Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MAKALAH AGAMA

AURAT DALAM ISLAM

DOSEN PENGAMPU

DrDr. YOSI ARYANTI, S.Ag, MA

DISUSUN OLEH

NAMA : MUHAMMAD RIDHA FAHRIANSYAH

NIM : 2111401013

PRODI : D3 FISIOTERAPI

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS FORT DE KOCK

BUKITTINGGI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bukittinggi,16 februari 2022

MUHAMMAD RIDHA FAHRIANSYAH


MENUTUP AURAT DALAM ISLAM

A. Hukum menutup aurat bagi wanita

Aurat menurut bahasa adalah sesuatu yang menimbulkan rasa malu, sehingga seseorang
terdorong untuk menutupnya.

1.Secara terminologi dalam Hukum Islam, „aurat adalah bagian badan yang tidak boleh kelihatan
menurut syariat Islam.

2.batas minimal bagian tubuh manusia yang wajib ditutup berdasarkan perintah Allah.

3.Berdasarkan pengertian ini, dipahami bahwa „aurat tidaklah identik dengan bahagian tubuh
yang ditutup menurut adat suatu kelompok masyarakat.
Apabila pengertian tentang aurat dikenakan pada tubuh wanita, maka hal itu terkait
dengan situasi mana wanita itu berada. Secara umum, situasi itu dapat dibedakan dalam tiga hal,
yaitu; Ketika ia berhadapan dengan Tuhan dalam keadaan shalat, ketika ia berada ditengah-
tengah muhrimnya, dan ketika ia berada di tengah-tengah orang yang bukan muhrimnya.
Berdasarkan syari‟at, sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran dan Hadis, maupun Ijtihad
ulama, ternyata batas-batas aurat wanita tidak sama dalam tiga keadaan yang melingkupi ruang
gerak wanita. Persoalan aurat merupakan cakupan bahasan yang sangat urgen dalam konteks
wacana hukum Islam.

Batas-batas Aurat Wanita.


Jumhur Ulama sepakat bahwa aurat wanita yang wajib ditutup ketika bershalat adalah
segenap anggota tubuhnya, secuali muka dan telapak tangan nya. Muka dan dua telapak tangan
itu, menurut Sayyid Sabiq adalah bahagian tubuh yang dibolehkan tampak sesuai dengan kalimat
illaa mââ zâhâ minhââdalam QS An-Nur (24):31.Ibnu Taimiyah menjelaskan bahawa Abu
Hanifah membolehkan telapak kaki wanita tanpak dalam shalat, dan ini adalah pendapat yang
paling kuat, berdasarkan riwayat dari Aisyah yang memasukkan dua telapak kaki itu kedalam
kategori tubuh yang boleh tanpak sesuai dengan potongan ayat tersebut.

Batas „aurat wanita di luar shalat, harus dibedakan antara dua keadaan, yakni ketika
berhadapan dengan muhrimnya sendiri atau yang disamakan dengan itu, dan ketika berhadapan
dengan orang yang bukan muhrimnya. Ulama berbeda pendapat mengenai batas aurat wanita di
depan muhrimnya. Al-Syafi‟iyah mengatakan bahwa „aurat wanita ketika berhadapan dengan
muhrimnya adalah antara pusat dengan lutut. Selain batas tersebut, dapat dilihat oleh muhrimnya
dan oleh sesamanya wanita. Pendapat lain mengatakan bahwa segenap badan wanita adalah
„aurat di hadapan muhrimnya, kecuali kepala (termasuk muka dan rambut), leher, kedua tangan
sampai siku dan kedua kaki sampai lutut, karena semua anggota badan tersebut digunakan dalam
pekerjaan sehari-hari.
Adapun yang dimaksud dengan mâhrâm atau yang disamakan dengan itu sebagai yang
tercantum dalam surah AnNur ayat 31. adalah; suami, ayah, ayah suami, putra laki-laki, putra
suami, saudara, putra saudara laki-laki, putra saudara perempuan, wanita, budaknya, pelayan
laki-laki yang tak bersyahwat, atau anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Selain itu,
dalam surat An-Nisâ disebutkan pula saudara bapak dan saudara ibu.
Menurut Ibnu Tainiyah, yang disebut muhrim di antara orang-orang tersebut di atas, hanyalah
orang yang diharamkan mengawini wanita untuk selama-lamanya karena hubungan keluarga
atau persemendaan.

Kewajiban Menutup Aurat.

Pembicaraan masalah „aurat selalu saja mengacu kepada dua ayat Alquran yaitu AS. An-Nur
(32): 31 dan Al-Ahzab (34): 59. di samping ayat-ayat lain dan sejumlah hadits Rasulullah Saw.
Dua ayat yang dimaksud sebagai berikut Terjemahnya:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, ... "

Tujuan menutup „aurat adalah untuk menghindari fitnah. Karena itu, sebahagian ulama,
diantaranya Ibnu Khuwayziy Mandad, menegaskan berdasarkan ijtihadnya bahwa bagi wanita
yang sangat cantik, wajah dan telapak tangannya pun dapat menimbulkan fitnah, sehingga wajib
pula menutup wajah dan telapak tangannya itu. Berdasarkan pendapat inilah sehingga
kebanyakan wanita Arab memakai cadar penutup muka.

Kewajiban menutup aurat adalah juga dimaksudkan untuk membedakan antara wanita
terhormat dan wanita jalanan. Hal ini berdasarkan sebab turunnya ayat tersebut. Menurut Al
Qurthubiy, ayat 59 dari Surat Al-Ahzab turun sebagai teguran atas kebiasaan wanita-wanita Arab
yang keluar rumah tanpa mengenakkan jilbab. Karena tidak la memakai jilbab, kaum lakilaki
sering mengganggu mereka, dan diperlakukan seperti budak. Untuk mencegah hal itu, maka
turunlah ayat tersebut.Kewajiban menututp aurat dalam shalat merupakan kewajiban yang
sifatnya mutlak. Artinya, hal itu tidak tergantung pada keadaan apakah orang tersebut shalat
tanpa ada orang melihatnya, atau shalat dalam gelap gulita, sefatnya sama saja.

Rasa malu yang dijadikan sebagai tolak ukur aurat dan tidak ada hubungannya dengan
halal haram dianggap sebagai pemaksaan pendefinisian. Malu yang sifatnya relatif bisa
berdampak pada penafsiran yang tidak terbatas, sehingga ketika ada orang yang bertelanjang
bulat sekalipun dan tidak merasa malu, maka itu tidak bisa dikategorikan sebagai aurat, dan
parahnya lagi bisa berdampak pada budaya telanjang yang berkelanjutan. Begitu juga dengan
aurat yang menurut sebagian pendapat sangat erat kaitannya dengan kemaluan, dimana kemaluan
itu merupakan bagian terlarang yang bisa mendatangkan syahwat, fitnah, dan bisa berujung
dengan perzinahan, sehingga sangat logis mengkategorikannya sebagai sebuah keharaman
karena bisa menjerumuskan kepada perbuatan dosa dan kedurhakaan kepada Allah SWT.

B. Konsep aurat menurut Ulama

Konsep aurat dalam kajian ulama, baik pada laki-laki dan wanita masih aktual untuk
diperbincangkan seiring dengan perkembangan umat manusia itu sendiri. Sisi singgung antara
umat manusia dan perubahan situasi dan kondisi secara linier berdampak kepada pandangan
umat terhadap ajaran agamanya. Ada yang dapat berubah atau yang disebut dengan “al-
mutaghaiyyirât” dan ada yang tidak berubah yang disebut dengan “al-tsawâbit”.

Pengertian Aurat.
Menurut bahasa kata “a'urot” berasal dari kata “a'urun” berarti "naqsun"kekurangan, kosong
Disebut jelek atau„aib dikarena jelek dipandang mata dan „aib manakala terlihat. Demikian juga
kata ini dipergunakan untuk menunjukkan setiap tempat atau rumah kosong dan dikhawatirkan
akan dimasuki pencuri atau musuh disebut “aurat” sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “…dan sebahagian dari mereka minta izin kepada nabi (untuk kembali pulang)
seraya berkata: “Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga)”, padahal rumah-
rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak melarikan diri.” (QS. al-
Ahzâb [33]: 13)

Batasan Aurat Wanita Menurut Ulama


1. Mazhab Hanafi: bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan,
dan telapak kaki sampai mata kaki di dalam shalat maupun diluarnya. Namun, apabila disentuh
oleh yang bukan mahram atau dilihat dengan pandangan hawa nafsu maka ia berubah menjadi
aurat yang mesti ditutupi.10 Pendapat ini didukung oleh Imam ats-Tsauri dan alQâsim dari
kalangan Syi‟ah.11 Selain itu, menurut mazhab Hanafi bahwa remaja putri yang belum baligh
dilarang membuka wajahnya di hadapan lelaki bukan karena wajah itu aurat, akan tetapi
dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

2. Mazhab Maliki: bahwa aurat wanita di dalam dan luar shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak tangan serta wajib ditutup ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah. Kemudian
dalam mazhab ini aurat wanita diklasifikasikan kepada dua: aurat mughallazhah seluruh
badannya kecuali dada dan ahraf(rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki), sedangkan aurat
mukhaffafah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Apabila terbuka bagian
dari aurat mughallazhah dalam shalat padahal ia mampu untuk menutupnya batal shalatnya dan
wajib mengulangnya. Sedangkan apabila aurat mukhaffafah terbuka tidak batal shalatnya
sekalipun membukanya makruh dan haram melihatnya. Adapun aurat wanita di luar shalat di
hadapan pria yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

3. Mazhab Syafi’i: bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan telapak tangan. Apabila bagian dari aurat ini terbuka padahal ia mampu untuk menutupnya
maka batal shalatnya. Namun, apabila terbuka karena angin atau lupa maka segera ia
menutupnya dan tidak batal shalatnya. Adapun di luar shalat maka aurat wanita ketika di
hadapan pria bukan mahramnya seluruh tubuhnya. Sedangkan di hadapan wanita lain baik
muslimah atau kafir adalah seluruh tubuhnya kecuali bagian tertentu yang terbuka ketika
melaksanakan pekerjaan rumah tangga.Adapun aurat wanita ketika ia bersama dengan wanita
muslimah dan pria mahramnya adalah antara pusat dan lutut.
4. Mazhab Hanbali: terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad, salah satu riwayat menyatakan
bahwa aurat wanita balig seluruh tubuhnya termasuk kuku jari tangan dan wajah. Namun
pendapat yang kuat adalah bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak tangan. Adapun auratnya di luar shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan telapak tangannya. Sedangkan ketika ia berada sesama wanita baik mahramnya maupun
tidak maka batasan auratnya adalah antara pusat dan lutut. Dalam hal ini pendapat hanabilah
lebih cenderung kepada mazhab malikiyah.

Kriteria Busana Muslimah.

Busana yang dipakai oleh wanita haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pakaian hendaklah menutup seluruh aurat wanita.

2. Pakaian tidak tipis sehingga membayang warna kulit.

3. Longgar sehingga tidak membentuk anggota tubuh. Sebab, ketika kriteria tersebut tidak
dipenuhi maka fungsi pakaian itu tidak tercapai. Dengan kata lain sekalipun kelihatannya wanita
itu berpakaian, sebenarnya ia telanjang.
4. Pakaian tidak menyerupai lawan jenis, prinsipnya adalah pakaian/busana yang dipergunakan
bukan yang khusus dan biasa dipakai lawan jenisnya.

5. Warna atau bentuk pakaian tidak mencolok sehingga menarik perhatian.Sebab, warna dan
bentuk yang mencolok itu mengundang perhatian lawan jenis dan laki-laki fasik dan dapat
menyebabkan terjadinya fitnah.

Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab dan Syahrûr tentang Jilbab dan Perdebatannya.
M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang sangat „kontroversial‟ tentang jilbab.
Menurutnya, batasan aurat wanita adalah permasalahan khilafiyah dengan alasan bahwa: “ayat-
ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia
katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita
bersifat zhanniy yakni dugaan.” Lebih lanjut menurut Prof. Quraish; “Perbedaan para pakar
hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam
konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-
pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Oleh karena
itu, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu
masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.”

Demikian pula dengan pakaian perempuan (libâs al-mar‟ah) menurut Muhammad Syahrûr
cendikiawan asal Damaskus Professor di bidang Teknik Sipil. Syahrûr, berpendapat bahwa batas
minimum pakaian perempuan adalah satr al-juyûb (QS. an-Nûr: 31) atau menutup bagian dada
(payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup
sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini,
perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini
sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada
wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup
sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd al-
a‟lâ (batasan maksimum) yang telah ditetapkan Allah, karena melebihi batas maksimum yang
ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya
-dengan pendekatan ini- malah sudah “tidak islami”.

Penutup
Aurat wanita yang wajib ditutup adalah segenap bahagian tubuhnya, kecuali wajah dan dua
telapak tangannya. Sebahagian ulama menambahkan dua telapak kakinya. Batasan „aurat yang
demikian itu berlaku ketika wanita sedang melaksanakan shalat dan ketika berhadapan dengan
laki-laki selain suami dan muhrimnya. Adapun ketika wanita berhadapan dengan muhrimnya,
atau laki-laki lain yang tidak memiliki syahwat dan anak-anak yang belum tahu soal „aurat
wanita batasam „aurat menjadi longgar sehingga rambut, leher, kedua tangan sampai siku dan
kedua kali sampai lutut tidak termasuk dalam ketegori „aurat yang tiak wajib ditutup.
Busana muslimah tidak identik dengan busana wanita Arab, sebab Islam tidak menetukan
model busana muslimah tertentu. Karena itu, segala model busana cocok untuk Islam, sepanjang
memenuhi kriteria menutup „aurat. Bahwa dalam kondisi tertentu, sesuai dengan pekerjaannya
yang berat dan kasar, wanita Indonesia tidak dapat menutup semua „auratnya secara normal.
Dalam keadaan demikian, berdasarkan metode qiyas, mereka dapat memperoleh rukhshah,
sehingga batasan „auratnya ketika bekerja, dipersamakan dengan batas-batas „aurat ketika
berhadapan dengan muhrimnya. Alasannya karena diserta hajat yang memaksa wanita menerima
keadaan seperti itu.

Konsep aurat dalam kajian ulama, baik pada laki-laki dan wanita masih aktual untuk
diperbincangkan seiring dengan perkembangan umat manusia itu sendiri. Sisi singgung antara
umat manusia dan perubahan situasi dan kondisi secara linier berdampak kepada pandangan
umat terhadap ajaran agamanya. Ada yang dapat berubah atau yang disebut dengan “al-
mutaghaiyyirât” dan ada yang tidak berubah yang disebut dengan “al-tsawâbit”. Sebagian ulama
kontemporer berpendapat bahwa konsep aurat termasuk dalam al-mutaghaiyyirat, akan tetapi
pendapat ulama klasik sebaliknya. Namun, sebagai neraca dalam hal ini perlu untuk
memperhatikan kaedah fikih “al-hukmu yadûru ma‟a al-illati wujudan wa „adaman”. Tentunya
dengan memperhatikan pengamalan nabi Muhammad saw dan para sahabat. Sebab, era itu
merupakan contoh yang seharusnya menjadi tolak ukur dalam mengaplikasikan ajaran Islam
dewasa ini. Sehingga wajah Islam yang bersifat universal dan relevan dengan masa kontemporer
adpat dihadirkan.Wallahu A‟lam bi ash-Shawâb..

DAFTAR PUSTAKA
al- Husayni, Kifayatul al-Akhyar, Kairo : Isa al-Halaby,t.t., Juz I
Ibnu Qudamah, al- Mughniy. Riyad: Al-Riyad al-Hadisah, 1980. juz.I

http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/download/450/351

Abu Zahrah, Ushul Al-Fiqh. t.t Dar al- Fikr al- Araby, t.t

Anda mungkin juga menyukai