Anda di halaman 1dari 18

HAK PEREMPUAN DALAM MEMILIH PASANGAN DAN

MENIKMATI HUBUNGAN SEKSUAL


1 2
Krisna Fitriani , Ilma Mufidatul Khusna
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
Crisnafitriani99@gmail.com, Ilmamufidatulkhusnal@gmail.com

ABSTRAK
Islam agama rahmatalilalamin menjelaskan antara
laki laki dan perempuan memiliki posisi yang setara,
lebih khusus dalam pernikahan baik laki laki dan
perempuan memiliki hak yang sama dalam memilih
pasangan dan menikmati hubungan seksual, hal ini
sebagai kunci terjalinya hubungan harmonis antar
pasangan dan terwujudnya tujuan pernikahan yang
sakinah mawadah warohmah. Namun realitanya saat
ini perempuan masih dijadikan objek dalam hal
pemilihan pasangan dan seksualitas kaum laki-laki.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif
dengan metode kepustakaan, dimana sumber data
yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh dari
dokumen berupa buku, jurnal. Metode analisis
menggunakan deskriptif analisis. Dari penulisan ini
rumusan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana
Hak Perempuan dalam memilih pasangan dalam
pernikahan? (2) Bagaimana Hak menikmati hubungan
seksual dalam pernikahan?. Hasil penulis ini adalah (1)
Hak perempuan dalam memilih pasangan dalam islam
sangatlah dianjurkan, islam melarang wali yang
secara otoriter menjodohkan anak perempuannya, hal
ini sebagai bentuk perubahan yang akan membawa
perempuan pada posisi ketidakadilan (2) Hak
Menikmati hubungan seksual dalam pernikahan baik
suami dan istri memiliki hak dan kewajiban yang sama,
istri bukan objek seksual suami namun keduanya
[2]

memiliki posisi yang setara dalam pernikahan untuk


mewujudkan tujuan pernikahan yang sakinah
mawadah warohmah dengan bentuk , kerja sama yang
baik dalam pernikahan

Kata kunci: Hak, Perempuan, Memilih Pasangan,


Menikmati Seksual

Pendahuluan
Pernikahan merupakan suatu ketetapan yang berlaku pada
makhluk ciptaan Allah swt. Melalui pernikahan, maka makhluk
hidup dapat berkembang biak untuk mengembangkan
keturunannya sehingga dapat mempertahankan ekosistem dan
eksistensi kehidupannya. Pernikahan merupakan sebuah
kontrak antara dua orang pasangan yang terdiri dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dalam posisi yang setara.
Seorang perempuan sebagai pihak yang setara dengan laki-laki
dapat menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana
juga laki-laki dan perempuan juga diberikan hak untuk memilih
pasangan hidupnya sendiri.
Selain hak memilih pasangan, dalam islam seksualitas juga
di bahas di dalam Al-Qur’an, Hadist, maupun dalam pemahaman
fiqih. Salah satu kunci terjaganya keharmonisan hubungan
pasangan suami istri adalah dengan terpenuhinya kebutuhan
seksual, baik dari sisi suami maupun istri. Namun, dalam
kenyataannya definisi seks terutama bagi masyarakat hanya
didefinisikan sebagai aktivitas biologis yang berhubungan
dengan alat kelamin saja. Padahal, sejatinya makna seks tidak
sebagai jenis kelamin dan berhubungan seksual saja, tetapi
meliputi keseluruhan kompleksitas emosi, perasaan,
kepribadian, dan sikap seseorang yang berkaitan dengan
perilaku serta orientasi seksualnya.
[3]

Dengan demikian, memahami seks berarti memahami


manusia seutuhnya, bukan saja manusia sebagai pribadi tetapi
memahami manusia sebagai masyarakat, kebudayaan, dan juga
memahami bagaimana sebuah kekuasaan bekerja di masyarakat.
Sejatinya, Sebagai pasangan, hubungan seksual dilakukan atas
kebutuhan bersama dan suka sama suka sehingga tidak ada salah
satu pihak yang dirugikan.

Hak Memilih Pasangan


Sebagaimana Islam telah meletakkan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip bagi kaum laki-laki dalam memilih pasangan
hidup, Islam juga memberikan kebebasan mutlak kepada kaum
wanita untuk memilih laki-laki yang diinginkannya saat dilamar.
Dengan demikian Islam telah menggabungkan antara hak wali
untuk menikahkan wanita dan hak wanita untuk menerima calon
suami yang diinginkannya atau menolak calon suami yang tidak
diinginkannya. Dalam hal ini Islam selanjutnya melarang para
orangtua atau wali untuk bersikap otoriter dalam menikahkan
putera-puteri atau suadara-saudara wanita mereka,tanpa
adanya persetujuan dari mereka.
Kehadiran Islam sebagai agama yang membawa pesan
kasih sayang dan kedamaian dengan sumber ajaran pokok
berasal dari Al-Qur’an dan Al-Hadits membawa angin segar bagi
kaum perempuan pada masa jahiliyah. Islam menunjukkan
perhatiannya terhadap perempuan dengan menghapus
diskriminasi yang telah mengakar dikalangan kaum jahiliyah,
bahkan telah menjadi budaya. Budaya tersebut harus
dihilangkan dengan menggantinya berdasakan asas kesetaraan
dan keadilan bagi perempuan sesuai misi yang diamanahkan
dalam syariat Islam.
Perempuan pada masa Jahiliyah atau pra-Islam belum
memiliki kedudukan penting di tengah masyarakat bahkan
[4]

direndahkan. Fakta-fakta tersebut terus terulang dan menjadi


tradisi dikalangan masyarakat jahiliyah pra-Islam yang
menghalalkan suatu penindasan tanpa adanya rasa kemanusiaan
terhadap perempuan. Ketidakadilan yang dialami perempuan
masa pra-Islam juga berlaku dalam hal perkawinan, seorang
perempuan seringkali dieksploitasi dalam bentuk yang sangat
tidak manusiawi, seperti dipaksa kawin, diperlakukan semena-
mena oleh suami, dipoligami tanpa batas dan tanpa syarat
ditukar, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya. Saat itu,
bentuk perkawinan yang paling dominan adalah kontraktual
yang terorientasi pada seksual. Seorang suami dibenarkan oleh
tradisi untuk saling tukar menukar istri. Selain itu, perempuan
juga tidak memiliki kuasa dalam memilih dengan siapa harus
dinikahkan. Hal tersebut didasarkan atas kerendahan status atau
kedudukan yang dimiliki perempuan pada masa tersebut. 1
Budaya-budaya yang dilakukan masyarakat jahiliyah
pra-Islam di atas menjadi bukti atas kedudukan perempuan pada
jahiliyah. Aturan dalam pelaksanaan pernikahan yang
menjadikan perempuan hanya sebagai objek pemuas nafsu dan
tidak memiliki kuasa atas hak memilih pasangan
menggambarkan bagaimana ketidak adilan dari sisi
kemanusiaan serta jauh dari tujuan utama pernikahan tersebut
yakni sakinah mawadaah dan rahmah.
Selain Undang-Undang Perkawinan, di Indonesia juga
ada yang disebut dengan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang
menjelaskan mengenai definisi pernikahan, di mana ikatan yang
kuat melalui akad nikah yang dijalani oleh laki-laki dan
perempuan didasarkan atas persetujuan atau kerelaan dari
kedua mempelai. Hal tersebut dilakukan guna menekankan

1Arifsugitanata. “Implementasi Hukum Keluarga Islam Pada Undang-

Undang Perkawinan Di Indonesia Mengenai Hak Memilih Pasangan Bagi


Perempuan”, Syariati: Jurnal Studi Gender Dan Anak, Vol 5 No 01. 2023
[5]

dalam pernikahan harus dalam keadaan sadar dan tanpa


paksaan. Oleh Karena itu bisa dibuat pernyataan bahwa
perempuan memiliki hak dalam memilih pasangan dengan siapa
saja untuk dinikahi dan melarang adanya paksaan atau
interpensi dari siapapun sebagaimana dijelaskan dari sisi Islam
dan sisi Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Penghapusan segala
bentuk diskriminasi dan penindasan pada perempuan termasuk
hak memilih pasangan atau jodoh telah masuk dalam hukum
yang berlaku dan diundang-undangkan di Indonesia yaitu
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984. 2
Ajaran al-Qur’an tentang status kesetaraan antara laki-
laki dan wanita dalam beberapa derajat penilaiannya di hadapan
Allah, salah satunya tercantum di dalam Al-Ahzab ayat 35:

Artinya:”Sesungguhnya laki-laki dan wanita muslim, laki-laki


dan wanita mukmin, laki-laki dan wanita yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan
wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusuk, laki-laki
dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang berpuasa,
lakilaki dan wanita memelihara kehormatannya, laki-laki dan
wanita yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah

2 Https://Peraturan.Bpk.Go.Id/Details/46978/Uu-No-7-Tahun-1984.
[6]

menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”


(QS. Al-ahzab/33:35) 3
Islam menghargai perempuan dalam memilih pasangan
hidup. Seorang perempuan memiliki hak untuk mencalonkan
calon suaminya, yang akan menjadi teman hidupnya dalam susah
dan senang, mencapai kegagalan dan kesuksesan. Islam
melarang orang tua atau wali untuk memaksakan kehendak
mereka kepada anak-anak mereka dalam memilih calon suami.
Upaya untuk membawa perubahan melalui humanisasi
perempuan harus dimulai dari yang terkecil, yaitu dimulai dari
keluarga. Memilih pasangan yang tepat dalam keluarga
memastikan bahwa seorang perempuan akan selalu menjadi
lebih baik.
Hak Menikmati Hubungan Seksual
Hak seksual adalah hak asasi manusia yang sangat
penting dalam pemenuhannya, tidak bisa diabaikan dan tanpa
membeda-bedakan jenis kelamin atau gender, dengan kata lain
bahwa antara laki-laki dan perempuan berhak memenuhi hak
seksualnya tanpa adanya diskriminasi. 4 Menurut pengertian
yang dideklarasi IPPF (International Planned Parenthood
Federation) hak seksual termasuk dalam kategori hak asasi
manusia. Hak seksual berkaitan dengan serangkaian masalah
yang berkaitan dengan seksualitas yang berasal dari hak atas
kebebasan, kesetaraan, privasi, otonomi, integritas, dan harga
diri atau martabat. 5
Islam mengajarkan semua hak seksual harus disalurkan
dengan cara pernikahan dan bukan dilakukan dengan cara
hubungan diluar nikah. Hal ini dilakukan agar manusia terhindar

3 Https://Tafsirweb.Com/7647-Surat-Al-Ahzab-Ayat-35.Html.
4Dewi Murni dan Muhammad Hariyadi, Pendidikan Gender: Kajian Atas Hak
Seksual Dalam Perspektif Al-Qur’an, Andragogi 3 (01), 2021, hal. 141
5 Ibid.
[7]

dari penyakit reproduksi, serta memiliki komitmen untuk hidup


lebih baik.6 Idialnya dalam islam untuk mengapresiasinya harus
dilakukan dengan cara yang sehat dan sebaik-baiknya, islam
tidak menganjurkan melakukan dengan keadaan tidak menikah
dengan sukarela dan alasan sepiritual untuk mempertahankan
hak atas tubuhnya serta mengabaikan hak seksualnya, sehingga
hasrat seksual harus dipenuhi sepanjang membutuhkan melalui
pernikahan serta tidak dibenarkan promiskuitas (free sex, seks
bebas). 7
Pemenuhan hak seksual dalam pernikahan pada
dasarnya memiliki 7 perinsip diantaranya: pertama, Hak atas
kenikmatan seksual laki-laki dan perempuan, terbebas dari
kkekerasa, pemaksaan, tanpa kekawatiran tertular infeksi
penyakit, kehamilan yang tidak diinginkan atau kerusakan
tubuh. Kedua, Hak atas ekspresi dan membuat keputusan seksual
secara konsisten dengan nilai-nilai personal, etika, dan sosialnya.
Ketiga, Hak atas perawatan, informasi, pendidikan, dan
pelayanan kesehatan seksual. Keempat, Hak atas integritas tubuh
dan hak untuk memilih, kapan, bagaimana, dengan siapa untuk
menjadi aktif secara seksual dan terlibat dalam hubungan
seksual dengan kesadaran penuh. Kelima, Hak untuk memasuki
suatu relasi, termasuk relasi perkawinan dengan kesadaran
bebas dan sempurna sebagai orang dewasa dan tanpa
pemaksaan. Keenam, Hak atas privasi dan kerahasiaan dalam
mencari pelayanan, perawatan, kesehatan reproduksi, dan
seksual. Ketujuh, Hak untuk mengeksepsikan seksualitas tanpa
diskriminasi dan kemerdekaan dalam reproduksi.8 Dewi Murni
mengungkapkan prinsip hak seksual dalam Al-Qur’an meliputi,

6Ibid., hal. 142


7Husein Muhammad dkk, Fiqh Seksual Risalah Islam Untuk
Pemenuhan Hak Hak Seksualitas, (Jakarta:Pkbi, 2011) hal. 56
8 Ibid., hal. 2
[8]

hak akan kesetarann fungsi dan peran seksual, hak dalam


menikmati hubungan seksual, hak atas kesehatan dan
pendidikan seksual, hak dalam pernikahan dan menikmati
hubungan seksual.9
Dari hak-hak diatas, realita dalam masyarakat adanya
anggapan secara umum bahwa dalam pernikahan hubungan seks
lebih banyak dinikmati oleh seorang suami sedangkan seorang
istri hanya memenuhi tugas untuk melayani. Tradisi yang
berkembang dalam masyarakat istri harus siap untuk melakukan
hubungan seksual dengan suaminya, kapan pun dan dimanapun
suami menginginkan. Hal tersebut menyebabkan adanya
diskriminasi terhadap perempuan dalam hubungan seksual, soal
rasa istri diposisi nomer dua, sebagain istri juga takut jika suami
marah. Pemahaman ini menjadi tradisi bagi perempuan karena
anggapan bahwa kodrat perempuan untuk melayani suami
dalam hubungan seks dalam pernikahan.
Tradisi yang menjadikan istri sebagai objek seks suami
pada dasarnya tidak menyimpang secara tekstual dalam ajaran
fiqih, bahwa terkait hubungan seksual dalam pernikahan istri
lebih dipahamkan mengenai kewajiban dari pada hak. Hal
tersebutlah yang lebih dianut kalangan masyarakat tradisional
bahwa hubungan seks dalam pernikahan adalah barang yang
suci yang diciptakan Allah untuk tujuan yang suci, yaitu
menjamin keturunan. Berbeda dengan pemahaman masyarakat
kota bahwa seks bagi perempuan adalah seperangkat biologis
yang dianugerahkan Allah untuk di nikmati, hal ini sepaham
dengan pendapat Masdar dalam bukunya bahwa seks istri tidak
hanya menjadi objek melainkan juga menjadi subjek. 10

9 Dewi Murni Dan Muhammad Hariyadi, Pendidikan Gender: Kajian

Atas Hak Seksual Dalam Perspektif Al-Qur’an, hal. 142


10 Seno Aris Sasmito, Pemikiran Masdar Farid Mas’udi Tentang Hak

Reproduksi Wanita, Vol. 5, Nomor 1, Januari-Juni 2iss Issn: 2527-8096, hal. 59


[9]

Dalam fikih kedudukan istri sebagai objek seksual suami


yang menimbulkan istri tidak memiliki hak untuk menikmati
hubungan seksual timbul dari konsep pemahaman nikah itu
sendiri, sehingga berimbas mengenai pertanyaan menikmati
hubungan seksual dalam pernikahan merupakan bentuk
kewajiban istri saja atau istri juga memiliki hak untuk menikmati.
Syafi’i berpendapat bahwa nikah adalah aqd tamlik atau milk al
tamlik yaitu proses pemindahan hak milik seperti halnya jual beli
yang mengakibatkan istri berada di bawah kontrol suami dalam
aspek kehidupannya termasuk organ reproduksi istrinya. Ulama
Malikiah, nikah adalah milk al-manfaat dimana suami memiliki
organ reproduksi isterinya secara temporal atau suami dapat
mengambil manfaat secara terus menerus. Dari kedua pendapat
ulama diatas memiliki pemaknaan yang sama bahwa suami
memiliki hak atas hubungam seksual dan istri wajib untuk
memenuhinya. Berbeda makna nikah dari ulama Hanafiah, nikah
adalah aqd al-ibahah dimana istri tetap memiliki hak penuh atas
organ reproduksi namun suami diberikan kebolehan secara halal
untuk menikmati hubungan seksual dengan istri.11
Jika dipahami pengertian nikah dari mazhab diatas bahwa
hubungan seksual dalam pernikahan lebih dipahami sebagai
kewajiban istri untuk melayani hasrat suami kapanpun dan
dimanapun suami menginginkan sedangkan seorang suami
memiliki hak penuh untuk diberikan pelayanan seksual oleh istri.
Apabila pernikahan dipahami demikian, maka memiliki peluang
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, sehingga ketiga
pendapat ulama diatas ulama Hanafilah yang memiliki peluang
terjadinya relasi antar suami dan istri dalam hubungan
pernikahan, bahwa pernikahan sebagai akad ibadah, seorang

11 Nuryasni Yazid, Pengabaian Hak Reproduksi Perempuan Sebagai

Pemicu Perceraian, Jurnal Integrasi Ilmu Syari‘Ah, Volume 3, Nomor 1, Januari-


April 2022, hal. 13
[10]

istri dan suami tetap memiliki hak penuh atas tubuhnya masing-
masing namun dihalalkan untuk melakukan seksualitas dan
dinilai sebagai ibadah.
Dasar hukum yang dijadikan legitimasi dalam hubungan
seksual oleh suami terhadap istri dijelaskan dalam firman Allah
surat Al-Baqoroh ayat 223: 12

ۤ
ّٰ ‫ث ﻟﱠ ُﻜ ْۖﻢ ﻓَﺄْﺗـُ ْﻮا َﺣ ْﺮﺛَ ُﻜ ْﻢ اَ ّٰﱏ ِﺷْﺌـﺘُ ْۖﻢ َوﻗَ ِّﺪ ُﻣ ْﻮا ِﻻَﻧْـ ُﻔ ِﺴ ُﻜ ْۗﻢ َواﺗـﱠ ُﻘﻮا‬
‫اﻪﻠﻟَ َو ْاﻋﻠَ ُﻤْٓﻮا اَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ‬ ٌ ‫ﻧِ َﺴﺎ ُؤُﻛ ْﻢ َﺣ ْﺮ‬
‫ﲔ‬ ِ‫ﱡﻣ ٰﻠ ُﻘﻮ ۗﻩ وﺑ ِّﺸ ِﺮ اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨ‬
َ ْ ُ ََ ُْ
Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu
(bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana
yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak)
akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira
kepada orang-orang mukmin.

Selain itu pemahaman yang dijadikan legitimasi terkait


istri sebagai objek seksual suami dalam Hadis riwayat Muslim
sebagai berikut : 13
َ ‫ﺎل َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑـُ ْﻮٌﻣ َﻌﺎ ِوﻳَِﺔ ح و َﺣ ﱠﺪﺛَِﲏ أَﺑُﻮ َﺳﻌِْﻴ ٍﺪ ْاﻷ‬
‫َﺷ ﱡﺞ‬ َ َ‫ﺐ ﻗ‬ٍ ْ‫َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ أَﺑـُ ْﻮﺑَ ْﻜ ِﺮﺑْﻦ أَِﰊ َﺷْﻴـﺒَﺔَ َوأّﺑـُ ْﻮ ُﻛﺮﻳ‬
َ ُ
َ‫ﻋﻦ أَِﰊ ُﻫَﺮﻳْـ َﺮة‬ ِ ‫ﻆ َﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎ َﺟ ِﺮﻳْـ ُﺮ ُﻛﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ﻋَ ْﻦ ْاﻷ َْﻋ ِﻤ‬ ٍ ‫ﺣ ﱠﺪﺛـَﻨَﺎوﻛِْﻴﻊ ح وﺣ ﱠﺪﺛَِﲏ ُزَﻫ ْﲑ ﺑْﻦ ﺣﺮ‬
ُ ‫ب َواﻟﱠﻠ َﻔ‬
ْ ‫ﺶ‬ َْ ُ ُ َ ُ َ َ
ِِ ِِ ِ ِ ِ‫ﺎل رﺳﻮ ُل ﱠ‬
‫ﻀﺒَﺎ َن‬ ْ َ‫ﺎت ﻏ‬َ َ‫اﻪﻠﻟ َﻋﻠَْﻴﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِذَا َد َﻋﺎ اﻟﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ْاﻣَﺮ َﻋﺘُﻪُ إِ َﱃ ﻓَﺮا ﺷﻪ ﻓَـﻠَ ْﻢ َﺄﺗْﺗﻪ ﻓَـﺒ‬ ّ ‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ ‫اﻪﻠﻟ‬ ْ ُ َ َ َ‫ﻗ‬
‫ﺼﺒِ َﺢ‬ ِ ِ
ْ ُ‫َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ ﻟَ َﻌﻨَـﺘْﻬﺎَ اﻟْ َﻤ َﻼﺋ َﻜﺔ َﺣ ﱠﱴ ﺗ‬

“Diceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu
Kuraib, keduanya berkata diceritakan kepada kami Abu
Muawiyah dan diceritakan kepadaku Abu Sa‟id al-Asyji

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya: Juz 1-30,


12

(Jakarta: PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang, 1994), Al-Baqoroh ayat 223


13
Hadis Shahih Muslim Nomer 1736
[11]

diceritakan kepada kami Waqi‟ dan diceritakan kepadaku Zuhair


bin Harb dan lafadz darinya diceritakan kepada kami Jarir mereka
semua dari A‟masy dari Abi Hazm dari Abi Hurairah berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Apabila seorang suami memanggil
istrinya ke ranjangnya namun istrinya tidak mendatanginya,
maka Malaikat menjadi marah atasnya (istri) dan melaknatnya
hingga subuh”. (H. R. Muslim).”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis tersebut
menjelaskan malaikat akan melaknat istri apabila menolak untuk
diajak hubungan seksual tanpa uzur syar’i seperti sakit, haid,
nifas, dan keadaan lain yang tidak memungkinkan. Wahab
alZuhailibj juga berpendapat bahwa seorang istri boleh untuk
menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, jika istri
khawatir akan disakiti atau didzholimi dan sedang mengerjakan
pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan, serta tidak boleh
menolak ketika keadaan longgar. 14
Dalam memahami hadis diatas mengaharuskan untuk
menggunakan metode Mubadalah, dengan menunjukan bahwa
hadis tersebut juga berlaku bagi istri sebagai subjek utama yang
mengharuskan suami dituntut untuk memenuhi kebutuhan
seksual istri, dan dapat dikutuk apabila menolaknya. Sebab hadis
ini dalam perspektif Mubadalah adalah memenuhi kebutuhan
seksual pasangan tidak hanya seksual suami namun juga seksual
istri.15
Undang-Undang di Indonesia melarang melakukan
kekerasan seksual dalam keluarga, hal ini dijelaskan di dalUn
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 8, Pasal 47, dan

14 Siti Zuhrotun Ni’mah, Dan M Ienchah Al Chasna, Hadith About

Women’s Reproductive Rights, A Critical Study, Al-Maiyyah Vol.14 No.2


Desember 2021, hal. 109
15Dewi Murni dan Muhammad Hariyadi, Pendidikan Gender: Kajian

Atas Hak Seksual Dalam Perspektif Al-Qur’an, hal. 145


[12]

Pasal 48 yang menjelaskan bahwa yang dikategorikan kekerasan


seksual merupakan tindakan pemaksaan hubungan seksual di
dalam lingkup rumah tangga, yang mengakibatkan korban
mendapat luka, tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan. 16
Oleh karena itu sangat penting dilakukan konstruksi
kembali terhadap budaya yang ada mengenai hubungan seksual
antara sumai istri, dalam rangka mengadakan reinterpretasi
agama yang dapat meletakkan persoalan seksualitas antara laki
laki dan petempuan sebagai bentuk hak dan kewajiban bersama
dalam relasi suami istri. Dari sini hak sebagai bentuk seseorang
dapat mengekspresikan hasrat seksualnya ataupun tidak, dan
kewajiban sebagai bentuk bahwa antara suami dan istri memiliki
kesalingan untuk merespon bila ia menghendaki dan berhak pula
menolak secara rasional atas kesiapnya secara fisik dan mental,
sehingga pasangan harus memahami ketidak siapan tersebut
didasarkan atas rasa kasih sayang dan kemanusiaan terhadap
pasangan. 17
Padahal islam telah mengangkat kedudukan dan nilai
hubungan badan antara suami istri adalah ibadah, keduanya
berhak mendapatkan pahala jika ingin melakukan. Mengenai
hubungan seksual. Ulama Hanafi yang lebih transparan, beliau
berpendapat bahwa istri berhak menuntut hubungan seksual
kepada suaminya, dan apabila istri menghendaki suami wajib
untuk mengabulkan begitu pun sebaliknya. Mazhab Maliki juga
menyetujui mendapat ini bahwa suami wajib untuk
mengabulkan permintaan istri untuk berhubungan seks selama

16 Undang-Undang, Nomer 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


17 M. Abi Mahrus Ubaidillah, Larangan Pemaksaan H7bungam Seksual

Oleh Suami Terhadap Istri, Minhaj: Jurnal Ilmu Syariah Volume 1, Nomor 1,
Januari 2020 ; P-Issn 2745-4282; E-Issn 2745-5246; 01-17, hal. 14
[13]

suami mampu untuk melakukan. Dengan demikian bahwa


hubungan seksual merupakan kesediaan kedua belah pihak
untuk saling menerima dan memberikan kehendaknya dengan
cara yang tulus tanpa adanya paksaan. 18
Sehingga dalam islam dianjurkan hubungan seksual
antara suami istri dilakukan dengan perinsip mu’asyarah bi al-
ma’ruf, istri dan suami sama-sama menikmati hubungan seksual
tersebut secara sadar dan suka rela. Pemaksaan hubungan
seksual suami kepada istri ataupun sebaliknya merupakan
tindakan yang keluar dari perinsip Al Quran, ayat yang dijadikan
legitimasi kesetaraan dan landasan dalam hubungan suami dan
istri adalah QS. al Baqarah ayat 187:19
ۗ ِ‫ﺚ اِ ٰﱃ ﻧِﺴ ۤﺎ ِٕﯨ ُﻜ ۗﻢ ﻫ ﱠﻦ ﻟِﺒﺎس ﻟﱠ ُﻜﻢ واَﻧْـﺘﻢ ﻟ‬ ِ ِ
‫ﺎس ﱠﳍُ ﱠﻦ‬‫ﺒ‬
ٌ َ ُْ َ ْ ٌ َ ُ ْ َ ُ َ‫اﻟﺼﻴَ ِﺎم اﻟ ﱠﺮﻓ‬
ّ َ‫اُﺣ ﱠﻞ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ﻟَْﻴـﻠَﺔ‬
Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu.
Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi
mereka.
Ayat ini menjelaskan mengenai banyak hal yang harus
dilakukan suami istri untuk menuju keluarga sakinah, jika
dianalogikan manusia tidak bisa tanpa pakaian setiap harinya,
hidup berpasangan merupakan fitrah yang tidak bisa di hindari.
Jika pakaian difungsikan sebagai benda untuk membatu
menutupi aurat ke tidak sempurnan fisik orang, memperinda
maka analogikan ini bahwa antara suami istri saling menutupi
aib masing masing dan saling menyempurnakan satu sama lain. 20
Sedangkan Mmenuru Quraish Shihab seks merupakan
kebutuhan laki laki dan perempuan yang ditunjukan dengan

18 Seno Aris Sasmito Pemikiran Masdar Farid Mas’udi Tentang Hak

Reproduksi Wanita, hal.60


19
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya: Juz 1-30,
20 Mimin Mintarsih Dan Pitrotussaadah, Hak-Hak Reproduksi

Perempuan Dalam Islam, Jsga: Journal Studi Gender Dan Anak Vol.09, No.01,
Januari-Juni 2022, hal. 1dew
[14]

pemakaian kata ar-rafats yang memiliki arti bersetubuh. Istri


ibarat pakaian bagi suami begitupum sebaliknya, jika dilihat
dalam kehidupan manusia tidak bisa lepas dengan suatu pakaian
maka jika dikaitkan hubungan seksual tidak dapat dihindari
dalam keadaan suami istri yang normal. 21
Dalam perspektif mubadallah ayat ini dipahami istri
adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri. Sedangkan
untuk menikmati hubungan seksual perempuan berhak dari
suaminya, sebagaimana suami dari istrinya. Hal ini menegaskan
bahwa hak menikmati hubungan seksual adalah hak suami dan
istri.22 Sehingga dalam pernikahan posisi suami dan istri adalah
setara, karena pada hakekatnya posisi suami istri adalah
hubungan kerja sama, dari situ tentunya harus saling
menyempurnakan, menyadari, dan tidak merasa posisinya lebih
tinggi dari keduanya. 23
Menyadari bahwa hak menikmati seksual merupakan
hak masing masing suami dan istri akan menimbulkan
terwujudnya ketenangan jiwa dan relasi suami istri atas dasar
cinta kasih atau mawaddah wa rahmah, sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. Ar-Rum:21 24
‫اﺟﺎ ﻟِّﺘَ ْﺴ ُﻜﻨُـْٓﻮا اِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َو َﺟ َﻌ َﻞ‬ ِ ِ ِ ِ
ً ‫َوﻣ ْﻦ اٰﻳٰﺘﻪ ٖ◌ ٓ◌ اَ ْن َﺧﻠَ َﻖ ﻟَ ُﻜ ْﻢ ّﻣ ْﻦ اَﻧْـ ُﻔﺴ ُﻜ ْﻢ اَْزَو‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ ۗ
‫ﱠ‬ ٰ
‫ﻚ َﻻﻳٰﺖ ﻟَّﻘ ْﻮم ﻳـﱠﺘَـ َﻔﻜ ُﺮْو َن‬ َ ‫ﰲ ذﻟ‬ٰ ِ ‫ﱠ‬
ْ ‫ﺑـَْﻴـﻨَ ُﻜ ْﻢ ﱠﻣ َﻮﱠدةً ﱠوَر ْﲪَﺔً ان‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya

21 Dewi Murni, Muhammad Hariyadi, Pendidikan Gender: Kajian Atas

Hak Seksual Dalam Perspektif Al-Qur’an, hal 145


22 Uswatul Khasanah Dan Muhammad Rosyid Ridho, Childfree

Perspektif Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, E-Journal Al-Syakhsiyyah


Journal Of Law And Family Studies, Vol. 3 No. 2 (2021), hal.121
23 Ibid. hal. 110
24
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya: Juz 1-30,
[15]

kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-


Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang
berfikir.
Menurut Quraish Shihab kata taskunu berasal dari kata
sakana. Arti kata “sakana” tersebut adalah diam, setelah
sebelumnya guncang dan sibuk. Untuk makna ini Quraisy Syihab
menjabarkan juga bahwa tempat tinggal dengan kata “sakan”
(maskan), sehingga dalam sebuah pernikahan antara suami istri
menjadi tenang setelah memasuki rumah yang sebelumnya di
luar rumah sibuk. Ketenangan yang berada dalam surah Ar-Rum
merupkan ketenangan fungsi biologis manusia, dengan adanya
alat reproduksi jika difungsikan akan mencapai ketenangan
dalam perkawinan. Sehingga dengan terpenuhinya hubungan
biologis akan terciptanya ketenangan. 25
Sedangkan kata litaskunu yang dirangkai dengan kata
ilaiha memiliki makna kecenderungan kepadanya sehingga
dalam penggalan ayat dalam surat al-rum ayat 21 itu bermakna
Allah menjadikan pasangan suami istri masing-masing
merasakan ketenangan disamping pasangannya serta cenderung
kepadanya. 26 Sehingga hubungan seksualitas merupakan
kebutuhan suami dan istri untuk mendapatka ketenangan.
Apabila hubungan seksual suami istri terjadi pemaksaan yang
menyebabkan salah satu pihak tidak merasakan kenikmatan
seksual, menyebabkan terjadinya kekerasan yang akan
menimbulkan trauma dan bukanlah ketenanga, sehingga tidak
sesuai dengan perinsip Al-Qur’an.

25 Kurlianto Pradana Putra, Makna Sakinah Dalam Surat Al-Rum Ayat

21 Menurut M. Quraisy Syihab Dalam Tafsir Al-Mishbah Dan Relevansinya


Dengan Tujuan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam, Maslahah, Vol. 12,
No. 2, Desember 2021, hal. 26-27
26 Ibid.
[16]

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Islam sangatlah menganjurkan perempuan untuk memilih
pasangan hidupnya, karena tujuan dari pernikahan untuk
membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah
maka perempuan berhak memilih pasangan yang akan
menjadi teman hidupnya dalam susah dan senang, mencapai
kegagalan dan kesuksesan. Islam melarang orang tua atau
wali untuk memaksakan kehendak mereka secara otoriter
kepada anak perempuannya dalam memilih calon suami. Hal
ini dilakukan sebagai upaya untuk membawa perubahan
melalui humanisasi perempuan, dimulai dari keluarga salah
satunya memilih pasangan yang tepat.
2. Hak menikmati hubungan seksual dalam pernikahan baik
suami ataupun istri sama-sama memiliki hak untuk
menikmati hubungan seksual, istri bukan objek seksual
suami seperti pemahaman masyarakat sampai saat ini,
namun suami dan istri sama-sama menjadi subjek dalam
menikmati hubungan seksual. Karena jika istri menjadi objek
seksual suami akan menimbulkan diskriminasi terhadap
pperempuan hilangnya muasyaraoh bil ma’ruf dalam
pernikahan, serta tidak terwujudnya tujuan pernikahan.
[17]

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 1994. Al-Qur’an dan Terjemahnya: Juz 1-


30, .Jakarta: PT. Kumudasmoro Grafindo Semarang.

Hadis Shahih Muslim Nomer 1736.

Https://Tafsirweb.Com/7647-Surat-Al-Ahzab-Ayat-35.Html.

Khasanah, Uswatul Dan Muhammad Rosyid Ridho. 2021.


Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan Dalam
Islam, E-Journal Al-Syakhsiyyah Journal Of Law And Family
Studies. Vol. 3 No. 2.

Mintarsih, Mimin Dan Pitrotussaadah. 2022. Hak-Hak Reproduksi


Perempuan Dalam Islam, Jsga: Journal Studi Gender Dan
Anak Vol.09. No.01. Januari-Juni.

Muhammad, Husein dkk. 2011. Fiqh Seksual Risalah Islam Untuk


Pemenuhan Hak Hak Seksualitas. Jakarta.Pkbi.

Murni, Dewi Dan Muhammad Hariyadi. 2021. Pendidikan Gender:


Kajian Atas Hak Seksual Dalam Perspektif Al-Qur’an,
Andragogi 3 (01).

Ni’mah, Siti Zuhrotun Dan M Ienchah Al Chasna. 2021. Hadith


About Women’s Reproductive Rights. A Critical Study. Al-
Maiyyah Vol.14 No.2 Desember.

Putra, Kurlianto Pradana. 2021. Makna Sakinah Dalam Surat Al-


Rum Ayat 21 Menurut M. Quraisy Syihab Dalam Tafsir Al-
Mishbah Dan Relevansinya Dengan Tujuan Perkawinan
Dalam Kompilasi Hukum Islam. Maslahah. Vol. 12. No. 2.
Desember.
[18]

Sasmito, Seno Aris. 2020. Pemikiran Masdar Farid Mas’udi


Tentang Hak Reproduksi Wanita. Vol. 5. Nomor 1. Januari-
Juni Issn: 2527-8096.

Sugitanata. Arif. 2023. “Implementasi Hukum Keluarga Islam


Pada Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia Mengenai
Hak Memilih Pasangan Bagi Perempuan”. Syariati: Jurnal
Studi Gender Dan Anak,Gender

Https://Peraturan.Bpk.Go.Id/Details/46978/Uu-No-7-Tahun-
1984.

Ubaidillah, M. Abi Mahrus. 2020. Larangan Pemaksaan


Hubungam Seksual Oleh Suami Terhadap Istri. Minhaj:
Jurnal Ilmu Syariah Volume 1. Nomor 1. Januari; P-Issn
2745-4282; E-Issn 2745-5246; 01-17.

Undang-Undang, Nomer 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Yazid, Nuryasni. 2022. Pengabaian Hak Reproduksi Perempuan


Sebagai Pemicu Perceraian. Jurnal Integrasi Ilmu Syari‘Ah,
Volume 3. Nomor 1. Januari-April.

Anda mungkin juga menyukai