Anda di halaman 1dari 19

ZINA DAN STATUS ANAK YANG LAHIR DARI ZINA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah : Masailul Fiqh


Dosen Pengampu: : Kholis Firmansyah, S.H.I, M.S.I.

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Nurul Istiqomah (193111117)


2. Atikah Nur Karimah (193111130)
3. Pingki Apriliyani (193111139)
4. Lusia Rohmah (193111145)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah Masailul Fiqh dengan judul “Zina dan Status
Anak yang Lahir dari Zina” dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam tidak
lupa kita haturkan kepada Nabi Besar kita Nabi Muhammad SAW yang telah
mengajarkan dan memberi petunjuk kami dari jalan kegelapan menuju jalan yang
terang yakni dengan Agama Islam.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada beberapa pihak yang telah
berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini. Dengan pembuatan makalah ini
semoga kegiatan belajar pada materi ini bisa menambah sumber pengetahuan.
Kami sadar dalam penyusunan makalah ini belum sepenuhnya sempurna, untuk
itu kritik dan saran sangat kami butuhkan. Mohon maaf atas segala kesalahan
dalam penulisan kutipan-kutipan yang kurang berkenan. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4
A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan..........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6
A. Pengertian Zina ...........................................................................................6
B. Macam-Macam Zina ...................................................................................7
C. Hukum Zina .................................................................................................9
D. Kedudukan/ Status Anak Hasil dari Zina ..................................................13

BAB III PENUTUP..............................................................................................18


A. Kesimpulan................................................................................................18
B. Saran...........................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perzinaan merupakan masalah yang tidak akan pernah habis
diperbincangkan sepanjang hidup manusia dan sepanjang masa. Hal itu
dikarenakan. pada prinsipnya setiap manusia menghendaki adanya sikap
perilaku yang baik antar-sesama. Masalah perzinaan tidak hanya menyangkut
hubungan antar-manusia sebagai hak insani atau hak adami. Tetapi masalah
perzinaan dan hukumannya memang begitu penting dalam rangka
pemeliharaan hubungan antar manusia dan karena betapa dahsyatnya akibat
perzinaan terhadap hidup dan kehidupan manusia serta antar-manusia itu
sendiri.
Hal itu dapat dilihat dari ketentuan Allah, Tuhan Yang Maha Rahman
dan Maha Rahim, yang mendudukkan masalah perzinaan sebagai ranah atau
wilayah hak Allah yang menentukan hukuman dan pembuktiannya merupakan
ketentuan yang qat’i maupun zanni. Isi kandungan Al-Quran yang memuatkan
ketentuan-ketentuan tentang larangan perzinaan dan hukumannya serta
pembuktiannya dapat diketahui antara lain dalam surat al-Isra’ ayat 32, surat
an-Nur ayat 2, dan di dalam hadis-hadis Rasulullah Saw.1
Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan yakni
berkurangnya agama si penzina, hilangnya sikap wara’ (menjaga diri dari
dosa), buruk kepribadian dan hilangnya rasa cemburu. Zina mengeluarkan bau
busuk yang mampu dihirup oleh orang-orang yang memiliki ‘qalbun salim’
(hati yang bersih) melalui mulut atau badannya. Zina menghilangkan harga
diri pelakunya dan merusak masa depannya serta meninggalkan aib yang
berkepanjangan bukan saja kepada pelakunya, tetapi malah kepada seluruh

1
Ali Mohammad Daud, 2007. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 18.

4
keluarganya. Zina dapat menyemai permusuhan dan menyalakan api dendam
antara keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina dengannya.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari zina?
2. Apa saja ragam/ macam-macam dari zina?
3. Bagaimana hukum dari zina dan anak hasil dari zina?
4. Bagaimana kedudukan/status anak hasil dari zina?
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini mencoba memberikan penjabaran tentang pengertian dari zina,
ragam dan hukum dari zina serta kedudukan anak hasil dari perbuatan zina.

2
Muhammad Yusuf, 2017, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan Kontemporer, Jakarta:
Gunadharma Ilmu. Hlm 88

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zina

Pergaulan yang tidak dibatasi oleh aturan agama maupun susila akan
berdampak perilaku yang sangat dilarang oleh agama Islam. Salah satu
dampak negatif dari pergaulan bebas atau seks bebas adalah perilaku yang
sangat dilarang oleh agama Islam, yaitu zina. Kata zina berasal dari
kata zana-yazni yang artinya hubungan layaknya suami istri antara
perempuan dengan laki-laki yang sudah mukalaf (balig) tanpa ikatan
pernikahan yang sah menurut syariat Islam. Zina adalah istilah hukum Islam
yang merujuk pada hubungan seksual yang melanggar hukum.3
Menurut yurisprudensi tradisional, zina dapat mencakup perzinaan (dari
pihak yang sudah menikah), percabulan (dari pihak yang belum
menikah), prostitusi, pemerkosaan, sodomi, homoseksualitas inses, dan
kebinatangan. Meskipun klasifikasi hubungan homoseksual sebagai zina
berbeda menurut sekolah hukum, mayoritas menerapkan aturan zina untuk
homoseksualitas, sebagian besar homoseksual laki-laki. Alquran sebagai
sumber hukum Islam tidak menyetujui pergaulan bebas yang berlaku di Arab
pada saat itu, dan beberapa ayat merujuk pada hubungan seksual yang
melanggar hukum.
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah Swt. yang diberi amanah
untuk mengelola bumi ini sekaligus memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan yang lebih besar
dibandingkan dengan makhluk Allah Swt. yang lainnya. Oleh karena itu,
keberadaan manusia harus tetap menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan
hidupnya secara benar sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Proses
tersebut di dalam ajaran Islam dilakukan melalaui aturan dan proses yang
mudah, yaitu melalui proses pernikahan. Maka Akad nikah hakikatnya adalah

3
Komaruddin Hidayat dkk, Ushul Fiqh Jilid IV (Bandung: Mizan, 2006). Hlm 285

6
upaya meregenerasi manusia secara benar, terhormat, dan bermartabat. Di
sinilah agama Islam melarang segala bentuk hubungan seksual yang tidak
dilakukan secara sah dan benar sesuai syariat Islam. Selain melanggar aturan
agama, zina juga tidak sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk yang
bermartabat dan terhormat. Bahkan perzinaan oleh agama-agama samawi
dianggap sebagai salah satu bentuk kejahatan terbesar dan terkotor terhadap
kemanusiaan. Selain itu, pangkal timbulnya kehancuran bagi sendi-sendi
kemasyarakatan.4
B. Macam-Macam Zina
Adapun macam-macam zina diantaranya yaitu:
1. Zina Al-Lamam
Zina al-lamam merupakan macam zina yang dilakukan dengan
menggunakan panca indera. Macam dari zina bukan hanya melakukan
persetubuhan antar pasangan yang bukan mahrom, tapi juga termasuk
perbuatan-perbuatan yang membangkitkan syahwat. Seperti dalam
sebuah hadis dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda
yang artinya: “kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu
(bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan
kesemuanya itu akan dibenarkan atau dingkari oleh alat kelamin.” (Hadis
sagih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah).
a) Zina Ain (zina mata)
Zina mata yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan
senang. Dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan zina
mata (lahadhat/zina ain). Lahadhat itu pandangan kepada hal-hal
yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekedar
memandang, melainkan diikuti dengan pandangan selanjutnya.
Pandangan mata adalah sumber orientasi kemuliaan, dan juga
sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang menjaga pandangan
4
Ayu Rifka Sitoresmi. 10 Okt 2021. https://m.liputan6.com/hot/read/4680343/pengertian-zina-
jenis-jenis-hukuman-dan-bahaya-bagi-pelakunya-dalam-islam diakses pada sabtu, 16 Oktober
2021 pukul 08.30

7
berarti ia menjaga kemaluan. Pandangan merupakan pokok dalam
usaha menjaga kemaluan, maka barangsiapa yang melepaskan
pandangannya tanpa kecuali, niscaya dia akan menjerumuskan
dirinya sendiri pada jurang kebinasaan.
b) Zina Qolbi (zina hati)
Zina hati yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis
dengan perasaan senang kepadanya. Oleh karena itu, mereka yang
dapat menguasai hati dan pikiran akan bebas dari hawa nafsu. Begitu
juga sebalinya, orang yang tidak bisa mendominasi pikiran akan
terjerumus ke dalam jurang maksiat. Khayalan yang negative dapat
dicegah dengan kemuliaan, kecerdasan, kesucian, dan keimanan.
Dengan begitu, gambaran yang terlintas dalam pikiran akan jauh
lebih positif.
c) Zina Lisan (zina ucapan)
Zina ucapan yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan
senang kepadanya. Maka hal ini dapat dicegah dengan mencegah
keluarnya kata-kata atau ucapan yang tidak bermanfaat dan tidak
bernilai dari lidah.
d) Zina Yadin (zina tangan)
Zina tangan yaitu memegang tubuh lawan jenis dengan perasaan
senang kepadanya. Hal ini bisa dicegah dengan komitmen seorang
hamba untuk tidak menggerakan tangan atau kakinya kecuali untuk
perbuatan yang bisa mendatangkan pahala, bila ternyata tidak akan
mendapat pahala, maka mengurungkan langkah tersebut akan lebih
baik baginya.
2. Zina Luar Al-Lamam (Zina yang sebenarnya)
a) Muhsan
Zina muhsan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang sudah menikah (bersuami atau beristri). 5 Pengertian
lain zina muhsan adalah orang yang sudah baliq, berakal, merdeka,

5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983, hlm. 543

8
dan sudah pernah bercampur dengan pernikahan yang sah. Para
ulama sepakat hukuman untuk pelaku zina muhsan adalah dirajam
yaitu dikubur samapai batas pundak dan dilempari dengan batu
sampai meninggal.
b) Ghairu Muhsan
Zina ghairu muhsan adalah zina yang dilakukan oleh seorang
laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. 6 Pengertian lain
zina ghairu muhsan adalah perawan atau perjaka yang melakukan
hubungan badan. Hukuman untuk ghairu muhsan ini ada dua macam
yaitu dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.
C. Hukum Zina
Zina, secara khusus, adalah persetubuhan dan upaya pembuahan lainnya
yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah
yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami-istri) dan kedua-
duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam
tidakrif (persetubuhan yang meragukan), sedangkan secara umum zina
meliputi perbuatan yang berkonsekuensi dihukum hudud dan yang tidak yaitu
hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang bukan haknya pada
kemaluannya, contoh zina mata, telinga, tangan dan hati.
Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan,
dan lelaki itu menyangka bahwa perempuan yang disetubuhinya itu ialah
istrinya, sedangkan perempuan itu bukan istrinya, atau lelaki tersebut
menyangka bahwa perkawinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu
sah mengikut hokum syarak, padahal perkawinan mereka itu tidak sah, maka
dalam konteks ini kedua orang itu tidak dikatakan zina dan tidak boleh
dikenakan hukuman hudud, karena persetubuhan mereka itu termasuk dalam
wati’ syubhah, yaitu persetubuhan yang meragukan.7
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan
wanita tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut

6
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 33
7
Muhammad Yusuf, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan Kontemporer, hlm 91

9
tanpa dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka beristri
atau duda. Ditegaskan dalam firman Allah swt.

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. al-Isra’; 32)
Ayat di atas melarang untuk mendekati perbuatan zina yaitu segala
sesuatu yang bisa mengakibatkan perzinahan. Zina baru akan dilakukan
setelah terlebih dahulu melakukan pendahuluannya, seperti,
memegangmegang, memeluk, mencium, dan sebagainya. Zina merupakan
perbuatan yang keji dan jalan yang terkutuk. Manusia yang normal dan sadar
kedudukannya sebagai manusia pasti akan berpendapat bahwa seks bebas
merupakan perbuatan terkutuk.
Oleh karena zina perbuatan yang terkutuk, maka Islam memberikan sanksi
hukuman yang berat kepada masing-masing pelakunya. Apabila yang
melakukan itu belum menikah (gadis atau jejaka) maka ia akan dicambuk
seratus kali.
Hal ini dijelaskan oleh Allah swt. :

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah kamu belas
kasihan kepada keduanya sehingga kamu tidak menjalankan agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan hendaklah
pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang
yang beriman. (Q.S. An-Nur; 2)
Adapun orang yang pernah menikah atau sedang bersuami atau beristri,
hukumannya lebih berat lagi, yaitu di rajam sampai dia mati. Hal ini
disebabkan orang yang berzina muhsan itu pernah merasakan dukhul dalam

10
pernikahan yang sah. Sehubungan dengan ini, ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari Muslim dari Abu Hurairah yang artinya,
“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata: seorang laki-laki telah datang
kepada Rasulullah saw. Beliau sedang berada di Masjid. Ia memanggilnya
seraya berkata, Ya Rasulullah, sungguh saya telah berzina. Kemudian nabi
berpaling tidak menghiraukannya. Ia mengulangi sampai empat kali
(pengakuannya). Setelah empat kali bersaksi atas dirinya (mengakui), nabi
memanggilnya lalu berkata : apakah kamu gila ? ia menjawab : tidak.
Kemudian beliau bertanya lagi. Apakah kamu beristri (muhsan) ia menjawab
: ya. Setelah itu nabi berkata kepada para sahabat : bawalah dia dan
rajamlah.”
Hadits di atas juga menjelaskan bahwa Islam tidak memberikan hukuman
tanpa adanya alat bukti yang sah dan meyakinkan. Karena itu sebaiknya
masalah hukuman zina ditangani dan diselesaikan oleh pengadilan.8 Untuk
menjalankan hukuman zina yang telah di jelaskan, maka ada beberapa syarat
penting dan harus dipenuhi, antara lain :9
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf, yaitu aqil dan baligh. Sedangkan bila
seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar
nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar’i yang wajib
dikenakan sanksi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh
seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
2. Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia, baik laki-laki maupun
seorang wanita, sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual
dengan binatang seperti anjing, sapi, dan lain-lain tidak termasuk dalam
kategori zina, namun punya hukuman tersendiri.
3. Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila seseorang
menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam
kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum
tersendiri.
8
Ali Muhtarom, Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif,
Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 3, Nomor 2, Juni 2018, hlm 194-195
9
Muhammad Yusuf, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan Kontemporer, hlm 96-97

11
4. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila dilakukan
dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita. Jadi,
bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina
yang dimaksud dan memiliki hukuman tersendiri. Imam al-Syafi`i, Imam
Malik, dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina
yang dimaksud.
5. Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa, baik oleh pihak
laki-laki maupun wanita.
6. Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegak hukum
Islam secara formal , yaitu di negeri yang adil atau Darul Islam.
Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam,
maka pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.
Sedangkan di Indonesia terdapat perbedaan yang tajam antara Hukum
Islam disatu pihak dan Hukum Perdata atau Pidana di lain pihak dalam
menanggapi hubungan seks diluar nikah. Di Indonesian sediri banyak dari
kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa Ketentuan hukum tersebut
sering mendapat penilaian sebagai hukum yang tidak manusiawi, melanggar
melanggar hak asasi manusia atau disebut sebagai hukuman yang hanya dapat
diterapkan pada masa turunnya ayat hukum tersebut, karena saat ini hukum
Allah, menurut kalangan yang menolak hukum Allah tentang perzinaan,
sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman karena dirasa terlalu kejam
dan sadis.
Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan bahwa setiap anak yang
dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus dapat
disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina atau anak
sumbang. Adapun yang dimaksud dengan anak sumbang adalah anak yang
lahir dari hubungan antara laki-laki dan wanita yang dilarang kawin antara
keduanya (anak melanggar darah). Apabila diperhatikan secara seksama pasal
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan seks yang dilakukan
diluar nikah oleh seorang gadis dengan jejaka tidak dianggap sebagai zina.
Karena itu anak yang lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui

12
sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau
disahkan sebagai anak yang sah. Hal ini berarti, bahwa zina adalah hubungan
seks yang dilakukan diluar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau
beristri.
Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum
pidana adalah bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang
dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri, sedangkan mereka
yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai
hukuman pidana. Hal ini dapat dilihat dari pasal 284 sebagai berikut :
Suatu pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, selama hidup ibunya,
pun jika ibu itu, termasuk golongan Indonesia atau golongan yang
dipersamakan dengan itu tak akan dapat diterima, jika si ibu tidak
menyetujuinya. Jika anak yang demikian itu diakui setelah ibunya meninggal
dunia, maka pengakuan, tidak mempunyai akibat lain, melainkan terhadap
pada bapaknya. Dengan pengakuan terhadap seorang anak luar kawin yang
ibunya termasuk golongan Indonesia atau golongan yang dipersamakan
dengan itu, berakhirlah hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan
luar kawin itu dengan tak mengurangi akibat-akibat pengakuan oleh si ibu
dalam hal-hal bilamana kepadanya karena kemudian kawinnya dengan si
bapak diberikan hak untuk itu. Pengakuan yang dilakukan sepanjang
perkawinan oleh suami atau istri atas kebahagiaan anak luar kawin, yang
sebelum kawin olehnya diperbuahkan dengan seorang lain daripada istri
atau suaminya, tak akan membawa kerugian baik bagi istri atau suami itu
maupun bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka. Sementara
itu, apabila perkawinan dibubarkan, pengakuan tadi akan memperoleh
akibat-akibatnya, jika dari perkawinan itu tiada seorang keturunanpun
dilahirkan.10
D. Kedudukan / Status Anak Hasil dari Zina

10
Ali Muhtarom, Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif,
hlm 196-197.

13
Menurut Abdul Manan, dalam hukum Islam seoarang anak yang lahir
dari hubungan seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar
pernikahan yang sah memlilki status yang sama dengan seorang anak
yang lahir dari hubungan pernikahan yang sah. Sebab anak tersebut
lahir sesuai fitrahnya yang mempunyai kedudukan yang sama dengan
anak-anak yang lainnya sebagai hamba Allah swt. dan hanya dapat
mempertanggung jawabkan amal baik, maupun amal buruk pribadinya
sendiri di sisiNya, bukan orang yang termasuk mempertanggung jawabkan
perbuatan dosa ibu dan dan dosa bapaknya. Padahal seharusnya yang
hina dan berdosa dihadapan Allah swt, bukan anak tersebut melainkan
kedua ibu dan bapaknya yang telah melakukan perbuatan zina.11
Inilah sebabnya Islam memberikan pengakuan status yang sama,
antara seorang anak yang lahir di luar nikah dengan seorang anak yag
lahir dalam hubungan pernikahan yang sah, walaupun ada perbedaan
dalam bernasab dan hak untuk mendapatkan warisan. Seorang anak yang lahir
dari hubungan zina nasabnya dinisbahkan kepada ibunya dan hanya dapat
mewarisi harta warisan dari ibunya dan kerabat ibunya. Artinya status
keduanya di hadapan Allah swt. sama dalam hal ibadah dan hak untuk
mendapatkan pahala dan syurga. Keduanya sama-sama diperhitungkan Allah
swt., apakah mereka termasuk orang-orang beriman dan bertaqwa kepada
Allah swt. Atau tidak, itu tergantung kepada ikhtiar mereka masing-
masing. Hal ini dapat dipahami bahwa seorang anak walaupun dia lahir dari
hubungan zina, di sisi Allah swt. termasuk manusia yang mulia, jika dia
beriman, bertaqwa, dan beramal saleh, bukan seorang yang ikut
menanggung hina dan dosa akibat perbuatan zina yang dilakukan oleh
kedua orang tuanya. Terhadap perbuatan zina tersebut itu, kedua orang
tuanya sebagai pelaku yang bertanggung jawab di hadapan Allah swt.,
bukan anaknya yang lahir dari hubungan zina tersebut yang ikut
menanggung perbuatan dosa zina kedua orang tuanya. 12 Berdasarkan hadis
11
Hamid Pongoliu "Kedudukan anak lahir diluar nikah dalam persfektif hukum Islam dan hukum
positif". 2016 Vol.1 No.2 hal.117
12
Ibid, hlm 117

14
lain yang diriwayatkan Abu Daud menerangkan: bahwa anak hasil dari
hubungan zina dinasabkan kepada ibunya:

Artinya: Nabi saw. bersabda:“Bahwa anak hasilzina hanya


dinasabkan pada pada ibunya saja”.
Menurut Imam Syafi’i anak yang lahir dari hubungan zina tidak
dinasabkan kepada bapaknya, tetapi kepada ibunya, berkata Imam Syafi’i:

Artinya: Sesungguhnya Allah swt menegaskan dalam Kitab-Nya,


bahwasanya anak yang lahir dari hasil zina tidak dinasabakan pada
bapaknya, tetapi dinasabkan pada ibunya, tetap akan mendapatkan
kenikmatan dari Tuhannya sesuai dengan ketaatanya, bukan ikut
menanggung dosa perbuatan orang tuanya.
Berdasarkan hadis Nabi saw. dan pendapat Syafi’i di atas, anak yang
lahir seperti ini akan mempunyai akibat hukum sebagai berikutberikut:
a. Tidak adanya hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
b. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun
secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul
hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
c. Tidak ada saling mewarisi dengan bapaknya, karena hubungan
nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
d. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila
anak di luar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah
dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak
biologisnya.
Hukum Islam menegaskan bahwa seorang anak supaya dapat
dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir
sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam

15
tenggang 'iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan
terputus. Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan
sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan
kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan
yang sah. la hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja, di
sinilah perbedaannya, antara pandangan fikih dengan dengan Undang-
undang Perkawinan di Indonesia. Karena, pandangan fikih tidak
mengenal pencatatan nikah, maka pengertian luar perkawinan yang
tercatat menurut Undang-undang Perkawinan sama pengertiannya dengan
zina, sedangkan dalam fikih (hukum Islam) bukan anak zina selama
selama terpenuhi rukun dan syarat nikah secara syar’i.13
Menurut hukum Islam, meskipun ayah biologisnya menjadi suami ibunya,
tetapi antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya tersebut tetap
tidak mempunyai hubungan hukum (nasab). Diantara mereka tidak dapat
saling mewaris, tetapi hanya dapat saling memberi wasiat atau hibah.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain
atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171
huruf f). tententuan hukum wasiat ini terdapat dalam Pasal 194-209 yang
mengatur secara keseluruhan prosedur tentang wasiat. 14
Status anak zina juga diatur dalam peraturan perundang-undangan
Nasional antara lain:
a. UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi
menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya
dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh
pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya”.
13
Ibid, hlm 128
14
Lukman Hakim "Kedudukan Anak hasil zina ditinjau dari hukum Islam dan undang undang
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan" De Laga Lata. 2016, Vol.1 No.2 hal.407

16
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
Berkenaan dengan pembuktian asal-usul anak, Pasal 55 Undang-
undang No. 1 Tahun 1974 menegaskan:
a. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang autentik,yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
b. Bila akte kelahiran tersebut tidak ada, Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan yang diteliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi
syarat.
c. Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ni, maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya juga
menegaskan diberikannya kemudahan kelayanan akte kepada anak hasil
zina. Anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, jika
tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan atau zina, padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luarkehendaknya. Anak yang lahir tanpa memiliki
kejelasan status ayah sering kali mendapatkan perlakuan yang tidak adil
dan stigma di tengah-tengah masyarakat, hukum harus memberikan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap anak yang dilahirkan
dan hak-hak yang ada padanya tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki
yang mengakibatkan kelahirannya. 15

BAB III
PENUTUP

15
Ibid, hlm 408

17
A. Kesimpulan
Zina adalah istilah hukum Islam yang merujuk pada hubungan seksual
yang melanggar hukum. Zina al-lamam merupakan macam zina yang
dilakukan dengan menggunakan panca indera mencakup (mata, hati, ucapan,
tangan). Zina sebenarnya dibagi menjadi zina muhsan dan ghairu muhsan.
Hukuman untuk zina muhsan adalah di cambuk dan di dera, sedangkan
hukuman untuk zina ghairu muhsan adalah di cambuk seratus kali dan
diasingkan. Seorang anak yang lahir dari hubungan zina nasabnya
dinisbahkan kepada ibunya dan hanya dapat mewarisi harta warisan dari
ibunya dan kerabat ibunya. Artinya status keduanya di hadapan Allah
swt. sama dalam hal ibadah dan hak untuk mendapatkan pahala dan
syurga. Keduanya sama-sama diperhitungkan Allah swt.
B. Saran
Sebagai umat muslim yang taat akan perintah agama dan menjauhi
larangan agama, hendaknya kita senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan
zina. Karena sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan tercela.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich, 2005. Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika.
Ali Mohammad Daud, 2007. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: 1983
Komaruddin Hidayat dkk, 2006. Ushul Fiqh Jilid IV. Bandung: Mizan.
Muhammad Yusuf, 2017, Masail Fiqhiyah Memahami Permasalahan
Kontemporer, Jakarta: Gunadharma Ilmu.
Ali Muhtarom, Kedudukan Anak Hasil Hubungan Zina Menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif, Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 3,
Nomor 2, Juni 2018
Hamid Pongoliu "Kedudukan anak lahir diluar nikah dalam persfektif hukum
Islam dan hukum positif". 2016 Vol.1 No.2
Lukman Hakim "Kedudukan Anak hasil zina ditinjau dari hukum Islam dan
undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan" De Laga Lata.
2016, Vol.1 No.2
Ayu Rifka Sitoresmi. 10 Oktober 2021. Pengertian Zina, Jenis-jenis, Hukuman,
dan Bahaya Bagi Pelakunya dalam Islam.
https://m.liputan6.com/hot/read/4680343/pengertian-zina-jenisjenishukuman-
dan-bahaya-bagi-pelakunya-dalam-islam diakses pada sabtu, 16 Oktober
2021 pukul 08.30

19

Anda mungkin juga menyukai