Anda di halaman 1dari 23

KONSEP BUSANA DALAM ISLAM

RESUME

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Seminar Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu: Dr. Syarip Hidayat, M.A., M.Pd.


H. Anggi Maulana Rizqi, Dipl., LC., M.A.

Oleh:

Kelas 3C PGSD

Evy Noviyanti 1503875

Alli Murdani 1504686

Meilusi Hasanah 1506454

Linda Puspita Dewi 1506453

Kania Fitri Febriyanti 1507456

Lia Yuliantisari 1507457

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS TASIKMALAYA

2018
KONSEP BUSANA DALAM ISLAM

A. AURAT DAN BATASAN AURAT


1. Pengertian Aurat

Menurut bahasa kata “‫ ”عورة‬berasal dari kata “‫ ”عور‬berarti ‫نقص‬

kekurangan, kosong ‫ ْخلل‬dan aib pada sesuatu ْ ‫الشئفيالعيب‬. Disebut


jelek atau „aib dikarena jelek dipandang mata dan „aib manakala
terlihat.1 Demikian juga kata ini dipergunakan untuk menunjukkan
setiap tempat atau rumah kosong dan dikhawatirkan akan dimasuki

pencuri atau musuh disebut “aurat” sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “…dan sebahagian dari mereka minta izin kepada nabi


(untuk kembali pulang) seraya berkata: “Sesungguhnya rumah-rumah
kami terbuka (tidak ada penjaga)”, padahal rumah-rumah itu sekali-
kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak melarikan diri.”
(QS. al-Ahzâb [33]: 13)
Adapun aurat dalam pengertian syara‟ menurut Prof. Dr. Wahbah
az- Zuhaily adalah:

Artinya: “Aurat menurut syara‟ adalah anggota tubuh yang wajib


menutupnya dan apa-apa yang diharamkan melihat kepadanya”. Jadi,
aurat adalah bagian tubuh wanita atau laki-laki yang wajib ditutupi dan
haram untuk di buka atau diperlihatkan kepada orang lain.
Dalam kitab Mujam Lughat al-Fuqahâ didefinisikan dengan:

Artinya: “Segala perkara yang menimbulkan rasa malu dan


diwajibkan agama menutupnya dari anggota tubuh pria maupun
wanita”.
Dapat disimpulkan bahwa aurat merupakan anggota tubuh pada
wanita dan pria yang wajib ditutupi menurut agama dengan pakaian
atau sejenisnya sesuai dengan batasan masing-masing (wanita dan
pria). Jika aurat itu dibuka dengan sengaja maka berdosalah pelakunya.
Masing-masing dari wanita dan pria memiliki batasan aurat yang telah
ditetapkan syari‟at Islam. Oleh karena itu, setiap muslim dan
muslimah wajib untuk mengetahui batasannya dan kemudian
mentaatinya dengan menjaga auratnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini dikhususkan untuk membahas batasan aurat wanita di
dalam dan luar shalat serta permasalahan berkenaan dengannya.

2. Hukum dan Batasan Aurat Wanita


Dalil Kewajiban Menutup Aurat atas Wanita Menurut al-Qur'an
dan Sunnah. Allah SWT menganugerahkan kepada para wanita
keindahan tubuh dan paras yang tidak dimiliki oleh pria. Setiap lekuk
tubuh wanita adalah kehormatannya yang wajib ditutupi dari
pandangan agar tidak menimbulkan birahi yang berujung pada
pelecehan seksual, kekacauan dan pelanggaran terhadap norma-norma
yang telah ditetapkan ajaran agama Islam. Oleh karena itu, menutup
aurat baik bagi wanita maupun pria hukumnya wajib baik di luar
maupun dalam shalat. Bahkan Ibnu al-Mundzir dan al-Imam an-
Nawawi menegaskan bahwa para ulama (sunni-syi‟ah) telah sepakat
menutup aurat adalah wajib. Namun sebelum dipaparkan pendapat
ulama berkenaan dengan batasan aurat wanita, maka terlebih dahulu
akan dikemukan dalil-dalil dari al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW yang
yang menegaskan kewajiban menutup aurat atas kaum wanita sebagai
berikut:
a. Firman Allah SWT:
Artinya: “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman;
hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan khumurnya ke dadanya…”
(QS. an-Nûr [24]:31)
Dalam riwayat Bukhari disebutkan dari Aisyah ra berkata:
“Sungguh Allah merahmati para wanita Muhajirin pertama, ketika
Allah menurunkan ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan
khumurnya ke dadanya…”. Mereka langsung merobek kainnya, lalu
mengerudungkannya ke kepala mereka”.
Demikian cepat mereka menjalankan perintah Allah SWT dan
rasul-Nya untuk segera menutup aurat mereka. Bagaimana dengan
istri, anak perempuan, keluarga dan karib-kerabat kita? Kandungan
ayat di atas menegaskan larangan untuk menampakkan perhiasan
kecuali yang biasa nampak. Selain itu, para ulama mengatakan bahwa
ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota
tubuh wanita tempat perhiasan tersebut. Sebab, jika perhiasannya saja
dilarang untuk diperlihatkan apalagi tempat perhiasan itu berada
tentunya termasuk dalam larangan tersebut.
b. Hadis nabi Muhammad SAW: ْْ
Artinya: “Dari riwayat Aisyah ra bahwasanya Asma binti Abu Bakr masuk
menjumpai Rasulullah saw dengan pakaian yang tipis, lalu Rasulullah
saw berpaling darinya dan berkata: “Hai Asma‟, sesungguhnya jika
seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil-baligh) maka tidak layak
terlihat kecuali ini dan ini” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak
tangan”. (HR. Abu Daud)
Artinya: dari Abdullah bin Mas‟ud ra dari Nabi saw bersabda: “wanita
itu adalah aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya), maka setan akan
mengikutinya” (HR. at-Tirmidzi)
Terdapat juga hadis Nabi saw yang menegaskan ancaman terhadap
wanita yang mempertontonkan auratnya. Berikut sabda beliau: “Ada dua
golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki
yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk
memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun
telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak
punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium
baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak
sekian dan sekian.” (HR. Muslim).

c. Batasan Aurat Wanita Menurut Ulama.


Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batasan aurat
wanita yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Mazhab Hanafi: bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki sampai mata
kaki di dalam shalat maupun diluarnya. Namun, apabila
disentuh oleh yang bukan mahram atau dilihat dengan
pandangan hawa nafsu maka ia berubah menjadi aurat yang
mesti ditutupi. Pendapat ini didukung oleh Imam ats-Tsauri dan
al- Qâsim dari kalangan Syi‟ah. Selain itu, menurut mazhab
Hanafi bahwa remaja putri yang belum baligh dilarang
membuka wajahnya di hadapan lelaki bukan karena wajah itu
aurat, akan tetapi dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Mazhab

ini juga berpendapat bahwa lantunan suara wanita


bukan berbicara seperti biasa juga termasuk dalam kategori
aurat.
2) Mazhab Maliki: bahwa aurat wanita di dalam dan luar shalat
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan serta
wajib ditutup ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah. Kemudian
dalam mazhab ini aurat wanita diklasifikasikan kepada dua:
aurat mughallazhah seluruh badannya kecuali dada dan athrâf
(rambut, kepala, leher, ujung tangan dan kaki), sedangkan aurat
mukhaffafah adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangan. Apabila terbuka bagian dari aurat mughallazhah dalam
shalat padahal ia mampu untuk menutupnya batal shalatnya dan
wajib mengulangnya. Sedangkan apabila aurat mukhaffafah
terbuka tidak batal shalatnya sekalipun membukanya makruh
dan haram melihatnya. Adapun aurat wanita di luar shalat di
hadapan pria yang bukan mahram adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangan. Dihadapan mahramnya
seluruh tubuh selain wajah dan athraf (rambut, kepala, leher,
ujung tangan dan kaki). Adapun ketika berada sesama wanita
baik mahramnya maupun tidak maka batasan auratnya adalah
antara pusat dan lutut.
3) Mazhab Syafi’i: bahwa aurat wanita di dalam shalat adalah
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Apabila
bagian dari aurat ini terbuka padahal ia mampu untuk
menutupnya maka batal shalatnya. Namun, apabila terbuka
karena angin atau lupa maka segera ia menutupnya dan tidak
batal shalatnya. Adapun di luar shalat maka aurat wanita ketika
di hadapan pria bukan mahramnya seluruh tubuhnya. Sedangkan
di hadapan wanita lain baik muslimah atau kafir adalah seluruh
tubuhnya kecuali bagian tertentu yang terbuka ketika
melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Adapun aurat wanita
ketika ia bersama dengan wanita muslimah dan pria mahramnya
adalah antara pusat dan lutut.
4) Mazhab Hanbali: terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad, salah
satu riwayat menyatakan bahwa aurat wanita balig seluruh
tubuhnya termasuk kuku jari tangan dan wajah. Namun
pendapat yang kuat adalah bahwa aurat wanita di dalam shalat
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Adapun auratnya di luar shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan telapak tangannya. Sedangkan ketika ia berada
sesama wanita baik mahramnya maupun tidak maka batasan
auratnya adalah antara pusat dan lutut. Dalam hal ini pendapat
hanabilah lebih cenderung kepada mazhab malikiyah. Dari
paparan diatas dapat disimpulkan bahwa batasan aurat wanita
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
Oleh karena itu, wajib bagi wanita muslimah merdeka dan balig
untuk menutup auratnya baik di dalam shalat maupun di
luarnya. Selain itu, hendaklah setiap wanita muslimah untuk
menjauhkan dirinya dari segala bentuk fitnah yang disebabkan
dari perbuatan dan suaranya. Dalam pada itu Syeikh Prof. Dr.
Wahbah az-Zuhaily menukilkan ijma’ ulama yang menyatakan
bahwa haram membuka sebagian atau semua aurat kecuali untuk
keperluan tertentu seperti mandi, buang hajat, bersuci, dan
pemeriksaan dokter (kehamilan, khitan atau penyakit).

d. Batasan Aurat Laki-Laki


Dalam dua kitab utamanya Al-Kitāb wa al- Qur’ān dan Nahw Ushūl
al-Jadīdah, yang membahas tentang persoalan pakaian dan aurat, Syah
rur lebih banyak memusatkan perhatian dan pembahasan pada topik
yang berkaitan dengan pakaian dan aurat perempuan. Praktis,
pembahasan terkait aurat laki-laki mendapat porsi yang relatif sedikit
dibanding pemb ahasannya tentang persoalan pakaian perempuan.
Penjelasan tentang pakaian laki-laki ditegaskan Allah dalam firman-
Nya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat.”Ayat inilah yang menurut
Syahrur menjadi titik pijak dari penentuan batas aurat seorang laki-laki.
Ayat tersebut memerintahkan seorang laki-laki untuk menjaga
kemaluan (hifdz al-farj) dalam dua kondisi. Pertama, menjaganya dari
perbuatan zina dan setiap hubungan sek sual yang tidak disyari’atkan.
Ketentuan ini diabadikan dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang
menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri- istri mereka atau budak
yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada
terceIa Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas” Menurut Syahrur, indikasi yang
menunjukkan bahwa penjagaan yang dimaksud adalah penjagaan dari
perbuatan zina tampak pada ungkapan “illā ‘ala azwājihim” (kecuali
pada istri-istri mereka).
Kedua, menjaga kemaluan dari pandangan (al- bashar). Ketentuan
menjaga kemaluan dari pan dangan ini terlihat jelas pada surat an-Nūr
(24): 30 di atas. Memandang (al-bashar) berbeda dengan proses melihat
(an-nadhr) ataupun (ar- ru’yah) yang terkadang berlangsung di otak
tanpa proses memandang terlebih dahulu. Dari sini, lalu Syahrur
berkesimpulan bahwa penjagaan kemaluan pada laki-laki merupakan
batas minimal dalam berpakaian. Dalam konteks kekinian dikenal
model pakaian yang disebut dengan model pakaian celana dalam untuk
renang yang hanya menutupi kemaluan dan pantat atau yang oleh para
ahli fi qih disebut sebagai aurat berat laki-laki.

e. Aurat Sesama Lelaki


Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah
mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah.
Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫فإن ما تحت السُّرة إلى ُركبته من العورة‬
“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.”
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat.
‫الركبةُ من العورة‬
ُّ
“Lutut termasuk ‘aurat.” Namun hadits ini adalah hadits
yang dho’if. Apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki,
maka itu boleh disentuh.
Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa
lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah
daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan
riwayat dari Abu Ayyub Al Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الركبتين من العورة‬
ّ ‫ وما أسفل الس ّّرة وفوق‬، ‫الركبتين من العورة‬
ّ ‫ما فوق‬
“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa
saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.” Namun
riwayat ini dho’if.
Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan
bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut.
Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat.

f. Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?


Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak
termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat
seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah (Ibnu
Hazm). Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini:
Anas bin Malik berkata,
ُ ‫ ثُم حسر اإلزار عن فخذه حتى إنّى أن‬، – ‫ى ّللا – صلى هللا عليه وسلم‬
‫ظ ُر إلى‬ ّ ‫س فخذ نب‬
ُّ ‫وإن ُركبتى لتم‬
‫بياض‬
‫ى ّللا – صلى هللا عليه وسلم‬
ّ ‫فخذ‬
‫ب‬‫ن‬
“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung
dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang putih.”
Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan
hadits di atas, beliau hafizhohullah berkata, “Hadits di atas
dimaksudkan bahwa sarung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak
menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam
Shahihain yang menyatakan “‫”اإلزار فانحسر‬, artinya sarung tersebut
tersingkap dengan sendirinya.”
Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah:

ُ‫ ُمضطجعًا فى بيتى كاشفًا عن فخذيه أو ساقيه فاستأذن أبُو بكر فأذن له‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫سو ُل ّللا‬
ُ ‫كان ر‬

(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan
membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama
kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke
dalam rumah beliau ….”
Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil
bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di
mana beliau berkata: “Tidak bisa kita mempertentangkan hadits
yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-
hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin
penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat
Muslim suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan
betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh “‫أو فخذيه عن كاشفًا‬
‫”ساقيه‬, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali
bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah
ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rojih (kuat) berdasarkan
alasan yang telah dikemukakan di atas.

g. Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya


Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat
selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman
dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda).
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita
melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya,
yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya),
ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak
boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab.
Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

‫وقُل لل ُمؤمنات يغضُضن من أبصارهن‬

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka


menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 31).
Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah
hadits dari Ummu Salamah, ia berkata:

‫ وعندهُ مي ُمونةُ فأقبل ابنُ أ ُ ّم مكتُوم وذلك بعد أن أُمرنا بالحجاب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫سول ّللا‬ُ ‫ُكنتُ عند ر‬
‫سول ّللا أليس أعمى ل يُبص ُرنا ول يعرفُنا فقال‬ ُ ‫ فقُلنا يا ر‬.» ُ‫ « احتجبا منه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ُّ ‫فقال النب‬
.» ‫ « أفعمياوان أنتُما ألستُما تُبصرانه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
ُّ ‫النب‬
“Aku berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi
Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian
berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia
buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya: “Apakah kalian
berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat
dia?“ [Riwayat ini adalah riwayat yang dho’if, lemah]

Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat
bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum!
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Fatimah
binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia
adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan
pakaianmu di sisinya.”
Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali,
boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini
didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata;

ُ ‫ وأنا أن‬، ‫رأيتُ النبى – صلى هللا عليه وسلم – يست ُ ُرنى بردائه‬
‫ حتى‬، ‫ظ ُر إلى الحبشة يلعبُون فى المسجد‬
، ‫أ ُكون أنا الذى أسأ ُم‬
‫س ّن الحريصة على اللهو‬
ّ ‫فاقد ُُروا قدر الجارية الحديثة ال‬
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku
dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang
Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku
sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian
bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.”
Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita
melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung
lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.

h. Aurat Lelaki di Hadapan Istri


Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak
ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal
untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena
menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena
itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat
atau tidak, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan
untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang
digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah

‫العيرين تج ُّرد يتجرد ول فليستتر أهلهُ أحدُ ُكم أتى إذا‬


“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya
hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.”

Nasehat bagi penggemar bola dan renang. Jika kita sudah


mengetahui manakah aurat lelaki, ada satu hal yang mesti kami
ingatkan tentang tersebarnya kekeliruan di tengah masyarakat
mengenai aurat lelaki ini. Yaitu seringkalinya kita melihat para pria
buka-bukaan aurat, baik paha yang disingkap seperti ketika main
bola atau sengaja menyingkap bagian aurat lainnya –mungkin saja
ketika renang dengan hanya memakai celana dalam. Ini sungguh
kekeliruan. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ل ين‬
‫ظ ُر الر ُج ُل إلى عورة الر ُجل ول المرأة ُ إلى عورة المرأة‬
“Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya.
Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita
lainnya.” (HR. Muslim no. 338).
Artinya, orang yang sengaja buka aurat telah bermaksiat. Aurat
sesama pria tentu saja tidak boleh dilihat, lantas bagaimanakah
dengan menonton pertandingan bola yang jelas sekarang ini sering
menampakkan paha karena celana yang digunakan begitu pendek.

B. BERHIAS DAN BERJILBAB


Berhias, satu kata ini biasanya amatlah identik dengan wanita.
Bagaimana tidak, wanita identik dengan kata cantik. Guna mendapatkan
predikat cantik inilah, seorang wanita pun berhias. Namun tahukah engkau
wahai muslimah, bahwa Islam telah mengajarkan pada kita bagaimana
cara berhias yang syar’i bagi seorang wanita? Sungguh Islam adalah
agama yang sempurna. Islam tidak sepenuhnya melarang seorang wanita
‘tuk berhias, justru ia mengajarkan cara berhias yang baik tanpa harus
merugikan, apalagi merendahkan martabat wanita itu sendiri.
Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, sesungguhnya
Allah ta‘ala berfirman
C. ‫يا بني آدم ُخذُوا زينت ُكم عند ُك ّل مسجد و ُكلُوا واشربُوا ول تُسرفُوا إنهُ ل يُحبُّ ال ُمسرفين‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki)


masjid. Makan dan minumlah, tapi janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan” (QS. Al-A‘raaf, 7: 31).
Dari ayat di atas, tampaklah bahwa kebolehan untuk berhias ada pada
laki-laki dan wanita. Namun ketahuilah saudariku, ada sisi perbedaan pada
hukum sesuatu yang digunakan untuk berhias dan keadaan berhias antara
kedua kaum tersebut. Dalam bahasan ini, kita hanya mendiskusikan
tentang kaidah berhias bagi wanita.
1. Larangan Tabarruj
Tabarruj secara bahasa diambil dari kata al-burj (bintang, sesuatu
yang terang, dan tampak). Di antara maknanya adalah berlebihan
dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti: kepala, wajah,
leher, dada, lengan, betis, dan anggota tubuh lainnya, atau
menampakkan perhiasan tambahan. Imam asy-Syaukani berkata, “At-
Tabarruj adalah dengan seorang wanita menampakkan sebagian dari
perhiasan dan kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk
ditutupinya, yang mana dapat memancing syahwat (hasrat) laki-laki”
(Fathul Qadiir karya asy- Syaukani).

2. Memperhatikan Masalah Aurat


Kaidah kedua yang hendaknya engkau perhatikan wahai saudariku,
seorang wanita yang berhias hendaknya ia paham mana anggota
tubuhnya yang termasuk aurat dan mana yang bukan. Aurat sendiri
adalah celah dan cela pada sesuatu, atau setiap hal yang butuh ditutup,
atau setiap apa yang dirasa memalukan apabila nampak, atau apa yang
ditutupi oleh manusia karena malu, atau ia juga berarti kemaluan itu
sendiri (al-Mu‘jamul Wasith).
Lalu, mana saja anggota tubuh wanita yang termasuk aurat?
Pada asalnya secara umum wanita itu adalah aurat,
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang artinya,
‫ فإذا خرجت استشرفها الشيطا ُن‬،ٌ‫المرأة ُ عورة‬
“Wanita itu aurat, apabila ia keluar (dari rumahnya) setan senantiasa
mengintainya” (HR Tirmidzi, dinilai shahih oleh al-Albani).

3. Memperhatikan Cara Berhias yang Dilarang


Maka jika sudah tak ada lagi aurat antara suami dan istri,
hendaknya seorang wanita (istri) berhias semenarik mungkin di
hadapan suaminya. Seorang istri hendaknya berhias untuk suaminya
dalam batasan-batasan yang disyari‘atkan. Karena setiap kali si istri
berhias untuk tampil indah di hadapan suaminya, jelas hal itu akan
lebih mengundang kecintaan suaminya kepadanya dan akan lebih
merekatkan hubungan antara keduanya.
Hal ini termasuk diantara tujuan syari‘at. Bukankah salah satu ciri
istri yang baik adalah yang menyenangkan ketika dipandang? Adapun
bentuk-bentuk berhiasnya bisa dengan bermacam-macam. Mulai dari
menjaga kebersihan badan, menyisir rambut, mengenakan wewangian,
mengenakan baju yang menarik, mencukur bulu kemaluan, dll.
Namun yang hendaknya dicamkan seorang istri adalah hendaknya
ia berhias dengan sesuatu yang hukumnya mubah (bukan dari bahan
yang haram) dan tidak memudharatkan. Tidak diperbolehkan pula
untuk berhias dengan cara yang dilarang oleh Islam, yaitu:
a. Menyambung rambut (al-washl) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Allah melaknat penyambung rambut dan orang
yang minta disambung rambutnya.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
b. Mentato tubuh (al-wasim), mencukur alis (an-namsh), dan
mengikir gigi (at-taflij) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang mentato dan wanita
yang minta ditato, wanita yang menyambung rambutnya (dengan
rambut palsu), yang mencukur alis dan yang minta dicukur, serta
wanita yang meregangkan (mengikir) giginya untuk kecantikan,
yang merubah ciptaan Allah.”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
c. Mengenakan wewangian bukan untuk suaminya (ketika keluar
rumah) Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap wanita yang menggunakan wewangian,
kemudian ia keluar dan melewati sekelompok manusia agar
mereka dapat mencium bau harumnya, maka ia adalah seorang
pezina, dan setiap mata itu adalah pezina.”(Riwayat Ahmad, an-
Nasa’i, dan al-Hakim dari jalan Abu Musa al-Asy‘ari radhiyallahu
‘anhu).
d. Memanjangkan kuku Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Yang termasuk fitrah manusia itu ada lima
(yaitu): khitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis,
memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
e. Berhias menyerupai kaum lelaki“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaknat laki-laki yang menyerupakan diri seperti wanita
dan melaknat wanita yang menyerupakan diri seperti laki-
laki.” (Riwayat Bukhari). Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi.

4. Sembilan Cara Berdandan Yang Diperbolehkan Bagi Muslimah


a. Berhias yang tidak menghabiskan banyak waktu
Terkadang wanita banyak menghabiskan waktu di depan
cermin untuk berhias sampai benar-benar terlihat sempurna dan
percaya diri. Polesannya yang sangat tebal, lipsticknya yang
menawan, alisnya cetar, jilbabnya modis, pakaian yang rumit dan
kekinian, perhiasan yang dikalungkan, di tangan, jari, jilbabnya,
parfumnya yang wangi semerbak dan masih banyak lainnya. Hal
ini dalam Islam hukumnya haram. Berhias atau berdandan yang
diperbolehkan cukup menyita waktu yang singkat, sekedarnya saja,
agar wajah tidak terlihat kusam, mengoleskan lipstick agar tidak
terlihat pucat, berpakaian syar’i, simpel, rapi dan bersih.
b. Tidak berlebihan dalam berdandan atau berhias
Apapun yang berlebihan itu dilarang dalam Islam, seperti
makan berlebihan, berbicara berlebihan, belanja berlebihan, cinta
kepada manusia secara berlebihan dan lain sebagainya. Karena
sesuatu yang berlebihan itu sama saja pemborosan, sedangkan sifat
boros itu seperti saudaranya syetan sebagaimana dalam firman
Allah:

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-


saudara syaitan“. (QS. Al-Isra’: 27)
c. Tidak merubah ciptaan Allah
Seperti mencukur atau mencabut bulu alis, mengikir gigi,
operasi agar wajah tirus, hidung mancung dan lain sebagainya.
Memakai celak diperbolehkan tetapi tidak harus merubah apa yang
sudah Allah berikan.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Allah melaknat
wanita yang mentato dan meminta ditato, yang mencabut bulu alis
dan meminta dicabut, yang merenggangkan gigi dan
memperindahnya, serta wanita-wanita yang mengubah ciptaan
Allah“.
d. Tidak memperlihatkan lekuk dan bentuk tubuh
Berhias dengan balutan taqwa, tidak memperlihatkan lekuk
tubuh, tidak berpakaian tipis, terawang, ketat dan seksi kecuali
dihadapan suami.
e. Tidak sengaja untuk menarik perhatian lawan jenis
Meskipun syar’i dan berdandan dengan semestinya, namun
sengaja untuk menggoda atau menarik perhatian lawan jenisnya,
maka hukumnya haram. Jadi, berhiaslah karena menjaga
kebersihan, menyejukkan, agar tidak kusam, keindahan dan bukan
untuk mencari-cari pujian banyak orang.
f. Tidak berdandan menyerupai pria
Wanita muslimah dilarang menggunakan dandanan yang
menyerupai kaum pria. Seperti mencukur rambut seperti pria,
berpakaian seperti pria, bergaya yang mengikuti gaya pria dan lain
sebagainya. Selama dandanannya tidak menyerupai pria, maka
diperbolehkan dengan syarat lainnya.
g. Untuk menyenangkan hati suami
Berhias sangat dianjurkan untuk menyenangkan hati suami,
namun tidak untuk diperlihatkan kepada orang lain. Boleh terlihat
oleh orang lain asalkan pantas, sopan dan tidak menimbulkan
fitnah.
h. Alat-alat yang digunakan untuk berhias bebas dari barang-barang
najis
Alat yang digunakan untuk berdandan sebaiknya
diperhatikan, jangan sampai alat yang digunakan dapat
menghalangi air untuk mensucikan tubuh atau kulit. Seperti
menggunakan pelembab atau parfum yang banyak kandungan
alkoholnya, atau barang yang digunakan terdapat komposisi
barang-barang najis.
Seperti hal lainnya yakni kutek, kebanyakan kutek yang
dijual dipasaran jika digunakan maka air wudhu tidak meresap
pada bagian kuku sehingga tidak sah sholat kita. Maka berhati-
hatilah dalam memilih peralatan kosmetik atau alat berhias lainnya,
pastikan keamanan dan kehalalannya jangan sampai merugikan
dan banyak mudharatnya.
i. Tidak mengikuti dandanan wanita kafir
Miris sekali ketika melihat kalangan remaja muslimah yang
masih mengidolakan wanita-wanita kafir yang kemudian mengikuti
khas atau gayanya baik dalam berbusana maupun berhias dan
berprilaku. Muslimah yang cerdas tentu tidak akan mengikuti atau
menyerupai mode wanita kafir. Rasulullah SAW bersabda yang
artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia
termasuk bagian dari mereka“. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

C. HUKUM NIQAB
Niqob adalah hijab yang menutupi kepala dan hampir seluruh
bagian wajah kecuali mata. Niqob cukup panjang untuk menutupi leher,
muka dan dada. Mengutip dari NU Online persoalan memakai cadar
(niqab) bagi perempuan sebenarnya adalah masalah yang masih
diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. Karena keterbatasan ruang
dan waktu kami tidak akan menjelaskan secara detail mengenai perbedaan
tersebut. Kami hanya akan menyuguhkan secara global sebagaimana yang
didokumentasikan dalam kitab Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
1. Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang
masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya
di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi
lebih untuk menghindarifitnah..

ُ ‫ )الحنفيةُ والمالكيةُ والشافعيةُ والحنابلةُ (فذهب ُجم ُه‬، ‫إلى أن الوجه ليس بعورة‬
‫ور الفُقهاء‬
‫ ولها أن تكشفهُ فال تنتقب‬، ‫وز لها أن تستُرهُ فتنتقب‬ ُ ‫وإذا لم ي ُكن عورة ً فإنهُ ي ُج‬. ُ‫قال الحنفية‬:
ّ ‫تُمن ُع المرأة ُ الشابةُ من كشف وجهها بين‬
‫ بل لخوف الفتنة‬، ٌ ‫ ل ِلنهُ عورة‬، ‫الرجال في زماننا‬
Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat.
Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh
membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang
wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah
di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi
lebih karena untuk mengindari fitnah,”

2. Menurut Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa makruh hukumnya


wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat
karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw).
Namun di satu sisi mereka berpendapat bahwa menutupi dua telapak
tangan dan wajah bagi wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan
fitnah.

ُ‫وقال المالكية‬: ‫يُكرهُ انتقابُ المرأة‬- ‫أي‬: ‫وهُو ما يصل للعُيُون‬، ‫تغطيةُ وجهها‬- ‫سوا ٌء كانت في‬
‫ ِلنهُ من الغُلُ ّو‬، ‫ كان النتقابُ فيها ِلجلها أو ل‬، ‫صالة أو في غيرها‬. ‫لرجال من باب‬
ّ ‫ويُكرهُ النّقابُ ل‬
ُ‫ وأما في الصالة فيُكره‬، ‫ فال يُكرهُ إذا كان في غير صالة‬، ‫أولى إل إذا كان ذلك من عادة قومه‬
. ‫وقالُوا‬: ُ ‫ أو يكث ُ ُر الفساد‬، ً‫يجبُ على الشابة مخشية الفتنة ست ٌر حتى الوجه والكفين إذا كانت جميلة‬.

Artinya, “Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita


memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam
shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak
karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar
dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan
yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar
shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan
bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan
muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah
wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,”
3. Madzhab Syafi’i biasanya terjadi silang pendapat. Pendapat pertama
menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat
kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla,
menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.

ٌ ‫ فرأ‬، ‫واختلف الشافعيةُ في تن ُّقب المرأة‬: ‫ وقيل‬، ٌ‫سنة‬


‫ وقيل‬، ‫ي يُوجبُ النّقاب عليها‬ ُ ‫هُو‬: ‫ف‬
ُ ‫هُو خال‬
‫اِلولى‬

Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai


cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum
mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila)
menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang
menyatakan khilaful awla,” Poin penting yang ingin kami katakan dalam
tulisan ini adalah bahwa persoalan hukum memakai cadar bagi wanita
ternyata merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab Syafi’i
sendiri yang dianut mayoritas orang NU terjadi perbedaan dalam
menyikapinya.
Meskipun harus diakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam
dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks
yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua
badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya
adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk
menutupi wajahnya.

ُ ‫أن لها ثال‬


‫ وعورة ٌ بالنّسبة لنظر الجانب إليها جمي ُع‬،‫ث عورات عورة ٌ في الصالة وهُو ما تقدم‬
‫بدنها حتى الوجه والكفين على ال ُمعتمد‬

“Bahwa perempuan memiliki tiga uarat. Pertama, aurat dalam shalat dan
hal ini telah dijelaskan. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang
lain kepadanya, yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak
tangannya menurut pendapat yang mu’tamad...”
kesimpulannya, jadi yang diperlukan adalah kearifan dalam melihat
perbedaan pandangan tentang cadar. Setiap perbedaan yang ada tersebut
tidak perlu dipertentangkan dan dibenturkan. Tetapi harus dibaca sesuai
konteksnya masing-masing.
Referensi:
Alhafiz. (2016). Hukum Memakai Cadar. [Online]. Tersedia di:
https://nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar diakses
pada tanggal 1 April 2018

Anonym. (2017). Ini Pengertian Hijab, Jilbab, Khimar, Kerudung, Niqab,


dan Burqa. [Online]. Tersedia di:
https://m.kumparan.com/trending-muslimid.html diakses pada
tanggal 1 April 2018

Ardiansyah. (2014). Konsep Aurat Menurut Ulama Klasik Dan


Kontemporer: Suatu Perbandingan Pengertian Dan Batasannya Di
Dalam Dan Luar Shalat. Jurnal Analytica Islamica, Vol. 3, No. 2,
2014: 258-273. Diakses pada tanggal 1 April 2018

Fauzi, Ahmad. (2006). Pakaian Wanita Muslimah dalam Perspektif


Hukum Islam. Jurnal Ekonomi Syari’ah, Vo.1, No.1 diakses pada
tanggal 1 April 2018

Hakim, Lukman. (2014). Rekontruksi Fiqh Hijab Berwawasan Nusantara


Kajian Penafsiran Ayat Hukum Dalam Qs. Al-Ahzab: 59. Jurnal
Ar-Risaiah, Vol. XIV, No. 2. Diakses pada tanggal 1 April 2018.

Khoiri. M. Alim. (2015). Rekonstruksi Konsep Aurat (Analisis Pemikiran


Syahrur). Jurnal Analytica Islamica Vol. 9, No. 2 Juli 2015.
Diakses pada tanggal 1 April 2018

Purnama, Yulian. (2011). Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4


Madzhab. [Online]. Tersedia di: https://muslim.or.id/6207-hukum-
memakai-cadar-dalam-pandangan-4-madzhab.html diakses pada
tanggal 1 April 2018
Suryadi bin Marzuki. (2014) Aurat Wanita Muslimah: Hukum Dan
Batasan Berdasarkan Pandangan Empat Mazhab. Universiti Utara
Malaysia diakses pada tanggal 1 April 2018.
Tuasikal, Muhammad Abduh. (2010). Manakah Aurat Lelaki? [Online].
Tersedia di: https://rumaysho.com/1485-makala-aurat-lelaki-2.html
diakses pada tanggal 1 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai