Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN PAJAK ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

Dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Perpajakan

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Dyah Purnamasari, S.E., M.Si., Ak., CA.

Oleh

KELOMPOK 4

Intan Mauludina

Rebecca Arlinda P I

Egi Renita

Vidia Julianti

Asep Abdul Majid

JURUSAN PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha ESA yang telah memberikan karunia
dan hikmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Manajemen Pajak atas Pajak Pertambahan Nilai”. Makalah ini
disusun sebagai salah satu tugas dalam menempuh dan menyelesaikan program
magister akuntansi di Universitas Widyatama Bandung
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis sangat membuka diri untuk kritik dan saran yang
membangun dalam perbaikan makalah ini. Akhir kata, besar harapan penulis agar
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Terima kasih.

Bandung, 30 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diberlakukan


oleh hampir seluruh negara didunia, masalah pajak adalah masalah negara dan setiap
orang yang hidup dalam negara harus berurusan dengan pajak sehingga setiap
anggota masyarakat perlu mengetahui bagaimana sistem perpajakan dinegaranya.
Pajak juga merupakan salah satu pemasukan kas negara yang berasal dari
masyarakat yang semakin besar pemasukan kas negara dalam bentuk pajak, semakin
baik pula bagi keuangan negara. Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia
dapat diklasifikasikan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.
Undang-undang yang mengatur tentang pajak di Indonesia adalah Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP). Dalam UU KUP Pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Pajak pusat melalui undang-undang yang wewenang pemungutannya ada
pada pemerintah pusat dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah pusat dan pembangunan pusat. Adapun pajak daerah yaitu pajak yang
dikelola oleh pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten / kota
membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan daerah provinsi maupun
kabupaten / kota. Salah satu pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat yaitu, Pajak
pertambahan nilai (PPN) yang merupakan pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak tidak langsung karena tidak
langsung dibebankan kepada penanggung pajak. Maksudnya pajak tersebut disetor
oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain,
penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia
tanggung. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-
faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan, dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa. Tarif Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena
pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada
penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP), melakukan penjualan atas barangnya
maka perusahaan tersebut secara otomatis memungut pajak keluaran (PPN
Keluaran). PPN Keluaran tersebut harus dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak
menjadi PPN terutang. Nilai PPN terutang berasal dari selisih PPN Keluaran dan
PPN Masukan yang dilaporkan. Ketika perusahaan membeli bahan baku ataupun
barang jadi dan barang lainnya yang diberlakukan sebagai Barang Kena Pajak (BKP)
maka perusahaan secara otomatis membayar pajak masukan (PPN Masukan).
Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta
pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut. Sehingga
terciptanya adu cerdas antara wajib pajak/konsultan pajak dengan pihak fiskus.
Sedikit saja pihak fiskus membuat peraturan yang tidak jelas, kurang lengkap atau
bahkan ada celah maka Wajib Pajak sudah bersiap untuk memanfaatkan.
Perencanaan dan Manajemen Pajak adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh setiap
pengusaha / perusahaan yang menginginkan adanya penghematan pajak. Karena
tujuan dari manajemen pajak yang bersifat ekonomis, efektif, dan efisien. Dengan
menyusun perencanaan dan manajemen pajak sejak dini perusahaan akan terhindar
dari segala hal yang mengakibatkan peningkatan beban pembayaran pajak. Salah
satunya adalah dengan melakukan manajemen pajak pada Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Dalam melakukan manajemen pajak yang harus diperhatikan ialah tidak
melanggar peraturan yang berlaku, secara bisnisreasonable, dan didukung dengan
bukti-bukti yang kuat.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha Kena Pajak


2.1.1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas
transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau
wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Maka, yang
berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para
Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah
Konsumen Akhir.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai dikenakan dan disetorkan oleh pengusaha
atau perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun beban PPN tersebut ditanggung oleh konsumen akhir. Sejak 1 Juli 2016,
PKP se-Indonesia wajib membuat faktur pajak elektronik atau e-Faktur untuk
menghindari penerbitan faktur pajak fiktif untuk pengenaan PPN kepada lawan
transaksinya.
2.1.1.1 Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau biasa disebut dengan Objek
PPN adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean
5. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan Ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2.1.1.2 Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai)
Tarif PPN menurut ketentuan Undang-Undang No. 42 tahun 2009 pasal 7,
yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP)
pada bab IV pasal 7 ayat (1) :
1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 11% (sepuluh persen).
2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12% paling lambat 1 januari 2025
3. Perubahan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) diatur dalam PP (bersama
DPR dalam RAPBN)

Kemudian pada undang-undang baru tersebut, disebutkan bahwa barang


kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakata banyak, jasa pelayanan kesehatan
medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, mendapatkan fasilitas pembebasan
PPN.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pihak yang wajib menyetor dan
melaporkan PPN. Setiap tanggal di akhir bulan adalah batas akhir waktu penyetoran
dan pelaporan PPN oleh PKP. Sesuai dengan ketentuan PMK No.197/PMK.03/2013,
suatu perusahaan atau seorang pengusaha ditetapkan sebagai PKP bila transaksi
penjualannya melampaui jumlah Rp 4,8 miliar dalam setahun.
Jika pengusaha tidak dapat mencapai transaksi dengan jumlah Rp 4,8 miliar
tersebut, maka pengusaha dapat langsung mencabut permohonan pengukuhan
sebagai PKP. Dengan menjadi PKP, pengusaha wajib memungut, menyetor dan
melaporkan PPN yang terutang. Dalam perhitungan PPN yang wajib disetor oleh
PKP, ada yang disebut dengan pajak keluaran dan pajak masukan.
Pajak keluaran ialah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya.
Sedangkan, pajak masukan ialah PPN yang dibayar ketika PKP membeli,
memperoleh maupun membuat produknya.

2.1.2. Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147 / PMK. 03/
2017 Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
menyatakan bahwa untuk mendukung program kemudahan dalam berusaha (ease of
doing business) oleh Pemerintah Indonesia, diperlukan penyederhanaan persyaratan
administrasi dalam rangka pendaftaran Wajib Pajak dan pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1984 dan
perubahannya. Pengusaha itu sendiri merupakan orang pribadi maupun badan dalam
bentuk apapun yang berkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang,
mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan,
memanfaatkan barang tak berwujud dari luar Daerah Pabean.
Pengusaha yang melakukan penyerahan yang merupakan objek yang sesuai
dengan Undang - undang PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Jadi, tidak semua pengusaha adalah PKP, kecuali jika pengusaha kecil
secara sukarela mengajukan dan memilih untuk menjadi PKP dengan alasan tertentu
agar usahanya bisa lebih berkembang.
2.1.2.1 Syarat Menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Dalam pengajuan pengukuhan sebagai PKP, terdapat syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh wajib pajak. Secara umum, syarat pengajuan/pengukuhan PKP adalah
sebagai berikut :
1. Memiliki pendapatan bruto (omzet) dalam 1 tahun buku mencapai Rp4,8
miliar.
2. Melewati proses survei yang dilakukan KPP atau KP2KP tempat pendaftaran.
3. Melengkapi dokumen dan syarat pengajuan PKP atau pengukuhan PKP.
Berikut ini ketentuan yang harus dipenuhi jika ingin mengajukan diri atau
perusahaan sebagai PKP:
1. Pengusaha secara pribadi maupun badan harus mendaftarkan diri terlebih
dahulu untuk mendapatkan Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
apabila omzet usahanya dalam 1 tahun telah mencapai lebih dari
Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2. Berdasarkan PMK Nomor 197/PMK.03/2013 disebutkan bahwa perusahaan
yang jumlah omzetnya belum atau tidak mencapai Rp4.800.000.000, maka
tidak diwajibkan untuk menjadi PKP dan akan dimasukan dalam klasifikasi
pengusaha kecil Non Pengusaha Kena Pajak (Non PKP). Kecuali dia dengan
sukarela mengajukan permohonan pengukuhan PKP dengan syarat yang
berlaku.
3. Jika PKP yang ternyata telah dikukuhkan memiliki total omzet usaha dalam 1
(satu) tahun di bawah Rp4.800.000.000, dapat mengajukan permohonan
pencabutan pengukuhan sebagai PKP (Pasal 7 PMK Nomor
197/PMK.03/2013 Tentang Perubahan Atas PMK Nomor 68/PMK.03/2010
Tentang Batasan Pengusaha Kecil PPN)

Maka, dapat disimpulkan bahwa untuk pengusaha yang memiliki omzet


hingga Rp4.800.000.000/tahun diwajibkan untuk mengajukan pengukuhan sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan, jika pengusaha yang dalam 1 tahun omzetnya di
bawah angka tersebut, maka pengusaha tersebut belum bisa memungut PPN dan
menerbitkan faktur pajak. Kecuali ia mengajukan permohonan pengukuhan sebagai
PKP dengan mengikuti syarat dan ketentuan yang diberlakukan pemerintah.
Selain harus memiliki omzet mencapai Rp4,8 miliar dalam 1 tahun,
pengusaha yang wajib mendapatkan pengukuhan PKP adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam
daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:
1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
2. Memungut pajak yang terutang.
3. Menyetorkan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) yang masih harus dibayar
dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang.
4. Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling
lambat akhir bulan berikutnya (SPT Masa PPN)
2.1.2.2 Dokumen dan Formulir Pendaftaran yang disiapkan
Sebelum mendapat pengukuhan PKP, seorang pengusaha atau wajib pajak
badan harus memenuhi syarat pengajuan PKP dan lolos dari survei yang dilakukan
KPP atau KP2KP. Untuk mendapat pengukuhan PKP dari Direktorat Jenderal Pajak,
seorang pengusaha/bisnis/perusahaan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan,
seorang pengusaha baik itu wajib pajak pribadi ataupun wajib pajak badan harus
memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai syarat menjadi PKP sebagai berikut:
1. Syarat objektif
Mengisi formulir pengajuan PKP (formulir di-cap jika permohonan adalah
badan usaha)
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Direktur atau Pemilik Usaha;
b. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Direktur atau Pemilik
Usaha;
c. Fotokopi NPWP perusahaan;
d. Fotokopi Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP);
e. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD) dan Tanda Daftar
Perusahaan (TDP);
f. Fotokopi akta perusahaan;
g. Surat kuasa bermaterai (jika pengurusan selain direktur atau pimpinan).
2. Syarat subjektif
Syarat subjektif dalam peraturan perpajakan merinci mengenai gambaran
kegiatan usaha, yakni sebagai berikut:
a. Laporan keuangan bulan terakhir (neraca atau laporan laba rugi)
b. Daftar aset perusahaan secara terperinci
c. Foto tempat kegiatan usaha
d. Denah lokasi kegiatan usaha
Selain syarat subjektif dan objektif formulir pendaftaran PKP yang perlu di
unduh terlebih dahulu, berikut ini rincian dokumen-dokumen lainnya yang harus
diajukan ke KPP untuk memenuhi syarat pengajuan PKP dan mendapat pengukuhan
PKP:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi
a. Fotokopi KTP bagi WNI atau fotokopi KITAS/KITAP bagi WNA
b. Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi berwenang
c. Surat keterangan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
2. Wajib Pajak Badan
a. Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian atau perubahan bagi
Wajib Pajak Badan dalam negeri atau surat keterangan penunjukan dari
kantor pusat bagi Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dilegalisasi oleh
pejabat yang berwenang.
b. Fotokopi Kartu NPWP salah satu pengurus atau fotokopi paspor dan
surat keterangan tempat tinggal dari pejabat pemerintah daerah sekurang-
kurangnya lurah atau kepala desa jika penanggung jawab perusahaan
adalah WNA.
c. Dokumen izin usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh instansi
berwenang.
d. Surat keterangan tempat kegiatan usaha yang diterbitkan dari Pejabat
Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
3. Wajib Pajak Badan Bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation)
a. Fotokopi Perjanjian Kerjasama / Akta Pendirian sebagai bentuk kerja
sama operasi (Joint Operation) yang dilegalisasi oleh pejabat yang
berwenang.
b. Fotokopi kartu NPWP masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi
(joint operation) yang diwajibkan untuk memiliki NPWP.
c. Fotokopi kartu NPWP orang pribadi salah satu pengurus perusahaan
anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation) atau fotokopi paspor
dalam hal penanggung jawab adalah WNA.
d. Dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi berwenang.
e. Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari Pejabat Pemerintah Daerah
sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa bagi Wajib Pajak Badan
dalam negeri maupun Wajib Pajak Badan asing.
4. Dokumen-dokumen lain yang biasanya disertakan adalah:
a. Bukti sewa / kepemilikan tempat usaha
b. Foto ruangan / tempat usaha
c. Peta lokasi
d. Spesimen penanda tangan faktur (form disediakan KPP) & fotokopi
penanda tangan faktur
e. Daftar harta / invetaris kantor
f. Laporan keuangan (neraca laba / rugi)
g. SPT Tahunan terakhir
Setelah mendapatkan pengukuhan PKP, wajib pajak perlu membuat Pajak
Masukan, Pajak Keluaran, e-Faktur pajak dan SPT Masa PPN, bayar PPN dan e-
filing PPN.
2.1.2.3 Penyebab Syarat Pengajuan PKP Ditolak
Dalam jangka waktu 3-5 hari setelah semua persyaratan dilengkapi dan
diajukan, petugas verifikasi akan melakukan survei atau verifikasi. Bila disetujui,
maka sekitar 1-2 hari sejak survei, surat pengukuhan PKP dapat diambil di KPP
tempat syarat pengajuan PKP diberikan.
Keputusan Permohonan Pengajuan PKP diterbitkan paling lambat 5 hingga
10 hari kerja setelah Bukti Penerimaan Surat diterbitkan. Tetapi ada kalanya,
pengajuan PKP ditolak karena:
1. Tidak memenuhi semua syarat pengajuan PKP.
2. Keraguan petugas atas keabsahan dan kelayakan perusahaan.
3. Pengusaha melakukan penyerahan BKP/JKP yang dikecualikan/bukan objek
PPN.
2.1.2.4 Keuntungan Menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha yang wajib menjadi PKP akan mendapatkan cukup banyak
kompensasi berupa hak yang bisa didapatkan oleh wajib pajak badan maupun wajib
pajak pribadi ketika mendapatkan status sebagai PKP. Tentu keuntungan yang
diberikan akan berdampak baik, asalkan pengusaha menjaga kewajiban pajaknya dan
menjalankan kewajibannya dengan baik. Berikut ini deretan keuntungan dan hak
sebagai PKP:
1. Wajib pajak dengan status PKP dapat menunjukkan bahwa pengelolaan
bisnisnya dilakukan secara legal hukum dan berjalan dengan baik.
2. Kredibilitas yang dimiliki perusahaan di dunia industri dapat dilihat jelas
karena status PKP menandakan Anda melakukan kewajiban perpajakan
dengan tertib.
3. Peluang kerja sama dengan bisnis besar pun terbuka lebar. Terutama
kesempatan dalam melakukan transaksi dengan bendaharawan pemerintah
sera mengikuti lelang yang diadakan oleh pemerintah.
4. Dapat meningkatkan efisiensi produksi karena secara ekonomis, beban
produksi dan investasi pada BKP/JKP yang dimiliki akan ditanggung oleh
konsumen akhir. Artinya, kestabilan ekonomi akan lebih terjamin dan
sirkulasi finansial akan semakin sehat.

2.2. Manajemen Perpajakan atas Faktur Pajak


(Teh Rebecca)

2.3. Manajemen Perpajakan atas Pemilihan Tempat Pajak Terutang


(Teh Vidia)

2.4. Ekualisasi dari Dasar Pengenaan Pajak PPN dan peredaran usaha
dalam PPh Badan
Secara terminologi, ekualisasi berasal dari kata equal yang bisa diartikan
sebagai proses untuk menamakan. Ekualisasi pajak merupakan suatu proses
untuk menyamakan atau mencari kesesuaian antara satu jenis pajak dengan
jenis pajak lainnya yang saling berhubungan.  Proses tersebut biasanya
dilakukan untuk menyamakan antara biaya atau pendapatan yang merupakan
objek pajak yang dicatat dalam laporan keuangan dengan biaya atau
pendapatan yang sudah dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) yang
sudah disampaikan ke kantor pajak.
Salah satu tujuan dilakukannya ekualisasi pajak adalah sebagai pembuktian
bahwa pelaporan SPT masa PPN dan SPT Masa PPh Pot/Put dengan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan sudah dilakukan dengan benar. Selain itu, dapat
juga menjadi persiapan apabila sewaktu-waktu dilakukan pemeriksaan oleh
kantor pajak, sehingga terhindar dari koreksi pajak. Adanya ekualisasi PPN
bertujuan untuk menghindari adanya pelaporan pajak yang tidak benar.
Sehingga, ketika terjadi pemeriksaan pajak, dan fiskus menemukan adanya
selisih yang terjadi dalam pelaporan SPT tahunan badan, perusahaan dapat
mengantisipasinya dengan bukti-bukti yang dibutuhkan sehingga perusahaaa
pun terhindar dari denda karena dianggap tidak membuat laporan.
Secara sederhana, ekualisasi penghasilan dan objek PPN ini didasarkan pada
perbandingan antara jumlah penghasilan yang ada di form 1771-I SPT
Tahunan PPh Badan dan jumlah satu tahun objek PPN dalam SPT Masa PPN.
Ketika fiskus melakukan ekualisasi penghasilan dan objek PPN,
kemungkinan akan terjadi selisih yang disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:
1. Adanya perbedaan waktu penerbitan faktur pajak dan pengakuan nota
retur/nota pembatalan.
2. Ditemukannya penghasilan PPh badan yang ternyata bukanlah objek
PPN.
3. DPP PPN tidak termasuk dalam PPh badan, misalnya:
4. Penyerahan antara cabang dan pusat-cabang.
5. Terjadinya kegiatan ekspor (perawatan di luar negeri dan
pengembalian peralatan sewa).
6. Pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma.
7. Pengalihan atau penjualan aktiva (Pasal 16D UU PPN).
8. Selisih kurs pencatatan pada pembukuan & penerbitan faktur pajak.
9. Pembayaran uang muka.
Tujuan dilakukannya ekualisasi pajak yaitu agar terhindar dari koreksi
pajak. Selain itu juga dalam rangka persiapan Wajib Pajak apabila dilakukan
pemeriksaan oleh KPP. Dilihat dari sisi Wajib Pajak, ekualisasi ini
merupakan bentuk tindakan preventif untuk menghadapi pemeriksaan pajak.
Ekualisasi juga bisa menjadi petunjuk bahwa kewajiban penyampaian SPT
Masa PPN dan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan telah dilakukan
dengan benar. Prosedur ekualisasi dapat ditempuh melalui beberapa cara
berikut ini:
1. Menentukan saldo-saldo atau pos yang akan dicocokkan.
2. Menggunakan saldo-saldo: Peredaran usaha dan penghasilan lain
dengan jumlah penyerahan menurut SPT Masa PPN, Peredaran usaha
dengan objek PPh Pasal 22 tentang kegiatan usaha di bidang lain,
Pembelian (bahan baku, barang jadi, atau aktiva) dengan dasar
pengenaan pajak PPN masukan, Pembelian dengan objek pemotongan
dan pemungutan pajak penghasilan dengan objek PPh Pemotong
Pemungutan, Objek pemotongan PPh dengan DPP PPN masukan,
Objek PPh Pasal 26 dengan menggunakan objek PPN jasa luar negeri,
Buku besar bank dengan rekening koran, dan lain sebagainya.
3. Memastikan pemfakturan antar waktu telah dilakukan secara tepat
waktu.

Secara umum, ekualisasi terbagi menjadi tiga berdasarkan objek pajak, yaitu:
1. Ekualisasi Peredaran Usaha antara SPT Tahunan PPh Badan dengan objek
Pajak (DPP Pajak Keluaran) di SPT masa PPN
Selisih Peredaran usaha di SPT Tahunan PPh Badan dengan DPP pajak
keluaran di SPT PPN merupakan koreksi yang sangat sering ditemukan
dalam pemeriksaan pajak. Selisih tersebut biasanya terjadi karena adanya
perbedaan pengakuan secara akuntasi maupun secara fiskal. Selisih
tersebut antara lain disebabkan oleh adanya penghasilan badan yang bukan
merupakan objek PPN, DPP PPN yang bukan merupakan penghasilan PPh
Badan, selisih kurs antara pencatatan dengan faktur pajak, pembayaran
uang muka, waktu penerbitan Faktur Pajak dengan pengakuan nota retur
atau nota pembatalan serta hal lain sesuai dengan kondisi perusahaan
wajib pajak.
2. Ekualisasi Harga Pokok Penjualan atau biaya di SPT Tahunan PPh Badan
dengan DPP Pajak Masukan di SPT masa PPN
Penghitungan Harga Pokok Penjualan (HPP) meliputi penghitungan saldo
awal persediaan barang ditambah dengan pembelian dikurangi saldo akhir
persediaan barang. Dalam melakukan ekualisasi HPP, hal yang biasanya
menjadi konsen adalah membandingkan jumlah PPN Masukan yang
dipungut oleh lawan transaksi sama dengan total pembelian baik itu bahan
baku maupun bahan jadi. Selain itu, dalam proses pemeriksaan akan
diperlukan juga pembuktian atau pengujian melalui dokumen faktur pajak
pembelian yang telah dipungut oleh lawan transaksi sebagai PPN masukan
yang sudah dilaporkan dalam SPT PPN.
3. Ekualisasi Biaya di SPT Tahunan PPh Badan dengan Objek Pajak di SPT
Masa PPh (Pemotongan dan Pemungutan PPh).
Sama seperti selisih antara peredaran usaha di SPT Tahunan Badan dengan
DPP pajak keluaran di SPT PPN, selisih antara biaya di SPT Tahunan PPh
Badan dengan objek Pajak di SPT masa PPh bisa terjadi karena adanya
perbedaan pengakuan antara akuntansi dengan fiskal. Perbedaan itu antara
lain adalah adanya biaya di SPT Tahunan Badan yang bukan merupakan
objek pajak PPh masa, perbedaan tahun pengakuan antara biaya dan
pemotongan/pemungutan, selisih kurs antara pencatatan pada pembukuan
dan pemotongan/pemungutan pada SPT masa, keterlambatan
pemotongan/pemungutan serta hal lain sesuai dengan kondisi perusahaan
wajib pajak. Dengan melakukan ekualisasi, wajib pajak dapat mengetahui
penyebab selisih pelaporan SPT Tahunan Badan dengan SPT masa, wajib
pajak akan dapat memastikan bahwa seluruh omzetnya selama tahun
berjalan sudah dipungut dan dilaporkan PPN-nya, seluruh biaya yang
merupakan objek pajak PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4(2) dan
PPh Pasal 15 telah dipotong/dipungut pajaknya, serta biaya terkait gaji dan
upah tenaga kerja sudah sama dengan biaya gaji pada laporan laba rugi.

2.5. Contoh Kasus

PUNGUT PPN RP 1,3 M TAPI TAK DISETOR, BOS CENGKEH


DI BALI DITANGKAP
Direktur perusahaan CV GP yang bergerak di bidang cengkeh berinisial
KPTDA (36) menjadi tersangka atas dugaan penggelapan pajak senilai Rp 1,3 miliar.
Ia diduga dengan sengaja memungut pajak pertambahan nilai (PPN) kepada
pelanggan, tetapi tidak disetorkan ke kas negara.
"KPTDA diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu dengan
sengaja tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut," kata Kepala
Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bali, Andri Puspo Heriyanto, Selasa (14/9/2021).
"KPTDA selaku Direktur CV GP yang bergerak di bidang usaha jual-beli
cengkeh diduga melakukan tindak pidana perpajakan dengan modus memungut PPN
dari para pelanggan/pembeli namun tidak menyetorkan PPN yang telah dipungut
tersebut ke kas negara," imbuhnya.
KPTDA diduga melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c dan i Undang-Undang
(UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menurut Andri, sebelum dilakukan penyidikan, telah dilakukan pengawasan
dan pemeriksaan bukti permulaan terhadap wajib pajak. Saat dilakukan proses
pemeriksaan bukti permulaan, wajib pajak diberi hak untuk melakukan pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU KUP.
"Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dilakukan dengan membayar pajak-
pajak yang kurang dibayar beserta sanksi denda. Namun demikian, KPTDA tidak
menggunakan hak tersebut sehingga PPNS Kanwil DJP Bali meningkatkan
pemeriksaan bukti permulaan ke tahap penyidikan," jelas Andri.
Saat proses penyidikan, wajib pajak juga diberi hak untuk mengajukan
permohonan penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 44B UU KUP setelah
melunasi pajak-pajak yang kurang dibayar beserta sanksi denda. Namun KPTDA juga
tidak memanfaatkan hak tersebut.
Sementara itu, Plt Kepala Kanwil DJP Bali, Dudung Rudi Hendratna,
mengapresiasi kerja sama dengan Polda Bali, Kejati Bali, dan Kejari Buleleng. Hal
itu dilakukan dalam rangka penegakan prinsip keadilan dan menimbulkan efek jera
(deterrent effect) serta upaya pengamanan penerimaan negara.
"Dengan adanya penyerahan tersangka sebagai rangkaian proses penegakan
hukum atas tindak pidana perpajakan ini wajib pajak akan semakin menaati peraturan
di bidang perpajakan," terangnya.

Analisis Kasus
Barang hasil pertanian merupakan barang yang dihasilkan dan diambil
langsung dari sumbernya dari berbagai kegiatan usaha di bidang:
 Pertanian, perhutanan, dan perkebunan.
 Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran.
 Perikanan, baik penangkapan atau budidaya.

Menurut PMK 64 tahun 2022 pasal 3 disebutkan bahwa dikenakan tarif PPN
dengan besaran tertentu yaitu 1,1% dari harga jual. Nilai tarif ini merupakan 10% dari
tarif PPN normal dalam UU PPN sebesar 11%.
Cengkeh merupakan komoditi yang termasuk dalam Barang Hasil Pertanian
Tertentu (BHPT), maka bagi pengusaha kena pajak yang bergerak dibidang cengkeh
wajib memungut dan menyetorkan PPN atas transaksinya ke kas negara.
Dalam kasus ini wajib pajak nyata-nyata telah memungut PPN dari
konsumennya, namun dia tidak menyetorkannya ke kas negara, sehingga wajib pajak
tersebut telah melanggar pasa 39 ayat (1) huruf c dan i, yaitu dengan sengaja tidak
menyampaikan surat pemberiahuan (c) dan tidak menyetorkan pajak yang telah
dipungut (i).
BAB III

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan


Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-
Undang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmoni Sasi
Peraturan Perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 197/PMK.03/2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010
Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147 / PMK. 03/ 2017
Tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
https://pajak.go.id/id/peraturan?
title=TATA+CARA+PENDAFTARAN+WAJIB+PAJAK+DAN+PENGHAPU
SAN+NOMOR+POKOK+WAJIB+PAJAK+SERTA+PENGUKUHAN+DAN+
PENCABUTAN+PENGUKUHAN+PENGUSAHA&field_body_peraturan_val
ue=&field_kategori_peraturan_target_id=All&field_jenis_dokumen_target_id=
All&field_nomor_value=&field_tanggal_peraturan_value%5Bmin
%5D=&field_tanggal_peraturan_value%5Bmax
%5D=&field_tahun_peraturan_value=All
https://djpk.kemenkeu.go.id/?p=32423
https://jdih.kemenkeu.go.id/in/dokumen/peraturan?bentuk=20
https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/pengukuhan-pkp-cara-syarat-
pengajuan-pkp
https://perpajakan.ddtc.co.id/peraturan-pajak/search/pajak/semua-kategori/semua-
dokumen/00-00-0000_00-00-0000/0000/0_0/kalimat/0/tahun

Anda mungkin juga menyukai