Anda di halaman 1dari 26

MODEL EVALUASI PROGRAM

SCRIVEN – GOAL FREE EVALUATION MODEL + ForSum

OLEH

NURHIDAYAH ARIF 191051201007


DIAN MUTMAINNA 191051201008

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Patta Bundu, M. Ed

PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
A. RIWAYAT HIDUP
Scriven, Michael Scriven lahir pada tanggal 28
Maret 1928, di Beaulieu, Hampshire, Inggris 1928.
Gelar pertamanya adalah dalam bidang matematika
dan gelar doktor dalam filsafat. Scriven telah
membuat kontribusi yang signifikan di bidang
filsafat, psikologi, berpikir kritis, dan yang paling
terutama, evaluasi (Scriven telah menciptakan
sebuah penemuan untuk evaluasi program).
Michael Scriven juga telah menghasilkan lebih dari
400 publikasi ilmiah dan telah bekerja di beberapa
dewan editorial review dari 42 jurnal. Scriven adalah mantan presiden American
Educational Research Association dan American Association Evaluation. Scriven
juga editor dan co-pendiri Journal of Multidisiplin Evaluasi. Scriven sekarang
seorang profesor di Claremont Graduate University. Profesor logika ilmu yang
telah menulis secara luas.
B. MODEL EVALUASI PROGRAM MICHAEL SCRIVEN
Ada dua model evaluasi yang dikembangkan Scriven yaitu: Goal Free
Evaluation dan Formatif-Summatif Evaluation.
1) Goal Free Evaluation
Dalam Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam
melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah
bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi
penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu
hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan).
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi Judgement
ataupun explanation dan evaluator adalah pengambil keputusan dan sekaligus
penyedia informasi. Dengan demikian ia membedakan antara “Goal of evaluation
dan role of evaluation”.
Goal Free Evaluation Model adalah model evaluasi yang dikembangkan
oleh Scriven. Dalam Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam
melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang
menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah
bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi
penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu
hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan).
Evaluasi model Goal Free Evaluation, fokus pada adanya perubahan
perilaku yang terjadi sebagai dampak dari program yang diimplementasikan,
melihat dampak sampingan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan,
dan membandingkan dengan sebelum program dilakukan. Evaluasi juga
membandingkan antara hasil yang dicapai dengan besarnya biaya yang
dikeluarkan untuk program tersebut atau melakukan cost benefit analysis.
Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena kemungkinan evaluator
terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Jika masing-masing tujuan khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi evaluator lupa memperhatikan
sejauh mana masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan terakhir
yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini
tidak banyak bermanfaat. Dapat disimpulkan bahwa, dalam model ini bukan
berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya
mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara
rinci perkomponen yang ada.
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi judgement
ataupun explanation dan evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan
sekaligus penyedia informasi. Ciri-ciri Evaluasi Bebas Tujuan yaitu :
1. Evaluator sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program
2. Tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan menyempitkan
fokus evaluasi
3. Evaluasi Bebas Tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil
yang direncanakan
4. Hubungan evaluator dan manajer atau dengan karyawan proyek dibuat
seminimal mungkin
5. Evaluasi menambah kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak
diramalkan
Mungkin akan lebih baik apabila evaluasi yang berorientasi pada tujuan
dan Evaluasi Bebas Tujuan dipadukan, karena mereka akan saling mengisi dan
melengkapi. Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi yang berorientasi
pada tujuan, karena ia sulit menghindar atau mau tidak mau ia akan mengetahui
tujuan program, akan tidak pantas apabila ia tidak acuh. Manajer progam jelas
ingin mengetahui sampai seberapa jauh progam telah dicapai, dan evaluator
internal akan dan harus menyediakan informasi untuk manajernya. Di samping
itu, perlu diketahui bagaimana orang luar menilai program bukan hanya untuk
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilakukan di semua bagian,
pada semua yang telah dihasilkan, secara sengaja atau tidak sengaja. Yang
belakangan ini merupakan tugas operator bebas tujuan yang tidak mengetahui
tujuan program. Jadi, evaluasi yang berorientasi pada tujuan dan Evaluasi Bebas
Tujuan dapat bekerja sama dengan baik.
Menurut Wirawan (2012) proses evaluasi dengan menggunakan model
Evaluasi Bebas Tujuan adalah sebagai berikut :
1. Evaluator mempelajari cetak biru program
2. Mengembangkan Desain dan Instrumen evaluasi
3. Mengidentifikasi tujuan evaluasi :
 Pengaruh sampingan program yang negatif yang tidak diharapkan
 Pengaruh sampingan positif di luar tujuan program
 Pengaruh positif program yang diharapkan oleh tujuan program
4. Memastikan pelaksanaan program telah mencapai tujuan
5. Menjaring dan menganalisis data
6. Menyusun laporan evaluasi hasil evaluasi
7. Pemanfaatan hasil evaluasi
Model Evaluasi Bebas Tujuan akan sangat meluas dan menimbulkan
masalah bagi evaluator dalam kaitan dengan beban kerja, biaya, dan waktu
evaluasi. Oleh karena itu, sebelum merancang evaluasi, evaluator harus
memprediksi, mengidentifikasi, dan mendefinisikan apa saja yang termasuk efek
sampingan yang negatif dari program, apa saja yang termasuk pengaruh positif
sesuai dengan tujuan program, dan apa saja pengaruh positif di luar tujuan
program.
Scriven dalam tujuan Goal Free Evaluation (1972) menunjukkan bahwa
fokus pada program atau tujuan kegiatan ini dapat menjadi tempat awal yang
penting untuk teknologi bekerja dalam domain evaluasi. Scriven (1972) percaya
bahwa "tujuan program tertentu tidak harus diambil sebagai yang diberikan", tapi
diperiksa dan dievaluasi juga (Guskey, 2000).
Model Goal Free Evaluation berfokus pada hasil yang sebenarnya dari
suatu program atau kegiatan, bukan hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis
model memungkinkan teknologi untuk mengidentifikasi dan mencatat hasil yang
tidak mungkin telah diidentifikasi oleh perancang program (Guskey, 2000).
Melalui proses teknik baik terang-terangan dan terselubung, metode ini berusaha
untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk membentuk deskripsi program,
mengidentifikasi proses akurat, dan menentukan pentingnya mereka ke program
(Boulmetis & Dutwin, 2005). Sementara model ini berfokus pada hasil tanpa gol,
model lain berfokus pada proses pengambilan keputusan dan menyediakan
administrator kunci dengan analisis mendalam untuk membuat keputusan yang
adil dan tidak bias.
Fungsi Evaluasi Bebas Tujuan adalah untuk mengurangi bias dan
menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang
evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan.
Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan
yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil program penting yang
tidak sesuai dengan tujuan program.
Evaluasi Bebas Tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya bukan pada
hasil yang direncanakan. Dalam Evaluasi Bebas Tujuan ini, memungkinkan
evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan.
Contoh Program :
Evaluasi Program Pembinaan Olahraga Sepakbola di Sekolah
Karena model evaluasi Goal Free Evaluation ini cocok diterapkan untuk
mengevaluasi program yang jenisnya pemrosesan. Program pemrosesan adalah
program yang kegiatan pokoknya mengubah bahan mentah (input) menjadi bahan
jadi sebagai hasil proses atau keluaran (output) (Tjokra, 2012). Ciri khusus dari
program pemrosesan ini adalah adanya sesuatu yang semula berada dalam kondisi
awal sebagai masukan (input), kemudian di olah dan di transformasi menjadi
suatu keluaran (output) yang dikehendaki oleh tujuan program.
Berikut adalah langkah-langkah untuk mengukur dan mengevaluasi
Program Pembinaan Olahraga Sepakbola menggunakan metode Goal Free
Evaluation dari Scriven :
1. Penilaian tentang pengaruh nyata
Dalam konteks ini jika suatu produk mempunyai pengaruh yang dapat
ditunjukkan secara nyata dan responsif terhadap suatu kebutuhan, hal ini
berarti bahwa suatu produk yang direncanakan berguna dan secara positif
perlu dikembangkan dan interpretasi sebaliknya terjadi. Jadi program
pembinaan olahraga sepakbola harus memiliki pengaruh yang nyata
terhadap peningkatan prestasi untuk kedepannya.
2. Penilaian tentang profil kebutuhan yang hendak dinilai
Setelah mengetahui penilaian tentang pengaruh nyata dari program
pembinaan olahraga sepakbola maka tahapan yang terakhir adalah menilai
apakah program pembinaan olahraga sepakbola bermanfaat atau tidak,
tahapan ini adalah untuk mengukur seberapa besar program tersebut benar-
benar diperlukan atau tidak.
Dalam hasil ini yang sudah diidentifikasi yaitu dari tujuan dan proses dari
program ini adalah :
1. Didirikan guna memberikan kesempatan untuk menyalurkan hobby dan
mengembangkan bakat bagi anak-anak dan remaja yang menggemari
sepakbola.
2. Pengembangan sumber daya manusia ke arah yang lebih positif dengan
olahraga khususnya sepakbola.
Hasil identifikasi Tujuan yang sudah ditetapkan oleh Pogram Pembinaan
Olahraga SepakBola adalah ada dua yaitu. (1) memberikan kesempatan untuk
menyalurkan hobby dan mengembangkan bakat bagi anak-anak dan remaja
yang menggemari sepakbola. (2) mengembangkan sumber daya manusia ke
arah yang lebih positif dengan olahraga khususnya sepakbola.
Proses kinerja dari Pembinaan ini adalah :
a. Program Latihan
Program latihan dibagi menjadi 3 kelompok dengan rentang usia yang
berbeda, yaitu:
1. Kelompok A: usia 6 – 9 tahun
2. Kelompok B: usia 10 – 15 tahun
3. Kelompok C: usia 16 – 21 tahun
b. Program Kegiatan
Program kegiatan yang dilaksanakan, seperti:
1. Penyelenggaraan organisasi
2. Latihan belajar sepakbola
3. Latihan kebugaran fisik
4. Latih tanding
5. Pendataan dan pembinaan prestasi
6. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga, sekolah sepakbola,
klub sepakbola, instansi dan masyarakat lainnya.
Dari hasil evaluasi yang diperoleh untuk mengidentifikasi kelemahan-
kelemahan yang sering terjadi dalam rancangan prosedural dan implementasinya,
dalam evaluasi ini meliputi aspek pelaksanaan program. Setelah menjaring dan
menganalisis data yaitu lewat hasil perhitungan jawaban responden ternyata
pelaksanaan program pada dasarnya prosesnya sudah baik. Dimulai dari
pembentukan berbagai macam kelompok usia dan kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh Program tersebut. Tinggal bagaimana cara mempertahankan
dan membuat lebih baik lagi pelaksanaan program pembinaan olahraga sepakbola
tersebut.
Dari hasil evaluasi proses kegiatan program pembinaan olahraga
sepakbola ini memiliki dampak positif bagi anak-anak yang menyukai olahraga
sepakbola untuk menyalurkan hobbynya dalam bermain sepakbola, selain itu SSB
Gelora (instansi pengadaan pembinaan ini) sering mengadakan turnamen kecil
untuk memantau perkembangan anak-anak yang memiliki keinginan dan
kemampuan yang menonjol dalam olahraga sepakbola, setelah itu anak-anak yang
memiliki kemampuan menonjol akan diberi penghargaan dan mendapat
kesempatan untuk mengikuti seleksi-seleksi untuk persiapan PORDA,
PORPROV, dan PON agar anak-anak tersebut lebih antusias untuk
mengembangkan kemampuannya dalam olahraga sepakbola hingga memiliki
prestasi,dalam proses pelaksanaan program kegiatan ini tujuan program tidak
perlu diperhatikan, yang perlu diperhatikan bagaimana pelaksanaan program
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Scriven dalam Arikunto dan Jabar
(2014:41), dalam melaksanakan evaluasi, evaluator tidak harus hanya terpaku
pada tujuan program, tetapi mereka justru harus mengidentifikasi dampak
program, baik dampak yang positif maupun dampak yang negatif. Tercapainya
tujuan tersebut tercermin dari hasil proses kinerja yang dilakukan.
Model Goal Free Evaluation ini mempunyai kekurangan dan
kelebihannya. Kelebihan dari model bebas tujuan di antaranya adalah :
1. Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci setiap komponen, tetapi
hanya menekankan pada bagaimana mengurangi prasangka (bias).
2. Model ini menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui model ini,
Scriven ingin evaluator mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program
dibandingkan dengan kebutuhan pengguna dan tidak membandingkannya
dengan pihak penganjur.
3. Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa mengetahui tujuan dari
kegiatan yang telah dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi.
4. Mendorong pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja yang
direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul
dari produk.
Walaupun demikian, yang diajukan scriven ternyata juga memiliki
kelemahan seperti berikut:
1. Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas menjawab pertanyaan penting,
seperti apa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan
bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut.
2. Walaupun ide scriven bebas tujuan bagus untuk membantu kegiatan yang
paralel dengan evaluasi atas dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scriven
tidak terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya
benar-benar dilaksanakan.
3. Tidak merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan
walau pada akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan.
4. Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan
evaluasi model ini.
5. Langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi hanya
menekankan pada objek sasaran saja.
2) Formatif-Sumatif Evaluation
Menurut Scriven (1991) dalam Badrujaman (2009), evaluasi formatif
adalah suatu evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu produk atau program
tertentu sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan
tujuan untuk melakukan perbaikan. Sujana (1990:156) telah dijelaskan Tes
formatif dilaksanakan pada saat berlangsungnya proses belajar mengajar-
mengajar, khususnya pada akhir pengejaran. Sedangkan Weston, McAlpine dan
Bordonaro (1995) dalam Badrujaman (2009) menjelaskan bahwa tujuan dari
evaluasi formatif adalah untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai
dan untuk melakukan perbaikan suatu produk atau program. Hal ini senada
dengan Worthen dan Sanders (1997) dalam Badrujaman (2009) yang menyatakan
bahwa evaluasi formatif dilakukan untuk memberikan informasi evaluatif yang
bermanfaat untuk memperbaiki suatu program. Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi kegunaan evaluasi formatif, yaitu kontrol dan waktu. Bila saran
perbaikan akan dijalankan, maka evaluasi formatif diperlukan sebagai kontrol.
Informasi yang diberikan menjadi jaminan apakah kelemahan dapat diperbaiki.
Apabila informasi mengenai kelemahan tersebut terlambat sampai kepada
pengambilan keputusan, maka evaluasi bersifat sia-sia.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan
ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan
permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi formatif tersebut adalah mengetahui
seberapa jauh program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus
mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahuinya hambatan dan hal-hal yang
menyebabkan program tidak lancar, pengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
Evaluasi formatif dapat menanggapi program dalam konteks yang dinamis, dan
berusaha untuk memperbaki keadaan yang berantakan dari kerumitan yang
merupakan bagian yang tidak dapat dihindarkan dari berbagai bentuk program
dalam lingkungan kebijakan yang berubah-ubah. Kesesuaian antara perencanaan
dan pelaksanaan program baik pada konteks organisasi, personil, struktur, dan
prosedur menjadi fokus evaluasi formatif.
Menurut Scriven (1991) Badrujaman (2009), Evaluasi sumatif dilakukan
setelah program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif adalah untuk mengukur
pencapaian program. Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program
pembelajaran dimaksudkan sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau
kedudukan individu di dalam kelompoknya. Mengingat bahwa obyek sasaran dan
waktu pelaksanaan berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif maka lingkup
sasaran yang dievaluasi juga berbeda.
Model evaluasi yang diungkapkan Scriven (1991) menyatakan bahwa
evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah system sudah selesai
menempuh pengujian dan penyempurnaan. Pola evaluasi sumatif ini dilakukan
apabila guru bermaksud untuk mengetahui tahap perkembangan terakhir dari
siswanya. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa hasil belajar merupakan
totalitas sejak awal hingga akhir.
Tahap-tahap Formatif dan Sumatif Evaluation Model, Dalam model
evaluasi formatif dan sumatif dilakukan dengan menggunakan empat tahap yaitu:

Needs Program Formative Summative


Assesment Planning Evaluation Evaluation

Needs assessment, dalam tahap ini evaluator memusatkan perhatian pada


penentuan masalah. a) Hal-hal apakah yang perlu dipertimbangkan sehubungan
dengan keberadaan program. b) Kebutuhan apakah yang terpenuhi dengan adanya
pelaksanaan program tersebut. c) Apa tujuan jangka panjang dalam program
tersebut.
Program planning, dalam tahap kedua evaluator mengumpulkan data yang
terkait langsung dengan pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan kebutuhan
yang telah diidentifikasi pada tahap kesatu. Dalam tahap perencanaan ini program
pembelajaran dievaluasi dengan cermat untuk mengetahui apakah rencana
pembelajaran telah disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan. Evaluasi tahap
ini tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan
Formatif evaluation, Dalam tahap ketiga ini evaluator memusatkan
perhatian pada keterlaksanaan program. Dengan demikian, evaluator diharapkan
terlibat dalam program karena harus mengumpulkan data dan berbagai informasi
dari pengembang program
Summative evaluation, Dalam tahap keempat, yaitu evaluasi sumatif, para
evaluator diharapkan dapat mengumpulkan semua data tentang hasil dan dampak
dari program. Melalui evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui apakah
tujuan yang dirumuskan untuk program sudah tercapai, dan jika belum, dicari
bagian mana yang belum dan apa penyebabnya.
Fungsi evaluasi formatif adalah untuk memperbaiki proses belajar
mengajar. Manfaat evaluasi formatif menurut Arikunto (1999) yaitu:
 Manfaat bagi siswa:
a) Digunakan untuk mengetahui apakah siswa sudah menguasai bahan
program secara menyeluruh atau belum.
b) Merupakan penguatan bagi siswa dan memperbesar motivasi siswa untuk
belajar giat.
c) Untuk perbaikan belajar siswa.
d) Sebagai diagnosa kekurangan dan kelebihan siswa.
 Manfaat bagi guru:
a) Mengetahui sampai sejauh mana bahan yang diajarkan sudah dapat
diterima oleh siswa
b) Mengetahui bagian-bagian mana dari bahan pelajaran yang belum dikuasai
siswa.
 Manfaat bagi program sekolah:
a) Apakah program yang telah diberikan merupakan program yang tepat atau
tidak
b) Apakah program tersebut membutuhkan pengetahuan-pengetahuan
prasyarat yang belum diperhitungkan
c) Apakah diperlukan alat, sarana, dan prasarana untuk mempertinggi hasil
yang akan dicapai atau tidak
d) Apakah metode, pendekatan dan alat evaluasi yang digunakan sudah tepat
atau tidak.
Sesuai dengan fungsi dan tujuan evaluasi formatif, maka evaluasi ini
dilakukan untuk menilai hasil belajar jangka pendek dari suatu proses belajar
mengajar atau pada akhir unit pelajaran yang singkat yaitu satuan pelajaran. Sebab
perbaikan belajar mengajar itu hanya mungkin jika dilakukan secara sistematis
dan bertahap. Dengan menilai aspek tingkah laku dari evaluasi formatif cenderung
terbatas pada segi kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (ketrampilan) yang
terkandung dalam tujuan khusus pelajaran. Untuk menilai segi afektif (sikap dan
nilai), maka penggunaan penilaian formatif tidaklah tepat. Sebab untuk menilai
perkembangan segi afektif ini diperlukan periode pengajaran yang cukup panjang.
Sesuai dengan fungsi evaluasi formatif, maka evaluasi ini harus disusun
dengan sedemikian rupa sehingga benar-benar mengukur tujuan khusus
pengajaran yang dicapai. Oleh karena itu, soal harus dibuat secara langsung
dengan menjabarkan tujuan khusus pengajaran ke dalam bentuk pertanyaan. Pada
evaluasi formatif ini, masalah tingkat kesukaran dan daya pembeda tiap-tiap soal
tes tidak begitu penting.
Pendekatan evaluasi yang digunakan merupakan kecakapan nyata setiap
peserta didik. Oleh karena itu, pendekatan dalam penilaian evaluasi formatif
adalah penilaian yang bersumber pada kriteria mutlak. Dengan beberapa cara
pengolahan hasil evaluasi formatif. 1) Menghitung presentase peserta didik yang
gagal dalam setiap soal. Dengan melihat hasil presentase ini, guru akan dapat
mengetahui sejauh mana tujuan khusus pengajaran (TKP) yang bersangkutan
dengan soal telah dicapai atau dikuasai oleh kelas. 2) Menghitung presentase
penguasaan kelas atas bahan yang telah disajikan. Dengan kata lain, berapa persen
kah dari bahan yang telah disajikan itu dikuasai kelas. Cara pengolahan ini
bertujuan untuk mendapatkan keterangan, apakah keterangan apakah kriteria
keberhasilan belajar yang diharapkan telah tercapai. 3) Menghitung presentase
jawaban yang benar yang dicapai setiap peserta didik dalam tes secara
keseluruhan. Dengan angka presentase ini, guru akan dapat mengetahui sampai
berapa jauh penguasaan setiap peserta didik atas bahan yang telah diajarkan.
Dengan kata lain, sejauh mana tingkat keberhasilan setiap peserta didik atas unit
pengajaran yang telah diajarkan ditinjau dari sudut kriteria keberhasilan belajar
yang diharapkan atau yang telah ditetapkan.
Hasil pengolahan evaluasi formatif dapat digunakan untuk keperluan-
keperluan sebagai atas dasar angka presentase peserta didik yang gagal dalam
setiap soal. Guru dapat mempertimbangkan apakah bahan pelajaran yang
bersangkutan dengan soal tes perlu dibicarakan lagi secara umum atau tidak. Atas
dasar angka presentase penguasaan kelas atas bahan yang telah disajikan, guru
dapat menilai dirinya sendiri mengenai kemampuannya dalam mengajar. Jika
angka itu belum mencapai kriteria keberhasilan umpamanya, maka guru akan
mencari sebabnya dan kemudian ia akan memikirkan perbaikan-perbaikan apa
yang perlu diadakan agar proses belajar mengajar dapat berjalan secara efisien dan
efektif sehingga kriteria keberhasilan itu dapat tercapai.
Dengan mengetahui presentase jawaban yang benar dari setiap peserta
didik dalam tes secara keseluruhan, guru dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang ada pada setiap peserta didik sehingga guru mendapat bahan
yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan apakah peserta didik perlu dapat
bantuan atau pelayanan khusus dari guru untuk mengatasi kesulitan dalam belajar
(Arikunto, 1999: 73-75).
Fungsi evaluasi sumatif ini adalah untuk menentukan angka kemajuan atau
hasil belajar peserta didik. : 1) Untuk menentukan nilai, 2) Untuk menentukan
seseorang anak dapat atau tidak mengikuti kelompok dalam menerima program
berikutnya. 3) Untuk mengisi catatan kemampuan siswa (Arikunto, 1999: 36).
Sesuai dengan fungsi evaluasi, maka evaluasi sumatif ini dilakukan untuk menilai
hasil belajar jangka panjang dari suatu proses belajar mengajar seperti pada akhir
program pengajaran. Evaluasi sumatif merupakan evaluasi untuk menilai hasil
jangka panjang, maka aspek tingkah laku yang dinilai harus meliputi segi kognitif
(pengetahuan), psikomotor (ketrampilan) dan afektif (sikap dan nilai).
Penilaian sumatif ini merupakan evaluasi yang dilakukan pada akhir
program pengajaran. Ini berarti bahan pengajaran yang menjadi sasaran penilaian
cukup luas dan banyak. Oleh karena itu, tidak efisien jika soal-soalnya disusun
atas dasar tujuan khusus pengajaran (TKP) seperti pada evaluasi formatif. Akan
tetapi penyusunan soal-soalnya harus didasarkan pada tujuan umum pengajaran
(TUP) yang ada di dalam program pengajaran tersebut.
Evaluasi sumatif untuk menentukan angka kemajuan setiap peserta didik
yang di antaranya untuk menentukan kenaikan kelas atau lulus tidaknya, maka
masalah tingkat kesukaran soal harus diperhatikan. Artinya, soal-soal itu harus
disusun sedemikian rupa sehingga mencakup yang mudah, sedang dan sukar yang
jumlahnya perbandingannya sekitar 3 : 5 : 2, perbandingan ini tidak harus mutlak
demikian. Masalah tingkat kesukaran soal ini dimaksudkan agar hasil penilaian
dapat memberi gambaran mengenai tingkat kecerdasan atau kemampuan atau
kepandaian tiap-tiap peserta didik atas dasar klasifikasi kurang, sedang dan
pandai. Di samping masalah tingkat kesukaran soal, pada evaluasi sumatif ini
diperhatikan daya pembeda dari setiap soal. Artinya setiap soal harus mempunyai
daya untuk membedakan peserta didik yang pandai dengan yang kurang atau tidak
pandai. Tapi tingkat kesukaran dan daya pembeda suatu soal itu hanya dapat
diketahui melalui analisis soal setelah tes itu dicobakan. Untuk itu perlu
diperhatikan pengetahuan lebih lanjut mengenai teknik penilaian pendidikan yang
menyangkut masalah “analisis soal”.
Pengolahan hasil evaluasi berdasarkan ukuran mutlak. Jika pengolahan
hasil evaluasi itu berdasarkan ukuran atau kriteria mutlak, maka yang harus dicari
adalah presentase jawaban benar yang dicapai oleh setiap peserta didik.
Pengolahan hasil evaluasi berdasarkan norma relatif (kelompok). Untuk mengolah
hasil evaluasi yang berdasarkan norma relatif, digunakan nilai-nilai yang standar
seperti skala nilai 0 – 10 atau skala nilai 0 – 100. Untuk merubah nilai atau skor
mentah ke dalam skor terjabar berdasarkan skala penilaian tertentu, maka
prosedur atau langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menyusun distribusi atau frekwensi skor yang diperoleh peserta didik
2) Menghitung angka rata-rata
3) Menghitung standar devisi
4) Mengubah skor ke dalam skala penilaian yang dikehendaki
Hasil pada evaluasi sumatif, sebagai, a) Menentukan kenaikan kelas, b)
Menentukan angka raport, c) Mengadakan seleksi, d) Menentukan lulus tidaknya
peserta didik, e) Mengetahui status setiap peserta didik dibandingkan dengan
peserta didik lainnya dalam kelompok yang sama.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa model evaluasi ini
memfokuskan pada tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi
yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika
program sudah selesai atau berakhir (evaluasi sumatif). Evaluasi formatif
dilaksanakan ketika program masih berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui
sejauh mana program yang dirancang dapat berlangsung sekaligus
mengidentifkasi hambatannya. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah
program berakhir dengan tujuan untuk mengukur ketercapaian program.
Dibidang pendidikan evaluasi formatif dan sumatif sudah tidak asing lagi
karena para guru dan dosen selalu melaksanakan kedua evaluasi ini, dalam bentuk
yaitu pada saat program masih berlangsung (proses belajar mengajar) dan saat
Ujian Akhir Semester (UAS) di akhir yg diadakan untuk mengetahui seberapa
jauh program yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi
hambatan yang timbul dan cara mengatasinya sedini mungkin.

Summary
KESIMPULAN
Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven yakni model Goal Free
Evaluation, tidak memperhatikan apa yang menjadi tujuan program sebagaimana
model goal oriented evaluation. Yang harus diperhatikan justru adalah bagaimana
proses pelaksanaan program, dengan jalan mengidentifikasi kejadian-kejadian
yang terjadi selama pelaksanaannya, baik hal-hal yang positif maupun hal-hal
yang negatif. Dalam model Goal Free Evaluation, para evaluator peneliti
mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau
kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program
pendidikan dan pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap
usulan-usulan tujuan dalam evaluasi. Tetapi tidak dalam proses evaluasi atau
produk. Keuntungan yang dapat diambil dalam Goal Free Evaluation, bahwa
dalam Goal Free Evaluation para penilai mengetahui antisipasi pengaruh-
pengaruh penting terhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang.
Fungsi Evaluasi Bebas Tujuan untuk mengurangi bias dan menambah
objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator
secara subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan
pada umumnya hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya
dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil program penting yang tidak sesuai
dengan tujuan program. Evaluasi Bebas Tujuan berfokus pada hasil yang
sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam Evaluasi Bebas Tujuan
ini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang
tidak direncanakan. Model bebas tujuan merupakan titik evaluasi program,
dimana objek yang dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau
subjek tersebut, tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program apakah
bermanfaat atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.
Selain Goal Free Evaluation Model, Scriven juga mencetuskan model
Formatif-Sumatif Evaluation dimana model evaluasi program ini memfokuskan
pada tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan
pada waktu program masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah
selesai atau berakhir (evaluasi sumatif). Evaluasi formatif dilaksanakan ketika
program masih berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana
program yang dirancang dapat berlangsung sekaligus mengidentifkasi
hambatannya. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir
dengan tujuan untuk mengukur ketercapaian program.
Model GFE maksudnya adalah para evaluator atau penilai mengambil dari
berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau kongkrit dan
pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan
pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap usulan-usuan tujuan
dalam evaluasi, tetapi tidak dalam proses atau produk. Keuntungan dari GFE
adalah dengan GFE para penilai mengetahui antisipasi pengaruh-pengaruh penting
terhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang.
Model yang dikembangkan oleh Michael Scriven yakni model Goal Free
Evaluation, tidak memperhatikan apa yang menjadi tujuan program sebagaimana
model goal oriented evaluation. Yang harus diperhatikan justru adalah bagaimana
proses pelaksanaan program, dengan jalan mengidentifikasi kejadian-kejadian
yang terjadi selama pelaksanaannya, baik hal-hal yang positif maupun hal-hal
yang negatif.
Dalam model Goal Free Evaluation, para evaluator peneliti mengambil
dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau kongkrit dan
pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan
pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap usulan-usulan tujuan
dalam evaluasi. Tetapi tidak dalam proses evaluasi atau produk. Keuntungan yang
dapat diambil dalam Goal Free Evaluation, bahwa dalam Goal Free Evaluation
para penilai mengetahui antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan
dasar dari penilai yang menyimpang.
Fungsi Evaluasi Bebas Tujuan adalah untuk mengurangi bias dan
menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang
evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan.
Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan
yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil program penting yang
tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi Bebas Tujuan berfokus pada hasil
yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam Evaluasi Bebas
Tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak
yang tidak direncanakan.
Model bebas tujuan merupakan titik evaluasi program, dimana objek yang
dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut, tetapi
langsung kepada implikasi keberadaan program apakah bermanfaat atau tidak
objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.
‘MODEL FORMATIVE-SUMATIVE EVALUATION’
Michael Scrive mengembangkan model evaluasi formatif dan sumatif.
model ini menunjukkan adanya tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu
evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (evaluasi formatif)
dan ketika program sudah selesai atau berakhir (evaluasi sumatif).
Model evaluasi formatif dan sumatif ketika melaksanakan evaluasi,
evaluator tidak dapat melepaskan diri dari tujuan. Tujuan evaluasi formatif
memang berbeda dengan tujuan evaluasi sumatif. Dengan demikian, model yang
dikemukakan oleh Michael Scrive ini menunjukakan “apa, kapan, dan tujuan”
evaluasi tersebut dilaksanakan.
Para evaluator pendidikan, termasuk guru-guru yang mempunyai tugas
evaluasi, tentu sudah mengenal dengan baik apa yang dimaksud dengan evaluasi
formatif dan sumatif. Hampir setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi
formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi tersebut dilaksanakan untuk
mengetahui sampai berapa tinggi tingkat keberhasilan atau ketercapaian tujuan
untuk masing-masing pokok bahasan. Dikarenakan luas atau sempitnya materi
yang tercakup didalam pokok bahasan setiap mata pelajaran tidak sama, maka
tidak dapat ditentukan dengan pasti kapan eveluasi formatif dilaksanakan dan
berapa kali untuk masing-masing mata pelajaran.
A. Evaluasi Program Formatif
Menurut Scriven (1991) dalam diktat teori dan praktek evaluasi program
bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009), evaluasi formatif adalah suatu
evaluasi yang biasanya dilakukan ketika suatu produk atau program tertentu
sedang dikembangkan dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan tujuan
untuk melakukan perbaikan.
Yaitu evaluasi yang digunakan untuk mencari umpan balik guna
memperbaiki proses belajar mengajar bagi guru maupun peserta didik. Evaluasi
formatif secara prinsip merupakan evaluasi yang dilaksanakan ketika program
masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan.
Misalnya, selama pengembangan program paket kurikulum, evaluais formatif
akan melibatkan pemeriksaan konten oleh ahli, pilot tes terhadap sejumlah siswa,
tes lapangan terhadap siswa yang lebih banyak dan dengan guru di beberapa
sekolah, dan lain sebagainya. Pada evaluasi formatif, audiensinya personalia
program, mereka yang bertanggung jawab atas pengembangan kurikulum.
Evaluasi formatif harus mengarah kepada keputusan tentang
perkembangan program termasuk perbaikan, revisi, dan semacamnya. Evaluasi
formatif (kadang-kadang disebut sebagai internal) adalah sebuah metode untuk
menilai layak program sementara kegiatan program sedang membentuk (dalam
proses). Ini bagian dari evaluasi berfokus pada proses. Dengan demikian, evaluasi
formatif pada dasarnya dilakukan dengan cepat. Mereka mengizinkan desainer,
peserta didik, dan instruktur untuk memantau seberapa baik tujuan instruksional
dan tujuan telah terpenuhi. Evaluasi Formatif juga berguna dalam menganalisis
materi pembelajaran, dan prestasi belajar siswa, dan efektifitas guru Evaluasi
Formatif terutama suatu proses pembangunan yang menumpuk serangkaian
komponen bahan baru, keterampilan, dan masalah menjadi keseluruhan yang
berarti utama.

Tujuan Evaluasi Formatif


a) Evaluasi formatif adalah mengetahui sejauh mana program yang dirancang
dapat berlangsung, sekaligus mengidentifikasi hambatan. Dengan
diketahui hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program tidak lancar,
pengambilan keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang
mendukung kelancaran pencapaian tujuan program.
b) Untuk memastikan tujuan yang diharapkan dapat tercapai dan untuk
melakukan perbaikan suatu produk atau program.
Fungsi Evaluasi Formatif
a) Sebagai balikan bagi siswa dan guru tentang kemajuan belajar.
b) Untuk memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaikai
proyek, kurikulum, atau lokakarya.
Teknik Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif terdiri dari beragam bentuk. Menurut Martin Tessmer (1996)
dalam diktat teori dan praktek evaluasi program bimbingan dan konseling (Aip
Badrujaman, 2009) evaluasi formatif dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Review ahli (expert review)
Evaluasi dimana ahli yang mengkaji ulang program layanan
dengan atau tanpa kehadiran evaluator. Ahli bisa ahli materi, ahli teknis,
perancang, atau instruktur. Evaluasi ini dilakukan terhadap program
muatan layanan yang masih kasar atau masih dalam rancangan (draft)
untuk mengetahui kelebihan dan kelemahannya.
Kelebihan dari review ahli adalah :
 Review menghasilkan tipe informasi yang berbeda jika
dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari evaluasi orang
per orang, kelompok kecil, atau uji lapangan.
 Kadang-kadang ahli yang dibutuhkan telah ada dan dibayar dengan
murah.
Sedangkan kelemahannya adalah :
 Review ahli tidak memberikan pandangan atau pendapat dari sudut
pandang siswa.
 Review ahli membutuhkan biaya tinggi jika orang ahli harus
didatangkan dari wilayah yang jauh.
Informasi yang dapat digali dari pelaksanaan review ahli antara lain
 Informasi yang berkaitan dengan content (materi), seperti
kelengkapan, akurasi, kepentingan, serta kedalaman.
 Informasi yang berkaitan dengan disain instruksional, seperti
kesesuain dengan karakteristik, dan tugas perkembangan siswa,
kesesuaian antara tujuan-materi-evaluasi, ketepatan pemilihan
media, dan ketertarikkan bagi siswa.
 Informasi yang berkaitan dengan implementasi, seperti kemudahan
penggunaan, kesesuaian dengan lingkungan belajar sebenarnya,
kesesuaian dengan lingkungan.
 Informasi kualitas teknis, seperti kualitas layout, grafis, audio,
visual, dll.
2. Evaluasi orang per orang (one-to-one evaluation)
Evaluasi ini dilakukan dengan wawancara yang dilakukan secara
perorangan oleh evaluator terhadap beberapa siswa dimana secara satu
persatu siswa diminta untuk memberikan komentarnya mengenai program
layanan yang sedang dikembangkan. Selain itu siswa juga biasanya
diminta untuk menyelesaikan pre dan post test untuk mengukur efektifitas
program layanan.
Keuntungan dari evaluasi ini adalah evaluasi ini memberikan
informasi dari sudut pandang siswa, serta evaluasi ini dapat dilakukan
dengan mudah, cepat, murah, dan produktif.
Informasi yang dapat diperoleh dari evaluasi ini meliputi beberapa aspek,
antara lain:
 Materi (content)
Seperti tingkat kesulitan, kejelasan, kemenarikan, serta kekinian
materi.
 Disain instruksional
Seperti kejelasan tujuan, kelogisan sistematika penyampaian
materi.
 Implementasi
Seperti tingkat kesulitan penggunaan, tingkat kemudahan dana,
kemungkinan kesulitan yang dihadapi.
 Kualitas teknis
Seperti kualitas animasi, video, serta layout.
Menurut Tessmer (1996) dalam diktat teori dan praktek evaluasi
program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) untuk memilih
subyek dalam evaluasi satu per satu, ada beberapa karakteristik yang bisa
dijadikan patokan, yakni:
1. Pengetahuan siswa: meliputi seberapa jauh mereka dapat mengetahui
tentang materi yang akan diberikan (pre test).
2. Kemampuan siswa: apakah siswa mempunyai kemampuan intelektual
dan strategi yang menunjukkan bahwa dirinya sebagai siswa dapat
belajar cepat atau lambat.
3. Minat siswa: meliputi apakah mereka akan menunjukkan motivasi yang
kuat untuk mempelajari dan mereview program layanan yang sedang
dikembangkan.
4. Keterwakilan siswa: seberapa jumlah siswa dari populasi yang memiliki
kemampuan, keterampilan, dan motivasi.
5. Kepribadian siswa: apakah cukup percaya diri dan terbuka untuk
mengekspresikan kritiknya selama evaluasi.
3. Evaluasi kelompok kecil (small group)
Evaluasi di mana evaluator mengujicobakan suatu program layanan pada
suatu kelompok siswa dan mencatat performance dan komentar-
komentarnya.
4. Uji lapangan (field test)
Evaluasi di mana evaluator mengobservasi program layanan yang
diujicobakan kepada sekelompok siswa tertentu dalam suatu situasi nyata.
Evaluasi ini dilakukan terhadap suatu program layanan yang sudah selesai
dikembangkan, tapi masih membutuhkan atau memungkinkan untuk
direvisi akhir.
Salah satu kelebihan dari uji lapangan adalah bahwa dengan
evaluasi ini akan diperoleh informasi apakah program layanan dengan
menggunakan menggunakan metode tertentu akan benar-benar berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan.
Menurut Tessmer (1996) dalam diktat teori dan praktek evaluasi
program bimbingan dan konseling (Aip Badrujaman, 2009) beberapa
fokus penggalian informasi yang perlu dijadikan patokan dalam uji
lapangan adalah :
 Kemampuan untuk dilaksanakan
 Kesinambungan
 Efektifitas
 Kecocokan dengan lingkungan
 Digunakan dalam beberapa variasi lingkungan.
Manfaat data penilaian hasil belajar formatif
Data hasil belajar formatif dapat diperoleh guru secara langsung pada
akhir proses belajar mengajar berupa hasil skor pasca tes. data ini disamping
menggambarkan penguasaan tujuan instruksi oleh para siswa, juga memberi
petujuk kepada guru tentang keberhasilan dirinya dalam mengajar. oleh sebab itu
data itu sangat bermanfaat bagi guru dalam upaya memperbaiki tindakan
mengajar selanjutnya. dari kajian hasil penilaian ini guru dapat memetik mafaat
dalam :
1) Memperbaiki program pengajaran atau suatu pelajaran dimasa mendatang
terutama dalam merumuskan tujuan instruksional, organisasi bahan,
kegiatan belajar mengajar, dan pertanyaan penilaian.
2) Meninjau kembali dan memperbaiki tindakan mengajarnya dalam memilih
dan menggunakan metode mengajar, mengembangkan kegiatan belajar
siswa, bimbingan belajar, tugas dan latihan para siswa, dll.
3) Mengulang kembali bahan pengajaran yang belum di kuasai oleh siswa
sebelum melanjutkan dengan bahan baru, atau memberi penugasan kepada
siswa untuk memperdalam bahan yag belum dikuasainya.
4) Melakukan diagnosis kesulitan belajar para siswa sehingga dapat di
temukan faktor penyebab kegagalan siswa dalam menguasai tujuan
instruksional.
B. Evaluasi Program Sumatif.
Evaluasi Program yang digunakan untuk mengukur atau menilai sampai
dimana pencapaian peserta didik terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan,
dan selanjutnya untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan peserta didik
yang bersagkutan. Evaluasi sumatif dilakukan pada akhir program untuk memberi
informasi kepada konsumen yang potensial tentang manfaat atau kegunaan
program. Misalnya, setelah paket kurikulum dikembangkan, evaluasi sumatif
mungkin dilaksanakan untuk menentukan efektifitas paket tersebut pada tingkat
nasional atau sampel sekolah khusus, guru, dan siswa pada tingkat perkembangan
tertentu. Pada evaluasi sumatif, audiensinya termasuk konsumen yang potensial
seperti siswa, guru, dan lain-lain yang terlibat dalam program. Evaluasi sumatif
mengarah ke arah keputusan tentang kelanjutan program, berhenti atau program
diteruskan, pengadopsian dan selanjutnya.
Evaluasi sumatif biasanya kuantitatif, dengan menggunakan skor numerik
atau nilai surat untuk menilai prestasi peserta didik. Sebuah evaluasi sumatif
(kadang-kadang disebut sebagai eksternal) adalah metode menilai nilai suatu
program pada akhir kegiatan program (penjumlahan). Fokusnya adalah pada hasil.
Semua penilaian dapat sumatif (yaitu, memiliki potensi untuk melayani fungsi
sumatif), tetapi hanya beberapa memiliki kemampuan tambahan untuk melayani
fungsi formatif. - Scriven (1967) Berbagai instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah kuesioner, survei, wawancara, observasi, dan
pengujian. Model atau metodologi yang digunakan untuk mengumpulkan data
harus prosedur langkah-demi-langkah tertentu. Ini harus hati-hati dirancang dan
dilaksanakan untuk memastikan data akurat dan valid.
Tujuan Evaluasi sumatif
1. Untuk mengukur ketercapaian program.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh kurikulum yang telah disusun
sebelumnya memberikan hasil pada siswa antara lain mencakup aspek
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Fungsi Evaluasi Sumatif
1. Menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan, pada akhir program atau
pengajaran.
2. Sebagai sarana untuk mengetahui posisi atau kedudukan individu di dalam
kelompoknya.
Manfaat Evaluasi Sumatif
1. Mereka bisa, jika dirancang dengan tepat, menyediakan bukti untuk
sebuah hubungan sebab-akibat.
2. Menilai hubungan jangka panjang.
3. Menyediakan data mengenai dampak program.
C. Contoh Evaluasi Formatif dan Sumatif
Contoh mudah dalam memahami evaluasi formatif dan sumatif. evaluasi
formatif ibaratnya proses dalam pembuatan masakan, dimana ada proses
pemasakan, proses pemotongan sayur dan proses pemberian bumbu.
sedangkan evaluasi sumatif adalah proses ketika masakan itu telah disajikan
dan bagaimana tiap individu menikmati masakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Madjid, H. Prof. Dr. MM. M.Pd. 2014. Evaluasi Kinerja SDM. Jakarta :
Haja Mandiri
Arikunto, Suharsimi, Prof. Dr. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi
revisi). Jakarta : Bumi Aksara
Badrujaman, Aip. 2009. Diktat Teori Dan Praktek Evaluasi Program Bimbingan
Dan Konseling, Jakarta : Indeks Publisher
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka
Mirza Bashirudin Ahmad, dkk. 2013. Model Evaluasi Kurikulum Goal Free
Evaluation Model : Universitas Negeri Yogyakarta
Yusuf Tayibnapis, Farida. 2000. Evaluasi Program. Jakarta : PT Rineka Cipta
Wirawan, Dr. 2012. Evaluasi Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi.
Jakarta : Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai