OLEH :
PROGRAM PASCASARSJANA
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan...................................................................................................................... 1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara yang berasal dari pajak tidak menimbulkan risiko, melainkan memberikan
keuntungan karena pungutan pajak ini akan digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang
akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan,
kesejahteraan dan sebagainya.
Dalam hal ini pemerintah tidak bermaksud untuk menambah beban pajak pada masyarakat
melainkan dengan menitikberatkan pada pengefektifan pemungutan pajak yaitu dengan
mencegah kebocoran pajak dan mencegah penyulundupan atau pengelapan pajak .Pajak adalah
peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan Undang-Undang yang dapat
dipaksakan dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dapat ditunjukan, yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum dan yang dapat digunakan sebagai alat pendorong,
penghambat atau untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan negara.
Untuk memberikan kepastian hukum yang memadai bagi wajib pajak dan aparatur pajak,
khususnya yang menyangkut keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan. Pemerintah
telah mengatur praktek- praktek perpajakan di Indonesia melalui Undang-Undang Perpajakan
termasuk Pajak Pertambahan Nilai, yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang perubahan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang telah diubah kembali dengan Undang-undang No. 42 Tahun
2009. Jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dalam hal ini adalah jasa yang dilakukan oleh
pemborong, kontraktor, sub kontraktor kepada pihak manapun juga dalam wilayah Republik
Indonesia.
1
John F Due (2001:36) seorang pakar ilmu keuangan Negara dan pajak yang dikutip oleh
padiangan,menyatakan bahwa pada umumnya di negara berkembang,pajak tidak langsung
mempunyai peranan yang besar dalam penerimaan pemerintah yang salah satunya ialah Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
2
transaksi penyerahan barang yang terutang, Faktur Pajak merupakan ciri khas dari Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), karena Faktur Pajak ini merupakan bukti pungutan yang bagi pengusaha
dapat dipungut, diperhitungkan dan jumlah pajak terutang. Dalam pengkreditan pajak masukan
sama dengan upaya untuk memperoleh kembali PPN yang telah dibayar, apabila pajak masukan
itu telah dikreditkan berakti PPN yang telah dibayar atas prolehan BKP bisa dikreditkan.
Dari uraian diatas, penyusun tertarik untuk membahas konsep dan tata cara pencatatan
mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Artikel
Untuk mengetahui ketentuan umum dan pencatatan PPN yang termasuk di dalamnya
Pajak Keluaran, Pajak Masukan, dan KB dan LB PPN.
3
BAB II
PEMBAHASAN
• Definisi PPN
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-
beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah
menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan
melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN
adalah Konsumen Akhir. PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh
pengusaha atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016, PKP se-Indonesia
wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk menghindari penerbitan faktur pajak
fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan transaksinya.
Adapun objek pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai ialah sebagai berikut :
• Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean
yang dilakukan oleh pengusaha
• Impor Barang Kena Pajak
• Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
• Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
• Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP)
4
• BKP PPN
Barang kena pajak adalah barang berwujud, yang menurut sifatnya berupa barang
bergerak atau tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang PPN. Barang Kena Pajak terdiri dari:
1. Barang yang berwujud. Misalnya mobil, rumah, sepeda motor, alat kesehatan dan lain-lain.
2. Barang yang tidak berwujud. Misalnya hak paten, hak cipta, merk dagang dan lain-lain.
1. Barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya:
• Minyak mentah.
• Gas bumi (bukan elpiji).
• Panas bumi.
• Pasir dan kerikil.
• Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
• Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.Hal ini dikarenakan
apabila barang dikenakan PPN, akan menambah beban hidup hidup masyarakat.
• Garam beryodium maupun tidak beryodium.
• Beras
• Jagung
• Gabah
• Sagu
• Kedelai
5
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya yang dikonsumsi di tempat atau tidak, dan tidak termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering.
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga. Hal ini dikarenakan nilai nominal dan nilai fisiknya
berbeda. Apalagi dibandingkan dengan nilai instrinsiknya. Emas perhiasan tetap dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN).
• Terutangnya PPN
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,
terutangnya PPN terjadi pada saat:
6
2. Penyerahan BKP berwujud berdasarkan hukum dan sifatnya berupa barang tidak bergerak
terjadi saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP berwujud tersebut, secara
nyata atau secara hukum ke pihak pembeli.
3. Penyerahan BKP tidak berwujud terjadi saat:
• Harga atas penyerahan BKP TB diakui sebagai piutang atau pada saat diterbitkannya faktur
penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum dan
diterapkan secara konsisten.
• Perjanjian atau kontrak ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau
kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian, atau seluruhnya, sebagaimana yang
dimaksud pada poin sebelumnya tidak diketahui.
4. BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat terjadinya pembubaran perusahaan:
• Berakhirnya jangka waktu berdirinya suatu perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran
dasar.
• Telah ditandatanganinya akta pembubaran oleh notaris.
• Tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perusahaan sudah dibubarkan.
• Diketahui perusahaan secara nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah
dibubarkan berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
7
6. Impor BKP yang terjadi saat BKP dimasukan ke dalam daerah pabean.
PPN masukan atau juga dikenal sebagai pajak masukan merupakan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian terhadap
barang/jasa kena pajak (BKP/JKP).
Adanya PPN masukan tidak terlepas dari tata cara umum PPN yang mengharuskan PKP
melakukan pengkreditan atau pengurangan antara PPN keluaran atau pajak keluaran dengan PPN
masukan. Jika PPN masukan ternyata lebih besar ketimbang PPN keluaran, maka bisa diartikan PKP
yang bersangkutan lebih banyak membayar PPN ketimbang memungut PPN.
8
Jika selisih antara PPN keluaran dan PPN Masukan ternyata lebih besar PPN masukan, maka
kelebihan pembayaran PPN tersebut bisa dikompensasikan di masa pajak berikutnya atau PKP bisa
juga mengajukan pengembalian atau restitusi di akhir tahun buku.
Dasar hukum kegiatan pengkreditan PPN masukan ini adalah Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atau biasa disebut juga
UU PPN dan PPnBM. Dasar hukum utama yang melandasi pengkreditan PPN masukan adalah Pasal
9 Ayat (2), yang menyebutkan bahwa PPN masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan
PPN keluaran pada masa pajak yang sama.
Pasal 9 UU PPN dan PPnBM secara keseluruhan mengatur mengenai perlakuan PPN
masukan, mulai dari perlakuan pengkreditan PPN masukan standar, dalam arti PPN masukan bagi
PKP pada umumnya, hingga perlakuan khusus bagi PKP yang PPN masukannya memenuhi kriteria
tertentu.
Agar PPN masukan dapat dikreditkan untuk suatu masa pajak yang sama, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dan berlaku untuk seluruh bidang usaha. Syarat-syarat tersebut antara
lain:
1. Tercantum dalam faktur pajak lengkap atau dokumen tertentu yang diperlakukan sama
dengan faktur pajak.
2. Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Ini artinya pengeluaran yang dilakukan
oleh PKP untuk hal-hal di luar operasional usaha.
Sementara, untuk batas waktu PPN masukan sebagaimana diatur dalam UU PPN dan
PPnBM adalah, 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan
Hal ini diatur dalam Pasal 9 Ayat (9) UU PPN dan PPnBM yang secara spesifik menyebutkan:
9
“Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan
setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya
dan belum dilakukan pemeriksaan“.
Ditetapkannya interval waktu 3 bulan setelah masa pajak yang bersangkutan ini tidak
terlepas dari kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan faktur. Contohnya, faktur pajak
tak juga dikirimkan oleh PKP penjual ke PKP pembeli, sehingga PKP pembeli belum bisa melakukan
pengkreidtan PPN masukan.
PPN masukan idealnya bisa dikreditkan, namun ada beberapa PPN masukan yang ternyata
tidak bisa dikreditkan. PPN masukan tidak bisa dikreditkan dengan PPN keluaran hanya untuk
penyerahan atau pengeluaran sebagai berikut:
10
8. Perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN, yang
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan.
9. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi.
Selain 9 kriteria di atas, PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan untuk PPN masukan
terkait BKP/JKP yang mendapat fasilitas pembebasan pungutan PPN. Meski BKP/JKP mendapat
status dibebaskan PPN, bukan berarti tidak ada PPN, melainkan PPN yang ada tidak dipungut.
PKP yang dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan yang terutang PPN dan penyerahan yang
tidak terutang PPN hanya dapat mengkreditkan PPN masukan yang berkenaan dengan penyerahan
yang terutang PPN. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuan PKP.
Berbeda dibanding jurnal PPN untuk transaksi keluaran, pencatatan jurnal PPN masukan
terdiri atas dua, yakni jurnal PPN masukan yang dapat dikreditkan dan jurnal PPN masukan yang
tidak dapat dikreditkan. Jurnal PPN masukan yang dapat dikreditkan, adalah pencatatan PPN
masukan yang dapat dikurangkan dari PPN keluaran dalam suatu masa pajak. PPN masukan dapat
dikreditkan terhadap PPN keluaran apabila PPN masukan tersebut muncul dari pembelian atau
impor Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha pokok perusahaan.
Sementara, jurnal PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan merupakan pencatatan PPN
masukan yang tidak dapat diperhitungkan dari PPN keluaran dalam suatu masa pajak. PPN
masukan tidak dapat dikreditkan terhadap PPN keluaran apabila PPN masukan tersebut timbul
dari pembelian atau impor BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha pokok perusahaan.
11
Jurnal PPN Masukan yang Dapat Dikreditkan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jurnal PPN masukan adalah pencatatan PPN
masukan yang dapat diperhitungkan dari PPN keluaran dalam suatu masa pajak. Berikut ini
macam-macam jenis pencatatan jurnal PPN masukan sesuai dengan jenis transaksinya.
Jika perusahaan atau PKP membeli BKP/JKP secara tunai, biasanya segera menerima faktur
pajak dari PKP penjual. Atas faktur yang diberikan tersebut, PKP bisa segera mencatat PPN yang
dibayarkan.
Contoh, pada tanggal 1 November PT ABC melakukan pembelian BKP berupa bahan baku
seharga Rp 2 juta, ditambah PPN 10% sebesar Rp 200.000. Atas transaksi tersebut, maka jurnal
PPN masukan yang dicatat oleh perusahaan adalah sebagai berikut:
Pembelian Rp2.000.000,00
PPN Masukan Rp 200.000,00
Kas Rp 2.200.000,00
Pencatatan yang sama juga berlaku apabila perusahaan memanfaatkan JKP. Misalnya, pada
tanggal 1 November PT ABC menggunakan jasa perbaikan mesin untuk produksi. Total biaya
perbaikan adalah sebesar Rp 1 juta, ditambah PPN 10% sebesar Rp 100.000. Karena perbaikan
mesin produksi ini berkaitan langsung dengan usaha, maka PPN masukan termasuk PPN masukan
yang bisa dikreditkan.
12
Atas transaksi tersebut, maka jurnal PPN masukan yang dibuat oleh perusahaan adalah sebagai
berikut:
Biaya Perbaikan Mesin Rp 1.000.000,00
PPN Masukan Rp 100.000,00
Kas Rp 1.100.000,00
Perlakuan jurnal PPN masukan menjadi berbeda bila transaksi pembelian dilakukan secara
kredit. Pasalnya, jika transaksi dilakukan secara kredit, maka faktur pajak dari PKP penjual baru
akan diberikan apabila pembayaran atas transaksi tersebut dilunasi. Akibatnya, dari segi
perpajakan, pada saat BKP/JKP diserahkan, PPN belum terutang sehingga belum perlu dicatat.
Namun, dilihat dari sudut pandang akuntansisaat penyerahan BKP/JKP merupakan salah satu saat
pengakuan biaya atau perolehan aktiva. Sehingga pembuatan jurnal PPN masukan harus
mempertimbangkan kedua hal tersebut.
Contoh, pada tanggal 1 November 2018 membeli secara kredit BKP berupa bahan baku
seharga Rp 1 juta, ditambah PPN 10% sebesar Rp 100.000. Penyerahan barang dilakukan pada saat
itu juga, namun pemberian faktur pajak dilakukan saat pelunasan, misalnya tanggal 1 Desember
2018. Atas transaksi tersebut, maka jurnal PPN masukan yang dibuat adalah sebagai berikut:
Pembelian Rp 1.000.000,00
PPN Masukan belum difakturkan Rp 100.000,00
Utang Dagang Rp 1.100.000,00
Jika pada tanggal 1 Desember 2018, saat pelunasan, faktur pajak sudah disampaikan oleh PKP
penjual, maka pencatatan yang dibuat adalah sebagai berikut:
13
PPN Masukan Rp 100.000,00
PPN Masukan belum difakturkan Rp 100.000,00
Barang yang dikirim kembali kepada PKP penjual, pada dasarnya merupakan pembatalan
dan pengurangan jumlah pembelian. Karena itu, PPN yang terutang atas barang tersebut juga
wajib dikurangi. Retur pembelian ini dapat terjadi saat faktur pajak belum dibuat atau setelah
faktur pajak dibuat.
Dalam hal terjadi retur pembelian, PKP pembeli harus membuat nota retur, terutama jika
pengembalian barang tersebut terjadi setelah faktur pajak diterima dari penjual.
Misalnya, pada tanggal 1 November PT ABC melakukan pembelian BKP berupa bahan baku seharga
Rp 2 juta secara kredit, ditambah PPN 10% sebesar Rp 200.000, dimana faktur pajak belum
diserahkan saat penyerahkan. Maka pencatatan jurnal PPN masukan adalah sebagai berikut:
Pembelian Rp 1.000.000,00
PPN Masukan belum difakturkan Rp 100.000,00
Utang Dagang Rp 1.100.000,00
Namun, pada tanggal 20 November 2018, PT ABC dilakukan retur pembelian atas barang
yang berharga Rp 500.000. Atas transaksi retur pembelian ini, perusahaan mencatat jurnal PPN
masukan sebagai berikut:
14
Jika pada tanggal 1 Desember 2018 PKP penjual menerbitkan faktur pajak, maka PKP
penjual cukup mencantumkan jumlah penjualan setelah dikurangi dengan retur. Pun demikian
dengan pencatatan PPN. Faktur pajak yang dibuat oleh PKP penjual berisi sebagai berikut:
Terkait penerbitan faktur pajak oleh PKP penjual ini, PKP pembeli harus mencatat sebagai
berikut:
Jika retur dilakukan pada tanggal 5 Desember 2018 (saat faktur sudah diterbitkan), maka
pencatatan yang dibuat adalah sebagai berikut:
Saldo debit PPN Masukan pada akhir periode tertentu tersebut mencerminkan jumlah PPN
yang telah atau akan dibayar oleh perusahaan pada periode tersebut.
Apabila perusahaan membeli BKP atau memanfaatkan JKP yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan bisnis inti perusahaan, maka atas pembelian tersebut tetap dikenai PPN. Namun,
PPN masukan yang dibayar tersebut tidak dapat dikreditkan terhadap PPN keluaran dalam suatu
15
masa pajak. PPN yang tidak dapat dikreditkan ini harus dikapitalisasikan sebagai bagian dari biaya
perolehan dari barang atau aktiva yang bersangkutan. PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan
ini bisa juga dibebankan sebagai biaya operasi.
Contoh, PT ABC sebagai produsen minuman membayar biaya perbaikan mobil Direktur
senilai Rp 1 juta, ditambah PPN 10% sebesar Rp 100.000. Reparasi kendaraan ini tidak masuk
dalam bisnis inti perusahaan, maka PPN masukan tidak dapat dikreditkan. Atas transaksi tersebut,
PT ABC membuat jurnal PPN masukan sebagai berikut:
PPN 10% sebesar Rp 100.000 dimasukan dalam komponen biaya reparasi, karena PPN masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan.
PPN Keluaran adalah PPN yang dipungut pada saat penjualan/penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Pada saat penjualan BKP/JKP dapat dilakukan secara tunai
dan kredit. Selain itu, dalam penjualan BKP/JKP juga tidak dipungkiri akan ada retur. Berikut
jurnalnya.
• Penjualan Tunai: contohnya adalah pada tanggal 1 Juli 2017, PT Y menjual BKP secara tunai
seharga Rp 5.000.000. Maka, atas transaksi tersebut akan dicatat oleh perusahaan sebagai
berikut:
Kas Rp 5.500.000
Penjualan Rp 5.000.000
PPN Keluaran Rp 500.000
16
• Penjualan Kredit: contohnya adalah pada tanggal 1 Juli 2017, PT Y menjual BKP secara
kredit seharga Rp 6.000.000. Maka, atas transaksi tersebut akan dicatat oleh perusahaan
sebagai berikut:
• Retur Penjualan Tunai: contohnya adalah pada tanggal 8 Juli 2017 barang yang dijual oleh
PT Karimun pada tanggal 5 Juli 2017, dikembalikan karena rusak senilai Rp 500.000. Maka,
atas transaksi tersebut akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut:
• Retur Penjualan Kredit: contohnya adalah pada tanggal 10 Juli 2017 barang yang dijual
oleh PT Karimun pada tanggal 7 Juli 2017, dikembalikan karena rusak senilai Rp 500.000.
Maka, atas transaksi tersebut akan dicatat oleh perusahaan sebagai berikut:
Dalam pelaksanaan PPN, Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengkreditkan Pajak Masukan
dalam suatu masa dengan Pajak Keluaran dalam masa pajak yang sama. Apabila dalam masa pajak
17
tersebut lebih besar Pajak Keluaran, kelebihan Pajak Keluaran harus disetorkan ke kas negara. Jika
dalam masa pajak tersebut Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, kelebihan Pajak
Masukan dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan restitusi.
Contohnya terjadinya PPN KB karena PPN Keluaran lebih besar dari pada PPN Masukan.
PPN Keluaran PT XYZ di akhir periode Januari 2017 sebesar Rp 15.000. PPN Masukan PT XYZ di
akhir periode Januari 2017 sebesar Rp 10.000. Kemudian, PPN Retur Pembelian PT XYZ di akhir
periode Januari 2018 sebesar Rp 1.000. Maka, besarnya PPN Kurang Bayar = Rp 15.000 – (Rp
10.000 – Rp 1.000) = Rp 6.000
Jurnal PPN Kurang Bayar:
Jurnal Pembayaran:
Utang PPN Rp 6.000
Kas Rp 6.000
18
BAB III
KESIMPULAN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem
pemungutan pajak atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai
tambah yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang
atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap mata rantai
jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan pajak secara bertingkat
ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode perolehan kembali pajak yang telah
dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul
oleh konsumen tetap sama dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa panjang pendek jalur produksi atau distribusi tidak mempengaruhi persentase beban pajak
yang dipikul oleh konsumen.
19
DAFTAR PUSTAKA
20