Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Shalat Jama’dan
Shalat Qashar” dengan tepat waktu.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa
lagi pada jaman modern ini adalah perjalanan. Perjalanan selalu membutuhkan
tenaga dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Demi sebuah
perjalanan, banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita
tinggalkan atau pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak
boleh kita tinggalkan meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah
kewajiban terhadap sang khalik, yaitu Shalat 5 waktu. Dalam Islam sudah
ditentukan aturan-aturan yang sangat mempermudah bagi para musafir. Shalat
yang dilaksanakan dalam perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada
para pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholihnya,
sebagaimana firman Allah SWT :
ۡ ِين
...... ج. مِن َح َر ِ ع َل ۡي ُكمۡ فِي ٱلد
َ ه َُو ٱجۡ تَ َب ٰى ُكمۡ َو َما َج َع َل......
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.” (QS.Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat.
Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat
ia disebut penghancur agama tetapi sebaliknya ketika ia melaksanakan shalat
dengan sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya,
seorang muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak
terkecuali dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia
diperbolehkan bertayammum, begitu pula dengan shalat yang dapat dilakukan
dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqashar (dipotong).
3
B. RUMUSAN MASALAH
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Shalat jama’
Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’
taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir.
Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal, shalat wajib harus
dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan. Akan tetapi apabila
dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81 Km,
atau dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’.
a. Jama’ Taqdim
Ialah penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama,
misalnya shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat
Dzuhur.
Syarat-syarat jama’Taqdim:
1) Jarak perjalanan minimal 2 marhalah.
2) Dalam perjalanan yang diperbolehkan (bukan perjalanan haram).
3) Urut (memulai dengan shalat yang pertama), yakni memulai shalat Dzuhur
atau shalat Maghrib terlebih dahulu kemudian diikuti shalat Ashar atau shalat
Isya’.
4) Niat jama’ sebelum selesai salam shalat yang pertama.
5) Waktu shalat yang pertama masih cukup untuk melaksanakan dua shalat
yang di- jama’.
5
6) Melakukan shalat yang pertama dan shalat yang kedua secara
berkesinambungan menurut pandangan umum atau tidak melebihi kadar shalat
dua rakaat dengan cepat.
7) Ada dugaan sahnya shalat yang pertama.
8) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga takbiratul ihram shalat yang kedua
sempurna.
9) Meyakini telah diperbolehkan jama’, sekiranya telah terpenuhi seluruh
syarat-syaratnya.
b. Jama’ Ta’khir
Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya
shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.
Syarat-syaratnya, yaitu:
1) Niat jama’ta’khir di waktu shalat yang pertama sekiranya masih tersisa kadar
waktu untuk melakukan satu rakaat shalat
2) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga shalat yang kedua selesai.
2. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua
rakaat oleh seorang musafir.
Para Imam telah sepakat bahwa musafir boleh meng-qashar shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah
qashar shalat itu merupakan rukhsah (keringanan) atau ‘azimah (ketetapan
mutlak). Selain itu, ulama’ berbeda pendapat dalam beberapa hal yaitu:
Mengqashar shalat dan hukumnya, Jarak tempuh perjalanan yang membolehkan
qashar, Jenis perjalanan yang membolehkan qashar, Tempat dibolehkannya
qashar, Batas perjalanan dan kebolehan qashar.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap
musafir. Maka fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4
rakaat dan tidak duduk sesudah 2 rakaat pertama, batallah shalatnya, karena ia
meninggalkan fardhu duduk terakhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua rakaat
pertama, shalat fardlunya dan dua rakaat yang akhir dihitung sunat. Dan itu juga
madzhab Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu ‘s-Sunan:
6
“Madzhab kebanyakan mala salaf dan fuqoha beberapa kota, qashar shalat
dalam perjalanan adalah wajib. Dan itu pendapat ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, dan pendapat ‘Umar bin Abd. ‘Aziz, Qataadan, dan al-Hasan”
Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal) berpendapat bahwa qashar
bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi), maka si mukallaf
dapat memilih tentang menggugurkan fardhu itu antara ‘azimah
menyempurnakan 4 rakaat dan rukhshah qashar. Tetapi mereka berbeda
pendapat mengenai hukum rukhshah ini:
Berkata ulama Hanabilah, bahwa qashar itu lebih utama dan tidak makruh
dengan ‘azimah. Dan itulah yang masyhur dari mazhab Syafi’i apabila
perjalanan itu 3 hari. Jika perjalanan kurang dari 3 hari, maka menyempurnakan
adalah lebih utama . kata mereka: itu untuk keluar dari ikhtilaf Abu Hanifah dan
orang-orang yang sependapat dengannya
Kaitannya dengan hal di atas dalam hal perjalanan dan kebolehan mengqashar
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang berniat
hendak bermukim lebih dari empat hari maka haurus mencukupkan shalat dan
kalau kurang dari 4 harimaka boleh mengqashar shalat. Kata Imam Abu
Hanifah, tidak boleh qashar kalau Safar itu kurang dari 3 marhalah, yakni
perjalanan 24 farsakh.
B. Dasar Hukum
Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:
اْ إِ هن. صلَ ٰوةِ إِ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَن يَ ۡفتِنَكُ ُم ٱلهذِينَ َكف َُر ٓو ُ ح أَن ت َۡق
ص ُرواْ مِنَ ٱل ه ٌ علَ ۡيكُمۡ ُجنَا ِ ض َر ۡبتُمۡ فِي ۡٱۡل َ ۡر
َ ض فَلَ ۡي
َ س َ َوإِذَا
َ ۡۡٱل ٰ َكف ِِرينَ كَانُواْ لَكُم
١٠١ عد ُّٗوا ُّمبِ ّٗينا
7
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah
berkata kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang
telah aman (tidak takut lagi). Umar menjawab, “Saya heran juga sebagaimana
engkau, maka saya tanyakan kepada Rasulullah Saw., dan beliau menjawab:
“Shalat qasar itu sedekah yang diberikan Allah kepada kamu, maka terimalah
olehmu sedekah-Nya (pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut
Abu Hanifah, bukanlah rukhsah (pelaksanaan kewajiban yang mendapat
keringanan karena ada kesulitan), melainkan ‘azimah (pelaksanaan kewajiban
yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, tidak mendapat
keringanan). Dengan demikian, shalat dalam perjalanan cukup dilakukan dua
rakaat saja.
Abu Ya’la berkata: “kebolehan menjama’kan shalat di dalam safar, adalah
dikala orang yang menjama’kan itu menghadapi halangan-halangan yang
membolehkan ia meninggalkan jama’ah dan Jum’at, umpamanya belum singgah
di suatu tempat.
Diberitakan oleh Kuraib dari Ibnu ‘Abbas RA. berkata: “apakah tidak lebih baik
saya kabarkan kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW. dalam safar ?” Kami
menjawab: “Baik sekali” kata Ibnu ‘Abbas: “Adalah Nabi SAW. dan apabila
telah tergelincir matahari sedang beliau masih di rumah (di tempat yang beliau
singgah) beliau kumpulkan antara dhuhur dan ‘ashar sebelum berangkat, dan
apabila matahari belum tergelincir waktu beliau masih di rumah, beliaupun
terus berangkat sehingga apabila telah datang waktu ‘ashar, beliaupun berhenti,
menjama’kan antara dhuhur dan ‘ashar. Dan apabila datang waktu maghrib,
sedang beliau belum berangkat, beliau mengumpulkan antara maghrib dan
‘isya. Apabila belum datang waktu maghrib beliaupun terus berangkat dan pada
waktu ‘isya beliau berhenti lalu beliau mengumpulkan antara keduanya.” (HR.
Ahmad dan Asy-Syafi’y)
8
a.)Ketika berada di Arafah dan Muzdalifah Para ulama' sepakat bahwa
menjama' taqdim antara sholat dhuhur dengan shalat ashar ketika di Arafah dan
menjama' ta'khir antara shalat maghrib dengan shalat isya' di Muzdalifah adalah
sunnah. Dalam pendapat yang lain mengatakan bahwa menjamak taqdim di
Arafah maupun Muzdalifah. Berdasarkan hadist dari Abdullah bin Mas’ud:
“Demi zat yang tiada tuhan selain Dia, Rasulullah tidak pernah mengerjakan
satu saolat pun kecuali tepat pada waktunya selain 2 shalat yang beliau jamak
yakni zuhur dengan ashar di Arafah dan maghrib dengan isya’ di Muzdalifah.”
(Diriwayatkan oleh syaikhan)
9
d) Ketika dalam keadaan sakit atau udzur
Dibolehkan menjamak disebabkan sakit menurut ulama’ Hanbali, Maliki dan
Syafi’i. Ulama’ Hanbali memperluas kebolehan menjamak ini hingga boleh
juga bagi orang yang berhalangan (uzur) seperti wanita yang mengeluarkan
darah istihadhoh, orang besar kencing dan dan bagi wanita yang sedang
menyusui bila sukar mencuci kain setiap hendak shalat.
Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan
musafir melaksanakan sholat jama’ dan qashar. Imam Malik, As-Syafi’i dan
Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan mukim
(tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4
hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12 hari (H.R. Ahmad, dari
‘imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (Muttafaq ‘alayh,
dari Ibn ‘Abbas).
10
c. Shalat yang diqashar adalah empat rakaat.
a. Berniat untuk tinggal di suatu tempat selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari
datang dan pergi.
1. Shalat Jama’
11
b. Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat
tinggal) atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan
menjama’ shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir
sama saja, dan selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat
dengan syarat tidak berniat untuk menetap di tempat itu.
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada
di tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
c. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan
sangat lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur
dan ‘ashar,“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada
suatu malam yang diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari)
d. Sakit
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah
Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-
dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’
e. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap
orang, akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
12
صَلَةِ إِ ْن خِ ْفت ُ ْم أَ ْن يَ ْفتِنَكُ ْم ْ ص ُروا
مِن ال ه ُ ح أَ ْن تَ ْق
ٌ علَ ْيكُ ْم ُجنَا َ ب لَي
َ ْس ِ طاع ْن يَ ْعلَى ب ِْن أ ُ َميهةَ قَا َل قُ ْلتُ ِلعُ َم َر ب ِْن ا ْل َخ ه
َ
ع ْن
َ سل َم ه َ
َ عل ْي ِه َو ه
َ ُصلى هللا َ ِسألتُ َرسُو َل هللا ْ َ َ َع ِجبْتَ مِ ْنهُ ف
َ ع ِجبْتُ مِ هما َ اس فَقَا َل ُ الهذِينَ َكف َُروا فَقَدْ أمِنَ النه
َ
رواه مسلم.ُصدَقَتَه َ علَ ْيكُ ْم فَا ْقبَلُوا
َ صدهقَ هللاُ بِ َها َ َصدَقَةٌ ت َ ذَلِكَ فَقَا َل
2. Shalat Qashar
a. Berniat untuk safar ( bepergian jauh ), dalam niat untuk safar disyaratkan dua
perkara :
Pertama, berniat untuk menempuh perjalanan dengan sempurna sejak mulai
awal perjalanannya.
Kedua, berhak menentukan niat sendiri, maka tidak cukup memerlukan niat
apabila seseorang pengikut tanpa adanya niat oleh orang yang diikuti.
14
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’
taqdim atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir. Sedangkan shalat
Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua rakaat
oleh seorang musafir.
Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:
اْ ِإ هن. صلَ ٰوةِ ِإ ۡن خِ ۡفتُمۡ أَن يَ ۡفتِنَكُ ُم ٱلهذِينَ َكف َُر ٓو ُ ح أَن ت َۡق
ص ُرواْ مِنَ ٱل ه ٌ علَ ۡيكُمۡ ُجنَا َ ض فَلَ ۡي
َ س ِ ض َر ۡبتُمۡ فِي ۡٱۡل َ ۡر
َ َو ِإذَا
َ ۡۡٱل ٰ َكف ِِرينَ كَانُواْ لَكُم
١٠١ عد ُّٗوا ُّم ِب ّٗينا
B. SARAN
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
15
DAFTAR PUSTAKA
Footnote :
[1] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
166.
[2] Rustam Dyah, Fikih Ibadah Kontemporer, (Semarang: CV. Karya Abadi,
2015), hal. 46.
[3] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
166.
[5] Tim kajian Ahla Shuffah, Kamus Fiqh, (Kediri: Lirboyo Press, 2014), hal.
167.
16