Anda di halaman 1dari 17

TUGAS AL ISLAM & KEMUHAMMADIYAHAN I

SHALAT JAMA’ & SHALAT QASHAR

DOSEN PENGAMPUH : MERI AFRIZAL SH.I., ME


NAMA : RIDHO PRATAMA
NPM : 22103161201018
Kelas : RB.10

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAMBI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Shalat Jama’dan
Shalat Qashar” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Al Islam dan


Kemuhammadiyahan. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan
tentang shalat bagi para pembaca dan juga bagi penulis.Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Bapak MerinAfrizal selaku dosen Mata Kuliah AIK.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 8 Juli 2023


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .........................................................................................2


BAB I PENDAHULUAN .....................................................................3
A. Latar Belakang ..................................................................................4
B. Rumusan Masalah .............................................................................4
C. Manfaat Penelitian.............................................................................4
D. TujuanPenelitian................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................5
A. Pengertian Shalat Jama’ dan Shalat Qashar .....................................5
B. Dasar Hukum ....................................................................................7
C. Syarat Shalat Jama’ dan Shalat Qashar ............................................8
D. Hal-Hal yang Memperbolehkan Shalat Jama’ dan Shalat Qashar....11
BAB III PENUTUP ..............................................................................15
A. Kesimpulan .......................................................................................15
B. Saran .................................................................................................15
DAFTAR PUSAKA ...............................................................................16
FOOTNOTE ..........................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa
lagi pada jaman modern ini adalah perjalanan. Perjalanan selalu membutuhkan
tenaga dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Demi sebuah
perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita
tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak
boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah
kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Shalat 5 waktu. Dalam Islam sudah
ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Shalat
yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.

Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada
para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholihnya,
sebagaimana firman Allah SWT :

‫ٱَّللُ ِبكُ ُم ۡٱليُسۡ َر َو ََل ي ُِريدُ ِبكُ ُم ۡٱل ُعسۡ َر‬


‫ي ُِريدُ ه‬......

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki


kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah : 185)

ۡ ‫ِين‬
...... ‫ج‬. ‫مِن َح َر‬ ِ ‫ع َل ۡي ُكمۡ فِي ٱلد‬
َ ‫ ه َُو ٱجۡ تَ َب ٰى ُكمۡ َو َما َج َع َل‬......

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (QS.Al Hajj : 78)

Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat.
Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat
ia disebut penghancur agama tetapi sebaliknya ketika ia melaksanakan shalat
dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya,
seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak
terkecuali dalam bepergian.

Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia
diperbolehkan bertayammum, begitu pula dengan shalat yang dapat dilakukan
dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqashar (dipotong).

3
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud shalat jama’ dan shalat qashar?


2. Apakah dasar hukum shalat jama’ dan shalat qashar?
3. Apakah rukun dan syarat shalat jama’ dan shalat qashar?
4. Apakah yang memperbolehkan shalat jama’ dan shalat qashar?

C. MANFAAT DAN TUJUAN

1. Mengetahui pengertian dari shalat jama’ dan shalat qashar


2. Mengetahuu dasar hukum shalat jama’ dan shalat qashar
3. Mengetahui rukun dan syarat shalat jama’ dan shalat qashar
4. Mengetahui apa saja yang diperbolehkan dalam melakukan shalat jama’ dan
shalat qashar

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Shalat Jama’ dan Shalat Qashar

1. Shalat jama’

Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’
taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir.

Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal, shalat wajib harus
dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan. Akan tetapi apabila
dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81 Km,
atau dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’.

Hukum melaksanakan jama’ adalah boleh. Sebagaimana seseorang yang


melakukan jama’ bila shalat sendirian dan tidak jama’ bila shalat berjamaah.
Namun lebih utama tidak melakukan jama’.

Menurut Yusuf Qaradhawi, sesungguhnya kebolehan menjama’ itu jarang dan


kemungkinannya sangat kecil, ha nya dalam rangka menghilangkan
“masyaqqat” serta kesulitan yang kadang-kadang dihadapi manusia. Jama’
terbagi menjadi dua:

a. Jama’ Taqdim
Ialah penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama,
misalnya shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat
Dzuhur.

Syarat-syarat jama’Taqdim:
1) Jarak perjalanan minimal 2 marhalah.
2) Dalam perjalanan yang diperbolehkan (bukan perjalanan haram).
3) Urut (memulai dengan shalat yang pertama), yakni memulai shalat Dzuhur
atau shalat Maghrib terlebih dahulu kemudian diikuti shalat Ashar atau shalat
Isya’.
4) Niat jama’ sebelum selesai salam shalat yang pertama.
5) Waktu shalat yang pertama masih cukup untuk melaksanakan dua shalat
yang di- jama’.

5
6) Melakukan shalat yang pertama dan shalat yang kedua secara
berkesinambungan menurut pandangan umum atau tidak melebihi kadar shalat
dua rakaat dengan cepat.
7) Ada dugaan sahnya shalat yang pertama.
8) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga takbiratul ihram shalat yang kedua
sempurna.
9) Meyakini telah diperbolehkan jama’, sekiranya telah terpenuhi seluruh
syarat-syaratnya.

b. Jama’ Ta’khir
Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya
shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.

Syarat-syaratnya, yaitu:
1) Niat jama’ta’khir di waktu shalat yang pertama sekiranya masih tersisa kadar
waktu untuk melakukan satu rakaat shalat
2) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga shalat yang kedua selesai.

2. Shalat Qashar

Shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua
rakaat oleh seorang musafir.

Para Imam telah sepakat bahwa musafir boleh meng-qashar shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah
qashar shalat itu merupakan rukhsah (keringanan) atau ‘azimah (ketetapan
mutlak). Selain itu, ulama’ berbeda pendapat dalam beberapa hal yaitu:
Mengqashar shalat dan hukumnya, Jarak tempuh perjalanan yang membolehkan
qashar, Jenis perjalanan yang membolehkan qashar, Tempat dibolehkannya
qashar, Batas perjalanan dan kebolehan qashar.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap
musafir. Maka fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4
rakaat dan tidak duduk sesudah 2 rakaat pertama, batallah shalatnya, karena ia
meninggalkan fardhu duduk terakhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua rakaat
pertama, shalat fardlunya dan dua rakaat yang akhir dihitung sunat. Dan itu juga
madzhab Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu ‘s-Sunan:

6
“Madzhab kebanyakan mala salaf dan fuqoha beberapa kota, qashar shalat
dalam perjalanan adalah wajib. Dan itu pendapat ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, dan pendapat ‘Umar bin Abd. ‘Aziz, Qataadan, dan al-Hasan”

Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal) berpendapat bahwa qashar
bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi), maka si mukallaf
dapat memilih tentang menggugurkan fardhu itu antara ‘azimah
menyempurnakan 4 rakaat dan rukhshah qashar. Tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai hukum rukhshah ini:

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa qashar sunat muakkad yang kalau


ditinggalkan dengan sengaja wajib i’adah dalam waktunya, dan ketinggalan
karena lupa wajib sujud sahwi.

Berkata ulama Hanabilah, bahwa qashar itu lebih utama dan tidak makruh
dengan ‘azimah. Dan itulah yang masyhur dari mazhab Syafi’i apabila
perjalanan itu 3 hari. Jika perjalanan kurang dari 3 hari, maka menyempurnakan
adalah lebih utama . kata mereka: itu untuk keluar dari ikhtilaf Abu Hanifah dan
orang-orang yang sependapat dengannya

Kaitannya dengan hal di atas dalam hal perjalanan dan kebolehan mengqashar
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang berniat
hendak bermukim lebih dari empat hari maka haurus mencukupkan shalat dan
kalau kurang dari 4 harimaka boleh mengqashar shalat. Kata Imam Abu
Hanifah, tidak boleh qashar kalau Safar itu kurang dari 3 marhalah, yakni
perjalanan 24 farsakh.

B. Dasar Hukum

Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:

‫اْ إِ هن‬. ‫صلَ ٰوةِ إِ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَن يَ ۡفتِنَكُ ُم ٱلهذِينَ َكف َُر ٓو‬ ُ ‫ح أَن ت َۡق‬
‫ص ُرواْ مِنَ ٱل ه‬ ٌ ‫علَ ۡيكُمۡ ُجنَا‬ ِ ‫ض َر ۡبتُمۡ فِي ۡٱۡل َ ۡر‬
َ ‫ض فَلَ ۡي‬
َ ‫س‬ َ ‫َوإِذَا‬
َ ۡ‫ۡٱل ٰ َكف ِِرينَ كَانُواْ لَكُم‬
١٠١ ‫عد ُّٗوا ُّمبِ ّٗينا‬

Artinya:“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa


kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S.
An-Nisa’ [4]: 101)

7
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah
berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang
telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, “Saya heran juga sebagaimana
engkau, maka saya tanyakan kepada Rasulullah Saw., dan beliau menjawab:
“Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah kepada kamu, maka terimalah
olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut
Abu Hanifah, bukanlah rukhsah (pelaksanaan kewajiban yang mendapat
keringanan karena ada kesulitan), melainkan ‘azimah (pelaksanaan kewajiban
yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, tidak mendapat
keringanan). Dengan demikian, shalat dalam perjalanan cukup dilakukan dua
rakaat saja.
Abu Ya’la berkata: “kebolehan menjama’kan shalat di dalam safar, adalah
dikala orang yang menjama’kan itu menghadapi halangan-halangan yang
membolehkan ia meninggalkan jama’ah dan Jum’at, umpamanya belum singgah
di suatu tempat.

Diberitakan oleh Kuraib dari Ibnu ‘Abbas RA. berkata: “apakah tidak lebih baik
saya kabarkan kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW. dalam safar ?” Kami
menjawab: “Baik sekali” kata Ibnu ‘Abbas: “Adalah Nabi SAW. dan apabila
telah tergelincir matahari sedang beliau masih di rumah (di tempat yang beliau
singgah) beliau kumpulkan antara dhuhur dan ‘ashar sebelum berangkat, dan
apabila matahari belum tergelincir waktu beliau masih di rumah, beliaupun
terus berangkat sehingga apabila telah datang waktu ‘ashar, beliaupun berhenti,
menjama’kan antara dhuhur dan ‘ashar. Dan apabila datang waktu maghrib,
sedang beliau belum berangkat, beliau mengumpulkan antara maghrib dan
‘isya. Apabila belum datang waktu maghrib beliaupun terus berangkat dan pada
waktu ‘isya beliau berhenti lalu beliau mengumpulkan antara keduanya.” (HR.
Ahmad dan Asy-Syafi’y)

C. SYARAT SHALAT JAMA’ dan SHALAT QASHAR

1.Syarat Shalat Jama’

Bagi seseorang diperbolehkan menjamak (menggabungkan) sholat zuhur


dengan asar dan magrib dengan isya'. Sedangkan shalat subuh tetap harus
dilakukan pada waktunya. Shalat jama' dapat dilakukan dengan syarat-syarat:

8
a.)Ketika berada di Arafah dan Muzdalifah Para ulama' sepakat bahwa
menjama' taqdim antara sholat dhuhur dengan shalat ashar ketika di Arafah dan
menjama' ta'khir antara shalat maghrib dengan shalat isya' di Muzdalifah adalah
sunnah. Dalam pendapat yang lain mengatakan bahwa menjamak taqdim di
Arafah maupun Muzdalifah. Berdasarkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud:
“Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan
satu saolat pun kecuali tepat pada waktunya selain 2 shalat yang beliau jamak
yakni zuhur dengan ashar di Arafah dan maghrib dengan isya’ di Muzdalifah.”
(Diriwayatkan oleh syaikhan)

b) Ketika dalam keadaan perjalanan


Menjamak dua shalat dalam satu waktu dari kedua shalat itu boleh dilakukan
dengan syarat-syarat berikut:
• Jarak perjalanan tersebut merupakan perjalanan yang dibolehkan
mengqashar. Imam Maliki berkata “Seorang musafir (orang yang sedang
bepergian) tidak boleh menjama’ sholat kecuali jika perjalanannya
memberatkan”
ُّ ‫ص ََلةِال‬
ْ‫ظ ْه ِر َوال‬ َ َ‫كَان ََرسوُلللَّ ِه َيجْ َمع َب ْين‬
ِ‫سي ٍْر َو َيجْ َمع َب ْينَا ْل َم ْغ ِر ِب َوا ْل ِعشَاء‬ َ ‫ص ِر ِإذَاكَانَ َعلَى‬
َ ‫ظ ْه ِر‬ ْ ‫ع‬
َ
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada
di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
• Jenis perjalanan yang diperbolehkan menjama’:
a. Menurut ibnu qosim perjalanan ibadah seperti Haji dan perang.
b.Menurut Imam Syafi’i perjalanan yang mubah, bukan perjalanan untuk
tujuan maksiat.

c) Ketika dalam keadaan hujan


Menurut Imam Syafi’ boleh menjamak bagi yang tidak bepergian namun
terdapat halangan hujan, baik diwaktu siang maupun malam. Sedangkan
menurut Malik, boleh menjamak di waktu malam dan tidak boleh diwaktu
siang. Malik juga membolehkan jamak ketika jalanan berlumpur dimalam hari.
Imam Bukhori meriwayatkan: “ Bahwa nabi menjamak sholat maghrib dan
isyak disuatu malam yang hujan lebat.”
“Rasulullah pernah menjamak salat zuhur dengan asar, maghrib dengan Isya’
tanpa ada alasan ketakutan atau turun hujan. Ditanyakan kepada Ibn Abbas: apa
maksud Nabi berbuat demikian itu? Maksudnya untuk tidak membeeratkan
ummatnya,’ jawab Ibnu Abbas” (Hadist Muslim).

9
d) Ketika dalam keadaan sakit atau udzur
Dibolehkan menjamak disebabkan sakit menurut ulama’ Hanbali, Maliki dan
Syafi’i. Ulama’ Hanbali memperluas kebolehan menjamak ini hingga boleh
juga bagi orang yang berhalangan (uzur) seperti wanita yang mengeluarkan
darah istihadhoh, orang besar kencing dan dan bagi wanita yang sedang
menyusui bila sukar mencuci kain setiap hendak shalat.

2. Syarat Shalat Qashar

a. Perjalanan Jauh bukan untuk Kemaksiatan


Bepergian itu disyaratkan bukan karena maksiat. Jadi meliputi pergi yang wajib
seperti pergi untuk melaksanakan ibadah haji dan membayar hutang dan
semacamnya, demikian pergi yang mubah seperti pergi untuk berdagang dan
berpesiar, juga meliputi pergi yang makruh seperti orang yang pergi sendirian
dan terpisah dari kawannya.

b. Jarak perjalanan mencapai 16 farsakh


Al-Bukhari menambahkan komentar pada riwayatnya: “Ibnu ‘Umar dan Ibnu
‘Abbas r.a. meong-qashar shalat dan tidak berpuasa dalam sepanjang perjalanan
empat bard, yaitu 19 fasakh, setara dengan 81 kilometer. Yang dilakukan
keduanya berdasarkan petunjuk Nabi (tauqifi) atau sepengetahuan Nabi Saw.,
(Al-Bukhari, Taqshir al-Shalah, Bab I “Fi Kam Taqshir al-Shalah”).

Jarak qashar shalat dalam kitab-kitab fiqh:

No Versi Ukuran (Km)


1 Versi kitab tanwir al-qulub 80,640
2 Versi mayoritas ulama’ 119,99988
3 Hanafiyyah 96
4 Kitab Fiqh al-Islami 88,74
5 Versi Imam Makmun 89,999992
6 Versi Imam Ahmad Hussain al-Mishiry 94,5

Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan
musafir melaksanakan sholat jama’ dan qashar. Imam Malik, As-Syafi’i dan
Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan mukim
(tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4
hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12 hari (H.R. Ahmad, dari
‘imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (Muttafaq ‘alayh,
dari Ibn ‘Abbas).

10
c. Shalat yang diqashar adalah empat rakaat.

d. Berniat meng-qashar shalat ketika takbiratul ihram.

e. Tidak bermakmum pada orang yang mukmin (penduduk setempat)


Madzhab Hanafi, dibolehkan meong-qashar shalat bagi siapa pun yang berniat
melakukan perjalanan dan bermaksud untuk tujuan tertentu meskipun ia
bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah melewati rumah-rumah di
daerah yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang menyatu
dengan desa. Selain itu disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan dalam tiga hal
berikut: bebas untuk menentukan bermukim atau bepergian, balig, dan
perjalanan tiga kurang dari tiga hari.

Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah:

a. Berniat untuk tinggal di suatu tempat selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari
datang dan pergi.

b. Ketika telah kembali ke tempat asalnya.

c.niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk


qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan syarat-syarat qashar.[19]

D. HAL-HAL YANG MEMPERBOLEHKAN SHALAT JAMA’ dan


SHALAT QASHAR

1. Shalat Jama’

a. Bermukim di Arafah dan Muzdalifah


Para ulama’ bersepakat bahwa menjama’ shalat dzuhur dan ashar secara taqdim
pada waktu dzuhur ketika berada di Arafah, begitu pula antara shalat maghrib
dan isya’ secara takhir di waktu isya’ ketika berada di Muzdalifah hukumnya
sunnah. Hal ini merujuk kepada sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah.

11
b. Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat
tinggal) atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan
menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir
sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat
dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu.

Seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW.

ِ‫ب َوا ْل ِعشَاء‬


ِ ‫سي ٍْر َويَجْ َم ُع بَ ْينَ ا ْل َم ْغ ِر‬ َ ‫علَى‬
َ ‫ظ ْه ِر‬ ْ ‫ظ ْه ِر َوا ْل َع‬
َ َ‫ص ِر ِإذَا َكان‬ ُّ ‫ص ََلةِ ال‬ ِ ‫َكانَ َرسُو ُل ه‬
َ َ‫َّللا يَجْ َم ُع بَيْن‬

”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada
di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)

c. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan
sangat lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur
dan ‘ashar,“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada
suatu malam yang diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari)

d. Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah
Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-
dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’

e. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap
orang, akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.

12
‫صَلَةِ إِ ْن خِ ْفت ُ ْم أَ ْن يَ ْفتِنَكُ ْم‬ ْ ‫ص ُروا‬
‫مِن ال ه‬ ُ ‫ح أَ ْن تَ ْق‬
ٌ ‫علَ ْيكُ ْم ُجنَا‬ َ ‫ب لَي‬
َ ‫ْس‬ ِ ‫طا‬‫ع ْن يَ ْعلَى ب ِْن أ ُ َميهةَ قَا َل قُ ْلتُ ِلعُ َم َر ب ِْن ا ْل َخ ه‬
َ
‫ع ْن‬
َ ‫سل َم‬ ‫ه‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ ‫ه‬
َ ُ‫صلى هللا‬ َ ِ‫سألتُ َرسُو َل هللا‬ ْ َ َ َ‫ع ِجبْتَ مِ ْنهُ ف‬
َ ‫ع ِجبْتُ مِ هما‬ َ ‫اس فَقَا َل‬ ُ ‫الهذِينَ َكف َُروا فَقَدْ أمِنَ النه‬
َ
‫ رواه مسلم‬.ُ‫صدَقَتَه‬ َ ‫علَ ْيكُ ْم فَا ْقبَلُوا‬
َ ‫صدهقَ هللاُ بِ َها‬ َ َ‫صدَقَةٌ ت‬ َ ‫ذَلِكَ فَقَا َل‬

“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada


‘Umar Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an
taqshuru minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal
sesungguhnya orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata:
Saya juga heran sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya
menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah
pemberian Allah yang diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah
pemberian-Nya.”(HR. Muslim)

f. Keperluan (kepentingan) Mendesak


Dalam banyak kejadian di masyarakat, kadang kalanya karena sibuk dengan
beberapa keperluan, kepentingan, mereka melupakan shalat yang telah menjadi
kewajiban bagi setiap muslim beriman. Maka boleh menjama’ shalat bagi orang
yang tidak dalam safar, jika ada kepentingan yang mendesak, asal hal itu tidak
dijadikan kebiasaan dalam hidupnya.

2. Shalat Qashar

Syarat yang membolehkan mengqashar sholat, yaitu :

a. Berniat untuk safar ( bepergian jauh ), dalam niat untuk safar disyaratkan dua
perkara :
Pertama, berniat untuk menempuh perjalanan dengan sempurna sejak mulai
awal perjalanannya.
Kedua, berhak menentukan niat sendiri, maka tidak cukup memerlukan niat
apabila seseorang pengikut tanpa adanya niat oleh orang yang diikuti.

b. Ketentuan qashar tidak berlaku pada perjalanan maksiat. Mayoritas ulama’


membolehkan mengqashar sholat bagi mereka yang melakukan perjalanan yang
sifatnya mendekatkan diri pada Allah SWT, seperti dalam perjalanan haji,
umroh dan jihad. Atau yang mubah seperti perjalanan untuk perdagangan,
menjenguk keluarga, dan sebagainya. Akan tetapi qoshor tidak berlaku bagi
orang yang melakukan perjalanan maksiat seperti merampok, memerangi
sesama muslim, dan sebagainya.
13
c. Seorang musafir ketika sholat tidak boleh makmum kepada orang yang
mukim atau musafir itu yang menyempurnakan sholatnya. Maka jika seseorang
melakukannya, dia wajib menyempurnakn sholatnya, walaupun saat menjadi
makmum ketika sedang tasyahud akhir. Sedangkan menurut Hanafiyah, apabila
bersamanya imam tidak mendapatkan raka’at secara sempurna, maka sholatnya
secara qashar.
Adapun seorang yang bermukim boleh menjadi makmum orang yang
bermusafir, dan bagi musafir hendaknya memberi tahukan bahwa ia akan
menqashar sholatnya, sehingga orang yang bermukim menyempurnakan
sholatnya.

14
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

Shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’
taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir. Sedangkan shalat
Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua rakaat
oleh seorang musafir.
Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:

‫اْ ِإ هن‬. ‫صلَ ٰوةِ ِإ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَن يَ ۡفتِنَكُ ُم ٱلهذِينَ َكف َُر ٓو‬ ُ ‫ح أَن ت َۡق‬
‫ص ُرواْ مِنَ ٱل ه‬ ٌ ‫علَ ۡيكُمۡ ُجنَا‬ َ ‫ض فَلَ ۡي‬
َ ‫س‬ ِ ‫ض َر ۡبتُمۡ فِي ۡٱۡل َ ۡر‬
َ ‫َو ِإذَا‬
َ ۡ‫ۡٱل ٰ َكف ِِرينَ كَانُواْ لَكُم‬
١٠١ ‫عد ُّٗوا ُّم ِب ّٗينا‬

Artinya:“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa


kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (Q.S.
An-Nisa’ [4]

B. SARAN

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.

Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.

15
DAFTAR PUSTAKA

al-Bugha, Musthafa Dib. 2012.Al-Tadzhib fi Adillati Matn al-Ghayah Kwa al-


Taqrib, diterjemahkan oleh Toto Edidarmo, Ringkasan Fikih Madzhab Syafi’i
Penjelasan Kitab Matan Abu Syuja’ dengan Dalil al-Qur’an dan Hadis.Jakarta:
Naoura Books.

al-Dimasyiqi, Syaikh al-Alamah Muhammad bin ‘Abdurrahman. 2015. Fikih


Empat Madzhab.Bandung: Hasyimi.

al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar. 1983.Kifayatl Akhyar, alih


bahasa: Anas Thohir Syamsuddin. Surabaya: Bina Ilmu.

ar-Rahbawi, Syaikh Abdul Qadir. 2007. as-Sholah ala al-Madzahib al-‘Arba’ah,


alih bahasa: Ahmad Yaman, Panduan Lengkap Shalat menurut Empat
Madzhab.Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Footnote :

[1] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
166.

[2] Rustam Dyah, Fikih Ibadah Kontemporer, (Semarang: CV. Karya Abadi,
2015), hal. 46.

[3] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
166.

[4] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I, (Jakarta: Gema Insani,


1995), hal. 328.

[5] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
167.

16

Anda mungkin juga menyukai