Amar makruf nahi munkar merupakan doktrin agama yang disebut dalam beberapa ayat Al-
Qur’an, di antaranya dalam Ali Imran ayat 104, 110, dan 114, Al-A’raf ayat 156, At-Taubah
ayat 22, Al-Hajj ayat 41 dan 56, serta surat At-Talaq ayat 6. Ada yang menyatakan bahwa
hukum beramar makruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Kalangan Syiah dan Muktazilah
menjadikan ajaran amar makruf nahi munkar sebagai amalan jihad.
Dalam Ali Imran ayat 104, disebutkan, “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” Ayat ini menyebut tiga kata
kunci: yad’una ila al-khair, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan yanhauna ‘an al-
munkar. Ketiganya harus dilaksanakan secara baik, dan tidak boleh menimbulkan
kemunkaran yang lebih besar.
Dalam Tanbihul Ghafilin, Imam Abu Laits As-Samarqandi (wafat 373 H) mengajukan syarat
seseorang menjalankan amar makruf dan nahi munkar, sebagai berikut: (1) berilmu, orang
yang tidak mengetahui persoalan atau bodoh, maka ia tidak mengetahui hakikat makruf dan
munkar; (2) ikhlas beramar makruf nahi munkar karena Allah, bukan karena kepentingan
tertentu yang rendah selain Allah; (3) kasih sayang kepada objek amar makruf nahi munkar.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah pada Nabi Musa dan Nabi Harun supaya berlaku lemah
lembut ketika menghadapi Fir’aun (Qs. Thaha: 44); (4) sabar dalam beramar makruf nahi
munkar (Qs. Luqman: 17); (5) mengerjakan apa-apa dikatakan, melaksanakan yang makruf
dan meninggalkan yang munkar.
Makruf adalah semua hal yang dipandang baik oleh agama dan akal sehat. Termasuk makruf
(urf) adalah hal baik dalam suatu komunitas masyarakat. Makruf memiliki standar yang
berbeda ketika tempat dan waktu berbeda. Adapun munkar, adalah sebaliknya, sesuatu yang
dipandang buruk oleh agama dan akal sehat. Menurut Muhammad Asad dalam The Message
of the Qur’an, makruf adalah semua perintah Allah yang mengarah kepada kebenaran sesuai
anjuran syariat, dan mungkar adalah semua larangan Allah yang membawa kepada jalan yang
bertentangan dengan syariat. Tujuan syariat adalah membangun kehidupan manusia yang
berlandaskan makruf atau kebaikan-kebaikan yang sesuai kebutuhan dasar manusia, dan
sebaliknya juga membersihkan mungkar yang tidak sesuai kecenderungan nurani
kemanusiaan. (Suara Muhammadiyah, No. 13, 2019)
Langkah pertama amar makruf nahi munkar adalah melakukan ta’aruf, mengetahui atau
mengenali terlebih dahulu sebelum terburu-buru menghakimi. Ketika bernahi munkar, maka
yang dibenci adalah perbuatan munkar, bukan orang atau pelakunya.
Adapun syarat suatu perbuatan dianggap sebagai kemunkaran adalah; kemungkaran tersebut
sedang berlangsung; perbuatan munkar tersebut terlihat jelas tanpa dimata-matai, sesuai
perintah Allah dalam Al Hujurat untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain; perbuatan
tersebut telah disepakati sebagai kemunkaran. Tidak berlaku amar makruf nahi munkar pada
perbuatan yang masih menjadi urusan khilafiyah atau perbedaan pendapat para ulama.
Dalam kehidupan bernegara, pelaksanaan amar makruf nahi munkar dilakukan sesuai dengan
konstitusi dan dengan penerapan undang-undang yang telah disepakati bersama, guna
memelihara ketertiban umum. Ada amar makruf nahi munkar yang menjadi kewajiban negara
dan hanya bisa dilakukan oleh negara. Ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat dengan
prinsip akhlak mulia.
Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya
umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang
juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi.
Bahkan dari organisasi ini, kini telah banyak juga berdiri rumah sakit, masjid, dan panti
asuhan, di seluruh Indonesia.
Lantas, apakah para pemimpin Muhammadiyah kini merasa puas dengan hasil nyata
tersebut. Tentu, mereka akan menjawab, tidak.
Setidaknya, jawaban itu tercermin dari pernyataan salah satu Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, dr. Soedibyo Markus, dalam acara Panen Jamur dan Sayuran yang
diselenggarakan oleh Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah pada
Sabtu (12/06/2010) di Pondok Pesantren dan Panti Asuhan Darul Hikmah, Borobudur,
Magelang.
Ia mengatakan, pada abad ke dua nanti ada dua agenda utama Muhammadiyah. Kedua
agenda tersebut nampaknya saling berlawanan tetapi sesungguhnya dapat sejalan.
Pertama adalah membangun basis atau "back to basic" dan kedua adalah menjadi agen
kosmopolitan.
Soedibyo Markus menjelaskan, yang dimaksud membangun basis atau kembali ke basis
adalah peneguhan ideologi Muhammadiyah seperti Matan Keyakinan dan Cita-Cita
Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muahammadiyah, Khittah, dan
lain-lain yang semuanya bersumber dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Sedangkan menjadi agen kosmopolitan berarti mau bekerja sama dengan siapapun dan
membantu siapapun, lintas organisasi, agama, dan negara.
"Jadi, nanti Muhammadiyah bukan hanya untuk Muhammadiyah, tetapi untuk seluruh
dunia," katanya.
Tantangan
Seperti yang telah kita ketahui, cita-cita Muhammadiyah dalam aktualisasi doktrin Amar
Makruf Nahi Mungkar sangat progresif. Hal itu berarti pula, ke depan Muhammadiyah tak
melulu harus berkutat dengan urusan internal. Tetapi menyikapi perkembangan zaman,
ujar Soedibyo.
Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda
berupa pengajian Sidratul Muntaha.
Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan
sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya
berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan
Madrasah Mu`allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan
Wirobrajan dan Mu`allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan
Yogyakarta).
Amar ma`ruf
Sementara itu, Aisyiyah juga dibentuk sebagai pelaku gerakan perempuan Muhammadiyah
dengan citra Islam modern dan mampu menghadapi tantangan zaman.
Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, Prof. Dr Chamamah Soeratno dalam diskusi publik
bertemakan "Dinamika Gerakan Perempuan Untuk Pencerahan Bangsa", mengatakan,
gencarnya arus globalisasi sekarang ini membuka kecenderungan budaya popular yang
tanpa makna dan perilaku yang irasional yang menimbulkan krisis moral dan spiritual
dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan situasi inilah Aisyiyah menggariskan muktamarnya nanti dengan acara yang
kondusif bagi upaya peningkatan peran dan kiprahnya bagi kemajuan bangsa, katanya.
Sementara itu, Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof Dr Bambang
Purwanto, mengatakan gerakan Aisyiyah mampu bertahan di tengah perkembangan
zaman dengan segala kesederhanaan yang dimilikinya.
Dalam salah satu penggalan tulisannya, ia menyebutkan bahwa label yang melekat pada
tubuh organisasi ini disebabkan pemikiran yang ada dalam Muhammadiyah seringkali
diasosiasikan dengan pemikiran para tokoh pembaharu Islam seperti Jamaludin Al-
Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Mereka ini dikenal sebagai tokoh-tokoh
"modernis" Islam.
Moderniasasi dalam masyarakat barat, menurut Prof Dr. Haruun Nasution, mengandung
arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham, adat-istiadat, institusi-
institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.
Bagi Muhammadiyah yang organisasi modern, merupakan sebuah keharusan yang tak
bisa ditawar, harus memberi jawaban terhadap arus-arus yang dibawa oleh "gelombang"
globalisasi dan informasi, kata Givi.