1
diri dari mata-mata yang nakal, atau laki-laki hidung belang, tetapi dapat
menyelamatkan sesuatu yang sangat berharga pada diri seseorang yakni iman.
Mungkin akhir-akhir ini kata jilbab semakin marak terdengar di telinga
kita seiring dengan semakin maraknya saudara-saudara kita para muslimah
memakainya dalam kehidupannya sehari-hari. Tapi apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan jilbab itu? Apa pula dasar hukumnya dan mengapa Islam
mewajibkan kaum hawa untuk mengenakannya? Apa hikmah di balik helaian
penutup aurat tersebut?
Dalam Kamus Bahasa Arab Al-Munjid, jilbab diartikan sebagai Alqamisu
wa Tsaubul wasi’ yang bermakna pakaian lebar atau pakaian luas. Di dalam
permasalahan ini penulis ingin mengangkat tentang permasalahan jilbab sebagai
pakaian keagungan dan kebesaran sekaligus pakaian kebanggaan wanita
muslimah yang diliputi dengan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sehingga yang menjadi permasalahan sekarang adalah manakah batas-
batas aurat itu? Untuk aurat laki-laki sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, Ahmad, dan Hakim adalah dari pusar sampai dengan lutut. Bagian
itulah yang bagi laki-laki harus ditutup, sedangkan bagian yang lainnya boleh
ditampakkan.
"Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah lewat di depan Ma'mar
kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar! Tutuplah kedua
pahamu karena paha itu aurat". (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim).
2
1.1. Pengertian Jilbab.
Jilbab menurut pengertian etimologi yang diambil dari bentuk jama’
yaitu Jalabibon ( )جالبيبyakni yang bermakna kain yang dipakai oleh seorang
wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jilbab berasal dari bahasa arab yang
artinya pakaian lapang yang dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan dua
telapak tangan. Dalam Kamus Al-Munjid karangan Al-Farahidi (100-170 H) Jilbab
berarti: Al-Qamisu Auwist Tsaubul Wasi’) وب الوسع444 ( القمس اوالثyang mana
maknanya: Pakaian yang lebar atau pakaian yang besar.
Al-Mahilly dan As-Sayuthiy mengungkapkan arti Jilbab adalah sebagai
kain yang dipakai seorang wanita untuk menutupi tubuhnya. Sedangkan menurut
Yulienni (www.waspada.co.id, diakses 20 November 2006) dalam tulisannya yang
berjudul “Perbedaan Jilbab dan Kerudung” mengatakan definisi Jilbab yang
diterangkan dalam Kamus Al-Muhith adalah: “Pakaian yang besar untuk wanita,
yang dapat menutupi pakaian rumahnya seperti milhafah (mantel).”
Jauhari dalam Ash Shihah mengatakan Jilbab adalah kain penutup tubuh
wanita dari atas sampai bawah. Khaththath Usman Thaha menjelaskan dalam
“Tafsir wa Bayan” menjelaskan Jilbab adalah apa-apa yang dapat menutupi
seperti sprai atas tubuh wanita hingga mendekati tanah. Sayyid Sabiq
menerangkan Jilbab adalah baju mantel. Dalam Kitab “Mujam Al Wasith Jilbab”
diartikan sebagai pakaian yang menutupi seluruh tubuh atau pakaian luar yang
dikenakan di atas pakaian rumah seperti mantel.
Sedangkan Kamus Arab-Indonesia yang disusun oleh Al Munawwir
mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang panjang sejenis jubah. Imam Al
Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa: Al Jalaabib yang terdapat dalam QS
An-Nur ayat 31 adalah jamak dari “Al-Jilbaab”, yaitu pakaian yang lebih besar
dari pada “Al-Khimar”. Jilbab menurut beliau adalah pakaian yang menutup
seluruh badan (http://www.riamilarasari.blogspot.com).
Jilbab berasal dari kata verbal yakni jalab yang berarti menutupkan
sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam masyarakat
Islam selanjutnya, jilbab diartikan sebagai pakaian yang menutupi tubuh
seseorang. Bukan hanya kulit tubuhnya tertutup, melainkan juga lekuk dan bentuk
3
tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks Al-Qur’an tentang jilbab agaknya
tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut.
Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda.
Ibnu Abbas dan Abidah Al-Samani merumuskan jilbab sebagai pakaian
perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya kecuali satu mata.
Dalam keterangan lain disebutkan sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu
Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan, makna mengulurkan jilbab
adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan
kedua matanya. Az-Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf merumuskan jilbab sebagai
pakaian yang lebih besar dari pada kerudung, tetapi lebih kecil daripada
selendang, yang jilbab tersebut dililitkan di kepala perempuan dan
membiarkannya terulur ke dadanya. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab
adalah selendang di atas kerudung.
Pendapat ini yang telah diutarakan oleh sebahagian ahli fiqh seperti: Ibnu
Mas’ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair al-Nakha’i, Atha Al-
Khurasani dan lain-lain. Yang diserupakan bagaikan “Izar” sekarang. Al-Jauhari
yang merupakan ahli bahasa terkemuka, berpendapat Izar adalah: Pakaian selimut
atau sarung yang digunakan untuk menutup badan. Sementara Az-Zuhaili di
dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa para ulama ahli tafsir seperti Ibnu Al-Jauzi,
at-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu As-Sa’ud, Al-Jashash dan ar-Razi
menafsirkan bahwa mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, tubuh dan kulit
dari pandangan orang lain yang bukan keluarga dekatnya.
Mengenai latar belakang turunnya ayat ini yang ada di dalam sejumlah
riwayat, satu di antaranya yang telah disampaikan oleh Ibnu Sa’ad dalam bukunya
Al-Thabaqat yang telah dinaqal dari Abu Malik: “Suatu malam, para isteri Nabi
Saw keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Saat itu, kaum munafiq
menggoda dan mengganggu (melecehkan) mereka. Mereka mengadukan
peristiwa itu kepada Nabi. Ketika Nabi menegur, kaum munafiq itu berkata,
“Kami kira mereka perempuan-perempuan budak.” Lalu turun surat Al-Ahzab
ayat 59 . Ibnu Jarir At-Thabari yang merupakan seorang guru para ahli-ahli tafsir,
4
menyimpulkan ayat ini sebagai larangan menyerupai cara berpakaian perempuan-
perempuan budak.
Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas, dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan
identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak.
Karena, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak
berharga, Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki.
(http://joelc.wordpress.com).
1.2. Pengertian Kerudung
Agama Islam adalah sebagai salah satu agama yang sangat menjunjung
tinggi hak-hak perorangan sekaligus agama terakhir yang telah Allah SWT
turunkan langsung melalui Jibrail kepada Rasulullah Saw dan merupakan ajaran
yang terlengkap dan paling sempurna bagi sekalian manusia. Sebagian besar dari
hak-hak tersebut adalah agama Islam mengatur bagaimana tata aturan berbusana
bagi kaum hawa yang telah digarisbawahi syara’. Islam mengatur bahwa busana
seorang wanita terdiri dari bagian atas yang dinamakan khimar (kerudung) dan
jilbab sebagai pakaian bagian bawah, Yulienni menyebutkan Khimar atau
kerudung adalah: Apa yang dapat menutupi kepala, leher dan sebagian dada tanpa
menutupi muka. Batas bawah yang ditutup oleh kerudung adalah bagian kerah
baju yang memperlihatkaan leher dan dada. (http://www.riamilarasari.
blogspot.com).
Sedangkan kerudung menurut Fathan mengartikan tudung atau kerudung
ialah penutup kepala dan leher sampai dada wanita. Pengertian dari Khumur pada
QS An-Nur ayat 31, sebagaiman yang telah termaktub di dalam kitab “Tafsir Ibnu
Katsir” merupakan jamak dari “khimar” yang mana artinya “Apa yang dipakai
untuk menutupi kepalanya.”
Sedangkan menurut Said bin Jubair ayat tersebut memerintahkan kepada
perempuan untuk menutup dada dan leher jangan sampai kelihatan sesuatu pun
darinya. Batas yang ditutup dengan kerudung dinamakan Juyuub yang merupakan
jamak dari Al-Juyuub atau Jayib yang merupakan bagian kerah baju yang
memperlihatkan leher dan dada.
5
Dari uraian di atas dapatlah kita berkesimpulan bahwa jilbab merupakan
pakaian yang lapang yang menutup aurat wanita (seluruh tubuh kecuali muka dan
telapak tangan sampai pergelangan tangan). Jadi pada pengertian bahasa Arab
maka kita harus menggunakan istilah khimar bukan jilbab. Dikarenakan jilbab
berbeda pengertian dengan kerudung. Kerudung merupakan kain yang digunakan
untuk menutupi kepala dan leher hingga dada, sedangkan jilbab meliputi
keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki kecuali muka
dan telapak tangan hingga pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang
mengenakan jilbab pasti berkerudung, tetapi orang yang berkerudung belum tentu
berjilbab.
6
interpretasi (penafsiran). Dia juga mengatakan bahwa ketetapan hukum tentang
batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.
Masih menurut Quraish, perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi
zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-
pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan
tegas. Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita
merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-
menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Tetapi Pandangan tersebut mendapat kritikan dari Dr. Eli Maliki.
Membahas, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas
menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak,
yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang
masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan
wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain
menyatakan, wajah boleh dibuka. Berjilbab bukanlah masalah khilafiah. Tetapi ia
telah mempunyai decree yang sudah jelas. Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar
tidak ada salah persepsi di antara pembaca. Batas aurat wanita memang begitu
fleksibel, yakni tergantung pada situasi dan kondisi. (http://www.mailarchive.
com/kasma).
Merujuk pada beberapa pendapat yang telah di paparkan bahwa hukum
menutup aurat adalah wajib, dan bukanlah masalah khilafiah. Jadi jelaslah bahwa
apabila wanita yang telah sampai umur (baliqh) tidak mengenakan Jilbab maka
hukumnya berdosa.
Sedangkan bagi perempuan yang sudah tua yang sudah manopause
(lanjut usia) tidak wajib lagi mengenakan jilbab, tetapi masih harus menutup
auratnya berdasarkan ayat QS An-Nur ayat 60:
7
"Dan perempuan-perempuan tua (yang telah berhenti dari haid) yang
tiada ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka meninggalkan
pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan
(kecantikan), dan berlaku sopan adalah baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
8
agama melalui “wear’s of moslemah” (pakaian-pakaian yang indah di mata
syara’).
4. Hikmah Berjilbab
TIMBULNYA semangat berjilbab akhir-akhir ini hampir sama nasibnya dengan
semangat pakai helm. Helm dipakai setelah tahu bahwa banyak orang yang kena
geger otak pada saat kecelakaan karena tidak memakainya. Begitu juga dengan
pemakaian Jilbab akhir-akhir ini, mereka memakai Jilbab dikarenakan takut
ketahuan boroknya, atau karena adanya sanksi dari pihak terkait (polisi syariat),
tetapi semua itu akan sia-sia belaka apabila tidak didasari dengan kesadaran dan
ketaqwaan.
Begitu pentingnya jilbab bagi seorang muslimah sehingga dalam sebuah
hadits Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
"Telah berkata Ummu 'Athiyah saya bertanya: 'Ya Rasulullah apakah
salah seorang dari kami dinyatakan bersalah bila ia tidak keluar (pergi ke
tanah lapang) karena ia tidak mempunyai jilbab?' Maka sabdanya:
'Hendaklah temannya meminjamkan jilbab untuknya'."
9
baksonya nggak jadi saya beli ya pak... ”ia... bu nggak apa” jawab
pedagang tersebut dengan perasaan yang sangat malu.
Cerita di atas jelaslah betapa besar hikmah yang dapat kita ambil, secara
tidak sadar jilbab telah menjaganya dari yang diharamkan agama, dan telah
menjadi perisai imannya.
Mungkin itu merupakan salah satu hikmah dari sekian banyak hikmah
yang didapati dari berjilbab. Mungkin belum cukup menyadarkan kita dengan
contoh tersebut, lihatlah untaian Firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 59:
يا ايــها النــبي قــل الزوجــك وبـناتــك ونســاء الــمـؤمـنيـن يـد نـيـن عـليهـن
مـن جـلبـيبـهـن ذلـك ادنـى هـن يعـرفــن فـال يؤذيـن وكـان هللا غـفـورا رحـيـــما
10
dengan jelas mengatakan dalam sebuah hadistnya yang bersumber dari Abu Bakar
ra (HR Bukhari):
رهمHوا امHوم ولHعن ابى بكرة رضى هللا عنه قال قال رسول هللا ص م لـن يفلح ق
امراءة
“Dari Abi Bakar r.a ia berkata: Bersabda Rasulullah SAW; Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaannya/perkaranya
kepada wanita.”
Dalam hadist yang lain, Nabi juga bersabda: “Dari Abi Huraira ra
Rasulullah Saw bersabda: Rusaklah laki-laki apabila taat terhadap wanita… (HR
Ahmad).
Betapa agama Islam sangat perhatian dalam menjaga dan melindungi
kaum wanita. Yakni dengan menyuruh menutup sekalian auratnya. Lihat saja
Anjuran dan perintah untuk menutup aurat kepada kaum wanita tidaklah cukup
sekali, firman Allah dalam QS An-Nur ayat 31 menegaskan:
ولــــــيضـــــربـــــــــــــــن بخمـــرهــــن
11
beruntunglah para muhajirat yang sewaktu turun ayat Allah tersebut mereka
langsung merobek kainnya untuk menutup aurat mereka.”
Betapa semangat ketaatan wanita muhajirat tersebut menjalankan syariat
Islam di masa kehidupan Rasulullah Saw, sehingga mata-mata keranjang tidak
lagi sempat mengumbar hawa nafsunya.
Islam sangatlah menganjurkan kepada seluruh pengikutnya agar
menutupi seluruh auratnya, supaya mereka dapat terpelihara dari gangguan liar,
karena jilbab merupakan sarana yang paling baik untuk melindungi aurat dan
dengan berjilbab wanita tersebut dapat menunjukkan identitas muslimah yang
sejati. Tetapi ini semua tidak lepas dengan niat yang tulus karena Allah dan
dengan mengedepankan ketaqwaan, kesadaran, dan keiklasan. Insya Allah!
4.1. Jilbab sebagai Identitas Muslimah Sejati
Allah memberikan kewajiban untuk berjilbab agar para wanita mukmin
mempunyai ciri khas dan identitas tersendiri yang membedakannya dengan orang-
orang nonmuslim. Dengan mengenakan jilbab yang menutup seluruh auratnya dan
tidak membuka auratnya di sembarang tempat, maka seorang muslimah itu
bagaikan sebuah batu permata yang terpajang di etalase yang tidak sembarang
orang dapat mengambil dan memilikinya, bukan seperti batu yang berserakan di
jalan di mana setiap orang dapat dengan mudah mengambilnya, kemudian
menikmatinya, lalu membuangnya kembali.
Allah berfirman dalam QS An-Nahl ayat 97:
من عمل صالحا مـــن ذكـــر أو أنثــى وهــو مؤمــن فلــنــحيينه حــياة طـــيبة
أجـــرهم بأحــسن مـــاكانوا يعملــــونHولنـــجزينــهم
12
ذلــــك ادنــــى ان يعــــرفـــــن
“…Bahwa dengan berjilbab itu supaya kamu lebih dikenal…”
Dalam pergaulan muda-mudi saat ini, seolah-olah sudah tidak ada aturan
yang mampu mencegah perbuatan-perbuatan mereka yang telah menjurus kepada
hal-hal yang dapat merusak moralnya. Lihat saja seperti kehidupan di negara-
negara Barat yang dilakukan oleh para muda-mudi yang hidup bersama tanpa
hubungan mahram, mereka beranggapan bahwa dengan demikian mereka dapat
melampiaskan nafsu seksnya dan dengan menelan pil antihamil, sehingga tidak
mengganggu study mereka.
Hal seperti inilah yang sudah meracuni jiwa muda-mudi Islam saat ini,
yang lebih parahnya lagi masih ada dari mereka yang beranggapan kuno apabila
belum merasakan free sex tersebut. Masya Allah!
Seorang yang ikhlas dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya khususnya dalam mengenakan busana muslimah, Insya Allah ia
akan selalu menyadari bahwa dia selalu membawa nama dan identitas Islam
dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga apabila suatu saat dia melakukan
kekhilafan, maka ia akan lebih mudah ingat kepada Allah dan kembali ke jalan
yang diridhai-Nya.
4.2. Jilbab Dapat Mencegah Perzinaan
Kita tahu bahwa hampir semua agama mengutuk perzinaan, karena ia
dapat merusak citra kemanusiaan yang disiplin, dan teratur baik. Namun anehnya
sepanjang sejarah selalu diikuti dengan permasalahan pelacuran. Ini dikarenakan
perzinaan yang sangat sukar diberantas.
Kembali kepada konsep Islam yang melarang perzinaan, dan sangat
mengutuk perbuatan tersebut, seperti yang terdapat dalam QS Al-Isra ayat 23:
13
Ayat di atas sangatlah jelas bahwa Allah melarang perbuatan zina tersebut.
Hal ini mudah dipahami, dengan seluruh tubuh yang tertutup kecuali muka dan
dua telapak tangan, maka tidak akan mungkin ada laki-laki iseng yang tertarik
untuk menggoda dan mencelakakannya selama ia tidak berperilaku yang berlebih-
lebihan. Sehingga kejadian seperti perkosaan, perzinaan, dan sebagainya dapat
dihindarkan.
Oleh sebab itu, Islam mempunyai inisiatif yang tepat untuk mencegah hal
itu, yakni dengan menyuruh umatnya untuk menutup aurat agar terhindar dari
perbuatan keji tersebut. Karenanya Jilbab sebagai busana muslimah yang
diketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist merupakan salah satu cara mencegah
perzinaan. Insya Allah!
4.3. Jilbab Sebagai Benteng Moral
Ketinggian moral bangsa, menunjukkan baik dan makmurnya kehidupan
bangsa, tetapi sebaliknya apabila kemampuan teknologinya diakui, negaranya
super power tetapi moralnya tidak ada, maka bersiap-siaplah menemui
kejatuhannya.
Tokoh ilmu jiwa, Frued dari Jerman sebagaimana dikutip Masrur,
berpendapat, bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga unsur yakni: (Id= Nafsu),
(Ego= Aqal), (Super Ego = Moral). Apabila nafsu dan aqal sudal rusak maka
moralpun akan ikut rusak pula.
Hal ini tentu tidak terlepas dari peranan wanita. Bahkan kekutan dunia
terletak pada wanita, Seperti yang dikatakan oleh Hukama:
“Wanita adalah tiang negara, jika wanita baik, maka negara akan baik,
dan jika wanitanya rusak, maka negara juga akan rusak.”
Jika dibuat perbandingan dari segi harta dunia, seperti intan dan berlian,
ianya dibungkus dengan rapi dan disimpan pula di dalam peti besi yang berkunci.
Begitu juga diumpamakan dengan wanita, Karena wanita yang bermaruah tidak
akan memamerkan tubuhnya di khalayak umum. Mereka masih bisa tampil di
hadapan masyarakat tetapi masih bersesuaian dengan garisan syara’. Wanita tidak
sepatutnya mengorbankan maruah dirinya semata-mata untuk mengejar pangkat,
derajat, nama, harta dan kemewahan dunia.
14
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dengan diwajibkannya
jilbab sebagai busana muslimah ternyata banyak membawa manfaat dan hikmah
bagi yang memakainya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 191:
"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."
وء تـــكم وريشــا ولـــباس التــقويHHؤري سHHيبني ادم قد انزلنـــا عليــكم لباسا ي
ذلك خـــير ذلــك من ايت هللا لعــلهم يذكــــرون
15
tidak akan terpengaruh dengan gaya dan mode. Karena hal tersebut termasuk
kedalam berhias secara jahiliah yang sangat dilarang.
Sesuai dengan firman Allah dalam QS Al-Ahzab ayat 33:
فــــــــاليــؤذيــــــــــــــنHأن يعـــــــــــرفـــــــــــن
16
Hal tersebut sesuai dengan sebuah hadist yang bersumber dari Abi
Hurairah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
اHHعن ابى هريرة رضي هللا عنه قال رسل هللا ص م صنفان من اهل النار لم ارهم
اتHHيات عاريHHاء كاسHHاس ونسHHا النHHربون بهHHاب البقريضHHياط كااذنHHوم معهم سHHق
اHHمميالت مائالت رؤوسهن كائسنمة البخت المائلة اليدخلن الجنة وال يجدن ريحه
)وان ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا (رواه مسلم
“Dua golongan penduduk neraka yang tidak pernah aku saksikan (semasa
hidupku); Pertama, kaum yang memiliki cemiti (cambuk) seperti ekor
lembu di mana mereka mempergunakannya untuk memukul manusia
(penguasa yang kejam); Kedua, wanita yang berpakaian tetapi telanjang,
mereka melengak-lengokkan tubuhnya dan (rambut) kepalanya bagaikan
punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk syurga, tidak pula
mencium baunya, meskipun bau syurga tersebut dapat tercium dari bau
yang sangat dekat.”
17
orang lain. Dan dalam perspektif Islam, terdapat beberapa keadaan di mana setiap
individu muslim dilarang dan dibenarkan untuk membuka auratnya kepada orang-
orang tertentu saja.
2. Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat terdapat dalam QS Al-A’raf ayat 26:
كHHوي ذلHHيبني ادم قد انزلنا عليـــكم لبــاسا يؤري سوء تـــكم وريشا ولبـــاس التق
خير ذلك مــن ايت هللا لعــــلهـم يذكـــرون
18
wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya
dihukumnkan mustahab (sunnat).
Tetapi dalam QS Al-Ahzab ayat 53, dijelaskan bahwa apabila wanita
muslimah meminta sesuatu keperluan kepada ajnabinya maka diperintahkan untuk
memintanya di belakang hijab.
واذا سءــلــتــموهــن مــتعــا فــسءلـواهــن مــن وراء حجــاب
“Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada para istri-istri nabi,
maka mintalah dibelakang hijab…”
Namun dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yang
bersumberkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
Dari Aisyah ra, Rasulullah Saw bersabda: "Hai Asmaa'! Sesungguhnya
seorang perempuan apabila telah datang waktu haidh, tidak patut
diperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini (Rasulullah berkata sambil
menunjuk muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangannya)".
Akan tetapi Hadist ini lemah, jadi tidaklah patut jika dijadikan sebuah
hujjah, dikarenakan hadist ini terputus silsilah riwayat antar Aisyah dan
perawinya. Juga dikarenakan bertentangannya hadist tersebut dengan dengan
dalil-dalil syar’i yang memerintahkan untuk menutupi seluruh auratnya termasuk
muka dan dua telapak tangan. Kalaulah hadist ini shahih, dapat dijelaskan
bahwasanya hadist ini turun sebelum turunnya ayat hijab. Dengan demikian hadist
tersebut masih perlu diskusikan.1
Dalam hal ini, beberapa ulama mempertegas bahwa seluruh tubuh wanita
adalah aurat. Ini seperti yang telah termaktub dalam buku Al-Hijab yang ditulis
oleh As-Syeikh Soleh Fauzan. Jadi dapat disimpulkan bahwa menutup seluruh
aurat bagi wanita termasuk muka dan dua telapak tangan adalah wajib
3. Batas-Batas Aurat Wanita
3.1. Persfektif Fiqh
Aurat wanita dalam perspektif fiqih adalah seluruh tubuhnya. Tetapi lain
halnya pada waktu shalat, kedudukan auratnya yakni selain muka dan dua telapak
1
Karena belum ada satu keputusan apakah hadist tesebut kuat atau dhaif, jadi untuk
keluar dari pendapat tersebut sebaiknya kita berpegang pada pendapat yang mengatakan wajib,
agar lebih ihtiyath (pasti).
19
tangan, selain itu seruhnya harus ditutupi dengan kain yang tebal (yang tidak
kelihatan waran kulitnya).
Tetapi aurat tersebut tidak diperuntukkan kepada wanita budak (a’mmah),
karena aurat mereka disejajarkan dengan kaum lelaki, yakni mereka hanya
diperintahkan untuk menutupi antara pusar dan lutut saja, sedangkan pusar dan
lutut diwajibkan, karena dua anggota tersebut akan menyempurnakan anggota
yang diperintahkan wajib untuk ditutupi. Karena berdasarkan suatu kaedah
(qawae’d) fiqih yakni:
“Ma la yatimmu wajib illa bihi fahuwa wajib”2
Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, begitu pula seorang
wanita tidak boleh melihat sebagian aurat wanitanya yang lain, baik dengan
syahwat maupun tidak. Perhatikan Hadist berikut ini:
Dari Muhammad bin Jahsy berkata: Rasulullah lewat di depan Ma'mar
kedua pahanya terbuka, maka sabdanya : Hai Ma'mar ! Tutuplah kedua
pahamu karena paha itu aurat." (HR. Bukhari, Ahmad, Hakim)
2
Maksudnya, pada awal lutut dan pusat tidak diwajibkan untuk ditutupi, tapi dikarenakan
hal tersebut akan menyempurnakan hal yang wajib ditutupi (kemaluannya), maka hal yang tidak
wajib tersebut berubah kepada wajib.
20
laki-laki mereka, (7) Anak bagi saudara laki-laki mereka, (8) Anak bagi saudara
perempuan mereka, (9) Wanita-wanita Islam, (10) Hamba-hamba mereka, (11)
Orang-orang yang tidak berkeinginan kepada wanita, (12) Anak-anak yang
belum mempunyai keinginan/yang belum mengerti tentang aurat wanita.”
Maksud dari kata perhiasan pada ayat di atas yakni, wajah dan dua telapak
tangan. Dua perhiasan tersebut boleh-boleh saja dilihat oleh lelaki lain asalkan
tidak menimbulkan fitnah, demikian menurut pendapat yang membolehkannya.
Tetapi menurut pendapat yang lain mutlak diharamkan melihat dua perhiasan
tersebut oleh lelaki yang bukan muhrimnya, sebab merupakan sumber fitnah. Dan
pendapat yang kedua ini lebih kuat guna untuk menutup pintu fitnah.
Iman Syafi’i berpendapat; perhiasan yang dimaksudkan dalam ayat di atas
terbagi kepada dua makna yaitu: (1) perhiasan yang bersifat fisik, separti muka,
badan, dan sebagainya; (2) perhiasan yang bersifat nonfisik, seperti pakaian,
make-up, perhiasan, dan sebagainya.
Pemahaman terhadap ayat ini, lebih mendekati kepada kebenaran beberapa
pendapat ulama yang mengatakan, bahwa aurat wanita dalam hubungan dengan
mahramnya hanyalah antara pusar dan lutut, begitu pula hubungannya dengan
perempuan. Bahkan apa yang dimaksud oleh ayat tersebut kiranya lebih
mendekati kepada pendapat sebagian ulama yakni, aurat wanita terhadap
mahramnya ialah anggota yang tidak nampak ketika melayani, sedangkan aurat
yang nampak seperti ketika bekerja di rumah itu sah-sah saja.
Karenanya, umat Islam digalakkan dengan mengawali diri sedini mungkin
agar tidak melanggar batasan-batasan yang telah digariskan oleh Al-Quran dan
Hadist. Terutama dalam soal berhias dan berpakaian.
b. Aspek Hukum dan Sosial
Ayat di atas menjelaskan tentang dua aspek kehidupan manusia, yaitu
aspek sosial dan aspek hukum. Dalam aspek hukum, Allah SWT menjelaskan
tentang disyari'atkannya hijab, dan berbicara tentang hal-hal lain yang berkaitan
dengan seluk beluk wanita, mulai dari soal aurat, batasan yang boleh dilihat dan
yang tidak boleh. Termasuk apakah wajah termasuk aurat yang berimplikasi
diwajibkannya niqab (cadar) atau wajah tidak termasuk aurat sehingga tidak wajib
niqab. Hal lain adalah tentang siapa saja yang boleh melihat aurat wanita, dan
21
hukum melihat lawan jenis. Dalam aspek sosial, ayat ini berbicara tentang aturan
hubungan lawan jenis dan akibat-akibat yang ditimbulkan jika aturan itu
dilanggar.
c. Hukum Melihat Lawan Jenis
Dalam ayat ini Allah SWT, menjelaskan bahwa seorang Muslim atau
Muslimah tidak boleh (haram) melihat lawan jenisnya yang bukan muhrim,
kecuali orang-orang yang dikecualikan dalam ayat tersebut. Meski demikian
melihat atau memandang dapat diperbolehkan (halal) jika pandangan tersebut
hanya satu kali dan tidak disengaja, karena ketidaksengajaan merupakan
perbuatan di luar kemauan manusia yang dilakukan tanpa kesadaran. Lain halnya
jika pandangan pertama itu diikuti dengan pandangan yang berikutnya, karena
pandangan yang kedua tersebut pada dasarnya berasal dari setan dan akan
menimbulkan fitnah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada Ali ra:
"Hai Ali, janganlah mengikuti setiap pandangan, sesungguhnya yang
pertama itu (tidak sengaja) untukmu dan yang berikutnya dari setan."
Atas dasar itulah, maka tak aneh jika ayat di atas mewajibkan setiap
mukimin dan mukminah untuk menundukkan pandangan sebagai solusi dari
terbukanya pintu setan dan fitnah.
d. Aurat Wanita bagi Laki-laki
Asy-Syafi'iyyah dan Al Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh
wanita adalah aurat termasuk kukunya, Imam Ahmad berkata: "Seluruh yang ada
pada tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya". Sedangkan Imam Malik dan
Imam Abu Hanifah berpendapat: "Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali
wajah dan telapak tangan.".
Masalah zinah yang boleh dinampakkan dalam ayat tersebut mempunyai
banyak interpretasi, salah satunya seperti yang ditafsirkan oleh Ibnu Masud dan
para jamaah sebagai pakaian luar. Tetapi para jumhur yang lain menafsirkan
dengan muka dan dua telapak tangan. Pendapat pertama tersebut lebih sahih untuk
dijadikan sebuah hujjah karena lebih sesuai dengan syara’. Sebagian ahli ilmu
mengemukakan bahwa pendapat kedua tersebut berlaku sebelum turun perintah
22
yang mewajibkan hijab, karena pada mulanya para wanita menampakkan wajah
dan dua telapak tangannya dihadapan lelaki, kemudian turun ayat hijab (QS
33:53).
Dalil Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam firman Allah SWT
tersebut, ditegaskan tidak boleh bagi wanita menampakkan "zinah" mereka, zinah
itu terbagi kepada dua bagian: Pertama, zinah yang berasal penciptaan, seperti
wajah karena asalnya adalah indah dan sumber fitnah; Kedua, zinah yang dapat
dicapai oleh manusia. Seperti yang dapat dicapai dengan mempercantik diri,
seperti make-up dan lain sebagainya. Dalam ayat tersebut juga memaparkan
haram bagi wanita menampakkan zinahnya dan ia harus menutup seluruh
perhiasan yang ada padanya, termasuk wajah dan telapak tangan
e. Perbedaan Kedudukan Aurat Wanita.
Pada aurat wanita terdapat perbedaan dalam beberapa keadaan di
antaranya:
Pertama, aurat ketika shalat, seluruh badannya kecuali muka dan dua
tapak tangan;
Kedua, aurat wanita ketika sendirian adalah bagian antara pusat dan lutut;
Ketiga, aurat wanita dengan mahramnya adalah pusat dan lutut. Walau pun
begitu wanita dituntut agar menutup seluruh bagian tubuh yang membawa kepada
syahwat lelaki walaupun itu mahram sendiri. Hal ini sesuai dengan Firman Allah
dalam QS An-Nur ayat 31.
Syara’ telah menggariskan golongan yang dianggap sebagai mahram
kepada seorang wanita yaitu: (1) suami; (2) bapak; (3) mertua; (4) anak kandung;
(5) anak-anak suami.
Dalam perkara ini, Islam membolehkan isteri untuk bergaul dengan anak
suami, karena wanita tersebut telah dianggap dan berperan sebagai ibu kepada
anak-anak suaminya: (1) saudara lelaki kandung; (2) anak dari saudara laki-laki;
(3) Anak dari saudara perempuan; (4) sesama wanita muslim; (5) hambanya
sahaya; (6) orang tua yang tidak lagi mempunyai nafsu syahwat; (7) anak-anak
kecil yang belum mengerti terhadap aurat wanita. Bagi anak-anak yang
23
mempunyai syahwat tetapi belum baligh, dilarang menampakkan aurat terhadap
mereka.
Keempat, aurat ketika di hadapan ajnabi: Kewajiban menutup seluruh
aurat di hadapan lelaki ajnabi amatlah penting dan perlu diperhatikan oleh setiap
wanita. Begitu pula wanita yang bersuami, karena dengan menutup aurat, ia akan
dapat membantu suaminya, yang mana dosa seorang isteri yang membuka
auratnya akan ditanggung oleh suaminya. Oleh karenanya, para wanita perlu
memahami batas-batas aurat ketika berhadapan dengan orang-orang yang tertentu,
dalam keadaannya yang berbeda-beda.
Kelima, aurat ketika di hadapan wanita kafir: Aurat wanita apabila
berhadapan atau bergaul dengan wanita nonmuslim adalah seluruh tubuhnya,
kecuali yang terlihat sewaktu menjalankan rutinitas sehari-hari. Dari Abdullah bin
Abbas, ada yang menyatakan Rasulullah Saw pernah bersabda yang maksudnya:
"Tidak halal kaum wanita Islam dilihat oleh kaum Yahudi dan Nasrani".
Keenam, aurat ketika bersama suami: Apabila seorang isteri bersama
suaminya di tempat yang terlindung dari pandangan orang lain, maka Islam telah
memberi dispensasi dengan tiada membataskan aurat kepada suaminya.
“Dari Mu'awiyah bin Haidah mengatakan: "Aku pernah bertanya: Ya
Rasulullah, bagaimanakah aurat kami, apakah boleh dilihat oleh orang
lain?" Baginda menjawab: "Jagalah auratmu kecuali terhadap isterimu
atau terhadap hamba abdi milikmu". Aku bertanya lagi: "Ya Rasulullah,
bagaimanakah kalau ramai orang mandi bercampur-baur di satu
tempat?" Baginda menjawab: "Berusahalah seboleh mungkin agar
engkau tidak dapat melihat aurat orang lain dan ia pun tidak dapat
melihat auratmu". Aku masih bertanya lagi: "Ya Rasullullah,
bagaimanakah kalau orang mandi sendirian?" Baginda menjawab:
"Seharuslah ia lebih malu kepada Allah daripada malu kepada orang
lain". (Hadis riwayat Iman Ahmad dan Abu Dawud).
24
Ia juga menambahkan bahwa Rasulullah Saw pernah meghitung orang-orang yang
dilaknat di dunia, yakni orang-orang yang mengubah dirinya dari asal kejadian
yang telah Allah ciptakan. Allah dan Rasulnya melaknat wanita yang menyerupai
laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita.
“Dari Abu Hurairah ra telah meriwayatkan, maksudnya: Rasulullah Saw
telah melaknat laki-laki yang berpakaian perempuan, dan perempuan
yang berpakaian laki-laki. (HR Ahmad)
Dari Abdullah Ibnu Abbas ra, Rasulullah Saw melaknat laki-laki yang
menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki. (HR Bukhari).
Kedua, Tabarruj
Tabarruj berasal dari fiil madhi, yakni: - تبرج يتبرجyang berfaedah kepada
“taklif”, yakni senantiasa, (selalu atau tidak habis-habisnya). Jadi tabarruj dapat
diartikan: Berpakaian yang selalu berlebihan, dengan niat yang ingin
memperlihatkannya kepada orang lain. Sedangkan menurut Abu Fathan dalam
bukunya, mengartikan tabarruj dengan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata.
Menurut para mujtahid yang dimaksud tabarruj ialah: Wanita yang keluar dan
berjalan di hadapan laki-laki. Qatarada mengartikan tabarruj ialah: Wanita yang
berjalan dengan menampakkan lenggokan jalannya. Sedangkan Muqqatil
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tabarruj ialah: Memamerkan
perhiasan yang dipakainya.
Allah dan Rasulullah sangat melarang orang yang berlebih-lebihan dalam
berpakaian, karena dapat membawaki kepada sifat angkuh dan sombong.
Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal.
Dan yang dimaksud dengan kesombongan ialah perasaan yang bermaksud untuk
bermegah-megah, dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap
orang lain. Allah SWT sangat membenci kepada hambanya yang sombong.
Seperti dalam Firman-Nya:
25
Syaikh Al-Maududi dalam tafsir Al-Hijabnya, kata tabarruj bila
dikaitkan dengan seorang wanita, ia memiliki tiga pengertian: (1) menampakkan
keelokan wajah dan bagian-bagian tubuh yang membangkitkan birahi ajnabinya;
(2) memamerkan pakaian dan perhiasan yang indah dihadapan lelaki yang bukan
muhrimnya; (3) memamerkan diri dan jalan yang berlenggak-lenggok dihadapan
ajnabinya.
Beberapa cara menghindari tabarruj: (1) menundukkan pandangan; (2)
tidak bergaul bebas, sehingga terjadi persentuhan antara laki-laki dan perempuan.
Seperti dalam QS An-Nur ayat 31:
26
(b) Al-Mustaushilah ialah Orang yang meminta disambungkan rambutnya.
(c) Al-Wasyimah ialah wanita yang suka mentato tubuhnya.
(d) Al-Mustausyimah ialah wanita yang meminta untuk mentato dirinya.
(e) Al-Mutanamishah ialah wanita yang mencabut seluruh bulu yang
tumbuh di sekitar wajahnya. Seperti Alis.
(f) Al-Mutafallijat ialah wanita yang mengikir giginya.
“Dari Ibnu Umar. Rasulullah Saw melaknat wanita yang menyambung
rambutnya dengan rambut orang lain, dan wanita yang meminta
disambungkan rambutnya, dan wanita yang membuat tato (dengan
tusukan jarum), pada tangan dan wajahnya, dan wanita yang meminta
diperbuat demikian”. (HR Bukhari-Muslim).
27
Dari Umar bin Khatab ra, Rasulullah Saw bersabda: Janganlah seorang
lelaki berduaan dengan seorang wanita, karena sesungguhnya setan
adalah yang ketiga. (HR. Imam Ahmad dan Baihaqi).
Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah Saw bersabda: Ditikam oleh seseorang
di belakang kamu di kepalanya dengan jarum dan besi, itu lebih baik
baginya dari pada ia menyentuh seorang wanita yang tidak halal
baginya”. (HR Thabrani).
“Dan hendaklah kamu tetap diam di rumah kamu serta janganlah kamu
mendedahkan diri seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah
zaman dahulu”.
Dari Ibni Abbas ra, Rasulullah Saw bersabda: Perempuan manapun yang
keluar dari rumah tanpa seizin suaminya, maka dilaknat oleh segala
sesuatu yang matahari dan bulan terbit menyinarinya, sehingga ia
kembali ke rumah suaminya”.
28
masuk pemandian dengan memakai kain”. (HR Abu Daud, Tarmizi, dan
Ibnu Majah).
إال مـن ارتضى من رسـول, فــال يــظهـــر عـلى غــيبـه أحـداHعــالـــم الغـــيـب
“Dia adalah Tuhan yang Maha Mengetahui yang ghaib, maka ia tidak
memperlihat kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada
Rasul yang diridhai-Nya.”
Catatan Penutup
MERUJUK pada uraian yang telah di paparkan oleh penulis, ada beberapa hal
yang perlu digarisbawahi, terutama tentang problematika berpakaian. Apalagi
perubahan di era yang telah mengubah mode, atau trend yang telah menjadi
sebuah panutan. Sebagai umat Islam, wanita muslimah harus konsekuen pada
prinsip dasar yang telah ditetapkan oleh agama. Jadi, pada dasarnya tata cara
pergaulan termasuk di dalamnya berpakaian telah diatur rapi oleh syara’, kita
hanya menjalankan saja dan tidak perlu mencetak hukum baru karena niat yang
ingin berpacu dengan mode.
Jilbab dan khimar telah di ketengahkan oleh Al-Quran dan Hadist kepada
hamba Allah yang beriman. Pelaksanaan terhadap dua perintah Allah SWT
tersebut seharusnya bisa dijalankan semata-mata karena dorongan keimanan, dan
karena keyakinan bahwa Islam diturunkan untuk memberikan aturan yang dapat
memecahkan problematika seluruh umat manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Bukan karena arus mode yang ada.
Diwajibkannya jilbab sebagai busana muslimah yang ternyata banyak
membawa manfaat dan hikmah bagi yang memakainya. Hal ini sesuai dengan
firman Allah :
29
"Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha
Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS Ali Imran
ayat 191).
Referensi
Abu Fathan (ed), 1992, Panduan Wanita Sholeha, Asasuddin Press, Jakarta.
Imam Al-Ghazali, tt, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Putra Pelajar,
Yogyakarta.
30
Muhammad Ali Hasyimiy, 1996, Jatidiri Wanita Muslimah, Pustaka Al-Kautsar,
Jakarta.
Riami Larasari, Jilbab dalam Pandangan Syara’, diakses November 2006 dari
http://www.riamilarasari.blogspots.com.
Said Abi Bakri bin Said Muhammad Syatha, tt, Lanatutthalibin, Jilid I, Thoha
Putra, Semarang.
Syeikh Iman Zaki Al-Barudi, 2004, Tafsir Wanita, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Amin bin Yahya Al-Wazan,
Fatwa-fatwa tentang Wanita, Ahmad Amin Sjihab (Penterjemah), Darul
Haq, Jakarta.
Yulieni, Antara Jilbab dan Kerudung, […], diakses November 2006 dari
http://www.waspada.co.id.
31