WAHYUDI MAKMUR
003804292020
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
202
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan tentang kepemimpinan perempuan, tentu saja kita tidak dapat melupakan
telah kita capai sekarang. R.A Kartini adalah pahlawan perempuan dalam bidang pendidikan
untuk memajukan kaum perempuan. Kartini menghendaki persamaan hak bagi perempuan dan
untuk itu ia mencetuskan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak gadis pribumi, karena pada
waktu itu kehidupan anak-anak gadis pribumi masih sangat terikat dan dibatasi oleh adat.
Dengan diberi pendidikan, maka perempuan akan lebih cakap menunaikan tugas utamanya
sebagai pendidik pertama dari manusia. Di samping diberi pelajaran membaca, menulis, dan
menghitung, anak-anak gadis pribumi juga diberi pelajaran keterampilan, sehingga mereka
nantinya bisa lebih mandiri. Beliau berpendapat, bahwa Tuhan menjadikan laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk yang sama, jiwanya sama, hanya bentuknya yang berlainan. Karena
Dalam Al-Qur’an sendiri sudah dijelaskan dalam beberapa ayat yang menyebutkan bahwa
kedudukan antara laki- laki dan perempuan adalah sama. Salah satu ayat Al-Qur’an yang
Menjelaskan tentang kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah QS. At-
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-
Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. At-Taubah:71) (KementrianUrusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad
kepada laki-laki tetapi juga kepada perempuan. Ayat ini sekaligus menjadi dasar pentingnya
keterlibatan perempuan dalam aktivitas sosial dalam rangka amar ma’ruf dan nahi mungkar.
Namun, penafsiran ulama-ulama abad klasik dan pertengahan berpendapat bahwa laki-laki lebih
unggul dari pada perempuan. Penafsiran tersebut muncul karena dua hal. Pertama, belum adanya
pemahaman tentang sex dan gender ketika mufasir-mufasir tersebut hidup. Kedua, pandangan
Al-Qur’an tentang kesetaraan manusia, tidak membedakan jenis kelamin maupun suku bangsa,
dan menegaskan bahwa kemuliaan adalah bagi yang bertaqwa (Hamidah, 2011: 28).
Kemudian Tutik Hamidah (2011: 29) menjelaskan sesungguhnya sudah sangat jelas,
bahwa keunggulan dan kemuliaan manusia bukanlah kondrat, melainkan berkat usahanya
menjadikan dirinya menjadi manusia yang bertaqwa. Dengan demikian, baik laki-laki maupun
perempuan, memiliki kesempatan yang sama di hadapan Allah SWT. Dan sudah tentu Allah
SWT tidak memuliakan laki-laki karena jenis kelaminnya, begitu pula tidak merendahkan
Sistem sosial patriarkhis yang mendudukkan posisi laki- laki di atas perempuan akan
menyebabkan laki-laki memiliki sikap yang negatif terhadap konsep kesetaraan gender. Hal ini
dikarenakan laki-laki dalam sistem ini menganggap perempuan tidak pantas untuk disejajarkan
dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan. Perempuan harus patuh pada setiap kemauan
laki-laki, karena perempuan hanyalah bagian dari laki-laki (Prasetyo, 1997: 47). Sebaliknya
perempuan akan memiliki sikap yang positif terhadap konsep kesetaraan gender. Sikap positif
tersebut terjadi karena yang paling menjadi korban dalam sistem patriarkhis adalah kaum
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 3 menyebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Konsep kesetaraan yang dinyatakan
secara ideal tersebut masih amat jauh dari realita. Kenyataan di dalam masyarakat terlihat banyak
persoalan, antara lain: masih amat rendahnya tingkat upah yang diberikan pada pekerja
perempuan, masih amat rendahnya tingkat ketrampilan perempuan untuk banyak bidang
pekerjaan di sektor publik, dan adanya persoalan kekerasan yang selalu mengancam dan
ditimpakan pada perempuan, dan banyak lagi yang lainnya (Faruk, 1997: 5).
Namun bagi beberapa kalangan perempuan, hal tersebut justru menjadi motivasi dan
cambukan bagi mereka untuk terus berkarya mewujudkan cita-citanya. Bahkan di Indonesia
sendiri, sejak abad ke-19 telah muncul sejumlah sarjana Muslim Indonesia yang secara intensif
menyuarakan perlunya rekonstruksi khazanah Islam dalam perspektif baru yang berpihak pada
kesetaraan gender. Bahkan pada masa tersebut mulai muncul ormas-ormas Islam yang digagas
dan diskriminasi yang selama ini membelenggu ruang gerak perempuan. Ormas-ormas tersebut
perempaun Lombok, dan Muslimat Al- Washliyah untuk perempuan dan dakwah sosial
Berangkat dari hal tersebut, pada masa modern ini, di mana peran perempuan dalam
ranah publik mulai terbuka, sedikit demi sedikit telah membuka jalan bagi kaum perempuan
untuk ikut serta dalam berbagai aktivitas sosial maupun politik. Di mana perempuan sudah tidak
hanya menjadi pengikut dari kaum lelaki, tetapi sudah mulai menunjukkan eksistensinya dengan
memimpin sebuah organisasi sendiri, yang anggotanya tidak hanya kaum perempuan saja tetapi
juga terdapat kaum laki-laki sebagai pihak yang dipimpin oleh perempuan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam memimpin sebuah organisasi atau kelompok, seseorang harus memiliki
kemampuan memimpin yang baik, baik laki-laki maupun seorang perempuan. KhatibPahlawan
Kayo (2005: 25) menyebutkan beberapa sifat-sifat kepemimpinan yang dikehendaki oleh
masyarakat luas, yaitu: sikap demokratis, penuh vitalitas, memiliki keramahtamahan, penuh
Islam tidak pernah melarang kaum perempuan menjadi pemimpin, imam, atau khalifah.
Karena tugas kepemimpinan bersifat universal, berlaku bagi kaum laki-laki maupun kaum
perempuan. Inti dari kepemimpinan adalah sunnatullah akan kewajiban manusia untuk
Ratu Bilqis menjadi salah satu sejarah yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dia adalah
seorang perempuan yang terseleksi oleh sejarah dan menunjukkan kepada dunia bahwa
perempuan mempunyai kemampuan dan kesamaan peran dalam memajukan dan mengemban
tugas kepemimpinan. Ratu Bilqis menjadi ikon sejarah yang cukup penting untuk menjelaskan
posisi dan peran kepemimpinan kaum perempuan dalam memajukan dan turut serta dalam
pembangunan. Ratu Bilqis menjadi pemimpin di negeri Saba’ yang dengan kepemimpinannya
ia meraih berbagai kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan materi (Mubin, 2008:
75-76).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belaakng diatas, maka rumusan masalah yang diangkat yaitu :
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan artikel ini untuk memaparkan fenomena kepimpinan perempuan di
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemimpinan
Pemikiran Rowan Gibson (1997) mengenai problem global di abad ke-21, Indonesia tengah
menghadapi zaman yang serba berubah begitu cepat, zaman yang serba membingunkan dan
tidak menentu. Banyak persoalan institusi yang membutuhkan solusi-solusi baru, seperti
bagaimana mengembangkan kemampuan melihat masa depan yang sangat dibutuhkan untuk
menjadi yang terdepan dalam kompetisi dunia?. Kata kunci dari semua ini, menurut Gibson
adalah kepemimpinan. Banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan, antara lain:
George R.Terry, Leadership is the activit of influencing people to strive willingly for
group objectives. Harold Koontz and Cyril O’Donnell, 1984. state that leadership is
influencing peoplethe follow in the achivement of a common goal. Handbook of Leadership,
memberikan definisikepemimpinan sebagai “suatu interaksi antar anggota suatau kelompok.
Pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih memengaruhi
orang lain daripada perilakuorang lain yang memengaruhi mereka. Kepemimpinan timbul
ketika satu anggota kelompokmengubah motivasi atau kompetensi anggota lainnya di
dalam kelompok”. Dengan demikandapat di simpulkan bahwa kepemimpinan merupakan
suatu proses atau kegiatan untuk mempengaruhi orang atau sekelompok orang anggota
organisasi untuk mencapai tujuan bersama.Sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan
Robbins (1998), mengemukakan dua kesimpulan: Pertama, menyamakan antara laki-laki
dan perempuan cenderung mengabaikanperbedaan diantara keduanya. Kedua, bahwa apa
yang menjadi perbedaan antara perempuan danlaki-laki adalah bahwa perempuan memiliki
gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman
dengan gaya yang bersifat directive
(menekankan
pada cara-cara yang bersifat perintah).
Sejumlah studi lainnya memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan inheren
antara laki-laki dan perempuan dalam hal gaya kepemimpinannya. Perempuan cenderung
mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokratik. Laki-laki menggunakan gaya yang
mendasarkan
pada kontrol dan perintah. Mereka lebih mendasarkan pada jabatan otoritas formal sebagai
dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya (Sudarmo, 2008).
Penelitian Tannen (1995) bahwa pemimpin yang menekankan pada hubungan dan
keakraban yang cenderung dimiliki oleh perempuan, memungkinkan seorang pemimpin
tersebut bersikap memberdayakan segenap anggotanya, serta menekankan struktur organis.
Sedangkan pemimpin yang menekankan pada status dan kemandirian, yang cenderung dimiliki
oleh laki-lakimemungkinkan pemimpin tersebut mengadopsi struktur hirarkis, spesialisasi, dan
perintah.
Penelitian tentang hubungan gender dan kepemimpinan juga dikemukakan oleh Sara
Levinson, seorang Presiden Properti NFL, Inc di New York. Ia mengungkapkan pertanyaan
secara langsung dalam sebuah tanya jawab dengan seluruh anggota laki-laki yang ada di
timnya. Ia bertanya kepada mereka: “Apakah kepemimpinan saya berbeda dengan laki-laki?”
Jawab mereka: “ya” (dikutip dalam Sudarmo, 2008) Jawaban ini cukup memberikan dukungan
bahwa ada perbedaan gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki.
⚫ Perempuan cenderung lebih memiliki perilaku yang demokratis dan partisipatif,
seperti
hormat pada orang lain, perhatian pada orang lain, Gaya seperti ini mengacu pada
kepemimpinan interaktif, gaya seperti ini memiliki unsur-unsur kepemimpinan yang
transformasional,yakni yang inspirasional.
⚫ Berbeda dengan laki-laki yang ang cenderung lebih mengarah pada perilaku yang
directive (mendasarkan pada instruksi) dan assertive (cenderung agresif dan dogmatik),
dan menggunakan otoritas yang baiasanya ia miliki untuk melakukan “kontrol dan
komando”
B. Kepemimpinan Perempuan
Fenomena yang ada menunjukkan banyak perempuan yang telah menduduki jabatan
sebagai pemimpin kepala desa, kepala kantor , kepala sekolah, manajer perusahaan, direktur
rumah sakit, direktur bank, sebagai pemimpin keluarga, dan lain-lain. Namun Persentase
perempuan sebagai pemimpin dibandingkan populasi perempuan secara keseluruhan, jauh
lebih rendah dibandingkan dengan persentase laki laki sebagai pemimpin.
Fakta lain terkait dengan proporsi perempuan dalam angkatan kerja dan usaha yang sejak
dulu sampai saat ini, usaha perdagangan cukup diminati oleh perempuan. Akan tetapi dalam
kesempatan memperoleh bantuan kredit peningkatan usaha, perempuan pengusaha masuk
dalam
kelompok penerima dengan modal kecil dan menengah. Sumber:
http://id.shvoong.com/social- sciences/sociology/2258375-perempuan-dan-
kepemimpinan/#ixzz2FbCEYEQN
Perempuan untuk tampil sebagai pemimpin diibaratkan Bass (1990) dan Klenke (1996)
sebagai fenomena atap kaca atau glass ceiling yaitu adanya hambatan yang seolah-olah tidak
terlihat, tembus pandang, tetapi dalam kenyataannya merintangi akses perempuan dan kaum
minoritas lain dalam menuju kepemimpinan puncak.
Bass, Avolio, dan Atwater ( 1996) menemukan bahwa laki-laki umumnya lebih
menampilkan kepemimpinan transaksional dibandingkan perempuan. Sebaliknya,
perempuan lebih memperlihatkan kepemimpinan transformasional dibanding kan laki-laki.
Carless menemukan bahwa manajer perempuan lebih menggunakan kepemimpinan
transformasional dibandingkan manajer laki-laki.
Menurut Natalie Porter dan Jessica Henderson Daniel, (2007: 249) Banyak kualitas
yang diperlukan untuk memiliki kepemimpinan organisasi yang efektif pada situasi
sekarang ini yakni berkualitas dan umumnya diasosiasikan dengan Kemimpinan
Transformasional (Bass,1985; Burn,1978; Chia-Chen,2004), dan juga diasosiasikan dengan
para Pemimpin Wanita (Applebaun, Audet, Miller, 2002).
Di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau seorang
perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di
negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai menteri
Perdagangan. Ada juga ibu Susi sebagi mentri kelautan dan khofifah indar parawansa sebagai
gubernur jawa timur saat ini. Hal ini sangat mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia
tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita
karir di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam pekerjaannya. Profil-profil
tersebut sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan
perekonomian Negara Indonesia. Di negara Islam pun kita menjumpai banyak perempuan yang
memegang kendali politik tertinggi contohnya Benazir Butto pernah menjabat sebagai Perdana
Meteri di Pakistan, Shirin Ebadi perempuan Iran dengan kepribadian luar biasa memenangkan
hadiah Nobel 2003. Chandrika Bandaranaike Kumaratunga Presiden Srilanka. Dua perempuan
pintar di Philipina Cory Aquino & Gloria Arroyo. Di belahan dunia lain juga kita kenal
Margareth Tacher, Madeleine Albright, dan Madonna perempuan genius dengan kepribadian
Kemudian dasar berikutnya adalah hadits Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Ahmad, Nasa’i dan Turmudzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda “la yuflihu qaumun wa lau
amruhum imratan” tidak akan berbahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada
perempuan. Hadits lain menyebutkan bahwa perempuan kurang akal dibandingkan dengan
laki-laki. Ketiga dasar tersebut yang kemudian dijadikan dasar alasan larangan perempuan
dalam memegang jabatan politik (kepemimpinan). Baik ayat maupun hadits tersebut
mengisyaratkan bahwa perempuan tidak pada tempatnya menjadi pemimpin, hanya lakilaki
yang pantas menjadi pemimpin dan perempuan wajib mengakui kepemimpinan laki – laki. Di
KESIMPULAN
Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Feminis Muslim. semua produk hukum dalam
masyarakat harus mengacu pada prinsip keadilan dan kesetaraan. Tentang kepemimpinan
perempuan kehadiran perempuan dalam panggung politik. Tidak semata demi kepentingan
perempuan melainkan demi keadilan sosial dan kemanusiaan demi mewujudkan keadilan dan
kemaslahatan manusia. Lebih lanjut hal yang paling esensial dalam kepemimpinan adalah
kemampuan dan intelektualitas, dua hal yang dapat dimiliki oleh siapa saja baik laki-laki
maupun perempuan. Dan dalam pandangan feminis muslin terhadap kepemimpinan wanita
tidak jauh berbeda dengan pemaknaan atau pandangan mufasir dalam melihat pemimpin
wanita. Yang menerangkan bahwasanya wanita dapat bergerak atau menduduki kepemimpinan
dalam linih apapun dengan segala kelebihan yang dimiliki oleh wanita
DAFTAR PUSTAKA
Eagly, A.H dan Karau,S.J (2002) Role congruity theory of prejudice toward female
leaders.
Harold Koontz and Cyril O’Donnell, 1984. Management. McGraw-Hill Book Compeny.
Jean Lau Chin, 2007. Women and Leadership: Transforming Visions and Diverse Voices.
Natalie Porter dan Jessica Henderson Daniel, 2007. Women and Leadership:
DevelopingTransformational Leaders: Theory to Practice. Blackwell Publising
Schermerhorn, John R., Jr, 1999, Management, John Wiley & Sons, Inc., New
YorkTannen, Deborah, 1995, Talking from 9 to 5, William Morrow, New
York.
Terry, GR, (1966) Principles of Management, edisi IV, Chicago: R.D. Irwin IN.
Fakih, Mansoer. (1999). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Musawa. (2014). Efektivitas Kepemimpinan Perempuan Dalam Karier. Dalam Journal For