Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PPN DAN PPNBM


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : PPN
Dosen Pengampu : Andi Saputra, S.E., M.Ak., Bkp

Disusun Oleh :
Annabelle Salsabila Wibowo (120104170029)
Indah Qomariyah (1201041700...)

KELAS A
AKUNTANSI PERPAJAKAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PADJADJARAN
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “PPN dan PPNBM”.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas bapak
Andi Saputra, S.E., M.Ak., BKP pada mata kuliah PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Selain
itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang PPN dan PPNBM bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Andi Saputra, S.E., M.Ak., BKP,
selaku dosen mata kuliah PPN yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Jatinangor, 24 Februari 2020

Tim Penyusun

 
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan kewajiban warga negara yang menunjukan peran serta dari seluruh
masyarakat dalam pembiayaan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan dan
pembangunan. Pajak telah terbukti menjadi sumber utama dalam APBN Indonesia yang
dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembiayaan pengeluaran
negara yang bersumber dari pajak menunjukan adanya kemandirian bangsa untuk mencapai
cita-cita luhur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pajak pada dasarnya merupakan peralihan sebagian kekayaan dari masyarakat kepada
negara yang dimungkinkan oleh Undang-Undang Pajak. Peralihan kekayaan tersebut
membuat pajak dipandang dari dua sisi yang berbeda. Bagi masyarakat seringkali pajak
dinggap sebagai beban. Di sisi lain bagi pemerintah dan fiskus pajak harus dipungut karena
terbukti pajak memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan pajak, baik
dengan usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak.

Jenis pajak yang seringkali kita temui dikehidupan sehari-hari adalah PPN (Pajak
Pertambahan Nilai) dan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Kedua jenis pajak ini
sangat memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pembangunan negara ini, karena
pajak tersebut yang sering kita bayarkan baik secara langsung maupun tidak langsung
dikehidupan sehari-hari.

Sebagai warga negara kita tidak hanya sekadar mengetahui secara sepintas tentang
PPN dan PPnBm, tetapi juga harus mendalami bagaimana sebenarnya kedua jenis pajak ini
serta seluk beluk yang menyangkut hal tersebut. Dengan kata lain agar tidak awam dalam
hal-hal yang menyangkut kewajiban kita sebagai warga negara.
1.2.Rumusan Masalah

1.       Sejarah PPN dan PPNBM?


2.       Dasar Hukum yang digunakan pada PPN dan PPNBM?
3.       Apa saja Ciri ciri PPN dan PPNBM
4.       Bagaimana sistem Pemungutan PPN dan PPNBM

1.3. TUJUAN PENULISAN

1.        Sebagai tugas kelompok dari Dosen PPN.


2.        Penulis dapat lebih mengerti pembahasan PPN dan PPNBM.
3.        Dapat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca makalah ini.
4.        Dapat menyajikan materi secara ringkas agar mudah dimengerti
pembaca/pendengar.

1.4. MANFAAT PENULISAN

1.       Mengetahui dan Memahami sejarah , dasar hukum, serta ciri ciri PPN dan PPNBM
2.       Mengetahui bagaimana sistem pemungutan PPN dan PPNBM
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 KARAKTERISTIK PPN INDONESIA


Pajak memiliki fungsi utama sebagai penerimaan negara (budgetair) yang akan
digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran
rakyat. Oleh karena pajak menyangkut penarikan sebagian dari daya beli masyarakat maka
asas legalitas menjadi syarat wajib dalam pengenaannya. Pajak berdasarkan undang-undang
adalah implikasi dari asas legalitas tersebut. Di samping aspek legalitas, penerapan pajak
juga harus didasarkan pada aspek etis yaitu didasarkan pada teori-teori pembenar dalam
pemungutannya.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak yang memiliki karakteristik-


karakteristik tertentu agar dalam pengenaannya secara etis dapat dibenarkan. Dalam modul
ini akan dibahas lima karakteristik PPN yang diterapkan di Indonesia, yaitu:

1. pajak atas konsumsi,


2. pajak objektif,
3. pajak tidak langsung
4. multi stage tax,
5. indirect subtraction method/ credit method/ invoice method

Karakter-karakter ini tentu saja tidak seratus persen dapat diterapkan dalam praktik
karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Kendati demikian, karakteristik PPN
merupakan kerangka dasar bagi praktik pemungutan dan pengenaan PPN di lapangan.

2.1.1 Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri

Kemampuan orang dalam membayar pajak dapat dilihat dari kemampuannya


memperoleh penghasilan atau juga dari kegiatan konsumsi. Pajak atas konsumsi sesuai
dengan namanya dikenakan terhadap kegiatan konsumsi. Pajak pertambahan nilai termasuk
dalam kategori pajak atas konsumsi dan ini merupakan karakter utama dari PPN. Dalam
penjelasan UU PPN 1984, secara yuridis dikatakan bahwa “Dengan mengingat pada
sistemnya, undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk memperlihatkan bahwa
dua macam pajak yang diatur di sini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi
di dalam negeri”.

Pajak dilahirkan oleh objek pajak dan subjek pajak. Untuk melahirkan pajak, UU
tentunya harus menentukan peristiwa, perbuatan atau keadaan hukum yang menjadi objek
pajak dan pemikul beban pajaknya. Sebagai pajak atas konsumsi, secara teoretis objek PPN
adalah kegiatan konsumsi dan subjek pajaknya adalah konsumen.

a. Kegiatan konsumsi
Apa yang dimaksud dengan konsumsi dalam kaitannya dengan pengenaan pajak?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan konsumsi adalah (1)
pemakaian barang-barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya); (2)
barang-barang yang langsung memenuhi keperluan hidup kita.
Dari pengertian itu, dapat kita simpulkan bahwa kegiatan konsumsi adalah
pemakaian barang-barang hasil produksi yang dipakai untuk memenuhi keperluan hidup.
Pengertian ini apabila dikaitkan dengan proses produksi dan distribusi, memberi gambaran
bahwa kegiatan konsumsi adalah kegiatan pada wilayah konsumen akhir. Barang yang
dibeli oleh konsumen akan dipakai habis untuk keperluannya. Konsumen yang demikian
itulah yang dituju sebagai pemikul beban pajak sesungguhnya. Sebetulnya sesederhana itu,
namun dalam praktiknya karakter ini tidak berdiri sendiri. Pajak pertambahan nilai tidak
dibangun hanya dengan karakter pajak atas konsumsi, tetapi juga karakter lainnya seperti
pajak tidak langsung dan multi stage tax. Meskipun pajak atas konsumsi, namun mekanisme
pembayarannya tidak dilakukan sendiri oleh konsumen melainkan melalui pemungutan oleh
penjual (pajak tidak langsung). Pengenaan PPN juga dilakukan secara bertingkat (multi
stage tax) sejak dari wilayah produksi sampai distribusi ke konsumen akhir.
Pada karakter ini, yang menjadi objek pajak adalah setiap konsumsi di dalam negeri
(daerah pabean). Yang dituju sebagai pemikul beban pajak adalah pihak yang mengonsumsi
yaitu konsumen. Pengenaan PPN terhadap konsumsi diterapkan secara umum, baik atas
konsumsi barang maupun jasa. Berdasar asas netralitas dalam pengenaan, pada prinsipnya
baik konsumen 1.8 PPN dan PPnBM barang maupun jasa memiliki kemampuan yang sama
untuk memikul beban pajak atas konsumsi.

b. Konsumen akhir
Merujuk pada pengertian konsumsi sebagai pemakaian barang yang habis dipakai
oleh konsumen maka PPN pada prinsipnya ditujukan kepada konsumen akhir. Konsumen
akhir merupakan pihak pembeli barang, tidak untuk diolah menjadi barang jadi atau tidak
untuk diperdagangkan lagi melainkan digunakan sendiri untuk keperluan sehari-hari.

c. Prinsip tempat asal dan prinsip tempat tujuan.


Dalam mekanisme pemungutannya, terkait dengan pajak atas konsumsi, terdapat
dua prinsip pengenaan PPN, yaitu prinsip tempat:
1. asal (origin principle),
2. tujuan (destination principle).

Prinsip tempat asal adalah prinsip yang membenarkan pengenaan PPN dilakukan
di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. Prinsip tempat tujuan adalah prinsip
yang membenarkan pengenaan PPN dilakukan di tempat barang atau jasa dikonsumsi.
Perbedaan prinsip ini terlihat jelas dalam kasus ekspor barang. Apabila menganut prinsip
tempat asal maka barang yang diekspor dikenakan di negara tempat eksportir. Sedangkan
apabila menganut prinsip tempat tujuan maka barang yang diekspor dikenakan di negara
tempat importer.

Pengenaan PPN berdasarkan prinsip tempat tujuan melihat kegiatan konsumsi


dari sudut pandang pihak yang menyerahkan barang atau jasa. Sedangkan prinsip tempat
tujuan melihat kegiatan konsumsi dari sisi konsumen. Menurut Untung Sukardji (dalam
bukunya PPN edisi revisi 2009, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta), apabila dikehendaki ada
sifat netral PPN di bidang perdagangan internasional dan prinsip yang dianut adalah prinsip
tempat tujuan (destination principle). Dalam prinsip ini, komoditi impor akan menanggung
beban pajak yang sama dengan barang produksi dalam negeri, karena kedua jenis komoditi
tersebut sama-sama dikonsumsi di dalam negeri maka akan dikenakan pajak dengan beban
yang sama.

2.1.2 Pajak Objektif

Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya
kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya taatbestand. Adapun yang
dimaksud dengan taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat
dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif,
timbulnya kewajiban untuk membayar pajak pertambahan nilai tidak membedakan antara
konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan
berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengonsumsi barang atau jasa dari jenis yang
sama, mereka diperlakukan sama (Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai edisi revisi
2006, hal 21).

Yang menjadi subjek pajak dalam pengertian pajak objektif di atas adalah konsumen,
yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif
konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang pajak.
Siapa pun konsumennya, sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka
terhadap konsumen tersebut dikenai pajak. Lain halnya dengan pajak subjektif seperti pajak
penghasilan yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan
pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Sebagai contoh, pajak pPenghasilan bagi
orang pribadi berbeda dengan pajak penghasilan bagi badan. Demikian pula pajak
penghasilan bagi orang pribadi yang menikah berbeda dengan pajak penghasilan bagi orang
pribadi yang bujangan.

Meskipun PPN adalah pajak konsumsi, tetapi pada dasarnya pengenaannya dilakukan
terhadap penghasilan yang dilakukan secara tidak langsung melalui konsumsi. Pada
umumnya, jumlah uang yang dibelanjakan (dikonsumsi) berasal dari penghasilan yang
diterima setelah dikurangi saving atau investasi. Apabila kita melihat secara makro,
meskipun PPN menimbulkan dampak regresi, namun secara keseluruhan jumlah PPN yang
dibayar secara kuantitatif akan terjadi perbedaan antara konsumen berpenghasilan tinggi
dengan konsumen berpenghasilan rendah. Konsumen berpenghasilan tinggi berpotensi
membelanjakan uangnya lebih banyak dari konsumen berpenghasilan rendah. Secara
keseluruhan, pajak yang dibayar berpotensi menjadi lebih besar dibebankan kepada
konsumen yang berpenghasilan tinggi dibandingkan dengan konsumen yang berpenghasilan
lebih rendah.

Pajak yang sifatnya objektif, lazimnya tidak dipungut tersendiri, melainkan


dimasukkan ke dalam harga barang sehingga sering sekali orang tidak menyadari bahwa
dalam harga barang itu (rokok, bensin) sudah termasuk pajak. Oleh sebab itu, pemungutan
pajak objektif yang tidak langsung ini lazimnya mudah sekali, tetapi sukar diperkirakan
sebelumnya (Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, hal 122).

Ditinjau dari segi keadilan dan dari segi kekuatan pikul, pajak ini kurang memenuhi
rasa keadilan. Akan tetapi, karena cara pemungutannya sangat mudah, oleh negara-negara
(baik negara berkembang maupun negara industri) kehadirannya dalam budget negara
belum dapat dihilangkan sama sekali (Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, hal
122)

2.1.3 Pajak Tidak Langsung

Untuk mengenal karakter ini perlu kiranya dibedakan pengertian subjek pajak
sebagai pemikul beban pajak dan subjek pajak sebagai yang bertanggung jawab terhadap
pembayaran ke kas negara atas utang pajak yang lahir. Dalam pajak penghasilan kedua
subjek pajak ini berada di pundak satu pihak yaitu yang menerima penghasilan. Pajak
penghasilan merupakan jenis pajak dengan karakteristik pajak langsung.

Karakteristik pajak tidak langsung mengandung pengertian bahwa antara pemikul


beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak
yang berbeda. Pihak yang memikul beban pajak adalah konsumen dari barang dan jasa,
sedangkan pihak yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara adalah
pihak penjual. Dalam karakteristik pajak tidak langsung, penjual tidak saja bertanggung
jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara, tetapi juga diberi kewenangan untuk
melakukan fungsi penetapan yang melahirkan utang pajak. Fungsi penetapan ini dalam UU
PPN 1984 diaplikasikan dalam bentuk penerbitan faktur pajak. Faktur pajak ini dari sisi
penjual merupakan bukti dilakukannya pemungutan pajak yang selanjutnya wajib disetor ke
kas negara. Sedangkan bagi pembeli, faktur pajak ini merupakan bukti adanya beban pajak
yang harus dibayar kepada penjual.

2.1.4 Multi Stage Tax

Pajak pertambahan nilai dikatakan berkarakter multi stage tax, apabila pengenaan
PPN dilakukan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi dari suatu barang
sampai ke konsumen akhir. Pengenaan yang demikian sebenarnya sedikit menyimpang dari
makna PPN sebagai pajak atas konsumsi karena pada dasarnya belum terjadi kegiatan
konsumsi apabila masih dalam jalur produksi maupun distribusi sebelum sampai ke
konsumen akhir. Kegiatan konsumsi baru terjadi apabila barang sudah sampai di konsumen
akhir, yaitu pada wilayah distribusi oleh pedagang pengecer. Pengenaan PPN secara
bertingkat sejak jalur produksi sampai distribusi pada dasarnya akan menyebabkan
pengenaan pajak berganda apabila tidak disertai mekanisme lain untuk menghindarinya.
Akan tetapi, karakteristik ini tidak bisa kita pahami sebagai karakter yang berdiri sendiri.
Karakteristik ini harus dirangkai dengan karakter lainnya yang bertujuan menghindari
pengenaan pajak berganda agar dalam pengenaannya masih sesuai dengan karakter PPN
sebagai pajak atas konsumsi.

Karakteristik PPN multi stage tax mesti dipahami secara menyeluruh dikaitkan
dengan karakteristik lainnya yang berfungsi menghindari pengenaan pajak berganda.

Secara sederhana, sebetulnya single stage tax lebih bisa diterapkan untuk
menghindari pengenaan pajak berganda. Jika yang dituju sebagai pemikul beban pajak
adalah konsumen pada wilayah pabrikan, maka dapat diterapkan pengenan pajak secara
single stage tax pada wilayah pabrikan. Demikian pula, jika yang dituju adalah konsumen
akhir maka dapat diterapkan pengenaan pajak secara single stage tax pada wilayah
pedagang eceran. Meski sederhana dalam pengenaannya, namun dalam praktiknya yang
demikian itu menimbulkan banyak kesulitan. Hal ini dikarenakan setiap pabrikan tentu
dapat menjual produknya tidak hanya kepada pedagang besar, tetapi juga dapat langsung ke
konsumen akhir. Pedagang besar tidak hanya menjual produknya kepada pedagang eceran,
tetapi juga dapat menjual produknya kepada konsumen akhir. Oleh karena setiap pengusaha
pada wilayah pabrikan, dan pada wilayah distribusi dapat bertindak sebagai pedagang
eceran maka akan menjadi sulit dalam pengawasannya. Untuk kepentingan pengawasan,
pengenaan PPN secara multi stage tax lebih bisa diterapkan dengan risiko pengenaan pajak
secara berganda. Multi stage tax membutuhkan karakteristik lainnya agar penerapan pajak
atas konsumsi tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda dan dalam pelaksanaannya
lebih mudah diawasi.

2.1.5 Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method

Karakteristik ini merupakan karakteristik yang dimaksudkan agar pengenaan PPN


yang dilakukan secara bertingkat sejak jalur produksi sampai jalur distribusi ke konsumen
akhir tidak menimbulkan pajak berganda. Mekanisme yang dipilih oleh UU PPN untuk
menghindari pengenaan pajak berganda adalah dengan menggunakan metode pengurangan
tidak langsung. Karakteristik ini tidak diperlukan sekiranya mekanisme pemungutan PPN
menggunakan metode single stage tax. Dengan metode ini, pajak yang dipungut dari
pembeli yang merupakan output tax sebelum disetor ke kas negara dikurangi dahulu dengan
pajak yang dibayar pada saat perolehan barang yang disebut input tax. Dengan menyetor
hanya selisih lebih dari output tax dikurangi input tax maka tidak akan terjadi penyetoran
pajak yang double. Mekanisme pengurangan tidak langsung ini hanya diberlakukan pada
jalur yang belum terdapat kegiatan konsumsi, yaitu jalur produksi sampai distribusi sebelum
ke konsumen akhir.

Metode yang dipilih untuk melakukan pengurangan adalah melalui pengkreditan


pajak. Dalam UU PPN, yang dimaksud dengan output tax adalah pajak keluaran sedangkan
input tax adalah pajak masukan. Untuk menghitung PPN terutang yang harus disetor dalam
suatu masa pajak dilakukan dengan cara pengkreditan pajak masukan terhadap pajak
keluaran.

Sarana yang digunakan untuk pengkreditan pajak masukan adalah dengan


menggunakan faktur pajak (invoice method). Dalam faktur pajak terdapat jumlah PPN
terutang yang dipungut penjual dan menjadi beban pembeli.
Dalam penjelasan UU PPN 1984, pertambahan nilai dijelaskan sebagai berikut.
Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur
perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang
atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan
dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba
pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak
pertambahan nilai.

2.2 Mekanisme Pemungutan PPN dan PPNBM

2.2.1 Mekanisme Pemungutan PPN Berdasarkan Peraturan yang Berlaku


Secara umum, mekanisme pemungutan PPN merupakan rekanan menerbitkan
faktur pajak dan menerbitkan SSP atas setiap penyerahan BKP/JKP ke pemungut
PPN.

Dengan demikian, pembeli atas BKP/JKP yang terkait wajib membayar ke


PKP penjual sebesar harga jual ditambah PPN terutang. Tarif PPN sebesar 10%.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.03/2012 tentang


Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012 tentang
Penunjukan Badan Usaha Milik Negara untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya, mekanisme pemungutan PPN adalah:

a. Rekanan memiliki kewajiban dalam membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak
(SSP) atas tiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak
(JKP) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
b. Faktur pajak dibuat sesuai ketentuan di bidang perpajakan.
c. Mencantumkan NPWP dan identitas rekanan dan melakukan penandatanganan SPP
yang dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama rekanan tersebut.
d. Atas penyerahan BKP, selain terutang PPN, yakni terutang pula PPnBM, maka
rekanan mencantumkan pula jumlah PPnBM terutang pada faktur pajak.
e. Faktur pajak dibuat rangkap 3. Lembar pertama untuk BUMN, lembar kedua untuk
rekanan, dan ketiga untuk BUMN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN.
f. SSP dibuat rangkap 5. Lembar pertama untuk rekanan, kedua untuk KPPN lewat
bank persepsi atau kantor pos, ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT
Masa PPN, keempat untuk bank persepsi atau kantor pos, kelima untuk BUMN yang
dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi pemungut PPN.
g. Melakukan pemungutan wajib menyertakan cap “Disetor tanggal ……….” dan
menandatanganinya pada faktur pajak.
h. Faktur pajak dan SSP adalah bukti pemungutan dan penyetoran atas PPN dan
PPnBM.

2.2.1.1 Mekanisme Pelaporan PPN yang Perlu PKP Ketahui


Pelaporan PPN oleh PKP dilakukan setiap bulan dan laporannya disampaikan
ke KPP tempat BUMN terdaftar. Pelaporan tersebut dilakukan paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak menggunakan formulir “Surat
Pemberitahuan masa PPN bagi Pemungut PPN.

Kemudian dilampirkan dengan faktur pajak lembar ketiga dan SSP lembar
kelima yang terdapat pemungutan PPN atau PPnBM. Dasar pemungutan PPN adalah
total pembayaran yang dilakukan bendaharawan pemerintah.

2.2.1.2 Pemungut PPN


Pemungut PPN adalah badan atau instansi yang ditunjuk oleh menteri
keuangan yang memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan
pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa kena Pajak
(JKP) yang dikenakan PPN.
Adapun pemungut PPN sesuai dengan arahan dari menteri keuangan tersebut
terbagi menjadi tiga, antara lain:

1. Bendaharawan pemerintah, kantor perbendaharaan, dan kas negara.


2. Pemegang kuasa/izin atau kontraktor.
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

2.2.2 Mekanisme Pemungutan PPnBM


Secara umum, mekanisme pemungutan PPnBM terbagi menjadi dua:

1. Mekanisme pemungutan PPnBM oleh PKP penjual kepada PKP pembeli


2. Mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM
 

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pemungutan PPnBM adalah


sama dengan PPN, dimana PKP penjual yang menyerahkan BKP yang tergolong
mewah menerbitkan faktur pajak kepada PKP pembeli dan melaporkan pungutan
PPN dan PPnBM yang dilakukan dalam SPT masa pajak. Faktur pajak yang
digunakan untuk transaksi ini adalah faktur pajak dengan kode 01.

Sementara, mekanisme pemungutan PPnBM oleh pemungut PPN/PPnBM,


yakni bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang
oleh PKP atas penyerahan BKP kepada pemungut PPN/PPnBM, terdiri atas tiga
yakni:

1. Mekanisme pemungutan PPN oleh bendaharawan pemerintah dan Kantor Pelayanan


Perbendaharaan Negara (KPPN).
2. Mekanisme pemungutan PPN oleh pemegang kuasa/izin atau kontraktor.
3. Mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

2.2.2.1 Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Bendaharawan Pemerintah dan KPPN


Mekanisme pemungutan PPnBM oleh bendaharawan pemerintah dan KPPN
adalah sebagai berikut:

1. PKP rekanan pemerintah membuat faktur pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP) pada
saat menyampaikan tagihan kepada bendaharawan Pemerintah atau KPKN baik
untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
2. Rekanan menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 02.
3. Apabila pembayaran diterima sebelum penagihan atau sebelum penyerahan BKP,
faktur pajak wajib diterbitkan pada saat pembayaran diterima.
4. PKP rekanan mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.
 

Faktur pajak yang diterbitkan oleh oleh bendaharawan pemerintah dan


KPPN ini dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk bendahara, untuk arsip
PKP rekanan dan untuk KPP melalui bendahara pemerintah.

PKP rekanan kemudian mengisi SSP dengan membubuhkan Nomor Pokok


Wajib Pajak (NPWP) dan identitas PKP rekanan Pemerintah yang bersangkutan,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atau KPKN
sebagai penyetor atas nama PKP rekanan pemerintah.

Pada lembar faktur pajak oleh bendaharawan pemerintah yang melakukan


pemungut wajib dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM dan
ditandatangani bendaharawan pemerintah.
Sementara, apabila pemungutan oleh bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat
dalam rangka 5. Setelah PPnBM disetor di bank persepsi atau kantor pos, lembar-
lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:

o Lembar ke-1, untuk PKP rekanan


o Lembar ke-2, untuk KPP melalui KPPN
o Lembar ke-3, untuk PKP rekanan guna dilampirkan pada SPT masa pajak
o Lembar ke-4, untuk bank persepsi atau kantor pos atau pertinggal untuk
KPPN
o Lembar ke-5, untuk arsip bendahara
 

Apabila pemungutan oleh KPKN, SSP dibuat 4 rangkap yang masing-masing


diperuntukkan sebagai berikut:

o Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah.


o Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melalui KPKN.
o Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintah dilampirkan pada SPT masa
pajak.
o Lembar ke-4 untuk KPKN.
 

KPPN kemudian membubuhkan cap “TELAH DIBUKUKAN” pada SSP


lembar ke-1 dan lembar ke-2. Selain itu, KPPN yang melakukan pemungutan harus
mencantumkan nomor dan tanggal advis SPM pada setiap lembar Faktur Pajak dan
SSP. Untuk pengisian SSP, menggunakan kode akun pajak 411211 dengan kode jenis
setoran 910.

2.2.2.2 Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama


Mekanisme pemungutan PPnBM oleh kontraktor kontrak kerja sama adalah
sebagai berikut:
1. Rekanan membuat faktur pajak pada saat pemungutan
2. Rekanan membuat faktur pajak dengan kode faktur 030
3. Faktur pajak dibuat dalam tiga rangkap, masing-masing untuk kontraktor atau
pemegang kuasa, untuk rekanan dan untuk kontraktor atau pemegang kuasa yang
akan dilampirkan dalam SPT masa pajak.
 

Pada faktur pajak tersebut, kontraktor atau pemegang kuasa yang melakukan
pemungutan wajib membubuhkan cap yang menunjukan tanggal penyetoran PPnBM
dan kemudian menandatangani.

Sementara, untuk SSP diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas


rekanan, namun yang menandatangani SSP adalah kontraktor atau pemegang
kuasa/pemegang izin selaku penyetor PPN/PPnBM atas nama rekanan.

SSP-nya sendiri dibuat lima rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:

 Lembar kesatu untuk rekanan.


 Lembar kedua untuk KPPN melalui bank persepsi atau kantor pos
 Lembar ketiga untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT masa pajak.
 Lembar keempat untuk bank persepsi atau kantor pos.
 Lembar kelima untuk kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin yang
dilampirkan pada SPT masa pajak bagi pemungut PPN/PPnBM.

2.2.2.3 Mekanisme Pemungutan PPnBM oleh BUMN


Rekanan BUMN membuat faktur pajak dan SSP saat penyerahan BKP yang
tergolong mewah kepada BUMN. Faktur pajak yang dibuat oleh rekanan BUMN
menggunakan kode faktur 03.

Ketentuan mengenai faktur pajak terkait mekanisme pemungutan PPnBM


oleh BUMN adalah sebagai berikut:
1. Faktur pajak dibuat saat penyerahan.
2. Faktur pajak dibuat dua rangkap, untuk BUMN dan rekanan BUMN.
3. Pada faktur pajak yang dibuat, dibubuhi cap yang menunjukan tanggal penyetoran
dan ditandatangani oleh BUMN.

Sementara, ketentuan mengenai SSP adalah sebagai berikut:

1. Rekanan mengisi SSP dengan membubuhkan NPWP serta identitas rekanan BUMN,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh BUMN sebagai penyetor atas nama
rekanan
2. SSP dibuat 4 rangkap, masing-masing untuk:
o Rekanan BUMN
o Untuk KPPN melalui bank persepsi atau kantor pos.
o Untuk rekanan yang dilampirkan pada SPT masa pajak.
o Untuk bank persepsi atau kantor pos.

BAB II

PENUTUP

3.1 Simpulan

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM) lebih menunjukan sebagai identitas dari suatu sistem pemungutan pajak
atas konsumsi daripada nama suatu jenis pajak, mengenakan pajak atas nilai tambah
yang timbul pada barang atau jasa tertentu yang dikonsumsi. Namun sebelum barang
atau jasa tersebut sampai pada tingkat konsumen, PPN telah dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Meskipun demikian, pemungutan
pajak secara bertingkat ini tidak menimbulkan efek ganda karena adanya metode
perolehan kembali pajak yang telah dibayar (kredit bayar) oleh Pengusaha Kena
Pajak sehingga persentase beban pajak yang dipikul oleh konsumen tetap sama
dengan tarif pajak yang berlaku. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa panjang
pendek jalur produksi atau distribusi tidak mempengaruhi persentase beban pajak
yang dipikul oleh konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Rochmat Soemitro, Prof. Dr. SH & Dewi Kania Sugiharti, SH., MH.: Asas Dan Dasar
Perpajakan 1 edisi revisi.
Santoso Brotodihardjo, R.S.H: Pengantar Ilmu Hukum Pajak, JakartaBandung: PT Eresco,
1982.
Sukardji, Untung, SH: Pajak Pertambahan Nilai Edisi Revisi 2009, Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Diakses pada tanggal 24 Februari 2020 https://www.online-pajak.com/mekanisme-
pemungutan-ppn
Diakses pada tanggal 24 Februari 2020 https://www.online-pajak.com/mekanisme-
pemungutan-ppnbm

Anda mungkin juga menyukai