Anda di halaman 1dari 4

CADAR DALAM PROBLEMATIKA ISLAM MASA KINI

Oleh: Abdullah Hadani

Jilbab dalam khazanah wanita muslim di Indonesia adalah suatu perangkat


yang menjadi sebuah identitas sebagai seorang muslim. Hal tersebut sejalan dengan
yang disampaikan oleh budayawan kawakan Emha Ainun Nadjib dalam naskah
drama “Lautan Jilbab” yang dipentaskan pertama kali pada tahun 1986. Emha
mengatakan bahwa jilbab adalah pembeda dari yang haq dan bathil. Tidak hanya itu,
pada masa itu perempuan jawa juga sudah mengenakan jilbab dalam bentuk kerudung
khususnya istri-istri kiai. Selain menjadi identitas wanita muslim, jilbab juga
digunakan sebagai penutup aurat sesuai dengan anjuran dalam agama islam. Anjuran
ini dapat diterima dengan mudah oleh budaya Jawa. Penyebab sinambungnya ajaran
Islam dan budaya Jawa adalah sebab keduanya sama-sama memiliki tatakrama. Jauh
sebelum fenomena jilbab menjadi trending, sudah banyak wanita muslim di Indonesia
tetap menjaga tatakrama dan kerapihan dalam berpakaikan meskipun belum memakai
jilbab. Ini disebabkan karena estetika aurat yang lebih tinggi terletak di dalam batin
itu sendiri.

Sebagai identitas atau pembeda jilbab, tidak bisa kita alih fungsikan hanya
menjadi model atau tren berpakaian saja. Sebagai media penutup aurat, jilbab tentu
memiliki nilai lebih dibanding hanya sebagai asesoris pelengkap belaka. Namun,
akhir-akhir ini banyak terjadi salah pemahaman mengenai trend pemakaian jilbab.
Ada yang menggunakan jilbab hanya sebagai gaya berpakaian saja. Dan ada juga
yang melebih-lebihkan jilbab sehingga selain memakai tutup kepala, mereka juga
menambahinya dengan memakai niqab atau cadar.

Fungsi dari jilbab dan cadar juga sangat berbeda. Jilbab sebagai penutup
kepala sedang cadar biasa digunakan sebagai penutup wajah. Jika berbicara tentang
hukum penggunaannya. Sampai saat ini pun masih banyak perbedaan baik pendapat
antara ulama’ salaf dan ulama’ khalaf ataupun antar madzhab. Perbedaan ini dipicu
karena tidak adanya nash shārih baik dari al-Qur’an maupun hadits. Sebenarnya
perbedaan ini baik adanya dan memang seharusnya terjadi. Sebab pada dasarnya
manusia memang tidak bisa dituntut untuk seragam. Namun harus diseimbangkan
dengan adanya kesadaran dalam perbedaan.

Cadar dari waktu ke waktu pembahasannya serasa tak pernah lekang. Entah
karena ada muatan apa di belakangnya sehingga isu-isu cadar atau hijrah atau syar'I
selalu dimunculkan lagi dan lagi. Sebagaimana pembahasan mengenai ucapan
selamat natal dan peringatan tahun baru. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia,
problematika mengenai cadar pun meluas ke penjuru dunia. Salah satunya adalah
Mesir yang memiliki Al-Azhar sebagai tonggak utama penyelesaian hukum

Atas prakarsa dari Mahmud Zarzuq, ia mengumpulkan tulisan-tulisan atau


artikel dari beberapa pemuka Al-Azhar yang berkaitan mengenai jilbab. Kitab ini
bukan ditulis atas dasar menjustifikasi para pemakai cadar. Akan tetapi hanya
memaparkan sudut pandang bahwasanya cadar bukanlah sebuah kewajiban, dan maka
dari itu pemakaian cadar pun tidak bisa diwajibkan. Kitab ini berjudul “al-Niqab
Adah Wa Laisa Ibadah” yang dicetak pertama oleh pemerintahan wakaf Mesir.

Dalam kitab al-Niqab Adah Wa Laisa Ibadah yang merupakan kumpulan


artikel dari ulama Al-Azhar. Imam Thantawi menyebutkan bahwa para ulama’
sebenarnya berpendapat wajah wanita itu tidak termasuk aurat. Dengan ungkapan lain
beliau membantah bahwa cadar atau niqab sebagai penutup wajah adalah bagian dari
syari’at. Dan beliau berpendapat bahwasanya niqab hanyalah sebuah adat bukan
termasuk ibadah. Problematika mengenai perbedaan pendapat ini bermula dari salah
satu ayat al-Qur’an yakni:

‫ين ِزينََت ُه َّن إِاَّل َما ظَ َهَر ِمْن َها‬ ِ ِ ‫ضن ِمن أَب‬ ِ ِ ِ
َ ‫صا ِره َّن َوحَيْ َفظْ َن ُف ُر‬
َ ‫وج ُه َّن َواَل يُْبد‬ َ ْ ْ َْ ‫ض‬
ُ ‫َوقُ ْل لْل ُم ْؤمنَات َي ْغ‬

Dalam kitab I’anah at-Thālibien karya Abu Bakar Utsman Bin Syatha’
dijelaskan bahwa Ibnu Abbas r.a dan Aisyah r.ha berpendapat bahwa yang
dikecualikan dari ayat tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan. Sebab jika
kedua anggota tubuh tersebut wajib tertutup maka dalam ihram pun semestinya kedua
anggota tersebut wajib tertutupi. Dijelaskan juga dalam kitab tersebut bahwa aurat
wanita itu terbagi menjadi empat yakni, ketika berada dihadapan lelaki ajnabi maka
auratnya seluruh badan, jika berada di hadapan mahram atau dalam keadaan sepi
maka auratnya dari pusar sampai lutut, jika berada di hadapan wanita kafir maka apa
yang perlu ditutupi asal orang kafir tersebut tidak menghinanya atau “yang
sepantasnya sebagai muslimah”, dan terakhir keadaan yang paling shalihah yakni
sebaiknya yang dilakukan oleh perempuan adalah menutup seluruh anggota badan
kecuali wajah dan telapak tangan.

Tidak diperbolehkannya menutup wajah ini disebabkan adanya hajat yang


memang harus memperlihatkan wajah tersebut. Seperti dalam sujud yang mana kita
diperintah untuk menempelkan tujuh anggota termasuk wajah secara terbuka atau
secara langsung dan hukum meninggalkannya adalah makruh. Perbedaan pendapat
ulama’ tersebut didasarkan pada perbedaan penafsiran mengenai Surah an-Nur ayat
31, yang mana objek pengecualiannya itu hanya salah satu anggota tubuh atau malah
semua anggota dlohir yang bisa tertutupi.

Ada yang berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk seluruh
yang tampak dlahir-nya. Namun pendapat ini dibantah ulama’ lain menggunakan
tendensi firman Allah SWT Surah al-Ahzab ayat 59. Yakni yang dimaksudkan dari
ayat tersebut adalah ada anggota yang dalam adat kebiasaan atau kehidupan sehari-
hari tidak biasa tertutup yaitu wajah dan telapak tangan. Karena di dalam haji pun dua
anggota tersebut tetap terbuka dan tidak ada perintah menutupinya samasekali.

Dalam kitab Tafsir Jalalain juga diterangkan bahwa yang menjadi


pengecualian dalam tafsir Q.S An-Nur ayat 31 adalah wajah dan telapak tangan.
Namun lebih ada batasannya yakni diperbolehkan memperlihatkan anggota tersebut
jika tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Dan ada juga yang mengharamkan
memperlihatkannya dengan dalih banyak peluang menimbulkan praduga fitnah.
Imam Tantawi juga menjelaskan hal tersebut dengan mengambil pendapat Sheikh
Muhammad Makhluf dalam kitabnya (Fatawā Syar’iyyah: 1:119) menerangkan
bahwa wajah wanita itu tidak termasuk aurat. Demikian pendapat para ulama
hanafiyah dan beberapa imam. Maka diperbolehkan untuk mmemperlihatkan dan
lelaki ajnabi diperbolehkan melihatnya asal tanpa adanya syahwat. Yang seperti ini
maka hukumnya dibebankan pada lelaki.

Dalam problematika niqab sendiri sudah banyak perdebatan-perdebatan yang


pada akhirnya berada pada keputusan wajib atau tidaknya menggunakan cadar. Sudah
banyak ulama yang menanggapi perihal tersebut. Imam Tantawi sebagai seorang
mufti besar Universitas Al-Azhar juga mengemukakan pendapatnya bahwa wajah
perempuan bukanlah aurat dan niqab atau cadar hanyalah sebuah adat bukan
merupakan bagian dari ibadah.

Pembicaraan mengenai cadar atau jilbab kiranya sudah sering kita temui
akhir-akhir ini. Apalagi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini banyak pengguna
cadar yang memakai cadar dengan dalih hijrah menuju kebaikan. Sebagai generasi
millennial seharusnya kita tidak perlu kaget dalam menanggapi hal tersebut atau
dalam falsafah jawa dikatakan “aja gumunan”. Sebab perkembangan zaman tentu
akan mendatangkan banyak kebudayaan baru atau membawa kembali budaya yang
sudah lama dan sebagai manusia kita tidak bisa untuk menghindari fenomena
tersebut. Sebagai masyarakat yang baik tentunya kita tidak perlu kaget menghadapi
hal-hal baru semacam itu. Baik yang memakai cadar entah itu menganggapnya
sebagai kewajiban atau bahkan yang tidak memakai jilbab sekalipun. Saya rasa
semua memiliki nilai-nilai kebaikan tersendiri asal tidak saling merendahkan atau
melukai satu sama lain. Sebab fanatisme terhadap sesuatu mampu mendatangkan
bahaya terutama bagi kehidupan sosial yang kita jalani.

Anda mungkin juga menyukai