Anda di halaman 1dari 7

KRITISISME DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

Muhammad Aan Ansori, Syarifuddin Aprianto


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Manajemen Pendidikan Islam VI-B
e-mail:
aan.ansori1323@gmail.com
Syarifuddinaprianto@gmail.com

Abstrak
Kritisisme membahas batasan antara rasionalisme dan empirisme. Bahwa pada
rasionalisme akal menjadi batasan untuk mengetahui kebenaran. Sama halnya dengan
empirisme yang memiliki batasan indera indera untuk menemukan objek sebagai suatu
kebenaran. Penggabungan antara teori rasionalisme dan empirisme menghasilkan teori
bahwa batasan-batasan antara akal dan indera untuk mengetahui suatu ilmu atau
kebenaran baru. Ilmu manajemen konvensional secara eksplisit tidak membuat makna
yang relevan dengan prinsip dan nilai Islam. Hal ini sangat penting sebab manusia
berperilaku dan bersikap senantiasa dibimbing oleh ilmu pengetahuan. Namun, secara
implisit ilmu manajemen pendidikan konvensional yang notabene dimunculkan di Barat,
telah menggambarkan konsep manajemen yang dikembangkan dalam Islam. Masuknya
manajemen ke dalan dunia penidikan bukan sesuatu yang ideal title, karena tidak mudah
memberikan atau menceritakan persoalan – persoalan pendidikan yang kompleks ke
dalam suatu tatanan yang general (not easily divide up into neat areas). Munculnya
kritikan terhadap ilmu manajemen pendidikan konvensional (sekular) adalah bagian dari
ilmu pengetahuan, hanya dibatasi pada pencarian kompetensi dalam pencapaian tujuan
lembaga pendidikan semata. Sebab hanya dilandasi oleh akal, dengan tidak
memperhitungkan rahasia fungsi kehidupan manusia. Ilmu bukan kesatuan antara yang
mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu), akan tetapi ia ialah
kesatuan antara orang yang mengetahui dengan arti. Unsur-unsur arti ini dikonstruksi
oleh jiwa dari obyek-obyek yang diterima oleh indera saat jiwa menerima iluminasi dari
Allah. Ini artinya unsur-unsur itu tidak ada dalam obyek-obyek yang ada. Dengan
demikian, pelaku pendidikan, termasuk di dalamnya adalah para pelaku dan pengelola
lembaga pendidikan Islam harus berani melakukan crossing over untuk mengaitkan
berbagai isu pendidikan dengan isu manajemen di perusahaan. Munculnya kolaborasi
antara ilmu manajemen dengan ilmu pendidikan Islam, sehingga melahirkan suatu prodi
yang mengkaji ilmu manajemen pedidikan Islam adalah salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas suatu lembaga pendidikan Islam. Dimana Manajemen Pendidikan
sebagai ilmu terapan yang memadukan antara ilmu-ilmu manajemen dengan ilmu
pendidikan sebagai landasan ajaran Islam, dapat memberikan alternative-alternatif yang
terbaik dalam pengembangan profesionalisme guru berbasis kelompok untuk menjaga
keberlangsungan hidup dan kemajuan lembaga pendidikan Islam.
Kata kunci: Kritisisme, manajemen, pendidikan, Islam

1
PENDAHULUAN
Manajemen menurut bahasa berarti pemimpin, direksi, pengurus, yang diambil dari
kata kerja manage yang berarti mengemudikan, mengurus, dan memerintah. Manajemen
menurut Hadari Nawawi adalah merupakan kegiatan yang dilakukan oleh manajer dalam
me-manage organisasi, lembaga, maupun perusahaan. Manajemen pendidikan Islam
merupakan aktifitas untuk memobilisasi dan memadukan segala sumber daya pendidikan
Islam dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sumber daya yang dimobilisasi dan dipadukan untuk mencapai tujuan
pendidikan tersebut tentunya meliputi apa yang disebut 3 M (man, money, dan material),
dan semua itu tidak hanya terbatas yang ada di sekolah/madrasah atau pimpinan perguruan
tinggi Islam. Berkomunikasi, bekerja sama dengan berbagai pihak yang terkait baik
kedalam maupun keluar sangat membantu dan menentukan kemajuan lembaga pendidikan
yang dipimpinnya, itulah proses dari manajemen.
Munculnya satu prodi baru yaitu Manajemen Pendidikan Islam, adalah satu cara
untuk meningkatkan profesionalisme guru dalam lembaga berbasiskan nilai-nilai Islam.
Dimana Manajemen Pendidikan sebagai ilmu terapan yang memadukan antara ilmu-ilmu
manajemen dengan ilmu pendidikan sebagai landasan ajaran. Islam, dapat memberikan
alternative-alternatif yang terbaik dalam pengembangan profesionalisme guru berbasis
kelompok untuk menjaga keberlangsungan hidup lembaga pendidikan.
Sebaran mata kuliah pada jurusan Manajemen Pendidikan Islam terus mengalami
perubahan. Pasca kewajiban penerapan KKNI penentuan mata kuliah benar-benar
dihadapkan pada tuntutan peningkatan kompetensi kemahasiswan sesuai jurusannya. Hal
ini menuntut pihak pengelola jeli membaca peluang terhadap tantangan global. Penanaman
motivasi cinta kerja dan informasi menarik sejak pendidikan dasar, pendidikan non formal
perlu diperbanyak. Perlu dikembangkan sikap “self-employment” guna mengimbangi
intervensi pemahaman ambisi pemuda ke arah pekerjaan. Dengan filter tersebut akan
diperoleh output yang matang dalam dua aspek: aspek intelektual dan aspek motivasional
(Tilaar:196). Restrukturisasi sistem pendidikan, khususnya pendidikan tinggi dalam
kaitannya dengan keseimbangan program studi, peningkatan mutu, dan hubungan antara
PTN dan PTS Tulisan ini perlu hadir karena minimnya ulasan kritis dalam ilmu sosial dan
filsafat ilmu sosial disini adalah manajemen pendidikan yang mencangkup ranah
kepemimpinan, pembelajaran organisasi dan pelatihan manajemen. Filsafat manajemen
secara spesifik mengatur pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi melaui efektivitas
pengambilan keputusan dan dorongan motivasi. Selain itu filsafat manajemen hadir dalam
mempersiapkan dan mengatasi masalah dan filosofi organisasi yang berhubungan dengan
pelanggan.
Sebagai sebuah cabang ilmu pada umumnya, kehadiran filsafat dalam manajemen
adalah sebagai petunjuk utama yang menggaris bawahi semua tindakan perilaku
manajerial. Peranan filsafat dalam permasalahan manajerial begitu penting, karena filsafat
bertindak sebagai dasar fikiran dalam memecahkan masalah. Seorang manajer memerlukan
kepercayaan dari nilai pokok yang dianutnya dalam memberi petunjuk dalam

2
menyelesaikan pekerjaan. Secara terminologi filsafat dalam bahasa Yunani “philosophia”,
philo artinya cinta, dalam makakn yang luas, yaitu ingin berusaha untuk mencapai suatu
tujuan, sedangkan sophia artinya kebijakan dalam arti pandai. Dalam arti sempit filsafat
berarti cinta pada kebijakan (Tafsir, 2001).
Setelah melalui serangkaian proses berfikir, potensi yang ada pada diri manusia
memiliki keinginan mencapai suatu tujuan. Dengan proses berfikir juga manusia menjadi
pandai dan kemudian bijaksana. Bijaksana ini yang menjadi tujuan akhir dari filsafat.
Menurut Harald, filsafat dalam arti sempit adalah science of science, tujuan filsafat adalah
memberikan analisis secara kritis terhadap asumsi- asumsi dan konsep sain, dan
mengadakan sistematisasi sains. Filsafat manajemen juga memberikan desain sehingga
seorang manajer dapat mulai berpikir. Sehingga dapat disimpulkan filsafat manajemen
adalah bagian yang terpenting dari pengetahuan dan kepercayaan yang memberikan dasar
yang luas untuk menetapkan pemecahan permasalah manajerial (Prasetyo, 2018).
Kebutuhan mendesak pada zaman sekarang ini adalah memperluas ruang lingkup
pengetahuan dan menangkap semua persoalan mendasar dan kepentingan umat manusia
(human interest). Hal ini akan dengan sendirinya memperluas bidang pengetahuan ke
dalam apa yang sekarang dikerjakan dan ditangkap oleh filsafat. Filsafat biasanya sibuk
dengan persoalan-persoalan perbatasan, berada dibalik dinding ilmu-ilmu pengetahuan
yang hampir belum menyentuh pusat kepentingan manusia. Ketika persoalan-persoalan ini
terpecahkan, maka akan menjadi bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan dan filsafat
bergerak pindah ke bidang yang baru yang selalu berada dibalik bidang ilmu pengetahuan.
Apa yang kita butuhkan sekarang adalah meraih kehidupan itu sendiri. Makna dan nilai-
nilai relatifnya dapat ditafsirkan masing-masing. Hal ini senantiasa menjadi tugas filsafat,
dimana kadang-kadang didefinisikan sebagai studi budaya tentang nilai dan makna atau
sebagai penafsiran akan kehidupan (Irawan, 2019). Oleh karena itu, penulisan artikel ini
bertujuan agar pembaca dapat memahami nilai dan makna juga menafsirkan sendiri
mengenai manajemen pendidikan islam.

METODE PENELITIAN
Jenis data dalam penelitian ini ialah data kualitatif karena berupa ungkapan para
pemikir mengenai konsep dan ilmu manajemen pendidikan. Pendekatan yang digunakan
adalah studi pustaka (library research). Dalam penelitian ini memakai dokumen berupa
ensiklopedi, karya-karya monumental, dokumen-dokumen, otobiografi, dan yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk rekontruksi kritis
dan mengkaji terhadap perkembangan konsep dan ilmu manajemen pendidikan. Merujuk
al-Attas mengatakan bahwa tubuh ilmu pengetahuan mesti memuat nilai-nilai Islam
apapun sumber ilmu dan bentuk ilmu pengetahuan itu direalisasikan.
Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai ialah ensiklopedi jurnal-jurnal
manajemen pendidikan islam yang dibalut oleh filsafat. Instrumen pengumpulan data ialah
dokumen dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis data dilakukan melalui
pengumpulan data, reduksi data, display data, dan penyimpulan data.

3
PEMBAHASAN
Problematika klasik dalam pendidikan kontemporer hingga hari ini adalah upaya
integralisasi antara dua entitas ilmu yang diposisikan diametral antara satu dengan lainnya
yaitu antara ilmu agama (semitis) dan ilmu umum (helenistik). Pada entitas yang pertama,
ia sangat mewarnai alam pikiran kaum agamawan, terutama agama Yahudi dan Nasrani
yang mendahului Islam, dengan ciri memberikan porsi yang amat besar pada otoritas
wahyu, sikap patuh terhadap dogma serta berorientasi pada ilmu-ilmu keagamaan an sich;
sedangkan entitas yang kedua, ia berasal dari Yunani klasik dengan ciri dominannya
memberikan porsi yang amat besar terhadap otoritas akal, mengutamakan sikap rasional
serta lebih menyukai ilmu-ilmu sekuler.
Polarisasi ini pun pada perkembangannya melahirkan varian yang memiliki corak
dan karakteristik berbeda, baik dari anatomi materi yang dibangun, sistem pendidikan yang
dijalankan, maupun pada bentuk kelembagaannya. Wajar apabila pola pemikiran tersebut
tumbuh berkembang mengikuti konsep-konsep dan konstruks paradigmatik yang
melatarinya. Pola pemikiran ini juga menjadi tren dan sudut pandang (worldview) di dunia
pendidikan Islam dengan melahirkan dua bercorak pendidikan yang sangat berbeda. Di
satu sisi, berdiri pendidikan Islam yang lebih mengedepankan aspek semitis, sehingga ia
memiliki corak yang tradisionalis (ketimuran) dengan menekankan aspek doktriner-
normatif, tekstualis ketika mengintepretasikan teks-teks normatif al-Qur’an dan al-Hadist
dan bahkan memiliki kecenderungan eksklusif-apologetis. Di sisi yang lain, berdiri pula
pendidikan Islam yang helenistik dengan warna modernis (ala Barat), sangat rasional,
konstekstualis dalam menafsirkan al-Qur’an dan al- Hadist hingga meninggalkan arti
skriptualitasnya, dan ia ditengarai mulai kehilangan spirit transendentalnya. Keadaan inilah
yang bisa dikatakan sebagai dikotomi yaitu pembagian atas dua konsep yang saling
bertentangan, di mana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan ke dalam yang satunya
lagi dan sebaliknya.
Paradigmatik dikotomi ilmu tersebut yang menggiring peradaban Islam pada
stagnasi progresifitas yang di dalamnya tersusun mentalitas kelas kedua, yaitu sikap
minder, kurang percaya diri, pesimistik, dan suka melihat kejayaan masa lampau
(romantisisme). Memang perlu diakui, kejayaan sistem pendidikan Islam di abad
pertengahan dengan sistem kelembagaannya (madrasah) pernah “hadir” dan eksis sampai
enam abad lamanya. John Walbridge secara deskriptif- historikal memaparkan, the
madrasa system, with its rationalistic curriculum, prospered for some six centuries,
dominating religious education in the Islamic world and deeply influencing parallel
systems of education. In the nineteenth century, it abruptly collided with the forces of
modernism -colonial administrators, Christian missionaries, Muslim reformers, and
Muslim revivalists. Where it survived at all, it was usually a shadow of its former self,
reduced in wealth and prestige and often warped by the conflicting demands of modernism
and its own past. Islamic education was swept up in a debate embracing European
colonial administrators and intellectuals and parents in virtually every Islamic country. It
was a debate that the madrasa professors were ill equipped to participate in. (John
Walbridge: 2011: 153). Hal itu berarti, pendidikan Islam dengan basis integrasi ilmu yang
oleh John Walbrigde dikatakan pendidikan religius- mampu melahirkan kejayaan
peradaban yang menguasai peradaban lain seantero dunia (Muthmainnah, 2018).
Namun itu hanya bekas sejarah yang tidak perlu dibanggakan hingga menjadikan
umat Islam lupa pada faktualita peradaban Islam yang telah tertinggal jauh dari peradaban
lain terutama dari aspek ilmu pengetahuan dan tehnologi. Jadi polaritas dua entitas ilmu
tersebut bukan sebagai paradigmatik pemisahan secara filosofis-metodologis, akan tetapi

4
sekedar pengklasifikasian ilmu semata. Mulyadhi Kartanegara menilai, dikotomi ilmu ke
dalam ilmu agama dan non-agama, sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah
mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi, dikotomi tersebut
tidak menimbulkan terlalu banyak problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga sistem
pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui imperialism (Baharun,
2016).
Secara generalistik, manajemen pendidikan Islam tidak berbeda dengan manajemen
konvensional yang mengelola sumberdaya organisasi melalui otoritas pemimpin untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama secara efektif dan efisien. Batasan yang
demikian selaras dengan batasan yang diungkapkan oleh Richard L. Daft, manajemen
merupakan pencapaian sasaran-sasaran organisasi dengan cara efektif dan efisien melalui
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian sumberdaya organisasi.
(Richard L. Darf: 2002: 8). Jelasnya pengelolaan sumberdaya pada kerangka batasan ini
lebih difokuskan pencapaian tujuan (sasaran) dengan dasar “mengerjakan sesuatu dengan
benar” dan “mengerjakan sesuatu yang benar”, yang dalam bahasa manajemennya
dikatakan efektif dan efisien. Secara proses, manajemen pendidikan Islam sangat
mengedepankan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ia tidak hanya berorientasi pada pencapaian
tujuan yang bersifat material atau tujuan profanistik, tetapi juga jauh melampaui tujuan
tersebut yaitu mencapaian tujuan yang bersifat imaterial seperti kebahagian hakiki,
mendapatkan berkah, dan pahala. (Kurniawan, 2019)
Islamisasi Ilmu Manajemen Pendidikan
Diantara kritikan terhadap ilmu manajemen pendidikan konvensional (sekular)
adalah bagian dari ilmu pengetahuan, hanya dibatasi pada pencarian kompetensi dalam
pencapaian tujuan lembaga pendidikan semata. Sebab hanya dilandasi oleh akal, dengan
tidak memperhitungkan rahasia fungsi kehidupan manusia. Ilmu bukan kesatuan antara
yang mengetahui (subyek ilmu) dengan yang diketahui (obyek ilmu), akan tetapi ia ialah
kesatuan antara orang yang mengetahui dengan arti. Unsur-unsur arti ini dikonstruksi oleh
jiwa dari obyek-obyek yang diterima oleh indera saat jiwa menerima iluminasi dari Allah.
Ini artinya unsur-unsur itu tidak ada dalam obyek-obyek yang ada. Dengan kata lain,
adanya makna ke dalam jiwa menunjukkan Allah adalah sumber pengetahuan, sedangkan
hadirnya jiwa kepada makna berarti bahwa jiwa adalah penafsirnya. Untuk itu, konsep dan
ilmu manajemen adalah diantara bagian dari ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini, yang
diperkembangkan dan direalisasikan oleh Barat, maka sudah seharusnya pula
mengindahkan semangat islamisasi ilmu pengetahuan.
Manajemen pendidikan dengan pendekatan sistem dan proses saat dipelajari pada
prinsipnya sama, akan tetapi ada sejumlah perbedaan maksud dalam konsep itu sendiri.
Seperti dijelaskan oleh Bartol, Martin, dan Kromkowski (2003) bahwa manajemen adalah
proses pencapaian tujuan organisasi dengan mewujudkan empat tahapan penting, yaitu:
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan. Mendasarkan kepada
penjelasan Goerge dan Jones (2008) bahwa manajemen adalah proses merencanakan,
mengorganisasikan, mengarahkan dan mengawasi sumber daya organisasi guna
pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Adapun Stoner dan Wankel (1986)
menyatakan bahwa manajemen perancangan, adalah proses pengorganisasian, memimpin
dan pengontrolan upaya anggota organisasi serta memanfaatkan sumber-sumber organisasi
untuk merealisasikan tujuan organisasi yang sudah ditentukan (Jejen Musfah, 1997).
Disamping itu, ada yang menjelaskan manajemen sebagai suatu seni bekerja
melalui peran serta orang lain. Konsep Barat mengenai manajemen tidak bersifat universal,
ditentukan kepada siapa dan di mana merealisasikan konsep manajemen. Sebagaimana

5
yang dijelaskan oleh Naceur (1994) bahwa sumbangan konsep manajemen konvensional
ialah beragama, banyak yang disimpulkan dari studi empiris dalam kerangka budaya.
Dengan demikian, harus dilakukan penelaahan kembali melalui studi kritis terhadap
sejumlah konsep dan ilmu manajemen pendidikan yang sudah berkembang sejauh ini.
Sehingga lahir model dan konsep manajemen organisasi yang selaras dengan tradisi, nilai,
dan budaya sekolah dan masyarakat. Yang mana, penduduk Indonesia sebagian besar ialah
beragama Islam, maka semestinya pendekatan manajemen pendidikan yang diterapkan
adalah pendekatan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang sejalan dengan Islam.
Sejumlah kasus, seperti manajemen pendidikan di Jepang dan Korea Selatan
menjadi berhasil, disebabkan oleh model dan konsep manajemen pendidikan yang sesuai
dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat setempat. Seperti dijelaskan oleh Gaby A.
Mendoza (Omar, 1996) bahwa nilai-nilai dalam manajemen yang dipraktekkan oleh orang
Asia dan Amerika ialah tidak sama, sebab kedua bangsa tersebut juga tidak sama. Analisis
terhadap konsep manajemen pendidikan dalam pandangan Islam, dapat menukil pandangan
al-Faruqi bahwa dikotomi antara akal dan wahyu tidak dapat diterima oleh Islam.
Menurutnya, pertentangan antara akal dan wahyu atau antara sains dan agama tidak bisa
diakui dalam Islam.
Disamping itu, al-Attas juga mengutarakan sejumlah konsep dasar Islam yang
harus diintegrasikan ke dalam ilmu pengetahuan apapun yang dipelajari oleh orang Islam,
sehingga Islamisasi mempunyai makna pelepasan ilmu pengetahuan dari asas-asas
ideologi, dan arti-arti sekular (Nor, 2003). Pada persoalan tersebut, sistem manajemen
pendidikan Islam bisa dinilai sebagai satu konsep yang sejalan dan berangkat dari kejadian
manusia itu sendiri. Manajemen pendidikan dalam persepektif Islam, secara jelas tidak
diungkapkan secara spesifik dalam al- Quran mengenai konsep manajemen pendidikan itu
sendiri. Walaupun begitu, definisi manajemen bisa ditinjau dari kata “yudabbiru” yang
bermakna bahwa Allah ialah mengurus, menentukan, dan mengatur berbagai urusan yang
berhubungan dengan alam raya ini dengan sempurna (Q.S. Yunus: 3). Menurut Al-Buraey
(1986), bahwa meskipun tidak ada kata secara spesifik mengenai manajemen pendidikan di
dalam al- Quran, akan tetapi penggunaan kata yudabbiru dalam Bahasa Arab bisa
dimaknai mengawal, mengatur, melaksanakan, mengurus, mengendalikan, dan mengarah.
Berpijak pada tinjauan teoritik terhadap konsep dan ilmu manajemen pendidikan dalam
perspektif Islam, maka prinsip, nilai, dan fungsi yang mesti ada dalam manajemen
pendidikan baik secara eksplisit ataupun implisit.
Definisi konsep dan ilmu manajemen pendidikan jika ditelaah fokusnya ialah
manusia. Pada dasarnya kehidupan ini ialah mengurus mengenai manusia. Dengan
demikian, melihat peran manusia, manusia adalah perumus konsep dan ilmu manajemen
pendidikan dan sasaran atas konsep dan ilmu manajemen pendidikan itu sendiri ialah juga
manusia. Oleh karena itu, manusia memiliki peran kritikal dalam ilmu manajemen
(Harahap, 1996), Allah menciptakan bumi untuk manusia, ia diberikan mandat untuk
mengurus dan memakmurkan bumi (Kurniawan, 2019).

SIMPULAN
Ilmu pengetahuan tidak terlepas nilai tergantung siapa yang memformulasikan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada kenyataannya, ilmu pengetahuan yang
berkembang sekarang ialah bentuk pengasingan dan dikotomi ilmu pengetahuan. Dalam
pokok- pokok pikiran pemikir-pemikir konsep dan ilmu manajemen pendidikan belum
dijumlah prinsip dan nilai Islam yang secara eksplisit terkandung dalam konsep dan ilmu

6
manajemen pendidikan yang selama ini ada. Namun, secara implisit sebenarnya telah
memuat arti sebagaimana prinsip dan nilai Islam. Sehingga ada kesan, bahwa konsep dan
ilmu manajemen pendidikan yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir manajemen
pendidikan, konon dari Barat, hanya ditujukan pada aspek materi semata-mata. Konsep
manajemen pendidikan Islam mesti menekankan pada nilai-nilai humanis untuk
kesejahteraan menuju tercapainya al-falah bagi semua peserta didik.

REFERENSI
Al-Buraey, I. M. A. (1986) Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan. Terjemah d.
Jakarta: CV. Rajawali.
Baharun, H. (2016) ‘At-turas: Jurnal Studi Keislaman’, AT-TURAS: Jurnal Studi
Keislaman, 3(1). Available at: https://ejournal.unuja.ac.id/index.php/at-
turas/article/view/182/146.
Irawan (2019) Filsafat Manajemen Pendidikan Islam. Pertama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Jejen Musfah (1997) ‘Abdulhak, I. (2008). Filsafat ilmu pendidikan . Bandung:Remaja
Rosdakarya.’, Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan & Sumber Belajar Teori
Dan Praktik, (2008).
Kurniawan, A. (2019) ‘Filsafat Ilmu Manajemen Pendidikan Islam Rekontruksi Kritis
Islamisasi Manajemen Pendidikan Islam Dalam Konteks Kekinian’, JURNAL YAQZHAN:
Analisis Filsafat, Agama dan Kemanusiaan, 5(1), p. 16. doi: 10.24235/jy.v5i1.4511.
Muthmainnah, L. (2018) ‘Tinjauan Kritis Terhadap Epistemologi Immanuel Kant (1724-
1804)’, Jurnal Filsafat, 28(1), p. 74. doi: 10.22146/jf.31549.
Prasetyo, M. A. M. (2018) ‘Desain Kurikulum IAIN Lhokseumawe ( Studi Analisis Mata
Kuliah : Filsafat Manajemen Jurusan Manajemen Pendidikan’, IDARAH: Jurnal
Pendidikan dan Kependidikan, 2(2), pp. 1–17.
Tafsir, A. (2001) Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Pertama. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai