Anda di halaman 1dari 10

JILBAB DALAM KONSTRUKSI PEMBACAAN

KONTEMPORER MUHAMMAD SYAHRÛR

Fikria Najitama
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
Email: fikria_elhamidie@yahoo.com

Abstract
This article will discuss the thoughts of Muhammad Syahrur on the hijab. For Muhammad Syahrur, the
veil is a matter of shame and embarrassment in custom, not a question of halal and haram. In his
view, women should dress in accordance with the conditions, situations and local customs, so he
avoided considering interference from either natural or social factors. This view is certainly different
from that of the majority of commentators (mufassir) who think the veil is part of God’s commands
associated with the issues of halal and haram. This study offers the thought of Muhammad Syahrur
as an alternative in relation to the concept of the veil in the context of Indonesian society.
Kata Kunci: Hijab, Aurat, Muhammad Syahrur, Indonesia

Pendahuluan bergerak di ruang publik, di samping itu banyak


Salah satu isu yang kontroversial dalam diskursus orang berpendapat bahwa justifikasi tentang jilbab
tentang perempuan adalah mengenai penggunaan pada masa lalu tidak mempunyai relevansi sama
jilbab bagi perempuan. Jilbab merupakan salah satu sekali dengan zaman sekarang ini, akan tetapi
dari sekian banyak isu yang menimbulkan pro dan sebagian lainnya menganggap jilbab sebagai salah
kontra. Kontroversi mengenai jilbab disebabkan satu kewajiban bagi perempuan.
sebagian orang muslim menganggapnya sebagai Menurut Nasarudin Umar, sebenarnya
perintah Allah yang diberikan lewat al-Qur’an. perdebatan mengenai jilbab bukanlah hal yang
Sebagian lainnya, baik muslim maupun non- baru, akan tetapi telah berlangsung jauh sebelum
muslim menganggapnya sebagai praktek yang tidak Islam. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama
beradab.1 Kalangan feminis memandang jilbab Yahudi sudah dikenal beberapa istilah yang
sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda semakna dengan jilbab seperti tif’eret. Demikian
keterbelakangan, subordinasi dan penindasan pula dalam kitab Injil, kitab suci agama Nasrani
terhadap perempuan. 2 Jilbab juga dipandang juga ditemukan istilah yang semakna dengan
sebagai penghalang bagi perempuan untuk dengan jilbab yaitu redid, zammah, re’alah, zaif,
mitpahat.3
1
Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan, Transformasi Al- Al-Qur’an juga memberikan informasi
Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, terj. Akmad Affandi, tentang jilbab, akan tetapi tidak dengan rinci.
cet. ke-1 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 103. Dalam al-Qur’an, yang penting adalah bagian
2
Pandangan seperti ini banyak berkembang pada kalangan
feminis Barat. Bahkan, bagi kalangan Barat, jilbab dipandang
yang dikategorikan sebagai aurat tertutupi.
sebagai,“…the most visible marker of the differentness and inferiority of Akan tetapi al-Qur’an tidak menjabarkan secara
Islamic societies-become the symbol now of both the oppression of woman
and the backwardness of Islam”. Lihat, Laela Ahmed, Woman and 3
Nasaruddin Umar, “Antropologi Jilbab” dalam Jurnal
Gender in Islam (London: Yale University, 1992), 152. Ulūmul Qur’ān. No.5 Vol. VI 1996, 36.
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014

spesifik mengenai aurat. Hal tersebutlah yang Bertolak dari kontroversi tentang jilbab
kemudian melahirkan berbagai intepretasi yang tersebut, menarik kiranya untuk mengkaji
beragam mengenai bagian-bagian yang termasuk pemikiran tentang konsep jilbab menurut
dalam kategori aurat. Menurut Imam Abū Muhammad Syahrūr. Dia merupakan seorang
Hanīfah, bagian muka, kedua telapak tangan pemikir liberalis religius8 dari Syiria yang sangat
dan kedua telapak kaki tidak termasuk kategori kontroversial. 9 Syahrūr memandang bahwa
yang harus ditutupi. Abū Hanīfah beralasan jilbab lebih merupakan persoalan aib dan malu
bahwa kedua telapak kaki bukan termasuk secara adat daripada persoalan haram dan
aurat karena dipandang lebih menyulitkan halal. 10 Dengan analisis linguistik dan teori
daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi limitnya,11 ia mengelaborasi persoalan tentang
perempuan-perempuan miskin di pedesaan yang jilbab. Pandangan tersebut tentunya berbeda
(saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk dengan mainstream makna jilbab yang selama ini
memenuhi kebutuhan mereka.4Imam asy-Syāfi’i dipahami. Didasarkan atas hal tersebut, tulisan ini
berpendapat bahwa perempuan wajib menutup berusaha mengelaborasi pemikiran Syahrūr dan
seluruh tubuhnya, kecuali kedua telapak tangan memformulasikannya dalam konteks masyarakat
dan muka, yang menurutnya tidak masuk dalam Indonesia.
kategori aurat.5 Senada dengan imam asy-Syāfi’i,
Imam Mālik juga berpendapat bahwa muka dan
Pengertian dan Sejarah Jilbab
kedua telapak tangan bukan termasuk kategori
aurat, oleh karena itu boleh untuk ditampakkan.6 Secara etimologis, jilbab berasal dari akar kata
Adapun mazhab Hambali berpendapat, wanita jālābā, yang berarti membawa atau mendatangkan.12
merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa Jilbab secara lugawi juga bermakna pakaian
terkecuali, hanya untuk shalat dan kepentingan (baju kurung yang longgar).13 Bagi masyarakat
tertentu diperbolehkan membuka wajah dan pada umumnya, jilbab sering diidentikkan
kedua telapak tangan, tetapi sebagian ulama dengan pakaian yang dikenakan oleh perempuan
Hambali tetap mewajibkan menutup seluruh sebagai identitas keislaman dirinya. Louis Ma’luf
tubuh perempuan termasuk dalam shalat.7 mendefinisikan jilbab sebagai pakaian atau
Dari hal ini kemudian memunculkan dua
pendapat yang sering muncul dalam kajian klasik
mengenai jilbab perempuan. Pertama adalah 8
Klasifikasi ini merujuk pada Wael B.Hallaq. Lihat, A
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh History of Islamic Legal Theories; An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh,
perempuan merupakan aurat dan wajib untuk (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 231-262.
menutup seluruh anggota tubuhnya dengan jilbab.
9
Untuk melihat betapa kontroversialnya pemikiran
Muhammad Syahrūr, lihat. Sahiron Syamsuddin, “Metode
Kedua, bahwa seluruh tubuh perempuan adalah Intratekstualitas Muhammad Shahrūr Dalam Penafsiran al-Qur’an”
aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. dalam A Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an
Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, cet. ke-1
Pendapat kedualah yang dipegang oleh mayoritas
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 131-134.
ulama, yang menjelaskan bahwa muka dan kedua 10
Muhammad Syahr ūr, al-Kit āb wa al-Qur’ ān: Qir ā’ah
telapak tangan bukan merupakan bagian yang Mu’āsirah, (Damaskus: Al-Ahāly, 1990), 612.
ditutupi dengan jilbab. 11
Teori yang sebenarnya yang dipaparkan oleh Syahrūr
adalah dengan nama hudūd at-tasyri’ wa al-ibādah atau nazāriyyah
al-hudūd yang direpresentasikan dengan had al-adnā (batas
minimal) dan had al-a’lā (batas maksimal). Adapun nama teori
4
Ibn Rusyd, Bidayāh al-MujtahĨd wa Nihayāh al-MuqtasĨd limit (the theory of limits) sebenarnya belum baku sebagai nama
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 83. teori yang dikembangkan oleh Syahrūr tersebut. Namun banyak
5
Muhammad ibn Idrīs asy-Syāfi’ī, al-Umm (Beirut: Dar al- kalangan yang telah menggunakan nama tersebut, seperti Wael B.
Fikr, t.t.), 89. Hallaq, A History of Islamic…, 248.
6
Ibn Rusyd, Bidayāh al-MujtahĨd, I: 165. 12
Ahmad Warson Munawwir, al-MunawwĨr Kamus Arab
7
Lihat, Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 19.
atas Wacana Agama dan Gender, cet. ke-2 (Yogyakarta: LKiS, 2002), 13
Al-Tahir Ahmad az-Zawi, TartĨb al-Qamūs al-MuhĨt, (Beirut:
54. Dar al-Fikr, t.t.), 510.

10
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur

kain yang lapang dan luas. 14 Menurut Ibnu baru untuk membedakan perempuan merdeka
Abbas dan Qatadah, jilbab ialah “pakaian yang dan hamba. Dengan merujuk pada Lisān al-‘Arāb,
menutup pelipis dan hidung meskipun kedua ia mengatakan bahwa jilbab merupakan konsep
mata pemakainya terlihat namun tetap menutup yang samar, karena kata tersebut bisa menunjuk
dada dan bagian mukanya”.15 Quraish Shihab, pada gamis yang sederhana hingga jubah. Salah
seorang mufassir modern Indonesia mengartikan satu definisi dalam kamus tersebut adalah “
jilbab sebagai baju kurung yang longgar dilengkapi pakaian yang sangat lebar yang digunakan oleh
kerudung penutup kepala.16 perempuan”, sementara dalam definisi yang
Sedangkan dalam bahasa Inggris, jilbab lain mengartikan jilbab sebagai “pakaian yang
sering diterjemahkan dengan kata veil, sebagai digunakan wanita untuk menutup kepala dan
kata benda dari kata Latin vela, bentuk jamak dada mereka”.21
dari velum. Makna leksikal yang terkandung dalam Jilbab merupakan sebuah unsur budaya
kata ini adalah penutup dalam arti menutupi yang sudah sangat tua. Menurut Nasaruddin Umar,
atau menyembunyikan atau menyamarkan. 17 apabila yang dimaksud jilbab adalah penutup
Dengan menggunakan makna ini, cakupan kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah
veil dalam menutupi bagian tubuh meliputi menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM),
tiga tipologis, yaitu penutup kepala, penutup kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi
muka dan penutup badan.18 Meskipun banyak (2.000 SM) dan Code Assyria (1.500 SM).22 Pada
pendapat yang berkenaan dengan jilbab, namun tahun 500 sebelum masehi, jilbab sudah menjadi
semua pendapat itu mengacu pada suatu bentuk pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan
pakaian yang digunakan untuk menutupi tubuh di kerajaan Persi.23 Menurut Navabakhsh, jilbab
perempuan.19 Keanekaragaman pengertian jilbab (cadar) adalah bagian tradisi yang ditemukan di
juga menunjukkan tidak ada padanan kata yang lingkungan bangsawan kelas menengah atas di
tepat untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen
Indonesia.20 serta orang-orang Sasanid.24
Fatima Mernissi berpendapat bahwa jilbab Ketentuan penggunaan jilbab juga
bukanlah jenis pakaian baru, melainkan cara sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babylonia dan Assyria. Di Asyria
14
Louis Ma’lūf al-Yasū’i, al-MunjĨd fi al-Lugāh (Beirut: al- misalnya, menurut Maxime Rodinson seorang
Katulikiyyah, 1965), 53.
15
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yĨ Upaya Menggali Konsep
Islamolog Prancis, terdapat larangan berjilbab
Wanita dalam al-Qur’an, cet. ke-1,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bagi pelacur.25 Sedangkan perempuan terhormat
1990), 118. harus menggunakan jilbab di ruang publik.
16
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11, (Bandung: Mizan, 2000), 172.
Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol
Pengertian ini hampir sama dengan pengertian dalam Kamus kelas menengah atas masyarakat itu.
Besar Indonesia yang mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang
longgar, yang dilengkapi kerudung yang menutupi kepala sebagian
muka dan dada wanita. Lihat, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3 (Jakarta: Balai 21
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Pustaka, 1994), 415. Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994), 229-230. Pendapat Mernissi
17
lihat Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan mengisyaratkan bahwa tidak adanya definisi yang jelas mengenai
dan Perlawanan, terj. Mujiburahman, (Jakarta: Serambi, 2003), 29. jilbab perempuan.
18
Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, 35 22
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi jilbab”.http://www.
19
Walaupun pengertian jilbab pada umumnya senantiasa kompas.com/kompas-cetak/0211/25/dikbud/feno36.htm, akses
mengacu pada perempuan, tapi pada perkembangannya muncul 20 Agustus 2004.
istilah jilbab maskulinitas. Lihat, ibid, 194-209. 23
Nasaruddin Umar, “Antropologi Jilbab” dalam Jurnal
20
Di Indonesia, jilbab seringkali diartikan sebagai kerudung Ulumul Qur’an. No.5 Vol. VI,Tahun 1996, hlm, 39.
(kudung). Pengistilahan ini menurut penyusun tidaklah tepat. 24
Laela Ahmed, Woman and Gender in Islam, (London: Yale
Mengingat kerudung merupakan busana untuk menutup kepala University, 1992), 5.
atau dikenal dengan khimār. Dalam pandangan penyusun, jilbab 25
Lihat pengantar Andree Feillanrd dalam Husein
perempuan merupakan pakaian yang digunakan oleh perempuan Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
sebagai instrumen untuk menutup aurat. Gender, cet ke-2 (Yogyakarta: LkiS, 2002), xix.

11
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014

Menurut ahli Antropologi, menstruasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada


memiliki hubungan erat dengan jilbab. Menurut masa itu. Kultur Hellenisme-Byzantium dan
mereka, jilbab dan semacamnya bersumber dari Mesopotamia-Sasaniapun ikut menyentuh jazirah
ketabuan menstruasi (menstrual taboo). Perempuan Arab. Menurut De Vaux dalam Sure Le Voile des
yang mengalami menstruasi diyakini berada Femmes das I’Orient Ancient, Tradisi jilbab (veil)
dalam suasana tabu. Darah menstruasi (menstrual dan pemisahan perempuan (seclution of woman)
blood) dianggap tabu yang menuntut berbagai bukan tradisi orisinal bangsa Arab, bahkan bukan
upacara dan perlakuan khusus. Perempuan yang juga tradisi Talmud dan Bible.28 Hal ini juga
sedang mengalami menstruasi diharuskan untuk dikuatkan oleh Hensen sebagaimana dikutip oleh
hidup dalam gubuk khusus atau goa-goa. Mereka Guindi, bahwa “pemingitan dan jilbab merupakan
dilarang berinteraksi dengan masyarakat, termasuk fenomena asing bagi masyarakat Arab”29
keluarga. Dilarang melakukan hubungan seks serta Banyak ahli berpendapat bahwa jilbab
mata mereka, yang dianggap sebagai “mata Iblis”, bukan merupakan budaya Arab, tapi merupakan
dilarang berkeliaran karena bisa menimbulkan budaya asing yang kemudian diadopsi oleh
bencana. Untuk lebih aman, perempuan masyarakat Arab. Semula, jilbab merupakan
menstruasi dituntut untuk menggunakan tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan
jilbab atau cadar, pakaian untuk menutup laki-laki dan perempuan merupakan tradisi
seluruh badan.26 Penggunaan itu semula tidak Hellenistik-Byzantium, menyebar menembus batas
dimaksudkan sebagai perhiasan, tetapi sebagai geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan
sarana penolak bala dan signal of warning.27 Namun timur jazirah Arab seperti Damaskus dan Bagdad
pada perkembangan selanjutnya, jilbab mendapat yang pernah menjadi ibukota politik Islam zaman
legitimasi agama. Jilbab menjadi pakaian wajib Dinasti Mu’awwiyah dan Abbasiyah.30Kemudian
(obliged dress) bagi perempuan, khususnya ketika setelah Islam mulai berkuasa, institusionalisasi
menjalani ritual keagamaan. jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal
Adapun penyebaran budaya jilbab ke daerah dalam dunia Islam. Jilbab yang tadinya merupakan
jazirah Arab dimulai ketika terjadi perang antara pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan
Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan kepastian hukum (institutionalized) sebagai pakaian
antar pulau mengalami perubahan sebagai akibat wajib bagi perempuan Islam.31
dari perang tersebut. Pesisir jazirah Arab menjadi
penting sebagai wilayah transit perdagangan
Biografi Singkat Muhammad Syahrūr
juga sebagai tempat pengungsian. Globalisasi
Muhammad Syahrūr merupakan seorang pemikir
yang fenomenal dalam dunia Islam kontemporer.
26
Menurut Umar, kerudung dan semacamnya semula
dimaksudkan sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi
keluarga raja atau bangsawan. Keluarga bangsawan tidak perlu
lagi mengasingan diri di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup
28
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi Jilbab”. Pendapat
menggunakan pakaian khusus yang dapat menutupi anggota badan senada juga dipegang oleh Muhammad Taha. Ia menyatakan bahwa
yang dianggap sensitif. Dahulu kala perempuan yang menggunakan hijab bukanlah ajaran orisinal Islam. Lihat, Mahmud Muhammad
cadar hanya dari keluarga bangsawan atau orang-orang yang Taha, The Second Message of Islam, Abdullahi Ahmed an-Naim (ed.),
terhormat, kemudian diikuti oleh perempuan non-bangsawan. (Syracuse: Syracuse University Press, 1987), 143.
Peralihan dan modifikasi dari gubuk pengasingan (menstrual hut) 29
Fadwa El Guindi, Jilbab, 38.
menjadi cadar (menstrual hood) juga dilakukan di New Guinea, 30
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi Jilbab”, lihat juga
British Columbia, Asia, dan Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Barbara Freyer Stowasser, Woman in the Qur’an, Tradition and
Tengah, dan lain sebagainya. Bentuk dan bahan cadar juga berbeda- Intepretation, (Oxford: Oxford University Press, 1994), 92.
beda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Bentuk cadar di 31
Menurut Riffat Hassan, jilbab telah menjadi institusi
Asia agak lonjong menutupi kepala sampai pinggang dan bahannya kaum muslimin sekitar kurang lebih seribu tahun. Ia berevolusi
juga bermacam-macam; ada yang dari serat kayu yang ditenun secara bertahap selama tiga abad pertama Islam dan mapan secara
khusus dan ada yang dari wol yang berasal dari bulu domba. Lihat. penuh dengan dukungan intepretasi teolog-teolog dominan pada
Nasaruddin Umar,”Perspektif Jender dalam Islam”, http://media. zaman khilafah Abbasiyah. Sejak itu pula jilbab dianggap bagian
isnet.org/ islam/Paramadina/Jurnal/Jender4. html #Taboo, akses integral dari masyarakat dan kebudayan kaum muslimin. Lihat,
10 Oktober 2004. Abdullah Mustaqim, “Feminisme dalam Pemikiran Riffat Hassan”
27
Nasaruddin Umar, “Antropologi Jilbab, 38. dalam Jurnal al-Jami’ah, No. 63/VI/1999, 105.

12
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur

Ia menawarkan segenap gagasan pemikiran dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan


dekonstruktif sekaligus rekonstruktif yang Pondasi (Mikānika Turbat wa Asasat). Di tahun
unik.32 Keunikan ini tidak lepas dari background 1969 Syahrur meraih gelar Master dan tiga tahun
Syahrūr yang merupakan seorang ahli ilmu alam– kemudian, 1972, ia menyelesaikan program
khususnya matematika dan fisika, tidak seperti Doktoralnya. Pada tahun ini juga ia diangkat
kebanyakan para pemikir Islam yang umumnya secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil
memang berasal dari seting keagamaan.33 Universitas Damaskus mengampu mata kuliah
Syahrūr dilahirkan di Damaskus (ibukota Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mikānika al-
Syiria), pada 11 April 1938.34 Karier intelektual Turbat wa al-Mansya’at al-Ardiyyah) hingga sekarang.
Syahrūr dimulai dari pendidikan dasar dan Selain kesibukannya sebagai dosen, pada tahun ini
menengah yang ditempuhnya di sekolah-sekolah juga, ia bersama beberapa rekannya di Fakultas
tempat kelahirannya, tepatnya di Madrasāh ‘Abd membuka Biro Konsultasi Tehnik (Dar al-Istisyarah
al-Rahmān al-Kawākibi dan tamat pada tahun al-Handāsiyah). Sepertinya prestasi dan kreatifitas
1957, ketika usianya menginjak 19 tahun. Setahun Syahrūr semakin meneguhkan pihak universitas
kemudian pada bulan Maret 1958 atas beasiswa terhadapnya terbukti ia mendapat kesempatan
pemerintah, ia berangkat ke Moskow, Uni Soviet terbang ke Saudi Arabia menjadi tenaga ahli pada
(sekarang Rusia), untuk mempelajari teknik sipil Al-Saud Consult pada tahun 1982 sampai 1983.36
(al-Handasāh al-Madāniyah). Jenjang pendidikan Karya monumental Syahrūr adalah al-Kitāb
ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 wa al-Qur’ān; Qirā’ah Mu’āsirah.37 Menurut Syahrūr
hingga berhasil meraih gelar diploma pada tahun penyusunan buku ini berlangsung selama dua
1961, kemudian ia kembali ke negara asalnya puluh tahun dan dengan melewati tiga tahapan
dan pada tahun 1965 ia mengabdikan diri pada proses.38 Walaupun Syahrūr menyatakan bahwa
Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus.35 bukunya tidaklah lebih dari bacaan kontemporer,
Dalam waktu yang tidak lama Universitas bukan petunjuk penafsiran atau hukum, tetapi
Damaskus mengutusnya ke Universitas Irlandia buku ini memiliki kedalaman dan keluwesan
tepatnya Ireland National University (al-JamĨ’ah al- yang tak tertandingi oleh tulisan-tulisan modern
Qaumiyah al-Irilandiyah) guna melanjutkan studinya lainnya.39 Setelah kesuksesan buku al-Kitāb wa
menempuh program Magister dan Doktoral dalam al-Qur’ān, Syahrūr kemudian menulis buku yang
bidang yang sama dengan spesialisasi yang sama berjudul Dirāsat Islāmiyyah Mu’āsirah fi al-Daulah
wa al-Mujtama’, Al-Islām wa al-Imān: Manzūmah al-
32
Lihat, Syahiron Syamsuddin, book review “al-Kitāb wa
al-Qur’ān” dalam Jurnal al-Jami’ah. No. 62/XII/1998, hlm 193.
Qiyām, Masyru’ al-‘Amal al-Islāmi dan Nahwā Usūl
Menurut Christmann, gaya yang tepat untuk menggambarkan JadĨdah li al-Fiqh al-IslāmĨ: Fiqh al-Mar’ah.
gagasan Syahrūr adalah “defamiliarisasi” dan “dehabitualisasi”.
Suatu pendekatan untuk mencitrakan kehendak nyata untuk
meruntuhkan norma penafsiran yang sudah baku dan menawarkan 36
Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 823.
jalan alternatif untuk membaca teks. Lihat, Andreas Christmann, 37
Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 823.
“Bentuk Teks (Wahyu) adalah Tetap, tetapi Kandungannya (selalu) 38
Dalam penyusunan buku ini Syahrūr melewati tiga
Berubah”: Tekstualitas al-Qur’an dan Penafsirannya dalam buku proses. Tahap pertama (1970-1980), merupakan masa pengkajian
al-Kitab wa al-Qur’an karya Muhammad Shahrūr” (pengantar) dan peletakan dasar awal metodologi pemahaman terhadap
dalam Muhammad Shahrūr, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, al-z|ikr, al-risālah dan an-nubūwwah serta beberapa kata kunci
terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin, (Yogyakarta: elSAQ lain dalam al-Qur’an. Tahap ini berlangsung ketika ia kuliah di
Press, 2003), 17-18. Universitas Dublin, Irlandia. Tahap kedua (1980-1984), merupakan
33
Latar belakang ilmu alam inilah yang kemudian masa perkenalan dan pendalaman terhadap kajian bahasa di
membentuk struktur hukum Syahrur yang sangat positivistik. Hal bawah bimbingan gurunya, Ja’far Dakk al-Bāb. Dalam era ini ia
ini terlihat dari kerangka konsep hudud-nya, penggunaan opposisi diperkenalkan dengan berbagai pemikiran linguis Arab seperti al-
biner dalam hampir seluruh konsepnya, seperti al-Qur’an-al-Kitab, Farra, Abi ‘Ali al-Farisi, Ibn Jinni dan ‘Abd al-Qahir al-Jurjani. Dari
inzal-tanzil dan lainnya. Selain itu juga terlihat dari kurangnya ia tokoh-tokoh inilah Syahrūr menemukan tesis tentang tidak adanya
mengakomodir aspek ahlak (etika). sinonimitas (taraduf) dalam bahasa; bahwa kata-kata hanyalah
34
Muhammad Syahrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah media pengungkapan maksud (al-ma’na). Tahap ketiga (1986-1990),
Mu’āsirah (Damaskus: Al-Ahaly, 1990), 823. merupakan tahap penyelesaiaan dan pengelompokan berbagai
35
Aunul ‘abied Shah (ed.), Islam Garda Depan Mosaik kajian yang terpisah-pisah menjadi satu tema utuh. Ibid., 46-48.
Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), 273. 39
Wael B. Hallaq, A History of Islamic, 247.

13
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014

Selain tulisan yang terkemas dalam buku, sehingga tidak menjadi sasaran celaan dan
Syahrūr juga aktif menulis artikel yang dimuat gangguan dari orang-orang. Untuk konteks masa
berbagai majalah dan jurnal.40 Di samping itu kini, pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata
ia juga aktif mempresentasikan pokok-pokok cara bepergiannya perempuan yang didasarkan
pikirannya mengenai al-Qur’an kaitannya dengan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat
masalah-masalah sosial dan politik, seperti hak- menghindarkannya dari gangguan sosial.44
hak perempuan, pluralisme dalam konfrensi Menurut Syahrūr, ayat al-Ahzāb(33): 59
internasional, antara lain MESA Conference masuk dalam klasifikasi ayat ta’limāt (pengajaran),
tahun 1998 di Chicago.41 bukan sebagai penetapan hukum (tasyri’).
Berkaitan dengan jilbab, Syahrūr menjelaskan
Pandangan Muhammad Syahrūr tentang bahwa terma jilbab berasal dari kata jā-lā-bā yang
Jilbab dalam bahasa Arab memiliki dua arti dasar, yaitu,
pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat
Menurut Syahrūr, seluruh risalah langit
ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang meliputi
menyinggung masalah perempuan ketika
dan menutupi sesuatu yang lain. Adapun kata al-
diturunk an. Risalah ter sebut berupaya
jalabah berarti sobekan kain yang digunakan untuk
mengembalikan kehormatan perempuan dan
menutupi luka sebelum bertambah parah dan
memposisikannya secara sejajar dengan laki-laki,
bernanah.45 Dari pengertian ini muncul kata al-
di samping mendesain peran masing-masing
jilbāb untuk perlindungan, yaitu pakaian luar yang
dalam keluarga dan masyarakat.42 Perempuan
dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam
mukminat diwajibkan untuk menutup bagian-
resmi, mantel dan lain-lain. Jadi menurutnya,
bagian tubuhnya yang apabila ditampakkan
seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk
akan menyebabkan adanya gangguan (al-ada).
dalam pengertian al-jalabib.
Perintah ini, menurut Syahrūr berasal dari surat al-
Adapun aurat menurut Syahrūr berasal dari
Ahzāb(33): 59. Gangguan (al-ada) terdiri dari dua
kata ‘aurāh yang artinya adalah segala sesuatu
macam, yaitu yang bersifat alami (al-tabi’Ĩ) dan sosial
yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan
(al-ijtimā’i).43 Gangguan alami yang terkait dengan
merasa malu.46 Rasa malu mempunyai tingkatan
lingkungan geografis, seperti suhu udara dan
yang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti
cuaca. Perempuan hendaknya berpakaian sesuai
adat kebiasaan setempat. Jadi, yang terkait dengan
dengan kondisi suhu dan cuaca yang ada di tempat
batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan
tinggalnya, sehingga tidak mengalami gangguan
perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi
alami pada dirinya. Sedangkan gangguan sosial
yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-
adalah gangguan yang berasal dari masyarakat,
juyūb) bersifat tetap dan mutlak. Terma inti tubuh
akibat pakaian luar yang digunakan oleh
(al-juyūb) didapatinya dari surat an-Nūr (24): 31.
perempuan. Karenanya, perempuan hendaknya
memakai pakaian luarnya dan beraktifitas sesuai Syahrūr mempunyai penafsiran yang berbeda
dengan kebiasaan yang berlaku di daerahnya, dengan para mufassir lainnya dalam memaknai
ayat tersebut. Menurut Syahrūr, ayat tersebut
adalah ayat muhkam yang termasuk dalam kategori
40
Tulisannya antara lain seperti “Islam and the 1995 Beijing
World Conference of Woman” dalam Kuwaiti Newpaper yang umm al-kitāb. Dengan analisis linguistiknya, ia
kemudian diterbitkan dalam buku Liberal Islam, the Sourcebook, menemukan tiga kata kunci dalam ayat tersebut,
ed. Charles Kuzman, “The Divine Text and Pluralism in Muslim yaitu ad-darb, al-khumūr dan al-juyūb. Ayat tersebut
Societies” dalam Muslim Politic Report (14 Agustus 1997), “Reading
the Religious Text A New Approach” serta “Applying the Concept menunjukkan perintah Allah kepada perempuan
of “Limits” to the Right of Muslim Woman” dalam http://www.
islam21.net/pages/keyissues/key2-10.htm. Akses 16 Agustus 2004.
41
Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstual, 132. Muhammad Syahrūr, Nahwā, 347.
44

42
Muhammad Syahrūr, Nāhwā Usūl jadĨdah li al-Fiqh al- 45
Muhammad Syahr ū r, Nahw ā , 372-373. Lihat juga
IslāmĨ, (Damaskus: al-Ahāly, 2000), 347. Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 614.
43
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 373. 46
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 370.

14
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur

untuk menutup bagian tubuh mereka yang pekerjaan, sedangkan istilah al-Idrāb ‘an at-ta’am
termasuk dalam kategori al-juyūb. Al-juyūb berasal berarti mengekang nafsu untuk makan.50
dari kata jā-yā-bā seperti dalam perkataan jabtū Dari pengertian tersebut, maka sebab-
al-qāmisa, artinya aku melubangi bagian saku baju sebab larangan dalam redaksi “wa la yadribnā bia
atau aku membuat saku pada baju. Al-juyūb adalah arjulihinna” dimaksudkan agar kaum perempuan
bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, tidak memperlihatkan bagian tubuhnya yang
bukan satu tingkatan karena pada dasarnya kata termasuk dalam kategori al-juyūb. Dalam hal ini
jā-yā-bā berasal dari kata jā-wā-bā yang memiliki arti Allah melarang perempuan untuk melakukan
dasar ”lubang yang terletak pada sesuatu” dan juga usaha atau pekerjaan (ad-darb) yang memperlihatkan
berarti pengembalian perkataan ”soal dan jawab”. sebagian atau seluruh daerah intimnya (al-juyūb),
Istilah al-juyūb pada tubuh perempuan memiliki seperti profesi striptease dan prostitusi. Dengan
dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah kata lain, diperbolehkan kaum perempuan untuk
lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua berkiprah dalam bidang-bidang profesi yang tidak
payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah termasuk dalam kategori ini.51
ketiak, kemaluan dan pantat.47 Semua bagian Dalam kaitannya dengan teori limit
inilah yang dikategorikan sebagai al-juyūb dan wajib (naz āriyyah al-hud ūd) yang dirumuskannya, ia
ditutupi oleh perempuan. menyatakan bahwa batas minimal (hadd al-andā)
Adapun kata al-khimār berasal dari kata khā- pakaian perempuan yang berlaku secara umum
mā-rā yang berarti tutup. Minuman keras disebut adalah menutup daerah inti bagian atas (al-juyūb
khamr karena ia menutupi akal. Istilah al-khimār al-‘ulwiyyah), yaitu daerah payudara dan bawah
bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah
kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi bawah (al-juyūb as-sufliyyah).52
kepala atau selainnya.48 Dengan kata lain, bahwa Adapun dalam kaitannya dengan ketentuan
al-khimār merupakan penutup untuk bagian tubuh aurat sebagaimana dalam hadis nabi, yaitu seluruh
perempuan yang termasuk dalam kategori al-juyūb. badan perempuan, kecuali wajah dan telapak
Sedangkan kata ad-darb mempunyai dua tangan, maka bisa dikatakan bahwa hadd al-andā
makna, pertama, berarti bepergian untuk tujuan adalah bagian yang termasuk dalam kategori
pekerjaan, perdagangan dan pekerjalan. Kedua, al-juyūb, baik al-juyub al-‘ulwiyyah atau al-juyūb as-
bermakna bentuk (as-sigah) dan pembentukan, sufliyyah. Sedangkan hadd al-a’lā-nya adalah daerah
pembuatan, menjadikan (as-siyagah).49 Menurut yang termasuk dalam “mā zahārā minhā” (wajah
Syahrūr, kata darb dipakai dalam berbagai dan kedua telapak tangan).53 Konsekwensinya,
kalimat seperti menyatakan tabiat atau karakter, perempuan yang menampakkan bagian al-juyūb
menyatakan macam suatu benda, seakan-akan berarti dia telah melanggar hudūd Allah. Begitu
ia membuat pemisah lain yang dianggap dapat juga perempuan yang menutup seluruh tubuhnya
menyerupainya. Kalimat daraba fulānun ‘ala yadĨ tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudūd
ful ānin berarti seseorang menghalangi orang Allah.
lain. Dari sini muncul istilah al-Idrāb al-‘amal
yang berarti mengekang diri untuk melakukan

47
Muhammad Syahr ūr, Nahw ā , 363. kalau ada yang
mempertanyakan:” bukankah mulut, hidung, kedua mata, dan
kedua telinga bisa juga di masukkan dalam kategori al-juyub dalam 50
Lebih lanjut mengenai analisa linguistik Syahrūr tentang
pengertian tersebut”. Syahrūr menjawab: ”benar demikian adanya, lafal ad-darb. Lihat, ibid.
tetapi perlu di garis bawahi bahwa mulut, hidung, kedua mata 51
Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 613.
dan telinga adalah al-juyūb al-zahirāh (yang—biasa—terlihat) bukan 52
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 378. Dalam hal ini, Syahrūr
al-khāfiyyah (yang—harus—ditutupi). Apalagi bagian-bagian tersebut mengklasifikasikan masalah pakaian perempuan pada fungsi range
terletak di wajah yang merupakan identitas pengenal manusia. kedua dari teori batas yaitu hadd al-andā.
48
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 363. 53
Lihat analisa Aunul dalam Aunul ‘abied Shah (ed.), Islam
49
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 371. Garda Depan, 246.

15
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014

Formulasi Konsep Jilbab dalam Konteks Hal ini dikarenakan pemahaman sebagian
Indonesia kalangan di Indonesia yang mengartikan jilbab
Jilbab merupakan fenomena yang kaya makna dan sebagai penutup kepala an sich.
penuh nuansa. Ia berfungsi sebagai bahasa yang Masyarakat Indonesia pada umumnya
menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, memaknai jilbab sebagai penutup kepala atau
sebuah praktek yang telah hadir dalam sejarah dalam budaya Arab dinamakan khimār. Bila makna
zaman. Menurut Guindi, jilbab merupakan penutup kepala yang dimaksud sebagaimana
simbol fundamental yang bemakna ideologis bagi pemahaman masyarakat pada umumnya,
umat Kristen, khusus bagi Katolik merupakan sebenarnya hal tersebut sudah merupakan salah
bagian pandangan kewanitaan dan kesalehan, satu ciri budaya bangsa Indonesia. Akan tetapi
dan bagi masyarakat Islam merupakan alat dalam potret perempuan masa lalu penutup
resistensi.54 Adapun dalam pergerakan Islam, jilbab kepala di Indonesia dinamakan kerudung atau
mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai simbol kudung. Kerudung banyak digunakan oleh para
identitas dan resistensi. perempuan, khususnya dalam kalangan pesantren
Pada tahun 1980-an, di Indonesia juga dan kaum ibu yang berdomisili di daerah
muncul kasus pelarangan penggunaan jilbab pedesaan.58 Pemaknaan jilbab sebagai penutup
di sekolah-sekolah umum.55 Beberapa instansi kepala saja, sangatlah tidak tepat. Karena ‘jilbab’
pemerintah, perusahaan dan sejenisnya juga secara asal merupakan atribut untuk menutupi
menolak mempekerjakan perempuan berjilbab. aurat perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai
Akan tetapi, kondisi ini berbalik di tahun 1990- langkah preventif terhadap lawan jenis, khususnya
an, pelarangan berjilbab siswi sekolah-sekolah berkaitan dengan daerah-daerah tubuh yang bisa
negeri dicabut dan diberlakukan surat keputusan mengakibatkan munculnya hasrat seksual.
diperbolehkannya pelajar putri belajar tanpa Dalam penggunaannya, ‘jilbab’ seharusnya
meninggalkan jilbabnya. Setelah itu, jilbab menjadi disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya
semacam tren di masyarakat dan merambah Indonesia.59 Setiap daerah di Indonesia mempunyai
seluruh kalangan di Indonesia, bukan hanya dari
kalangan agamis saja, jilbab banyak digunakan oleh krisis identitas, dalam arti tidak berani meninggalkan identitas
kalangan umum bahkan para artis.56 Walaupun diri sebagai muslimah, tetapi enggan disebut kampungan. Lihat,
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,(Yogyakarta: LkiS,
demikian, banyak pula yang menggunakan jilbab 1999), 81. Walaupun asumsi ini tidak sepenuhnya benar, namun
(kerudung) tetapi memakai pakaian yang masih fenomena ini juga menunjukkan adanya persepsi yang mengartikan
jilbab hanya sebagai kerudung an sich, di samping itu fenomena
transparan dan menggambarkan bentuk tubuh.57
ini juga berkaitan adanya institusi-institusi yang mewajibkan
penggunaan jilbab. Sedangkan tidak semua perempuan suka
54
Fadwa El Guindi, Jilbab, 8-9. berjilbab, sehingga penggunaannya hanya sebatas formalitas belaka
55
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan tidak mengindahkan aturan menutup aurat.
dan Kebudayaan (kini Depdiknas) yang melarang pelajar putri 58
Pada masa dahulu, penggunaan kerudung merupakan
mengenakan jilbab di sekolah-sekolah umum. Ketika itu, jabatan salah satu bentuk simbol untuk membedakan kaum santri dan
menterinya dipegang oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Baru kaum lainnya (abangan atau non-muslim).
setelah kepemimpinan Prof. Dr. Fuad Hasan, kebijakan tersebut 59
Adalah suatu fenomena baru dalam bangsa Indonesia,
dicabut, dan dibebaskan dalam berpakaian sesuai dengan ajaran yakni fenomena untuk cenderung mengadopsi kebudayaan Arab
agama masing-masing. yang mereka anggap sebagai representasi kehidupan yang Islami
56
Menurut Umar, kadar proteksi dan ideologi di balik (seperti nabi). Fenomena (Arabisasi) ini tidak hanya mengakomodir
fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Menurutnya, ‘jilbab’ model Arab saja, tetapi juga hal-hal seperti jubah, celana
fenomena yang menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan ‘cungklang’, jenggot dan lain sebagainya. Bahkan dalam hal
privacy sebagai akumulai pembengkakan kualitas pendidikan agama komunikasi mereka sering mengadopsi kosakata Arab, seperti
dan dakwah dalam masyarakat. Lagi pula, salah satu ciri budaya ‘afwān, akhi, akhwat dan lain-lain. Lebih lanjut mengenai fenomena
bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? lihat, Arabisasi ini, lihat, Abdul Mun’im DZ, “Mempertahankan
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi Jilbab”. Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul Afkar. No. 14, tahun
57
Penggunaan jilbab seperti ini biasanya dinamakan “jilbab 2003, 2-8. Menurut penyusun, hal ini sangat menarik untuk diteliti,
gaul” atau dalam Istilah Asmawi disebut sebagai “jilbab trendi” walaupun disisi lain penyusun kurang sependapat dengan mereka,
atau “jilbab sensual”. Lihat, Muhammad Asmawi, Islam Sensual, karena setiap daerah mempunyai karakter budaya masing-masing
Membedah Fenomena Jilbab Trendi, (Yogyakarta: Darussalam, 2003). (aspek lokalitas), begitu juga Arab ataupun Indonesia. Adapun
Menurut Wahid, bentuk “jilbab gaul” mengindikasikan tanda syari’at Islamlah (bukan budaya Arab) yang menjadi pondasi dalam

16
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur

kebiasaan yang berbeda dalam berpakaian. Di Simpulan


samping itu, mereka juga mempunyai pakaian Syahrūr merupakan tipikal yang unik. Dengan
tradisional tersendiri, seperti kebaya yang banyak pendekatan hermeneutiknya yang menekankan
digunakan oleh masyarakat Jawa dan baju kurung pada aspek fiqh al-lug ā h ia merekonstruksi
yang ada di Minang60. Kalau dilihat, karakter paradigma pemahaman terhadap al-Qur’an. Di
pakaian tersebut hampir mirip dengan ‘jilbab’ samping itu Syahrūr menawarkan paradigma
gaya Arab. Bedanya hanya berkaitan dengan baru dalam istinbat hukum yaitu dengan
masalah penutup kepala (khimār). Hal ini dapat analisis linguistik-semantik dan teori limitnya
dimengerti, berkaitan dengan karakter masyarakat (theory of limits). Adapun kaitannya dalam jilbab
Indonesia yang memandang daerah kepala sebagai perempuan, Syahrūr berpendapat bahwa jilbab
bagian yang ‘biasa nampak’. Hal tersebut tentunya merupakan persoalan aib dan malu secara adat,
sangat berlainan dengan keadaan di daerah lain, bukan persoalan halal dan haram. Menurutnya,
khusunya Jazirah Arab. Perbedaan inilah yang perempuan haruslah berpakaian sesuai dengan
seharusnya menjadikan dasar untuk merumuskan kondisi, situasi dan kebiasaan setempat, supaya dia
hukum, hal ini sesuai dengan kaidah, “suatu terhindar dari gangguan baik gangguan alamiah
hukum terkait dengan ‘ilāt, dimana ada ‘ilāt disitu ataupun sosial. Adapun batas tetap yang tidak
ada hukum. Jika ‘ilāt berubah maka hukum pun boleh kelihatan dari tubuh perempuan adalah
berubah”. yang masuk dalam kategori al-juy ū b (daerah
Dari konteks inilah, tidak ada salahnya antara payudara, bawah payudara, bawah ketiak,
bila kita merujuk pada pendapat Syahrūr yang kemaluan dan pantat). Adapun daerah lainnya
menganjurkan untuk menutup bagian tubuh boleh terbuka, disesuaikan dengan kebiasaan
perempuan sebagaimana kondisi, situasi dan setempat.
budaya masyarakat setempat, kecuali bagian yang Dalam konteks masyarakat kontemporer,
termasuk dalam kategori al-juyūb (bagian diantara tawaran konsep jilbab al-Qaradāwi relevan untuk
payudara, bagian di bawah payudara, bawah ketiak, diakomodir dan diaplikasikan, khususnya di
kemaluan dan pantat), yang merupakan daerah daerah-daerah yang mana bila menampakkan
yang wajib ditutup. Berarti, dalam kaitannya bagian tubuh perempuan selain wajah dan telapak
dengan masalah penutup kepala, maka dapat tidak tangan dapat menimbulkan gangguan dari pihak
diberlakukan sebagaimana kebiasaan di Indonesia. lain. Adapun konsep jilbab perempuan Syahrūr
Jadi dalam hal ini, sebenarnya karakter juga relevan untuk diterapkan di masa sekarang,
pakaian yang digunakan oleh masyarakat Indonesia walaupun bila berkaitan dengan konsep hadd
seperti kebaya ataupun baju kurung, sudah masuk al-adnā-nya sangatlah berbahaya, namun prinsip
dalam kategori menutup aurat dan sesuai dengan ‘lokalitas’ dan konsep jilbab Syahrūr yang fleksibel
nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an. merupakan sendi penting yang dapat diakomodir,
Selain itu, penggunaan ‘jilbab’ model Indonesia berkaitan dengan perubahan situasi dan juga
juga tidak merusak maqāsid asy-syari’ah ataupun perbedaan adat dan kebiasaan dalam komunitas
melanggar konsep maslahat. Bahkan kalau kita masyarakat.
elaborasi lebih lanjut hal tersebut merupakan
intsrumen penting dalam melestarikan identitas
tradisi masyarakat.

proses filterisasinya sebagaimana sifatnya yang “sālih fi kull az-zamān


wa al-makān”.
60
Kedua model pakaian tersebut (untuk masa sekarang)
sangat sesuai dengan budaya bangsa dan iklim ketimuran. Adapun
pakaian adat lainya dapat diakomodir, selama masih selaras dengan
kedua model tersebut dan konsep yang dijabarkan di atas.

17
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014

Daftar Pustaka Rusyd, Ibn. Bidayāh al-MujtahĨd wa Nihayāh al-


MuqtasĨd. Beirut: Dar al-Fikr, 1992.
Ahmed, Laela. Woman and Gender in Islam.
Shah, Aunul ‘Abied (ed.). Islam Garda Depan
London: Yale University, 1992.
Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung:
Asmawi, Muhammad. Islam Sensual, Membedah Mizan, 2001.
Fenomena Jilbab Trendi. Yogyakarta: Darussalam,
Shihab, Quraish. Wawasan al-Qur’an, Tafsir
2003.
Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Baidan, Nashruddin. Tafsir bi al-Ra’y Ĩ Upaya Mizan, 2000.
Menggali Konsep Wanita dalam al-Qur’an.
Stowasser, Barbara Freyer. Woman in the Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990.
Tradition and Intepretation. Oxford: Oxford
Christmann, Andreas, “Bentuk Teks (Wahyu) University Press, 1994.
a d a l a h Tet a p, tet a pi K a n d u n g a n nya
Syāfi’ī, Muhammad ibn Idrīs asy-. al-Umm, Beirut:
(selalu) Berubah”: Tekstualitas al-Qur’an
Dar al-Fikr, t.t.
dan Penafsirannya dalam buku al-Kitab wa
Syahr ū r, Muhammad. Al-Kit ā b wa al-Qur’ ā n:
al-Qur’an karya Muhammad Shahroūr”
Qirā’ah Mu’āsirah. Damaskus: Al-Ahaly, 1990.
(pengantar) dalam Muhammad Shahrūr,
Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syahrūr, Muhammad. Nahwā Usūl jadĨdah li al-Fiqh
Syamsuddin dan Burhanudin, Yogyakarta: al-IslāmĨ. Damaskus: al-Ahāly, 2000.
elSAQ Press, 2003. Syamsuddin, Sahiron. “Metode Intratekstual
Engineer, Asghar Ali. Matinya Perempuan, Muhammad Syahr ūr dalam Penafsiran al-
Transformasi Al-Qur’an, Perempuan dan Qur’an” dalam A Mustaqim dan Syahiron
Masyarakat Modern, terj. Akmad Affandi. Syamsuddin (ed.). Studi al-Qur’an Kontemporer,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Wacana Baru berbagai Metodologi Tafsir.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002.
Guindi, Fadwa El. Jilbab, Antara Kesalehan,
Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta: Serambi, Syamsuddin, Syahiron. book review “al-Kitāb wa
2003. al-Qur’ān” dalam Jurnal al-Jami’ah. No. 62/
XII/1998.
Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories;
An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Taha, Mahmud Muhammad. The Second Message
Cambridge University Press, 1997. of Islam. Abdullahi Ahmed an-Naim (ed.).
Syracuse: Syracuse University Press, 1987.
Mernissi, Fatima. Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Radianti. Bandung: Pustaka, 1994. Umar, Nasaruddin. “Antropologi Jilbab” dalam
Jurnal Ulumul Qur’an. No.5 Vol. VI,Tahun
Muhammad, Husain. Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai
1996.
atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta:
LKiS, 2002. Umar, Nasaruddin. “Fenomenologi jilbab”.http://
www.kompas.com/kompas-cetak/0211/25/
Mun’im DZ, A bdul. “Memper t ahank an
dikbud/feno36.htm, akses 20 Agustus 2004.
Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul
Afkar. No. 14 2003. Umar, Nasaruddin. “Perspektif Jender dalam
Islam”, http://media.isnet.org/ islam/
Munawwir, Ahmad Warson. al-MunawwĨr Kamus
Paramadina/Jurnal/Jender4. html #Taboo,
Arab Indonesia, cet. ke-14. Surabaya: Pustaka
akses 10 Oktober 2004.
Progressif, 1997.
Wahid, Abdurrahman. Tuhan Tidak Perlu Dibela,
Mustaqim, Abdullah. “Feminisme dalam
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Pemikiran Riffat Hassan” dalam Jurnal al-
Jami’ah, No. 63/VI/1999. Yasū’i, Louis Ma’lūf al-. al-MunjĨd fi al-Lugāh,
Beirut: al-Katulikiyyah, 1965.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. ke-3 Jakarta: Zawi, Al-Tahir Ahmad az-. TartĨb al-Qamūs al-MuhĨt,
Balai Pustaka, 1994. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

18

Anda mungkin juga menyukai