Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“PAJAK PENGHASILAN PASAl 22”

MATA KULIAH: PERPAJAKAN

DISUSUN OLEH:

WELMINCE PUTRI F. KORE (2103020220)

SEMESTER III/F

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas untuk mata kuliah Perpajakan, dengan judul: “Pajak Penghasilan Pasal 22”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak dan juga mendapat saran serta kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.

Kupang, 25 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbicara tentang pajak tidak lengkap rasanya jika tidak membahas tentang awal sejarah
perpajakan di Indonesia. Pajak merupakah salah satu komponen penting dalam perjalanan
suatu bangsa. Pajak merupakan sumber pendapat utama dari sebuah negara, termasuk
Indonesia. Sumber pendapatan negara yang berasal dari pajak terbagi dalam tujuh sektor,
yaitu pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah,
pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk
dan cukai.

Sebenarnya di Indonesia sudah mengenal pajak sebelum masuknya belanda, saat itu pajak
dikenal dengan istilah upeti. Upeti sendiri adalah pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat
untuk kepentingan pribadi dan operasional kerajaannya.  Contohnya seperti membangun
istana atau membiayai rumah tangga kerajaan. Ketika Belanda masuk dan menjajah
Indonesia, saat itulah kita mengenal system perpajakan modern. Pemerintah Belanda
membedakan besar tariff pajak berdasarkan kewarganegaraan wajib pajak. Pada tahun
1885 pemerintah Belanda memberlakukan kenaikan pajak rumah tinggal untuk warga
Asia menjadi 4%. Ada dampak negatif akibat dari pengenaan pajak di era kolonial dan
era sebelumnya, yaitu membuat sebagian masyarakat menganggap bahwa pajak itu hanya
bentuk dari superioritas penguasa kepada rakyatnya. Karena pada masa itu hamper semua
sektor pemungutan pajak dilakukan dengan cara manual dan tanpa pengawasan. Hal
inilah yang kadang menjadi penyebab terjadinya penyelewengan pemungutan pajak pada
masa itu dan meninggalkan kesan kurang baik sampai sekarang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu pph pasal 22


2. Bagaimana subjek dari pph pasal 22
3. Objek dan pemugutan pph pasal 22
4. Berapa tarif pph pasal 22
5. Bagaimana pengecualian pemugutan pph pasal 22
6. Saat terutang dan pelunasan / pemugutan pph pasal 22
7. Bagaimana tata cara pemugutan, penyetoran, dan pelaporan pph pasal 22
8. Cara menghitung pph pasal 22

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pajak penghasilan pasal 22


2. subjek dari pph pasal 22
3. Objek dan pemugutan pph pasal 22
4. Tarif pph pasal 22
5. Pengecualian pemugutan pph pasal 22
6. Saat terutang dan pelunasan / pemugutan pph pasal 22
7. Tata cara pemugutan, penyetoran, dan pelaporan pph pasal 22
8. Mengetahui cara menghitung pph pasal 22

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22

Penjelasan PPh Pasal 22 Umum dan Bendaharawan / BUMN, ulasan pajak penghasilan kali
ini dibatasi hanya seputar PPh22 secara umum atau objek PPh Pasal 22 dan khususnya subjek
dan objek PPh Pasal 22 Bendaharawan maupun PPh 22 BUMN, hingga penjelasan PPh Pasal
22 e serta Pasal 22 ayat 1.

a) PPh Pasal 22 adalah


Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh22
merupakan bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukan satu pihak terhadap
wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan barang.

Menurut Pasal 22 ayat 1 UU PPh No. 36 Tahun 2008, Menteri Keuangan dapat menetapkan:

 Bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas


penyerahan barang
 Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan
di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain
 Wajib Pajak Badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah

Maka, pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 atau biasa disebut PPh 22 adalah pajak
penghasilan yang pemungutannya dilakukan oleh bendaharawan atau badan usaha tertentu,
baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan ekspor dan impor serta re-
impor maupun kegiatan usaha lain.

b) PPh 22 Bendaharawan

Jadi, PPh 22 Bendaharawan artinya pemungutan pajak penghasilan Pasal 22 yang dilakukan
oleh Bendaharawan Pemerintah atas penyerahan barang oleh rekanan yang dibiayai dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).

Dengan kata lain, PPh 22 Bendaharawan adalah pajak yang dipungut oleh Bendaharawan


Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga-
lembaga negara lain yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan.

c)  PPh 22 BUMN 

Tentu saja sebagai Badan Usaha Milik Negara, BUMN juga memiliki kewajiban pajak
penghasilan pasal 22.

Jadi, PPh 22 BUMN adalah pajak yang dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
atas pembayaran atau penyerahan barang. Seperti halnya beberapa jenis PPh lainnya kecuali
PPh 21, #PPhPasal22 kini pembuatan bukti potong pajaknya harus lewat e-Bupot
Unifikasi, begitu juga dengan pelaporan SPT PPh22 ini. Sebagai wajib pajak yang melakukan
transaksi terkait pajak penghasilan Pasal 22, ketahui dan pahami ketentuan perpajakannya
dan penuhi kewajiban pajak dengan baik agar bisnis lancar. Seperti apa panduan lengkap
pajak penghasilan pasal 22 atau cara hitung PPh22 serta cara lapor SPT Masa PPh Unifikasi
PPh Pasal 22, simak ulasan dari Mekari Klikpajak berikut ini.

2.2
Subjek PPh adalah orang atau pihak yang bertanggungjawab atas pajak
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak maupun
bagian tahun pajak.

Subjek pajak penghasilan artinya orang yang harus membayar pajak


penghasilan dan disebut sebagai Wajib Pajak (WP).

Status sebagai WP ini ditetapkan dengan cara yang bersangkutan


mendaftarkan diri terlebih dahulu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Pendaftaran diri sebagai WP dilakukan di KPP tersebut harus sesuai


dengan wilayah domisili yang bersangkutan.

Jenis Subjek PPh


Merujuk pada UU PPh, subjek pajak penghasilan terbagi menjadi beberapa
jenis, di antaranya:

1. Subjek PPh Orang Pribadi

Wajib Pajak Orang pribadi adalah subjek pajak penghasilan bagi yang


mencakup orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
maupun di luar Indonesia.

Subjek PPh Orang Pribadi (OP) ini terdiri terdiri dari:

a. Subjek PPh OP Dalam Negeri

Subjek PPh OP Dalam Negeri ini berlaku bagi yang telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP).

Penghasilan Tidak Kena Pajak

Besar PTKP yang ditetapkan sebesar:

 Rp15.84.000 untuk diri wajib pajak orang pribadi


 Rp1.320.000 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
 Rp15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya
digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam 8 ayat
(1)
 Rp1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap
keluarga

b. Subjek PPh OP Luar Negeri

Subjek PPh OP Luar Negeri ini berlaku bagi yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia maupun melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

Buat Bukti Potong dan lapor SPT PPh 23/26 lebih mudah dan cepat
karena langsung tarik data dari laporan keuangan online hanya
dengan e-Bupot Klikpajak by Mekari. Coba sekarang!

2. Subjek PPh Warisan yang belum terbagi

Apa maksud dari warisan yang belum terbagi ini sebagai subjek pajak?

Masih merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum
terbagi sebagai subjek pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal warisan tersebut tetap dilaksanakan.

“Artinya, warisan yang di tinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri ini
mengikuti status pewaris. Katika warisan yang di tinggalkan oleh pewaris
tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, bisa saja memberikan
penghasilan meski pewaris tersebut telah meninggal.”

Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan


tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika warisan itu
telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang


pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia,
maka tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti.

Kenapa? Karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau


diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Apakah Sobat Klikpajak baru merintis usaha?
Ketahui Solusi Pajak bagi ‘Startup’ yang Lagi
Bakar Duit
3. Subjek PPh Badan

Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai
satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha.
Badan bisa berupa Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV),
perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lainnya.

Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:

 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.


 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.

4. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)

Subjek PPh Bentuk Usaha Tetap adalah subjek pajak penghasilan yang


perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak padan badan
dalam negeri.

BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak
luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia.

BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan


NPWP. Kemudian menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya
pajak terutang dalam satu tahun pajak.

Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak


dengan menggunakan tarif pajak BUT umum sebesat 25%  seperti yang
berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

Apa Saja Objek Pajak Penghasilan


Secara garis besar, objek pajak penghasilan di sini dikelompokkan menjadi
tiga kategori, yang akan mengarah pada jenis-jenis PPh yang menjadi
kewajiban wajib pajak, yakni:
a. Penghasilan sebagai Objek Pajak

Objek PPh dalam UU PPh dirincikan sebagai berikut:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang industri, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta


termasuk:

 Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan


badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
 Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
 Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun
 Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk industri, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan
 Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai


biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan


pengembalian utang
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi

8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan


jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva

14. Premi asuransi

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang


terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum


dikenakan pajak

17. Penghasilan dari usaha berbasis industri

18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang


mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan

19. Surplus Bank Indonesia.

Buat Faktur Pajak dan lapor SPT Masa PPN tanpa install aplikasi


hanya di e-Faktur Klikpajak by Mekari. Coba sekarang!

b. Penghasilan yang Dikenakan PPh Final


Sedangkan penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan bersifat
final adalah:

 Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga


obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi
 Penghasilan berupa hadiah undian
 Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
industri yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura
 Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan
 Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

Bicara soal tarif pengenaan PPh 22 terbagi atas dua kriteria yakni tarif
umum dan tarif khusus. Untuk tarif umum, perhitungannya yakni 1,5 persen
atas harga pembelian barang tidak termasuk PPN, dan tidak final.

Selanjutnya untuk tarif khusus, terdiri dari beberapa jenis sebagai berikut:

1. Tarif PPh 22 atas impor


dibagi menjadi tiga, yakni pelaku usaha yang menggunakan angka
pengenal importir (API), non-API, dan yang tidak dikuasai. Detailnya, tarif
yang dikenakan untuk kegiatan impor ini adalah sebagai berikut:

a. Menggunakan API = 2,5% x nilai impor.


b. Non-API = 7,5% x nilai impor.
c. Yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Tarif PPh 22 atas pembelian dilakukan oleh pemerintah yakni DJPB,


Bendahara Pemerintah, dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah
(BUMN/BUMD). Tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan terhadap kegiatan
pembelian yang dilakukan tiga jenis institusi ini adalah 1,5% x harga
pembelian (tak termasuk dan tidak final).

3. Tarif PPh 22 atas penjualan hasil produksi yang ditentukan atas dasar
pengenaan pajak (DPP) dan bersifat tidak final. Tarif yang ditetapkan
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dibagi untuk beberapa
produk, antara lain:

a. Semen = 0,25% x DPP PPN


b. Kertas = 0,1% x DPP PPN
c. Automotif = 0,45% x DPP PPN
d. Baja = 0,3% x DPP PPN
Semua jenis obat: 0,3% dari DPP PPN

4. Tarif PPh Pasal 22 atas hasil produksi atau penyerahan barang oleh
produsen/importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas dengan rincian:

a. Sebesar 0,25 persen dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual BBM yang
dibeli dari Pertamina atau anak usaha Pertamina;
b. Sejumlah 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan
kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bakar minyak
yang dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina;
c. Senilai 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan kepada
pihak yang dibeli dari Pertamina maupun selain dari Pertamina atau anak
usaha Pertamina;
d. Sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk bahan bakar
gas; dan
e. Senilai 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk pelumas

5. Tarif PPh Pasal 22 atas impor komoditas seperti gandum, kedelai, dan
tepung terigu sebesar 0,5% dari nilai impor.

6. Tarif PPh 22 atas pembelian bahan untuk industri sebesar 0,25% dari
harga pembelian tidak termasuk PPN. Tarif ini berlaku atas pembelian
bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul. Di antaranya pembelian hasil kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri
manufaktur.

7. Tarif PPh atas penjualan beberapa produk tertentu (barang mewah),


dikenakan tarif sebesar 5 persen dari harga jual (tidak termasuk PPN dan
PPnBM). Produk-produk tertentu yang dimaksud, adalah sebagai berikut:

– Pesawat udara seharga lebih dari Rp 20 miliar


– Kapal pesiar serta sejenisnya seharga lebih dari Rp 10 miliar
– Rumah dan tanahnya seharga atau pengalihan harganya lebih dari Rp 10
miliar dengan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi (m2).
– Apartemen, kondominium, serta sejenisnya seharga atau pengalihan
harganya lebih dari Rp 10 miliar dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
– Kendaraan roda empat dengan pengangkutan kurang dari sepuluh orang
berupa seharga lebih dari Rp 5 miliar. Selain itu, juga kapasitas silinder
lebih dari 3.000 cc.

 pengecualian-pengecualian PPh Pasal 22 di bawah ini:


1. UU Pajak Penghasilan tidak terutang
Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
Pengecualian atas impor barang ini harus disertai dengan Surat Keterangan
Bebas (SKB) PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP).
2. Bebas Bea Masuk atau Pajak Pertambahan Nilai
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai.
3. Impor sementara
Impor barang tersebut dimaksudkan untuk melakukan diekspor kembali.
4. Re-impor
Re-impor yang meliputi barang-barang yang sudah diekspor lalu diimpor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang yang sudah diekspor untuk
diperbaiki, dikerjakan kembali, dan diuji yang sudah memenuhi syarat sesuai
dengan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
5. Pembayaran pemungut pajak
Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak seperti:

 Bendahara Pemerintah & Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),


bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang didelegasikan oleh KPA, yang jumlahnya maksimal
Rp2 juta dan tidak merupakan pembayaran yang dipecah.
 pembayaran dari pemungut pajak seperti BUMN tertentu dan Bank
BUMN yang jumlahnya maksimal Rp10 juta dan tidak merupakan
pembayaran yang dipecah.
 Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas,
pelumas, benda-benda pos, dan juga pemakaian air dan listrik.

6. Emas batangan
Pengecualian PPh Pasal 22 juga terjadi pada emas batangan yang akan dibuat
menjadi perhiasan emas untuk diekspor.
7. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
Pembayaran atas pengadaan barang yang berhubungan dengan penggunaan
dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Baca juga: Penjelasan Lengkap PPh Pasal 23
Perlu diketahui bahwa pengecualian seperti yang tertera di poin nomor 1 dan
6 memerlukan SKB yang diterbitkan oleh DJP, sementara pengecualian di
poin nomor 4, 5, dan 7 bisa diterapkan tanpa memerlukan SKB.
Setelah mengetahui cakupan pengecualian PPh Pasal 22, Wajib Pajak
diharapkan untuk bisa melaporkan SPT PPh Pasal 22 yang bersifat self-
assessment dengan lebih akurat. Hal ini juga memperbolehkan Wajib Pajak
untuk menerbitkan bukti pungut yang sesuai dengan ketentuan yang tertuang
dalam PPh Pasal 22. Nantinya, bukti pungut yang diterbitkan akan dijadikan
kredit akhir tahun di SPT Tahunan bagi pihak yang dipungut. 
Jangan lupa, batas pelaporan SPT PPh Pasal 22 itu setiap tanggal 20 di bulan
berikutnya. Keterlambatan lapor SPT PPh Pasal 22 bisa dikenakan sanksi
administrasi, lho. Agar tidak mengalami keterlambatan dalam melapor,
Wajib Pajak bisa melapor secara online menggunakan fasilitas e-filing yang
disediakan oleh AyoPajak yang merupakan PJAP resmi dan diawasi
langsung oleh DJP. Tunggu apa lagi? Segera daftarkan badan usaha Anda
di AyoPajak.

SAAT terutang dan peluasan PPh Pasal 22 tertuang dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 34/PMK.010/2017. Dalam aturan tersebut dikatakan bahwa saat terutang dan
dilunasi/dipungut PPh Pasal 22 atas:

1. Impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk.
2. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam
pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang yang dibebaskan dari
pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
3. Ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang
dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
atas ekspor.
4. Pembelian barang oleh bendahara pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
bendahara pengeluaran, pejabat penerbit SPM, dan pembelian barang dan/atau bahan-
bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf e terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
5. Penjualan hasil produksi oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri
semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi terutang dan
dipungut pada saat penjualan.
6. Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang
(delivery order).
7. pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i dan
pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf j, terutang dan dipungut pada saat pembelian.

Sementara itu, terkait dengan tata cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015 tentang  Tata Cara dan
Prosedur Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2015 mengatur mengenai tata
cara pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22, sebagai berikut:

1. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, ke
kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan.
2. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara,
mineral logam dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
eksportir yang bersangkutan ke kas negara melakui Kantor Pos, bank devisa, atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
3. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
(bendahara pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran,
pejabat penerbit SPM) wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos,
bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh
pemungut pajak.
4. Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j , dan huruf k PMK
16/2016 wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa,
atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak.

Terkait dengan penyetoran PPh Pasal 22 yang dilakukan oleh eksportir komoditas tambang
batubara, mineral logam dan mineral bukan logam dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak dengan ketentuan dalam kolom Uraian Pembayaran diisi dengan Nomor
Pengajuan Pemberitahuan Ekspor Barang
Terhadap bukti penyetoran pajak yang dilakukan oleh eksportir tersebut, Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai melakukan pemeriksaan formil bukti penyetoran pajak tersebut sebagai dokumen
pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
Bukti penyetoran pajak yang digunakan sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean
ekspor adalah Surat Setoran Pajak yang telah tertera Nomor Transaksi Penerimaan Negara.
Eksportir yang bersangkutan wajib mengisi Lembar Lanjutan Pemberitahuan Ekspor Barang
sesuai ketentuan kepabeanan yang berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut:

1. dalam  kolom  Jenis  Dokumen diisi dengan  Surat Setoran Pajak atau SSP;
2. dalam kolom Nomor Dokumen diisi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang
tertera dalam Surat Setoran Pajak; dan
3. dalam kolom Tanggal Dokumen diisi dengan tanggal Nomor Transaksi Penerimaan
Negara.

Penyetoran PPh Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak
(bendahara pemerintah, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, pejabat
penerbit SPM) menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti
Pemungutan Pajak.
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j , dan huruf k PMK 34/2017 wajib
menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 dalam rangkap 3, yaitu:

1. lembar kesatu untuk wajib pajak (pembeli/pedagang pengumpul);


2. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak
(dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 22); dan
3. lembar ketiga sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.

Pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya dengan menggunakan Surat


Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayan Pajak.
Setelah sebelumnya dibahas mengenai pengertian & pihak pemungut, objek & non-objek
pajak, dasar pengenaan pajak & tarifnya, serta saat terutang dan tata cara pemungutan PPh
Pasal 22, maka pada bahasan berikutnya akan diberikan contoh perhitungan PPh Pasal 22
sebagai bahasan terakhir dari materi PPh Pasal 22.

Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22

1. PPh Pasal 22 atas impor barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir
1) disetor oleh importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak,
Cukai dan Pabean (SSPCP). PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut
oleh DJBC harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau bendahara
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah
pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7
(tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
2. PPh Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran
Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22
atas impor harus dilunasi saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean
impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berakhir.
3. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak rekanan ke
bank persepsi atau Kantor Pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan bukti pungutan
rangkap tiga, yaitu :
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan
Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan
dilaporkan ke KPP paling lambat 14 (empat belas ) hari setelah masa
pajak berakhir.
4. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lama tanggal 10 sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dilaporkan ke KPP paling lambat
tanggal 20 setelah masa pajak berakhir.
5. PPh Pasal 22 atas pembelian barang (Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22
butir 4 ) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib Pajak penjual ke
bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan
takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP dan menyampaikan
SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah masa pajak
berakhir.
6. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 5, dan 7 ) dan hasil penjualan barang sangat mewah
(Lihat Pemungut dan Objek PPh Pasal 22 butir 8) disetor oleh pemungut atas
nama wajib pajak ke bank persepsi atau Kantor Pos paling lambat tanggal 10
(sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan formulir SSP.
Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.
7. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (Lihat Pemungut dan Objek PPh
Pasal 22 butir 6) disetor oleh pemungut ke bank persepsi atau Kantor Pos
paling lama tanggal 10(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap 3 yaitu:
a. lembar pertama untuk pembeli;
b. lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor
Pelayanan Pajak;
c. lembar ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.

Pelaporan dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat


paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh Pasal 22
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

PPh 22 merupakan pengenaan pajak pada badan usaha yang melakukan


perdagangan impor, ekspor, atau re-impor. Berlaku bagi badan usaha
pemerintah atau usaha swasta. PPh pasal 22 ini juga berlaku untuk wajib
pajak badan yang memperdagangkan barang mewah sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia (RI) Nomor 92/PMK.03/2019
tentang Perubahan Kedua atas PMK RI No. 253/PMK.03/2008 tentang Wajib
Pajak Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pemberi atas
Penjualan Barang Tergolong Sangat Mewah. Lalu, bagaimana cara
menghitung PPh Pasal 22 ini?

Cara Menghitung PPh Pasal 22


Undang Undang Pajak Penghasilan (PPh) No.36 2008 pasal 22 menyatakan
bahwa adanya pajak yang dikenakan untuk kegiatan penyerahan barang,
kegiatan di bidang impor ekspor, dan penjualan barang mewah. Dalam
menghitungnya, cara yang dilakukan adalah:
Tarif pajak x nilai impor/harga jual lelang/DPP PPN/harga beli

Untuk badan yang melakukan pemungutan atau pemotongan adalah sebagai


berikut:

 Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)


 Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
 Bendahara pengeluaran
 Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat yang menerbitkan
Surat Perintah Membayar
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
 Industri maupun eksportir yang berjalan di sektor kehutanan,
peternakan, perkebunan, pertanian, serta perikanan, dengan pembelian
bahan pedagang yang diperlukan industri usaha tersebut atau aktivitas
ekspor.
 Industri atau badan usaha yang membeli komoditas mineral logam,
tambang batubara maupun mineral yang bukan logam, dari badan atau
perorangan yang memegang perizinan usaha pertambangan.

Baca juga: Mengenal Perhitungan PPh Pasal 22

Lalu untuk wajib pajaknya adalah:

 Badan usaha di bidang industri semen, kertas, baja, otomotif, dan


farmasi, dengan penjualan produknya kepada distributor dalam negeri;
 Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Agen Pemegang Merek
(APM), dan importir umum kendaraan bermotor.
 Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, atau pelumas.
 Badan usaha di bidang industri baja.
 Pedagang pengumpul yang merupakan badan atau perorangan yang
menyatukan hasil barang kehutanan, pertanian, perkebunan,
peternakan, dan perikanan.
 Penjual barang tergolong mewah yang termasuk dalam PPh Pasal 22.

Baca juga: 3 Syarat Membuat NPWP Karyawan Online


Tarif PPh Pasal 22
Anda harus tahu tarif dari PPh pasal 22 ini. Tarifnya adalah:
1. Impor 

 Yang memakai Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;


 Non-API = 7,5% x nilai impor; 
 Yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.

2. Pembelian barang DJPB, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x


harga pembelian (tak termasuk PPN & tidak final).
3. Penjualan produk yang ditentukan atas dasar Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, yakni:

 Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)


 Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
 Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
 Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)

4. Penjualan produk atau pemberian produk oleh produsen atau importir


bahan bakar minyak, pelumas, serta gas. Pemungutan PPh Pasal 22 kepada
agen/penyalur, sifatnya final. Di luar agen/penyalur, sifatnya tidak final.
5. Pembelian bahan yang diperlukan industri atau ekspor dari pedagang,
maka ditentukan 0,25 % x harga beli (tak termasuk PPN).
6. Impor kedelai, tepung terigu serta gandum oleh importir yang memakai
API = 0,5% x nilai impor.
7. Penjualan (5% harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM).

 Pesawat udara seharga lebih dari Rp20.000.000.000


 Kapal pesiar serta sejenisnya seharga lebih dari Rp10.000.000.000
 Rumah dan tanahnya seharga atau pengalihan harganya lebih dari
Rp10.000.000.000 dengan luas bangunan lebih dari 500 m2.
 Apartemen, kondominium, serta sejenisnya seharga atau pengalihan
harganya lebih dari Rp10.000.000.000 dan/atau luas bangunan lebih
dari 400 m2.
 Kendaraan roda empat dengan pengangkutan kurang dari sepuluh
orang berupa seharga lebih dari Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
Selain itu, juga kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. 

8. Bagi yang tidak mempunyai NPWP akan dilakukan pemotongan 100%


lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22 yang tercantum.
Baca juga: Informasi Pengecualian Pemungutan PPh Pasal 22

Contoh Perhitungan
Bendahara membeli 4 (empat) printer dari PT. ABCD dengan harga beli
Rp22.000.000 (harga termasuk PPN).
Besarnya pemungutan pajak atas pembelian printer tersebut adalah:

 Harga pembelian = Rp22.000.000


 Dasar Pengenaan Pajak = Rp20.000.000 (100/110 X Rp22.000.000)
 PPh Pasal 22 (1,5% x Rp20.000.000) = Rp300.000

Itulah dia cara menghitung PPh pasal 22 yang bisa Anda pelajari.
Manfaatkan e-Filing Pajak Online dari AyoPajak yang merupakan PJAP
resmi dan diawasi langsung oleh DJP. Lapor pajak tidak perlu repot lagi. Yuk
kunjungi website kami sekarang juga.

Anda mungkin juga menyukai