Anda di halaman 1dari 24

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah PPN

Dosen Pengampu : Alfita Rakhmayani, S.E., M.Ak.

DISUSUN OLEH :

Felicia Azaria Paramastri (40011422650164)

Lita Wati Ningsih (40011422650198)

Salsabila Jingga Kurniawan (40011422650202)

Ni Komang Tri Setyawati (40011422650212)

Muhammad Irvan Aditya Pratama (40011422650222)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI PERPAJAKAN

SEKOLAH VOKASI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya makalah yang berjudul “PAJAK PERTAMBAHAN NILAI”

Makalah ini dibuat dengan tujuan memberikan informasi mengenai Pendahuluan Pajak
Pertambahan Nilai sehingga pembaca bisa menambah pengetahuan di bidang perpajakan
khususnya berkaitan dengan PPN sebagai pajak objektif, kelebihan dan kekurangannya, tipe-tipe
PPN, mekanisme Pemungutan PPN, asas Netralitas PPN, hingga Pembukuan dan Pencatatan
Pemajakan PPN.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari sisi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kamu terbuka dalam menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah untuk kedepannya

Semarang, September 2023

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

BAB I...............................................................................................................................................4

PENDAHULUAN...........................................................................................................................4

1.1 LATAR BELAKANG..........................................................................................................4


1.2 RUMUSAN MASALAH..............................................................................................5
1.3 TUJUAN...............................................................................................................................5
1.4 MANFAAT...........................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN..............................................................................................................................6

2.1. PPN MERUPAKAN PAJAK OBJEKTIF............................................................................6


2.2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PPN........................................................................7
2.3. TIPE PPN..............................................................................................................................9
2.4. PRINSIP PEMUNGUTAN DAN YURISDIKSI PEMAJAKAN PPN..............................12
2.5. KAIDAH/ASAS NETRALITAS PAJAK..........................................................................14
2.6. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN DALAM ADMINISTRASI PPN........................18
BAB III..........................................................................................................................................23

PENUTUP.....................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pajak salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan oleh hampir seluruh
negara didunia, masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam
negara harus berurusan dengan pajak sehingga setiap anggota masyarakat perlu mengetahui
bagaimana sistem perpajakan dinegaranya. Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia
dapat diklasifikasikan menjadi pajak pusat dan pajak daerah. Pemerintah pusat melalui
undang-undang yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasilnya
digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan. Adapun pajak
daerah yaitu pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. Salah satu pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yaitu, Pajak
pertambahan nilai (PPN) yang merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan dari
barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang
atau jasa kena pajak didaerah pabean yang dilakukan oleh pabrikan, penyalur utama atau
agen utama, importer, pemegang hak paten atau merek dagang dari barang atau jasa kena
pajak tersebut.2 Pajak pertambahan nilai (PPN) termasuk jenis pajak tidak langsung
maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pengusaha) yang bukan penanggung pajak
atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung yang
ia tanggung. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak
pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat
PKP.4 Berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah, menyatakan
bahwa tarif yang dikenakan pada jasa yaitu sebesar 11% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan
atau dari jumlah yang seharusnya ditagih dan nantinya PPN yang dipungut tersebut akan
disetorkan ke Kas Negara.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang penulis kembangkan dalam makalah ini diantaranya sebagai
berikut:
 Apa yang dimaksud dengan PPN merupakan Pajak Objektif?
 Apa sajakah kelebihan dan kekurangan PPN?
 Apa sajakah tipe-tipe PPN? Dan tipe apa yang cocok di Indonesia?
 Bagaimana prinsip pemungutan PPN?
 Apa sajakah kaidah/asas netralitas pajak?
 Bagaimana pembukuan dan pencatatan dalam administrasi PPN?

1.3 TUJUAN

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari makalah ini yaitu:
 Untuk menjelaskan mengenai PPN merupakan Pajak Objektif.
 Untuk mengetahui tentang kelebihan dan kekurangan PPN.
 Untuk mengetahui tentang tipe-tipe PPN dan tipe PPN yang cocok di Indonesia.
 Untuk menjelaskan mengenai prinsip pemungutan PPN
 Untuk mengetahui tentang kaidah/asas netralitas pajak
 Untuk menjelaskan mengenai pembukuan dan pencatatan dalam administrasi PPN.

1.4 MANFAAT

Makalah ini dibuat dengan tujuan memberikan informasi mengenai Pendahuluan Pajak
Pertambahan Nilai sehingga pembaca bisa menambah pengetahuan di bidang perpajakan
khususnya berkaitan dengan PPN sebagai pajak objektif, kelebihan dan kekurangannya, tipe-
tipe PPN, mekanisme Pemungutan PPN, asas Netralitas PPN, hingga Pembukuan dan
Pencatatan Pemajakan PPN.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PPN MERUPAKAN PAJAK OBJEKTIF

Pajak Objektif sendiri merupakan jenis pajak yang tidak melihat kondisi dari Wajib
Pajaknya melainkan dilihat dari sifat objek pajaknya. Pada dasarnya, pajak objektif ini fokus
pengenaannya dengan memperhatikan objeknya, yaitu berupa benda, keadaan, perbuatan,
ataupun peristiwa yang dapat menyebabkan adanya utang pajak, dan kemudian ditetapkan
untuk subjeknya, tetapi tidak mempersoalkan apakah subjek tersebut bertempat tinggal di
Indonesia ataupun di luar Indonesia.

Untuk tarif dari pajak objektif ini lebih mengikuti kepada kebijakan Undang-Undang
(UU) yang berlaku berdasarkan dengan kriteria penghasilan. Berikut merupakan kriteria dari
pajak objektif, yaitu:

1. Diperuntukkan bagi orang pribadi atau badan usaha yang memakai atau
melaksanakan transaksi atas benda kena pajak
2. Pungutan pajak berhubungan dengan pemindahan harta dari Indonesia ke luar negeri
3. Pungutan pajak atas kekayaan, kepemilikan barang mewah, ataupun aset di negara
lain.

Contoh Pajak Objektif adalah:

a. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


Pajak ini dipungut atas barang atau jasa yang berasal dari hasil transaksi yang dilakukan
oleh para Pengusaha Kena Pajak (PKP).
b. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Merupakan pungutan yang dibebankan kepada Wajib Pajak atas kepemilikan atau
pemanfaatan tanah ataupun bangunan yang bernilai ekonomis.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

6
Pungutan ini dibebankan kepada Wajib Pajak atas transaksi barang mewah atau barang
yang memiliki nilai fantastis..

2.2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PPN

Ben Terra dalam bukunya Sales Taxation: The Case of Value Added Taxing The
European Community (1998 : 37) mengemukakan beberapa kelebihan dari VAT.

A. Fiscal Advantages
Ada empat keuntungan jika pemerintah menerapkan PPN:
1. PPN Sebagai pajak atas konsumsi umum mempunyai cakupan luas. Setiap orang
pribadi yang melanjutkan ekstitensi aktivitas pasti akan dihadapkan dengan masalah
pajak, bahkan ketika ia tidak lagi menikmati penghasilan atau tidak memiliki
kekayaan apapun. Hal ini dapat dipandang sebagai aspek negatif. Tetapi dari
perspektif fiskal secara murni, perlu dicatat bahwa bahkan pada tarif pajak yang
relatif rendah akan menghasilkan pendapatan yang relatif tinggi.
2. Pembebanan PPN dapat menyebar terhadap barang dan jasa dengan rentang
pengenaan yang seluas mungkin di setiap jalur produksi dan ditribusi, sehingga
penghindaran pajak bisa dibuat seminimal mungkin dan potensi pengenaannya
terhadap barang dan jasa semakin besar.
3. Fakta bahwa agak lebih mudah untuk meningkatkan tarif PPN jika tambahan
pendapatan diperlukan. PPN juga merupakan sumber penghasilan yang sifatnya tidak
banyak berfluktuasi. Pendapatan PPN bersifat lebih independen dari pengaruh resesi
atau ekspansi dibandingkan dengan pajak penghasilan.
4. Pendapatan PPN yang relatif tinggi dipasangkan dengan biaya yang reltif rendah.
Penegakan pelaksanaan sendiri PPN diyakini dapat meminimalkan penyalahgunaan,
dan hal itu merupakan salah satu fitur pajak yang menarik. Faktu Pajak PPN, pajak
lebih mudah diawasi dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh wajib pajak.
Pajak ini dikumpulkan oleh kelompok pengusaha yang harus mengumpulkan pajak
itu sendiri, sedangkan tugas institusi pajak semata-mata mengontrol saja.
B. Psychological Advantges

7
Penerimaan yang cukup tinggi dari PPN dapat dicapai tanpa rasa terbebani atau
setidaknya hampir tabpa disadari oleh konsumen, bahwa PPN sudah dimasukkan ke
dalam harga jual. Dengan cara penyembunyian PPN ke dalam harga jual, dari sudut
pandang pajak dipandang memiliki banyak keuntungan, yaitu bisa menghindari
konfrontasi dengan meminimalkan perlawanan/resistansi pajak, terutama pada kasus-
kasus yang sering terjadi ketika tarif pajak naik. Hal ini berbeda dengan Pajak
Penghasilan dimana karyawan merasa langsung terbebani karena penghasilan/gaji yang
diterimanya sudah dipotong oleh majikannya.
Adapun beberapa argumen yang mendukung adanya penawaran secara terpisah
pada penjualan ke konsumen akhir:
1. Penjual akan sering tidak tahu apakah pembeli melakukan pembelian untuk
tujuan bisnis atau konsumsi
2. Orang dapat berargumentasi bahwa wajib pajak harus mengetahui jumlah
pajak yang mereka bayar, untuk membuat mereka menyadari dan tertarik pada
bagaimana penerimaan pajak dibelanjakan oleh pemerintah secara optimal
3. Kemungkinan pergeseran pajaknya sekamin meningkat. Selain itu,
”penyembunyian” pajak di tingkat retail dapat mempersulit tugas retailer
dalam menghitung kewajiban pajaknya, terutama ketika tarif pajaknya
beragam, karena retailer harus mengeluarkan jumlah pajak yang terutang dari
penerimaan kotornya.
C. Economic Advantages
Terhadap tiga keuntungan jika perintah menerapkan PPN:
1. PPN adalah netral terhadap pilihan konsumsi atau tabungan.
2. Dikaitkan dengan kemungkinan PPN digunakan sebagai instrumen untuk
mempengaruhi produksi dan konsumsi. Pajak dapat digunakan, dengan memvariasi
tarif PPN dalam upaya mengimbangi fluktuasi ekonomi, yaitu harga bisa dinaikkan
untuk menghalangi kecenderungan-kecenderungsn pemanasa ekonomi dan harga
bisa dikurangi untuk meredakan kecenderungan terjadinya resesi.
3. Sering dikatakan bahwa PPN meningkatkan neraca perdagangan. Argumen ini
terutama didasarkan pada realisasi bahwa PPN dapat ”di-rebate” pada ekspor dan

8
dikenakan pada impor. Namun demikian, efek yang menguntungkan tidak semua
jelas. Argumen ini, digunakan oleh mereka yang mendukung pengenalan PPN.

Adapun Kelebihan dan Kekurangan PPN menurut Sukardji (2009:27) yaitu:

a. Kelebihan PPN
1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda
2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri
3. PPN atas barang modal dapat diperoleh kembali pada bulan perolehan, sesuai
tipe konsumsi (cunsumption method) dan metode pengurangan tidak langsung
(indirect subtraction method). Dengan demikian sangat membantu likuiditas
perusahaan.
4. Ditinjau dari sumber pendapatan negara, PPN mendapat predikat ”money maker”
karena konsumen sebagai pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajk
tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk memungutnya.
b. Kelemahan PPN
1. Biaya administrasi relatif tinggi jika dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung
lainnya, baik dari pihak administrasi pajak maupun di pihak wajib pajak.
2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan
konsumen, semakin ringan beban pajak yang dipikul, begitupun sebaliknya.
3. PPN sangat rawan terhadap upaya penyelundupan pajak akibat mekanisme
pengkreditan yang merupakan upaya memperoleh kembali pajak uang dibayar
pengusaha dalam bulan yang sama tanpa terlebih dahulu melalui prosedur
administrasi fiskus.
4. Konsekuensi dari kelemahan tersebut menuntut pengawasan yang lebih cermat
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya oleh administrasi pajak

2.3. TIPE PPN

Ben Terra dalam bukunya Sales Taxation (1998 : 31-33) mengelompokkan VAT ke dalam 3
macam tipe VAT/PPN:
9
A. Consumption Type VAT
Pada tipe ini, pembelian barang modal tidak dikenakan pajak, baik karena
pembebasan maupun dengan pengkreditan. Karena itu, atas PPN yang terlanjur ditagih
dapat langsung dikreditkan. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terbatas pada pembelian
barang konsumsi, yang biasanya dikonsumsi oleh konsumen akhir.
Semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk pembelian barang
modal dikurangkan dari perhitungan nilai tambah. Dasar perhitungannta terbatas pada
pembelian untuk keperluan konsumsi, sedangkan pembelian barang produksi dan barang
modal dikeluarkan. Karena pembelian barang modal dikeluarkan dari dasar pengenaan
pajak, maka tidak terjadi pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap barang modal.
Ada beberapa nilai positif dari tipe konsumsi ini:
1. Membantu likuiditas Perusahaan, karena seluruh pajak masukan atas pembelian BKP
yang digunakan dalam proses produksi dapat segera dikreditkan.
2. Menunjang iklim investasi yang sehat.
3. Mendorong pengusaha melakukan modernisasi atas mesin-mesin produksi secara
berkala karena pengenaan VAT tidak lebih dari satu kali.
4. Tidak menimbulkan efek pajak ganda.

B. Income Type VAT (Net Income Type)


Pada tipe ini, pengurangan VAT atas pembelian barang modal tidak dibolehkan
dalam masa pembelian barang tersebut. Sebagai gantinya, pengurangan dari biaya
penyusutan tahunan yang timbul dari pembelian barang modal tersebut dapat
diperkenankan. Pada tipe ini, PPN atas pembelian barang modal boleh dikreditkan
melalui penyusutan, yang ditentukan pada waktu menghitung hasil bersih dalam rangka
menghitung PPh. Oleh karena itu, dasar pengenaan PPN akan sama dengan dasar
pengenaan PPh.
Berikut kelemahan yang terdapat pada Income Type VAT, ini juga menjadi alasan
mengapa negara belum menerapkan VAT:
1. Kecemasan terhadap regresivitas.

10
2. Biaya administrasi yang cukup besar untuk membukukan transaksi penyusutan (Pajak
Masukan) atas pembelian barang modal secara teratur, dan khususnya
untukmemonitor tax refunds.
3. Kekhawatiran terjadinya peningkatan pengeluaran negara karena penerimaan pajak
mudah didapat.
4. Adanya potensi penggelapan pajak, antara lain:
- Yang timbul dari masalah transaksi pembelian barang modal, yang oleh
Perusahaan diakui sebagai pembelian suku cadang.
- Penyelewengan dalam faktur pajak, karena adanya kasus pajak fiktif.
5. Compliance cost, sebagai beban tambahan bagi wajib pajak.
6. Pengaruhnya pada harga-harga, khususnya bagi wajib pajak yang belum menjadi
pengusaha kena pajak (Non-PKP) sehingga VAT dijadikan elemen cost yang akan
membuat harga barang yang diproduksi menjadi lebih mahal.
7. Ketidakcocokan VAT dengan struktur pajak penjualan yang tradisional. Dalam hal
ini, pengusaha kecil atau Non-PKP tidak dilibatkan dalam mata rantai transaksi.
Padahal jumlah pedagang kaki lima sangat besar dan tidak terjangkau oleh system
pajak VAT.

C. Product Type VAT (Gross Product Type)


PPN atas pembelian barang modal tidak dapat dikreditkan. Jadi, pembelian barang
modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini
mengakibatkan barang modal dikenakan pajak dua kali, yaitu pada saat dibeli kemudian
yang kedua Ketika hasil produksi dijual kepada konsumen.
Berikut beberapa kelemahan Product Type VAT:
1. Barang modal menanggung beban pajak yang cukup berat karena pemajakan VAT
lebih daru satu kali.
2. Keengganan pengusaha mengadakan penggantian Kembali mesin-mesin produksi
dengan mesin-mesin yang berteknologi lebih modern. Mereka cenderung
memanfaatkan mesin-mesin produksi yang lama semaksimal mungkin sehingga

11
menghambat laju perkembangan produksi. Dampaknya, pengusaha berusaha
mengurangi pembelian barang modal.
3. PPN yang dibayar pada saat membeli barang modal akan menjadi elemen biaya
sehingga harga pokok produksi menjadi tinggi yang akhirnya bermuara pada harga
jual yang akan semakin tinggi pula.

2.4. PRINSIP PEMUNGUTAN DAN YURISDIKSI PEMAJAKAN PPN

A. Dasar Hukum
 Pasal 11

Ayat ( 1 )

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada dasarnya menganut prinsip akrual, artinya
terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat
penyerahan Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak, meskipun atas
penyerahan tersebut belum atau belum sepenuhnya diterima pembayarannya. Dalam
hal tertentu, Menteri Keuangan dapat menentukan saat lain sebagai saat terutangnya
pajak. Saat lain terutangnya pajak diperlukan dalam hal saat terutangnya pajak sukar
ditetapkan atau dapat menimbulkan ketidakadilan. Saat terutangnya pajak diperlukan
antara lain dalam hal terjadi perubahan ketentuan, yaitu untuk menentukan ketentuan
mana yang diberlakukan atas suatu transaksi yang ketentuannya
mengalami perubahan.

Ayat (2)

Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan
Nilai dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Oleh karena itu
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.

Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja yaitu pada waktu:

12
1. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah, atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

B. Prinsip Pemungutan dan Yurisdiksi Pemajakan PPN dalam Perdagangan


Internasional

Dalam mekanisme pemungutannya, PPN (VAT) mengenal dua prinsip.

a. Prinsip tempat asal (origin principle)

Prinsip yang dianut mendasarkan pada pemajakan terhadap ba-rang, di mana


barang tersebut diproduksi tapa memperhatikan tempat akhir barang tersebut
dikonsumsi. Prinsip in mengenakan pajak atas pertambahan nilai yang dibuat di
dalam negeri, sedangkan pertambahan nilai yang dibuat di luar negeri ridak
dikenakan.

Dengan kata lain:

transaksi ekspor dipungut PPN, sedangkan atas impor tidak dipungut PPN.

b. Prinsip tempat tujuan (destination principle)

Prinsip yang dianut mendasarkan pada pemajakan terhadap ba-rang, di mana


harang tersebut dikonsumsi tapa memperhatikan tempat asal barang tersebut
diproduksi. Prinsip in mengenakan pajak atas pertambahan nilai baik yang dibuat
di dalam negeri maupun di luar negeri.

Dengan kata lain:

Transaksi ekspor tidak dipungut PPN (PPN = 0%), sedangkan atas impor
dipungut PPN di negara tujuan ekspor.

Kedua prinsip tersebut sangat berpengaruh terhadap kedudukan PPN dalam


perdagangan internasional. Dalam hal ini, salah satu keunggulan dari PPN di bidang
perdagangan internasional adalah bersifat netral. Menurut Saroyo (1999), kaidah
dalam pembagian yurisdiksi pemajakan tersebut lazimnya bersifat Unilateral atau
sepihak, yakni semua impor barang dipajaki ole negara pengimpor barang dan semua

13
barang dibersihkan dari seluruh beban pajak yang mungkin pernah terakumulasi pada
mata rantai transaksi yang mendahului ekspor. Oleh karena itu, ketentuan hukum
yang digunakan untuk mendukung penerapan prinsip destinasi tersebut bukan
pembebasan pajak atas ekspor barang, melainkan pengenaan pajak 0% (zero rated)
atas pe-nyerahan barang.

C. Prinsip Pemungutan PPN di Indonesia

Pelaksanaan prinsip tempat tujuan (destination principle) dalam pera-turan perundang-


undangan perpajakan Indonesia terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) UU PPN 1984, yang
dalam penjelasan undang-undang tersebut menyatakan uraian sebagai berikut.

‘Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas kon-sumsi Barang Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu,

1. Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor;

2. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di
luar Daerah Pabean; atau

3. Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak
atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dan pemesan di
luar Daerah Pabean, dikenai Pajak Pertambahan Nilai de-ngan tarif 0% (nol persen).

2.5. KAIDAH/ASAS NETRALITAS PAJAK

Arti asas netral menurut :

1. John F. Due dalam bukunya Government Finance: An Economic Analysis yang dikutip
oleh Mansury, pajak itu seyogianya adalah netral, yaitu tidak memengaruhi pilihan
masyarakat untuk melakukan konsumsi dan tidak memengaruhi produsen untuk

14
menghasilkan barang dan jasa, dan juga jagan sampai mengurani semangat orang untuk
bekerja, sehingga mereka lebih memilih santai
2. John F. Due, pajak itu seyogianya dipungut tanpa memengaruhi efisiensi perekonomian
nasional atau yang menimbulkan inefisiensi sekecil mungkin
3. Clara Sullivan, netral berarti bahwa dalam melakukan kegiatan bisnis tidak berpengaruh
pada alokasi sumber daya ekonomi
4. Mansury, asas netralitas bertujuan menjaga jangan sampai pemungutan pajak itu
menghambat kemajuan ekonomi dan jangan sampai pajak itu mengurangi pertumbuhan
ekonomi serta jangan sampai pajak itu mengurani efisiensi perekonomian nasional

A. Internal Neutrality

Internal neutrality berkaitan dengan aspek nasional dari pengenaan sales tax
(PPN), maka external neutrality ditandai dengan subjek netralitas yang menjadi aspek
internasional. Internal Neutrality dibagi dalam 3 macam yaitu:

1. Legal Neutrality : pajak dimaksudkan untuk dikenakan atas belanja individu, maka
seharusnya tidak ada pembedaan/diskriminasi antara belanja untuk konsumsi barang
produk dalam negeri dan konsumsi barang asal impor
2. Economic Neutrality : Menurut Ben Terra, sales tax dianggap netral jika pajak tidak
menggangu alokasi optimal dari sarana produksi yang disebabkan oleh adanya perbedaan
tarif dalam sales tax. Mekanisme ini terganggu apabila terdapat penerapan beda tarif
dalam sales tax, lebih lanjut Terra menguraikan bahwa untuk mencapai netralitas
ekonomis, prinsip yang harus diperhatikan adalah selain dari tindakan yang disengaja
oleh pembuat undang2 untuk alasan politis/lainnya, pengenaan pajak seharusnya tidak
merusak kepentingan ekonomi, dan oleh sebab itu campur tangan dalam mekanisme
pasar harus seminimal mungkin.
3. The Competition Neutrality : menurut Terra, netralitas kompetisi didasarkan pada
hubungan dengan harga eceran. Ketika beban pajak tidak tergantung pada sejauh mana
integrasi vertikal/horizontal, tetapi dibentuk oleh persentase tetap yang sebelumnya dari
harga eceran, konsentrasi di bisnis akan tidak menguntungkan. Jadi jika sales tax secara

15
hukum bersifat netral, kompetisi bisnis tidak akan terdistorsi. Pajak akan netral dalam
kompetisi tersebut.

B. External Neutrality
Semakin luas cakupan pengertian dari barang kena pajak yang diterapkan pada
transaksi impor maupun ekspor, semakin pajak itu netral terhadap perdagangan
internasional. Setiap pengecualian impor barang dari pengenaan pajak pada dasarnya
mengganggu netralitas pajak thd perdagangan internasional, karena negara pengimpor
menempatkan diri sebagai tax heaven country vis-à-vis negara-negara pengekspor
barang. Setiap pengecualian barang ekspor dari pengenaan pajak dgn tarif 0% pada
dasarnya juga mengganggu netralitas pajak ini thd perdagangan internasional karena
terdapat tekanan terhadap daya saing barang ekspor di pasar internasional yang berasal
dari beban Pajak Masukan yang tidak dapat dinetralisasi di perbatasan daerah pabean

Asas destinasi/tujuan memiliki keterkaitan dgn external neutrality, merupakan ciri


dan sifat dasar dari hampir seluruh sistem Pajak Atas Konsumsi di dunia. Asas ini
mempertahankan sifat-sifat nondiskriminasi, netralis internal dan netralis eksternal. Oleh
karena itu dlm pelaksanaannya memerlukan syarat

 adanya suatu kawasan pengenaan pajak yang disebut Daerah Pabean


 penggunaan tarif tunggal dan sifat pajak yang non kumulatif
 adanya perlakuan pajak yang sama antara produk impor dengan produk dalam
negeri
 adanya pembebasan atas pajak (Ekspor) barang hasil produksi dalam negeri yang
dikirim ke luar negeri dan pajak yang sudah dibayar atas perolehan barang dari
dalam negeri atau dari impor yang dipakai dalam proses produksi barang yang
diekspor dikembalikan, juga sebagai wujid netralitas eksternal dalam urusan cross
border tax

Netralitas eksternal adalah fungsi keseimbangan dari perlakuan pajak (atas


konsumsi) di wilayah tax frontiers, yaitu pengenaan pajak atas impor harus sama besar

16
dengan pajak yang dikenakan atas produk dalam negeri, dan pengembalian pajak atas
ekspor adalah sebesar pajak yang telah dibayar atas perolehan barang yang diekspor.

Masalah tax frontiers disebut juga sbg pajak lintas batas negara (Cross border
tax). Masalah tax frontiers timbul karena negara di dunia selain mengenakan pajak atas
penghasilan juga mengenakan pajak atas pengeluaran utk konsumsi sebagai pelengkap
pajak atas penghasilan dalam sistem perpajakan masing2 negara. Hampir setiap negara
sepakat untuk menerapkan asa yang mendukung sifat netralis internal untuk transaksi
produk domestik dan produk impor di dalam negeri, dan menjaga sifat netralitas eksternal
dengan cara tidak mengenakan pajak atas ekspor dan bahkakn mengembalikan pajak
yang sudah terkena didalam negeri atas produk yang diekspor tersebut. Asas ini disebut
asas destinasi/ tujuan.

Menurut Terra, external neutrality adalah fungsi netral di wilayah perbatasan


pajak (tax frontiers): pajak atas impor tidak melebihi pajak internal pada barang-barang
domestik; dan rabat ekspor harus benar-benar telah dikenakan

Menurut Suparmoko terdapat 5 keuntungan sistem Pajak Pertambahan Nilai dan 3


diantaranya merupakan elemen-elemen pokok yang menyangkut netralitas

1. Netral dalam persaingan dalam negeri


Menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam sistem perdagangan dalam negeri,
karena perusahaan kecil dan menengah dapat bersaing dalam kondisi yang sama
dengan perusahaan-perusahaan besar yang mempunyai sifat produksi terpadu secara
vertical
2. Netral dalam perdagangan internasional
Netral dalam perdagangan internasional. Dalam hal ekspor, diberikan
pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu perolehan harga barang yang
diekspor; Sedangkan dalam hal impor, jumlah pajak yang dipungut sama dengan
jumlah pajak yang dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada
tingkat harga yang sama, karena itu menciptakan persaingan yang sehat untuk
keuntungan konsumen. (Dengan kata lain, terhadap barang ekspor dikenakan PPN
17
dengan tarif 0%, sedangkan terhadap barang import dikenakan PPN dengan tarif
10%. Ini adalah makna dari Destination principle)
3. Netral bagi pola konsumsi

PPN yang telah dikenakan atas bahan baku dan barang modal yang dipakai dalam
proses produksi tidak merupakan unsur harga pokok yang dijual karena pada akhirnya
dapat diterima kembali oleh PKP yang bersangkutan dengan metode pengkreditan
Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran

2.6. PEMBUKUAN DAN PENCATATAN DALAM ADMINISTRASI PPN

Menurut Pasal I angka 29 UU KUP, pembukuan adalah satu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan dara dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa, yang ditutupp dengan menyusun laporan keuangan berupa
neraca dan laporan laba ngi untuk periode tahun pajak tersebut, sedangkan pencatatan
adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau penghasilan bruto
sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk penghasilan yang
bukan objek pajak dan/atau yang dikenakan pajak yang berufat final.

Beberapa hal yang penting diperhatikan dalam pelaksanaan pembukuan atau


pencatatan dalam mengadministrasikan PPN adalah sebagai berikut :

1. Syarat-Syarat Penyelenggaran Pembukuan/Pencatatan


Kewajiban Pembukuan/Pencatatan bagi wajib pajak tersebut di atur dalam Pasal 28 UU
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpa jakan (KUP), dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebagai berikut.
a. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengaan memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indo- nesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam
bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.

18
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau
stelsel kas. Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode
pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggese ran laba atau
rugi.

Prinsip taat asas dalam metode pembukuan, misalnya dalam penerapan stelsel
pengakuan penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, atau metode
penyusutan dan amortisasi.

2. Penyimpanan Buku, Catatan, dan Dokumen yang Menjadi Dasar Pembukuan atau
Pencatatan
Ada tiga hal yang harus dilakukan oleh wajib pajak dalam p penyelenggaraan
penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (11) UU KUP.
a. Mulai 1 Januari 2008, buku, catatan, dan dokumen termasuk yang
diselenggarakan secara program aplikasi online maupun hasil pengolahan data
elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama
10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal
Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Hal itu
dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat
ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap
ada dan dapat segera disediakaan.
b. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang
mengatur mengenai baras daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
c. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program
aplikasi online harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan,
kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
3. Wajib Pajak yang Dikecualikan dari Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan

19
Wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi
wajib melakukan pencatatan:
a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto; dan
b. Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas.
4. Wajib Pajak yang Wajib Menyelenggarakan Pembukuan
a. Wajib Pajak Badan (Pasal 28 UU ayat (1) UU KUP)
b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
(Pasal 28 ayat (1) UU KUP), kecuali Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 .
c. Wajib pajak yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menghitung penghasilan nero: menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, di- anggap memilih menyelenggarakan pembukuan (Pasal 14 UU ayat (4)
UU PPh).
5. Wajib Pajak yang Wajib Menyelenggarakan Pencatatan
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 UU PPh ayat (1)-(3), bahwa :
a. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
b. Wajib pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan.

20
c. Wajib pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, termasuk
wajib pajak yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan
pencatatan atau pem- bukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-
bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan cara lain
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan
Adapun tujuan Penyelenggaraan Pembukuan/Pencatatan:
a. Untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan usaha/ pekerjaan bebas
b. Untuk pengisian SPT Tahunan PPh Badan,
c. Untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak;
d. Untuk penghitungan PPN dan PPnBM.
7. Kerahasiaan Pembukuan
a. Untuk mencegah adanya dalih bahwa wajib pajak yang sedang diperiksa terikat
pada kerahasiaan sehingga pembukuan, ca- tatan, dokumen serta keterangan-
keterangan lain yang diper- lukan tidak dapat diberikan oleh wajib pajak, maka
Pasal 29 ayat (4) KUP menegaskan apabila dalam mengungkapkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh
suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan (lihat Pasal 29 ayat (4)
UU KUP).
b. Dalam hal pihak-pihak ketiga (yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak
yang dilakukan pemeriksaaan pajak, pe- nagihan pajak, atau penyidikan tindak
pidana di bidang perpajakan) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk
keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank,
kewajiban meraha- siakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Ke-
uangan (lihat Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
8. Sanksi Tidak Menyelenggarakan Pembukuan

21
Menurut Pasal 13 ayat (1) huruf d, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam
hal apabila Kewajiban Pembukuan/Pencatatan tidak dipenuhi sehingga tidak dapat
diketahui besamya pajak yang terutang.
a. Bagi warb pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP atau pada saat diperiksa tidak memenuhi
permintaan sebagaimana di maksud dalam Pasal 29 UU KUP sehingga Direktur
Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang,
Direktur Jenderal Pajak berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar dengan penghitungan secara jabatan, yaitu penghitungan pajak didasarkan
pada data yang tidak hanya diperoleh dari wajib pajak saja.
b. Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak
Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak
c. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara
jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak dibebankan kepada wajib pajak. Sebagai
contoh:
1) Pembukuan tidak lengkap sehingga penghitungan laba rugi atau peredaran
tidak jelas;
2) Dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka
dalam pembukuan tidak dapat diuji; atau
3) Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui, besar
dugaan disembunyikannya dokumen atau data pendukung lain di suatu
tempat tertentu sehingga dari sikap demikian jelas wajib pajak telah tidak
menun- jukkan iktikad baiknya untuk membantu kelancaran ja- lannya
pemeriksaan.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak tidak Langsung yang dikenakan pada setiap
pertambahaan nilai atau transaksi penyerahan barang dan atau jasa kena pajak dalam
pendistribusiannya dari produsen dan konsumen. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta
karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam
menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Mekanisme cara menghitung pajak pertambahan nilai adalah pemungutan, penyetoran,
dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah
tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif
yang berbeda.

B. SARAN
Sudah saatnya, kita sebagai warga negara Indonesia bersimpati dan berempati
terhadap pentingnya pajak untuk pertumbuhan dan pembangunan Indonesia. Dengan
taatnya masyarakat membayar pajak, maka akan tercipta sarana umum yang baik dan
nyaman digunakan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairil. “Pedoman Lengkap Pajak Pertambahan Nilai.” Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
(2016)

Indonesia, Pemerintah Republik. “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.” Undang-
Undang nomor 28 (2007)

Indonesia, Pemerintah Republik. “Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa dan Penjualan
atas barang Mewah” Undang-Undang nomor 11 (1994)

24

Anda mungkin juga menyukai