Disusun oleh :
Nama : Muhammad Fadli Noor Musyafa
Kelas : SKK2B
No : 13
NIPD : 200803037
1
DAFTAR ISI
C. Syarat ………………………………..……………………..…………...11
A. Kesimpulan ……………………………………………………………..17
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu kegiatan yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia, apa lagi
pada jaman modern ini adalah perjalanan. Perjalanan selalu membutuhkan tenaga
dan menyita waktu kita, entah itu banyak atau sedikit. Demi sebuah perjalanan,
banyak hal dan kadang kewajiban yang dengan terpaksa meski kita tinggalkan atau
pun kita tunda. Namun ada kewajiban-kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan
meski dengan alasan perjalanan. Salah satunya adalah kewajiban terhadap sang
khalik, yaitu Shalat 5 waktu. Dalam Islam sudah ditentukan aturan-aturan yang
sangat mempermudah bagi para musafir. Shalat yang dilaksanakan dalam
perjalanan biasa disebut sholatus safar.
Islam adalah agama Allah SWT yang banyak memberikan kemudahan kepada para
pemeluknya didalam melakukan berbagai ibadah dan amal sholihnya, sebagaimana
firman Allah SWT :
Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
3
kesempitan.” (QS.Al Hajj : 78)
Islam juga dibangun dengan lima pilar. Salah satu pilarnya adalah shalat.
Karenanya shalat merupakan tiang agama. Ketika seorang meninggalkan shalat ia
disebut penghancur agama tetapi sebaliknya ketika ia melaksanakan shalat dengan
sebaik-baiknya maka ia disebut sebagai penegak agama. Karenanya, seorang
muslim tidak boleh meninggalkan shalat walau bagaimanapun juga tak terkecuali
dalam bepergian.
Seperti halnya seorang yang tidak memiliki air untuk berwudhu maka ia
diperbolehkan bertayammum, begitu pula dengan shalat yang dapat dilakukan
dengan cara dijama’ (dirangkap) maupun diqashar (dipotong).
B. Rumusan Masalah
4
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Shalat jama’
Shalat jama’adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’ taqdim
atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir.[1]
Pada prinsipnya dalam situasi dan kondisi yang normal, shalat wajib harus
dikerjakan sesuai dengan waktunya yang sudah ditentukan. Akan tetapi apabila
dalam keadaan bepergian (musafir) yang jauhnya antara kurang lebih 81 Km, atau
dalam keadaan masyaqqat, boleh dilakukan dengan cara jama’.[2]
a. Jama’ Taqdim
5
Ialah penggabungan shalat yang dilaksanakan pada waktu shalat yang pertama,
misalnya shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dikerjakan pada saat waktu shalat
Dzuhur.
Syarat-syarat jama’Taqdim:[5]
3) Urut (memulai dengan shalat yang pertama), yakni memulai shalat Dzuhur atau
shalat Maghrib terlebih dahulu kemudian diikuti shalat Ashar atau shalat Isya’
5) Waktu shalat yang pertama masih cukup untuk melaksanakan dua shalat yang
di- jama’
8) Masih dalam perjalanan (uzur) hingga takbiratul ihram shalat yang kedua
6
sempurna
b. Jama’ Ta’khir
Shalat jamak yang dilaksanakan pada waktu shalat yang terakhir, misalnya shalat
Dzuhur dengan shalat Ashar dilaksanakan pada saat waktu shalat Ashar.
Syarat-syaratnya, yaitu:
1) Niat jama’ta’khir di waktu shalat yang pertama sekiranya masih tersisa kadar
waktu untuk melakukan satu rakaat shalat
2. Shalat Qashar
Shalat Qashar adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua
rakaat oleh seorang musafir.[6]
Para Imam telah sepakat bahwa musafir boleh meng-qashar shalat yang empat
rakaat menjadi dua rakaat. Namun, mereka berbeda pendapat tentang apakah
7
qashar shalat itu merupakan rukhsah (keringanan) atau ‘azimah (ketetapan mutlak).
[7] Selain itu, ulama’ berbeda pendapat dalam beberapa hal yaitu: Mengqashar
shalat dan hukumnya, Jarak tempuh perjalanan yang membolehkan qashar, Jenis
perjalanan yang membolehkan qashar, Tempat dibolehkannya qashar, Batas
perjalanan dan kebolehan qashar.[8]
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qashar itu wajib ‘ain atas tiap-tiap musafir.
Maka fardhunya hanya 2 rakaat saja, sehingga apabila ia berniat 4 rakaat dan tidak
duduk sesudah 2 rakaat pertama, batallah shalatnya, karena ia meninggalkan
fardhu duduk terakhir. Dan apabila ia duduk sesudah dua rakaat pertama, shalat
fardlunya dan dua rakaat yang akhir dihitung sunat. Dan itu juga madzhab
Hadawiyyah. Berkata al-Khaththaby dalam: ma’alimu ‘s-Sunan:
“Madzhab kebanyakan mala salaf dan fuqoha beberapa kota, qashar shalat dalam
perjalanan adalah wajib. Dan itu pendapat ‘Ali, ‘Umar, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas,
dan pendapat ‘Umar bin Abd. ‘Aziz, Qataadan, dan al-Hasan”
Tiga Imam (Malik, Syafi’i, dan Ahmad Ibnu Hanbal) berpendapat bahwa qashar
bukan wajib ‘ain, melainkan hanya rukhsah (dispensasi), maka si mukallaf dapat
memilih tentang menggugurkan fardhu itu antara ‘azimah menyempurnakan 4
rakaat dan rukhshah qashar. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai hukum
rukhshah ini:
Kaitannya dengan hal di atas dalam hal perjalanan dan kebolehan mengqashar
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang berniat hendak
bermukim lebih dari empat hari maka haurus mencukupkan shalat dan kalau
kurang dari 4 harimaka boleh mengqashar shalat.[10] Kata Imam Abu Hanifah,
tidak boleh qashar kalau Safar itu kurang dari 3 marhalah, yakni perjalanan 24
farsakh.[11]
B. Dasar Hukum
Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:
ۚ
َصلَ ٰو ِة ِإ ۡن ِخ ۡفتُمۡ َأن يَ ۡفتِنَ ُك ُم ٱلَّ ِذينَ َكفَر ُٓو ْا ِإ َّن ۡٱل ٰ َكفِ ِرين ْ صر
َّ ُوا ِمنَ ٱل ُ س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح َأن ت َۡق ِ ض َر ۡبتُمۡ فِي ٱَأۡل ۡر
َ ض فَلَ ۡي َ َوِإ َذا
ْ ُ َكان
١٠١ وا لَ ُكمۡ َع ُد ٗ ّوا ُّمبِ ٗينا
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, shalat dua rakaat dalam perjalanan menurut
Abu Hanifah, bukanlah rukhsah (pelaksanaan kewajiban yang mendapat
keringanan karena ada kesulitan), melainkan ‘azimah (pelaksanaan kewajiban yang
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, tidak mendapat keringanan).
Dengan demikian, shalat dalam perjalanan cukup dilakukan dua rakaat saja.[13]
Abu Ya’la berkata: “kebolehan menjama’kan shalat di dalam safar, adalah dikala
orang yang menjama’kan itu menghadapi halangan-halangan yang membolehkan
ia meninggalkan jama’ah dan Jum’at, umpamanya belum singgah di suatu tempat.
Diberitakan oleh Kuraib dari Ibnu ‘Abbas RA. berkata: “apakah tidak lebih baik
saya kabarkan kepadamu tentang shalat Rasulullah SAW. dalam safar ?” Kami
menjawab: “Baik sekali” kata Ibnu ‘Abbas: “Adalah Nabi SAW. dan apabila telah
tergelincir matahari sedang beliau masih di rumah (di tempat yang beliau singgah)
beliau kumpulkan antara dhuhur dan ‘ashar sebelum berangkat, dan apabila
matahari belum tergelincir waktu beliau masih di rumah, beliaupun terus berangkat
sehingga apabila telah datang waktu ‘ashar, beliaupun berhenti, menjama’kan
antara dhuhur dan ‘ashar. Dan apabila datang waktu maghrib, sedang beliau belum
10
berangkat, beliau mengumpulkan antara maghrib dan ‘isya. Apabila belum datang
waktu maghrib beliaupun terus berangkat dan pada waktu ‘isya beliau berhenti lalu
beliau mengumpulkan antara keduanya.” (HR. Ahmad dan Asy-Syafi’y)
C. Syarat
Bepergian itu disyaratkan bukan karena maksiat. Jadi meliputi pergi yang wajib
seperti pergi untuk melaksanakan ibadah haji dan membayar hutang dan
semacamnya, demikian pergi yang mubah seperti pergi untuk berdagang dan
berpesiar, juga meliputi pergi yang makruh seperti orang yang pergi sendirian dan
terpisah dari kawannya.[14]
11
No Versi Ukuran (Km)
3 Hanafiyyah 96
Para ulama juga berbeda pendapat berapa lama perjalanan yang membolehkan
musafir melaksanakan sholat jama’ dan qashar. Imam Malik, As-Syafi’i dan
Ahmad berpendapat bahwa maksimal 3 hari bagi muhajirin yang akan mukim
(tinggal) di tempat tersebut. Sementara ada juga yang berpendapat maksimal 4
hari, 10 hari (Muttafaq ‘alayh, dari Anas bin Malik), 12 hari (H.R. Ahmad, dari
‘imran), 15 hari (pendapat Abu Hanifah), 17 hari, dan 19 hari (Muttafaq ‘alayh,
dari Ibn ‘Abbas).
12
d. Berniat meng-qashar shalat ketika takbiratul ihram[17]
Madzhab Hanafi, dibolehkan meong-qashar shalat bagi siapa pun yang berniat
melakukan perjalanan dan bermaksud untuk tujuan tertentu meskipun ia
bermaksiat dalam perjalanannya selama ia telah melewati rumah-rumah di daerah
yang menjadi tempat tinggalnya, melewati bangunan yang menyatu dengan desa.
Selain itu disyaratkan untuk sahnya niat perjalanan dalam tiga hal berikut: bebas
untuk menentukan bermukim atau bepergian, balig, dan perjalanan tiga kurang dari
tiga hari.[18]
Sedangkan hal-hal yang menghalangi qashar adalah (1) berniat untuk tinggal di
suatu tempat selama 4 hari, tanpa termasuk 2 hari datang dan pergi. (2) ketika telah
kembali ke tempat asalnya. (3) niat kembali, sebelum menempuh jarak perjalanan
yang diperbolehkan untuk qashar, dan ini telah diketahui di awal pembahasan
syarat-syarat qashar.[19]
Para ulama’ bersepakat bahwa menjama’ shalat dzuhur dan ashar secara taqdim
pada waktu dzuhur ketika berada di Arafah, begitu pula antara shalat maghrib dan
isya’ secara takhir di waktu isya’ ketika berada di Muzdalifah hukumnya sunnah.
Hal ini merujuk kepada sunnah fi’liyah (perbuatan) Rasulullah.
13
b. Safar (Bepergian)
Bagi orang yang sedang atau akan bepergian, baik masih di rumah (tempat tinggal)
atau dalam perjalanan, dan atau sudah sampai di tujuan, dibolehkan menjama’
shalat, baik dilakukan secara jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir sama saja, dan
selama berada ditempat yang dituju tetap boleh menjama’ shalat dengan syarat
tidak berniat untuk menetap di tempat itu. Seperti yang dilakukan oleh Rasul
SAW.
”Rasulullah menjamak antara shalat Dhuhur dan Ashar bilamana beliau berada di
tengah perjalanan dan menjamak antara Maghrib dan Isya’.(HR. Bukhari)
c. Hujan
Jika seseorang berada di suatu masjid atau mushalla, tiba-tiba turun hujan sangat
lebat, maka dibolehkan menjama’ shalat maghrib dengan ‘isya’, dzuhur dan
‘ashar,“Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu
malam yang diguyur hujan lebat.” (HR. Bukhari)
d. Sakit
14
Sakit merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, dan apabila seseorang sabar
dalam menghadapi cobaan dan ujian sakit ini, dan tetap menjalankan perintah
Allah dan Rasul-Nya, khususnya perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-
dosanya, sekalipun shalat itu dikerjakan dengan cara dijama’
e. Takut
Takut dalam masalah ini bukan takut seperti yang biasa dialami oleh setiap orang,
akan tetapi yang dimaksud takut disini yaitu takut secara bathin.
“Diriwayatkan dari Ya’la Ibn Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Umar
Ibnul Khaththab tentang (firman Allah): "Laisa ‘alaikum junaahun an taqshuru
minashalah in khiftum an yaftinakumu-lladzina kafaru". Padahal sesungguhnya
orang-orang dalam keadaan aman. Kemudian Umar berkata: Saya juga heran
sebagaimana anda heran terhadap hal itu. Kemudian saya menanyakan hal itu
kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: Itu adalah pemberian Allah yang
diberikan kepada kamu sekalian, maka terimalah pemberian-Nya.”(HR. Muslim)
16
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat jama’ adalah mengumpulkan shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat
Maghrib dan shalat Isya’ di waktu shalat yang pertama yang disebut jama’ taqdim
atau di waktu shalat kedua yang disebut jama’ ta’khir. Sedangkan shalat Qashar
adalah melaksanakan shalat Dzuhur, Ashar atau Isya’ dengan dua rakaat oleh
seorang musafir
Ada beberapa dasar hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis, yaitu:
ۚ
َصلَ ٰو ِة ِإ ۡن ِخ ۡفتُمۡ َأن يَ ۡفتِنَ ُك ُم ٱلَّ ِذينَ َكفَر ُٓو ْا ِإ َّن ۡٱل ٰ َكفِ ِرين ْ صر
َّ ُوا ِمنَ ٱل ُ س َعلَ ۡي ُكمۡ ُجنَا ٌح َأن ت َۡق ِ ض َر ۡبتُمۡ فِي ٱَأۡل ۡر
َ ض فَلَ ۡي َ َوِإ َذا
ْ ُ َكان
١٠١ وا لَ ُكمۡ َع ُد ٗ ّوا ُّمبِ ٗينا
Dan sabda Rasulullah Saw:Telah bercerita Ya’la bin Umaiyah, “Saya telah berkata
kepada Umar, Allah berfirman jika kamu takut, sedangkan sekarang telah aman
(tidak takut lagi). Umar menjawab, “Saya heran juga sebagaimana engkau, maka
saya tanyakan kepada Rasulullah Saw., dan beliau menjawab: “Shalat qasar itu
sedekah yang diberikan Allah kepada kamu, maka terimalah olehmu sedekah-Nya
(pemberian-Nya) itu”. (HR. Muslim)
17
Syarat sahnya adalah perjalanan Jauh bukan untuk Kemaksiatan, Jarak perjalanan
mencapai 16 farsakh, Shalat yang diqashar adalah empat rakaat, Berniat meng-
qashar shalat ketika takbiratul ihram, dan Tidak bermakmum pada orang yang
mukmin (penduduk setempat).
18