Anda di halaman 1dari 29

PERANCANGAN STRUKTUR SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMAN (SPM)

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 5 :

1. SRI MULIYANTI (A1C015


2. NIKI AULIA DEWI (A1C016114)
3. NIRSA MULIANA (A1C016116)
4. NITA ZULPIANA (A1C016117)
5. ZOHRATUL AINI (A1C016161)

KELAS : C

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas
kehendak-Nyalah , makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.Penulisan makalah
yang berjudul “Perancangan Struktur Sistem Pengendalian Manajeman”ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Pengendalian Manajeman. Selain
untuk tujuan tersebut, penulisan makalah ini juga untuk menjelaskan secara lebih luas
mengenai Perancangan Struktur Sistem Pengendalian Manajemandengan memberikan
penjelasan dan informasi yang dapat diterima pada umumnya.

Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama


disebabkan oleh kurangnya informasi dan wawasan. Namun berkat bimbingan dari berbagai
pihak, akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sepantasnya jika penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung dan berkontribusi dalam
penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari, bahwa makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh
karena itu, penulis memohon maaf atas kekurangan yang ada dan sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di
masa yang akan datang.

TerimaKasih.

Mataram, Oktober 2018

Penulis
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

I.1 LatarBelakang ............................................................................................................... 3

I.2 RumusanMasalah .......................................................................................................... 3

I.3 Tujuan ........................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 4

II.1 ..................................................................................................................................... 6

II.2 ...................................................................................................................................... 3

II.3 ...................................................................................................................................... 3

II.4 ...................................................................................................................................... 3

II.5 ..................................................................................................................................... 3

BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 4

III.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 3

III.2 Saran ........................................................................................................................... 3

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 4


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kerangka konseptual pendesainan sistem perencanaan dan pengendalian
manajemen, SPPM terdiri dari dua komponen: strukur sistem dan proses sistem.
Perumusan visi dan misi strategi organisasi perencanaan kegiatan untuk mewujudkan visi
dan misi strategi tersebut, serta pengimplementasian dan pemantauan rencana kegiatan
tersebut memerlukan struktur sistem untuk menampung kegiatan perencanaan dan
pelaksanaan rencana tersebut. Oleh karena struktur SPPM bersifat abstrak dan kompleks,
diperlukan kerangka untuk menggambarkan komponen-komponen yang perlu didesain
untuk membangun struktur sistem tersebut. Kerangka konseptual pendesaianan struktur
SPPM yang diuraikan, menggambarkan komponen-komponen yang diperlukan untuk
membangun struktur SPPM, dan rerangka pendesainannya, agar struktur sistem tersebut
efektif sebagai sarana untuk menyusun rencana yang telah disusun.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaiamana konsep struktur sistem dan rerangka konseptual pendesainan struktur


SPPM?
2. Bagaimana komponen struktur SPPM?
3. Bagaimana pendekatan fungsional hierarkis?
4. Bagaiaman tren kondisi lingkungan bisnis dan sifat pekerjaan?
5. Bagaimana pergeseran pradigma terhadap organisasi?
6. Bagaimana usaha alternatif pengorganisasian modal manusia?
7. Bagaimana perwujudan sistem ownership approach dalam struktur SPPM?

1.3 TUJUAN

1. Untuk mengetahui bagaiamana konsep struktur sistem dan rerangka konseptual


pendesainan struktur SPPM
2. Untuk mengetahui bagaimana komponen struktur SPPM
3. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan fungsional hierarkis
4. Untuk mengetahui bagaiamana tren kondisi lingkungan bisnis dan sifat pekerjaan
5. Untuk mengetahui bagaimana pergeseran pradigma terhadap organisasi
6. Untuk mengetahui bagaimana usaha alternatif pengorganisasian modal manusia
7. Untuk mengetahui bagaimana perwujudan sistem ownership approach dalam struktur
SPPM
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Struktur Sistem Dan Rerangka Konseptual Pendesainan Struktur SPPM

Struktur sistem adalah komponen-komponen yang berkaitan satu dengan lainnya


yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem. Setiap komponen dalam struktur
memiliki fungsi tertentu untuk mencapai tujuan sistem. Struktur sistem yang sehat adalah
struktur yang setiap komponennya didesain sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis
yang akan diterapi sistem tersebut.

Structure follows function. Arsitek menggunakan prinsip tersebut dalam mendirikan


sebuah bangunan. Prinsip tersebut juga berlaku dalam membangun organisasi. Struktur
organisasi dibangun berdasarkan fungsi yang dituntut oleh organisasi yang bersangkutan
untuk menghadapi lingkungannya. Jika organisasi dibangun untuk memasuki lingkungan
bisnis yang menuntut kecepatan pengambilan keputusan, yang di dalamnya konsumen
memegang kendali bisnis dan yang mempekerjakan knowledged worker, struktur
organisasi yang pas dengan fungsi organisasi tersebut adalah yang memiliki karakteristik:
responsif, fleksibel, terintegrasi, berkapabilitas untuk belajar, berkapasitas untuk berubah
dan inovatif. Dengan pendekatan contingency dan human capital leverage, pendesainan
struktur SPPM dilandasi oleh mindset yang mencerminkan karakteristik lingkungan bisnis
yang dimasuki oleh organisasi.

Langkah awal pendesainan struktur SPPM dimulai dengan pengamatan terhadap


pemacu perubahan, dan dampak pemacu perubahan tersebut terhadap tren perubahan
yang terjadi di lingkungan bisnis yang akan dimasuki oleh organisasi. Hasil pengamatan
ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik lingkungan bisnis tersebut. Langkah
awal ini dilandasi oleh contigensy approach dalam pendisaeinan struktur SPPM.

Langkah kedua adalah merumuskan paradigm yang sesuai dengan karakteristik


lingkungan yang telah digambarkan pada langkah pertama. Berdasarkan paradigm baru
ini, kemudia disusun keyakinan dasar dan nilai dasar yang diperlukan untuk mewujudkan
paradigm tersebut. Langkah kedua ini menghasilkan mindset yaitu suatu sikap mental
yang mencerminkan lingkungan bisnis yang akan dimasuki oleh organisasi. Mindset ini
kemudian dikomunikasikan melalui personal behavior yaitu prilaku manajemen secara
individual yang dapat dilihat dan dipakai sebagai contoh oleh karyawan.

Langkah ketiga adalah mendesain struktur SPPM berdasarkan mindset yang telah
dirumuskan pada langkah kedua. Dengan pendekatan human capital leverage, struktur
SPPM di desain untuk melepaskan seluruh potensi modal manusia organisasi,
mengerahkan dan memfokuskan potensi tersebut ke pencapaian visi organisasi.
Pendesainan struktur SPPM merupakan cara pengomunikasian mindset melalui
operational behavior yaitu suatu cara pengomunikasian paradigm, keyakinan dasar, dan
nilai dasar organisasi melalui peraturan, sistem dan prosedur, serta keputusan resmi yang
dibuat oleh organisasi Struktur SPPM didesain untuk mengomunikasikan customer value
mindset, continuous improvement mindset, opportunity mindset, cross functional
mindset, dan employee emprovement mindset melalui struktur organisasi, jejaring
informasi, dan sistem penghargaan.

Pada gambar tersebut terlihat anak panah yang menghubungkan struktur dengan
proses. Tanda tersebut menunjukkan bahwa desain struktur SPPM berdampak besar
terhadap desain proses SPPM. Di samping itu, tanda tersebut juga menyiratkan bahwa
desain struktur system struktur SPPM harus sejalan dengan desain proses SPPM. Sebagai
contoh, jika struktur organissi didesain sebagai organisasi lintas fungsional, maka dalam
proses penyusunan anggaran digunakan system anggaran berbasis aktivitas (activity based
budgeting), pengimplementasian anggaran dengan activity based management, dan
pemantauan pelaksanaan anggaran digunakan activity based cost system. Struktur
organisasi lintas fungsional didesain untuk memfokuskan semua sumber daya organisasi
kepada kebutuhan customer.

Oleh karena itu, system penyusunan anggaran, system pengimplementasian, dan


system pemantauan juga harus didesain untuk mengarahkan dan memusatkan seluruh
sumber daya organisasi kepada pemuasan kebutuhan customer. Activity based budgeting
merupakan system perencanaan laba jangka pendek yang berfokus pada pcustomer.
Activity based management merupakan pendekatan manajemen yang berfokus pada
pengurangan dan penghilangan aktivitas yang tidak menambah nilai bagi customer.
Activity based cost system merupakan system akuntansi biaya, yang didesain untuk
menyediakan informasi berlimpah tentang aktivitas dan biaya untuk memberdayakan
personel dalam pengurangan biaya melalui activity based management. Dengan demikian,
secara terpadu tiga tahap poses SPPM ini (system penyusunan anggaran, system
pengimplementasian, dan system pemantauan) didesain sejalan dengan struktur organisasi
lintas fungsional yang berfokus pada pemuasan kebutuhan customer.

2.2 Komponen Struktur SPPM

SPPM merupakan suatu sistem yang digunakan untuk merencanakan berbagai


kegiatan perwujudan visi organisasi melalui misi pilihan, untuk mengimplementasikan
rencana dan memantau pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk merencanakan,
mengimplementasikan, dan memantau kegiatan diperlukan wadah untuk menampung
kegiatan tersebut, struktur SPPM merupakan wadah yang digunakan untuk menampung
kegiatan perencanaan, pengimplementasian rencana, dan pemantauan pelaksanaan rencana
kegiatan. Struktur SPPM berupa komponen-komponen yang terkait satu dengan lainnya,
yang secara bersama-sama digunakan untuk mewujudkan tujuan sistem. Tujuan SPPM
adalah untuk mewujudkan visi organisasi sebagai institusi pencipta kekayaan.

Komponen struktur SPPM terdiri dari :

1. Struktur Organisasi (organization structure)


Struktur organisasi menggambarkan pengorganisasian modal manusia untuk
memanfaatkan sumber daya organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi. Dalam
manajeman tradisional, manusia dipandang sebagai faktor produksi, sama dengan faktor
produksi yang lain seperti bahan, mesin, dan peralatan, gedung, dan tanah. Oleh karena
itu, manusia disebut sumber daya manusia, sama dengan sumber daya lain, selain manusia.
Sumber daya manusia diorganisasikan berdasarkan kompetensinya dalam memanfaatkan
sumber daya lain, sehingga timbul desain organisasi fungsional hierarkis. Dalam desain
organisasi ini, sumber daya manusia diorganisasikan menurut spesialisasi keahlian
mereka, berdasarkan ajaran adam smith: “division of labor”.
Untuk memasuki lingkungan bisnis yang memiliki karakteristik: customer
memegang kendali bisnis, persaingan tajam, dan perubahan yang bersifat konstan, pesat,
radikal, serentak, dan pervasif, diperlukan paradigma baru terhadap manusia. Manusia
dipandang sebagai modal utama, sehingga disebut sebagai modal manusia, bukan sumber
daya manusia. Modal manusia dipandang sebagai manusia, bukan sebagai faktor produksi
yang sama kedudukannya dengan bahan, mesin, dan peralatan, gedung dan tanah. Sebagai
manusia, modal manusia memiliki potensi yang siap untuk dilepaskan (unleash),
dikerahkan, dan difokuskan untuk mewujudkan tujuan organisasi. Organisasi perlu
didesain untuk melepaskna seluruh potensi modal manusia, mengerahkan, serta
mengerahkan seluruh potensi tersebut ke perwujudan visi organisasi. Pendekatan human
capital leverage menggantikan financial asset leverage menjadikan organisasi sebagai
institusi pencipta kekayaan.
Dalam lingkungan bisnis global, customer memegang kendali bisnis. Oleh karena
itu, organisasi perlu didesain untuk memungkinkan seluruh kegiatan modal manusia
diorientasikan kepada pemuasan kebutuhan customer. Diperlukana pergeseran paradigma
terhadap organisasi. Organisasi yang semula dipandang sebagai “a collection of functional
boxes” diubah menjadi “a pool of shared competencies and resources”. Dengan terjadinya
perubahan paradigma ini, terjadilah pembagian kekuasaan (power distribution) dalam
organisasi masa kini. Di dalam manajeman tradisional, kekuasaan terpusat ditangan
manajeman puncak dan manajeman fungsional. Di dalam organisasikan yang digunakan
untuk memasuki lingkungan bisnis global, kekuasaan berpindah ke tangan karyawan
(knowledged eorkers) dan manajer yang diberi wewenang untuk mengelola sistem (case
manager).
Lingkungan bisnis global digambarkan sarat dengan persaingan tajam, sehingga
sangat turbulen. Organisasi yang tidak didesain untuk mampu dengan cepat melaksanakan
perubahan yang dituntut oleh lingkungan, tidak mempunyai daya tahan untuk memasuki
lingkungan tersebut. Oleh karena itu, seperti yang dinyatakan peter F. Drucker: “every
prganization of today has build into its very structure the management of change”).
Lingkungan bisnis kompetitif juga menuntut organisasi untuk menempuh focus
strategy dalam memberikan layanan yang berbeda denga pesaing. Dalam strategy ini,
organisasi memfokuskan pada bisnis yang menjadi kompetensi intinya (core competence).
Strategi ini menimbulkan kebutuhan untuk membangun jejaring organisasi (network
organization), dan untuk menjalin kemitraan dengan mitra bisnis dan pemasok. Di
samping itu, lingkungan bisnis yang di dalamnya customer memegang kendali bisnis
memerlukan karyawan yang berdaya untuk merespons perubahan kebutuhan customer.

2. Jejaring informasi
Jejaring informasi (information) merupakan komponen kedua struktur SPPM.
Untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan memantau pelaksanaan rencana,
disamping diperlukan wadah untuk menampung kegiatan tersebut (struktur organisasi),
diperlukan pula jejaring informasi untuk komunikasi antarpersonel organisasi, dan antara
perusahaan dengan customer, pemasok, dan mitra bisnis.
Di masa lalu, informasi diola secara manual, dan hanya dapat diakses oleh
manajeman puncak melalui laporan yang dibuat oleh fungsi akuntansi. Dengan demikian,
jejaring informasi hanya diorientasikan untuk menyediakan informasi bagi manajeman
puncak untuk memungkinkan mereka menjalankan bisnis perusahaan. Dalam keadaan
seperti itu, hanya manajeman puncak yang menguasai informasi, dan dengan demikian
memiliki kemampuan dalam melakukan pengambilan keputusan. Oleh karena itu, mode
pengelolaan yang digunakan pada waktu informasi diolah secara manual adalah command
and control mode. Dalam mode pengelolaan ini, manajeman puncak membuat perintah,
manajeman menengah dan manajeman bawah sebagai penghantar (relay) perintah, dan
karyawan melaksanakan perintah. Manajeman puncak menggunakan sistem informasi
untuk mengendalikan pelaksanaan perintah yang telah dibuat tersebut.
Dalam zaman teknologi informasi, jejaringn informasi memampukan karyawna
untuk melakukan akses ke pusat informasi yang disimpan dalam shared database, sehingga
membuka peluang untuk memberdayakan karyawan dalam pengambilan keputusan atas
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Oleh karena teknologi informasi
memberi peluang untuk memberdayakan karyawan dalam pengambilan keputusan, maka
manajer menengah dan manajer bawah, yang semula berfungsi sebagai penghantar (relay)
perintah dari manajer puncak, tidak lagi diperlukan. Pemanfaatan teknologi informasi
membuka peluang untuk mendesain struktur organisasi yang lebih datar (flatter
organization structure) dengan menghilangkan jenjang manajer menengah dan bawah.
Dalam zaman teknologi informasi ini, pengelolaan dengan command and control mode
tidak lagi cocok, dan perlu diganti dengan sense and respond mode.
Di samping itu, zaman teknologi informasi ini, jejaring informasi yang dibangun
oleh organisasi tidak hanya sekadar digunakan untuk menjalankan bisnis perusahaan,
namun lebih dari itu, jejaring organisasi digunakan untuk menciptakan bisnis baru, untuk
menjalin kerjasama dengan pemasok, mitra bisnis, dan customer.

3. Sistem Penghargaan
System penghargaan (reward system) merupakan komponen ketiga dalam struktur
SPPM. Untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan memantau pelaksanaan rencana,
di samping diperlukan jejaring informasi dan wadah unutk menampung kegiatan tersebut
(struktur organisasi), diperlukan pula alat untuk memotivasi personel dalam mencapai
tujuan organisasi, dengan perilaku yang diharapkan organisasi. System penghargaan
digunakna untuk memotivasi personel dalam mencapai tujuan organisasi (bukan tujuan
personel secara individual), dengan perilaku yang diharapkanoleh organisasi (bukan
perilaku menurut kesukaan personel secara individual).

Di dalam manajemen tradisional, para eksekutif hanya dinilai kinerjanya dengan


menggunakan ukuran kinaerja yang bersifat keuangan. Ukuran kinerja keuangan
menjadikan eksekutif berpandangan sempit dan berjangka pendek. Balance Scorecard
memperluas ukuran kinerja eksekutif, tidak hanya terbatas pada perspektif keuangan,
namun meluas ke berbagai persprektif lain: customer, proses, serta pembelanjaran dan
pertumbuhan. System pengukuran kinerja menjadi lebih komprehensif, sehingga
memoyivasi eksekutif untuk memikirkan kelangsungan hidup organisasi dalam jangka
panjang.

Untuk mendesain system penghargaan yang memotivasi personel dalam


mewujudkan tjuan strategic perusahaan, diperlukan model proses penghargaan berbasis
kinerja. Dengan model ini, system penghargaan yang didesain dapat memotivasi seluruh
personel (manajer dan karyawan) mewujudkan key success variable bisnis perusahaan.

Bagaimana jika struktur SPPM tidak sesuai dengan karakteristik lingkungan bisnis
yang dimasuki oleh organisasi?

Problem yang sering seringkali muncul dalam pengimplementasian SPPM dapat


diidentifikasi pada kelemahan struktur atau kelemahan proses, atau bahkan keduanya.
Apabila SPPM tidak dapat mewujudkan tujuan system, kemungkinan karena strukturnya
yang tidak tepat dengan lingkungan yang dihadapi oleh perusahaan. Dapat juga terjadi
tujuan SPPM tidak tercapai karena proses SPPMnya lemah.

Jika kita membawaorganisasi ke dalam lingkungan bisnis yang di dalmnya


customer memegang kendali bisnis, maka keberhasilan organisasi untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dalam lingkunga tersebut ditentukan oleh: (1) kemampuan
organisasi untuk menghasilkan value terbaik bagi customer, (2) kemampuan organisasi
untuk berbeda dengan pesaing, untuk dapat memenangkan pilihan customer. Oleh karena
itu, jika kita membawa perusahaan ke dalam lingkungan tersebut, dengan struktur
organisasi yang berfokus pada kepentingan produsen (bukan customer), yang sarat dengan
pengendalian (bukan inovasi), dan yang didesain untuk mempertahankan status quo, maka
kelangsungan hiduporganisasi akan terancam karena desain struktur organisasinya tidak
sesuai dengan lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Oleh karena itu,
pendesainan struktur SPPM perlu menggunakan rerangka konseptual.

Bagaimana jika desain struktur SPPM tidak sejalan dengan desain proses SPPM?

Meskipun organisasi tersebut dijalankan oleh manajer yang smart menggunakan


Balance Scorecard dalam perencanaan strategic, dan menggunakan Activity Based
Budgedting dalam system penyusunan anggaran, organisasi tersebut tidak akan mampu
berfungsi dengan baik dalm lingkungan bisnis turbulen tersebut. Hal yang sama akan
terjadi apabila misalnya perusahaan sudah mendesain struktur organisasi, jejaring
informasidan system penghargaan yang sesuai dengan tuntutan bisnis global, namun masih
menggunakan proses SPPM, seperti fungsional based budgeting, dan strateginya masih
difokuskan pada usaha untuk mengalahkan pesaing, maka tujuan untuk menjadikan
organisasi sebagai institusi pencipta kekayaan tidak akan berhasil Jika hal tersebut terjadi,
desain proses SPPM harus didasarkan pada desain sruktur SPPM, dan berbagai mindset
yang telah dirumuskan.

2.3 Pendekatan Fungsional Hierarkis

Jika seorang eksekutif sekarang ditugasi untuk menyusun organisasi peruisahaan,


umumnya secara otomatis ia akan menentuykan fungsi-fungsi yang dibentuk dalam
perusahaan tersebut. Semakin besar ukuran organisasi dan semakin kompleks operasinya,
maka semakin banyak fungsi yangn dibentuk dan semakin tinggi jenjang organisasi yang
disusun. Mengapa bentuk organisasi fungsional dan berjenjang itu dibangun ?
kemungkinan hanya karna bentuk organisasi tersebut telah dikenal secara luas
dimasyarakat, dan telah menunjukan keberhasilan dimasa lalu, orang memiliki
kecenderungan membangun organisasi berdasarkan pendekatan fungsional hoerarkis.

Namun, sesuaikan pendekatan fungsional hierarkis dengan teknologi yang


digunakan oleh masyarakat untuk menghasilkan produk dan jasa yang diperlukan ? sesuai
cara pengorganisasian modal manusia tersebut dengan sifat pekerja yang akan dominan
didalam organisasi masa depan ? mampukah pendekatan fungsional hierarkis membawa
organisasi memasuki lingkungan bisnis global sekarang ini ? pertanyaan-pertayaan
tersebut memicu usaha untuk mengupas latar belakang yang melandasi pengembangan
pendekatan fungsional hierarkis, yang selama ini banyak digunakan untuk
mengorganisasikan modal manusia dalam memanfaatkan sumber daya lain organisasi
untuk menghasilkan produk dan jasa.

Pendakatan fungsional hierarkis dapat di runut kembali dimasa revolusi industry


diinggris, berdasarkan ajaran ”division of labor” Adam Smith, untuk menyelesaikan tugas
tertentu atau tujuan tertentu, pekerjaan perlu dipecah kedalam bagian-bagian yang lebih
kecil dan terspesialisasi untuk mencapai produktivitas tinggi. Melalui division of labor ini,
diyakini bahwa organisasi akan dapat memanfaatkan secara optimal tenaga kerja manusia
dan sumber daya lain dalam menyelesaikan tugas atau tujuan tertentu.

Ajaran division of lobar ini sesuai dengan teknologi manual dan hard automation’
yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam menghasilkan produk dan jasa lebih dalam
didominasi oleh tenaga kerja manusia (laborious), ajaran Adam Smith ini sangat
bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja manusia. Oleh karena tenaga
kerja manusia diorganisasikan berdasarkan division of lobar ini, maka sumber daya yang
lain juga diorganisasikan sejalan dengan cara pengorganisasin tenaga kerja manusia
tersebut. Sehingga mesin dan peralatan yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas
tenaga kerja manusia dikelompokan menurut fungsi, depertement atau unit kerja yang lain.

Untuk melaksanakan koordinasi dan pengendalian terhadap pelaksanan pekerjaan


pembuatan produk dan penyerahan jasa, dibangun organisasi berjenjang. Manajemen
pada tingkat yang lebih tinggi bertanggung jawab untuk mengoordinasikan atau
mengawasi pelaksaan pekerjaan karyawan atau manajer yang berada dijenjang yang lebih
rendah. Oleh karena rentang koordinasi (spam of coordination) dan rentang pengendalian
(span of control) manusia tersebut, maka semakin besar ukuran organisasi dan semakin
tinggi pula jenjang organisasi yang dibangun untuk menciptakan koordinasi dan
pengendalian. Gambar 10.1 melukiskan organisasi yang dikembangkan berdasarkan
pendekatan fungsional hierarkis. Fungsi-fungsi yang dibentuk dalam gambar tersebut
terdiri atas : pemasaran,operasi, keuangan, dan umum. Hierarki yang dibangun dalam
gambar tersebut yang terdiri atas direksi (jenjang manajer atas), kepala bagian (jenjang
manajer menengah), dan kepala seksi (jenjang manajer bawah).

Dengan demikian, untuk kepentingan peningkatan produktivitas, koordinasi, dan


pengendalian, tenaga kerja manusia diorganisasikan secara fungsional dan
berjenjang,sehingga pendekatan pengorganisasian tenaga kerja manusia ini dikenal dengan
nama pendekatan fungsional hirarkis. Karakteristik pendekatan fungsional hierarkis ini
adalah :

1. Pendakatan ini membagi pekerjaan dalam tugas-tugas terpisah, berurutan dan sempit,
serta mengelompokkan kembali berbagai tugas terpisah tersebut kedalam
depertement.
2. Organisasi dibagi kedalam fungsi-fungsi atau unit terspesialisasi.
3. Setiap orang melapor dan bertanggung jawab keseorang atasan yang aktivitas dan
tujuannya juga secara relative terspesialisasi.
4. Sistem koordinasi dan pengendalian dilakukan dengan menyakurkan informasi keatas,
dalam hierarki organisasi, ketangan pengambil keputusan yang diharapkan dapat
menjamin bahwa semua bagian yang terspesialisasi sesuai satu dengan lainnya dalam
pencapaian tujuan organisasi.
Manfaat Pendekatan Fungsional Hierarkis

Pendekatan fungsional hierarkis tepat jika digunakan dalam masyarakat yang


memanfaatkan secara ekstensif teknologi manual dan hard automation serta dalam
lingkungan bisnis yang didalamnya produser memegang kendali bisnis, yang stabil, dan
didalamnya kompetisi tidak tajam. Manfaat pendekatana fungsional hierarkis adalah :

1. Organisasi dapat menjadi efisien karena pendekatan fungsionl hierarkis mendukung


skala ekonomi dengan dimanfaatkan sumber daya ke bebagai costumer atau produk
2. Organisasi mengelompokan ahli yang memiliki latar belakang yang sama dan
membekali pengetahuan dan keterampilan untuk membuat mereka mampu
menyelesaikan tugas mereka.
3. Organisasi menerapkan pengendalian ketat, yang memang diperlukan jika sebagian
besar angkatan kerja tidak terdidik.
Pengukuran Kinerja Dalam Organisasi Fungsional Hierarkis

Pengukuran kinerja dalam organisasi fungsional hierarkis dilakukan dengan


membentuk pusat-pusat pertanggungjawaban, dan menentukan ukuran kinerja pusat
pertanggungjawaban yang dibentuk. Penilaian kinerja dilakukan berdasarkan ukuran
kinerja yang cocok dengan karakteristik operasi pusat pertanggungjawaban yang dibentuk.

Pembentukan pusat-pusat pertanggungjawaban

Pusat pertanggungjawaban adalah unit organisasi yang dipimpin oleh seorng


responsible manager. Pusat Pertanggujawaban diberi peran, terutama, untuk menghasilkan
kinerja keuangan. Oleh karena itu, dalam organisasi fungsional hierarkis, pusat
pertanggungjawaban digolongkan kedalam empat kategori : pusat biaya, pusat pendapatan,
pusat laba dan pusat investasi. Pusat baiaya adalah pusat pertanggungjawaban yang
manajernya bertanggungjawab atas konsumsi masukan(biaya). Pusat pendapatan adalah
pusat pertanggungjawaban yang manajernya yang bertangjawab atas nilai keluaran
(pendapatan). Pusat laba adalah pusat pertanggungjawaban yang manajernya yang
bertangunngjawab atas selisih nilai keluaran(pendapatan), dan konsumsi masukan(biaya).
Pusat investasi adalah pusat pertanggungjawaban yang manajernya yang
bertanggungjawab atas rasio antara laba dengan investasi dalam pusat
pertanggungjawaban tersebut.

Ukuran Kinerja Pertanggungjawaban

Penilaian kinerja dilakukan dengan menetapkan ukuran kinerja setiap tipe pusat
pertanggungjawaban tersebut. Karakteristik yang sangat menonjol dalam ukuran kinerja
yang digunakan umtuk mengukur kinerja pusat pertanggungjawaban adalah semua ukuran
kinerja berupa ukuran keuangan. Biaya, pendapatan, laba, return on investment atau
residual income merupakan ukuran kinerja yang secara luas digunakan untuk mengukur
kinerja pusat pertanggungjawaban.

Dampak Pendekatan Fungsional Hierarkis Terhadap Mindset Personel

Secara bawaan, pendekatan fungsional hierakis tidak buruk. Dampak yang


ditimbulkan oleh pemanfaatan pendekatan fungsional hierarkis berkaitan denmgan sikap
mental yang dibentuk di dalam diri personel organisasi adalah sebagai berikut :

1. Sikap,tanggungjawab,pendekatan,tujuan,dan penghargaan manajerial terpecah-pecah


dalam bagian yang kecil dan sempit.
2. Personel yang bekerja dalam fungsi atau unit cebderung berfokus ketugas atau tujuan
yang menjadi spesialisasi mereka. Setiap personel hanya mengerjakan pekerjaan yang
menjadi tanggungjawabnya masing-masing. Dengan demikian para manajer tidak
bekerja sama sebagai anggota tim yang tertuju kesistem dan proses yang mengalir
menembus bats-batas fungsional.
3. Oleh karena ukuran kinerja dititik beratkan pada perspektif keuangan, manajer pusat
bertanggungjawab menjadi berwawasan jangka pendek. Semua ukuran keuangan yang
digunakan untuk menilai kinerja manajer pusat pertanggungjawaban merupakan hasil
sitem informasi akuntansi, yang menggunakan jangaka waktu satu tahun atau kurang
sebagai periode laporan.

Pendekatan fungsional hierarkis masih secara luas dipakai dihampir setiap industri.
Namun, pendekatan ini menimbulkan problem besar sekarang ini. Sebenarnya pendekatan
hierarkis tidak memiliki keburukan bawaan. Kenyataannya, beberapa bentuk hierarkis
dengan tingkat kekuasaan dan wewenang yang berbeda akan tetap aka nada dalam semua
organisasi. Apa yang buruk dalam pendekatan fungsional hierarkis adalah culture dan
pendekatan dalam pengelolaan yang dihasilkan oleh pendekatan tersebut.

Hanya jika kultur organisasi dipacu oleh pandangan system, pendekatan fungsional
hierarkis akan mampu menghasilkan integrasi yang diperlukan untuk secara optimal
melayani costumer. Sayangnya, organisasi hierarkis cenderung tidak mampu
mengembangkan kultur seperti itu, kecuali jika organisasi memiliki leaders yang luar
biasa kuatnya.

Pendekatan fungsional hierarkis memandang organisasi sebagai mesi, dan


menggunakan metodologi analitis-sesuatu dapat dipahami dengan memecahnya kedalam
bagian-bagian yang lebih kecil. Pendekatan fungsional hierarkis juga mengandung
pandangan reduksionisme(reductionism)-bagian dari sesuatu yang dapat dipahami dengan
sendirinya melalui pemisahan bagian tersebut, sampai dengan unsure pokok dapat
ditemukan. Pendekatan fungsional hierarkis dilandasi keyakinan bahwa kinerja organisasi
akan dapat dioptimalkan, jika fungsi individu dioptimalkan, dan bahwa keseluruhan
dikelola melalui pengelolaan bagiannya. Kelemahan yang terdapat dalam pendekatan
fungsional hierarkis adalah : (1) pengendalian berlebihan, (2) pertanggungjawaban sempt,
(3) isolasi social, (4) hambatan komunikasi, dan (5) kurangnya tanggung jawab lintas
fungsional.

Pengendalianberlebihan. Pengendalian adalah usaha untuk mencapai tujuan tertentu


melalui perilaku yang diharapkan. Karena tidak semua nggota organisasi mampu dan mau
mencapai tujuan tertentu organisasi melalui perilaku yang diharapkan oleh organisasi
maka pengadilan diperlukan. Oleh karena itu, setiap organisasi memerlukan pengendalian
untuk menjamin bahwa setiap anggota organisasi berusaha untuk mencapai tujuan
organisasi (bukan tujuan pribadi personil) melalui perilaku yang diharapkan (bukan
perilaku yang disukai oleh personel secara pribadi). Namuin yang tidak baik adalah jika
didal organisasi terdapat penegndalian yang berlebihan, karena pengendalian yang
demikian akan mengurangi fleksibilitas organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan
limgkungan bisnis, dan menghabat perubahan yang diperlukan untuk melakukan
improvement terhadap sitem dan proses.

Pendekatan fungsional hierarkis cenderung menghasilkan sikap personel yang


lebih banyak berkomunikasi vertikal didalam fungsinya masing-masing. Karyawan yang
menerima delegasi wewenang dari manajer tingkat bawah, hanya akan melaksanakan
wewenang yang didelegasi kepadanya setelah mendaptkan otoritas dari manajer tersebut.
Demikian pula manajer tingkat bawah, hanya akan melksanakan wewenang yang
didelegasi oleh manajer tingkat menengah setelah ia menerima otoritas dari manajer
tingkat menengah tersebut. Begitu pula kondisi yang berkaitan dengan delegasi wewenang
dari manajer tingkat atas kemanajer tingkat bawah. Dengan demikian secara bawaan,
pendekatan fungsional hierarkis cenderung mengakibatkan pengendalian terjadi secara
berlebihan

Kondisi yang seperti ini ridak menimbulkan masalah jika organisasi beroperasi
didalam lingkungan bisnis stabil dengan kompetisi tidak tajam. Masalah besar akan segera
timbul jika organoisasi memasuki lingkungan bisnis turbulen dan kompetisi tajam.
Organisasi yang didesain dengan pendekatan pengendalian yang berlebihan akan tidak
fleksibel didalm beradaptasi dengan perubahan yang dituntut oleh lingkungan bisnis.
Disamping itu organisasi dengan pengendalian yang berlebihan akan menjadi tidak
responsive terhadap perubahan tuntutan lingkungan bisnis.

Pertanggungjawaban Sempit. Pendekatan fungsional hierarkis mengakibatkan manajer


berfokus kepada kinerja fungsi mereka, karena mereka diukur kinerjanya berdasarkan
kinerja fungsi masing-masing. Manajemr hanya akan menfokuskan perhatiannya kepada
ukuran yang digunakan oleh manajer atasannya untuk mengukur kinerjanya. Manajer
produksi akan memfokuskan perhatiannya kepada parameter volume produksi, dan tingkat
kerusakan produk yang dihasilkan oleh depertemnnya , karena kedua parameter tersebut
dipakai direktur produksi untuk mengukur kinerja manajer tersebut. Ia tidak
memperhatikan dampak volume produksi dan tingkat kerusakan produk yang terjadi
didepertemennya terhadap kinerja depertement pemasaran, karena dampak tersebut bukan
merupakan kompunen ukuran kinerjanya.

Depertement pembelian sering kali diberi penghargaan atas dasar selisih harga,
sehinga de[ertemnt tersebut memfokuskan kinerja pada penghargaan tersebut.
Kecenderungan negative yang ditimbulkan dari system penghargaan adalah pencarian
quantity discounts dengan cara membeli dalam volume yang lebih besar dari kebutuhan.
Sebagai akibatnya, sitem sediaan akan meningkatkan biaya dalam bentuk barang yang
kadaluwarsa, baiaya penyelenggaraan sediaan, dan pengelola sediaan. Depertremen
pembeli dapat menempuh kebijakan dengan membeli dari banyak pemasok untuk
manjamin kompetisi harga. Namun kebijakan ini berdampak besar terhadap bervariasinya
kualitas bahan, sehingga akan menurunkan kualitas system kesediaan secara keseluruhan

Disamping sempit dalam lingkup, manajer bertanggungjawab juga pendek dalam


melihat kemasa depan, karena ukuran kinerja yang digunakan berupa ukuran keuangan
yang dihasilkan oleh system informasi akuntansi. Tidak jarang terjadi, manajer pusat biaya
menunda pengeluaran biaya reparasi dan pemeliharaan mesin untuk mengurangi biaya unit
organisasinya agar kinerja pusat pertanggungjawaban yang dipimpinnya kelihatan bagus.
Konsekuensi yang timbul sebagai akubat tidak dikeluarkannya biaya reparasi dan
pemeliharaan tersebut ditahun-tahun berikutnya, tidak dapat dilihat dari penilaian kinerja
yang dilakuakan, karena secara sederhana system infomasi akuntansi hanya menyajikan
informasi keuangan tahunan.
Isolasi Sosial. Pendekatan fungsional hierarkis mengakibatkan munculnya dinding-
dinding pemisah diantara fungsi-fungsi yang dibentuk dalam organisasi. Hubungan antara
fungsi cenderung menjadi formal, sehingga dinding-dinding semula yang bersifat imajiner
tersebut, semakin lama semakin menjadi dinding yang nyata, sehingga menimbulkan
isolasi fungsi dari pergaulan dengan fungsi-fungsi lain didalam organisasi.

Hambatan Komunikasi. Pendekatan fungsional hierarkis mengakibatkan hubungan


antarfungsi tidak lancar, karena hubungan dimulai dari manajer tingkat bawah, berjalan
menuju keatas dalam fungsi tertentu, kemudian baru berpindah kemanajer tingkat atas
difungsi yang dituju dan selanjutnya menuju ke manajer di tingkat bawah difungsi tujuan.
Semakin tinggi struktur organisasi, semakin lambat komunikasi antarfungsi, dan semakin
tinggi tingkat resiko distorsi informasi yang dikomunikasikan. Gambar 10.2 melukiskan
arus informasi dalam system komunikasi organisasi fungsional hierarkis. Komunikasi
informasi antar fungsiberbentuk gelombang; semakin banyak jenjang organisasi, semakin
tinggi gelombang, dan oleh karena itu semakin lamban komunikasi lintas fungsi.

Kurangnya Tanggungjawab Lintas Fungsional. Pendekatan fungsional hierarkis


mengakibatkan kurangnya rasa tanggungjawab manajer atas kinerja system yang melintas
antar fungsi. Sebagian besar sitem yang digunakan untuk melayani costumer merupakan
system yang menembus batas-batas antarfungsi. Oleh karena didalam organisasi
fungsional manajer hanya dimintai pertanggungjawaban atas kinerja fungsinya, biasanya
tidak ada manajer yng beranggung jawab terhadap sistem yang digunakan untuk melayani
customer yang umumnya melintas berbagai fungsi, ditambah lagi, dengan dibentuknya
pusat-pusat pertanggungjawaban dalam pengukuran kinerja, perhatian manajer lebih
terfokus keoada kepentingan unit organisasi yang dipimpinnya, bukan kepada kerja sama
antar pusat pertanggungjawaban dalam melayani customer .

Biasanya promosi penjualan yang dilaksanakan oleh department pemasaran ditujukan


untuk memaksimumkan usaha pemasaran. Promosi ini biasanya akan menghasilkan
kenaikan penjualan yang bersifat temporer. Namun dipihak lain, kenaikan sementara
dibidang pemasaran tersebut akan berda,pak negatif terhadap penyusunan skedul produksi
dan pengiriman produk, tingkat sediaan, jam lembur, dan kualitas produk, yang
kesemuanya ini merupakan mimpi buruk bagi depertement produksi. Biaya produk yang
timbul sebagai akibat promosi penjualan ini, biasanya melebihi manfaat pemasaran yang
diperoleh perusahaan. Namun, depertemen pemasaran yang diukur kinerjanya dari
kenaikan volume penjualan yang dihasilkan, biasanya tidak memedulikan masalah-
masalah yang dihadapi departemen produksi. Departemen pemasaran hanya berperilaku
secara rasional terhadap system penghargaan, yang dtidak mendorong perhatian
manajemen terhadap dampak kegiatan mereka bagi departemen lain.

2.4 Tren Kondisi Lingkungan Bisnis Dan Sifat Pekerjaan

Apakah pendekatan fungsional hierarkis masih sesuai dengan lingkungan bisnis yang
dihadapi oleh perusahaan-perusahaan Indonesia sekaranga ini ? untuk pertanyaan ini, kita
perlu melihat tren sifat pekerja dan perubahan lingkungan bisnis yang terjadi di Indonesia
dewasa ini, ada empat tren yang berdampak mendasar terhadap pendekatan
pengorganisasian modal manusia, (1) Pergeseran kendali bisnis ketaman customer, (2)
kecepatan perubahan, (3) peningkatan persaingan dan, (4) pergeseran ke knowledge-based
works.

Pergeseran kendali Bisnis ke tangan Customer

Era yang didalamnya produser mengendalikan bisnis telah berakhir. Globalisasi telah
menciptakan banyak produser dari penjuru dunia yang menyediakan produk dan jasa yang
dibutuhkan oleh customers. Kondisi demikian menggeser kndali bisnis ketangan
customers. Melalui dompetnya customer menggunakan kebutuhan,keinginan dan harapan
mereka untuk menentukan produk dan jasa apa yangn perlu diproduk dan disediakan oleh
produser.

Untuk menjadikan organisasi bertahan dan bertumbuh dilingkungan bisnis yang


didalamnya customer memegang kendali, produser perlu mengubah pendekatan yang
digunakan untuk mengorganisasikan manusianya dalam memanfaatkan sumber daya
dalam memanfaatkan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan, keinginan dan harapan
customer. Terlalu berisiko jika produser tetap menggunakan pendekatan fungsional
hierarkis, mengingat pendekatan tersebut didesain untuk peningkatan
produktivitas,koordinasi, dan pengendalian bukan untuk peningkatan : (1) kecepatan dan
kualitas layanan kepada customer, (2) fleksibilitas dalam merespons perubahan kebutuhan
customer, (3) keterpaduan kegiatan layanan bagi customer dan (4) inovasi produk, jasa,
dan inovasi baru yang menghasilkan volue dari cutomer.

Kecepatan Perubahan

Perkembangan besar telekomunikasi, transportasi dan pemanfaatan secara ekstensif


komputer, telah meningkat secara pesat perubahan disegala bidang kehidupan masyarakat.
Perubahan menjadi semakin konstan, pesat, radikal, serentak dan pervasive. Lingkungan
yang demikian menuntut organisasi yang memiliki struktur yang memudahkan perubahan.
Bagaimana kita mendesain organisasi yang berkemampuan untuk menghadapai
perubahan secara responsive? Mampukah pendekatan fungsional hierarkis menghasilkan
desain struktur organisasi yang responsive terhadap perubahan? Pendelatan fungsional
yang menjadikan manajer menfokuskan usahanya untuk kepentingan fungsinya, bukan
untuk kepentingan customer, akan tidak mampu memberikan respon cepat terhadap setiap
perubahan yang terjadi dalam kebutuhan,keinginan dan harapn customer. Pendekatan
hierarkis, sebagaimana diuraikan diatas, menekankan pentingnya pengendalian didalam
melakukan bisnis. Perubahan memerlukan semangat untuk bereksperimen, yang setiap
eksperiman yang mengandung kemungkinan gagal, Organisasi yang menekankan
pentingnya pengendalian akan menghambat personel melakukan eksperimen, untuk
melakuakn improvement berkelanjutan terhadap system dan proses yang digunakan untuk
memproduksi produk dan jasa yang menghasilkan volue bagi customer.

Peningkatan Persaingan

Globalisasi yang menjadikan persaingan dilingkungan bisnis semakin tajam, Karen


semakin meningkatnya jumlah pesaing (yang tadinya hanya dari perusahaan-perusahaan
domestic, telah meluas keperusahaan luar negeri, dan bahkan perusahaan dari industry
lain), dan bervariasinya cara bersaing yang terjadi didalam bisnis.

Peningkatan persaingan menuntut perusahaan untuk senantiasa melakukan inovasi


produk dan jasa baru dan improvement secara berkelanjutan terhadap system dan proses
yang dilakukan untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer. Kemampuan
perusahaan untuk senantiasa berubah, beradaptasi dengan perubahan yang terjadi
dilingkungan hisnis, dan kemampuan perusahaan untuk menciptakan perubahan
mendahului persaingan dalam memuaskan kebutuhan, keinginan, dan harapan customer
menjanjikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan. Kemampuan ini hanya
dapat dibangun, jika perusahaan secara tepat menerapkan pendekatan pengorganisasian
modal manusia dalam memanfaatkan sumber daya untuk menghasilkan produk/jasa bagi
customer.

Peningkatan persaingan juga memaksa perusahaan-perusaahan untuk memusatkan


usaha mereka ke kompetisi inti (care competency) – kompetensi yang dapat diandalkan
untuk menjadiakn perusahaan memiliki daya saing unggulanm dalam memenuhi
kebutuhan customer. Oleh karena perusahaan memusatkan usahanya pada kompetisi inti,
pemenuhan kebutuhan customer harus dilakukan melalui pembangunan jejaring kerjasama
kemitraan dengan pemasok dan mitra bisnis. Tren bisnis menunjukn persaingan terjadi
antara jejaring organisasi yang satu (Organization Network) dengan jejaring organisasi
yang lain. Organisasi yang beroperasi dalam jejang kerja akan sangat berbeda bentuk dan
karakteristiknya, dibandingkan dengan organisasi yang beroperasi sendiri dalam
memenuhi kebutuhan customer.

Sebagaimana telah diuraikan diatas, pendekatan fungsional herarkis menghasilkan


organisasi yang tidak fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang
pesat. Oleh karena setiap manajer hanya memfokuskan perhatiaannya ke tujuan sempit
fungsinya masing-masing, di dalam organisasi tidak ada satupun manajer bertanggung
jawab atas sistem dan proses yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa bagi
customer. Organisasi yang dibangun berdasarkan pendekatan fungsional hierarkis tidak
memiliki effective-change-sensing reader, karena setiap fungsi memfokuskan perhatian
mereka kepada kepentingan fungsi mereka masing-masing

Dalam lingkungan yang diwarnai dengan persaingan yang tajam, oerganisasi yang
tidak kreatif akan beresiko tinggi dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh
karena itu, organisasi harus di desain sedemikian rupa,sehingga mampu secara cepat dan
terfokus memberikan pelayanan kepada customer, dan cukup fleksibel dalam merespons
perubahan tuntutan customer dan persaingan terpadu dalam memberikan layanan bagi
customer, dan inovatif dalam mendesain value bagi customer.

Pergeseran ke knowledge-basedwords

Didalam memenuhi kebutuhan produk dan jasa, masyarakat telah menggeser


tehnologi yang dimanfaatkan, dari tehnologi manual dan hard automation ke smart
tehnologi. Tehnologi manual dan hard automation memerlukan tenaga kerja terampil
untuk mengoperasikannya. Smart tehnologi memerlukan knowledge workers untuk
mengopersikannya.

Pekerjaan untuk mengopersikan tehnologi manual dan hard automation terutama


berupa pekerjaan fisik. Dengan demikian, terhadap pekerjaan semacam itu, dapat mudah
dilakukan devision of labor untuk peningkatan produktivitas. Untuk pengendalian
pelaksaan pekerjaan tersebut, dapat dilakukan dengan menunjuk manjer yang berfungsi
sebagai suvervisor untuk mengawasi pelaksaan pekerjaan fisik secara langsung
(pengawasan fisik), atau pengawasan secara tidak langsung ( melalui laporan).

Perusahaan-perusahaan Indonesia akan segera memanfaatkan secara ekstensif smart


tehnologi dalam menghasilkan produk dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat
berdasarkan alasan berikut ini :

1. Untuk dapat bersaing dipasar global, pemanfaatan smart tehnologi dalam


menghasilkan produk dan jasa merupakan prasyarat yang tidak dapat dihindari. Lagi oleh
perusahaan-perusahaan Indonesia.Tanpa pemanfaatan tehnologi tersebut, produk dan jasa
yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia tidak akan diperhitungkan oleh
customer di pasar global.
2. Indonesia merupakan negara pengimpor tehnologi, belum merupakan negara pecinta
tehnologi, sehingga tehnologi yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa akan
sennatiasa disesuaikan dengan stayed of the art tehnologi yang dikembangkan dinegara
Barat atau negara maju lain. Trend peralatan untuk membuat produk dan jasa di negara
maju mengarah ke pemanfaatan secara ekstensif smart tehnologi

Smart tehnologi memerlukan knowledge workes untuk mengoperasikannya secara


produktif. Knowledge workes memasukkan pengetahuan mereka kedalam produk dan jasa
yang dihasilkan oleh perusahaan, sehingga produk dan jasa berisi kandungan pengetahuan
memadai untuk bersaing di pasar global. Dengan demikian, produk dan jasa dihasilkan
melalui knowledge-based works. Knowledge based-works tidak dapat dipecah-pecah
sebagaimana yang dilakukan terhadap pekerjaan yang bersifat tenaga kerja manuasia
(laborious). Tehnologi informasi memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai
pekerjaan yang tadinya dalam cara manual dipisahkan untuk meningkatkan produktivitas.

Smart tehnologi menyediakan kebebasan dan kemudahan bagi pemakainya untuk


mewujudkan kreatifitas mereka. Ide-ide baru sangat mudah diwujudkan kedalam desain,
sehingga memudahkan inovasi produk baru, sistem baru, proses baru. Sebagai akibatnya,
perubahan menjadi konstan, pesat, radikal, dan mudah menyebar secara cepat keseluruh
penjuru dunia. Oleh karena itu, pendekatan fungsional hierarkis yang mefokuskan
perhatian manajer kepengendalian akan menghambat kreatifitas personel dalam memenuhi
kebutuhan customer. Organisasi perlu didesain kembali untuk mampu secara ceoat
merespon perubahan dalam persaingan.

Pergesaran Paradigma Keberhasilan Organisasi

Sebagaimana telah diuraikan di bab 2 karakteristik lingkungan bisnis global,


keberhasilan organisasi dalam memasuki lingkungan bisnis, seperti yang digambarkan
dimuka, ditentukan oleh 4 faktor berikut ini :

1. Kecepatan organisasi dalam merespons perubahan kebutuhan customer,


2. Fleksibilitas personal dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan
bisnis, kemampuan belajar, keterampilan baru, dan kesediaan untuk bergeser kelokasi
dan penugasan baru yang belum pernah dikenal,
3. Keterpaduan organisasi perusahaan dengan organisasi para pemasok dan mitra bisnis
dalam menyediakan layanan bagi customer, dan
4. Kmempuan organisasi untuk menghasilkan inovasi produk dan proses baru untuk
memenuhi kebutuhan customer yang senantiasa berubah

2.5 Pergeseran Pradigma Terhadap Organisasi

Sebagai akibat dari pemanfaatan secara ekstensif smart tehnologi dalam bisnis, dan
pergesaran pekerjaan ke knowledge based works, telah terjadi pergeseran paradigm
terhadap organisasi berikut ini :

1. Destabilizer. Organisasi harus dipandang sebagai destabilizer. Pada hakikatnya


organisasi dibentuk untuk menciptakan perubahan, sehingga pandangan ini menuntut
keterampilan baru, manajer : managing change, dan mainset baru manajer opportunity
mainset.
2. Shared competencies and resources. Organisasi bukan merupakan satu rangkain kotak-
kotak fungsional, namun merupakan suatu rangkaian Shared competencies and
resources yang tersedia untuk di mobilisasikan guna memenuhi kebutuhan customer
3. Information era. Organisasi perusahaan sekarang berada dalam zaman teknologi
informasi, sehingga memungkinkan perusahaan melakukan information sharing para
manajer dengan karyawan (melalui pemberdayaan karyawan), maupun antarorganisasi
(melalui kemitraan usaha)
4. Trust-based relationship. Integritas hanya terwujud dalam jangka panjang berlandaskan
pada trust-based relationship, baik antarfungsi (melalui cross-functional team), antara
para manajer dengan karyawan (melalui pemberdayaan karyawan), maupun
antarorganisasi (melalui kemitraan usaha)
5. Focus strategy. Organisasi perusahaan adalah suatu institusi yang dibentuk untuk tujuan
khusus. Dengan demikian organisasi hanya akan efektif jika dipusatkan untuk
melaksanakan satu tugas. Organisasi adalah alat. Oleh karena itu, sebagaimana alat
yang lain, semakin spesifik tugas yang diberikan terhadap alat tersebut, maka semakin
tinggi kinerja yang dihasilkan oleh alat tersebut. Focus strategy merupakan pilihan
untuk menempatkan perusahaan pada posisi kompetitif dalam jangka panjang.
6. Wealth-creating institution. Organisasi perusahaan dibangun sebagai wealth-creating
institution. Sebagai institusi pencipta kekayaan (material dan immaterial), organisasi
melakukan kegiatan utama sebagai berikut : (1) mendesain produk dan jasa sesuai
dengan kebutuhan customer, (2) memproduksi dan menyerahkan produk dan jasa
secara cost effective, dan (3) menjual secara efektif produk dan jasa kepada cutomer.
Oleh karena itu, sebagai institusi pencipta kekayaan, perusahaan harus mampu: (1)
membangun customer yang puas, (2) membangun personel yang produktif tdan
berkomitmen, serta (3) menghasilkan financial returus yang memadai.
7. System thinking. Organisasi dipandang sebagai suatu koleksi sistem yang didesain
untuk memobilisasi shared competences reseources guna memuaskan kebutuhan
cutomer. Hakikat system thinking adalah tujuan sistem lebih utama bila dibandingkan
tujuan fungsi. Keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan bagian-bagiannya.

ORGANISASI MATRIKS

Tidak seperti pendekatan fungsional hierarkis organisasi matriks membebankan


tanggung jawab atas arus lintas fungsional kepada manajer tertentu. Organisasi matriks
tetap mempertahankan hierarki dalam organisasi, namun menambahkan struktur horizontal
untuk mencapai beberapa koordinasi dan integrasi. Struktur horizontal ini dapat dibentuk
menurut produk atau proyek. Manajer produk atau proyek bertanggung jawab terhadap
arus horizontal. Ia mengkoordinasikan, mengintegrasikan, dan mempercepat pekerjaan
lintas fungsional. Gambar 10.4 melukiskan sebuah organisasi matriks

Organisasi matriks cocok digunakan untuk perusahaan yang opersinya didasarkan atas
proyek, dan setiap proyek bervariasi dalam volume kegiatannya. Karena ukuran proyek
sangat bervariasi, organisasi harus didesain cukup fleksibel dalam memanfaatkan modal
manusia untuk menyelesaikan proyek. Organisasi matriks dapat diibaratkan sebagai
amuba, yaitu badannya dapat membesar atau mengecil sesuai dengan objek yang
dimakannya.

Terdapat dua kelemahan berkaitan dengan organisasi matriks. Pertama, tujuan yang
dicapai oleh manajer produk/proyek bukan improvement terhadap sistem, namun untuk
mengelola sistem yang telah ada, untuk secara sederhana menyelesaikan krisis, dan
mendorong komunikasi lintas fungsional tetap ada. Kedua, meskipun manajer
produk/proyek masih berbagi sumber daya, fasilitas, dan peralatan, serta manajer dapat
mulai bersaing satu sama lain untuk memperebutkan sumber daya, dan gagal bekerjasama
untuk mengoptimumkan kinerja untuk semua customer. Struktur matriks mengarahkan
kembali pekerjaan manajer ke arus horizontal. Namun, struktur matriks tetap tidak mampu
menganggarap sistem secara optimal.

2.6 Usaha Alternatif Pengorganisasian Modal Manusia

Sebagaimana telah diuraikan diatas, pendekatan fungsional hierarkis mengandung


kelemahan mendasar “tidak memotivasi personel untuk melakukan improvement
berkelanjutan terhadap sistem dan proses yang digunakan oleh organisasi untuk
manghasilkan value bagi customer. “Tidak digambarkan pula di atas bagimana lingkungan
bisnis sekarang telah berubah secara radikal, yang ditandai dengan pergeseran kendali
bisnis ke tangan customer, percepatan perubahan,peningkatan persaingan, dan pergeseran
ke knowledge-based works. Perubahan lingkungan bisnis tersebut, menuntut setiap
organisasi yang memasukinya untuk memiliki kemampuan melakukan improvement
secara berkelanjutan terhadap sistem dan proses yang digunakan untuk menghasilkan
value bagi customer. Tanpa kemampuan ini sulit bagi organisasi, baik besar maupun kecil,
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan bisnis tersebut

Telah banyak usaha yang ditempuh untuk mencari alternatif pengorganisasian modal
manusia, selain dengan pendekatan fungsional hierarkis sebagaimana diuraikan diatas.
Usaha-usaha tersebut dibagi menjadi 2 kelompok berikut ini : (1) usaha tambal sulam
terhadap organisasi fungsional hierarkis, dan (2) usaha untuk membangun kepemilikan
sistem. Usaha kelompok pertama tetap mempertahankan organisasi fungsional hierarkis,
namun telah mencoba membangun hubungan horizontal antar fungsi. Namun, karena tidak
ada perubahan mendasar yang dilakukan terhadap organisasi fungsional hierarkis, usaha
yang sifatnya tambal sulam (paching up) tersebut tidak berhasil membangun hubungan
horizontal yang sangat diperlukan untuk menghasilkan value terhadap customer, dan untuk
memotivasi personel dalam melakukan improvement terhadap sistem dan proses.

Usaha kelompok kedua yang membangun kepemilikan terhadap sistem (sistem


aunership), mencoba menunjuk manajer yang bertanggung jawab atas sistem dan proses
yang digunakan untuk menghasilkan value bagi customer. Perunahan signifikan telah
dilakukan terhadap cara pengorganisasian modal manusia di dalam didalam kelompok
kedua ini. Pembangunan kepemilikan sistem, telah menekankan hubungan yang bersifat
horizontal dalam pengorganisasian modal manusia, sehingga fokus organisasi tertuju
kepada pemuasan kebutuhan customer, dan pemotivasian personel didalam melakukan
improvement berkelanjutan terhadap sistem yang digunakan untuk menghasilkan value
bagi cutomer.

Tambal Sulam Terhadap Pendekatan Fungsional Hierarkis

Terdapat 3 pendekatan yang digunakan untuk menambal sulam pendekatan fungsional


hierarkis: (1) tim ad hoc, (2) komite, dan (3) customer internal.
Tim ad hoc. Untuk mebangun hubungan horizontal antar fungsi di dalam organisasi
fungsional hierarkis, manajer dapat mebentuk tim ad hoc yang beranggotakan manajer dari
berbagai fungsi yang terkait dengan masalah improvement terhadap sistem. Mereka tidak
mencurahkan waktu dan energinya dalam melakukan improvement sesungguhnya
terhadap sistem. Struktur komite dapat mendorong manajer untuk menganggap
improvement sebagai satu bagian proyek tertentu atau sebagai kegiatan sampingan, bukan
sebagai way of life. Sebagai akibatnya, struktur komite menghasilkan manajer yang pasiv,
yang hanya menanggapi inisiatif orang lain, tidak secara aktif melaksanakan improvement
secara harian.

Customer Internal. Pendekatan ini mendorong personel untuk memandang proses


berikutnya adalah customer. Berdasarkan pandangan ini, personel didorong untuk
menyelesaikan masalah yang timbul dalam fungsinya, dan tidak melemparkan masalah
tersebut ke proses berikutnya. Pendekatan ini dapat membantu memecah dinding pembatas
yang timbul sebagai akibat dari organisasi fungsional, dan mendorong kerjasama lintas
fungsional.

Dengan memfokuskan pada kebutuhan customer internal, manajer dan karyawan


memeperluas pandangan mereka melampaui bidang pekerjaannya, dan mulai membangun
kerja tim dan komunikasi. Konsep customer internal memastikan manajer memasukkan
arus kerja horizontal sebagai bagaian dari kehidupan harian mereka, dan memadukan
pekerjaan mereka menjadi sistem organisasi. Sebagai contoh, karena desain harus dapat
diproduksi, personel di departemen desain harus memperhatikan kebutuhan personel di
departemen produksi, sebagai cutomer mereka dalam menghasilkan desain.

Dalam pendekatan fungsional hierarkis, konsep customer internal memiliki


kelemahan. Manajer dapat meminimumkan apa yang dapat mereka serahkan kepada
customer internal. Jika kinerja manajer diukur dengan ukuran yang berfokus kepada
fungsi, manajer fungsi, yang bertindak sebagai internal, hanya akan berusaha untuk
memnuhi persyaratan, sebagaimana yang ditetapkan dalam spesifikasi produk atau jasa
yang diserahkan kepada customer internal. Kelemahan lain timbul dari pemasok internal
yang berada jauh di hulu mata rantai nilai. Jika masalah timbul jauh dihulu mata rantai
nilai, customer yang berada paling hilir sulit untuk menyelesaikan masalah, karena harus
menelususri penyebabnya melalui berbagai mata rantai nilai sebelumnya.

Pendekatan customer internal tidak berhasil menggalang kerjasama kemitraan antara


seluruh peserta dalam sistem. Pendekatan ini juga tidak mampu mengintegrasikan
keseluruhan fungsi untuk melayani cutomer luar secara optimal

Pendekatn tim ad hoc, komite, dan customer internal akan menghasilkan manfaat
terbaik, jika di kombinasikan satu dengan lainnya. Lebih efektif lagi, jika pendekatan ini
dkombinasikan dengan pendekatan kepemilikan sistem.
2.7 Perwujudan Sistem Ownership Approach Dalam Struktur Sppm

Pendekatan ini menyadari adanya sistem lintas dan mendefinisikan kembali peran
dan tanggung jawab manajer berdasarkan kesadaran tersebut. Pendekatan ini menetapkan
manajer atau tim manajer sebagai pemilik sistem tertentu. Kepemilikan sistem ini dapat
mangatasi banyak kelemahan organisasi fungsional hierarkis. Jika tidak ada yang memiliki
dan bertanggung jawab atas sistem, maka tidak ada yang bertanggung jawab untuk
melakukan improvement terhadap sistem, sehingga sistem tersebut dibiarkan tidak di
sempurnakan dan ankan tumbuh semakin kompleks, dan tidak dapat secara optimal value
bagi customer. Dalam menghadapi pasar kompetiti sekarang ini, cara yang ditempuh oleh
manajer dalam mengelola sistem akan menetukan sukses atau tidaknya organisasi dalam
beroperasi di pasar tersebut.

Oleh karena adanya ketergantungan di dalam organisasi sebagai suatu sistem terbuka,
sistem lintas fungsional akan dapat dikelola dengan baik melalui sistem kepemilikan.
Sayangnya di dalam pendekatan fungsional hierarkis, baik kerja tim maupun kepemilikan
diabaikan. Didalam pendekatan kepemilikan sistem, manajer disiapkan untuk memiliki
sistem yang melintasi organisasi secara horizontal.

Pendekatan kepemilikan sistem terdiri atas 3 sistem : (1) sistem lintas fungsional
(cross-functional system), (2) sistem berfokus ke customer (customer focused system) dan,
(3)sistem berfokus ke produk (product focused system).

Sistem Lintas Fungsional ( Cross- Functional System)

Pendekatan sistem lintas fungsional merupakan alternatif pengorganisasian modal


manusia dalam memanfaatkan sumber daya organisasi untuk memproduksi produk dan
jasa yang menghasilkan value bagi customer. Dilingkungan bisnis yang didalamnya
customer memegang kendali bisnis, pendekatan pengorganisasian modal manusia yang
berfokus kepada customer akan menghasilkan manfaat signifikan, dibandingkan dengan
pendekatan fungsional hierarkis.

Didalam sistem lintas fungsional ditentukan dan dibebankan tanggung jawab


kepemilikan atas sistem kepada manajer, yang berkewajiban untuk melakukan
improvement terhadap sistem tersebut. Jika beberapa sistem ditempelkan struktur
organisasi fungsional hierarkis, struktur organisasi akan tampak seperti organisasi matriks.
Organisasi lintas fungsional merupakan struktur organisasi matriks, dalam arti bahwa
organisasi menutut manajer dan karyawan dengan spesialisasi fungsional untuk
mencurahkan energy mereka, dan memeberikan kontribusi ganda terhadap tujuan yang
lebih tinggi (tidak sekedar tujuan fungsionalnya saja, namun juga diarahkan ketujuan
sistem). Namun, organisasi lintas fungsional tidak sama dengan organisasi matriks, karena
organisasi lintas fungsional tidak berfokus kepada produk atau proyek sebagaimana
didalam organisasi matriks, namun berfokus ke pelaksanaan improvement terhadap sistem
yang melintas antar fungsi. Lihat gambar 10.5 yang melukiskan contoh struktur organisasi
yang menggunakan sistem lintas fungsional. Jika didalam organisasi matriks, arah
mendatar kesebelah kiri dibangun organisasi proyek atau produk (lihat kembali gamabar
10.4), di dalam sistem lintas fungsional, dibangun organisasi sistem (dalam gambar
tersebut terdiri atas sistem inovasi terpadu, sistem penjualan terpadu, dan sistem produksi
terpadu).

Sistem lintas fungsional dapat dibangun dengan mengurangi jumlah jenjang


organisasi melalui program pemberdayaan karyawan. Pemberdayaan karyawan berarti
memampukan dan member kesempatan kepada karyawan untuk merencanakan,
mengimplementasikan rencana, dan mengendalikan implementasi rencana pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya atau tanggung jawab kelompoknya. Tim lintas fungsional
didorong untuk memfokuskan orientasinya ke hubungan horizontal, bukan ke hubungan
vertical. Peningkatan hubungan horizontal dapat dimungkinkan melalui pemanfaatan
secara optimal teknologi informasi yang menyediakan fasilitas database untuk information
sharing untuk memungkinkan personel memanfaatkan informasi yang diakses dari shared
database, organisasi dapat menempuh program pemberdayaan karyawan melalui
pendidikan dan pelatihan. Dengan pemberdayaan karyawan, peran manajer bawah dan
manajer menengah menjadi berkurang secara signifikan, sehingga mengakibatkan
organisasi fungsional hierarkis menjadi semakin datar (flater). Dalam gambar 10.5,
jenjang organisasi hanya terdiri atas dua tingkat, direktur dan manajer. Dalam gambar
tersebut, jenjang manajer dibagi menjadi 3 kelompok : (1) manajer fungsional utama
(pemasaran, desain, produksi, logistic, akuntansi, dan keuangan), (2) manajer sitem(sistem
order getting, order filling, dan layanan purna jual), dan (3) manajer fungsional
pendukung(support function) yang terdiri atas akuntansi, keuangan, secretariat & umum,
dan modal manusia.

Dengan ditunjuknya manajer yang bertanggung jawab atas sistem, improvement


berkelanjutan terhadap sistem dapat dilakukan oleh organisasi. Dengan dibentuknya tim
personel yang berasal dari berbagai fungsi yang bertanggung jawab terhadap sistem, tim
ini mampu belajar untuk menyempurnakan secara berkelanjutan sistem yang digunakan
untuk melayani customers. Dengan memfokuskan orientasi tim personel ini pada layanan
bagi customers, setiap personel dari berbagai fungsi yang tergabung dalam tim akan
mencurahkan kompetensi mereka masing-masing kepada pemuasan kebutuhan customers.
Kunci keberhasilan sistem lintas fungsional terletak pada kemampuan tim untuk melebur
bakat berbagai kelompok yang berbeda. Kecepatan pelayanan kepada customers dapat
ditingkatkan melalui pemfokusan orientasi tim personel kepada sistem. Fleksibilitas tim
dalam merespon perubahan kebutuhan customers juga semakin meningkat.

Manajer dapat mendefinisikan sistem sesuai dengan cara yang diperlukan untuk
melakukan improvement terhadap customers value. Sebagai contoh suatu perusahaan
percetakan mendefinisikan sistem sebagai sistem order getting,sistem order filling, dan
sistem layanan purna jual yaitu customer value akan meningkat jika perusahaan mampu
melakukan inovasi secara berkelanjutan dan cepat, serta penyerahan produk secara tepat
waktu sesuai kebutuhan customer. Untuk meningkatkan kecepatan respon terhadap
pemintaan jasa percetakan, perusahaan perlu memiliki sistem order filling. Untuk
melayani kebutuhan customer secara memuaskan, perusahaan perlu memiliki sistem
layanan purna jual. Sistem order getting, sistem order filling dan sistem layanan purna jual
ini melibatkan fungsi pemasaran, engineering, produksi, dan logistik. Kompetensi dan
sumber daya dari berbagai fungsi tersebut dikerahkan oleh case manager unuk
mewujudkan tujuan sistem dan improvement terhadap sistem tidak mungkin diselesaikan
melalui pelaksanaan pekerjaan setiap fungsi seacar individual, maka diperlukan kerja sama
lintas fungsional. Oleh karena itu, organisasi tersebut menetapkan order getting, order
filling, dan layanan purna jual sebagai suatu sistem dan kemudian menunjuk manajer yang
bertanggung jawab atas kepemilikan masing-masing sistem tersebut. Gambar 10.5
melukiskan sistem lintas fungsional (cross functional system) untuk sistem order getting,
sistem order filling dan sistem layanan purna jual sebagaimana diuraikan di atas.

Kelemahan sistem lintas fungsional adalah tetap adanya kompleksitas organisasi


hierarkis. Dalam gambar 10.5 terlihat ada dua jenjang manajer direksi, manajer sistem dan
manajer fungsi. Isu tentang kekuasaan, wewenang, alokasi, sumber daya, tujuan/sasaran,
dan hubungan pelaporan dapat menyulitkan usaha untuk melakukan improvement
terhadap sistem. Arus informasi dalam organisasi lintas fungsional berbentuk gelombang,
seperti dalam organisasi fungsional hierarkis. Perbedaan diantara keduanya terletak pada
lebih datarnya bentuk gelombang, seperti dilukiskan pada gambar 10.6, dibandingkan
gambar 10.2, karena organisasi semakin datar, dengan hilangnya manajer tingkat bawah
dan manajer tingkat menengah sebagai akibat dari impowerment yang dilaksanakan
terhadap karyawan. Pendekatan sistem lintas fungsional dapat membingungkan manajer
tradisional, terutama jika mereka diberi tanggung jawab untuk melakukan improvement
terhadap sistem yang kompleks yang tumbuh di bawah organisasi hierarkis.

Sistem ini juga menuntut manajer untuk memandang organisasi dengan cara baru.
Keberhasilan sistem lintas fungsional ini dalam melakukan improvement terhadap sistem
menuntut suatu kultur yang dilandasi oleh paradigma yang bertumbuh : customer value
dan improvement secara berkelanjutan. Sebagai contoh, manajer harus mementingkan
tujuan perusahaan secara keseluruhan dalam melayani customer daripada kepentingan
fungsionalnya. Manajer harus mencurahkan perhatiannya ke customer value bukan ke
hierarki tradisional. Transformasi kultur semacam ini memerlukan waktu beberapa tahun
untuk membangunnya.

Sistem Berfokus ke Customer (System Focused on Customer)

Dalam pendekatan ini, personel dengan berbagai keterampilan mereka


dikelompokkan dalam satu tim untuk menjalankan sistem yang digunakan untuk
pemberian layanan kepada customer tertentu, kemudian ditunjuk manajer yang
bertanggung jawab terhadap sistem tersebut. Oleh karena itu, sistem tersebut ditujukan
untuk memberikan layanan khusus kepada customer tertentu, manajer yang bertanggung
jawab atas sistem mengubah orientasinya, tidak ke pertanggungjawaban yang bersifat
vertikal, namun berfokus ke pemuasan kebutuhan customer. Bila personel dikelompokkan
menurut customer yang mereka layani, pendekatan ini akan menghasilkan organisasi
dengan orang-orang yang mengetahui semua jasa yang mebentuk produk yang berpotensi
dibutuhkan oleh kelompok customer tertentu. Hal ini memungkinkan organisasi
menyediakan tingkat atau paket layanan yang berbeda untuk customer yang berbeda.
Sebagai contoh, kemungkinan diperlukan untuk menyelenggarakan catatn akuntansi
berkaitan dengan customer tertentu setiap hari. Jika akuntansi berada dalam seriap
organisasi yang berfokus ke customer, penyelenggaraan akuntansi spesifik untuk customer
tertentu dimungkinkan.

Sistem berfokus ke customer memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem lintas


fungsional. Di dalam sistem lintas fungsional, hierarki tetap dipertahankan, dan meskipun
peran beberapa manajer didefinisikan kembali untuk memberikan wewenang kepemilikan
terhadap sistem tertentu, kompleksitas bawaan yang terdapat dalam organisasi hierarkis
yang besar tidak secara penuh dapat dihilangkan. Sistem berfokus kepada customer
mengatasi kompleksitas dengan meniadakan batas-batas antarfungsi. Setiap sistem
menjadi organisasi mini yang mencoba menangkap vitalitas organisasi entrepreneur kecil
dengan: (1) kerja tim, (2) pekerja yang terlatih lintas fungsional, (3) manajer dan karyawan
dengan keterampilan beragam, (4) partispasi fleksibel, (5) tujuan bersama, dan (6) fokus
yang tinggi terhadap customer tertentu. Keterpaduan mudah dibangun karena batas-batas
fungsional dihilangkan. Proses improvement terhadap sistem dimudahkan karena
organisasi yang lebih kecil dan sederhana, penyelesaian masalah dapat lebih mudah
dilakukan karena penyebabnya lebih mudah diidentfikasi, dan lebih memiliki komitmen
terhadap tujuan customer tertentu. Sistem berfokus kepada customer diarahkan untuk
memberikan layanan ke customer tertentu atau segmen pasar tertentu. Gambar 10.7
melukiskan sistem berfokus kepada customer.

Sistem Berfokus ke Produk (System Focused on Product)

Untuk memecahkan masalah yang timbul dalam organisasi hierarkis dan matriks,
sistem berfokus ke produk menghilangkan jenjang dalam organisasi dan membangun
sistem yang sesuai arus horizontal. Arus horizontal ini diorganisasikan menurut produk
atau customer tertentu. Pendekatan ini memcah organisasi ke dalam unit yang lebih kecil,
dan ke dalam sistem yang lebih terkelola dengan fokus ke produk atau customer tertentu.
Pengorganisasian dengan pendekatan ini mengombinasikan sifat-sifat terbaik oragnisasi
besar, yang mencakup akses ke modal besar, suatu alat untuk memungkinkan investasi
dalam riset dasar dan kemampuan untuk menarik dan mempertahankan manajer yang
paling berbakat, dan sifat-sifat baik organisasi kecil, seperti terfokus, fleksibel, dan cepat.
Gambar 10.9 melukiskan sistem berfokus ke produk yang diterapkan pada
pengorganisasian aktivitas produksi.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Struktur adalah komponen-komponen yang dipadukan untuk membangun sebuah system.


Struktur SPPM terdiri dari tiga komponen: struktur organisasi, jejaring informasi, dan
system penghargaan. Bab ini menguraikan rerangka konseptual pendesainan struktur
SPPM dengan menggunakan contingency approach dan human capital leverage approach.

Uraian rerangka konseptual pendesainan struktur struktur SPPM dalam bab ini,
dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi pembelajaran dalam menjelajahi uraian
rinci mengenai pendesainan komponen-komponen yang membentuk struktur SPPM.

Faktor penentu keberhasilan suatu organisasi dalam mewujudkan tujuannya adalah


pendekatan yang digunakan oleh manajemen didalam mengorganisasikan modal manusia
untuk memanfaatkan sumber daya lain. Pendekatan pengorganisasian modal manusia
ditentukan oleh :

1. Sifat pekerjaan yang digunakan untuk mewujudkan tujuan organisasi,dan


2. Lingkungan bisnis yang dihadapi oleh organisasi

Oleh karena dimasa depan pekerjaan akan bersifat knowledge based works, dan
lingkungan bisnis diwarnai dengan kenyataan customer yang memgang kendali bisnis,
kecepatan perubahan semakin meningkat, dan persaingan semakin intens, maka
manajemen perlu meninjau kembali pendekatan fungsional hierarkis dalam
pengorganisasian modal manusia. Pendekatan ini pernah menjanjikan sukses dimasa
silam, sehingga kemungkinan besar banyak manjer yang mengalami functional fixation
terhadap pendekatan tersebut. Dalam pengelolaan perusahaan, manajemen perlu
melakukan optimalisasi sistem dan proses yang digunakan oleh organisasi untuk
memenuhi kebutuhan customer, dengan mengimplementasikan pendekatan kepemilikan
sistem.

Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai