Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH PERPAJAKAN LANJUTAN

PPNBM DAN PPN KHUSUS

DOSEN PENGAMPU : Dyah Purnamasari, Dr.,S.E.,M.Si.,Ak., C.A.

OLEH :

Santi Mita Niar (0119101107)

Verawati Febriani Sasmita (0119101115)

Sevila Anggraeni (0119101119)

Mutiara Nur Insani (0119101124)

Shirley Martini (0119101130)

Raden Arief Nizam Kamil (0119101048)

Shania Tilavany Gultom (0119101061)

KELAS E

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSIRAS WIDYATAMA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu Dyah
Purnamasari, Dr.,S.E.,M.Si.,Ak., C.A. pada mata kuliah Perpajakan Lanjutan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep Dasar Pajak
Pertambahan Nilai bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dyah Purnamasari, Dr.,S.E.,M.Si.,Ak., C.A.


selaku dosen mata kuliah Perpajakan Lanjutan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Mei 2021 

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..
DAFTAR ISI………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang……………………………………………………………….
1
1.
Rumusan Masalah…………………………………………………………….
2
1.
Tujuan Makalah………………………………………………………………..
3
1.
Manfaat Makalah………………………………………………………………
4
BAB II PEMBAHASAN
2.
Pengertian Pertambaha Nilai ……………………………………………………….
1
2.
Karakteristik, Tipe, dan Model Perhitungan PPN……………………………………
2
2.
Subjek dan Objek PPN……………………………………………………………….
3
2.
Pengusaha Kena Pajak………………………………………………………………
4
2.
Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak………………………………………………
5
Faktur
2.
Pajak………………………………………………………………………………………
6

BAB III PENUTUP
3.
Kesimpulan…………………………………………………………………
1
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 


Pajak merupakan sumber penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber
migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian itu pajak merupakan penerimaan
strategis yang dikelola dengan baik. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi
penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen
Keuangan Republik Indonesia.
PPN merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan/atau
jasa. Meskipun pengenaannya dapat dilakukan pada setiap mata rantai penyerahan
dalam rangkaian produksi, distribusi maupun pemasaran barang dan/atau jasa,
penanggung PPN yang sebenarnya adalah konsumen akhir dari barang dan/atau jasa
tersebut. Pengenaan PPN yang dilakukan pada setiap mata rantai penyerahan dalam
rangkaian produksi, distribusi, maupun pemasaran barang dan/atau jasa tersebut pada
dasarnya hanya merupakan mekanisme, dimana untuk menjaga kenetralannya, atas PPN
yang dibayar maupun dipungut pada mata rantai-mata rantai sebelum suatu barang
dan/atau jasa mencapai konsumen akhir dilakukan set-off (dikreditkan). Dengan kata
lain, set-off tersebut merupakan mekanisme untuk menjaga netralitas PPN sepanjang
jalur produksi, distribusi maupun pemasaran barang dan/atau jasa yang dikenai PPN
sehingga secara ekonomis tidak terjadi pengenaan pajak secara berganda. Dengan
mekanisme tersebut hanya konsumen akhirlah yang benar-benar menanggung PPN yang
terutang atas konsumsi barang dan/atau jasa. 
Latar belakang diperlakuannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah setiap
pemungutan pajak termasuk pemungutan pajak Pertambahan Nilai diharapkan
mencerminkan keadialan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai
sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut
maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pungutan pajak mengurangi penghasilan atau kekayaan individu tetapi sebaliknya
merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian di kembalikan lagi kepada
masyarakat, melaui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang
akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat, baik
yang membayar maupun tidak. Pajak mempunyai peran yang sangat penting bagi
kehidupan bernegara, khususnya didalam pembangunan karena pajak merupakan
sumber penghasilan negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran
pembangunan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka masalah
dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud PPnBM? Dan Bagaimana mekanismenya? 


2. Bagaimana PPN untuk perusahaan retail dan perusahaan tertentu lainnya? 
3. Bagaimana PPN yang dihitung dengan cara khusus? 
4. Bagaimana perhitungan PPnBM dan PPN khusus? 

1.3 Tujuan 
1. Untuk mengeetahui PPnBM dan mekanismenya 
2. Untuk mengetahui PPN perusahaan retail dan perusahaan tertentu lainnya 
3. Untuk mengetahui PPN yang dihitung dengan cara khusus 
4. Untuk mengetahui perhitungan PPnBM dan PPN khusus 

1.4 Manfaat 
Adapun manfaat dari makalah ini adalah agar dapat menambah dan memperluas
wawasan pengetahuan mengenai PPnBM, khususnya mekanismenya serta perhitungan
PPnBM dan PPN khusus. 
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 PPnBM, Definisi dan Mekanismenya


2.1.1 Definisi PPnBM

PPnBM adalah singkatan dari pajak penjualan atas barang mewah. Pajak ini
biasanya dikenakan pada barang-barang yang tergolong mewah dan dilaporkan
dengan menggunakan SPT Masa PPN 1111.
Berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia, Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang
tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan
atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
PPnBM adalah kepanjangan dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pajak
barang mewah PPnBM yakni pungutan tambahan setelah atau di samping Pajak
Pertambahan Nilai atau PPN (PPN dan PPnBM). Itu sebabnya, dalam pengertian
PPnBM, pajak ini bukanlah pajak yang dapat dikreditkan sebagaimana yang
berlaku pada pajak PPN. Merujuk pada Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2009, tarif
PPnBM yang paling rendah ditetapkan sebesar 10 persen dan paling tinggi 200
persen. Jika pajak PPN dipungut pada setiap lini transaksi alias dikenakan pada
setiap pertambahan nilai dari barang atau dagang (setiap transaksi), maka pajak
PPnBM artinya pajak yang hanya dipungut sekali saja.

2.1.2 Mekanisme PPnBm

PPnBM atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak
yang dikenakan pada suatu Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
Pada penyerahan BKP yang tergolong mewah, pungutan yang dikenakan adalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan PPnBM.
Pemungutan PPnBM hanya dilakukan sekali, yakni saat penyerahan oleh
pabrikan atau produsen BKP mewah ke konsumen dan saat impor BKP mewah
tersebut.
Mekanisme pemungutan PPnBM pun sejatinya sama dengan pemungutan PPN,
dimana Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan BKP yang tergolong
mewah menerbitkan faktur pajak dan melaporkan pada Surat Pemberitahuan
(SPT) masa pajak.
Mekanisme Pemungutan PPnBM Secara umum, mekanisme pemungutan
PPnBM terbagi menjadi dua:

 Mekanisme pemungutan PPnBM oleh PKP penjual kepada PKP pembeli


 Mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pemungutan PPnBM adalah


sama dengan PPN, dimana PKP penjual yang menyerahkan BKP yang tergolong
mewah menerbitkan faktur pajak kepada PKP pembeli dan melaporkan pungutan
PPN dan PPnBM yang dilakukan dalam SPT masa pajak. Faktur pajak yang
digunakan untuk transaksi ini adalah faktur pajak dengan kode 01.
Sementara, mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM,
yakni bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang
terutang oleh PKP atas penyerahan BKP kepada pemungut PPN/PPnBM, terdiri
atas tiga yakni:

 Mekanisme pemungutan PPN oleh bendaharawan pemerintah dan Kantor


Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN).
 Mekanisme pemungutan PPN oleh pemegang kuasa/izin atau kontraktor.
 Mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

I. Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Bendaharawan Pemerintah dan KPPN

Mekanisme pemungutan PPnBM oleh bendaharawan pemerintah dan KPPN


adalah sebagai berikut:
i. PKP rekanan pemerintah membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak
(SSP) pada saat menyampaikan tagihan kepada bendaharawan Pemerintah
atau KPKN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
ii. Rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 02.
iii. Apabila pembayaran diterima sebelum penagihan atau sebelum penyerahan
BKP, faktur pajak wajib diterbitkan pada saat pembayaran diterima.
iv. PKP rekanan mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur
pajak.

Faktur pajak yang diterbitkan oleh oleh bendaharawan pemerintah dan KPPN
ini dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk bendahara, untuk arsip PKP
rekanan dan untuk KPP melalui bendahara pemerintah.
PKP rekanan kemudian mengisi SSP dengan membubuhkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) dan identitas PKP rekanan Pemerintah yang bersangkutan,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atau
KPKN sebagai penyetor atas nama PKP rekanan pemerintah.
Pada lembar faktur pajak oleh bendaharawan pemerintah yang melakukan
pemungut wajib dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan
ditandatangani bendaharawan pemerintah.
Sementara, apabila pemungutan oleh bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat
dalam rangka 5. Setelah PPnBM disetor di bank persepsi atau kantor pos, lembar-
lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:

 Lembar ke-1, untuk PKP rekanan.


 Lembar ke-2, untuk KPP melalui KPPN.
 Lembar ke-3, untuk PKP rekanan guna dilampirkan pada SPT masa pajak.
 Lembar ke-4, untuk bank persepsi atau kantor pos atau pertinggal untuk
KPPN.
 Lembar ke-5, untuk arsip bendahara.

II. Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama


Mekanisme pemungutan PPnBM oleh kontraktor kontrak kerja sama adalah
sebagai berikut:

i. Rekanan membuat faktur pajak pada saat pemungutan


ii. Rekanan membuat faktur pajak dengan kode faktur 030
iii. Faktur pajak dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk kontraktor
atau pemegang kuasa, untuk rekanan dan untuk kontraktor atau pemegang
kuasa yang akan dilampirkan dalam SPT masa pajak.

Pada faktur pajak tersebut, kontraktor atau pemegang kuasa yang melakukan
pemungutan wajib membubuhkan cap yang menunjukan tanggal penyetoran
PPnBM dan kemudian menandatangani.
Sementara, untuk SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas
rekanan, namun yang menandatangani SSP adalah kontraktor atau pemegang
kuasa/pemegang izin selaku penyetor PPN/PPnBM atas nama rekanan.
SSP-nya sendiri dibuat lima rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:

i. Lembar kesatu untuk rekanan.


ii. Lembar kedua untuk KPPN melalui bank persepsi atau kantor pos
iii. Lembar ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT masa pajak.
iv. Lembar keempat untuk bank persepsi atau kantor pos.
v. Lembar kelima untuk kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin yang
dilampirkan pada SPT masa pajak bagi pemungut PPN/PPnBM.

2.2 PPN untuk perusahaan retail dan perusahaan lainnya

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam setiap proses produksi maupun distribusi.
PPN dibebankan atas transaksi jual beli barang atau jasa yang dilakukan oleh Wajib
Pajak Badan yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197 Tahun 2013 terdapat aturan yang mengatur
tentang penyesuaian batasan omset pengusaha kecil untuk dikenakan PPN. Adapun
batasan omset yang dimaksud adalah sebesar Rp 4,8 milyar. Perusahaan retail yang
memiliki omset di bawah Rp 4,8 milyar dalam satu tahun tidak wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga tidak wajib
memungut, menyetir, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan
BKP atau JKP yang dilakukannya.
Perusahaan retail yang tergolong sebagai PKP (nilai omset per tahun lebih dari R4,8
milyar) berkewajiban untuk membuat faktur pajak untuk setiap penyerahan BKP atau
JKP. Faktur pajak yang dimaksud dapat berupa bon konstan, faktur penjualan, cash
register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau penyerahan lainnya yang
sejenis. Dengan karakteristik perusahaan retail yang memiliki jumlah transaksi
penyerahan barang yang relatif banyak namun dengan nilai relatif kecil menyebabkan
perusahaan retail akan mengalami kesulitan apabila diperlakukan sama seperti PKP
lainnya dalam pembuatan dan pengelolaan faktur pajak. Oleh karena itu, perusahaan
retail dapat mengikuti aturan khusus yang memungkinkan untuk menerbitkan faktur
pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual
dalam setiap transaksinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20
Ayat (1) PP Nomor I tahun 2012.
Dalam sistem with holding tax, pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk
melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang
dibayarkan kepada penerima penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas negara.
Dalam keberlangsungannya, perusahaan retail skala besar juga tidak terlepas dari urusan
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) secara with holding. Misalnya,
untuk pembayaran kepada penyedia jasa legal, akuntansi, dan lain sebagainya.
Perusahaan retail harus memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah imbalan
bruto tidak termasuk PPN yang dibayarkan kepada penerima jasa. Perusahaan retail juga
harus memotong PPh pasar 21 atas pembayaran gaji kepada karyawan yang besar
penghasilannya telah melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar
Rp54 juta per tahunnya. Selain itu, ada juga pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2) atas
pembayaran biaya sewa gudang dan toko sebesar 10% dari jumlah bruto biaya sewa.
Belakang ini, perusahaan retail seperti mini market juga menyediakan layanan
layaknya kafe, yang menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman, serta
menyediakan tempat atau ruangan bagi pelanggannya untuk menikmati makanan atau
minuman yang disajikan. Mini market dengan layanan tersebut masuk dalam kategori
convenience store, sehingga akan digolongkan sebagai kafetaria. Dengan berlakunya
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
convenience store digolongkan sebagai wajib pajak restoran. Dengan demikian, atas
penjualan berbagai makan dan minumal yang dijual oleh convenience store tersebut
dikenakan pajak restoran, serta tidak lagi dikenakan PPN. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam UU PPN Pasal 4A Ayat 2.
Semua perusahaan baik itu berbentuk perusahaan perorangan, badan usaha, ataupun
badan hukum, apabila telah memiliki NPWP maka sudah melekat kewajiban perpajakan
pada perusahaan tersebut. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana
Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009
(“UU No.6/1983”), yang menyatakan bahwa:
”Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan
jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.”
Setiap perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP),
wajib melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN merupakan suatu
pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh pribadi, badan atau pemerintah.
Setiap penyerahan barang atau jasa kena pajak yang dilakukan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia seperti transaksi jual beli, impor dan ekspor, wajib dipungut PPN.
Tarif PPN untuk penyerahan barang atau jasa kena pajak di dalam negeri seperti
transaksi jual-beli dan impor adalah sebesar 10%, sedangkan untuk ekspor adalah
sebesar 0%.
Pengenaan PPN adalah dengan cara mengalikan tarif dengan harga jual untuk barang
atau penggantian untuk jasa. Setiap perusahaan yang melakukan penyerahan barang
atau jasa kena pajak wajib menerbitkan faktur pajak yang merupakan bukti pungutan
PPN dengan menggunakan aplikasi E-Faktur.

2.3 PPN yang Dihitung dengan Cara Khusus (Bagian Mita)


2.4 Perhitungan PPnBM dan PPN
PPN dan PPnBM yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif Pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

A. Tarif PPN dan PPnBM


1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN sebesar 0% (sepuluh persen) diterapkan atas:
 ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Berwujud;
 ekspor BKP Tidak Berwujud; dan
 ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200%
(dua ratus persen).
4. Untuk PPnBM, tarifnya diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori yaitu:
 Tarif 10% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, alat rumah tangga,
hunian mewah, alat pendingin, televisi, minuman non-alkohol.
 Tarif 20% untuk kendaraan bermotor kategori tertentu, peralatan olahraga
impor, berbagai jenis permadani, alat fotografi dan barang sanitary.
 Tarif 25% untuk kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya
minibus, combi, pick up.
 Tarif 35% untuk minuman bebas alkohol, batu kristal, barang berbahan kulit
impor, barang pecah belah, bus.
5. Tarif PPnBM atas ekspor BKP yang tergolong mewah adalah 0% (nol persen).
B. Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang
terutang, berupa : Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai
lain yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
1. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP),
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP),ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang
yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
4. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
5. Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan
Pajak dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah sebagai berikut :

1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau
Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual
rata-rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga lelang;
9. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10 % (sepuluh persen) dari
jumlah yang ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
10. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
C. Contoh Cara Menghitung PPN dan PPnBM
 Contoh 1

PKP “A” menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 25.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang :

 PPN = 10% x Rp25.000.000,00


 PPN = Rp2.500.000,00

PPN sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “A”.

 Contoh 2

PKP “B” melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
sebesar Rp20.000.000,00
PPN yang terutang yang dipungut oleh PKP “B”

 PPN = 10% x Rp20.000.000,00


 PPN = Rp 2.000.000,00

PPN sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak “B”.

 Contoh 3

Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor
sebesar Rp15.000.000,00. PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai

 PPN = 10% x Rp15.000.000,00


 PPN = Rp 1.500.000,00
 Contoh 4
Pengusaha Kena Pajak “D” mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah
dengan Nilai Impor sebesar Rp 5.000.000,00 Barang Kena Pajak yang tergolong mewah
tersebut selain dikenai PPN juga dikenai PPnBM misalnya dengan tarif 20%.
Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:

 Dasar Pengenaan Pajak = Rp 5.000.000,00


 PPN = 10% x Rp5.000.000,00
 PPN = Rp 500.000,00
 PPnBM = 20% x Rp5.000.000,00
 PPnBM= Rp1.000.000,00

Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35%.
Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam harga
BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.
Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya, maka penghitungan PPN dan
PPnBM yang terutang adalah :

 Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00


 PPN = 10% x Rp50.000.000,00
PPN = Rp5.000.000,00
 PPnBM = 35% x Rp50.000.000,00
PPnBM= Rp17.500.000,00

PPN sebesar Rp500.000,00 yang dibayar pada saat impor merupakan pajak masukan
bagi PKP “D” dan PPN sebesar Rp5.000.000,00 merupakan pajak keluaran bagi PKP
“D”. Sedangkan PPnBM sebesar Rp1.000.000,00 tidak dapat dikreditkan. Begitu pun
dengan PPnBM sebesar Rp17.500.000,00 tidak dapat dikreditkan oleh PKP “X”.

 Contoh 6
Bapak Ahmad merupakan seorang pengusaha di bidang produksi film, pada suatu saat
beliau membeli sebuah mobil sport mewah dengan harga Rp900.000.000. Berdasarkan
DPP, mobil tersebut terkena tarif PPnBM sebesar 40%. Lalu, berapakah nilai uang yang
harus dibayarkan Bapak Ahmad untuk membawa masuk mobilnya ke Indonesia?

 PPN = Tarif PPN x (Harga Barang – PPnBM)


 PPN = 10% x (Rp900.000.000 – (Rp900.000.000 x 40%))
 PPN = 10% x (Rp900.000.000 – 360.000.000)
 PPN = 10% x Rp540.000.000 =Rp54.000.0000
Berarti total harga mobil yang harus dibayarkan Bapak Ahmad adalah:
Harga Mobil + PPN + PPnBM = Rp1.314.000.000
 Contoh 7

PT Irsyadin Jaya merupakan sebuah perusahaan yang memproduksi berbagai macam


barang elektronik mewah seperti AC dan lemari pendingin. Barang yang diproduksi di
sini termasuk dalam kategori barang mewah dengan tarif PPnBM sebesar 20%.
Pada bulan Desember tahun 2017, PT Irsyadin Jaya menjual lemari pendingin ke Toko
Ahmad dengan sebanyak 30 unit dengan harga jual per barang sekitar Rp6.000.000.
Lalu, berapakah nilai PPN dan PPnBm yang harus dipungut dan dibayarkan PT Irsyadin
Jaya ke pemerintah?

 PPN = Tarif PPN x (harga barang – PPNBM)


 PPN = 10% x ((30 x Rp6.000.000) – (harga barang total x 40%))
 PPN = 10 % x (Rp180.000.000 – (Rp180.000.000 x 40%))
 PPN = 10% x 108.000.000 = Rp10.800.000
Artinya, total pajak yang harus dibayar PT Irsyadin Jaya adalah Rp10.800.000.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
A

Anda mungkin juga menyukai