OLEH :
KELAS E
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSIRAS WIDYATAMA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dyah
Purnamasari, Dr.,S.E.,M.Si.,Ak., C.A. pada mata kuliah Perpajakan Lanjutan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep Dasar Pajak
Pertambahan Nilai bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang……………………………………………………………….
1
1.
Rumusan Masalah…………………………………………………………….
2
1.
Tujuan Makalah………………………………………………………………..
3
1.
Manfaat Makalah………………………………………………………………
4
BAB II PEMBAHASAN
2.
Pengertian Pertambaha Nilai ……………………………………………………….
1
2.
Karakteristik, Tipe, dan Model Perhitungan PPN……………………………………
2
2.
Subjek dan Objek PPN……………………………………………………………….
3
2.
Pengusaha Kena Pajak………………………………………………………………
4
2.
Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak………………………………………………
5
Faktur
2.
Pajak………………………………………………………………………………………
6
…
BAB III PENUTUP
3.
Kesimpulan…………………………………………………………………
1
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka masalah
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengeetahui PPnBM dan mekanismenya
2. Untuk mengetahui PPN perusahaan retail dan perusahaan tertentu lainnya
3. Untuk mengetahui PPN yang dihitung dengan cara khusus
4. Untuk mengetahui perhitungan PPnBM dan PPN khusus
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah agar dapat menambah dan memperluas
wawasan pengetahuan mengenai PPnBM, khususnya mekanismenya serta perhitungan
PPnBM dan PPN khusus.
BAB 2
PEMBAHASAN
PPnBM adalah singkatan dari pajak penjualan atas barang mewah. Pajak ini
biasanya dikenakan pada barang-barang yang tergolong mewah dan dilaporkan
dengan menggunakan SPT Masa PPN 1111.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan
atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
PPnBM adalah kepanjangan dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak
barang mewah PPnBM yakni pungutan tambahan setelah atau di samping Pajak
Pertambahan Nilai atau PPN (PPN dan PPnBM). Itu sebabnya, dalam pengertian
PPnBM, pajak ini bukanlah pajak yang dapat dikreditkan sebagaimana yang
berlaku pada pajak PPN. Merujuk pada Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2009, tarif
PPnBM yang paling rendah ditetapkan sebesar 10 persen dan paling tinggi 200
persen. Jika pajak PPN dipungut pada setiap lini transaksi alias dikenakan pada
setiap pertambahan nilai dari barang atau dagang (setiap transaksi), maka pajak
PPnBM artinya pajak yang hanya dipungut sekali saja.
PPnBM atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak
yang dikenakan pada suatu Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
Pada penyerahan BKP yang tergolong mewah, pungutan yang dikenakan adalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM.
Pemungutan PPnBM hanya dilakukan sekali, yakni saat penyerahan oleh
pabrikan atau produsen BKP mewah ke konsumen dan saat impor BKP mewah
tersebut.
Mekanisme pemungutan PPnBM pun sejatinya sama dengan pemungutan PPN,
dimana Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan BKP yang tergolong
mewah menerbitkan faktur pajak dan melaporkan pada Surat Pemberitahuan
(SPT) masa pajak.
Mekanisme Pemungutan PPnBM Secara umum, mekanisme pemungutan
PPnBM terbagi menjadi dua:
Faktur pajak yang diterbitkan oleh oleh bendaharawan pemerintah dan KPPN
ini dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk bendahara, untuk arsip PKP
rekanan dan untuk KPP melalui bendahara pemerintah.
PKP rekanan kemudian mengisi SSP dengan membubuhkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan identitas PKP rekanan Pemerintah yang bersangkutan,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atau
KPKN sebagai penyetor atas nama PKP rekanan pemerintah.
Pada lembar faktur pajak oleh bendaharawan pemerintah yang melakukan
pemungut wajib dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan
ditandatangani bendaharawan pemerintah.
Sementara, apabila pemungutan oleh bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat
dalam rangka 5. Setelah PPnBM disetor di bank persepsi atau kantor pos, lembar-
lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
Pada faktur pajak tersebut, kontraktor atau pemegang kuasa yang melakukan
pemungutan wajib membubuhkan cap yang menunjukan tanggal penyetoran
PPnBM dan kemudian menandatangani.
Sementara, untuk SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas
rekanan, namun yang menandatangani SSP adalah kontraktor atau pemegang
kuasa/pemegang izin selaku penyetor PPN/PPnBM atas nama rekanan.
SSP-nya sendiri dibuat lima rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam setiap proses produksi maupun distribusi.
PPN dibebankan atas transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Badan yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197 Tahun 2013 terdapat aturan yang mengatur
tentang penyesuaian batasan omset pengusaha kecil untuk dikenakan PPN. Adapun
batasan omset yang dimaksud adalah sebesar Rp 4,8 milyar. Perusahaan retail yang
memiliki omset di bawah Rp 4,8 milyar dalam satu tahun tidak wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga tidak wajib
memungut, menyetir, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan
BKP atau JKP yang dilakukannya.
Perusahaan retail yang tergolong sebagai PKP (nilai omset per tahun lebih dari R4,8
milyar) berkewajiban untuk membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP atau
JKP. Faktur pajak yang dimaksud dapat berupa bon konstan, faktur penjualan, cash
register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau penyerahan lainnya yang
sejenis. Dengan karakteristik perusahaan retail yang memiliki jumlah transaksi
penyerahan barang yang relatif banyak namun dengan nilai relatif kecil menyebabkan
perusahaan retail akan mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP
lainnya dalam pembuatan dan pengelolaan faktur pajak. Oleh karena itu, perusahaan
retail dapat mengikuti aturan khusus yang memungkinkan untuk menerbitkan faktur
pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual
dalam setiap transaksinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20
Ayat (1) PP Nomor I tahun 2012.
Dalam sistem with holding tax, pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk
melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang
dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas negara.
Dalam keberlangsungannya, perusahaan retail skala besar juga tidak terlepas dari urusan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) secara with holding. Misalnya,
untuk pembayaran kepada penyedia jasa legal, akuntansi, dan lain sebagainya.
Perusahaan retail harus memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah imbalan
bruto tidak termasuk PPN yang dibayarkan kepada penerima jasa. Perusahaan retail juga
harus memotong PPh pasar 21 atas pembayaran gaji kepada karyawan yang besar
penghasilannya telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar
Rp54 juta per tahunnya. Selain itu, ada juga pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2) atas
pembayaran biaya sewa gudang dan toko sebesar 10% dari jumlah bruto biaya sewa.
Belakang ini, perusahaan retail seperti mini market juga menyediakan layanan
layaknya kafe, yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman, serta
menyediakan tempat atau ruangan bagi pelanggannya untuk menikmati makanan atau
minuman yang disajikan. Mini market dengan layanan tersebut masuk dalam kategori
convenience store, sehingga akan digolongkan sebagai kafetaria. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
convenience store digolongkan sebagai wajib pajak restoran. Dengan demikian, atas
penjualan berbagai makan dan minumal yang dijual oleh convenience store tersebut
dikenakan pajak restoran, serta tidak lagi dikenakan PPN. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam UU PPN Pasal 4A Ayat 2.
Semua perusahaan baik itu berbentuk perusahaan perorangan, badan usaha, ataupun
badan hukum, apabila telah memiliki NPWP maka sudah melekat kewajiban perpajakan
pada perusahaan tersebut. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
(“UU No.6/1983”), yang menyatakan bahwa:
”Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan
jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Setiap perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
wajib melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN merupakan suatu
pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh pribadi, badan atau pemerintah.
Setiap penyerahan barang atau jasa kena pajak yang dilakukan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia seperti transaksi jual beli, impor dan ekspor, wajib dipungut PPN.
Tarif PPN untuk penyerahan barang atau jasa kena pajak di dalam negeri seperti
transaksi jual-beli dan impor adalah sebesar 10%, sedangkan untuk ekspor adalah
sebesar 0%.
Pengenaan PPN adalah dengan cara mengalikan tarif dengan harga jual untuk barang
atau penggantian untuk jasa. Setiap perusahaan yang melakukan penyerahan barang
atau jasa kena pajak wajib menerbitkan faktur pajak yang merupakan bukti pungutan
PPN dengan menggunakan aplikasi E-Faktur.
Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :
1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
C. Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM
Contoh 1
PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang :
PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.
Contoh 2
PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”
PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.
Contoh 3
Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai
Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan
PPnBM yang terutang adalah :
PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan
bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP
“D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun
dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.
Contoh 6
Bapak Ahmad merupakan seorang pengusaha di bidang produksi film, pada suatu saat
beliau membeli sebuah mobil sport mewah dengan harga Rp900.000.000. Berdasarkan
DPP, mobil tersebut terkena tarif PPnBM sebesar 40%. Lalu, berapakah nilai uang yang
harus dibayarkan Bapak Ahmad untuk membawa masuk mobilnya ke Indonesia?
3.1 Kesimpulan
A