Penyusun:
Abdus Shobur (201410029)
Ramadani Nst (201410049)
Ni’mal Wakil (201410021)
ii
KATA PENGANTAR
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam memandang zina adalah perbuatan yang keji, dan memiliki
konsekuensi hukum yang berat, yaitu hukuman rajam bagi pelaku zina muhsan,
dan dera seratus kali bagi ghairu muhsan. Allah swt berfirman: “Dan janganlah
kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
dan suatu jalan yang buruk.”
Sebagai penyeimbang terhadap beratnya sanksi hukum zina maka
menuduh laki-laki atau wanita baik-baik melakukan zina adalah fitnah yang
keji, karena jika tuduhan itu diikuti tentunya tertuduh akan terkena konsekuensi
hukum zina, dan memunculkan anggapan bahwa tertuduh adalah orang-orang
yang melakukan perbuatan yang keji. Islam menutup pintu rapat-rapat terhadap
orang-orang yang mencari-mencari jalan untuk membuat malu orang lain yang
baik-baik serta memperberat hukuman bagi penuduh (berbuat zina) sehingga
hukumannya hampir sama berat dengan hukuman (had) zina itu sendiri, yaitu
delapan puluh kali dera dengan tambahan tidak akan diterima kesaksiannya
buat selama-lamanya dan diberi predikat sebagai orang yang fasik. Hukuman
yang pertama berupa hukuman fisik yang mengenai badan, yang kedua bersifat
mendidik yang berkaitan dengan dicabutnya kehormatan dirinya dan dijatuhkan
martabatnya, kesaksiannya sudah tidak dipercaya lagi dan yang ketiga yaitu
bersifat keagamaan, di mana ia diberi predikat sebagai orang fasik yang tidak
loyal kepada Allah Swt.
Tujuan utama Islam dengan memberikan hukuman ini adalah demi
menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaan umat serta membersihkan
masyarakat dari omongan berbisa yang akan merusak rumah tangga muslim
agar supaya kehormatan dan nama baiknya tetap terpelihara serta jauh dari
mulut-mulut usil yang penuh kedustaan
B. Rumusan Masalah
1. Apa defenisi zina dan qodzaf menurut etimologi dan terminologi?
2.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cetakan Kelima, 1136
4 Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
5 KH.MA. Sahal Mahfudl, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hal. 94.
6
(Pasal 27 KUHP memuat tiga ayat yang mengatur tentang prosedur
pemutusan hubungan perkawinan (perceraian) bagi suami dan isteri. Lihat
KUH Perdata, oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, Cetakan Ke 24,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1992, 8)
3
suami wanita itu. Perbuatan mana bukan merupakan pencemaran terhadap
kesetiaan dalam perkawinan. Dalam hal ini, suami tersebut adalah seorang
germo yang telah membuat istrinya menjadi pelacur dan menyetujui
perbuatannya atau cara hidupnya tanpa pembatasan. Kejahatan ini hanya
bisa dituntut apabila ada pengaduan dari suami atau isteri.7 Tidak
termasuk ke dalam pengertian zina apabila seseorang melakukan
hubungan badan dengan sesama jenis atau berhubungan seksual dengan
binatang.
3. Qazaf
Secara bahasa makna kata qadzaf adalah ar-ramyu bi shai‟i
(menuduh sesuatu). Definisi ini sejalan dengan penggunaan istilah di
dalam al-Qur‟an surat an-Nur: 4. Penyebutan Qadzaf ini menurut
keterangan Ibn al-‘Arabi atas dasar suatu hadis yang berkenaan Ibn
Ummayah yang menuduh istrinya berzina dengan Sharik bin al-Samh,
dalam hadis itu menggunakan istilah dengan makna menuduh zina.8
Sedangkan secara istilah adalah menuduh berzina atau melakukan
liwat (homoseksual). Ulama fikih menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan qadzaf adalah menasabkan seorang anak Adam kepada lelaki lain
disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang muslim. Apabila
seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina, engkau anak zina
atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut
sebagai qadzaf. Qadzaf bisa juga berlaku dalam tindak pidana ta’zir, yaitu
terhadap segala bentuk tuduhan yang diharamkan bagi setiap muslim.
Umpamanya, menuduh orang lain melakukan pencurian menuduh orang
7 Drs. P.A.F. Lamintang, SH, dan C. Djisman Samosir, SH, Hukum Pidana Indonesia,
5
وحرم ذلك على المؤمنينdiharamkan bagi orang mukmin yang baik
baik untuk menikahi para pezina karena perilaku tersebuttermasuk
perbuatan orang fasik.
Sebab Nuzul Ayat 3
An Nasa’i pernah meriwayatkan daridati Abdullah bin ‘Amr, ia
berkata:
سافِ ُح فَأ َ َرادَ َر ُج ٌل ِم ْن ْ َت ْام َرأَة ٌ يُقَا ُل َل َها أُم َم ْه ُزو ٍل أ َ ْو أُم َم ْهد ُْونَ ) َو َكان
َ ُ َت ت ْ َكان
َّ ُسلَّ َم أ َ ْن يَت َزَ َّو َج َها فَأ َ ْنزَ َل اللَّه
الزانِيَةُ ََل ين ِك ُح َها إِ ََّل َ ُصلَّى اللَّه
َ علَ ْي ِه َو َ ِ ب النَّبِيِ ص َحا ْ َأ
َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِين َ َزان أ َ ْو ُم ْش ِركٌ َو ُح ِر َم ذَلِك
ٍ
Ada seorang perempuan bernama Ummu Mahzul (atau Ummu
Mahdun). Ia adalah seorang perempuan yang berzina. Lalu ada
seorang laki-laki dari sahabat Rasulullah saw. ingin menikahinya.
Lalu Allah SWT pun menurunkan ayat 3 surah an-Nuur ini." (HR an-
Nasa'i)
َكانَ َر ُج ٌل يُقَا ُل َلهُ َم ْرثَدُ ب ُْن أ َ ِبي َم ْرث َ ٍد َو َكانَ َر ُج ًل يَحْ ِم ُل ْاْلَس َْرى ِم ْن َم َّكةَ َحتَّى
َصدِيقَةٌ لَهُ فَا ْست َأْذَن َ َت ْ َاق َو َكان ٌ عنَ َت ْام َرأَة ٌ بَ ِغي بِ َم َّكةَ يُقَا ُل لَ َها ْ ي بِ ِهي ُم ْال َمدِينَةَ َو َكان ْ
َ ِيَأت
الزانِي َّ ت ْ َش ْيئًا َحتَّى نَزَ ل َ علَ ْي ِهَ سلَّ َم أ َ ْن يَ ْن ِك َح َها فَلَ ْم َي ُرد َ ُصلَّى اللَّه
َ علَ ْي ِه َو َ سو َل الل ِه ُ َر
َان أ َ ْو ُم ْش ِركٌ َو ُح ِر َم ذَلِك ٍ َالزانِيَةُ ََل يَ ْن ِك ُح َها إِ ََّل ز َّ ََل يَ ْن ِك ُح إِ ََّل زَ انِيَةً أ َ ْو ُم ْش ِر َكةً َو
الزانِي ََل يَ ْن ِك ُح إِ ََّل َّ ُسلَّ َم يَا َم ْرثَدَ علَ ْي ِه َوَ ُصلَّى اللَّه َ سو ُل اللَّ ِه ُ علَى ْال ُمؤْ ِمنِينَ فَقَا َل َر َ
َ
ان أ ْو ُم ْش ِركٌ فَ َل ت َ ْنكِحْ َها ٍ َالزانِيَةُ ََل َي ْن ِك ُح َها إِ ََّل ز َ
َّ زَ انِ َيةً أ ْو ُم ْش ِر َكة َو
Ada seorang laki-laki bernama Martsad. Ia adalah orang yang
membawa para tawanan di Mekah menuju ke Madinah. Di Mekah ada
seorang pelacur bernama Anaq. Ia adalah sahabat Martsad. Lalu
Martsad meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menikahi Anaq
tersebut. Namun Rasulullah saw. belum memberikan jawaban apa pun
kepadanya, hingga turunlah ayat 3 surah an-Nuur ini, 'Laki-laki yang
berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
6
melainkan oleh laki- laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan
yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang Mukmin.' Lalu
Rasulullah saw. pun membacakan ayat itu kepada Martsad, dan
berkata kepadanya, Jangan kamu nikahi dirinya." (HR Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasa'i, dan al-Hakim)
Para ulama tafsir berksts bahwasanya turunnya surat An Nur
ayat 3 dilatar belakangi kasus martsad bin Abi Martsad tersebut,
selain itu juga dilatar belakangi oleh beberapa orang para orang
miskin dari kalangan kaum muhajirin yang meminta izin kepada
rasulullah untuk menikahi para pezina (pelacur) dari kaum ahlul bait
dan para budak perempuan yang ada di Madinah.
Tafsir Ayat 2
ٍُوا ُك َّل َٰ َو ِح ٍٍۢد ِم ْن ُه َما ِم ۟ائَةَ َج ْلدَ ٍۢة
۟ ٱلزانِى فَٱجْ ِلد
َّ ٱلزانِ َيةُ َو
َّ ayat ini menjelaskan
tentang hadd perbuatan dari zina yang dimana hukuman bagi
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina yang berstatuskan
merdeka, baligh, berakal dan belum berstatus mushan maka
hukumannya adalah didera sebanyak 100 kali.
Di dalam tafsir al munir* dijelaskan bahwasanya hikmah dibalik
konteks penyebutan ُٱلزانِيَة
َّ di awal kalimat menunjukkan banyaknya
faktor faktor yang mendorong dan memicu adanya perzinaan
bersumber dari perempuan.
ِ َو ََل ت َأ ْ ُخ ْذ ُكم ِب ِه َما َرأْفَ ٌۭةٌ فِى دDan janganlah sampai perasaan belas
ِين ٱللَّ ِه
kasihan mendorong kalian tidak menjatuhkan hukuman hadd kepada
para pelaku zina, sebab itu adalah hukum Allah dan tidaklah kiita
menyia-nyiakan huduudullah.
ِ َٔ إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِٱللَّ ِه َو ْٱليَ ْو ِم ْٱلـmaka tegakkanlah hukum hadd
اخ ِر
kepada orang yang berzina dan laksanakanlah dengan tegas. Namun
tetap dalam batasan yang tidak membahayakan keselamatannya agar
7
menjadi pelajaran bagi mereka jika kita beriman kepada Allah dan hari
akhir.
َطآئِفَ ٌۭةٌ ِمنَ ْٱل ُمؤْ ِمنِين
َ َو ْليَ ْش َهدْ َعذَابَ ُه َماhendaklah hukuman hadd diadakan
secara terbuka dihadapan seluruh orang islam agar menambah beban
hidup mereka yang telah berzina dan memberikan efek jera kepada
mereka sekaligus sebagai celaan, kecaman dan cercaan.9
Tafsir Ayat 3
ٌان أَ ْو ُم ْش ِرك
ٍ َالزانِيَةُ ََل َي ْن ِك ُح َها ِإ ََّل ز
َّ الزانِي ََل يَ ْن ِك ُح ِإ ََّل زَ انِيَةً أ َ ْو ُم ْش ِر َكةً َو
َّ Ini
merupakan berita dari allah bahwasanya lelaki pezina tidaklah
berpasangan kecuali dengan perempuan pezina atau wanita musyrikah
yang tidak memandang haram perzinaandan begituppun sebaliknya,
perempuan pezina tidaklah ia berpasangan dengan seorang lelaki
kecuali dia akan berpasangan dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan dari Habib bin Abi 'Amrah,
dari Sa'id bin Jubair, dari 'Abdullah bin 'Abbas berkenaan dengan
firman Allah, Dan perempuan yang berzina tidak dikawini“ َالزانِيَةُ َل
َّ ﴿ َو
ٌان أَ ْو ُم ْش ِرك
ِ َ ) َين ِك ُح َها ْاْلَزmelainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-
laki musyrik," ia berkata: "Yang dimaksud di sini bukanlah nikah,
melainkan jima' (bersetubuh). Tidaklah ber- setubuh dengan wanita
penzina melainkan lelaki penzina atau lelaki musyrik."
Sanad riwayat ini shahih dari ‘Abdullah bin 'Abbas. Telah di-
riwayatkan juga dari beberapa jalur lainnya.
َو ُح ِر َم َٰذَلِكَ َعلَى ْال ُمؤْ ِمنِينyang dimaksud adalah diharamkan bagi
orang mu’min untuk berzina dan menikahi peerempuan pezina dan
9
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, jil. 9, hal. 404.
8
juga menyandingkan perempuan baik dengan lelaki pezina atau
fasik.10
10
Ibnu kasir, lubaabut tafsir min ibnu katsir, Mu’assasah daar al
Hilaal Kairo jil. 6, hal. 6
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada halaman-halaman
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam sangat mencela
perzinahan karena perbuatan tersebut dapat menggoyahkan sendi-
sendi kehidupan masyarakat. Islam meletakkan kebersihan nasab dan
pemeliharaan kehormatan/harga diri sebagai salah satu unsur
pembentuk ketenteraman hidup bermasyarakat. Itu sebabnya maka
perbuatan zina sangat dikecam oleh Islam karena menghancurkan dua
unsur sekaligus, kebersihan nasab dan harga diri.
Perbuatan zina ada kalanya belum diketahui oleh masyarakat
karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam keadaan
demikian, zina masih berada dalam wilayah dosa peribadi, dan Allah
masih memberi peluang kepada masing-masing pihak untuk segera
bertobat, dan itu sudah cukup. Berbeda halnya jika sudah diketahui
masyarakat maka perbuatan itu sudah berpengaruh terhadap
ketenteraman kehidupan sosial sehingga menjadi dosa sosial, maka
tidak cukup dengan taubat saja tetapi harus diberi sanksi terhadap
pelakunya sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Qadzaf adalah menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan
itu melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seseorang
bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini termasuk dosa besar yang
dapat merusak masyarakat dan merobohkan tiang-tiangnya. Jika
seorang qadhif ingin selamat (dari hukuman dera) maka ia harus
menghadirkan empat orang saksi laki-laki yang adil; jika tidak mampu
maka had baginya adalah di dera sebanyak 80 (delapan puluh kali);
tidak diterima kesaksiannya untuk selamanya dan termasuk golongan
10
orang fasik. Di negara Indonesia belum ada ketentuan hukum khusus
yang mengatur tentang hukuman bagi penuduh zina (qadzaf). Namun
dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) dijelaskan suami
yang menuduh istrinya berbuat zina, dan atau mengingkari anak yang
dikandung istrinya dan atau anak yang telah dilahirkan istrinya,
sedangkan istrinya menolak tuduhan dan atau mengingkari hal
tersebut maka keduanya dapat melakukan sumpah di depan majlis
hakim. Akibat hukum dari sumpah ini adalah status perkawinan
keduanya yang terputus untuk selamanya.
B. Saran
Sebagai mukmin yang mempelajari al-Qur’an sebagai hudan,
maka seyogyanya kita menjalankan ayat ini sebagai pedoman kita
mengitari dunia Allah ini, sehingga kita nyaman dalam beribadah
kepadanya, dan menjalankan misi
11
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar Fikri, 1974), jil. VI
H. Abdul Halim Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana) thn. 2006
Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cetakan Kelima, 1136
KH.MA. Sahal Mahfudl, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994)
(Pasal 27 KUHP memuat tiga ayat yang mengatur tentang prosedur
pemutusan hubungan perkawinan (perceraian) bagi suami dan isteri.
Lihat KUH Perdata, oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio,
Cetakan Ke 24, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992, 8)
Drs. P.A.F. Lamintang, SH, dan C. Djisman Samosir, SH, Hukum Pidana
Indonesia, Cetakan ke II, Bandung: Sinar Baru, 1985,
Ibn al-„Arabi, Ahka>m al-Qur‟a>n (Bairut: Da>r al-Kutub al-„Ilmiah, 1988), 340
Wahbah az-Zuhaili, Tafsir Al Munir, jil. 9,