Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA

“ASPEK HUKUM DALAM ISLAM”

DOSEN PENGAMPU :

Susmiati, M.Pd I

DISUSUN OLEH :

KETUA : M. REYHAN AL HADI

: DETHA AYU ARINI

: ANGGA SAPUTRA

: OKSA ENJELI

: SASKIA DINI PRAMESWARI

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI

FAKULTAS KOMPUTER

UNIVERSITAS BINA INSAN KOTA LUBUKLINGGAU TAHUN


2022/2023
KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunian-Nya sehingga penyusunan makalah “ASPEK HUKUM
DALAM ISLAM” dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan dan membahas
sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat Islam. Dengan makalah ini
diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat memilki pengetahuan yang lebih luas
mengenai sumber hukum Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata, semoga
makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan kami sendiri khususnya.

Lubuklinggau, 29 Mei 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .........................................................................................i

KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1


1.1 Latar belakang masalah............................................................................
1.2 Maksud dan tujuan ...................................................................................
1.3 Rumusan masalah ...................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................2


2.1 Syarah dalam fiqih ...................................................................................
2.2 Sumber-sumber hukum islam ..................................................................
2.3 Perkembangan ilmu fikih .........................................................................

BAB III PENUTUP ................................................................................................18


3.1 Kesimpulan ..............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................19


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Istilah “Hukum Islam” yang terdiri dari rangkaian kata “hukum” dan

“Islam”, secara tegas tidak terdapat dalam Alquran. Meskipun kata hukum,

baik dalam bentuk ma‟rifah maupun nakīrah, disebutkan pada 108 ayat dalam

Alquran. 1 Tidak satupun dari ayat-ayat tersebut mengungkapkan rangkaian

kata “hukum Islam”. Pada literatur hukum dalam Islam juga tidak ditemukan

lafaz “hukum Islam”. Yang biasa digunakan adalah kata syarī‟at, fiqh, hukum

Allah, atau hukum syar‟iy.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN

- Untuk memenuhi tugas Makalah Aspek Hukum Islam mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.
- Untuk membahas Sumber Hukum Islam,sehingga pembaca pada umumnya dan
khususnya penulis bisa lebih memahami tentang sumber-sumber hukum yang
dijadikan landasan umat Islam.

1.3 RUMUSAN MASALAH

2. Untuk mengetahui apa itu syarah dalam fikih


3. Untuk mengetahui sumber-sumber hukum islam
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan fikih
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 SYARAH
2.1.1 PENGERTIAN SYARAH
Istilah syarah hadis berasal kata syarh (‫ ) شرح‬dan hadits ( ‫ ) حدث‬yang diserap menjadi
bahagian dari kosa kata bahasa Indonesia. Secara bahasa, kata syarh berarti al-kasyf, al-wadh,
al-bayan, al-tawsi„, al-hifz, al-fath, dan al-fahm, artinya menampakkan, menjelaskan,
menerangkan, memperluas, memelihara, membuka, dan memahami.
Secara istilah, syarah berarti menguraikan atau menjelaskan bahasan tertentu, dengan segala
aspek berhubugan pada objek yang dibahas secara lengkap. Syarah merupakan kitab yang
ditulis oleh ulama lain sebagai komentar atau penjelasan pada kitab tertentu.
Hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulallah Saw. baik berupa
ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat dan akhlak (kepribadian), baik sebelum diutus menjadi
Rasul maupun sesudah diutus menjadi Rasul. Menurut Muhammad „Ajaj al-Khatib, Hadis
adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Saw., baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan
atau sifat-sifatnya.

2.1.2 Sejarah Perkembangan Syarah Hadis


Perkembangan syarah saling beriringan dengan perkembangan hadis dan ilmu hadis.
Diketahui dari periode keduanya, bahwa usaha pemahaman hadis pernah berada dipuncak
perkembangan lalu mengalami kemunduran secara berangsur, seperti aktivitas keilmuan
Islam lainnya.
Muhammad Thahir al-Jawwabi membagi 3 periode sejarah perkembangan syarah, yaitu:
periode pertumbuhan, periode penyempurnaan dan periode kemunduran. „Ashr syuruh
mendapatkan tempat secara mandiri dalam periode sejarah perkembangan hadis. Pada
periode sejarah hadis, 'ashr syuruh merupakan masa dimana ulama hadis tidak disibukkan
dengan urusan hadis, syarah berdiri menjadi disiplin ilmu beriringan dengan munculnya
karya-karya ulama dalam menjelaskan maksud hadis Nabi Saw. Sedangkan sejarah syarah
hadis adalah perkembangan syarah hadis yang berisi pemahaman dan penjelasan atas hadis
Nabi Saw., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau karya tulis para ahli hadis dari
zaman Nabi Saw. hingga masa sekarang. Pada zaman Rasulallah Saw. cikal bakal syarah
telah ada. Istilah fiqh al-hadis, fahm al-hadis dan syarh al-hadis dan sebagaimananya, belum
dipakai secara formal. Para sahabat dalam seluruh lapisan dimensi sosial kemasyarakatan
telah menjadikan Rasulallah tempat bersandar. Rasulallah telah menjadi suri tauladan dalam
setiap perbuatan, bahkan menjadi “bayan” (penjelas) untuk al-Qur‟an dan sabda-sabdanya.
Rasulallah merupakan “al-syarih al-awwal”. Syarah pada masa Rasulallah Saw. adalah
seluruh jejak rekaman sahabat mengenai ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan Rasulallah
yang dikenal saat ini.
Dilihat pada pemaparan sebelumnya, perkembangan syarah hadis mengalami pasang surut
pada masa awal. Sehingga penyebutan kata „syarah‟ tidak setegas di masa sekarang. Juga
syarah dapat diartikan berupa keterangan-keterangan yang memaparkan penjelasan terhadap
hadis Nabi Saw.
Pada masa awal, syarah hadis didominasi dengan klarifikasi atau tabayyun oleh para sahabat
dengan hadis yang didapatnya kepada Nabi Saw. agar memperoleh penjelasan „apakah begitu
yang dimaksud dengan hadis tersebut‟. Pada masa ini, syarah masih kuat kaitannya dengan
kehidupan Nabi Saw. dan pada waktu yang lain para sahabat tidak memisahkan mana
perbuatan Nabi yang mengarah pada kerasulan atau manusia biasa, atau terinterpretasi pada
al-Qur‟an atau adat istiadat masyarakat terdahulu.
Para sahabat dan tabi‟in melanjutkan estafet syarah hadis. Mereka ditugaskan untuk
memecahkan persoalan yang baru dan hujjahnya terhadap al-Qur‟an dan hadis. Kedekatan
para sahabat dan tabiin dengan sumber hadis memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
mencetuskan fatwa-fatwa keagamaan pada masanya.
Setelah Rasulallah wafat, pencarian hadis mengalami masa penyedikitan riwayat karena
upaya menghindari hadis-hadis palsu yang tidak bersumber dari Rasulallah. Istilah “syarah”
belum muncul pada masa sahabat, akan tetapi dalam memahami hadis Nabi telah
tercerminkan dari para sahabat dalam menentukan riwayat-riwayat yang ada menggunakan
metode kritik matan. Juga mereka bersandar kepada sahabat-sahabat senior seperti Abu
Bakar, Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan sebagainya untuk
mendapatkan jawaban dari permasalahan agama termasuk al-Qur‟an, hadis, dan hukum-
hukum. Hingga sebagian besar sahabat telah memulai menginterpretasikan beberapa hadis
yang dimiliki disesuaikan dengan “konteks” lahirnya hadis tersebut. Syarah didominasi oleh
hasil rekaman peristiwa para sahabat atas kegiatan yang dilakukan Nabi Saw.

2.2 SUMBER HUKUM DALAM ISLAM


2.2.1 Macam-macam sumber ajaran Islam

Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan


ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi
pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-
pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam, tanpa adanya suatu sumber
maka umat Islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan
berahir pada kesesatan atau kenistaan.
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran Islam yang
diantaranya meliputi:
1. Al-Quran
2. Sunah
3. Ijtihad
2.2.2 Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam

A. Pengertian Al-Qur‟an

Secara etimologi Al-Qur‟an berasal dari kata “qara‟a, yaqra‟u, qira‟atan,


qur‟anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari
satu bagian ke bagian lain secara teratur. Ada juga sumber lain mengatakan bahwa Al-
Qur‟an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah
yng sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang
dapat menandingi Al-Qur‟an al-Karim, secara terminologi Al-Qur‟an adalah kitab suci
yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat
malaikat jibril, yang dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat
dan menjadi pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.
Pengertian Al-Qur‟an dari segi terminologinya dapat dipahami dari pandangan
beberapa ulama, bahwa:
a. Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur‟an al-Karim”
menyatakan bahwa Al-Qur‟an adalah firman Allah yang diturunkan kepada
nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang
ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat
terpendek.
b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur‟an sebagai firman Allah SWT
yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW.
Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah
kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam
beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam
mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang
diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur‟an sbagai kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad
SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu pengetahuan, ia merupakan
sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang
berjiwa suci daan berakal cerdas.
B. Fungsi dan tujuan Al-Qur‟an

Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman


Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung
petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam
“wawasan Al-Qur‟an menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-Qur‟an:
a. Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta
mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan
semesta alam.
b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa
umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam
pengapdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c. Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit
dan penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia dalam
bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
f. Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang.
g. Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme
dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan
yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
h. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan
panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
a. Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-
quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum.
Kedua, al-quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga,
petunjuk bagi orang-orang beriman.
b. Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran
untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c. Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi penyakit-
penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah
penyakit-penyakit psikologis.
d. Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-orang
yang bertakwa.

2.2.3 Hadits sebagai sumber hukum Islam

Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua
setelah Al-Qur‟an. Dan tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri
dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur‟an dan hadits
merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat
memahami tentang syari‟at Islam dengan benar sesuai dengan tanpa Al-Qur‟an dan
Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur‟an yang menerangkan bahwa hadits merupakan
sumber hukum Islam selain Al-Qur‟an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal
perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen.
Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur‟an. Secara rasional,
sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang
dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur‟an. Apabila Al-Qur‟an sebagai mubayyan
tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada
bayyan, maka mubayyan tidak hilang.
Kedua, Al-Qur‟an bersifat qat‟iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat zanniy
al-subut.
Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan
kedudukan sunnah setelah Al-Qur‟an seprti hadits yang sangat populer mengenai
pengutusan Mu‟az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka
subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur‟an.
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam:
A. Dalil Al-Qur‟an

Banyak dari ayat Al-Qur‟an yang menerangkan tentang kewajiban untuk


dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan oleh Rasul kepada
umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup.
Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul juga
dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau dibawa oleh
beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah
QS. Al- „Imran:32 yang berbunyi:

َ‫َّللاَ ال ي ُِحةُّ ْانكَافِ ِريه‬


‫سى َل فَإ ِ ْن ت ََىنه ْىا فَإِ هن ه‬
ُ ‫انر‬ ‫قُ ْم أ َ ِطيعُىا ه‬
‫َّللاَ َو ه‬

Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling,


maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." – (QS. Al-
„Imran 3:32)

Dari banyaknya ayat Al-Qur‟an ini membuktikan bahwa dimana setiap ada
perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian pula
mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam penetapan
untuk taat kepada semua yang diperintah Rasulullah SAW.

A. Dalil al-hadits

Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan


menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur;an sebagai pedoman
utamanya, beliau bersabda:

: ‫وقال ملسو هيلع هللا ىلص‬

)‫تركت فيكم امريه نه تضهىا ما تمسكتم تهما كتاب هللا وسنة اننثيو ملسو هيلع هللا ىلص (روه مانك في مىطأ‬
Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: “Telah ku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian
tidak akan tersesat selama berpegang teguh denga dua perkara ini, yaitu Kitab Allah
(Alqur‟an) dan Sunnah Nabi SAW (Al-Hadist)
Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang pedoman hidup maupun
penetapan hukum. Hadits-hadits tersebut menunjukkan terhadap kita bahwa berpegang teguh
kepada hadits sebagai pedoman hidup iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur‟an.
B. Kesepakatan ulama (ijma‟)

Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits


sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a. Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah,
sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b. Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah batu.
Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c. Diceritakan dari Sa‟i bin Musayyab bahwa „usman bin „affan berkata: ”saya duduk
sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah
dan saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah

Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam. Al-


syafi‟i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur‟an. Dalam banyak
Al-Qur‟an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab (Al-Qur‟an).
Namun al-syafi‟i menyimpulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah Al-
Qur‟an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits. Dalam
sejarah tercatat, ada sekelompok kecil umat Islam yang menolak adanya sunnah atau
hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan
munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan al-syafi‟i yang
dikelompokkan dalam tiga golongan:
1. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
2. Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki
kesamaan denga petunjuk Al-Qur‟an
3. Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad

Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk
kaitannya dalam hal ibadah, akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial.
Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam dapat dilihat dari
beberapa argumen Al-Qur‟an, ijma‟ maupun argumen rasional.
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep sunnah
ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di identikkan dengan
istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik oleh Fazlur Rahman
sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in quantity
and that it was not something meant tobe absolutely specific; that the concept
sunnah after the time of the propher himself but also the interpretation of the
prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last sense is co-extensive with the
ijma‟ of the community, which is essentially an ever-expanding process;and
finally; that after the mass-scale hadith movement the organic relationship
between the sunnah, ijtihad, and ijma‟ was destroyed”
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak
jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa
konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi
juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah
dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma‟ yang pada dasarnya
merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan
yang terkhir sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran,
hubungan organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma‟ menjadi rusak.
2.3 PERKEMBANGAN ILMU FIQIH

2.3.1 Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Rosulullah SAW

ini Zaman berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan yang di bagi menjadi dua
masa yakni,masa makkah dan masa madinah.masa ini juga di sebut sebagai periode
pertumbuhan,masa ini di mulai sejak kebangkitan(bi‟tsah) nabi muhammad saw hingga
beliau wafat(12 rabi‟ul awwal 11hijriyah /8 juni 632 masehi)
pada masa mekkah yaitu ketika nabi masih melakukan dakwah perorangan secara
sembunyi-sembunyi dengan memberikan penekanan kepada aspek tauhid.kemudian diikuti
dengan dakwa terbuka.masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan hanya sedikit ayat
hukum yg di turunkan.hal ini memang wajar bagaikan mendirikan sebuah
bangunan,fondasilah yg di buat terlebih dahulu.setelah itu di bangunlah bagian lainnya di
atas fondasi itu.begitu pula membangun manusi beragama,keimanan dan tauhidlah yang perlu
di tanamkanterlebih dahulu karena memang itulah dasar dari pada agama itu sendiri.1[1]
pada masa ini risalah kenabian beridsi tentang ajaran-ajaran akidah dan
ahlaq.kesemua ini di masa rosulullah di terangkan dalam al-qur‟an sendiri dan kemudian di
perjelas lagi oleh rosulullah dalam sunahnya.hukum yang di tetapkan dalam al-qu‟an atau
sunnah kadana-kadang dalam bentuk jawaban dari sebuah pertanyaan atau di sebabkan
terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yg di keluarkan rosulullah ketika
memutuskan sesuatu perkara.
pada masa itu hanya ada dua sumber fikih yaitu al-qur‟an dan sunnah.pada masa ini
dalam mengambil keputusan amaliyah para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri
karena,mereka dapat bertanya langsung pada rosulullah jika mendapati suatu masalah yang
belum mereka ketahui.demikian pula untuk memahami kedua sumber hukum syari‟ah ini
para sahabat tidak membutuhkan metodologi khusus,karena mereka mendengarkannya
langsung dari rosulullah saw.
Pada masa selanjutnya ialah masa madinah yakni sejak rosulullah hijrah ke
madinah.pada masa rosulullah ini terbentuklah negara islam di madinah.pada masa ini islam
dengan sendirinya memerlukan seperangkat aturan hukum yang dapat mengatur sistem
kehidupan masyarakat islam di madinah itu.olehkarena itu,secara berangsur-angsur wahyu
allah swt mulai berisi hukum-hukum,baik karena suatu peristiwa kemasyarakatan yang
memang memerlukan penanganan yuridis dari rosulullah saw,ataupun karena adanya
pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh masyarakat,atau juga wahyu yang di turunkan
allah swt tanpa suatu sebab.2[2]
Pada masa ini ilmu fikih lebih bersifat praktis dan realis dalam arti hal ini kaum
muslim mencari hukum dari suatu peristiwa tersebut betul-betul terjadi.misal pada masa itu
ada seorang muslim/muslimin yang mengalami suatu kasus atau peristiwa yang memerlukan
pemecahan masalah atau bisa di sebut di perlukan solusi,jadi pada masa ini para kaum islam
itu langsung mencari hukum-hukumnya langsung dengan menanyakan kepada rosulullah saw
untuk menemukan suatu solusi dari peristiwa/kasus itu.
kebanyakan pada masanya rosulullah ini adalah ayat turun setelah terjadinya suatu
peristiwa jadi,ada peristiwa dahulu dan setelah itu baru turun ayat dari allah swt.sumber
hukum pada masa rosulullah ini adalah wahyu yang di turunkan kepada nabi muhammad saw
baik yang kata-kata dan maknanya langsung dari allah swt (al-qur‟an) maupun hanya
maknanya dari allah swt,sedang kata-katanya dari rosulullah saw(hadis).masa ini berlangsung
sekitar pada 622 masehi hingga rosulullah wafat 11 hijriyah.perjalanan fikih tidak berhenti
pada masa rosulullah saw ini namun di lanjutukan/di teruskan oleh para sahabat nabi.

2.3.2 Sejarah Perkembangan Fiqih Zaman Sahabat


Periode ini bermula dari 11 hijriyah sejak rosulullah wafat hingga akhir abad pertama
hijriyah kurang lebih 101 hijriyah. pada masa sahabat dunia islam sudah meluas, yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah
mengherankan apabila pada periode sahabat ini di bidang hukum di tandai dengan penafsiran
para dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Disamping itu juga terjadi hal-hal
yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat islam menjadi beberapa kelompok
yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Ammer Ali, pada hakikatnya: ”permusuhan
suku dan permusuhan padang pasir yang di korbankan oleh perselisihan
dinasti”.3[3]Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliyah, kemudian pada zaman
Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan perlaksanaan ukhuwah islamiyah.
Diperiode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syariat yang
sempurna berupa Alquran dan Hadis Rasul. Hanya tidak semua orang dapat memahami
materi atau kaidah hukum yang terdapat pada kedua sumber (Alquran dan Hadis) itu secara
benar karena,
1. Tidak semua orang yang mempunyai kemampuan yang sama maupun karena masa atau
pergaulan mereka yang tidak begitu dekat denga nabi, banyak di antara kaum Muslimin yang
tidak memahami sumber tersebut seorang diri tanpa bantuan orang lain.
2. Belum tersebar luasnya materi atau teori-teori hukum itu dikalangan kaum Muslimin
akibat parluasan daerah seperti diatas.
3. Banyaknya peristiwa hukum baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah yang
ketentuan hukmnya secara pasti tidak ditemukan dalam nash syariat.
Didorong oleh ketiga hal tersebut , para sahabat merasa dituntut untuk memberikan
tantangan segala hal yang perlu dijelaskan, memberi tafsiran terhadap ayat atau hadis serta
memberi fatwa tentang kasus-kasus yang terjadi pada masa itu, tapi tidak ditemukan
ketentuan hukumnya dalam nash denga melakukan ijtihad.
Para sahabat dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan pendapat yaitu:
1. Kebanyakan ayat alquran dan hadis bersifat zhanny dari sudut pengertiannya.
2. Belum termodifikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani secara utuh dan menyeluruh.
3. Linkungan dan kondisi daerah yang dialami serta dihadapi oleh sahabat tidak sama.4[4]
Cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nashnya dalam Alquran, apabila
tidak ada, dicari dalam hadis, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah
diantara para sahabat. Walaupun demikian tidaklah menutupi kemungkinan adanya ijtihad
para sahabat dalam masalah-masalah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung
dengan kemaslahatan umum. Dalam masalah-masalah ijtihadnya termasuk dalam hal-hal
yang belum ada nashnya para sahabat berijtihad.
Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber hukum yaitu Al-Quran, Alsunnah
dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama‟i dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardhi dalam hal-hal yang bersifat
pribadi
Untuk bentuk ijtihad fardhi, ada kemungkinan terjadi perpedaan pendapat dikalangan
1. Tidak semua ayat Al-Quran dan Sunnah itu qath‟i dalilnya dan penunjukannya
2. Hadis belum terkumpul dalam satu kitab dan tidak semua sahabat hafal hadist.
3. Lingkungan di mana para sahabat brdomisili tidaklah sama, keperluan-keperluannya
berbeda dan penerapan juga berlainan.5[5]
Pada masa sahabat, islam sudah menyebar luas misalnya kenegeri Persia, Irak, Syam
Dan mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-
adat kebiasaan tertentu,peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya islam dengan
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat. Seprti misalnya kasus Usyuur (bea
cukai barang-barang impor), kasus muallaf dan lain-lain pada zaman Umar bin Khattab.
2.3.3 Sejarah Perkembangan Fiqih pada zaman tabi’in
Periode Tabi‟in dimulai setelah lepas kekuasaan Ali sebagai khalifah dan kemudian
tampuk kekuasaan dipegang oleh pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan yang berakhir
pada awal abad 2 H, seiring dengan berakhirnya dinasti Umayah. Tokoh-tokoh fiqih pada
masa ini adalah murid-murid dari sahabat Nabi. Beberapa fenomena yang berkembang pada
waktu itu diantaranya :
a) Kaum muslimin terpecah menjadi beberapa firqah karena motif politik.
b) Ulama-ulama muslimin telah menyebar ke beberapa negara besar islam.
c) Tersiar riwayat hadist yang sebelumnya hal itu dilarang dan belum dibukukan.
d) Terdapat manipulasi hadist karena moptif politik.
Secara umum, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi SAW,
sedangkan para tabi‟in mengambil pendapat-pendapat tersebut dari para sahabat. Mereka
menghafal apa yang mereka dengar berupa Hadist dari Nabi SAW dan pendapat-pendapat
para sahabat sekali us memahaminya, mengumpulkan apa saja yang diperselisihkan
dikalangan sahabat, dan mentarjih sebagian pendapat atas sebagian yang lainnya. Dalam
pendapat mereka, suatu pendapat meskipun berasal dari para sahabat senior, bisa lenyap
(tidak berlaku), semisal pendapat tersebut menyeselisihi Hadist Nabi SAW yang masyhur di
tengah-tengah mereka.
Dengan demikian, masing-masing ulama tabi‟in memiliki madzhab yang dianutnya,
sehingga masing-masing daerah memiliki imam panutan,seperti : Sa‟id bin Musayyib dan
Salim bin Abdillah bin Umar di Madinah. Ulama Madinnah yang terkenal setslah mereka
adalah Az-Zuhri, Yahya bin Sa‟id dan Rabi‟ah bin Abdirrahman, Atha‟ bin Abi Rabbah di
Mekkah, Ibrahim An Nakha‟i dan Asy Sya‟bi di Kufah, Al Hasan di Bashrah, Thawus bin
Kaisan di Yaman,dan Makhul di Syam.
Allah SWT menjadikan orang-orang haus akan ilmu mereka, ingin mendapat ilmu
serta mengambil darinya Hadist Rasulullah SAW, serta mengambil madzhab dan penelitian
para ulama tersebut. Dan juga meminta fatwa, dan mengajukan berbagai kasus yang
berkembang di tengah-tengah mereka kepada para ulama tersebut.
Jadi, masing-masing kelompok memiliki pandangan tersendiri tentang suatu masalah
menurut hasil penelitian yang mereka lakukan. Namun, perkara yang sudah menjadi
kesepakatan para ulama, mereka pegang dengan kuat. Adapun masalah-masalah ikhtilaf
(perselisihan pendapat), mereka pilih mana yang terkuat dan paling rajih. Apabila tidak
menemukan jawaban atas suatu persoalan dari hadist-hadistn yang mereka hafal, Mereka
tidak serta merta menggunakan isyarat dan petunjuk (dari dalil-dalil yang mereka hafal).
Dengan cara itu, mereka merndapatkan permasalahan yang cukup banyak dalam setia bab
fiqih.6[6]
2.3.4 Sejarah Perkembangan Fiqih Pada Zaman Kontemporer
Perkembangan fiqih kontemporer pada intinya merupakan respon fiqih terhadap
masalahp-masalah baru yang tidak memiliki legitimasi (mengesahkan) klasik. Walaupun
fiqih klasik tidak memiliki legitimasi terhadap persoalan baru bukan berarti fiqih klasik tidak
mampu mampu menjawab persoalan baru, justru salah satu prinsip pembentukan fiqih
kontemporer harus berpijak kepada fiqih klasik, dan metedologi pembentukan fiqih sebagai
pijakan dasar pembentukan fiqih kontemporer (dasar ini sering terlupakan oleh pakar fiqih
ketika menyelesaikan persoalan baru).
Semakin majunya perkembangan teknologi dunia, tak heran kalau fiqih klasik menjadi
sorotan orang-orang modernis (liberaris) yang beranggapan fiqih klasik sudah tidak akurat
lagi pada zaman ini dan harus direnovasi kembali, bagi mereka tidak semua permasalahan di
zaman serba mesin ini mampu dijawab dan di respon oleh kitab yamg dikarang pada ratusan
tahun yang silam, ketika zaman mesin “sederhana”. Oleh karenanya, kata kelompok modernis
ini, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena kitab kuning lahir dan tercipta untuk
menjawab permasalahan di masanya.
Menurut persepsi orang-orang modernis mereka beranggapan bahwa akal ( rasio) di
atas segala-galanya dalam penentuan hukum. Menurur mereka setiap individu bebas
menentukan hukum permasalahannya. Kelompok ini juga berpandangan bahwa ulama-ulama
dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu dikritisi dan di kaji ulang, sehingga di
perlukan ijtihad baru yng lebih toleran dan bebas.
Menurut Dr.Yusuf Al-qardawy dalam menganalisa fiqih kontemporer, beliau membagi
dalam tiga golongan besar, yaitu tradisionalis, liberalis, dan mederatis.
1. Golongan pertama adalah golongan yang mengedepankan pemahaman literalistikatas teks-
teks agama tanpa memandang perubahan zaman sehingga dalam golongan ini terjadi taqlid
buta atas ulama-ulama terdahulu, tanpa adanya pembaharuan sama sekali. Dalam pandangan
mereka, nash-nash yang sudah ada tidak boleh lagi digugat atau di kritis sehingga dengan
adanya keyakinan seperti ini, pola fikir mereka menjadi kaku dan jumud. Maka tidak heran
kalau banyak dari golongan ini yang berpikiran ekstim dan fundamental. Akibatnya mereka
mengklaim golongan yang selain mereka adalah kafir
2. Golongan yang kedua yaitu golonga liberalis yang selalu mengedepankan rasio dari pad
wahyu tuhan. Sehingga terjadilah pembentukan sautu hukum , karena suatu masalah apabila
di hukumi oleh akal tanpa berpegangpada nash-nash Al-Qur‟an dan hadist maka akan terjadi
kontroversi melihay minimnya kemampuan akal dalam menandingi kalam tuhan.
3. Golongan yang ketiga adalah golongan orang-orang moderat atau kalau tidak berlebihan
penulis namakan golonagan ini dengan golongan yang mencoba mengkolaborasi antara teks-
teks klasik dengan teks-teks yang lebih bebas dan terbuka sehingga tidak terjadi lagi ke
diskuki kakuan dan taqlid buta, di antatanya dengadi bukanya forum-fourm atau seminar-
seminar untuk menetukan suatu hukum msalah.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Jadi dapat kita simpulkan hukum islam mempunyai pengertian sebagai ilmu yang
menjelaskan kepada mujtahid tentang jalan-jalan yang harus ditempuh dalam mengambil
hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri
seperti Al-qur‟an, As-sunnah, Ijma‟, Qiyas, dan lain-lain.
Objek kajian Ushul Fiqh membahas tentang hukum syara‟, tentang sumber-sumber dalil
hukum, tentang cara mengistinbathkan hukum dan sumber-sumber dalil itu serta pembahasan
tentang ijtihad dengan tujuan mengemukakan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seseorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara‟ secara tepat dan lain-lain.
Ruang lingkup ushul fiqh yang dibahas secara global adalah sebagai sumber dan dalil hukum
dengan berbagai permasalahannya, bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum
tersebut dan lain-lain.
Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul fiqh adalah kalau ilmu fiqh berbicara tentang
hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh berbicara tentang metode dan proses
bagaimana menemukan hukum itu sendiri.

3.2 SARAN
Alqur‟an, Alhadits adalah sumber hukum Islam begitu juga dengan ijtihad, Oleh
karenanya diharapkan dan diharuskan agar semua umat Islam menjadikan ketiganya sebagai
pedoman hidup dan dasar hukum dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Afrozi,Agus Salim.2015. Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam. Tangerang: Prodi Teknik
Kimia Fakultas Teknik Universitas Pamulang

Ahmad Maulidin dkk.2013. Makalah Sumber-sumber Ajaran Islam. Semarang: Fakultas


Tarbiyah Universitas Islam Negeri Wali Songo

docs.google.com/document/d/15g-
FHTwQi9AVl13Inmn04z12vZYSyoruskn8mxrbh2o/preview?pli=1 [14 Desember 2015]

Anda mungkin juga menyukai