Anda di halaman 1dari 11

Makalah Muhammadiyah dan Pemberdayaan Perempuan

MOH. AINUR ROHMAN


NIM. 1910652002

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemberdayaan kaum perempuan, termasuk di dalamnya organisasi perempuan
sangat penting dan selalu relevan untuk diperjuangkan secara serius melalui
upaya-upaya yang comprehensif, sistematis, dan berkesinambungan. Banyak
upaya yang dapat dilakukan secara bersama-sama dalam rangka membantu
pemberdayaan kaum perempuan.
Dianatara persoalan sosial yang saat ini menjadi perhatian masyarakat
adalah tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Bermuculnya
kriminalitas yang menjadikan perempuan sebagai korban telah cukup lama
menjadi perhatian pemerintah maupun organisasi sosial kemasyarakatan.
Muhammadiyah merupakan salah satu dari sekian elemen masyarakat yang
cukup konsern dalam menyelesaikan persoalan perempuan akibat diskriminasi
yang melanda merek

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara K.H Ahmad Dahlan memberdayakan perempuan ?
2. Bagaimana kesetaraan gender dalam Muhammadiyah ?
3. Apa pengertian Aisyiyah ?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini agar pembaca mengerti tentang
Muhammadiyah dan Pemberdayaan Perempuan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Cara K.H Ahmad Dahlan Memberdayakan Perempuan


Ajaran KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memandang bahwa laki-
laki dan perempuan adalah setara. Kyai Dahlan sangat memperhatikan perempuan
sebagai generasi penerus umat islam. Karena itulah, Kyai Dahlan menyuruh
agar perempuan juga harus belajar dan bersekolah selayaknya para kaum laki-laki.
Komitmen Muhammadiyah dalam hal perlindungan hak perempuan salah
satunya adalah dengan dibentuknya ortom Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah.
Berdirinya Aisyiah tidak terlepas dari berdirinya Muhammadiyah itu sendiri.
Sejak awal Kyai Dahlan sangat peduli terhadap pemberdayaan perempuan agar
berperan dalam aktifitas sosial kemasyarakat. Dengan ortom tersebut,
Muhammadiyah memandang bahwa perempuan juga berpotensi untuk aktif dalam
menggerakkan organisasi yang kala itu didominasi oleh kaum laki-laki.
Beberapa kader perempuan yang kala itu pernah di didik oleh Kyai
Dahlan antara lain Siti Badriah, Siti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busyro, Siti
Dawingah, dan Siti Badingah Zubair. Bersama dengan Nyai Walidah, istri beliau,
Kyai Dahlan membentuk lingkaran pengajian yang kemudian dikenal dengan
Sopo Tresno. Lingkar pengajian ini merupakan cikal bakal berdirinya organisasi
sayap perempuan Muhammadiyah Aisyiah.
Kesetaran hak perempuan dengan laki-laki dalam peran-peran publik
bukanlah hal yang asing di lingkungan Muhammadiyah. Dengan kenyataan
tersebut, Muhammadiyah sudah semestinya menjadi lingkungan yang ramah
terhadap pembinaan dan pemberdayaan potensi perempuan agar mampu berperan
lebih luas dalam wilayah publik. Perempuan sudah semestinya memberikan warna
yang tegas dalam langgam pergerakan Muhammadiyah di ranah sosial. Kecuali
itu, Muhammadiyah juga semestinya memiliki sensifitas yang tinggi terhadap
persoalan diskriminasi dan tindak kriminalitas yang menjadikan perempuan
sebagai korban di tengah masyarakat.
Namun demikian, apakah realitas di lingkungan Muhammadiyah saat ini
sudah ramah bagi perkembangan potensi perempuan ? Nampaknya belum

2
sepenuhnya demikian. Jika kita menilik pada pimpinan yang aktif di persyarikatan,
hampir sebagian besar adalah dari para laki-laki. Dalam kebutuhan tabligh atau
pengajian misalnya, sedikit sekali dapat kita temukan di kalangan perempuan
yang berani tampil di tengah-tengah forum besar. Preferensi warga Muhammadiyah
terhadap pemimpin di struktur Muhammadiyah pun lebih condong pada kaum laki-
laki.
Realitas ini menunjukkan bahwa lingkungan persyarikatan masih bersifat
maskulin. Lingkungan Muhammadiyah belum cukup mendukung bagi perempuan
untuk sadar akan pentingnya peran mereka dalam posisi- posisi strategis di struktur
pimpinan Muhammadiyah.

B. Kesetaraan Gender Dalam Muhammadiyah


Apakah yang dimaksud dengan ‘Kesetaraan Gender’ laki-laki dan
perempuan? Dan apa pendapat Anda dengan ‘Persamaan Gender’ tersebut? Dan
apa alasannya?
Isu ‘persamaan’ ini telah muncul dan telah menjadi opini seluruh dunia pada
tahun 1976 yang disebut dengan kesepakatan ASSIDOWI. Kesepakatan
ASSIDOWI ini merupakan sebuah diskriminasi terhadap kaum wanita. Di
dalamnya terdapat konsesus yang membahas 16 permasalahan yang menuntut
persamaan mutlak antara perempuan dan laki-laki., baik itu persamaan dalam
lapangan sosial (peranan kemasyarakatan), kemanusiaan, hak dan kewajiban,
pendidikan dan tentu saja dalam lapangan pekerjaan. Permasalahan ini sebenarnya
tidak perlu dikonttadiksikan, karena sejak penciptaan laki-laki dan perempuan itu
saja sudah ada perbedaam secara alami. Sebab, keduanya memiliki peranan
masing-masing. Karena, apabila kita mentaddaburi ayat-ayat al-Qur`an, maka kita
akan menemukan bahwa Allah swt. menjadikan suatu aspek, di satu sisi bisa
dikerjakan perempuan tetapi tidak bisa dikerjakan oleh laki-laki dan begitu
sebaliknya. Jadi, senantiasa ada hubungan timbal-balik. Dan aspek pemuliaan
(takrîm) kepada laki-laki dan perempuan itu adalah sama, sebagaimana Allah swt.
telah menerangkan dalam salah satu firman-Nya: “Walaqad karamnâ banî Âdam
wa hamalnâhu fî`l barri wa`l bahr.i” Di dalam surat Ali Imran Allah swt. juga
menerangkan dalam salah satu ayat yang artinya sebagai berikut; “Maka tatkala

3
istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata; Ya Tuhanku, sesungguhnya
aku melahirkannya seorang anak perempuan dan Allah mengetahui apa yang
dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidak sama dengan anak perempuan.
Dan dari ayat tersebut di atas, dijelaskan bahwa setiap orang
mempunyai tanggungjawab masing-masing. Oleh karena itu, tidak boleh
disamakan sesuatu yang sudah pasti berbeda sebagaimana yang dipersepsikan
oleh orang lain. Kita menyebut persamaan ini dengan ‘takâful’, yang berarti
saling melengkapi dan tidak menyebutnya ‘tamâsul’ yang bermakna persamaan
secara mutlak. Dimana di dalamnya dapat menghilangkan karakteristik laki-laki
dan perempuan itu sendiri. Sekarang ini, mereka (baca: orang-orang Barat)
melegalkan pernikahan ‘antargay’ atau ‘antarlesbi’. Pernikahan ini berlangsung di
gereja-gereja mereka dan bahkan di dalamnya terdapat undang-undang yang diatur
untuk mendukung pernikahan semacam itu. Mereka juga mengklaim bahwa hal itu
merupakan justifikasi untuk membela Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga
persamaan gender ini bisa diakui. Klaim ini telah sampai dan menyebar ke berbagai
negara Islam. Tetapi kita telah berupaya untuk menentang hal tersebut, karena
bertentangan dengan ketetapan Allah swt.. Dan ini dapat kita perhatikan dari
konsep penciptaan manusia, karena Allah swt. telah menciptakan Adam terlebih
dahulu baru kemudian menciptakan Hawa. Kehidupan ini tidak akan selaras tanpa
adanya perbedaan yang saling melengkapi satu sama lainnya. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Allah swt. dalam QS. Al Ahzab; 35:
”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (asma) Allah,
Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Dalam ayat ini telah terkonsep ‘persamaan’ antara laki-laki dan perempuan
sesuai dengan tuntunan syar’i. Jadi, intinya persamaan itu adalah persamaan di
dalam iman, kejujuran, keikhlasan, berdzkir, memelihara kemaluan, zakat,
puasa, dan sebagainya. Dan inilah yang dituntut dalam Islam.

4
Dengan demikian, aturan dasarnya harus kita mulai dari aturan dasar pertama
yang menjadi sandaran atau prinsip utama, yaitu saling melengkapi adanya laki-
laki dan perempuan. ‘Ma’ruf’ disini tidaklah statis, tetapi justru dinamis (berubah)
sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Pengertian ‘ma’ruf’ berbeda-beda
antara pengertian yang dulu dan sekarang. Ma’rufi di negara yang satu dengan
negara yang lainnya mungkin saja berbeda, dengan syarat bahwa ma’ruf bisa
diterima dengan akal sehat dan tidak berbenturan dengan nash-nash syariat. Ketika
ma’ruf itu relevan di suatu negara dan bisa direalisasikan pada waktu tertentu,
maka hal ini dapat ditolerir (diperbolehkan). Tetapi apabila di suatu negara
terdapat pengekangan pergaulan perempuan terhadap perempuan lain, maka hal
tersebut tidak bisa dibenarkan karena telah bertantangan dengan nash-nash al-
Qur`an, khususnya bertentangan dengan surat An Nisa’ ayat 7 yang berbunyi; “al-
rijâlu qawamûna ‘alâ an-nisâ.” Kata qawwâmah adalah penghormatan atau
pemuliaan terhadap isteri dan itu berarti mempererat ikatan keluarga. Sebelum
membicarakan qawwâmah, ada 2 prinsip yang terdapat di dalamnya, yaitu :
Pertama, hal-hal yang dapat memudahkan hidup sesorang dalam berkeluarga
diantaranya adalah;

1. Keduanya tidak memberikan pekerjaan di luar kemampuan.


2. Isteri tidak banyak menuntut kepada suami berupa materi jika suami
miskin.
3. Jika seorang isteri sedang sakit, maka suami tidak boleh banyak
menuntut untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
Kedua, mencegah adanya bahaya. Di dalam surat Al Baqarah 233 Allah swt.
menjelaskan; “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
juga seorang ayah karena anaknya.” Ketiga, selalu bermusyawarah dan saling
memahami. Keempat, saling pengertian, saling ridha dan saling memahami satu
sama lain, sebagaimana yang tertera dalam surat Al Baqarah ayat 233 yang
mempunyai arti; “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum 2 tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan...”
Prinsip-prinsip ini harus diterapkan dalam kehidupan rumah tangga dan
dijadikan sebagai prinsip yang dapat mengatur aktifitas keluarga.

5
C. Pengertian Aisyiyah
Akar berdirinya Aisyiyah tidak bisa dilepas kan kaitannya dari akar sejarah.
Spirit berdirinya Muhammadiyah telah mengilhami berdirinya hampir seluruh
organisasi otonom yangada di uhammadiyah, termasuk Aisytyah. Sejakmendirikan
Muhammadiyah, Kiai Dahlan sangatmemperhatikan embinaan terhadap wanita.
Anak-anak perempuan yang potensial dibina dan dididikmenjadi pemimpin,
erta dipersiapkan untuk menjadi pengurus dalam organisasi wanita dalam
Muhammadiyah. Di antara ereka yang dididik Kiai Dahlan ialah Siti Bariyah, Siti
Dawimah, Siti Dalalah, Siti- Busyro (putri beliau endiri), Siti Dawingah, dan Siti
Badilah Zuber.
Anak-anak perempuan itu (meskipun usianya baru ekitar 15 tahun) sudah
diajak memikirkan soal-soal kemasyarakatan. Sebelum Aisyiyah secara kongkret
erbentuk, sifat gerakan pembinaan wanita itu baru merupakan kelompok anak-
anak perempuan yang enang berkumpul, kemudian diberi bimbingan oleh KHA
Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan dengan elajaran agama. Kelompok anak- anak
ini belum merupakan suatu organisasi, tetapi kelompok anak-a nak ang diberi
pengajian. Pendidikan dan pembinaan terhadap wanita yang usianya sudah tua pun
ilakukan juga oleh Kiai Dahlan dan istrinya (Nyai Dahlan). Ajaran agama Islam
tidak memperkenankan engabaikan wanita. Mengingat pentingnya peranan
wanita yang harus mendapatkan tempat yang layak, Kyai Dahlan bersama- sama
KHA. Dahlan mendirikan kelompok pengajian wanita yang anggotanya
terdiri para gadis-gadis dan orang-orang wanita yang sudah tua.Dalam
perkembangannya, kelompok pengajian wanita itu diberi nama Sapa Tresna.
Sapa Tresna belum merupakan organisasi, hanya suatu gerakan
pengajian saja. Oleh karena itu,untuk memberikan suatu nama yang kongkrit
menjadi suatu perkumpulan, K.H. Mokhtarmengadakan pertemuan dengan KHA.
Dahlan yang juga dihadiri oleh H. Fakhrudin dan Ki Bagus Hadikusumo serta
pengurus Muhammadiyah lainnya di rumah Nyai Ahmad Dahlan. Awalnya
iusulkan nama Fatimah, untuk orga- nisasi perkumpulan kaum wanita
Muhammadiyah itu, tetapi nama itu tidak diterima oleh rapat.
Haji Fakhrudin kemudian mengusulkan nama Aisyiyah yang kemudian
iterima oleh rapat tersebut. Nama Aisyiyah dipandang lebih tepat bagi gerakan

6
wanita ini karena didasari pertimbangan bahwa perjuanganwanita yang akan
digulirkan ini diharapkan dapat meniru perjuangan Aisyah, isteri Nabi
Muhammad, yang selalu membantu Rasulullah dalam berdakwah. peresmian
Aisyiyah dilaksanakan bersamaan peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad pada
tanggal 27 rajab 1335 H, bertepatan 19 Mei 1917 M. Peringatan Isra' Mi'raj
tersebut merupakan peringatan yang diadakan Muhammadiyah untuk pertama
kalinya. Selanjutnya, K.H. Mukhtar memberi bimbingan administrasi dan
organisasi, sedang untuk bimbingan jiwa keagamaannya dibimbing langsung oleh
KHA. Dahlan.

D. Identitas, Visi dan Misi


1. Identitas
Aisyiyah, organisasi perempuan Persyarikatan Muhammadiyah,
merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi mungkar, yang
berazaskan Islam serta bersumber pada Al-Quran dan Assunnah.
2. Visi Ideal
Visi Pengembangan Tercapainya usaha-usaba Aisyiyah yang mengarah
pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar
secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.

3. Misi
Misi Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program dan
kegiatan meliputi :

a. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas


pemahaman, meningkatkan pengamalan serta menyebarluaskan
ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan.
b. Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita sesuai dengan
ajaran Islam.
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkaian terhadap ajaran
Islam.

7
d. Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan ibadah, serta
mempertinggi akhlak.
e. Meningkatkan semangat ibadah, jihad zakat, infaq, shodaqoh, wakaf,
hibah, serta membangun dan memelihara tempat ibadah, dan amal
usaha yang lain.
f. Membina AMM Puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan
penyempurna gerakan Aisyiyah.
g. Meningkatkan pendidikan, mengembangkan kebudayaan,
mempertuas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan
penelitian.
h. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan
hidup yang berkualitas.
i. Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-
bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan
hidup.
j. Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan
kebenaran serta memupuk semangat kesatuan dan persatuan bangsa.
k. Meningkatkan komunikasi,ukhuwah, kerjasama di berbagai bidang
dan kalangan masyarakat dalam dan luar negeri.
l. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan
organisasi

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Posisi Aisyiyah dalam Muhammadiyah adalah sebagai suatu organisasi
otonom Muhammadiyah yang di peruntukan untuk perjuangan para wanita
muslimah. Karena lembaga ini adalah bagian horizontal dari organisasi
Muhammadiyah maka fungsi dari lembagaa ini sebagai partner gerak langkah
Muhammadiyah, di mana asas dan tujuannya tidak terpisah dari induk
persyarikatan. Aisyiyah adalah organisasi persyarikatan Muhammadiyah yang

8
berazaskan amar ma‟ruf nahi munkar dan berpedoman kepada Al-Qur‟an
dan SunnahMuhammadiyah yang berazaskan amar ma‟ruf nahi munkar dan
berpedoman kepada Al-Qur‟an dan Sunnah.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, maka
dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang
sifatnya membangun, semoga apa yang diharapkan dari makalah ini dapat dicapai
dengan sempurna. Amin.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://www.pcimmesir.com/2015/03/menguak-isu-kesetaraan-gender.html
(diakses tanggal 31 oktober 2016)
http://www.muhammadiyah.or.id/content-199-det-aisyiyah.html
(diakses tanggal 31 oktober 2016)

10

Anda mungkin juga menyukai