Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KONSEP KESETARAAN GENDER MENURUT ISLAM

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

ANGGOTA KELOMPOK

1. PUTRA ARAFAH SUBHANI (03.06.22.0269)


2. RAHMAD ROSALDI SAMPOERNA (03.06.22.0269)
3. REZHA NUR AYU OCTAVIANA (03.06.22.0271)

Dosen Pengampu

Muhammad Jafar Shidiq, S.Pd.I, M.S.I

KEMENTERIAN PERTANIAN
BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN
POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN YOGYAKARTA
MAGELANG
JURUSAN PERTANIAN
2023
Konsep Kesetaraan Gender dalam Islam

Gender adalah kedaulatan tubuh, jadi tubuh perempuan adalah otoritas mereka sendiri yang
tidak bisa diganggu gugat. Kesetaraan gender dalam pandangan Islam, relasi agama dan
gender, gender memandang hubungan laki-laki dan perempuan yang berawal dari persaingan
antagonis dan kebencian menurut kaum feminis. Di bidang sudut agama, sudut pandang
feminisme ditumpukan pada peran wanita di setiap agama dalam perspektif gender. Sehingga
ajaran agama yang tidak memihak terhadap gender maka harus di dekonstruksi dan akan
selalu menuntut perkembangan deskontruksi sedikit demi sedikit berdasarkan permasalahan
dan perkembangan yang ada.

Perbedaan antara Seks dan gender, seks adalah perbedaan biologis laki-laki dan perempuan
berikut fungsi reproduksinya. Gender adalah perbedaan sifat, peran, posisi dan tanggung
jawab laki-laki perempuan hasil konstruksi sosial. Ada didalam diri perempuan dan laki-laki
yaitu sifat natural dan ini bukan sebagai kekurangan atau kelebihan dan ini bukan pengaruh
budaya tetapi bawaan.

Ruang Lingkup Dan Prinsip Gender

Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender pada dasarnya memaknai bahwa:

1) Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia. Semua manusia dilahirkan bebas,
memiliki harkat, 6 martabat dan hak yang sama, baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, Negara wajib menjamin persamaan pemenuhan hak laki-laki dan
perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik, serta bidang-bidang
lainnya.
2) Prinsip Kesetaraan Gender, pada dasarnya upaya memperjuangkan hak-hak
perempuan dan kesetaraan gender yang terkandung dalam Konvensi CEDAW, yakni,
a) Prinsip Kesetaraan Substantif,
 Langkah tindak untuk menganalisis hak perempuan yang ditujukan untuk
mengatasi adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang
merugikan perempuan;
 Langkah tindak melakukan perubahan lingkungan, sehingga perempuan
mempunyai kesetaraan dengan laki-laki dalam kesempatan dan akses, serta
menikmati manfaat yang sama;
b) Prinsip Non Diskriminasi
 Wilayah diskriminasi tidak terbatas pada ranah publik, tetapi mencakup juga
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku privat, mulai dari perorangan
sampai korporasi bisnis, keluarga, dan masyarakat. Diskriminasi mencakup
hukum tertulis, asumsi social-budaya tentang perempuan dan normanorma
yang diperlakukan terhadap perempuan. 7 Diskriminasi de-jure, seperti
kedudukan legal formal perempuan dan diskriminasi de-facto meliputi
praktik-praktik informal yang tidak diberi sanksi hukum tetapi mengatur hak
dan kebebasan perempuan. Konvensi CEDAW berusaha menghapus
diskriminasi lasngsung dan tidak langsung, tanpa membedakan antara pelaku
swasta dan pelaku publik
c) Prinsip Kewajiban Negara
 Negara menjamin hak perempuan melalui hukum/peraturan perundang-
undangan, kebijakan serta menjamin hasilnya;
 Menjamin pelaksanaan praktis dari hak itu melalui langkah tindak atau aturan
khusus sementara, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
meningkatkan kesempatan dan akses perempuan pada peluang yang ada;
 Negara tidak saja menjamin secara dejure, tetapi juga de-facto merealisasi
hak perempuan;
 Negara tidak saja harus akuntabel dan menagaturnya di ranah publik, tetapi
juga di ranah privat (keluarga) dan sektor swasta.

Kontoversi Permasalahan Gender : LGBT dalam pandangan Islam

Pandangan masyarakat terhadap LGBT terjadi pro dan kontra. Bagi yang berpihak
berpendapat bahwa LGBT adalah hak asasi manusia, tidak boleh didiskriminasikan oleh
siapapun walaupun mereka kaum minoritas. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa
LGBT merupakan penyakit dan gangguan seksualitas bisa disembuhkan, dan secara agama
adalah haram. LGBT bukan hal baru atau fenomena yang baru muncul, namun sudah ada
semenjak dulu bahkan dimasa nabi Lut. Sering kita dengar istilah kaum gay, lesbi dan
homoseksual.

Syari’at Islam berasal dari wahyu Allah Swt. Oleh karena itu, syari’at yang diturunkannya
juga mempunyai satu sistem. Artinya, hukum-hukum yang dikandung syari’at Islam tersebut
tunduk pada satu landasan dan tujuan, sehingga ketentuan-ketentuannya pun seragam, tidak
bertentangan antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Islam membawa ajaran yang
lengkap, mencakup seluruh aspek kehidupan.Tidak satupun aspek hidup dan kehidupan umat
manusia yang lepas dari perhatian Islam. Diantara aspek kehidupan yang sangat penting yang
di atur Islam adalah hubungan biologis atau seks. Seks merupakan suatu hal yang bersifat
sakral dan harus disalurkan secara benar dan bermoral melalui pernikahan. Penyaluran seks
di luar nikah disebut zina yang merupakan pelanggaran yang amat tercela. Akhir-akhir ini,
perilaku seks berupa zina, homoseksual, lesbian, dan berbagai perilaku aneh dalam hal seks
ini, marak dibahas oleh masyarakat Indonesia, baik melalui media elektronik, cetak, maupun
melalui seminar dan diskusi. Istilah yang berkembang dalam perilaku seks dan perilaku aneh
tersebut dinamakan dengan LGBT (Lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

Islam adalah agama yang bersifat universal, mampu mengatur berbagai dimensi
kehidupan anak manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, termasuk
mengatur masalah kepemimpinan dalam mengkhalifahi bumi ini. Pemimpin dalam syari’at
Islam merupakan wakil dan ummat, rupa, seolah-olah dia luput dari perbuatan salah,
pemimpin mempunyai tugas yang sangat berat sebagai pengganti tugas kenabian dalam
rangka mengatur kehidupan dan mengurus umat mencapai kemashalatan, menegakkan
keadilan, konsekwen dari syariat Islam, terwujudnya kesejahteraan rakyat, memelihara
persatuan ummat lewat kerja sama yang baik dan toleransi serta mampu menciptakan
keamanan dan ketenangan bagi ummat. Sebagai panutan, pemimpin harus memiliki kriteria-
kriteria yang telah ditentukan, antara lain adil, mempunyai kapasitas keislaman dan mampu
secara fisik maupun mental.

Mengkuti perkembangan zaman saat ini, ilmu kepemimpinan secara ilmiah kian
berkembang, bersamaan dengan pertumbuhan Scientific Management (manajemen ilmiah).
Kepemimpinan tidak lagi didasarkan pada bakat, pengalaman dan laki-laki saja, tetapi juga
pada kesiapan secara berencana, Semua program dilakukan lewat perencanaan, analisis, dan
pengembangan secara sistematis untuk membangkitkan sifat-sifat pemimpin yang sesuai
dengan tuntutan syari’at, agar mereka berhasil dalam tugas-tugasnya.

Mengidentikkan perempuan dengan pemimpin merupakan sesuatu yang tidak


biasanya dilakukan. Hal ini disebabkan karena fokus peran perempuan secara umum lebih
berkisar pada penyelesaian tugas domestik kerumahtanggaan, artinya tugas pokok perempuan
hanya bertumpu pada rumah tangga dan perangkat-perangkatnya. Dengan demikian yang
menyangkut masalah politik dan kepemimpinan, menjadi tugas dan dunia laki-laki dengan
alasan kepemimpinan berada pada pihak laki-laki. Dr Yusuf Qardhawi menyatakan:

“ada pula yang berpendapat bahwa wanita tidak mempunyai tempat dalam mengatur
ummat. Tempatnya adalah di rumah, tidak boleh keluar dari rumah kecuali ke
kuburan. Wanita tidak mempunyai hak suara dan kesaksian dalam pemilihan ummat
terlebih lagi mencalonkan dirinya dalam lembaga atau dewan tertentu”.

Syari’at Islam, baik secara normatif maupun empirik historis menunjukkan adanya
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang politik. Dalam konteks politik,
Syari’at Islam memberikan kesempatan kepada laki-laki dan perempuan untuk menggunakan
akal secara total dan bersih, sebagai ummat yang sama- sama memiliki potensi. Dalam hal ini
yang menarik untuk dicermati adalah timbulnya perbedaan interprestasi tekstual ayat-ayat
tentang hak-hak politik dan kepemimpinan perempuan di kalangan ummat Islam itu sendiri,
sehingga menimbulkan kesenjangan pendapat yang kadang-kadang menjurus kepada
kontroversial. Perbedaan interprestasi dimaksud adalah menyangkut persoalan boleh tidaknya
seorang perempuan menjadi kepala pemerintahan atau pemimpin

Berbagai Pendapat Tentang Kepemimpinan Perempuan

Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta DR Azyumardi Azra berpendapat, Islam memberi
peluang antara wanita dan pria untuk mencapai kesempurnaan yang sama, tidak ada
diskriminasi; termasuk peluang menjadi Presiden. Fiqih Klasik atau tradisional memang
menyebutkan, wanita tidak bisa menjadi pemimpin atau presiden, sehingga hasilnya tetap
melarang wanita menjadi pemimpin. 7 Indonesia memiliki nuansa fleksibilitas yang tinggi
meski sangat mungkin ada tesistensi (perlawanan) terhadap peran dan gerak wanita, termasuk
dalam hal pencalonan wanita menjadi Presiden tidak ada masalah, karena fleksibiiitas Fiqh
Indonesia. Dari alur pikiran Azyumardi Azra tersebut di atas, jelas kelihatan, tidak
mempermasalahkan tentang kepemimpinan perempuan, lebih lagi bila dalam tinjauan sejarah
Aceh, karena pernah di pimpin oleh beberapa orang ratu. Sebagai manusia ciptaan Allah
SWT, perempuan juga berhak untuk memimpin, dalam lembaran sejarah Islam, Istri
Rasulullah SAW, Aisyah r.a. juga pernah berperan dalam kancah kepemimpinan bahkan
dalam peperangan. Perempuan juga di ciptakan untuk menjadi Khalifah di muka bumi
sebagaimana di berikan kepada laki-laki, namun dengan satu konsekwensi yaitu mampu
mempertanggung jawabkan segala bentuk kegiatan yang dipimpinnya kepada Alah SWT.

Semua pemikir politik Islam seperti Sayed Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad


Abduh, Al-Maududin menyatakan bahwa orang yang duduk di dalam ahli Syura (DPR)
adalah mereka yang bisa mewakili semua lapisan masyarakat secara representatif, baik laki-
laki maupun perempuan. Namun dalam keanggotaan lembaga yudikatif (Mahkamah Agung)
atau Mahkamah Mudhalin yang tugasnya dapat memberhentikan kepala pemerintahan,
keikutsertaan perempuan masih menjadi masalah yang kontroversial. Taqiyuddin An-
Nadhani berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi anggota legislatif (Taqiyuddin An-
Nadhani: 7).

Ayat yang menjadi polemik tentang kepemimpinan perempuan adalah ayat 34 Surat
An-Nisa’:
Artinya: Laki-laki adalah pemimpin terhadap perempuan karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki atas sebagian yang lain (perempuan), karna mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebahagian Ulama berpendapat
bahwa ayat tersebut mengharuskan perempuan tunduk dan patuh kepada laki-laki (suami)
secara mutlak.

Dalam tafsir Al-Azhar, Hamka, menjelaskan tentang pemahaman ayat di atas


demikian: “Di dalam Ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki
wajiblah kamu jadi pemimpin, atau wahai perempuan kamu menerima pimpinan. Yang
diterangkan terlebih dahulu adalah kenyataan, tidak pun ada perintah namun kenyataannya
memang laki-lakilah yang memimpin perempuan, sehingga kalau datanglah misalnya
perintah perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan, sebab tidak
sesuai dengan kenyataan hidup manusia, perempuan memimpin laki- laki. Bukan saja pada
manusia bahkan pada binatangpun rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin
berpuluh-puluh itik betina yang mengiringinya.

Quraisy Shihab mengatakan maksud ayat 34 surat An-Nisa’: Kepemimpinan laki-laki


(suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan
ini pun tidak mencabut hak-hak isteri dalam berbagai segi termasuk dalam hal kepemilikan
harta pribadi dan hak pengelolaannya walaupun tanpa persetujuan suami.

Kata “Pemimpin” yang ada dalam ayat 34 Surat An-Nisa’ tersebut lebih pada
pengerdannya pengayom, saling menghargai, saling menghormati dan saling memahami
kondisi masing-masing, bahu membahu dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan, eksistensi
kepemimpinan tidak boleh menjurus kepada sewenang-wenang, sebab disisi lain banyak ayat
Al-Qur’an yang secara gamblang memerintahkan untuk saling tolong-menolong, saling
diskusi, saling bermusyawarah antara laki-laki dan perempuan.
IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DALAM BEBERAPA ASPEK
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA

Indonesia sebagai salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut
menandatangani salah satu program dari PBB yakni Transforming Our World : The 2030 Agenda for
Sustainable Development atau yang selanjutnya disebut dengan Sustainable Development Goals
sebagai salah satu wujud untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia, dan
kemudian merealisasikannya melalui Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan
Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan kelima dari agenda Sustainable
Development Goals tersebut ialah mengenai “Tercapainya Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan serta Anak Perempuan”.

Pada tujuan kelima ini, terdapat berbagai target yang ingin dicapai dalam tujuannya untuk
mencapai kesetaraan gender. Kesetaraan gender ialah keadaan dimana baik laki-laki maupun
perempuan memiliki status dan kedudukan yang setara atau seimbang untuk mewujudkan peran serta
hak-hak dan potensinya dalam segala bidang kehidupan.15 Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktutal, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.

Seperti yang kita ketahui, pada umumnya ketidaksetaraan gender atau diskriminasi gender
memang seringkali berkaitan dengan perempuan yang mempunyai posisi lebih rendah dan lemah
dalam kehidupan sosial17, bahkan dalam peraturan perundang-undangan. Terwujudkan kesetaraan
dan keadilan gender dapat ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik terhadap laki-laki maupun
perempuan.18 Namun hal tersebut belum sepenuhnya berjalan di Indonesia, diskriminasi dan
ketidaksetaraan gender itu masih tetap ada. Masyarakat di Indonesia masih memandang kedudukan
perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Perspektif masyarakat tersebut kerapkali tidak berubah
walaupun telah dilakukan program- program serta sosialisasi terkait kesetaraan gender.
Ketidaksetaraan gender dapat ditemui di berbagai bidang kehidupan di Indonesia, baik dalam
praktiknya di bidang ekonomi atau pekerjaan, jabatan, politik, perkawinan, pendidikan, kesehatan,
sosial maupun dalam peraturan perundang-undangan
IMPLEMENTASI KESETARAAN GENDER DALAM BERBAGAI ASPEK
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI INDONESIA

Aspek kesetaraan gender seringkali diterapkan dalam suatu peraturan perundang-undangan,


salah satu contohnya ialah dalam Undang-Undang Perkawinan. Pada Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, khususnya pasal 31 ayat (3) dinyatakan bahwa “suami adalah
kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga”. Aturan ini kerapkali dijadikan sebagai acuan dan
pandangan bagi masyarakat bahwa isteri bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan yang
berkuasa adalah suami, serta menimbulkan pandangan bahwa kedudukan istri tidaklah lebih tinggi
ataupun setara dengan suami. Riset membuktikan bahwa walaupun suami dan isteri keduanya bekerja,
pada nyatanya 2 dari 3 isteri lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak
dibandingkan suami. Data tersebut kemudian diperkuat dengan riset dari Hill ASEAN Studies pada
2018. Sekitar 60% istri bekerja di Indonesia, tetapi kurang dari 3 di antara 10 suami yang hanya
bersedia memasak. Ketika para istri ikut bertanggung jawab finansial keluarga, suami tidak ikut
berbagi pekerjaan rumah tangga, yang bisa dimulai dari membantu di area domestik.19

Dalam hal perkawinan, dulunya syarat usia minimum perkawinan yang diatur dalam Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu pada Pasal 7 ayat (1) bahwa perkawinan itu
hanya diizinkan jika pihak laki-laki telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Adanya ketidaksamaan kedudukan dalam
hukum pada ketentuan syarat usia minimum perkawinan, khususnya bagi perempuan tentunya
merupakan bentuk inequality before the law dan diskriminasi yang nyata terhadap perempuan.
Berkaitan dengan perbedaan usia tersebut, pada praktiknya kebanyakan perkawinan bawah umur
terjadi pada perempuan, karena ini ketidaksetaraan gender muncul antara laki-laki dan perempuan.20
Kenyataan tersebut menyebabkan tingginya angka perkawinan bawah umur di Indonesia dan
menempatkan posisi Indonesia pada peringkat 8 (delapan) sebagai negara dengan angka perkawinan
anak terbesar di dunia.

Selain dalam perkawinan, kesenjangan gender ini juga terjadi pada bidang ekonomi.
Perekonomian di Indonesia masih didominasi oleh laki-laki. Tentu saja salah satu penyebab terjadinya
kesenjangan tersebut ialah tidak lain disebabkan oleh kecenderungan laki-laki yang melakukan
aktivitas publik dibandingkan perempuan yang lebih dominan di ranah domestik. Selain itu,
kesenjangan perekonomian ini juga dapat dipengaruhi oleh tingkat keterampilan, pendidikan, tenaga
kerja serta kualitas sumber daya lainnya yang dimiliki oleh perempuan.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa hal yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
antara laki-laki dan perempuan ialah mengenai rasio tingkat pendidikan laki-laki dan perempuan.22
Kualitas pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi karena berkaitan dengan peningkatan
kualitas keterampilan maupun pengetahuan yang pada akhirnya menghasilkan suatu tingkat
produktivitas dan efisiensi yang berbeda sesuai dengan pendidikan yang diperoleh.

Terwujudkan kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi baik
terhadap laki-laki maupun perempuan. Namun hal tersebut belum sepenuhnya berjalan di Indonesia,
diskriminasi dan ketidaksetaraan gender itu masih tetap ada. Masyarakat di Indonesia masih
memandang kedudukan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Perspektif masyarakat tersebut
kerapkali tidak berubah walaupun telah dilakukan program- program, aturan-aturan serta sosialisasi
terkait kesetaraan gender. Ketidaksetaraan gender dapat ditemui di berbagai bidang kehidupan di
Indonesia, baik dalam praktiknya di bidang ekonomi atau pekerjaan, jabatan, politik, perkawinan,
pendidikan, kesehatan, sosial maupun dalam peraturan perundang-undangan.

Melalui artikel ini disarankan aturan yang mengatur mengenai gender di Indonesia harus
dibentuk lagi dalam berbagai bidang kehidupan lainnya. Pemerintah harus menerbitkan aturan-aturan
dan tentunya diikuti dengan sosialisasi serta sanksi yang tegas agar maksud dan tujuan dari aturan
tersebut dapat tercapai sebagaimana mestinya.

Di sisi lain selain penerapan sanksi yang tegas , aturan itu sendiri juga harus jelas dan dapat
diitafsirkan dalam satu arti, karena apabila tidak ada penafsiran yang jelas mengenai suatu aturan,
maka penerapannya juga akan berujung pada ketidakpastian dan tidak dapat tercapai tujuannya. Salah
satu contohnya adalah ketidakpastian penasiran pasal dalam undang-undang perkawinan yang
berujung pada tidak tercapainya tujuan dari kesetaraan gender dalam undang-undang itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai