Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH MEMAHAMI PANDANGAN AGAMA TERHADAP KESEHATAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama

Dosen Pengampu : Bapak Dr. H. Komaruddin Chalil, M,Ag

Oleh :
ALIYAH NURHIKMAH P17325121006
ANGGIT NASTITI PUTRI P17325121008
DIANATURROHMAH P17325121018
NAILA FATIHATUL HUSNA P17325121034
SITI HALIMAH FAZRIAH P17325121046
TASYA NADILA INTISYAR P17325121048

PROGRAM STUDI D-
III KEPERAWATAN GIGI

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG

2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Memahami pandanagan agama
terhadap Kesehatan” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Dr. H.
Komaruddin Chalil, M,Ag pada Mata Kuliah Agama. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Komaruddin Chalil, M,Ag

selaku Dosen Mata Kuliah Agama yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, September 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum khitan bagi lakinlaki dan perempuan Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-
Mughni menjelaskan bahwa khitan bagi laki-laki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi
perempuan. Pendapat ini dilandaskan kepada firman Allah SWT dalam Alquran surah
An-Nisa [4] ayat 125, yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW agar mengikuti
ajaran Nabi Ibrahim AS.
Hukum Perawatan atau Mengubah Fisik dan Wajah Menurut Syariat Islam (Hukum
Mengubah-ubah Bentuk Tubuh) Tampil cantik di depan suami atau istri merupakan
salah satu anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam untuk para perempuan.
Beliau bersabda:
“Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan jika engkau melihatnya, taat jika
engkau menyuruhnya, serta menjaga dirinya dan hartamu disaat engkau pergi.” (HR.
Ath Thabrani)
Fenomena yang terjadi di masyarakat, mayoritas perempuan sangat mementingkan
tampilan fisik terutama wajah. Kulit yang sehat, bersih, dan tetap awet muda menjadi
dambaan perempuan-perempuan masa kini. Berbagai produk perawatan penunda
penuaan pun semakin banyak mengikuti perkembangan zaman.
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.” (QS. At Tiin: 4)
Mengubah ciptaan Allah berarti mengingkari nikmat Allah dan mengikuti bujukan
setan sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala terangkan dalam firman-Nya bahwa
salah satu misi setan adalah menyuruh manusia untuk merubah ciptaan Nya:
“Dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
mengubahnya” (QS. An Nisaa’: 119)
Apabila jenis perawatan itu sifatnya dapat mengubah ciptaan Allah maka hukumnya
haram sebab ciptaan Allah pada dasarnya adalah baik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan islam mengenai khitanan untuk Pria dan Wanita ?
2. Bagaimana pandangan islam mengenai Oprasi Caesar ?
3. Bagaimana pandangan islam mengenai Oprasi Plastik ?
4. Bagaimana pandangan islam mengenai Oprasi Kelamin ?
5. Bagaimana pandangan islam mengenai Oprasi Selaput Darah ?
6. Bagaimana pandangan islam mengenai Zina dan status anak ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai khitanan untuk Pria dan Wanita
2. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai Oprasi Caesar
3. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai Oprasi Plastik
4. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai Oprasi Kelamin
5. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai Oprasi Selaput Darah
6. Untuk mengetahui pandangan islam mengenai Zina dan status anak
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan islam mengenai Khitanan untuk Pria dan Wanita
Hukum berkhitan masih dalam perselisihan ulama, namun yang paling dekat
dengan kebenaran adalah bahwa khitan hukumnya wajib bagi laki-laki dan sunah bagi
perempuan, dan letak perbedaan antara keduanya adalah khitan bagi laki-laki
memiliki kemaslahatan yang berhubungan dengan syarat diterimanya shalat yaitu
thaharah, karena jika qulfah (ujung kemaluan) itu dibiarkan, maka kencing yang
keluar dari qulfah tersebut sisa-sisanya akan tertinggal disitu dan terkumpullah air di
qulfah tersebut sehingga bisa menyebabkan rasa sakit waktu kencing. Atau dengan
adanya qulfah yang belum dipotong, maka bila ada sesuatu keluar darinya, qulfah itu
akan bernajis.
Sedangkan bagi perempuan, berkhitan hanya merupakan tujuan yang di
dalamnya terdapat faedah, yaitu untuk mengurangi syahwat, ini adalah tuntunan
terkait dengan kesempurnaan, bukan untuk menghilangkan rasa sakit. Para ulama
telah mensyaratkan tentang kewajiban berkhitan selama dia itu tidak takut terhadap
dirinya, karena jika ia khawatir atas dirinya berupa kebinasaan atau sakit, maka
hukumnya tidak wajib, karena kewajiban itu tidak menjadi wajib dengan adanya
sesuatu yang tidak mampu dilaksanakan (udzur syar’i), atau karena takut akan ada
kerusakan atau ada bahaya.
Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang wajibnya berkhitan bagi laki-laki
sebagai berikut.
1. Hal itu terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berkhitan bagi orang yang
masuk Islam. [Musnad Imam Ahmad 3/415] sedang asal sesuatu perintah itu
wajib.
2. Khitan berfungsi untuk membedakan antara kaum muslimin dan nashrani,
sehingga kaum muslimin mengetahui mereka untuk dibunuh di medan perang,
mereka berkata : khitan merupakan pembeda, jadi jika khitan itu merupakan
pemdeda. maka hukumnya wajib, karena adanya kewajiban perbedaan antara
kaum muslimin dan orang kafir, dan dalam hal ini haram menyerupai orang-
orang kafir, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ُو ِم ْنهُ ْم‬Pَ ‫َم ْن تَ َشبَّهَ بِقَوْ ٍم فَه‬
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu“.
3. Bahwa khitan adalah memotong sesuatu dari badan, sedangkan memotong
sesuatu dari badan itu hukumnya haram, padahal haram itu sendiri tidak boleh
dilaksanakan kecuali adanya sesuatu yang wajib, maka dengan demikian
khitan itu statusnya menjadi wajib.
4. Bahwa khitan itu harus dilaksanakan oleh walinya anak yatim dan harus
melibatkan anak yatim dan hartanya, karena orang yang mengkhitan itu akan
diberi upah seadainya khitan ini tidak wajib maka tidak boleh mempergunakan
harta dan badan, ini adalah alasan ma’tsur dan logis yang menunjukkan atas
wajibnya berkhitan bagi laki-laki.

Sedangkan bagi perempuan tentang wajibnya khitan masih dalam perbedaan


pendapat, namun pendapat yang sudah jelas adalah bahwa khitan wajib bagi laki-laki
bukan perempuan, di sana ada hadits dhaif yang berbunyi :

“khitan itu sunnah yang menjadi kewajiban bagi laki-laki dan kemuliaan bagi
perempuan” [Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 5/75] seandainya
hadits ini benar, maka hadits ini menjadi pemutus hukum tersebut. [Majmu Fatawa
Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam
Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, hal 258-269

Khitan perempuan menurut keterangan Syaikh Muuhammad Husain Makhluf,


bahwasannya dikalangan fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan status hukum
khitan bagi perempuan. Dalam hal apakah itu wajib atau sunat, madzhab Syafi’iyyah
yang disebutkan oleh Imam al-Nawawy dalam kitabnya yang berjudul al-Majmu’,
mengatakan wajib hukumnya bagi perempuan. Dan pendapat-pendapat yang terdapat
dalam madzhab yang shahih dan masyhur seperti ketetapan Jumhur Ulama.
Sedangkan madzhab Hanabilah yang disebutkan oleh Ibnu Qadamah dalam kitabnya
yang berjudul al-Majmu’, mengatakan sunat dan kebagusan bagi perempuan, maka
pendapat inilah yang diikuti oleh kebanyakan ahli ilmu pengetahuan.

Adapun khitan bagi perempuan yang ditetapkan oleh madzhab Hanafiyah,


Malikiyah dan Hanabilah yaitu sunat. Dengan berdasarkan sebuah hadits:
ّ :‫أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النّب ّي صلّى هللا عليه وسلّم‬
‫فإن ذلك أحظى للمرأة )رواه ابن‬ ّ
‫داودعن أ ّم عطية‬

Artinya: “bahwasannya seorang perempuan menghitankan di Madinah maka Nabi


SAW., berkata kepadanya; jangan engkau merusak (kelaminnya), karena hal itu
merupakan kehormatan bagi perempuan”. (HR. Abu Daud yang bersumber dari
Ummi Athiyyah).

Maksud perkataan nabi yang mengatakan; janganlah engkau merusak alat


kelamin perempuan itu, bukan melarang mengkhitannya, akan tetapi hanya perintah
untuk berhati-hatiketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut di atas, tidak
terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) nabi saw.,
terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu.

Lebih lanjut ditegaskan oleh Mahjudin bahawa khitan peremuan sunah,


berdasarkan hal tersebut di atas disertai dengan alasan bahwa tidak ada alat kelamin
perempuan yang perlu dibuang untuk kepentingan thaharah. Dan disunahkan bagi
perempuan agar khitan hanya sebagai ikatan terhadap ajaran nabi Ibrahim as., bila
disanggupinya.

Mahmud Syaltut mengatakan bahwa khitan bagi perempuan, tidak berkaitan


secara langsung dengan teks-teks agama karena tidak ada satu hadits shahih yang
membicarakan mengenai khitan dan bahwa alasan yang dikemukakan oleh para ulama
yang sepakat denga wajibnya khitan adalah sangat lemah. Fikih hanya
mengakomodasi lewat kaidah bahwa melukai anggota tubuh mahluk hidup (seperti
khitan) diperbolehkan apabila dengan itu ada kemaslahatan yang diperoleh darinya

Menurut Imam al-Syaukani, dalam hal khitan, ulama’ membagi tiga pendapat,
wajib bagi perempuan, sunah bagi perempuan.Wahbah Zuhaili mendefinisikan
perbedaan pendapat ulama madzhab tentang hukum khitan dalam ensiklopedi
fikihnya sebagaimana berikut: “Khitan perempuan adalah sunah kemulyaan (yang
kalau dilaksanakan) disunahkan untuk tidak berlebihan sehingga bibir vaginanya tidak
terpotong agar ia tetap mudah merasa kenikmatan jima’(hubungan seksual), menurut
Imam al-Syafi’i, khitan adalah wajib perempuan. Sedangkan Imam Ahmad berkata
bahwa khitan adalah suatu kemulyaan bagi perempuan yang biasanya dilakukan di
daerah-daerah yang panas.
Tidak ada perintah yang tegas dalam al-Qur’anuntuk melakukan sunat, bagi
perempuan. Demikian pula, tidak ada perintah agama agar organ vital perempuan,
khususnya klitoris dipotong, dilukai atau dihilangkan. Adapun argument teologis yang
sering digunakan oleh kelompok prosunat perempuan bukan berasal dari al-Qur’an,
melainkan hanya dilihat dari kitab fikih, dan itupun hanya dilihat dari hadits lemah
(dha’if), antara lain hadit yang diriwayatkan oleh Ahmad Ibnu Hanbal:

‫ح ّدثنا سري ٌح حدثنا عبّاد يعني ابن العوّام عن الح ّجاج عن أبي المليح بن أُسامة عن أبيه أن النب ّي صلّي‬
ِ ‫هللا عليه وسلّم قال‬
‫الختِانُ ُسنَّةٌ لِل ِّر َجا ِل َم ْك ُر َمةٌ لِلنِّ َسا ِء )رواه أحمد‬

Artinya: “Sunat itu dianjurkan untuklaki-laki (sunah), dan hanya merupakan


kebolehan (suanat) bagi perempuan” (HR. Ahmad).

Selanjutnya, dalam hadits tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran,


melainkan sekedar kebolehan, tidak ada konsekuensi hukum sama-sekali.

Walaupun disebutkan dalam hadits, tersebut sebagai suatu kebolehan, namun dalam
banyak hadits lain ditegaskan, kalu seorang mau melakukannya, lakukanlah dengan
tidak melukai vagina. Misalnya Abu Daud meriwayatkan: “Potong sedikit saja pada
kulit atas prepuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam
(jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai
oleh suaminya”.

Bahkan Ahmad Ibnu Hanbal menyampaikan hadits lain yang mengatakan, praktek
sunat tidak dilaksanakan pada masa Rasulullah saw.

‫ح ّدثنا محمد ابن سلمة الحرّاب ّي عن ابن إسحاق يعني مح ّمدا عن عبيد هللا أو عبيد هللا بن طلحة بن كريز‬
ِ ‫ْب فقال ِإنَّا ُكنَّا الَ نَأْتِي‬
‫الختَانَ َعلَي َع ْه ِد‬ ْ ‫العاص إِلي ِختا ٍن فَأبَى‬
َ ‫أن ي ُِجي‬ ِ ‫عن الحسن قال ُع ِع َي عثمابن أبي‬
)‫رسول هللا عليه وسلّم َوالَ نُ ْدعَى لَهُ (رواه أحمد‬.

Memperhatiakan teks hadits Ummu Athiyyah kalaupun ia shahih, mayoritas ulama’


madzhab tidak memahami baik tersurat maupun tersirat. Adalah perintah untuk
menghitankan anak perempuan. Yang ada hanya tuntunan dan peringatan nabi saw.,
kapada juru khitan perempuan agar menghitan dengan cara yang baik dan tidak
merusak. Beliau mendiamkan praktek perempuan berjalan di Madinah, namun
disyaratkan dengan jaminan tidak berlebihan, tidak merusak, dan membiarkan sesuatu
yang menjadi bagian kenikmatan seksual perempuan ketika berhubungan intim
dengan suaminya. Apabila saat ini dijadikan dasar maka khitan bisa menjadi tidak
diperkenankan apabila berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan
kenikmatan seksual bagi perempuan.

Hadits lain yang mungkin bisa menjadi dasar bagi mewajibkan khitan perempuan
adalah yang diriwayatkan oleh al-Zuhri.

‫ (وواه حرب بن‬.‫ من أسلم فليختتين ولوكان كبيرا‬:‫ قال رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم‬:‫عن الزهري قال‬
)‫إسماعيل‬.

Artinya: “Dari al-Zahri, dia berkata: Rasulullah saw., berkata: “Barang siapa yang
masuk Islam maka berkhitanlah, walau sudah besar” . (HR. Harb bin Sufyan).

Imam al-Syaukani memberikan catatan kepada seluruh teks hadis yang berkaitan
dengan kewajiban khitan baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.

Menurut dasar hukumnya, dalam hal ini hadits nabi, pendapat yang mengatakan
bahwa khitan perempuan iti wajib adalah pendapat yang sangat lemah, karena tidak
didukung oleh hadits lain, karena redaksi hadits pun tidak mendukung pendapat
tersebut. Oleh karena itu, madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali tidak mewajibkan
khitan bagi anak perempuan. Dasar hukum mereka hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah ra.:

‫ الختان سنة للرجال مكرمة‬:‫ قال رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
)‫ (رواه أحمد وبيهقي‬.‫للنسآء‬

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., rasulullah saw., bersabda: “Khitan adalah sunnah bagi
laki-laki dan sesuatu yang mulia bagi anak perempuan”. (HR. Ahmad dan al-
Baihaqy).

Hadits ini, seperti dikatakan oleh al-Syaiqany, dalam kitab “Nail al-Authar”,
diriwayatkan oleh Ahmab bin Hanbal dalam Musnad, dan juga oleh al-Baihaqy,
dalam Sunan dari Hajjaj bin Artha’ah seorang Mudallas (orang yang sering
mengelirukan hadits-hadits sebuah periwayatan yang mengisyaratkan ketidak
shahihan hadits yang diriwayakkannya). Al-Baihaqy sendiri mengatakan bahwa hadits
ini dha’if (lemah) dan munqathi’ (terputus).

Dari beberapa pernyataan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan dasar
hukum yang berkaitan dengan khitan perempuan adalah lemah dan tidak sah seperti
yang dikatakan oleh Ibnu al-Mundzir, al-Syaukani, Mahmud Syaltut, Sayyid Sabiq,
Wahbah al-Zuhaily, Muhammad al-Banna dan Anwar Ahmad. Jika demikian, maka
label hukum khitan perempuan yang ada dalam fikih adalah murni. Oleh karena itu,
mayoritas ulama madzhab fikih terkait dengan masalah khitan perempuan, lebih
memilih kepada predikat “kemuliaan”, tidak wajib, dan bahkan tidak sampai kepada
sunnah.Predikat “kemuliaan” dalam hal khitan perempuan secara sederhana difahami
sebagai dukungan para ulama kepada khitan perempuan.

B. pandangan islam mengenai Oprasi Caesar


Dahulu, ibu-ibu kita kalau melahirkan anak, mereka melahirkan secara
normal, tanpa operasi. Namun, akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang melahirkan
anak mereka melalui proses operasi dengan cara membedah perut mereka. Mereka
melakukan hal itu karena alasan medis, seperti bayi kembar, atau panggul yang
sempit, atau ukuran bayi yang terlalu besar. Kadang juga karena alasan sosial atau
sekedar sebagai pelengkap saja, seperti jalan lahir bayi ingin tetap utuh sehingga
organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin
menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki dan lain-lainnya.

a. Pengertian Operasi Cesar


Operasi Cesar yang dalam bahasa Arabnya adalah Jirahah al-Wiladah adalah operasi
yang bertujuan mengeluarkan bayi dari perut seorang ibu, baik itu terjadi setelah
sempurnanya penciptaan bayi atau sebelum sempurnanya penciptaannya.[1] Di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut bahwa bedah cesar adalah pembedahan yang
dilakukan dengan pengirisan dinding perut dan peranakan untuk melahirkan
(mengeluarkan ) janin.
b. Hukum Operasi Cesar
Hukum operasi cesar dilihat dari sisi kepentingan wanita hamil atau janin dibagi
menjadi tiga :
1. Dalam Keadaan Darurat.
Yang dimaksud dalam keadaan darurat dalam operasi cesar adalah adanya
kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan.
1) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang
mengalami eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit
jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan,
infeksi dalam rahim, dan dinding rahimnya yang menipis akibat bedah caesar
atau operasi rahim sebelumnya.
2) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, adalah jika sang ibu sudah
meninggal dunia, tapi bayi yang berada di dalama perutnya masih hidup.
untuk membedah perut ibu dalam keadaan seperti ini, Para ulama berbeda
pendapat :
 Pendapat Pertama : Dibolehkan untuk dilakukan operasi dengan membedah
perut ibunya, agar bayi bisa dikeluarkan. Ini adalah pendapat Imam Abu
Hanifah, Muhammad bin Hasan, Madzhab Syafi’iyah, dan Dhahiriyah, serta
dipilih oleh beberapa ulama dari Malikiyah dan Hanabilah.
 Pendapat Kedua : Tidak dibolehkan dilakukan operasi dengan membedah
perut ibunya. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Mereka berdalil
dengan dalil-dali sebagai berikut :
a. Pertama : Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata,
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

‫ْر ِه َحيًّا‬
ِ ‫ت َك َكس‬ ْ ‫َك ْس ُر ع‬
ِ ِّ‫َظ ِم ْال َمي‬

"Memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya ketika masih hidup."


(HR Abu Daud dan Ibnu Majah)
b. Kedua : Bahwa janin yang masih hidup dalam perut ibunya yang sudah
mati tersebut, sering tidak tertolong. Seandainya perut ibunya sudah
dibedahpun dan janin tersebut bisa hidup, biasanya hidupnya tidak lama.
Oleh karenanya, tidak boleh melakukan kerusakan yang pasti hanya
sekedar mengejar sesuatu yang belum tentu bisa diselamatkan.
3) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan
adalah ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan,
bayi terlilit tali pusar sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi
belum matang (prematur), posisi bayi sungsang, dan lain-lain.

Dalam tiga keadaan di atas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan
operasi cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak . Dalil-dalilnya sebagai
berikut :
a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

َ َّ‫َو َم ْن أَحْ يَاهَا فَ َكأَنَّ َما أَحْ يَا الن‬


‫اس َج ِميعًا‬
“ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. " ( Qs Al Maidah : 32 )
Dalam ayat ini, Allah swt memuji setiap orang yang memelihara kehidupan manusia,
termasuk di dalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan
melakukan pembedahan pada perut.
Ibnu Hazm berkata : “ Jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia,
sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka
dilakukan pembedaan perutnya dengan memanjang untuk mengeluarkan bayi
tersebut, ini berdasarkan firman Allah ( Qs. 5 : 32 ), dan barang siapa membiarkannya
bayi tersebut di dalam sampai mati, maka orang tersebut dikatagorikan pembunuh.
b. Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :

‫الضرر يزال‬
“ Suatu bahaya itu harus dihilangkan “

c. Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :

‫ب أَ َخفِّ ِه َما‬ َ ‫َان رُو ِع َي أَ ْعظَ ُمهُ َما‬


ِ ‫ض َررًا بِارْ تِ َكا‬ ِ ‫ض َم ْف َس َدت‬
َ ‫إ َذا تَ َعا َر‬

“Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan
kerusakannya “
Keterangan dari kaidah di atas adalah bahwa operasi cesar dalam keadaan
darurat terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu atau anak,
sedangkan kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan
tersebut, maka yang paling ringan adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan ini
diambil untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu
dan anak.

Berkata Syekh Abdurrahman as- Sa’di [9]: “ Dan dibolehkan melukai badan,
seperti membedah perut, untuk mengobati penyakit. Jika manfaatnya lebih banyak
dari pada mafsadahnya, maka Allah tidak mengharamkannya. Hal semacam ini telah
disinggung oleh Allah di beberapa tempat dari kitab-Nya, diantaranya adalah firman-
Nya :

‫اس َوإِ ْث ُمهُ َما أَ ْكبَ ُر ِم ْن نَ ْف ِع ِه َما‬


ِ َّ‫ك َع ِن ْال َخ ْم ِر َو ْال َم ْي ِس ِر قُلْ فِي ِه َما إِ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَافِ ُع لِلن‬
َ َ‫يَسْأَلُون‬

“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya.“ ( Qs al-Baqarah : 219 )

2. Dalam Keadaan Hajiyat


Keadaan Hajiyat dalam operasi Cesar adalah adanya kekhawatiran terjadinya
bahaya atau sesuatu yang tidak baik, seperti cacat permanen dan lainnya, yang akan
menimpa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan, tetapi bahaya ini tidak
sampai pada terancamnya jiwa ibu atau anak. Seperti halnya jika lingkar rongga
panggul yang lebih kecil dari ukuran janin, sehingga akan kesulitan ketika melahirkan
secara alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak plasenta, ukuran bayi terlalu
besar atau terjadi bayi kembar.

Dalam keadaan hajiyat ini, operasi cesar boleh dilakukan, karena hajiyat kadang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sebagian ulama menyamakan
kedudukannya dengan darurat. Oleh karenanya, mereka meletakkan kaidah fiqhiyat
sebagai berikut :

َّ ‫َت أَوْ خَا‬


ً‫صة‬ َّ ‫ْال َحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال‬
ْ ‫ عَا َّمةً َكان‬، ‫ضرُو َر ِة‬

“ Kebutuhan itu disamakan dengan kedudukan darurat, baik yang bersifat umum,
maupun khusus.“
3. Dalam Keadaan Tahsiniyat
Keadaan Tahsiniyat di dalam operasi Cesar adalah adanya keinginan dari pasien
atau yang mewakilinya untuk bisa mencapai sesuatu yang merupakan pelengkap di
dalam kehidupannya, yang sebenarnya hal itu tidak mengancam jiwanya atau tidak
menyebabkan bahaya jika tidak dilakukan operasi Cesar. seperti halnya seorang istri
yang melakukan operasi cesar dengan harapan bisa membahagiakan suaminya, karena
jalan lahir bayi masih utuh, sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum
melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang
dikehendaki, atau tidak mau berlama-lama menjalani proses persalinan normal yang
kadang membutuhkan waktu berjam-jam, atau hanya sekedar ingin menghindari rasa
sakit ketika melahirkan secara normal.

Selain itu operasi cesar mempunyai beberapa dampak buruk bagi kesehatan ibu dan
anak. Yang terjadi pada anak misalnya gangguan pernafasan akibat cairan yang
memenuhi paru-paru janin selama berada dalam rahim, rendahnya sistem kekebalan
tubuh, rentan alergi, emosi cenderung rapuh, terpengaruh anestesi dan lain-lain. Yang
terjadi pada ibu, misalnya rasa sakit yang sangat pada bagian perut dan rahim akibat
robekan saat operasi, kemungkinan terjadi infeksi rahim dan pendarahan yang banyak,
bahkan efeknya masih dirasakan hingga bertahun-tahun lamanya. Wallahu A’lam
C. pandangan islam mengenai Oprasi Plastik
Dunia yang semakin maju membuat perkembangan ilmu pengetahuan dan
perkembangan teknologi berkembang pesat, sebagai contohnya pada dunia medis,
terdapat pengaruh positif dan negatif yang muncul. Operasi plastik adalah operasi
yang merubah bentuk tubuh dengan cara pembedahan. Dalam fiqih modern, operasi
plastik dapat disebut al-jirahah (operasi yang dilakukan untuk memperbaiki bagian
tubuh tertentu yang kehilangan fungsi atau memperindah anggota tubuh yang
tampak). Operasi plastik mempunyai dua tujuan, yaitu :
1. Operasi yang bertujuan untuk memperbaiki anggota tubuh yang rusak agar
bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Operasi ini biasanya dilakukan pada
individu yang mempunyai cacat fisik dari lahir ataupun disebabkan oleh hal-
hal tertentu
2. Operasi plastik yang bertujuan untuk mempercantik bagian tubuh tertentu,
misalnya mata yang sipit dioperasi agar terlihat lebih besar.
Untuk seseorang yang melakukan operasi plastik karena cacat sejak lahir atau karena
hal tertentu diperbolehkan untuk melakukan operasi untuk memperbaiki bagian
tubuhnya yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Hal ini diperbolehkan karena dikhawatirkan kecacatan pada seseorang ini
akan menyebabkan hambatan pada kehidupan sosialnya. Dasar hukum yang
memperbolehkan operasi plastik untuk tujuan memperbaiki kecacatan di kemukakan
oleh para ahli modern, seperti Wahbah az-Zuhaili dan Muhammad Fauzi Faydullah
(Keduanya ahli fiqqh kontemporer dari Universitas Damaskus).
Menurut mereka dasar hukumnya adalah hadits Rasulullah Saw; “Seorang Badui
bertanya kepada Rasulullah SAW. Mestikah kami berobat? Rasulullah menjawab.
Benar, wahai hamba Allah berobatlah kamu, karena Allah tidak mengadakan suatu
penyakit kecuali ada penyembuhannya” (H.R. at-Tarmidzi dari Usamah bin Syuraik).
Maksud dari hadits diatas adalah untuk mengobati penyakit yang diderita karena
semua penyakit pasti ada obatnya.
Pada Operasi plastik yang bertujuan untuk mempercantik diri (tidak ada cacat tubuh
sama sekali), maka dalam islam tidak diperbolehkan karena merusak ciptaan Allah
SWT. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 195 yang
artinya: “… dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…”
Firman Allah tersebut mempunyai maksud orang yang telah mempunyai fisik yang
sempurna tidak ada kerusakan dilarang untuk merubah ciptaan Allah SWT.
Ulama fiqih memberikan alasan tidak diperbolehkanya melakukan operasi plastik
karena berdasarkan firman Allah dalam surat An-nisa’ (4) ayat 119, yang artinya:
“Dan saya benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-
angan kosong pada mereka dan akan saya suruh mereka (merubah ciptaan Allah
SWT), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barang siapa yang menjadikan syaitan
menjadi pelindung selain Allah SWT, maka sesungguhnya ia menderita kerugian
yang nyata.”. Ayat ini menyatakan kecaman kepada syaitan yang selalu mengajak
manusia untuk selalu berbuat dosa, contohnya mengubah ciptaan Allah SWT semata-
mata hanya untuk mempercantik diri.
Muhammad Mutawwali Sya’rawi mengemukakan bahwa kecantikan adalah ketetapan
Allah SWT berdasarkan pencampuran berbagai unsur keindahan pada wajah.
Seharusnya manusia tidak terjerembab oleh standar cantik yang ditetapkan oleh
manusia lain
Syarat-syarat untuk melakukan operasi plastik menurut Abdul Aziz Dahlan ada dua.
1. Syarat pertama bagian tubuh yang digunakan untuk menutupi cacat harus dari
bagian tubuhnya sendiri atau dari orang yang baru wafat, karena jika
menggunakan bagian tubuh orang lain dikhawatirkan bagian tubuh orang yang
dipakai terdapat penyakit yang malah akan menjadi bumerang pada yang akan
melakukan operasi.
2. Syarat kedua adalah dokter yang akan melakukan operasi harus yakin bahwa hasil
operasinya akan positif, artinya tujuan operasinya tercapai. Jadi jika operasi
plastik yang dilakukan seseorang tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka
bertentangan dengan syara’, dan sesuatu yang mengandung syara pasti tidak baik.
D. pandangan islam mengenai Oprasi Kelamin
Dalam dunia kedokteran dikenal ada tiga bentuk jenis operasi kelamin, yang
pertama adalah operasi kelamin yang dilakukan pada orang yang cacat kelamin sejak
lahir. Yang kedua operasi kelamin pada orang yang mempunyai kelamin ganda sejak
lahir, tujuan operasi ini adalah untuk memperjelas status atau identitas jenis
kelaminnya sendiri. Yang ketiga adalah operasi kelamin yang dilakukan untuk
mengganti atau merubah jenis kelamin pada orang yang normal atau tidak memiliki
kecacatan sama sekali.
Pada fenomena saat ini banyak terjadi jenis operasi mengganti jenis kelamin
dari perempuan ke laki-laki atau dari laki-laki ke perempuan. Hal ini mendapat
tanggapan dari MUI, dengan segala pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa waria di
Indonesia, dijelaskan babwa seseorang yang melakukan operasi ganti kelamin namun
terlahir dalam keadaan sempurna atau normal tidak boleh dilakukan karena hukumnya
haram di dalam syariat islam. Ketetapan ini ditetapkan dalam keputusan fatwa Majelis
Ulama Indonesia pada musyawarah nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan
atau Penyempurnaan Kelamin.
Fatwa MUI diatas didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S al-Hujurat [49]: 13
‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٍر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ْل ٰنَ ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَٓائِ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ۟ا ۚ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد ٱهَّلل ِ أَ ْتقَ ٰى ُك ْم ۚ إِ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ بِي ٌر‬

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Intisari yang dapat diambil dari ayat di atas adalah kita harus bisa mensyukuri
pemberian tuhan yang telah memberikan jenis kelamin yang normal tanpa ada
kelainan atau tanpa harus diubah. Tindakan mengubah ciptaan Allah merupakan
perbuatan yang dosa dan melawan kodrat yang sudah diberikan.
E. pandangan islam mengenai Oprasi Selaput Darah
Selaput dara (hymen) adalah selaput tipis berupa lipatan membran yang ada di dalam
kemaluan wanita atau yang biasa disebut keperawanan. Jika selaput dara tersebut
belum pecah atau sobek berarti wanita tersebut masih perawan, belum pernah
melakukan hubungan seksual dengan seorang laki-laki. Meskipun tanda ini tidaklah
mutlak. Saat menginjak pubertas, selaput dara menjadi elastis sehingga ada sebagian
wanita yang tidak pecah selaput daranya saat melakukan hubungan seksual dan baru
pecah saat melahirkan.

Sedang yang dimaksud operasi selaput dara (hymenoplasti) dalam pembahasan ini
adalah operasi untuk memperbaiki selaput dara yang rusak atau mengembalikannya
kepada tempat semula. Dan ini termasuk masalah kontemporer yang belum ditemui
oleh para ulama pada masa lalu. Untuk memudahkan pemahaman, maka pembahasaan
ini, kita bagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan penyebab hilangnya selaput
dara:
Faktor penyebab rusak atau pecahnya selaput dara tidak hanya hubungan seksual, tapi
bisa juga faktor lain misalnya; kecelakaan, jatuh, tabrakan, membawa beban terlalu
berat, atau karena terlalu banyak bergerak, mengalami pelecehan seksual ketika masih
kecil dan sebagainya. Dalam keadaan seperti ini, melakukan operasi untuk
mengembalikan selaput dara yang hilang atau rusak, menurut sebagian ulama hal
tersebut dibolehkan, atau disunnahkan bahkan bisa jadi hukumnya menjadi wajib.
(DR. Muh. Nu’aim Yasin, , Fikih Kedokteran, hal 207), alasan-alasannya sebagai
berikut:
Gadis tersebut tidak berbuat maksiat, kejadian yang menimpanya merupakan sebuah
musibah. Ini sebagaimana orang yang patah tulang atau luka bakar atau terkelupas
kulitnya akibat sebuah kecelakaan. Jika orang-orang yang kena musibah ini
dibolehkan untuk melakukan operasi dengan tujuan memperbaiki organ tubuhnya
yang rusak, maka orang yang kehilangan atau tersobek selaput daranya pun
dibolehkan untuk melakukan operasi demi mengembalikan salah satu organ tubuh
yang hilang tadi.
Ini bisa menghindarkan si gadis ini dari tuduhan dan fitnah yang ditujukan kepadanya
akibat tidak mempunyai selaput dara lagi, sekaligus menutupi aib yang menimpa
dirinya. Hal ini sesuai dengan syariat Islam yang memerintahkan untuk menutupi aib
saudaranya, sebagaimana yang tersebut dalam hadits: “Barang siapa yang menutupi
aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

Namun, walaupun begitu, ada sebagian ulama yang tidak membolehkan. Alasannya
mungkin saja orang lain sudah tahu bahwa gadis tersebut sudah rusak atau hilang
selaput daranya dari pihak-pihak tertentu, sehingga tujuan untuk menutup aib menjadi
tidak terwujud. Selain itu, aurat si gadis tadi akan dilihat oleh para dokter padahal
operasi ini bukanlah hal yang darurat. Sedang seperti yang kita tahu, mayoritas dokter
ahli adalah laki-laki.

Untuk menghindari fitnah dan tuduhan bisa saja dengan menjelaskan kepada
masyarakat atau calon suami, bahwa selaput dara yang hilang tadi akibat kecelakaan,
bukan akibat perbuatan zina. (DR, Muh. Muhtar Syinqiti , “Ahkam Jirahiyah
Tibbiyah“, hal 432).

Dari dua pendapat di atas, maka siapa saja yang selaput daranya robek atau hilang
karena kecelakaan , atau karena hal-hal lain yang tidak termasuk maksiat, sebaiknya
tidak usah melakukan operasi selaput dara, karena hal tersebut bukanlah hal yang
darurat. Jika ingin menikah bisa dengan menjelaskan kepada calon suami keadaan
yang sebenarnya. Akan tetapi jika memang keadaannya sangat mendesak, dan
membutuhkan operasi selaput dara serta hal itu benar-benar akan membawa maslahat
yang besar, maka hal itu dibolehkan juga.
F. pandangan islam mengenai Zina dan status anak
Zina dalam Islam merupakan sebuah perbuatan terlarang dan mendapatkan
balasan yang pedih dari Allah SWT. Seringkali zina selalu dikaitkan dengan
hubungan intim yang dilakukan oleh dua perempuan dan laki-laki yang bukan
muhrim.
Namun nyatanya, zina tidak hanya terbatas pada perbuatan tersebut. Namun,
perbuatan zina juga dapat disebut pada perbuatan-perbuatan yang mampu
membangkitkan nafsu syahwat dari lawan jenis bukan muhrim.
Padahal, dalam Al-qur’an telah disebutkan secara jelas bahwa Allah SWT
melarang hamba-Nya untuk menjauhi nafsu syahwat terhadap lawan jenis yang bukan
muhrimnya. Selain mendatangkan dosa dan azab yang pedih dari Allah, melakukan
zina juga dapat menimbulkan berbagai bahaya hingga ancaman penyakit pada tubuh
apabila dilakukan secara terus-menerus.
a. Jenis Zina
1. Zina Al-Laman
Jenis zina yang pertama ini merupakan zina yang pada umumnya dilakukan
oleh panca indera. Hal ini jelas dilarang dalam Islam, seperti sabda Rasulullah
berikut ini: "Telah diterapkan bagi anak-anak Adam yang pasti terkena, kedua
mata zinanya adalah melihat, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lisan
zinanya adalah berkata-kata, tangan zinanya adalah menyentuh, kaki zinanya
adalah berjalan, hati zinanya adalah keinginan (hasrat) dan yang membenarkan
dan mendustakannya adalah kemaluan." (HR. Muslim)
1. Zina Muhsan
Zina muhsan merupakan jenis zina yang dilakukan oleh mereka dengan status
telah berkomitmen untuk mengikat janji di dalam suatu pernikahan. Atau kata
lain, zina ini dilakukan oleh mereka yang telah beristri atau bersuami. Hal ini
seringkali terjadi dan berujung pada perselingkuhan hingga perceraian.

2. Zina Ghairu Muhsan


Jenis zina ghairu muhsan merupakan zina yang dilakukan oleh seorang wanita
atau laki-laki dengan status pernikahan yang belum sah atau belum pernah
menikah. Hal ini seringkali dilakukan oleh sepasang kekasih atau wanita dan
laki-laki yang melakukan hubungan intim sebelum menikah.

Zina dalam Islam secara tegas merupakan perbuatan haram dan termasuk ke
dalam dosa besar. Hal tersebut seperti yang tertulis pada firman Allah sebagai berikut:
"Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan)
yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu,
niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya) (68) (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina
(69)." (QS Al-Furqan: 68-69).
Selain mendapatkan dosa besar dan laknat dari Allah SWT, zina dalam Islam
juga akan mendapatkan hukuman yang setimpal saat di dunia. Hukuman tersebut tak
lain berupa rajam atau dilempari batu hingga mati. Sedangkan pada pelaku yang
belum menikah, maka pelaku akan mendapatkan hukum cambuk sebanyak 100 kali
hingga diasingkan dalam kurun waktu tertentu."Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang
beriman." (QS. An-Nur: 2).

Anda mungkin juga menyukai