Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Hukum Pidana Islam”
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
Perzinaan adalah hubungan seksual yang tidak sah yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan di luar ikatan perkawinan. Berdasarkan kepatutan di dalam masyarakat perbuatan
perzinaan merupakan suatu hal yang dilarang karena dapat menimbulkan keresahan di dalam
masyarakat. Perzinahan menurut pandangan norma adat pada sebagian besar masyarakat di
wilayah Indonesia adalah suatu hal yang dilarang. Dari sudut pandang ajaran agama-agama
yang ada di Indonesia juga memandang perbuatan perzinahan merupakan perbuatan yang
dilarang.
Manusia, menurut Immanuel Kant, adalah makhluk yang bermartabat. Dasar martabat
manusia terletak dalam kenyataan bahwa manusia adalah persona dan otonom. 3 Sebagai
1
Ibnu Rusyd Al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri, tt.), hlm 324.
2
Sahal Mahfudl, Nuansa Fikih Sosial, (Yogyakarta: LKIS, 1994), hlm 94.
3
Niken Wardani, 2020, “Tinjauan Filsafat Moral Immanuel Kant Terhadap Perzinahan Dalam Pancasila Buddhis”,
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan, Vol. 6, No. 2, hlm 3.
persona, manusia manusia mampu menentukan dirinya. Penentuan diri ini terjadi karena
manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, manusia mampu menciptakan hukum
moral yang bukan hanya berlaku bagi dirinya tetapi juga bagi segenap makhluk rasional.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk yang otonom. Persona dan otonomi dalam diri
manusia menjadi dasar martabat manusia.
a. Larangan Perzinahan
َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز َناۖ ِإَّنُه َك اَن َفاِح َش ًة َو َس اَء َس ِبياًل
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk".4
Dari ayat di atas dapat diambil keterangan bahwa umat Islam dilarang mendekati
zina karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang keji dan cara penyaluran nafsu
seksual yang tidak benar. Pada ayat tersebut digunakan kata larangan التقربواyang artinya
“jangan kamu dekati” untuk menyatakan larangan zina. Maksudnya, bahwa perbuatan
yang harus dijauhi oleh orang Islam bukan hanya hubungan seksual atau memasukkan
alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan sebagaimana pengertian di atas,
melainkan juga segala perbuatan yang dapat menggiring seseorang kepada terlaksananya
hubungan seksual.
Hubungan seksual merupakan puncak perbuatan zina yang dilarang itu. Zina
bukan hanya perbuatan yang dilakukan dengan menggunakan kemaluan atau alat
kelamin, melainkan bisa juga dilakukan dengan mata, telinga, mulut, hidung, tangan,
4
Hasbi Ashiddiqi, “Al-quran Dan Terjemahnya”, Translated by Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-quran,
(Semarang : PT. Tanjung Mas Inti Semarang, t.t), hlm 429.
suara, tulisan dan anggota tubuh lainnya. Semua alat indera manusia dan kemampuan
yang ada padanya dapat digunakan untuk melakukan perbuatan zina dalam arti luas. Oleh
karena itu, dalam Islam ada yang dinamakan zina mata, zina tangan, zina mulut, zina
telinga dan sebagainya.
b. Unsur-Unsur Zina
Untuk mengetahui perbuatan Jarimah zina ini, maka haruslah memenuhi beberapa
unsur-unsur yang bersifat khusus dalam zina yaitu sebagai berikut :
1) Perbuatan zina dilakukan secara sadar dan sengaja. Jumhur ulama berpendapat
bahwa orang yang terpaksa, baik laki-laki maupun perempuan, tidak dikenai
hukuman perzinaan.
2) Pelaku mengetahui bahwa zina itu haram.
3) Orang yang berzina itu sudah cukup umur (Baligh)
5
Budi Kisworo, t.t, “Zina Dalam Kajian Teologis dan Sosiologis”, Jurnal Hukum Islam, p-issn: 2548-3374; e-issn:
2548-3382, hlm 6.
4) Orang yang berzina adalah orang yang berakal atau waras, bukan gila.6
Zina merupakan tindak pidana yang diancam dengan hukuman ḥudūd atau ḥad,
yakni suatu hukuman yang diberlakukan terhadap pelanggaran yang menyangkut hak
Allah. Dengan demikian, hukuman tindak pidana zina telah diatur oleh al-Quran karena
merupakan hak Allah swt. Hubungan seksual di luar Perkawinan sah baik menikah
maupun belum menikah tetap dianggap sebagai perbuatan terlarang dan dikenal sebagai
perzinaan.7 secara mutlak, ada dua macam perbuatan zina yang mendapat hukuman wajib
bagi pelakunya, yaitu:
1) Zina Ghairu Muḥṣan
Zina Ghairu Muḥṣan artinya suatu zina yang dilakukan oleh orang yang
belum pernah melangsungkan perkawinan yang sah, yakni yang masih perjaka
atau perawan. Untuk hukuman yang dibebankan pada pelaku zina dengan status
ghairu muḥṣan adalah dera seratus kali, berdasarkan Q.S. an-Nūr (24) ayat 2 :
الَّز اِنَي ُة َو الَّز اِني َفاْج ِلُد وا ُك َّل َو اِحٍد ِم ْن ُهَم ا ِم اَئ َة َج ْلَد ٍةۖ َو اَل َت ْأُخ ْذ ُك ْم ِبِه َم ا َر ْأَفٌة ِفي ِديِن ِهَّللا ِإْن ُكْنُتْم ُت ْؤ ِم ُن وَن ِباِهَّلل
َو اْلَي ْو ِم اآْل ِخ ِر ۖ َو ْلَي ْش َه ْد َع َذ اَب ُهَم ا َط اِئَفٌة ِمَن اْلُمْؤ ِمِنيَن
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap dari dua orang seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada baik
kamu hati untuk (menjalankan) agama Allah, jika beriman kamu kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (melakukan) kalimat mereka dengan sekumpulan
orang-orang yang beriman.
Ayat ini menggambarkan ketegasan dalam menegakkan hukuman ḥad,
dilarang memberi belas kasihan dalam menjatuhkan hukuman atas kekejian yang
dilakukan oleh dua orang pezina tersebut, juga ada larangan membatalkan
hukuman ḥad atau berlemah lembut dalam menegakkannya. Oleh karenanya
dilarang menunda penegakan agama Allah dan mengundurkan hak-Nya.
Pelaksanaan hukuman hendaknya dilaksanakan di depan khalayak ramai, yaitu
6
Iqbal Maulana, Skripsi : “Zina Dalam Perspektif Dualisme Hukum Pidana”, (Banda Aceh : Universitas Islam
Negeri Ar-Raniry, 2018), hlm 36.
7
Ahmad Sobari, 2016, “ A Comparative Study On Article 241 Korean Criminal Act And Article 284 Indonesian
Criminal Code”, Jurnal Populis, Vol.1, No.2, hlm 199.
sekelompok orangorang yang beriman, sehingga diharapkan memberi efek jera
dan mempengaruhi jiwa orang-orang yang telah melakukan perbuatan zina dan
memberi pelajaran bagi orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman
tersebut. Selain didera seratus kali, pelaku zina ghairu muḥṣan juga diasingkan
selama setahun, hal ini bersandar pada keterangan Ibnu al-Munẓir yang
mengatakan: “Dalam kasus seorang pelayan yang berzina dengan majikan putri,
Rasulullah saw bersumpah bahwa beliau akan memutusinya berdasarkan
Kitabullah. Kemudian beliau menyatakan, bahwasanya pelayan tersebut harus
dihukum dera sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun.” Itulah
penjabaran dari firman Allah dan itulah yang dipidatokan oleh Umar bin Khattab
di atas mimbar dan yang kemudian diamalkan atau dipraktekkan oleh para
Khulafā‘ alRāsyidīn dan mengamininya. Hal tersebut menjadi dasar ijma’
(konsensus). Alasan Zina ghairu muḥṣan dihukum dera dan pengasingan adalah
karena mungkin sifat keingintahuannya yang mendorong untuk berbuat zina
sedang dia belum menikah sehingga tidak ada tempat untuk menyalurkan
keingintahuannya secara syar’i, karena memang secara fitrah terdapat
kecenderungan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Islam
menghalalkan nikah dan menghramkan zina. Jadi hubungan apapun antara laki-
laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina.
2) Zina Muḥṣan
Zina Muḥṣan adalah suatu zina yang dilaukan oleh orang yang sudah
balig, berakal, merdeka dan sudah pernah bercampur secara sah dengan orang lain
jenis kelaminnya (sudah menikah). Hukuman bagi pelaku zina yang berstatus
muḥṣan adalah rajam. Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari dengan
batu. Karena hukuman rajam tidak tersebut secara jelas dalam al-Quran, maka
kaum khawarij mengingkarinya. Menurut mereka hukuman bagi pezina muḥṣan
maupun ghairu muḥṣan adalah sama yaitu didera. Pasal hukum rajam dalam al-
quran tidak ada, tetapi hanya atas pernyataan Umar ibn Khattab yang pernah
melihat Nabi Muhammad SAW memerintahkan perajaman bagi muḥṣan.
Pemberian hukuman yang lebih berat bagi pelaku zina muḥṣan, adalah balasan
bagi pelaku yang telah mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk merasakan
hubungan seksualitas yang sah, melalui perkawinan. Dengan demikian
pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikan harus dibalas dengan
kepedihan rajam.
C. Penutup
Zina adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak
terikat oleh hubungan perkawinan. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid disebutkan bahwa zina
adalah persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu
nikah, dan bukan pula karena kepemilikan (terhadap budak).
Manusia, menurut Immanuel Kant, adalah makhluk yang bermartabat. Dasar
martabat manusia terletak dalam kenyataan bahwa manusia adalah persona dan otonom.
Sebagai persona, manusia manusia mampu menentukan dirinya. Penentuan diri ini terjadi
karena manusia memiliki akal budi.
Larangan perzinaan dijelaskan dalam surat Al-Isra' ayat 32. Dari ayat tersebut
dapat diambil keterangan bahwa umat Islam dilarang mendekati zina karena perbuatan
tersebut termasuk perbuatan yang keji dan cara penyaluran nafsu seksual yang tidak benar.
Unsur-unsur zina terdiri dari perbuatan zina yang dilakukan secara sadar dan sengaja, pelaku
mengetahui bahwa zina itu haram, orang yang berzina itu sudah cukup umur (baligh), dan
orang yang berzina adalah orang yang berakal atau waras, bukan gila. Sanksi zina diberikan
menurut macam-macam zina, yaitu zina ghairu muhsan dan zina muhsan. Adapun dampak
negatif yang ditimbulkan akibat zina adalah menghilangkan nur wajah, memutuskan rizki,
membuat marah Allah, dan mewajibkan kekal di neraka.
D. Daftar pustaka
Al-Hafid, Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Jilid II. (Beirut: Darul
Fikri, tt.
Kisworo, Budi. “Zina Dalam Kajian Teologis dan Sosiologis”. Jurnal Hukum Islam. T.tp. t.t.
Maulana, Iqbal. Skripsi : “Zina Dalam Perspektif Dualisme Hukum Pidana”. Banda Aceh :
Sobari, Ahmad. “ A Comparative Study On Article 241 Korean Criminal Act And Article
Wardani, Niken. “Tinjauan Filsafat Moral Immanuel Kant Terhadap Perzinahan Dalam