Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERPAJAKAN

“SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA”

DOSEN PENGAMPU :

INDRAWATI MARA KESUMA , SE., M. Si

DISUSUN OLEH :

Nandes Suliana (21.01.02.0002)


2 A1 AKUNTANSI

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BINA INSAN KOTA LUBUKLINGGAU TAHUN


2021/2022
KATA PENGANTAR
Terimakasih kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena telah memberikan kesempatan
pada saya untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul SUMBER-SUMBER PENERIMAAN NEGARA
dengan tepat waktu. Saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak – pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini baik itu teman- teman ,dosen dan semua yang telah
membantu, yang saya tidak bisa sebut satu per satu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas ibu INDRAWATI MARAKESUMA, SE., M.
Si pada program studi Perpajakan di Universitas Bina Insan Lubuklinggau. Selain itu, besar
harapan saya bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat digunakan dengan sebaik-
baiknya. Saya menyadari bahwa makalah yang saya susun ini belumlah sempurna untuk itu
saya mengharapkan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk pembuatan makalah
selanjutnya. Sesudah dan sebelumya saya ucapkan terimakasih.

Lubuklinggau, 12 Mei 2022

Penyusun
Sumber-Sumber Penerimaan Pemerintah Pusat
Sumber penerimaan atau pendapatan negara merupakan semua penerimaan dalam negeri dan
penerimaan lain yang digunakan untuk membiayai belanja negara. 

Pendapatan yang diperoleh negara berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri. Pendapatan
negara tersebut sangat berpengaruh bagi keberhasilan proses pembangunan nasional. Sumber
dan pengalokasian anggaran dapat digambarkan sebagai berikut:

Sumber penerimaan pemerintah pusat

a. Penerimaan dalam negeri

Penerimaan dalam negeri adalah semua penerimaan yang diterima oleh negara dalam
bentuk penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan pemerintah dari
dalam negeri berasal dari minyak bumi, gas alam (migas) dan nonmigas. Penerimaan dari
sektor tersebut digunakan pemerintah untuk menutup pengeluaran rutin pemerintah.
Penerimaan pemerintahan dari sektor nonmigas terdiri atas pajak dan nonpajak.

b. Penerimaan perpajakan

Penerimaan perpajakan adalah semua bentuk penerimaan yang terdiri dari pajak
dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri, terdiri atas:

1. Pajak Penghasilan yang terdiri atas migas dan nonmigas

Pengertian PPh Migas dan Non Migas


Menurut Salim (2010 :282) PPh Migas adalah pajak penghasilan minyak
bumi, gas alam, dan batu bara, contohnya seperti minyak bumi dan gas alam.

Sedangkan PPh Non Migas adalah di luar dari minyak bumi, gas alam
contohnya seperti hasil pertanian, kerajinan, industry, dan lain-lain.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pemungutan pajak terhadap tiap
transaksi/perdagangan jual beli produk/jasa dalam negeri kepada wajib pajak orang pribadi,
badan usaha maupun pemerintah

Istilah PPN dalam Bahasa Inggris dikenal dengan Goods and Services Tax (GST) atau Value
Added Tax (VAT). Pajak ini bersifat tidak langsung, objektif dan non kumulatif. Maksudnya,
pajak tersebut dibayarkan secara langsung oleh pedagang, melainkan dibayarkan oleh
konsumen. Sehingga, dikatakan tidak langsung karena konsumen tidak membayar secara
langsung ke pemerintah.

Dimulai sejak 1 Juli 2016, PKP (Pengusaha Kena Pajak) seluruh Indonesia diwajibkan untuk
membuat nota atau faktur pajak elektronik (e-faktur) guna menghindari pembuatan faktur
pajak palsu untuk pemungutan PPN kepada para konsumen.

Dasar Hukum PPN di Indonesia

Dasar hukum Pajak Penghasilan Tambahan atau PPN adalah Undang-Undang Nomor 42
Tahun 2007 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah.

Hingga saat ini, dasar hukum tersebut telah mengalami tiga kali perubahan atau amandemen.
Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan kebijakan serta lebih memperhatikan keadilan
masyarakat Indonesia.

Dasar hukum PPN terbaru ada didalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu
Undang-Undang Harga Pokok Produksi No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan

Tarif PPN

Dalam Rancangan Undang-Undang HPP No, 7 Tahun 2021 yang telah disahkan oleh DPR,
tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) resmi naik menjadi 11% dan 12%. Dimana tarif PPN
sebelumnya hanya mencapai 10%. Kenaikan tarif ini akan berlaku pada tahun 2022.

Upaya penaikan tarif PPN adalah bagian dari revisi UU Perpajakan yang tercantum dalam
RUU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Nilai pajak diputuskan naik secara bertahap
mulai 11% dan 12%.
Sementara, rentang maksimal pemungutan pajak PPN berdasarkan Undang-Undang PPN
adalah sebesar 15%. Terkait pemberlakukan dan implementasi tarif baru ini masih harus
diatur dalam perundang-undangan.

Cara Menghitung PPN

Agar bisa menghitung PPN dengan tepat, Sobat OCBC harus menggunakan rumus berikut.
Tarif PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak) x Harga Produk/Jasa
Untuk lebih mudah memahaminya, mari simak contoh PPN berikut ini:

Ali membeli minuman di sebuah kedai kopi. Ternyata, kedai kopi tersebut memasukan PPN
kepada setiap pelanggan yang melakukan transaksi disana. Jika harga minuman Ali adalah
Rp24 ribu, maka PPN yang harus ditanggung sebesar?

PPN = DPP (Dasar Pengenaan Pajak x Harga Produk/Jasa


= 10% x Rp24 ribu
= Rp2.400

Dari perhitungan tersebut, maka total yang harus Ali bayarkan untuk PPN adalah Rp2.400.
Biaya ini diluar dari harga minuman tersebut. Jadi, Sobat OCBC jangan bingung apabila
harus membayarkan lebih dari harga barang, karena bisa saja ada PPN di dalamnya.

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Adapun beberapa objek PPN adalah sebagai berikut:

 Penyerahan BKP (Barang Kena Pajak) maupun JKP (Jasa Kena Pajak) oleh
pengusaha yang berada di daerah Pabean.
 Impor BKP (Barang Kena Pajak).
 Adanya pemanfaatan BKP (Barang Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah
Pabean, namun berasal dari luar daerah Pabean.
 Adanya pemanfaatan JKP (Jasa Kena Pajak) tidak berwujud di dalam daerah Pabean,
namun berasal dari luar daerah Pabean.
 Ekspor JKP (Jasa Kena Pajak) maupun BKP (Barang Kena Pajak) tidak berwujud
maupun berwujud oleh PKP (Pengusaha Kena Pajak).

Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai

Dalam penyaluran Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ada mekanisme yang harus terstruktur
dan terurut di Indonesia, yaitu sebagai berikut.Dalam penyaluran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), ada mekanisme yang harus terstruktur dan terurut di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

1. Pengusaha Kena Pajak menambahkan PPN terhadap Barang Kena Pajak yang dibeli
oleh wajib pajak dan harus memberikan faktur sebagai bukti.
2. Tarif PPN yang tertuang dalam faktur tersebut adalah pajak keluaran bagi PKP
penjual Barang Kena Pajak.
3. PPN bersifat pajak yang dibayar di muka selama PKP menjalankan aktivitas
usahanya.
4. Bila ditemukan perbedaan, dimana pajak keluaran lebih besar daripada masukan,
maka wajib disetorkan kepada kas negara. Jika sebaliknya, maka selisih tersebut bisa
dimasukkan dalam kompensasi pajak berikutnya.
5. SPT masa PPN wajib disampaikan oleh PKP di setiap bulannya.

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan atau disingkat PBB adalah pajak yang dikenakan atas keberadaan
tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi
orang pribadi atau badan yang mempunyai hak atasnya atau mendapatkan manfaat padanya.

Selain itu, PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan yang artinya besarnya jumlah pajak
ditentukan berdasarkan objek pajak (tanah dan/atau bangunan). 

Dasar Hukum

Aturan tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tertuang dalam:

 Undang-Undang No.12 / 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.12 / 1985


tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
 Undang-Undang No.28 / 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 

Dasar Pengenaan PBB

Selanjutnya, dasar utama pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP). Yang dimaksud NJOP adalah harga rata-rata atau harga pasar dari objek
pajak dalam transaksi jual beli bumi dan bangunan. 

Besarnya NJOP ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dengan nilai jual yang berbeda-beda,
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. NJOP ini ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% dari NJOP dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Faktor yang mempengaruhi penetapan NJOP, antara lain:

 Faktor dasar penetapan NJOP Bumi yaitu letak, pemanfaatan, peruntukan dan kondisi
lingkungan. 
 Selain itu, faktor dasar penetapan NJOP Bangunan adalah bahan yang digunakan dalam
bangunan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungan.
 

Objek Pajak PBB

Kemudian, objek PBB adalah bumi dan atau bangunan, di mana pengertian bumi dan atau
bangunan mempunyai pengertian, sebagai berikut:

 Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Contohnya adalah tanah, ladang,
sawah, kebun, pekarangan dan seterusnya.
 Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan atau perairan. Contohnya adalah rumah tempat tinggal, bangunan domisili usaha,
gedung bertingkat, jalan tol, pusat perbelanjaan dan sebagainya.

Objek Pajak yang Tidak Dikenakan PBB

Sedangkan objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek yang digunakan:

 untuk semata-mata kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, kebudayaan


nasional, pendidikan dan tidak untuk mencari keuntungan, contohnya masjid, rumah sakit
pemerintah, sekolah, panti asuhan dan sebagainya.
 untuk pemakaman, peninggalan purbakala atau sejenisnya.
 sebagai hutan lindung, suaka alam, taman nasional, hutan wisata, penggembalaan yang desa
kuasai dan tanah negara yang belum dibebani hak.
 oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
 oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Mau bertanya? Hubungi kami di WhatsApp

 
Siapa yang Menjadi Subjek Pajak?

Berikut ini kriteria untuk mengetahui apakah seseorang wajib membayar PBB setiap periode
tahunnya. Kriteria ini sesuai dengan UU No.12/1994 dan UU No.12/1985, antara lain:

 Mempunyai bukti kepemilikan sah atas bumi (tanah).


 Memperoleh manfaat atas bumi (tanah) yang dimiliki.
 Mempunyai bangunan fisik.
 Mempunyai hak dan kekuasaan atas bangunan.
 Mendapatkan beragam manfaat aset bangunan.

Bagaimana Cara Menghitung PBB?

Selain itu, pemerintah telah mengatur tarif pajak dalam Pasal 5 UU No.12 tahun 1985 jo. UU
No.12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tarifnya adalah 0.5%. NJKP ini
adalah nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pajak terutang. 

Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.201/KMK.04/2000 menyebutkan rincian


persentase yang harus dibayarkan adalah 40% jika NJOP lebih dari Rp 1 miliar atau 20% jika
NJOP kurang dari Rp 1 miliar.

Untuk menghitung jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, ada ketentuan
rumusnya. Elemen penting untuk menghitungnya, terdiri dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Berikut ini rumusnya:

 NJOP = (NJOP Bumi = luas tanah x nilai tanah) + (NJOP Bangunan = luas bangunan x nilai
bangunan).
 NJKP = 40% dari NJOP atau 20% dari NJOP untuk perhitungan PBB. 

Note: 

40% apabila lebih dari Rp1.000.000.000 (>1 miliar)

20% apabila kurang dari Rp1.000.000.000 (<1 miliar)

 PBB yang terutang = 0,5% x NJKP (jumlah PBB yang harus dibayar setiap tahun)

Contoh Menghitung PBB

PT Sejahtera Sukses mempunyai lahan di Jakarta dengan mempunyai tanah seluas 700 meter
persegi dengan luas bangunan 500 meter persegi. 

Diketahui NJOP tanah per meter adalah Rp 6000.000 dan harga bangunan per meter Rp
1.200.000.

 Langkah pertama: Menghitung NJOP Bumi dan Bangunan


NJOP = (NJOP Bumi = luas tanah x nilai tanah) + (NJOP Bangunan = luas bangunan x nilai
bangunan).

Jadi, 

NJOP = (NJOP Bumi = 700 meter persegi x Rp 6.000.000) + (NJOP Bangunan = 500 meter
persegi x Rp 1.200.000)

NJOP = Rp 4.200.000.000 + Rp 600.000.000 = Rp 4.800.000.000

 Langkah Kedua: Menghitung NJKP

NJKP = 40% x Rp 4.800.000.000 = Rp 1.920.000.000

 Langkah Ketiga: Menghitung Pajak

PBB = 0,5% x Rp 1.920.000.000 = Rp 9.600.000

Jadi besaran PBB yang harus PT Sejahtera Sukses adalah Rp 9.600.000

4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

BPHTB atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah pungutan yang dikenakan
setiap kali terjadi perolehan hak atas tanah, bangunan, maupun rumah. Nominal ini dikenakan
baik kepada pembeli maupun penjual. Oleh karena itu, sangat penting bagi Anda untuk
mengetahui cara menghitung BPHTB.

Objek BPHTB

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan, hal ini telah diatur dalam UU
Nomor 28 tahun 2009 pada pasal 85 ayat (1). Adapun sumbernya bervariasi, yakni melalui
jual beli, pemekaran usaha, peleburan usaha, hadiah, maupun lelang.

Sebelum mempelajari cara menghitung BPHTB, terlebih dahulu Anda perlu mengetahui
objek yang dikenakan oleh bea ini, yakni sebagai berikut.

1. Jual beli
2. Pertukaran
3. Hibah, wasiat, maupun hibah wasiat
4. Pemasukan dalam perseroan dan badan hukum lain
5. Peleburan usaha (merger), penggabungan usaha
6. Hasil lelang non eksekusi
7. Pemisahan hak yang menimbulkan peralihan
8. Pelaksanaan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
9. Hadiah

Meskipun objek cakupannya cukup luas, namun terdapat perolehan hak atas tanah atau
bangunan yang dikecualikan. Berikut ini daftarnya.

1. Tempat yang ditinggali perwakilan diplomatik dan konsulat.


2. Digunakan untuk kepentingan ibadah.
3. Merupakan bangunan milik negara yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan
maupun kepentingan umum.
4. Ditempati oleh badan atau wakil organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh menteri
keuangan.
5. Milik individu atau badan yang mendapatkannya melalui konversi hak tanpa perubahan
nama.

Tarif BPTHB

Sebelum mempelajari cara menghitung BPHTB, sangat penting bagi Anda untuk mengetahui
tarif yang dikenakan, yakni sebesar 5% dari harga jual bangunan setelah dikurangi Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Selain itu, terdapat perbedaan antara NPOP dengan NJOP, yakni dari segi pihak yang
menentukan nominalnya. Besaran NPOP ditentukan oleh kesepakatan pembeli dan penjual,
sedangkan NJOP ditentukan pemerintah.

Nilai NPOP sangat mudah berubah karena ditentukan oleh kondisi wilayah. Apabila nilai
NPOP lebih besar dari NJOP, maka yang digunakan dalam perhitungan adalah NPOP. Begitu
pula sebaliknya.

Adapun NPOPTKP tiap daerah berbeda-beda tergantung situasi, sedangkan dalam pasal 87
ayat (4) UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, telah ditetapkan
nominal NJOPTKP paling rendah senilai Rp60 juta untuk per wajib pajak.

Namun, apabila perolehan hak tersebut berasal dari warisan atau hibah wasiat oleh orang
yang masih memiliki hubungan darah, maka NPOPTKP ditetapkan paling rendah senilai
Rp300 juta.

Cara Menghitung BPHTB

Cara menghitung BPHTB adalah dengan mengalikan tarif dengan NJOP atau NPOP.
Tentunya NJOP dan NPOP tersebut harus sudah dikurangi oleh NJOPTKP atau NPOPTKP
yang nilainya telah dijabarkan sebelumnya.

Adapun rumus dan cara perhitungan BPHTB adalah sebagai berikut.

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

Agar Anda lebih memahami mekanisme perhitungannya, berikut ini cara menghitung
BPHTB disertai dengan contoh.

1. Cara Menghitung BPHTB Jual Beli


Misalnya, Anda membeli rumah di Bandung dengan harga transaksi Rp900 juta
nominal ini lebih besar dibanding NJOP-nya yang senilai Rp800 juta. Adapun
pemerintah Kota Bandung menetapkan NPOPTKP sebesar Rp80 juta.
Karena NPOP lebih besar dari NJOP, maka yang digunakan dalam perhitungan adalah
NPOP. Dengan demikian, perhitungan BPHTB-nya adalah sebagai berikut.

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)


BPHTB = 5% x (Rp900 juta - Rp80 juta)
BPHTB = 5% x (Rp820)
BPHTB = Rp41 juta

2. Cara Menghitung BPHTB Warisan


Bu Ana mendapat warisan dari suami berupa tanah beserta bangunan di Jogja dengan
nilai pasar sebesar Rp800 juta. Adapun menurut NJOP, harga rumah tersebut adalah
Rp1 miliar. Pemerintah Kota Jogja menetapkan NJOPTKP untuk warisan adalah
sebesar Rp300 juta.

Karena NJOP lebih besar dari NPOP, maka nominal tersebut lah yang akan dipakai.
Dengan demikian, cara menghitung BPHTB-nya adalah sebagai berikut.

BPHTB
= 5% x (NJOP - NJOPTKP)
= 5% x (Rp1 miliar - Rp300 juta)
= 5% x Rp700 juta
= Rp35 juta

3. Cara Menghitung BPHTB Warisan


Bu Ana mendapat warisan dari suami berupa tanah beserta bangunan di Jogja dengan
nilai pasar sebesar Rp800 juta. Adapun menurut NJOP, harga rumah tersebut adalah
Rp1 miliar. Pemerintah Kota Jogja menetapkan NJOPTKP untuk warisan adalah
sebesar Rp300 juta.

Karena NJOP lebih besar dari NPOP, maka nominal tersebut lah yang akan dipakai.
Dengan demikian, cara menghitung BPHTB-nya adalah sebagai berikut.

BPHTB
= 5% x (NJOP - NJOPTKP)
= 5% x (Rp1 miliar - Rp300 juta)
= 5% x Rp700 juta
= Rp35 juta

Perhitungan ini tidak terhenti disini saja, dalam PP nomor 111 tahun 2000 tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah
Wasiat, BPHTB terutang pada warisan hanya sebesar 50% dari hasil perhitungan.

Dengan demikian, BPHTB dalam contoh ini adalah senilai 50% x Rp35 juta, yakni
Rp17.5 juta.

4. Cara Menghitung BPHTB Hibah Wasiat


Sama seperti warisan, cara menghitung BPHTB terutang adalah dengan mengalikan
50% dengan hasil perhitungan. Contohnya, Bu Desi menerima hibah wasiat dari
kakeknya berupa sebidang tanah dengan nilai jual Rp600 juta. Adapun NJOP dalam
SPT PBB sebesar Rp400 juta. Pemerintah daerah mengatur NPOPTKP kawasan
tersebut senilai Rp280 juta.

Maka cara menghintung BPHTB hibah wasiatnya adalah sebagai berikut.


BPHTB
= 5% x 50% x (NPOP - NPOPTKP)
= 5% x 50% x (Rp600 juta- Rp280 juta)
= Rp8 juta

Persyaratan Mengurus BPHTB

Setelah mengetahui cara menghitung BPHTB, ketahui juga syarat administratif untuk
mengurus BPHTB berikut ini.

Pada Jual Beli

Setelah melakukan transaksi, berkas yang harus Anda siapkan adalah sebagai berikut
SSPD BPHTB.

 Fotokopi KTP wajib pajak.


 Fotokopi STTS atau bukti pembayaran PBB 5 tahun terakhir.
 Fotokopi SPPT PBB tahun yang bersangkutan.
 Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Letter C, Akta Jual Beli, atau Girik).

Pada Warisan dan Hibah Wasiat

Apabila ingin mengurus BPHTB untuk harta warisan atau hibah wasiat, dokumen yang
disiapkan sama seperti pada jual beli, namun dengan tambahan Kartu Keluarga (KK) dan
surat keterangan waris atau akta hibah

5. Cukai

Apa itu bea?

Pengertian bea adalah pungutan pajak oleh negara terhadap komoditas barang yang terkait
dengan kegiatan ekspor dan impor. Bea memiliki karakteristik khusus untuk barang apa saja
yang kena pajak sesuai peraturan yang berlaku. Terdapat dua model Bea, yaitu Bea Masuk
dan Bea Keluar.

Bea Masuk mengarah pada pengenaan pungutan pajak untuk barang-barang impor.
Sedangkan, Bea Keluar adalah pungutan pajak yang dikenakan pada barang-barang ekspor.
Besaran tarif Bea akan disesuaikan berdasarkan jenis dan model barang yang telah diatur
dalam UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan.

Apa itu cukai?


Cukai adalah pungutan pajak yang dikelola oleh negara dan dikenakan atas barang-barang
tertentu dengan sifat dan karakteristik yang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor
39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Perbedaan bea dan cukai adalah barang yang menjadi objek
pungutan.

Jika bea merujuk pada barang terkait ekspor dan impor, barang yang terkena cukai adalah
produk atau sesuatu yang beredar di kalangan masyarakat. Fungsi adanya cukai adalah
membentuk pengawasan terhadap jenis barang tertentu yang dianggap dapat menimbulkan
dampak negatif.

Oleh karena itu, adanya pungutan bertujuan untuk membatasi, mengendalikan, dan
mengawasi peredarannya. Salah satu contoh yang sering dikenal masyarakat adalah cukai
rokok.

Apa itu bea cukai?

Pada sejatinya, istilah bea cukai adalah gabungan dari dua kata bea dan cukai untuk
mempermudah penyebutan atau pengucapannya. Bea dan cukai adalah tindakan pungutan
negara terhadap barang ekspor dan impor serta barang lain dengan sifat khusus. Dalam
pelaksanaannya, bea dan cukai menjadi wewenang Ditjen Bea dan Cukai atau disebut
lembaga kepabeanan.

Lembaga ini memiliki sejumlah fungsi utama terkait bea dan cukai, yaitu:

 Pelaksanaan kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran untuk pertumbuhan industri
dalam negeri.
 Mengatur dan menetapkan prosedur kepabeanan dan cukai untuk memperlancar
kegiatan ekspor-impor dan mewujudkan iklim usaha yang kondusif.
 Mengawasi keluarnya barang ekspor dan masuknya barang impor yang berdampak
negatif untuk melindungi masyarakat.
 Penerapan sistem manajemen resiko yang handal serta penindakan yang tegas dan
tepat untuk pengawasan kegiatan ekspor, impor, dan kegiatan kepabeanan atau cukai
lainnya.
 Mengawasi, mengendalikan, dan membatasi produksi serta peredaran barang yang
dianggap memiliki karakteristik membahayakan bagi masyarakat melalui instrumen
cukai yang adil dan seimbang.
 Mengoptimalkan pendapatan negara melalui bea masuk, bea keluar, dan cukai untuk
meningkatkan pembangunan nasional.

Karakteristik barang kena cukai

Berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai cukai adalah sebagai berikut:

 Peredarannya membutuhkan pengawasan


 Pemakaiannya menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi lingkungan hidup dan
masyarakat
 Dalam rangka mewujudkan keadilan dan keseimbangan, maka pemakaiannya perlu
dikenakan pemungutan oleh negara
 Konsumsinya perlu pengawasan dan pengendalian
Jenis barang kena cukai

Berdasarkan karakteristik barang kena cukai di atas, tidak semua barang termasuk termasuk
dalam kategori yang akan dikenakan pungutan. Jenis barang kena cukai adalah:

 Eti alkohol atau etanol yang tidak memperhatikan bahan dan proses pembuatannya
 Minuman dengan kandungan eti alkohol dalam kadar berapapun yang tidak
memperhatikan bahan dan proses pembuatannya. Hal ini juga berlaku untuk
konsentrat yang mengandung eti alkohol.
 Hasil tembakau yang meliputi cerutu, daun tembakau iris, sigaret, rokok, dan hasil
olahan tembakau lainnya yang tidak memperhatikan himbauan pemerintah dalam
pembuatannya.

Tarif barang kena cukai

Tarif bea cukai adalah besaran pungutan yang harus dibayarkan atas barang yang termasuk
dalam karakteristik barang kena cukai. Penentuan tarif dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

Barang berupa hasil tembakau

Barang kena cukai yang merupakan hasil tembakau terbagi menjadi dua berdasarkan objek
pasar, yaitu:

Dibuat di Indonesia

 275% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan harga jual
pabrik.
 5% dari harga awal apabila harga yang digunakan merupakan harga jual eceran.

Dibuat untuk impor

 275% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan nilai pabean
yang ditambah bea masuk.
 57% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan harga jual
eceran.

Barang cukai lainnya

Tarif barang kena cukai lainnya terbagi menjadi dua berdasarkan objek pasar, yaitu:

Dibuat di Indonesia

 1.150% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan harga jual
pabrik
 80% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan harga jual
eceran.

Dibuat untuk impor

 1.150% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan nilai pabean
yang ditambah bea masuk
 80% dari harga awal apabila harga awal yang digunakan merupakan harga jual
eceran.

Kurs pajak bea cukai

Kurs pajak bea cukai adalah nilai kurs yang digunakan untuk transaksi perpajakan di
Indonesia. Sistem ini diterapkan untuk transaksi antarnegara yang menggunakan mata uang
asing. Adanya kurs pajak bea cukai digunakan sebagai dasar acuan penetapan pajak transaksi
dalam kegiatan ekspor dan impor. Pembayaran yang terkait dengan kurs bea cukai adalah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa, Bea Masuk, Bea Keluar, Pajak Penghasilan
(PPh) atas Pemasukan Barang, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Cara kerjanya, sebelum transaksi menggunakan mata uang terjadi, nilai tersebut harus
dikonversi ke dalam rupiah terlebih dahulu. Besaran kurs pajak akan diatur oleh Menteri
Keuangan setiap satu minggu sekali melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). Informasi
kurs pajak bea cukai juga akan ditampilkan di website Online Pajak yang akan selalu
diperbarui sesuai KMK.

Nah, dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bea dan cukai adalah dua hal
yang berbeda. Cukai mengarah pada komoditas dengan karakter khusus sesuai aturan
sedangkan bea mengacu pada kegiatan ekspor dan impor.

6. Pajak Lainnya

Pajak perdagangan internasional, terdiri atas:

1. Bea masuk
2. Merujuk pada UU No.17/2006 tentang Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan
negara berdasarkan UU yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Adapun impor
adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
3. Kemudian, daerah pabean adalah wilayah RI yang meliputi wilayah darat, perairan
dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku UU Kepabeanan.
4. Secara lebih terperinci, bea masuk dapat diartikan sebagai pajak lalu lintas barang
yang dipungut atas pemasukan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah
pabean. Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menjadi institusi yang memungut bea masuk
ini.
5. Baca Juga: Waduh! Enggak Kapok, Seorang Pria Berkali-Kali Gelapkan Bea Rokok
6. Menurut Rukiah Komariah dan Dewi Paramita (2010), perhitungan bea masuk
berdasarkan pada persentase besaran tarif atau secara spesifik yang dihitung
berdasarkan satuan atau unit barang dengan nilai yang telah ditetapkan berkaitan
dengan harga transaksi yaitu harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar.
7. Dalam skala global, bea masuk disebut import duties. Berdasarkan IBFD International
Tax Glossary (2015), import duties/duty/customs duties—terkadang juga disebut
sebagai tariff—adalah pungutan yang dikenakan pada produk yang diimpor.
8. Sementara itu, pengertian import duties menurut OECD adalah pungutan yang terdiri
atas bea masuk, atau bea impor lainnya, yang dibayarkan pada jenis barang-barang
tertentu ketika memasuki wilayah ekonomi.
9. Baca Juga: Redam Inflasi, AS Bakal Relaksasi Tarif Bea Masuk Impor dari China
10. Tata Cara Perhitungan Bea Masuk
Di Indonesia, terdapat dua sistem dalam perhitungan bea masuk, yaitu perhitungan
dengan tarif spesifik dan tarif advalorum. Adapun sebagian besar komoditas impor
yang masuk ke Indonesia dihitung dengan tarif advalorum.
11. Tarif spesifik adalah tarif yang dikenakan berdasarkan satuan barang. Perhitungan
dalam tarif spesifik dilakukan dengan cara mengalikan jumlah satuan barang dengan
tarif pembebanan bea masuk.
12. Hal ini berarti dalam tarif spesifik akan disebutkan besaran tarif bea masuk yang
harus dibayar per satuan barang. Dari sekian banyak komoditas impor yang masuk,
hanya sebagian kecil barang impor yang dikenakan tarif spesifik, di antaranya seperti
beras dan gula.
13. Baca Juga: Apa Itu Penundaan Pembayaran Cukai?
14. Contohnya tarif pembebanan bea masuk untuk beras pada Juli 2019 ditetapkan
sebesar Rp450/kg. Maka, berapapun nilai atau harga dari beras tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap besaran bea masuk yang dibayarkan.
15. Dengan demikian misalnya terdapat dua importir yang sama-sama mengimpor beras
sebanyak 100 ton, maka kedua importir tersebut akan membayar bea masuk senilai
Rp45.000.000.
16. Tarif spesifik tidak memedulikan apakah kedua importir tersebut membeli beras itu
dengan harga yang sama atau berbeda. Secara ringkas, perhitungan bea masuk dengan
menggunakan tarif spesifik.
17. Baca Juga: Apa Itu Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Pajak?
18. Contoh Kasus:
Importir A mengimpor 5.000 tons beras jenis Thai Hom Mali dari Thailand dengan
harga CIF THB 12.000/ton. Adapun tarif bea masuk untuk beras sebesar 450/kg.
Maka perhitungannya sebagai berikut:
Bea Masuk = Jumlah Satuan Barang x Pembebanan Bea masuk
19. = (5.000 ton x 1.000) x 450/kg
= Rp2,25 miliar
20. Sementara itu, tarif Ad Valorem adalah pungutan bea masuk berdasarkan pada
prosentase tarif tertentu dari harga barang. Merujuk pada Pasal 12 UU Kepabeanan
tarif advalorum paling tinggi ditetapkan sebesar 40%.
21. Baca Juga: Suka Belanja Online? Bea Cukai Ingatkan Ini
22. Secara ringkas, perhitungan bea masuk menggunakan tarif advalorum dihitung
dengan cara mengalikan tarif bea masuk suatu barang impor dengan nilai pabeannya.
23. Contoh Kasus:
Importir B mengimpor 125 unit kamera produksi dari Jepang dengan harga masing-
masing sebesar JPY40.000/unit. Kemudian, ongkos kirim dan asuransi masing-
masing sebesar JPY 300.000 dan asuransi JPY100.000.
24. Tarif bea masuk kamera impor dipatok sebesar 10%. Sementara Nilai Dasar
Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) tersebut adalah JPY 1=Rp110,98,. berikut
perhitungannya:
Bea Masuk = tarif bea masuk (%) x nilai pabean
25. = tarif bea masuk x (CIF x NDPBM)
= 10% x ((JPY40.000x125) +JPY100.000 + JPY300.000)) x Rp110,98
= 10% x JPY5,4 juta x Rp110,98
= 10% x Rp599,29 juta
= Rp59,92 juta
26. Baca Juga: Kumpulkan Pajak, Negara Ini Tindak 7.000 Kendaraan Tidak Terdaftar
27. Bea Masuk Tambahan
Selain itu, ada juga bea masuk lain yaitu bea masuk tambahan (BMT) yang dikenakan
untuk barang-barang tertentu atau untuk kondisi impor tertentu. Perlu diingat, BMT
sifatnya tidak menggantikan bea masuk yang berlaku umum.
28. Merujuk pada UU Kepabeanan jenis bea masuk lain yang dapat dikenakan pada impor
barang diantaranya adalah sebagai berikut:
29. 1. Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)
Bea masuk ini merupakan BMT yang dikenakan kepada barang impor di mana harga
ekspor barang tersebut lebih rendah dari harga normal di pasar domestik.
30. Baca Juga: Penerimaan Cukai Rokok Capai Rp65,62 Triliun Hingga April 2022
31. Bea masuk antidumping ini dikenakan terhadap barang impor yang menyebabkan
kerugian terhadap industri barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri, dan dinilai
menghambat pengembangan industri barang yang sejenis di dalam negeri.
32. 2. Bea Masuk Imbalan (BMI)
Bea masuk ini merupakan jenis BMT yang dikenakan terhadap barang impor, di mana
ditemukan adanya subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor atas barang
tersebut.
33. Barang impor yang dikenakan bea masuk imbalan lantaran barang impor itu
menyebabkan kerugian terhadap industri yang sejenis di dalam negeri, dan
menghambat pengembangan industri yang sejenis.
34. Baca Juga: Apa Itu Pajak Perapian atau Hearth Tax?
35. 3. Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP)
Jenis bea masuk yang populer disebut dengan safeguard ini merupakan BMT yang
dikenakan terhadap barang impor, dimana terdapat kondisi lonjakan barang impor
terhadap barang sejenis yang diproduksi di dalam negeri.
36. Barang impor tersebut dinilai menyebabkan kerugian terhadap industri yang sejenis di
dalam negeri, serta menghambat pengembangan industri yang sejenis.
37. Bea masuk tindakan pengamanan paling tinggi sebesar jumlah yang dibutuhkan untuk
mengatasi kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri
dalam negeri.
38. 4. Bea Masuk Pembalasan (BMP)
Bea masuk ini merupakan bea masuk yang dikenakan terhadap barang impor yang
berasal dari negara yang memperlakukan barang ekspor Indonesia secara
diskriminatif

39. Pajak / pungutan ekspor

c. Penerimaan bukan pajak

Penerimaan bukan pajak adalah semua bentuk penerimaan yang diterima negara dalam
bentuk penerimaan dari sumber daya alam, bagian pemerintah dari laba Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan penerimaan negara bukan pajak lainnya. Penerimaan bukan
pajak yang berasal dari:

    1) Penerimaan sumber daya alam, antara lain:

    2) Bagian Laba BUMN

    3) Penerimaan bukan pajak Lainnya 


d. Hibah

Penerimaan hibah adalah semua penerimaan negara yang berasal dari


sumbangan swasta dalam negeri, sumbangan swasta dan pemerintah
luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai