Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN ILMU DENGAN MORAL

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : Dr. Sri Harini Ekowati, M.Pd

Nama : Anugrah Pradipta Herdian

Nim : 1204620034

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA PERANCIS

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan izin
dan kekuatan kepada kami, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Hubungan Ilmu dengan Moral”.

Meskipun banyak hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya,


tetapi saya berhasil menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa saya
sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing saya, yang telah membantu dan
membimbing dalam mengerjakan makalah ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang


juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam
pembuatan makalah ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin saya berikan kepada
masyarakat dari hasil makalah ini.

Karena itu saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang
berguna bagi kita bersama. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, 17 April 2021

Penulis

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tidak bisa disangkal, berkat adanya perkembangan ilmu manusia memperoleh


banyak kemudahan dan kemajuan dalam menghadapi masalah-masalah
kehidupannya. Kemajuan akan fasilitas transportasi dan telekomunikasi sangat
memudahkan komunikasi bagi banyak sekali orang. Contoh yang tidak kalah penting
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang membuat hidup lebih berkualitas dan cukup
drastis meningkatkan umur angka harapan hidup (life expectancy). Secara
keseluruhan, zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan dalam segala hal
dibanding dengan sebelumnya. Yang terutama bertambah dengan kemungkinan-
kemungkinan ilmiah dan teknologi ini adalah kemampuan manusia. Filsuf Inggris,
Francis Bacon (1561-1623) sudah menyadari aspek ini dengan menekankan
bahwa knowledge is power, “pengetahuan adalah kekuasaan”. Tidak lama kemudian
filsuf Prancis, Rene Descartes (1596-1650), menulis buku kecil dimana ia
menguraikan pandangannya tentang metode ilmu baru yang sedang berkembang dan
pada akhir bukunya ia mengucapkan keyakinannya bahwa dengan demikian umat
manusia bisa menjadi maitres et possesseurs de la nature,”penguasa dan pemilik
alam”. Pada kali ini penulis akan membahas mengenai hubungan ilmu dengan moral.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara ilmu dan moral?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara ilmu dan moral

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hubungan Ilmu dengan Moral

2.1.1 Ambivalensi Kemajuan Ilmu

Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia


sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka
pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang kesehatan, transpotasi,
pendidikan, komunikasi, dan pemukiman. Seorang filsuf dan sastrawan Inggris,
Bertand Russel, sebagaimana dikutip oleh K. Bertens (2004:284) mengatakan bahwa
perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat zaman ini
lebih disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya.

Mula-mula perkembangan ilmu dan teknologi itu dinilai sebajai kemajuan


belaka. Manusia hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas
bagi manusia. Pandangan optimistis itu berlangsung terus dan mencapai puncaknya
dalam abad abad ke-19. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk
memecahkan semua kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan
kemajuan itu menjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte,
yang memandang zaman Ilmiah-yang disebutnya zaman positif-sebagai puncak dan
titik akhir seluruh sejarah. Pandangan yang begitu optimistis kini tampaknya agak
naif. Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya
disamping banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping
kemajuan yang luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru.

Science is power, Ilmu adalah kekuasaan. Kalimat yang keluar dari mulut filsuf
Inggris, Francis Bacon ini benar adanya. Sejak dalam tahap-tahap pertama
pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Penciptaan ilmu yang

2
pada hakikatnya digunakan untuk menguasai alam demi pemenuhan kebutuhan
manusia, juga digunakan untuk menguasai dan memerangi sesama manusia. Bukan
saja bermacam-macam senjata pembunuh berhasil dikembangkan  namun juga
berbagai teknik penyiksaan dan cara memperbudak massa. Di pihak lain, kemajuan
ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun justru
sebaliknya, manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi.
Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan bagi
kehidupan manusia melainkan dia berada untuk tujuan eksistensinya sendiri. Manusia
sering berada dalam situasi yang tidak bersifat manusiawi , terpenjara dalam kisi-kisi
teknologi, yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaannya.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada diambang kemajuan yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Meghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari
alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya;
untuk apa sebenarnya ilmu itu digunakan? Dimana batas wewenang penjelajahan
keilmuwan? Ke arah mana kemajuan ilmu harus diarahkan? Pertanyaan semacam ini
jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan
Ilmuwan seangkatannya. Namun bagi Ilmuwan yang  hidup dalam abad ke dua puluh
yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan kekhawatiran
perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat dielakkan. Dan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.

2.1.2 Masalah bebas nilai

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan


teknologi  yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi kedalam dua golongan
pendapat.

3
Ilmuwan golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral
terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam tahap ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, terlepas apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan baik
ataukah untuk tujuan yang buruk.

Ilmuwan golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu


terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan pada asas-asa moral.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:

1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan  adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuan
2. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi salah penggunaan.
3. Ilmu telah berkembang sedemikian rupa sehingga terdapat kemungkinan
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan
ketiga hal itu maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral
harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau
mengubah hakikat kemanusiaan.

Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya


ilmu (pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa
serta merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan
keputusan. Meski demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi
pengembangan ilmu agar tidak melanggar penghormatan terhadap martabat
kemanusiaan.

4
2.1.3 Peran Moral Terhadap Ilmu

1. Peran moral adalah mengingatkan agar ilmu boleh berkembang secara


optimal,    tetapi ketika dihadapkan pada masalah penerapan atau
penggunaannya harus memperhatikan segi kemanusiaan baik pada tataran
individu maupun kelompok. 
2. Peran moral berimplikasi pada signifikansi tanggung jawab, yakni
tanggungjawab moral dan sosial. Dalam konteks ini, tanggungjawab moral
menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggungjawab
aplikasi ilmu yang dikembangkannya. Bahwa ilmu tersebut harus
diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk merusak manusia.
3. Dari sisi tanggung jawab sosial, ilmuwan memiliki dan memahami secara
utuh tentang kesadaran bahwa ilmuwan adalah manusia yang hidup atau
berada di tengah-tengah manusia lainnya.
4. Perlunya ilmu dan moral (bagian dari suatu kebudayaan yang dikembangkan
dan digunakan manusia) seyogyanya berjalan seiring. Ketika manusia
mengaplikasikan hasil pengembangan ilmu dalam format penemuan
(pengetahuan) atau teknologi baru, moral akan mengikuti atau mengawalnya.
Hal tersebut dimaksudkan bagi kepentingan penghormatan atas martabat
kemanusiaan.

2.1.4 Ilmu, Moral dan Agama

Bila hubungan antara hati dan akal telah diputuskan maka manusia akan
menghadapi kenyataan bahwa pertanyaan tentang hidup ideal tidak akan pernah akan
terjawab. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali melakukan prostitusi
intelektual. Mereka menilih ilmu dan teknologi sebagai gantungan hidup, padahal
meletakkan ilmu dan teknologi sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan
berarti ia telah menyerahkan kehidupan manusia kepada alat yang dibuatnya sendiri.
Salah seorang tokoh pembuat kebudayaan Islam yang terkenal, Nurcholish Majid,

5
menyimpulkan bahwa paham Humanisme yang dijadikan pegangan masyarakat Barat
yang menyatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam akan
meneruskan pengaruhnya melalui rasionalisme, selanjutnya rasionalisme akan
berpengaruh melalui sekularisme. Paham sekularisme itulah yang pada akhirnya
menyebabkan manusia menyerahkan nasibnya pada alat yang dibuatnya sendiri dan
kondisi inilah yang meghasilkan keterasingan, ketidakbermaknaan, ketidakstabilan
hidup dan bermacam-macam penderitaan (1990:91).

Soedjatmoko (1984:202) menyatakan bahwa Ilmu dan teknologi sekarang ini


berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya;
pertanyaan itu sebenarnya berkisar pada ketidakmampuan manusia dalam
mengnendalikan ilmu dan teknologinya itu. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya
sendiri, mengenai tujuan dan mengenai cara-cara pengembangannya, tidak akan dapat
dijawab oleh ilmu dan teknologi tanpa menoleh pada patokan-patokan mengenai
moralitas, makna dan tujuan hidup manusia, termasuk apa baik apa buruk bagi
manusia modern. patokan-patokan tentang moralitas, makna dan tujuan hidup
ternyata berakar pada agama, demikian dikatakan Soedjatmoko.

Herman Suwardi, guru besar Filsafat Ilmu pada Pascasarjana Universitas


Padjadjaran Bandung, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir (2006:63) dengan
geram mengecam paradigma Ilmu yang digunakan di Barat. Filsafat ilmu di Barat
hanya mengandalkan satu paradigma Ilmu yaitu paradigma Ilmu warisan Descartes
dan Newton. Paradigma ini tidak mampu melihat alam secara keseluruhan.

Capra dalam buku Titik Balik Peradaban  yang membahas mengenai


kebudayaan barat, menyatakan bahwa pada awal dua dasa warsa terakhir abad kedua
puluh, dibalik kemudahan hidup yang ditawarkan oleh kemajuan Ilmu dan teknologi,
manusia modern berada dalam suatu keadaan krisis global yang serius, yaitu suatu
krisis kompleks dan multi dimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek
kehidupan kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup hubungan sosial

6
ekonomi dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral
dan spiritual yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Untuk pertama
kalinya manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia di planet bumi
ini. Bermacam-macam kehancuran dan kekacauan, kerusakan lingkungan, polusi,
kejahatan kemanusiaan, kehabisan sumber energi, ancaman bahaya nuklir,
kemiskinan, serta kehancuran-kehancuran sosial lainnya yang tentu tidak cukup untuk
menuliskan semuanya di makalah ini. Dinamika yang mendasari masalah-masalah itu
sebenarnya sama, demikian kata Capra (1998:3-10).

Selanjutnya Capra melakukan analisis sagat tajam untuk menemukan penyebab


pertama kehancuran itu. Menurutnya, penyebab awal dari kehancuran itu adalah
kekeliruan pemikiran, yaitu kekeliruan paradigma dalam membangun kebudayaan .
kekeliruan dalam membangun kebudayaan barat ialah karena kebudayaan itu
dibangun hanya dengan menggunakan satu paradigma, yaitu paradigma ilmu.
Paradigma ini adalah paradigma warisan Descartes dan Newton. Paradigma ini, kata
Capra, tidak mampu melihat alam semesta secara keseluruhan, paradigma ini hanya
mampu melihat sebagian dari alam, yaitu bagian yang empiriknya saja.

Harus ada paradigma baru, kata Capra, yaitu mampu melihat alam semesta ini
sebagai suatu sistem secara keseluruhan. Sementara itu Islam selain ia mengandung
ajaran yang mampu melihat alam semesta secara meyeluruh  sebagai suatu sistem dan
dalam kenyataannya Islam telah mampu menciptakan masyarakat yang berbudaya
tinggi sebagaimana diperlihatkan pada negara Madinah pada zaman Rasulullah, Abu
Bakar dan Umar. Hemat penulis, paradigma baru yang mungkin dimaksud Capra itu
adalah paradigma baru yang berdasarkan Islam. Mungkin Capra belum mengenal
Islam.

7
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Secara etimologis moral dan etika sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-
hari ada sedikit perbedaan. Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kemajuan yang dicapai ilmu dan teknologi bersifat ambivalen, artinya disamping
banyak akibat positif terdapat juga akibat-akibat negatif. Disamping kemajuan yang
luar biasa, ditimbulkan juga banyak masalah-masalah yang baru. Masalah-masalah
baru yang ditimbbulkan ilmu mencakup masalah segi multidimensial. Hal ini
terjadinya karena kekeliruan paradigma ilmu itu sendiri yang hanya melihat alam
semesta ini tidak secara keseluruhan. Tanpa landasa moral, ilmuwan mudah
tergelincir dengan sikap prostitusi intelektual. Agama merupakan sumber moral
memainkan peran yang amat penting dalam mencegah kemungkinan-kemungkinan
masalah etis keilmuwan.

3.2 Saran

Demikian makalah yang saya buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada
saya. Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya,
karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, alfa dan lupa.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu para pembaca disarankan
untuk membaca tentang merancang dan mengelola saluran pemasaran teritegrasi pada
referensi–referensi lainnya, agar pengetahuan pembaca semakin banyak sehingga
memperluas khazanah keilmuan kita.

8
DAFTAR PUSTAKA

Bertens,K. 2007. Etika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Suriasumantri,Jujun. 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya

Vardiansyah, Dani. 2008. Filsafat Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Indeks

Anda mungkin juga menyukai