LIWATH
(PENGERTIAN DAN HUKUMAN)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “M.M. FIL MUNAKAHAT”
Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Ahmad Mukri Aji,
Disusun oleh:
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirabbilalamin, dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat
Allah SWT yang telah berkenan melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya. Tidak lupa, shalawat
dan salam yang semoga senantiasa terpanjatkan kepada pemimpin besar dan juga suri tauladan
bagi manusia, yakni Nabi Muhammad SAW.
Di antara sekian banyak nikmat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya,
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dengan baik dan lancar.
Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah “m.m. fil munakahat” yang
berjudul “liwath”.
Dengan segala kerendahan hati, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penulisan makalah ini. Kami menyadari
banyak hambatan dan kesulitan dalam menyelesaikan makalah ini. Di mulai dari tahap
persiapan, pencarian materi dan penyusunan, sampai pada tahap penyelesaian. Selain itu, kami
juga menyadari bahwa tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini, tentu jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu, kami mengharapkan segala kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.
Setitik harapan, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang
berguna bagi pembaca.
Penyusun Makalah
2
DAFTAR ISI
JUDUL ..................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
A. Kesimpulan ...........................................................................................................8
B. Saran ......................................................................................................................8
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Pembicaraan mengenai homoseksual selama ini selalu berujung pada hukuman bagi
para pelakunya, karena dalil keharamannya menurut ahli fiqh telah ditetapkan oleh Alquran
seperti yang ditetapkan pada umat Nabi Luth. Oleh karena itu para imam mazhab kecuali
Hanafi menetapkan hukuman rajam hingga mati bagi pelaku homoseksual. Sedangkan
Hanafi berpandangan hal ini termasuk maksiat yang tidak ditetapkan secara pasti oleh Allah,
maka dihukum ta’zir (pemberian pelajaran), karena bukan bagian dari zina. Menurut Sayid
Sabiq liwath atau homoseks merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan merupakan
jarimah yang lebih keji dari pada zina. Liwath merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan akhlak dan fitrah manusia dan berbahaya bagi manusia yang melakukannya.1
Perkawinan sesama jenis tidak akan pernah menghasilkan keturunan, dan mengancam
kepunahan generasi manusia. Perkawinan sesama jenis semata-mata untuk menyalurkan
kepuasan nafsu hewani. LGBT dalam hukum Islam, baik homoseks maupun lesbian adalah
perbuatan hina dan pelanggaran berat yang merusak harkat manusia sebagai makhluk
ciptaan Allah paling mulia. Pada masa nabi Luth kaum homoseks langsung mendapat siksa
dibalikkan bumi dan dihujani batu panas dari langit.2
1
Sayyid Sabiq. Fiqih sunnah. Penerbit pena: Jakarta 1981. H. 361
2
Suherry, at.al., Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (LGBT) dalam Perspektif Masyarakat Dan Agama,
Jurnal Aristo, vol. 4 no.2 juli 2016, h.93.
4
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahn pokok yang akan
dibahas sebagai berikut :
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian liwath
Dalam bahasa Arab, istilah liwath dinisbatkan dengan nama Nabi Luth. Sementara itu,
sodomi berasal dari kata sadum seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar sebagai berikut.3
Sesungguhnya kaum Nabi Luth melampiaskan hasrat seksualnya kepada laki-laki. Nabi
Luth mengajak mereka untuk menyembah Allah dan berhenti dari kekejian itu. Akan tetapi,
mereka selalu menolak dan tidak ada seorang pun yang merespons ajakannya. Kota tempat
mereka berdomisili adalah Sadum, sebuah kota yang merupakan bagian dari negeri Syam.4
Liwath adalah hubungan seksual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama,
yaitu laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan, atas dasar kesukarelaan
mereka. Jika hubungan seksual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama laki-laki, dalam
hukum Pidana Islam disebut liwath (gay), sedangkan jika hubungan seksual sejenis kelamin
itu dilakukan oleh sesama perempuan, disebut musahaqah (lesbiyan).
a. Laki-laki yang melakukan homoseksual dalam bentuk liwath atau sodomi, yaitu
melalui bersenggama dengan cara memasukan dzakar kedalam dubur pasangannya.5
b. Perempuan yang melakukan homoseksual (lesbian) dalam bentuk musahaqah
disebut liwath pula adalah suatu perbuatan gratification (kepuasan) seksual antara sesama
perempuan dengan cara menggosok gosokan alat kelamin yang satu terhadap kelamin
lainnya.6
Allah Ta’ala menamakan perbuatan ini dengan fahisy (keji/jijik). Allah Swt berfirman:
َسبَقَ ُك ْم بِ َها مِ ْن أ َ َح ٍد مِ نَ ْالعَالَمِ ين َ ِطا إِ ْذ قَا َل ِلقَ ْومِ ِه أَت َأْتُونَ ْالفَاح
َ شةَ َما ً َولُو
Artinya:“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia
berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”. Liwath merupakan
dosa yang paling besar dan lebih keji dari pada zina. (QS Al-A‟raf: 80)
3
Nur Laily Nusroh, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Cet. 1, Jakarta: Amzah,
2014, h. 128.
4
Ibnu Hajar Al-Askalani, Fath Al-Bari: Syarah Sahih Al-Bukhari, Jil VI, Beirut: Dar Al Fikr, 2007, h. 415
5
Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia Di Tinjau Dari Hukum
Islam, Cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010, h. 263.
6
Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial, Yogyakarta: Media Presindo, 1999, h.
28.
6
B. Hukuman bagi pelaku liwath
Sayid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, menegaskan bahwa perbuatan liwath kaum Nabi
Luth, termasuk perbuatan dosa paling besar. Karena perbuatan itu dapat merusak moral,
fitrah, agama dan dunia. Hal itu dijelaskan dalam ayat-ayat kisah kaum Nabi Luth, ditambah
dengan hadits-hadits Nabi, di mana Nabi memerintahkan pelaku dan korban untuk diberi
hukuman mati.(HR. Abu Daud, Tirmidzim Nasa’I, Ibnu Majah).7
Imam Syaukani menegaskan:”Tidak ada sanksi yang paling tepat untuk pelaku liwath
melainkan sanksi yang dapat menjadi pelajaran bagi orang lain, dan sanksi fisik yang dapat
mengekang syahwat para pelaku yang keras kepala.8 Bahkan Sayyiq Sabiq menukil
pendapat kedokteran terkait efek negatif dari perbuatan liwath.9Menurutnya pula, meskipun
para ulama sepakat mengkategorikan liwath sebagai dosa besar dan tindakan kriminal,
namun mereka berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku liwath pada garis besarnya
terbagi menjadi tiga kelompok 10:
7
Sayid Sabiq, Fiq Sunnah, (Kairo: Dar Rayyan liturats, tth), 2/428
8
Dinukil dari Fiqh Sunnah, 2/428.
9
Muhammad Washfi, al-Islam wa ath-Thibb, dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah, 2/428-432
10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2/432
11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2/434.
7
dapat diterapkan hukumannya. Imam Syaukani mentarjih (memenangkan) pendapat
hukuman mati dan menolak pendapat ketiga karena bertentangan dengan dalil yang
sharīh.12
Sedangkan terdapat beberapa pendapat dari empat imam madzhab adalah sebagai
berikut :
12
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2/434.
13
Mahmud Syaltut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj, Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:CV Pustaka Setia, 2000, h. 50
14
Mahmud Syaltut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj, Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:CV Pustaka Setia, 2000, h. 50
15
Ahmad Rofiq Anshori, Kodifikai Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Aalawiyah, 2005
16
Ahmad Rofiq Anshori, Kodifikai Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Aalawiyah,2005, h 75
8
berbedanya jenis hukuman yang diberlakukan para sahabat (sebagaimana di atas).
Berdasarkan kedua alasan ini, Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman terhadap pelaku
liwath adalah ta’zir (diserahkan kepada penguasa atau pemerintah). [al hidayah syarhul
bidayah 7/194-196, fathul qadir juz : 11 hal : 445-449 dan al mabsuth juz :11 hal : 78-81]
3. Menurut Imam Malik
liwath dikategorikan zina dan hukuman yang setimpal untuk pelakunya adalah
dirajam, baik pelakunya muhshan (sudah menikah) atau ghair muhshan (perjaka). Ia
sependapat dengan Ishaq bin Rahawaih dan As Sya’bi. [minahul jalil, juz : 19 hal : 422-
423].
4. Menurut Imam Hambali,
liwath dikategorikan zina. Mengenai jenis hukuman yang dikenakan kepada
pelakunya beliau mempunyai dua riwayat (pendapat): Pertama, dihukum sama seperti
pezina, kalau pelakunya muhshan (sudah menikah) maka dihukum rajam. kalau pelakunya
ghair muhshan (perjaka), maka dihukum cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun.
(pendapat inilah yang paling kuat). Kedua, dibunuh dengan dirajam, baik dia itu anak dan
ketidakjelasan nasab (keturunan) tidak muhshan atau ghair muhshan. [al furu juz :11 hal :
145-147, al mughni juz : 10 hal : 155-157 dan al inshaf juz : 10 hal : 178]
5. Pendapat Jumhur Ulama
Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berkata, "Sesungguhnya palaku liwath wajib
mendapatkan had, karena Allah mengadzab pelakunya sebagaimana dijelaskan dalam
firman-Nya, yaitu menghujani mereka dengan batu dari langit mereka mendapatkan had
sebagaimana had zina, karena itu termasuk perbuatan zina.17
Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang perselisihan para Ulama’ dalam
melaksanakan hukuman bunuh bagi pelaku liwath, “adapun liwath, sebagian Ulama' ada
yang berpendapat bahwa hadnya adalah seperti had bagi pelaku zina, sedangkan yang lain
berpendapat dengan pendapat yang lain juga.
Dan yang shohih, telah menjadi kesepakatan para Sahabat bagi pelaku liwath adalah
dibunuh. Dengan landasan dalil :
17
DR. Wahbah Zuhaili, Al Wajiz fi Al Fiqh Al Islami, Juz. 2, Dimasyqi: Darul Fikr, Cet.1, 2005, h. 378.
9
Artinya:“Siapa saja yang engkau dapati mengerjakan perbuatan kaum luth
(homoseksual)maka bunuhlah kedua pelakunya” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).18
Pemberlakuan hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia
selayaknya manusia dan menjaga kelestarian masyarakat. Syariat Islam telah menetapkan
tujuan-tujuan luhur yang dilekatkan pada hukum-hukumnya.
18
Al-Imam Kamalluddin, Op Cit, h. 250
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Liwath adalah hubungan seksual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama,
yaitu laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan, atas dasar kesukarelaan
mereka. Jika hubungan seksual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama laki-laki, dalam
hukum Pidana Islam disebut liwath (gay), sedangkan jika hubungan seksual sejenis kelamin
itu dilakukan oleh sesama perempuan, disebut musahaqah (lesbiyan).
Had liwath menurut bebrapa ulama dan imam madzhab tentang liwath dianggap
sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah tanpa
memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang
sudah menikah, hal itu disebut sebagai fahisyah dan dianggap sebagai melawan hukum. Juga
tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka
sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan tetap dipandang sebagai pelanggaran
seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak terdapat kekurangan, baik
dalam penulisan maupun keefektifan kalimat. Oleh karena itu, bagi pembaca harap
memberi saran ataupun komentar yang membangun untuk dapat memperbaiki kekurangan
pada makalah ini.
11