1) Menurut mazhab Hanafi menyatakan bahwa orang yang
melanggar larangan dengan sengaja dan tidak memiliki uzur,
maka ia tidak berhak memilih bentuk tebusan selain membayar
dam atau bersedekah sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
Dalil mereka adalah ayat di atas, karena tingkat pelanggaran
pelaku yang tidak beruzur itu lebih besar, maka hukumannya
juga lebih besar, yaitu dengan menghilangkan haknya untuk
memilih.
Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali memandang bahwa
orang itu tetap berhak memilih (seperti orang yang memiliki
uzur). Mereka berdalil dengan ayat yang sama. Dalam al-
Mughni dikatakan, “Sesungguhnya hukum itu berlaku [pula]
bagi orang yang tidak memiliki uzur berdasarkan kehati-hatian
sebagai hukum turunan, dan hukum turunan tidaklah menyalahi
hukum asal.”
2) Menurut mazhab Hanafi, orang yang memiliki uzur selain sakit
atau gangguan di kepala, seperti orang yang lupa, bodoh soal
hukum, orang yang dipaksa atau orang yang tidur, maka
hukuman mereka disamakan dengan orang yang sengaja,
sehingga mereka tidak berhak memilih, ketiadaan pilihan inilah
yang menggugurkan dosa mereka.
Mazhab Maliki berpandangan bahwa mereka wajib
membayar tebusan dengan pilihan seperti orang yang sengaja
melanggar.
Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hambali membedakan
hukuman antara pelanggaran yang mengandung perusakan dan
yang tidak. Mereka mewajibkan fidyah atas pelanggaran yang
mengandung perusakan, yaitu: mencukur habis atau
memendekkan rambut dan memotong kuku, karena perusakan
itu sama saja baik dilakukan secara sengaja maupun tidak. Bagi
pelanggaran yang tidak mengandung perusakan, yaitu: pakaian
(memakai pakaian berjahit), tutup kepala (menutupi kepala atau
wajahnya bagi laki-laki, menutup wajah dengan sesuatu yang
menyentuh wajahnya bagi perempuan), wewangian, dan
minyak, tidak diwajibkan membayar fidyah.
14
Ibid., 250.
15
Ibid., 251-252.
berikut:
1) Meneruskan haji yang sudah rusak itu sampai penghabisan karena
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 196, yang berbunyi:
ِ ۚ َوأَتِ ُّموا ْال َح َّج َو ْال ُع ْم َرةَ هَّلِل
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.”
2) Melakukan haji yang baru di masa depan sebagai qadha’ untuk
haji yang rusak dengan mengerjakannya secara terpisah antara pasangan
suami istri yang melanggar. Pemisahan ini tidak wajib, namun mustahab.
3) Menyembelih hewan kurban sebagai hadya dalam haji qadha’.
Menurut mazhab Hanafi, hewan kurban yang disembelih adalah
kambing, sementara menurut tiga mazhab lainnya, hewan kurban
tersebut adalah unta jantan atau betina.
b. Jimak setelah Wukuf sebelum Tahalul Awal
Menurut Hanafi, pelaku pelanggaran ini hajinya tidak rusak, namun
wajib menyembelih unta. Menurut tiga mazhab lainnya, haji pelanggar
rusak selama jimak dilakukan sebelum tahalul awal dan ia pun wajib
menyembelih unta sebagai hadya.16
c. Jimak setelah Tahalul Awal
Menurut setiap mazhab, jimak setelah tahalul awal tidaklah merusak
haji. Menurut mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali, tebusan wajib akibat
jimak ini adalah kambing dengan menimbang ringannya pelanggaran
karena telah terwujudnya tahalul (penghalalan) untuk larangan selain
jimak.
Sedangkan menurut Imam Malik dan salah satu riwayat dalam
mazhab Syafii dan Hanbali, tebusan wajibnya adalah unta. Imam Malik
dan mazhab Hanbali mewajibkan atas orang yang melakukan
pelanggaran ini, untuk keluar ke wilayah halal dan melakukan umrah
setelah tahalul sebelum tawaf ifadah.17
d. Percumbuan
1) Percumbuan Langsung, seperti sentuhan dengan syahwat, ciuman,
dan hubungan badan tanpa penetrasi. Pelanggar larangan ini diwajibkan
16
Ibid., 255.
17
Ibid., 257.
membayar dam (baik keluar mani maupun tidak), hajinya tidak dianggap
rusak menurut kesepakatan mazhab Hanafi, Syafii, Hanbali. Namun
Hanbali mewajibkan unta jika sampai keluar mani.Adapun menurut
maliki, apabila sampai keluar mani, maka hajinya rusak dan wajiblah
tebusan seperti pelaku jimak. Bila tidak sampai keluar mani, wajib
menyembelih unta sebagai hadya.
2) Percumbuan Tidak Langsung, seperti memandang dan
mengkhayal dengan syahwat. Menurut mazhab Hanafi, Hanbali, dan
Syafii, hal ini tidak diwajibkan tebusan apapun walau sampai keluar
mani. Menurut Mazhab Maliki, Jika hal ini dilakukan dengan maksud
mencari kenikmatan dan melakukannya dengan lama sampai keluar
mani, maka hajinya rusak. Namun jika mani keluar begitu memandang
dan berkhayal dan melakukannya tanpa berlama-lama, maka hajinya
tidak rusak tetapi tetap diwajibkan menyembelih unta.
4. Meninggalkan Kewajiban
Hukum wajib haji adaalah wajib dilakukan dan haram ditinggalkan, namun
jika meninggalkannya maka tidak menyebabkan haji rusak hanya berdosa. Para
fuquha telah menetapkan orang yang meninggalkan wajib haji, maka wajib atasnya
tebusan menyembelih kambing guna menutupi kekurangan yang disebabkan oleh
tidak dilakukannya kewajiban. Berbeda halnya bila meninggalkannya karena uzur
(alasan) yang dibenarkan oleh syariat. Diantara hal yang termasuk uzur tersebut
adalah tidak berjalan dalam tawaf dan sai karena sakit atau jompo. Orang sakit atau
jompo boleh melakukan tawaf maupun sai dengan ditandu tanpa kewajiban membayar
tebusan.18
C. HIKMAH PELAKSANAAN IBADAH HAJI
Pelaksanaan ibadah haji memiliki banyak sekali hikmah di dalamnya, diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1. Pada pelaksanaan ibadah haji, seluruh umat Islam yang berasal dari
berbagai penjuru dunia berkumpul pada satu tempat, sehingga mereka dapat
berinteraksi, bermusyawarah mengenai kepentingan mereka secara umum,
dan bertukar pikirian ataupun pengalaman dalam merealisasikan cita-cita
mereka. Hal ini yang kemudian memunculkan rasa solidaritas sesama umat
18
Ibid., 261.
muslim sedunia.19
2. Pada pelaksanaan ibadah haji, umat muslim dapat menyaksikan tempat-
tempat suci yang merupakan saksi atas kemenangan Islam pada masa-masa
silam. Mereka dapat menyaksikan secara nyata negeri dan kediaman
Rasulullah SAW, yang mana di negeri tersebutlah Rasulullah dan para
sahabatnya, serta para tabi’in berjuang menegakkan kalimah Allah dan
mengibarkan panji-panji Islam di atas Jazirah Arab dan sekitarnya. Dengan
demikian akan timbul kesadaran diri untuk melanjutkan perjuangan mereka
dalam menyiarkan agama Islam.
3. Di dalam ibadah haji nampak dengan jelas persamaan antara seluruh umat
manusia dalam Islam20. Dengan pakaian seragam putih tak berjahit, mereka
semuanya mengikuti rangkaian kegiatan ibadah haji dengan hati yang khusu’,
tunduk dan patuh, dan memohon kepada Allah SWT. Dengan begitu, tidak
ada lagi tampak perbedaan status antara suatu bangsa dengan bangsa lain,
antara pejabat tinggi dengan rakyat jelata, dan antara orang kaya dan miskin.
4. Ibadah haji berpengaruh dalam mempersatukan kalimah islam di seluruh
dunia dan menghimpun mereka dengan semata-mata karena cinta kepada
Allah dan taat pada perintahnya.
5. Ibadah haji juga merupakan latihan badaniah dan nafsiah untuk
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah dengan disiplin, sabar, dan
tawakkal.
19
Yudhie Haryono, Haji Mistik, (Bekasi: Intimedia dan Nalar, 2002), 132.
20
Ibid., 132.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. KRITIK DAN SARAN