Anda di halaman 1dari 4

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya

ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. (QS. Al-Ahzab: 59).

Dalam menafsirkan ayat di atas, M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan menyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut: Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah Hendaklah mereka mengulurkannya. Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut. Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Quran. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Quran. Tetapi apa hukumnya? Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur: Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak bolehdalam kedudukannya sebagai adatuntuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu. M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan: Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah AlQuran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat. Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Quran tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba untuk mengkritisinya. KRITIK ATAS PENAFSIRAN M. QURAIS SHIHAB Sebelum masuk pada inti pembahasan, ada baiknya disampaikan terlebih dahulu tentang makna jilbab dalam pandangan Al-Quran. Secara bahasa, kata al-jilbab sama dengan kata al-qamish atau baju kurung yang bermakna

baju yang menutupi seluruh tubuh. Ia juga sama dengan al-khimar atau tudung kepala yang bisa dimaknai dengan apa yang dipakai di atas baju seperti selimut dan kain yang menutupi seluruh tubuh wanita. Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab mengatakan bahwa jilbab berarti selendang atau pakaian lebar yang dipakai wanita untuk menutupi kepada, dada, dan bagian belakang tubuhnya. Para ahli tafsir menggambarkan jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Katsir mengemukakan bahwa jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang disampaikan Ibnu Mas'ud, Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, Sa'id bin Jubair Al-Nakha'i, Atha Al-Khurasani dan lain-lain. Ia bagaikan "izar" sekarang. Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan. Muhammad bin Sirin berkata, Aku bertanya kepada Abidah As-Salmani tentang firman Allah, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka maka ia menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya. Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam masalah mengulurkan jilbab yang dimaksudkan Allah dalam ayat jilbab. Sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup wajah dan kepala serta hanya menampakkan satu mata, dan sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan menutup muka mereka. Menurut Al-Qurthubi, jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh badan. Ia juga menyebutkan bahwa menurut Al-Hasan, ayat tersebut memerintah kaum wanita untuk menutup separuh wajahnya. Menurut Abu Bakar Al-Jazairi, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka artinya mengulurkan jilbab ke wajah mereka sehingga yang tampak dari seorang wanita hanyalah satu matanya yang digunakan untuk melihat jalan jika dia keluar untuk suatu keperluan. At-Tirmidzi dalam Al-Mukhtashar Asy-Syamail AlMuhammadiyyah menafsirkan mengulurkan jilbab dengan menutup seluruh tubuh, kecuali satu mata yang digunakan untuk melihat. Di antara yang memaknainya demikian ialah Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Abidah As-Salmani, dan lain-lain. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, ayat jilbab menunjukkan wajibnya menutup wajah wanita. Karena para ulama dan mufassir seperti Ibnul Jauzi, At-Thabari, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, Abu Suud, Al-Jashash, dan Ar-Razi menafsirkan mengulurkan jilbab adalah menutup wajah, badan, dan rambut dari orang-orang asing (non mahram) atau ketika keluar untuk sebuah keperluan. Dari rujukan di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa jilbab pada umumnya adalah pakaian yang lebar, longgar, dan menutupi seluruh bagian tubuh. Sementara itu, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Di antara tafsiran mereka terhadap ayat tersebut ialah: menutup wajah dan kepalanya, serta hanya memperlihatkan mata kirinya; menutup seluruh badan dan separuh wajah dengan memperlihatkan kedua mata; dan mengulurkan kain untuk menutup kepala hingga dada. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa para ahli tafsir dari dahulu hingga sekarang telah bersepakat bahwa memakai jilbab adalah sebuah kewajiban agama bagi kaum wanita. Mereka bersepakat tentang wajibnya memakai jilbab dan berbeda pendapat tentang makna mengulurkan jilbab: apakah mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali satu mata, mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali dua mata, atau mengulurkan ke seluruh tubuh kecuali muka. Jadi, pendapat M. Qurais Shihab yang menyatakan bahwa kewajiban mengulurkan jilbab adalah masalah khilafiyah jelas tidak berdasar. *** Rupanya, M.Quraish Shihab mengkritisi pendapat para ulama yang memiliki otoritas dalam ilmu agama dan sama sekali tidak mengkritisi pendapat tokoh yang dianutnya, baik Muhammad Thahir bin Asyur maupun Al-Asymawi yang notabenenya penganut paham liberal dan pluralisme agama. Seharusnya M.Quraish Shihab lebih kritis terhadap pendapat kedua tokoh tersebut yang otoritas ilmu agamanya masih diragukan, dan bukannya malah langsung mengikutinya tanpa memberi catatan. Ini jelas menunjukkan sikap ketidakadilan ilmiah. Di samping, perbandingan tersebut

memang dipaksakan dan asal mencari pendapat yang longgar. Pendapat M. Qurais Shihab yang mengatakan bahwa memakai jilbab tidak wajib, karena ayat-ayat jilbab sangat terkait dengan konteks tertentu (ada asbabun nuzul-nya), dan hendaknya hal tersebut menjadi pertimbangan utama sebuah keputusan hukum, dapat dijawab dengan dua hal, yaitu: Pertama, rangkaian sebelum dan sesudah ayat jilbab dan hijab dalam surah An-Nur dan Al-Ahzab menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab adalah demi al-hisymah (menjaga kehormatan wanita agar tetap terpuji), bukan sekadar untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya. Kedua, istilah asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Al-Quran) dalam tradisi ulama Islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas), yang berarti kalau peristiwa itu tidak turun, maka ayatnya tidak turun. Tapi, lebih berperan sebagai peristiwa/audio visual (alat peraga) yang mengiringi turunnya ayat. Selain itu, mengkhususkan lafal ayat Al-Quran hanya berlaku pada kasus tertentu, tidak bersifat umum, berarti menzalimi lafal itu sendiri. Sebab, lafal yang dasarnya bersifat umum dan menunjuk makna yang telah jelas digunakan pemakainya, tidak bisa dikhususkan atau dialihkan ke makna lain, kecuali didukung bukti kuat. Dan asbabun nuzul tidak cukup kuat untuk mengkhususkan pesan umum sebuah lafal. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pendapat M. Quraish Shihab dalam masalah jilbab adalah pendapat yang aneh dan ganjil di kalangan ulama Islam. Sebab, pendapat tersebut sama sekali tidak dikenal dan tak pernah terlontarkan di antara mereka. Dengan demikian, hal itu jelas mengindikasikan bahwa pendapat tersebut tidak benar. KESIMPULAN Dari seluruh pembahasan dalam tulisan ini dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, jilbab bukanlah masalah khilafiyah karena seluruh ulama telah sepakat atas kewajibannya bagi muslimah. Yang menjadi perbedaan pendapat di antara mereka adalah dalam menutup sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki. Kedua, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan sebagaimana yang dijelaskan dalam AlQuran dan Hadits. Ketiga, perintah jilbab itu bersifat wajib dan berlaku bagi seluruh muslimah di mana saja mereka berada karena syariat Islam bersifat universal dan telah final. Terakhir, semoga M. Quraish Shihab menyadari kekhilafannya dan menarik pendapatnya yang ganjil tentang jilbab serta mengumumkannya ke publik. Sekali lagi, pendapat tersebut telah menyimpang dari petunjuk Al-Quran dan hadits, serta pemahaman mayoritas ulama yang otoritatif. Apalagi, jika tidak bertobat, ia juga akan menanggung dosa orang-orang yang mengikuti pandapatnya. Wallahu alam. Wassalam, Nurmawan Yudhiwibowo

Imam Bukhari mengetengahkan sebuah hadis yang bersumber dari Siti Aisyah r.a. yang menceritakan bahwa Siti Saudah setelah ayat hijab diturunkan, pergi keluar untuk suatu keperluan, ia adalah seorang wanita yang bertubuh besar sehingga pasti di kenal oleh orang yang telah mengetahuinya. Kemudian Umar melihatnya, lalu berkata, "Hai Saudah! Ingatlah demi Allah, kamu tidaklah samar bagi kami (sekalipun kamu sudah memakai hijab), maka dalam keadaan bagaimana pun kamu keluar (aku tetap mengenalimu)" Selanjutnya Siti Aisyah r.a. meneruskan ceritanya, setelah itu Siti Saudah kembali. Sedangkan Rasulullah saw. pada waktu itu sedang berada di rumahku, beliau sedang menyantap makan malam, di tangannya terdapat keringat. Lalu Saudah masuk dan berkata kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku telah keluar untuk suatu keperluan, (di tengah jalan) Umar mengatakan demikian dan demikian kepadaku". Siti Aisyah kembali melanjutkan kisahnya, kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi saw. Setelah wahyu selesai, kulihat tangannya masih berkeringat dan beliau tidak mengusapnya. Lalu beliau berkata, "Sesungguhnya Allah telah memberi izin kepada kalian semua untuk keluar bila memang kalian mempunyai keperluan". Ibnu Saad di dalam kitab Thabaqat-nya mengetengahkan sebuah hadis melalui Abu Malik yang menceritakan bahwa istri-istri Nabi saw. selalu keluar di malam hari untuk sesuatu keperluan mereka. Segolongan orang-orang munafik menggoda mereka, sehingga membuat mereka sakit hati. Lalu mereka mengadukan hal tersebut kepada Nabi saw. Kemudian ditanyakan kepada orang-orang munafik, maka orang-orang munafik menjawab, "Sesungguhnya kami melakukan hal itu hanya dengan memakai isyarat (yakni bukan dengan perkataan)". Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu anakanak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu...' (Q.S. Al Ahzab, 59)." Selanjutnya Ibnu Saad mengetengahkan hadis yang sama, hanya kali ini ia mengetengahkannya melalui Hasan dan Muhammad ibnu Kaab Al Qurazhi.

Anda mungkin juga menyukai