Fikria Najitama
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen
Email: fikria_elhamidie@yahoo.com
Abstract
This article will discuss the thoughts of Muhammad Syahrur on the hijab. For Muhammad Syahrur, the
veil is a matter of shame and embarrassment in custom, not a question of halal and haram. In his
view, women should dress in accordance with the conditions, situations and local customs, so he
avoided considering interference from either natural or social factors. This view is certainly different
from that of the majority of commentators (mufassir) who think the veil is part of God’s commands
associated with the issues of halal and haram. This study offers the thought of Muhammad Syahrur
as an alternative in relation to the concept of the veil in the context of Indonesian society.
Kata Kunci: Hijab, Aurat, Muhammad Syahrur, Indonesia
spesifik mengenai aurat. Hal tersebutlah yang Bertolak dari kontroversi tentang jilbab
kemudian melahirkan berbagai intepretasi yang tersebut, menarik kiranya untuk mengkaji
beragam mengenai bagian-bagian yang termasuk pemikiran tentang konsep jilbab menurut
dalam kategori aurat. Menurut Imam Abū Muhammad Syahrūr. Dia merupakan seorang
Hanīfah, bagian muka, kedua telapak tangan pemikir liberalis religius8 dari Syiria yang sangat
dan kedua telapak kaki tidak termasuk kategori kontroversial. 9 Syahrūr memandang bahwa
yang harus ditutupi. Abū Hanīfah beralasan jilbab lebih merupakan persoalan aib dan malu
bahwa kedua telapak kaki bukan termasuk secara adat daripada persoalan haram dan
aurat karena dipandang lebih menyulitkan halal. 10 Dengan analisis linguistik dan teori
daripada kedua telapak tangan, khususnya bagi limitnya,11 ia mengelaborasi persoalan tentang
perempuan-perempuan miskin di pedesaan yang jilbab. Pandangan tersebut tentunya berbeda
(saat itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk dengan mainstream makna jilbab yang selama ini
memenuhi kebutuhan mereka.4Imam asy-Syāfi’i dipahami. Didasarkan atas hal tersebut, tulisan ini
berpendapat bahwa perempuan wajib menutup berusaha mengelaborasi pemikiran Syahrūr dan
seluruh tubuhnya, kecuali kedua telapak tangan memformulasikannya dalam konteks masyarakat
dan muka, yang menurutnya tidak masuk dalam Indonesia.
kategori aurat.5 Senada dengan imam asy-Syāfi’i,
Imam Mālik juga berpendapat bahwa muka dan
Pengertian dan Sejarah Jilbab
kedua telapak tangan bukan termasuk kategori
aurat, oleh karena itu boleh untuk ditampakkan.6 Secara etimologis, jilbab berasal dari akar kata
Adapun mazhab Hambali berpendapat, wanita jālābā, yang berarti membawa atau mendatangkan.12
merdeka adalah seluruh anggota tubuh tanpa Jilbab secara lugawi juga bermakna pakaian
terkecuali, hanya untuk shalat dan kepentingan (baju kurung yang longgar).13 Bagi masyarakat
tertentu diperbolehkan membuka wajah dan pada umumnya, jilbab sering diidentikkan
kedua telapak tangan, tetapi sebagian ulama dengan pakaian yang dikenakan oleh perempuan
Hambali tetap mewajibkan menutup seluruh sebagai identitas keislaman dirinya. Louis Ma’luf
tubuh perempuan termasuk dalam shalat.7 mendefinisikan jilbab sebagai pakaian atau
Dari hal ini kemudian memunculkan dua
pendapat yang sering muncul dalam kajian klasik
mengenai jilbab perempuan. Pertama adalah 8
Klasifikasi ini merujuk pada Wael B.Hallaq. Lihat, A
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh tubuh History of Islamic Legal Theories; An Introduction to Sunni Usul al-Fiqh,
perempuan merupakan aurat dan wajib untuk (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 231-262.
menutup seluruh anggota tubuhnya dengan jilbab.
9
Untuk melihat betapa kontroversialnya pemikiran
Muhammad Syahrūr, lihat. Sahiron Syamsuddin, “Metode
Kedua, bahwa seluruh tubuh perempuan adalah Intratekstualitas Muhammad Shahrūr Dalam Penafsiran al-Qur’an”
aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan. dalam A Mustaqim dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Studi al-Qur’an
Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, cet. ke-1
Pendapat kedualah yang dipegang oleh mayoritas
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), 131-134.
ulama, yang menjelaskan bahwa muka dan kedua 10
Muhammad Syahr ūr, al-Kit āb wa al-Qur’ ān: Qir ā’ah
telapak tangan bukan merupakan bagian yang Mu’āsirah, (Damaskus: Al-Ahāly, 1990), 612.
ditutupi dengan jilbab. 11
Teori yang sebenarnya yang dipaparkan oleh Syahrūr
adalah dengan nama hudūd at-tasyri’ wa al-ibādah atau nazāriyyah
al-hudūd yang direpresentasikan dengan had al-adnā (batas
minimal) dan had al-a’lā (batas maksimal). Adapun nama teori
4
Ibn Rusyd, Bidayāh al-MujtahĨd wa Nihayāh al-MuqtasĨd limit (the theory of limits) sebenarnya belum baku sebagai nama
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 83. teori yang dikembangkan oleh Syahrūr tersebut. Namun banyak
5
Muhammad ibn Idrīs asy-Syāfi’ī, al-Umm (Beirut: Dar al- kalangan yang telah menggunakan nama tersebut, seperti Wael B.
Fikr, t.t.), 89. Hallaq, A History of Islamic…, 248.
6
Ibn Rusyd, Bidayāh al-MujtahĨd, I: 165. 12
Ahmad Warson Munawwir, al-MunawwĨr Kamus Arab
7
Lihat, Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 19.
atas Wacana Agama dan Gender, cet. ke-2 (Yogyakarta: LKiS, 2002), 13
Al-Tahir Ahmad az-Zawi, TartĨb al-Qamūs al-MuhĨt, (Beirut:
54. Dar al-Fikr, t.t.), 510.
10
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur
kain yang lapang dan luas. 14 Menurut Ibnu baru untuk membedakan perempuan merdeka
Abbas dan Qatadah, jilbab ialah “pakaian yang dan hamba. Dengan merujuk pada Lisān al-‘Arāb,
menutup pelipis dan hidung meskipun kedua ia mengatakan bahwa jilbab merupakan konsep
mata pemakainya terlihat namun tetap menutup yang samar, karena kata tersebut bisa menunjuk
dada dan bagian mukanya”.15 Quraish Shihab, pada gamis yang sederhana hingga jubah. Salah
seorang mufassir modern Indonesia mengartikan satu definisi dalam kamus tersebut adalah “
jilbab sebagai baju kurung yang longgar dilengkapi pakaian yang sangat lebar yang digunakan oleh
kerudung penutup kepala.16 perempuan”, sementara dalam definisi yang
Sedangkan dalam bahasa Inggris, jilbab lain mengartikan jilbab sebagai “pakaian yang
sering diterjemahkan dengan kata veil, sebagai digunakan wanita untuk menutup kepala dan
kata benda dari kata Latin vela, bentuk jamak dada mereka”.21
dari velum. Makna leksikal yang terkandung dalam Jilbab merupakan sebuah unsur budaya
kata ini adalah penutup dalam arti menutupi yang sudah sangat tua. Menurut Nasaruddin Umar,
atau menyembunyikan atau menyamarkan. 17 apabila yang dimaksud jilbab adalah penutup
Dengan menggunakan makna ini, cakupan kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah
veil dalam menutupi bagian tubuh meliputi menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM),
tiga tipologis, yaitu penutup kepala, penutup kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi
muka dan penutup badan.18 Meskipun banyak (2.000 SM) dan Code Assyria (1.500 SM).22 Pada
pendapat yang berkenaan dengan jilbab, namun tahun 500 sebelum masehi, jilbab sudah menjadi
semua pendapat itu mengacu pada suatu bentuk pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan
pakaian yang digunakan untuk menutupi tubuh di kerajaan Persi.23 Menurut Navabakhsh, jilbab
perempuan.19 Keanekaragaman pengertian jilbab (cadar) adalah bagian tradisi yang ditemukan di
juga menunjukkan tidak ada padanan kata yang lingkungan bangsawan kelas menengah atas di
tepat untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Syiria di kalangan orang-orang Yahudi dan Kristen
Indonesia.20 serta orang-orang Sasanid.24
Fatima Mernissi berpendapat bahwa jilbab Ketentuan penggunaan jilbab juga
bukanlah jenis pakaian baru, melainkan cara sudah dikenal di beberapa kota tua seperti
Mesopotamia, Babylonia dan Assyria. Di Asyria
14
Louis Ma’lūf al-Yasū’i, al-MunjĨd fi al-Lugāh (Beirut: al- misalnya, menurut Maxime Rodinson seorang
Katulikiyyah, 1965), 53.
15
Nashruddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yĨ Upaya Menggali Konsep
Islamolog Prancis, terdapat larangan berjilbab
Wanita dalam al-Qur’an, cet. ke-1,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bagi pelacur.25 Sedangkan perempuan terhormat
1990), 118. harus menggunakan jilbab di ruang publik.
16
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas
Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11, (Bandung: Mizan, 2000), 172.
Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol
Pengertian ini hampir sama dengan pengertian dalam Kamus kelas menengah atas masyarakat itu.
Besar Indonesia yang mengartikan jilbab sebagai baju kurung yang
longgar, yang dilengkapi kerudung yang menutupi kepala sebagian
muka dan dada wanita. Lihat, Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-3 (Jakarta: Balai 21
Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar
Pustaka, 1994), 415. Radianti, (Bandung: Pustaka, 1994), 229-230. Pendapat Mernissi
17
lihat Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan mengisyaratkan bahwa tidak adanya definisi yang jelas mengenai
dan Perlawanan, terj. Mujiburahman, (Jakarta: Serambi, 2003), 29. jilbab perempuan.
18
Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, 35 22
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi jilbab”.http://www.
19
Walaupun pengertian jilbab pada umumnya senantiasa kompas.com/kompas-cetak/0211/25/dikbud/feno36.htm, akses
mengacu pada perempuan, tapi pada perkembangannya muncul 20 Agustus 2004.
istilah jilbab maskulinitas. Lihat, ibid, 194-209. 23
Nasaruddin Umar, “Antropologi Jilbab” dalam Jurnal
20
Di Indonesia, jilbab seringkali diartikan sebagai kerudung Ulumul Qur’an. No.5 Vol. VI,Tahun 1996, hlm, 39.
(kudung). Pengistilahan ini menurut penyusun tidaklah tepat. 24
Laela Ahmed, Woman and Gender in Islam, (London: Yale
Mengingat kerudung merupakan busana untuk menutup kepala University, 1992), 5.
atau dikenal dengan khimār. Dalam pandangan penyusun, jilbab 25
Lihat pengantar Andree Feillanrd dalam Husein
perempuan merupakan pakaian yang digunakan oleh perempuan Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
sebagai instrumen untuk menutup aurat. Gender, cet ke-2 (Yogyakarta: LkiS, 2002), xix.
11
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014
12
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur
13
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014
Selain tulisan yang terkemas dalam buku, sehingga tidak menjadi sasaran celaan dan
Syahrūr juga aktif menulis artikel yang dimuat gangguan dari orang-orang. Untuk konteks masa
berbagai majalah dan jurnal.40 Di samping itu kini, pemberlakuan ayat tersebut dapat berupa tata
ia juga aktif mempresentasikan pokok-pokok cara bepergiannya perempuan yang didasarkan
pikirannya mengenai al-Qur’an kaitannya dengan pada kebiasaan setempat, dengan catatan dapat
masalah-masalah sosial dan politik, seperti hak- menghindarkannya dari gangguan sosial.44
hak perempuan, pluralisme dalam konfrensi Menurut Syahrūr, ayat al-Ahzāb(33): 59
internasional, antara lain MESA Conference masuk dalam klasifikasi ayat ta’limāt (pengajaran),
tahun 1998 di Chicago.41 bukan sebagai penetapan hukum (tasyri’).
Berkaitan dengan jilbab, Syahrūr menjelaskan
Pandangan Muhammad Syahrūr tentang bahwa terma jilbab berasal dari kata jā-lā-bā yang
Jilbab dalam bahasa Arab memiliki dua arti dasar, yaitu,
pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat
Menurut Syahrūr, seluruh risalah langit
ke tempat yang lain. Kedua, sesuatu yang meliputi
menyinggung masalah perempuan ketika
dan menutupi sesuatu yang lain. Adapun kata al-
diturunk an. Risalah ter sebut berupaya
jalabah berarti sobekan kain yang digunakan untuk
mengembalikan kehormatan perempuan dan
menutupi luka sebelum bertambah parah dan
memposisikannya secara sejajar dengan laki-laki,
bernanah.45 Dari pengertian ini muncul kata al-
di samping mendesain peran masing-masing
jilbāb untuk perlindungan, yaitu pakaian luar yang
dalam keluarga dan masyarakat.42 Perempuan
dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam
mukminat diwajibkan untuk menutup bagian-
resmi, mantel dan lain-lain. Jadi menurutnya,
bagian tubuhnya yang apabila ditampakkan
seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk
akan menyebabkan adanya gangguan (al-ada).
dalam pengertian al-jalabib.
Perintah ini, menurut Syahrūr berasal dari surat al-
Adapun aurat menurut Syahrūr berasal dari
Ahzāb(33): 59. Gangguan (al-ada) terdiri dari dua
kata ‘aurāh yang artinya adalah segala sesuatu
macam, yaitu yang bersifat alami (al-tabi’Ĩ) dan sosial
yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan
(al-ijtimā’i).43 Gangguan alami yang terkait dengan
merasa malu.46 Rasa malu mempunyai tingkatan
lingkungan geografis, seperti suhu udara dan
yang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti
cuaca. Perempuan hendaknya berpakaian sesuai
adat kebiasaan setempat. Jadi, yang terkait dengan
dengan kondisi suhu dan cuaca yang ada di tempat
batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan
tinggalnya, sehingga tidak mengalami gangguan
perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi
alami pada dirinya. Sedangkan gangguan sosial
yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-
adalah gangguan yang berasal dari masyarakat,
juyūb) bersifat tetap dan mutlak. Terma inti tubuh
akibat pakaian luar yang digunakan oleh
(al-juyūb) didapatinya dari surat an-Nūr (24): 31.
perempuan. Karenanya, perempuan hendaknya
memakai pakaian luarnya dan beraktifitas sesuai Syahrūr mempunyai penafsiran yang berbeda
dengan kebiasaan yang berlaku di daerahnya, dengan para mufassir lainnya dalam memaknai
ayat tersebut. Menurut Syahrūr, ayat tersebut
adalah ayat muhkam yang termasuk dalam kategori
40
Tulisannya antara lain seperti “Islam and the 1995 Beijing
World Conference of Woman” dalam Kuwaiti Newpaper yang umm al-kitāb. Dengan analisis linguistiknya, ia
kemudian diterbitkan dalam buku Liberal Islam, the Sourcebook, menemukan tiga kata kunci dalam ayat tersebut,
ed. Charles Kuzman, “The Divine Text and Pluralism in Muslim yaitu ad-darb, al-khumūr dan al-juyūb. Ayat tersebut
Societies” dalam Muslim Politic Report (14 Agustus 1997), “Reading
the Religious Text A New Approach” serta “Applying the Concept menunjukkan perintah Allah kepada perempuan
of “Limits” to the Right of Muslim Woman” dalam http://www.
islam21.net/pages/keyissues/key2-10.htm. Akses 16 Agustus 2004.
41
Sahiron Syamsuddin, “Metode Intratekstual, 132. Muhammad Syahrūr, Nahwā, 347.
44
42
Muhammad Syahrūr, Nāhwā Usūl jadĨdah li al-Fiqh al- 45
Muhammad Syahr ū r, Nahw ā , 372-373. Lihat juga
IslāmĨ, (Damaskus: al-Ahāly, 2000), 347. Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 614.
43
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 373. 46
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 370.
14
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur
untuk menutup bagian tubuh mereka yang pekerjaan, sedangkan istilah al-Idrāb ‘an at-ta’am
termasuk dalam kategori al-juyūb. Al-juyūb berasal berarti mengekang nafsu untuk makan.50
dari kata jā-yā-bā seperti dalam perkataan jabtū Dari pengertian tersebut, maka sebab-
al-qāmisa, artinya aku melubangi bagian saku baju sebab larangan dalam redaksi “wa la yadribnā bia
atau aku membuat saku pada baju. Al-juyūb adalah arjulihinna” dimaksudkan agar kaum perempuan
bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, tidak memperlihatkan bagian tubuhnya yang
bukan satu tingkatan karena pada dasarnya kata termasuk dalam kategori al-juyūb. Dalam hal ini
jā-yā-bā berasal dari kata jā-wā-bā yang memiliki arti Allah melarang perempuan untuk melakukan
dasar ”lubang yang terletak pada sesuatu” dan juga usaha atau pekerjaan (ad-darb) yang memperlihatkan
berarti pengembalian perkataan ”soal dan jawab”. sebagian atau seluruh daerah intimnya (al-juyūb),
Istilah al-juyūb pada tubuh perempuan memiliki seperti profesi striptease dan prostitusi. Dengan
dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah kata lain, diperbolehkan kaum perempuan untuk
lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua berkiprah dalam bidang-bidang profesi yang tidak
payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah termasuk dalam kategori ini.51
ketiak, kemaluan dan pantat.47 Semua bagian Dalam kaitannya dengan teori limit
inilah yang dikategorikan sebagai al-juyūb dan wajib (naz āriyyah al-hud ūd) yang dirumuskannya, ia
ditutupi oleh perempuan. menyatakan bahwa batas minimal (hadd al-andā)
Adapun kata al-khimār berasal dari kata khā- pakaian perempuan yang berlaku secara umum
mā-rā yang berarti tutup. Minuman keras disebut adalah menutup daerah inti bagian atas (al-juyūb
khamr karena ia menutupi akal. Istilah al-khimār al-‘ulwiyyah), yaitu daerah payudara dan bawah
bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah
kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi bawah (al-juyūb as-sufliyyah).52
kepala atau selainnya.48 Dengan kata lain, bahwa Adapun dalam kaitannya dengan ketentuan
al-khimār merupakan penutup untuk bagian tubuh aurat sebagaimana dalam hadis nabi, yaitu seluruh
perempuan yang termasuk dalam kategori al-juyūb. badan perempuan, kecuali wajah dan telapak
Sedangkan kata ad-darb mempunyai dua tangan, maka bisa dikatakan bahwa hadd al-andā
makna, pertama, berarti bepergian untuk tujuan adalah bagian yang termasuk dalam kategori
pekerjaan, perdagangan dan pekerjalan. Kedua, al-juyūb, baik al-juyub al-‘ulwiyyah atau al-juyūb as-
bermakna bentuk (as-sigah) dan pembentukan, sufliyyah. Sedangkan hadd al-a’lā-nya adalah daerah
pembuatan, menjadikan (as-siyagah).49 Menurut yang termasuk dalam “mā zahārā minhā” (wajah
Syahrūr, kata darb dipakai dalam berbagai dan kedua telapak tangan).53 Konsekwensinya,
kalimat seperti menyatakan tabiat atau karakter, perempuan yang menampakkan bagian al-juyūb
menyatakan macam suatu benda, seakan-akan berarti dia telah melanggar hudūd Allah. Begitu
ia membuat pemisah lain yang dianggap dapat juga perempuan yang menutup seluruh tubuhnya
menyerupainya. Kalimat daraba fulānun ‘ala yadĨ tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudūd
ful ānin berarti seseorang menghalangi orang Allah.
lain. Dari sini muncul istilah al-Idrāb al-‘amal
yang berarti mengekang diri untuk melakukan
47
Muhammad Syahr ūr, Nahw ā , 363. kalau ada yang
mempertanyakan:” bukankah mulut, hidung, kedua mata, dan
kedua telinga bisa juga di masukkan dalam kategori al-juyub dalam 50
Lebih lanjut mengenai analisa linguistik Syahrūr tentang
pengertian tersebut”. Syahrūr menjawab: ”benar demikian adanya, lafal ad-darb. Lihat, ibid.
tetapi perlu di garis bawahi bahwa mulut, hidung, kedua mata 51
Muhammad Syahrūr, al-Kitāb, 613.
dan telinga adalah al-juyūb al-zahirāh (yang—biasa—terlihat) bukan 52
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 378. Dalam hal ini, Syahrūr
al-khāfiyyah (yang—harus—ditutupi). Apalagi bagian-bagian tersebut mengklasifikasikan masalah pakaian perempuan pada fungsi range
terletak di wajah yang merupakan identitas pengenal manusia. kedua dari teori batas yaitu hadd al-andā.
48
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 363. 53
Lihat analisa Aunul dalam Aunul ‘abied Shah (ed.), Islam
49
Muhammad Syahrūr, Nahwā, 371. Garda Depan, 246.
15
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014
Formulasi Konsep Jilbab dalam Konteks Hal ini dikarenakan pemahaman sebagian
Indonesia kalangan di Indonesia yang mengartikan jilbab
Jilbab merupakan fenomena yang kaya makna dan sebagai penutup kepala an sich.
penuh nuansa. Ia berfungsi sebagai bahasa yang Masyarakat Indonesia pada umumnya
menyampaikan pesan-pesan sosial dan budaya, memaknai jilbab sebagai penutup kepala atau
sebuah praktek yang telah hadir dalam sejarah dalam budaya Arab dinamakan khimār. Bila makna
zaman. Menurut Guindi, jilbab merupakan penutup kepala yang dimaksud sebagaimana
simbol fundamental yang bemakna ideologis bagi pemahaman masyarakat pada umumnya,
umat Kristen, khusus bagi Katolik merupakan sebenarnya hal tersebut sudah merupakan salah
bagian pandangan kewanitaan dan kesalehan, satu ciri budaya bangsa Indonesia. Akan tetapi
dan bagi masyarakat Islam merupakan alat dalam potret perempuan masa lalu penutup
resistensi.54 Adapun dalam pergerakan Islam, jilbab kepala di Indonesia dinamakan kerudung atau
mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai simbol kudung. Kerudung banyak digunakan oleh para
identitas dan resistensi. perempuan, khususnya dalam kalangan pesantren
Pada tahun 1980-an, di Indonesia juga dan kaum ibu yang berdomisili di daerah
muncul kasus pelarangan penggunaan jilbab pedesaan.58 Pemaknaan jilbab sebagai penutup
di sekolah-sekolah umum.55 Beberapa instansi kepala saja, sangatlah tidak tepat. Karena ‘jilbab’
pemerintah, perusahaan dan sejenisnya juga secara asal merupakan atribut untuk menutupi
menolak mempekerjakan perempuan berjilbab. aurat perempuan. Hal ini dimaksudkan sebagai
Akan tetapi, kondisi ini berbalik di tahun 1990- langkah preventif terhadap lawan jenis, khususnya
an, pelarangan berjilbab siswi sekolah-sekolah berkaitan dengan daerah-daerah tubuh yang bisa
negeri dicabut dan diberlakukan surat keputusan mengakibatkan munculnya hasrat seksual.
diperbolehkannya pelajar putri belajar tanpa Dalam penggunaannya, ‘jilbab’ seharusnya
meninggalkan jilbabnya. Setelah itu, jilbab menjadi disesuaikan dengan kondisi, situasi dan budaya
semacam tren di masyarakat dan merambah Indonesia.59 Setiap daerah di Indonesia mempunyai
seluruh kalangan di Indonesia, bukan hanya dari
kalangan agamis saja, jilbab banyak digunakan oleh krisis identitas, dalam arti tidak berani meninggalkan identitas
kalangan umum bahkan para artis.56 Walaupun diri sebagai muslimah, tetapi enggan disebut kampungan. Lihat,
Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela,(Yogyakarta: LkiS,
demikian, banyak pula yang menggunakan jilbab 1999), 81. Walaupun asumsi ini tidak sepenuhnya benar, namun
(kerudung) tetapi memakai pakaian yang masih fenomena ini juga menunjukkan adanya persepsi yang mengartikan
jilbab hanya sebagai kerudung an sich, di samping itu fenomena
transparan dan menggambarkan bentuk tubuh.57
ini juga berkaitan adanya institusi-institusi yang mewajibkan
penggunaan jilbab. Sedangkan tidak semua perempuan suka
54
Fadwa El Guindi, Jilbab, 8-9. berjilbab, sehingga penggunaannya hanya sebatas formalitas belaka
55
Kebijakan ini dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan tidak mengindahkan aturan menutup aurat.
dan Kebudayaan (kini Depdiknas) yang melarang pelajar putri 58
Pada masa dahulu, penggunaan kerudung merupakan
mengenakan jilbab di sekolah-sekolah umum. Ketika itu, jabatan salah satu bentuk simbol untuk membedakan kaum santri dan
menterinya dipegang oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Baru kaum lainnya (abangan atau non-muslim).
setelah kepemimpinan Prof. Dr. Fuad Hasan, kebijakan tersebut 59
Adalah suatu fenomena baru dalam bangsa Indonesia,
dicabut, dan dibebaskan dalam berpakaian sesuai dengan ajaran yakni fenomena untuk cenderung mengadopsi kebudayaan Arab
agama masing-masing. yang mereka anggap sebagai representasi kehidupan yang Islami
56
Menurut Umar, kadar proteksi dan ideologi di balik (seperti nabi). Fenomena (Arabisasi) ini tidak hanya mengakomodir
fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Menurutnya, ‘jilbab’ model Arab saja, tetapi juga hal-hal seperti jubah, celana
fenomena yang menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan ‘cungklang’, jenggot dan lain sebagainya. Bahkan dalam hal
privacy sebagai akumulai pembengkakan kualitas pendidikan agama komunikasi mereka sering mengadopsi kosakata Arab, seperti
dan dakwah dalam masyarakat. Lagi pula, salah satu ciri budaya ‘afwān, akhi, akhwat dan lain-lain. Lebih lanjut mengenai fenomena
bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung? lihat, Arabisasi ini, lihat, Abdul Mun’im DZ, “Mempertahankan
Nasaruddin Umar, “Fenomenologi Jilbab”. Keragaman Budaya” dalam Jurnal Tashwirul Afkar. No. 14, tahun
57
Penggunaan jilbab seperti ini biasanya dinamakan “jilbab 2003, 2-8. Menurut penyusun, hal ini sangat menarik untuk diteliti,
gaul” atau dalam Istilah Asmawi disebut sebagai “jilbab trendi” walaupun disisi lain penyusun kurang sependapat dengan mereka,
atau “jilbab sensual”. Lihat, Muhammad Asmawi, Islam Sensual, karena setiap daerah mempunyai karakter budaya masing-masing
Membedah Fenomena Jilbab Trendi, (Yogyakarta: Darussalam, 2003). (aspek lokalitas), begitu juga Arab ataupun Indonesia. Adapun
Menurut Wahid, bentuk “jilbab gaul” mengindikasikan tanda syari’at Islamlah (bukan budaya Arab) yang menjadi pondasi dalam
16
Fikria Najitama: Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur
17
Musâwa, Vol. 13, No. 1, Januari 2014
18