Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arzy Nurzaman

NIM : 21123052
Kelas : HI 3

KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM


Beberapa waktu lalu, media massa ramai memuat video tentang barisan salat berjamaah
bercampur antara laki-laki dan perempuan di satu pondok pesantren. Tak lama kemudian,
beredar pula video yang memperlihatkan seorang perempuan menjadi imam salat bagi
makmum yang di antaranya terdapat laki-laki.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (Kaprodi
KPI) Dr. Hadiyan, MA.,menyatakan bahwa kejadian tersebut sebetulnya dapat dijelaskan
dengan menggunakan firman Allah SWT, dan sunnah Rasul SAW. Menurutnya, dalam ajaran
Islam manusia terkena sebagai objek syariat yang disebut sebagai mukallaf.
“Jangan lihat pada level kasus, tapi pada level aturan atau regulasi yang ditetapkan Allah
SWT. Dalam ajaran agama Islam, umat muslim diperintahkan untuk berpacu pada Al-Qur’an
dan sunnah,” pungkas Hadiyan.
Meskipun Al-Qur’an tidak menjelaskan secara khusus tata cara beribadah, tapi itu dapat
ditemukan dalam riwayat nabi Muhammad SAW. Perihal perempuan dalam ibadah tertentu
misalnya menjadi imam salat, khatib, dan posisi shaf salat yang bercampur dengan laki-laki,
dapat mengacu pada riwayat nabi.
Perempuan Jadi Imam Salat
Jauh sebelum kasus yang dijelaskan pada awal tulisan, Hadiyan mengatakan bahwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) tepatnya pada 2005, telah mengeluarkan fatwa tentang hukum
perempuan jadi imam salat.
Melalui Fatwa Nomor 9/MUNAS VII/MUI/13/2005, MUI menetapkan dua hal. Pertama,
perempuan menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat orang
laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Kedua, perempuan menjadi imam shalat
berjama’ah yang makmumnya perempuan, hukumnya mubah.
Shaf Perempuan Bercampur dengan Laki-laki
Terkait shaf salat, Hadiyan selanjutnya menjelaskan bahwa hal tersebut mengacu pada hadis
nabi yang diriwayatkan oleh Muslim.
‫ َو َخْيُر ُص ُفوِف الِّنَس اِء آِخ ُرَها َو َش ُّر َها َأَّو ُلَها‬،‫َخْيُر ُص ُفوِف الِّر َج اِل َأَّو ُلَها َو َش ُّر َها آِخ ُرَها‬
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang
paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Shaf yang paling baik bagi wanita
adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf
yang paling awal.” (HR. Muslim).
Hadiyan mengatakan boleh jadi alasan shaf paling baik bagi laki-laki adalah yang paling awal,
karena akan menjauhkan pandangannya dari perempuan yang posisi shafnya berada di
belakang laki-laki. “Rasululah memberikan semacam kesempatan untuk jadi barisan terbaik
bagi laki-laki di depan. Boleh jadi orang punya tingkat kekhusyukan yang berbeda. Bisa jadi
tidak khusyuk karena ada lawan jenis. Sementara, barisan paling baik bagi perempuan
adalah paling belakang,” ungkap Hadiyan.
Perempuan Jadi Khotib Salat Jumat
Selanjutnya Hadiyan menjelaskan tentang khotib salat Jumat. Dengan tegas ia menjelaskan
bahwa tidak ada riwayat nabi yang memberikan kesempatan bagi perempuan menjadi
khatib baik pada salat Jumat, salat Idul Fitri maupun Idul Adha.
“Dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara eksplisit. Bahkan dalam riwayat nabi yang menjadi
pedoman setelah Al-Qur’an , tidak pernah ada perempuan menjadi khotib. Maka dalam
hukum Islam berlaku rumus tauqif wal ittiba’ yang berarti diam dan mengikuti. Dengarkan
Rasul, diam tidak boleh bermain-main dengan logika. Setelah itu kemudian ikuti,” tegas
Hadiyan.
Kesetaraan Gender dalam Ibadah
Allah Swt., telah memberikan keleluasaan bagi perempuan maupun laki-laki untuk
beribadah. Tidak ada perbedaan sehingga keduanya dapat berdampingan beribadah untuk
sama-sama mendapatkan ridho dan rahmatNya.
Sebagaimana dijelaskan Allah dalam QS. An-Nahl ayat 97 yang dikatakan Hadiyan
memberikan pesan tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal ibadah
pada Allah SWT.
‫َم ْن َع ِمَل َٰص ِلًحا ِّم ن َذ َك ٍر َأْو ُأنَثٰى َو ُهَو ُم ْؤ ِم ٌن َفَلُنْح ِيَيَّن ۥُه َحَيٰو ًة َطِّيَبًةۖ َو َلَنْج ِزَيَّنُهْم َأْج َر ُهم ِبَأْح َس ِن َم ا َك اُنو۟ا َيْع َم ُلوَن‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan,” (QS. An-Nahl:97).
Dari ayat tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada masalah dalam agama Islam perihal
muamalah. “Islam sangat mengedepankan kesetaraan gender. Salat itu sebagian dari amal
saleh yang terbuka bagi perempuan dan laki-laki untuk mengerjakan sebaik-baiknya,”
ungkap Hadiyan.
Semisal ada perasaan dalam diri perempuan karena banyak peran yang dikaruniakan Allah
pada laki-laki dalam hal beribadah seperti khotib, imam salat, berperang, dan lain
sebagainya, Hadiyan mengatakan bahwa hal tersebut dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-
Nisa ayat 32.
‫َو اَل َتَتَم َّنْو ا َم ا َفَّض َل ُهَّللا ِبِه َبْع َض ُك ْم َع َلٰى َبْع ٍضۚ ِللِّر َج اِل َنِص يٌب ِمَّم ا اْك َتَس ُبواۖ َوِللِّنَس اِء َنِص يٌب ِمَّم ا اْك َتَس ْبَن ۚ َو اْس َأُلوا َهَّللا ِم ْن‬
‫َفْض ِلِهۗ ِإَّن َهَّللا َك اَن ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليًم ا‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu
lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. An-Nisa: 32).
Berdasarkan ayat tersebut, Hadiyan mengatakan bahwa Allah menghamparkan keutamaan-
keutamaan-Nya di alam raya, baik yang ada di luar manusia maupun dalam diri manusia.
Karunia yang Allah berikan pada laki-laki memang banyak seperti kekuatan, ketegasan,
dapat kesempatan untuk berjihad di medan perang. Namun karunia Allah untuk kaum
perempuan tidak kalah banyak pula seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan lain-
lain. Karunia perempuan juga dijelaskan melalui hadis Nabi yang mengatakan hormati ibu
tiga kali lebih dulu dari pada bapak, itu. Kemampuan hamil, melahirkan, menyusui,
merupakan keniscayaan maka, dikatakan Hadiyan, orang yang punya tugas tersebut adalah
orang yang punya kasih sayang dan kelembutan.
Berkaitan dengan posisi perempuan dan laki-laki, Hadiyan mengutip Guru Besar Alm. Prof.
Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A. melalui Fikih Kontemporer yang menyebut
perempuan dan laki-laki adalah mitra.
“Posisi dan hubungannya bukan berlawanan tapi berselaras yaitu tanawwu’. Pendekatannya
mitra bukan bertolak belakang atau berlawanan. Jadi jangan karena anugerah pada masing-
masing kemudian laki-laki mendominasi perempuan atau sebaliknya. Ada kelebihan dan
kekurangan pada diri masing-masing untuk saling melengkapi,” pungkas Hadiyan.
Hadiyan menjelaskan dari beberapa kasus yang dibahas, terdapat dua hikmah yaitu secara
vertikal dan horizontal. Secara vertikal umat muslim semakin tunduk pada kemuliaan agama
Islam dan Sang Pencipta, karena syariat-syariatNya telah lengkap dan sempurn.
Sedangkan secara horizontal dapat semakin memperkuat interaksi, kerja sama, dan
kemitraan antara perempuan dan laki-laki untuk melakukan tugas besar. “Manusia mesti
tahu diri bahwa masing-masing punya kekurangan. Maka, laki-laki menghormati perempuan
atas kelebihnnya dan sebaliknya perempuan menghormati laki-laki atas kelebihannya.
Ta’awun saling kerja sama bukan saling mendominasi,” tutup Hadiyan.
PANDANGAN GENDER DALAM ISLAM MENURUT PANDANGAN SENDIRI
Perlu dicatat bahwa Islam sebagai agama memiliki berbagai interpretasi dan pemahaman
yang beragam, dan pandangan individu bisa bervariasi. Dalam konteks pandangan umum
Islam tentang gender, ada beberapa prinsip utama yang dapat diidentifikasi. Namun,
penting untuk diingat bahwa ini adalah pandangan umum dan bukan pandangan tunggal.
Kesetaraan di Hadapan Allah:
Islam mengajarkan bahwa semua manusia, baik pria maupun wanita, adalah makhluk Allah
yang setara di hadapan-Nya. Al-Qur'an menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari
satu jiwa (QS. An-Nisa: 1) dan bahwa ketakwaan adalah kriteria utama perbedaan di antara
mereka (QS. Al-Hujurat: 13).
Peran dan Tanggung Jawab:
Meskipun ada kesetaraan di hadapan Allah, Islam mengakui perbedaan biologis antara pria
dan wanita dan mengakui peran dan tanggung jawab yang berbeda bagi keduanya. Dalam
beberapa konteks, seperti peran sebagai kepala keluarga, Islam menetapkan tanggung
jawab khusus bagi pria.
Pakaian dan Adab Berpakaian:
Islam mengajarkan adab berpakaian yang sopan untuk pria dan wanita. Wanita Muslim
diwajibkan untuk menutup aurat mereka, sementara pria juga dianjurkan untuk berpakaian
sopan.
Pendidikan dan Pengetahuan:
Islam mendorong pendidikan bagi semua individu, termasuk perempuan. Nabi Muhammad
SAW menyatakan pentingnya pengetahuan dan pendidikan, baik bagi pria maupun wanita.
Pernikahan dan Keluarga:
Islam mengajarkan nilai-nilai keluarga dan pentingnya pernikahan. Pria dan wanita dianggap
sebagai pasangan hidup yang saling melengkapi dan membantu satu sama lain dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam memahami pandangan Islam tentang gender, sangat penting untuk memahami
konteks historis dan budaya di mana ajaran tersebut muncul. Selain itu, perlu diingat bahwa
interpretasi dan pemahaman dapat bervariasi di antara umat Islam, dan pendapat individu
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti budaya, pendidikan, dan pemahaman pribadi.

Link Artikel
https://umj.ac.id/opini-1/konsep-kesetaraan-gender-dalam-islam/

Anda mungkin juga menyukai