Anda di halaman 1dari 5

Nama: Luthfi Hidayat

NIM: 2018.01.01.1181
Kelas : IQT 4 C
Cadar Antara Adat dan Syariat
Dalam Risalah Al-Niqab ‘Adat Wa Laysa ‘Ibadah: Al-Ra’y Al-
Shar‘I Fi Al-Niqab Bi Aqlam Kibar Al-‘Ulama
Wakaf Kementerian Mesir
Risalah ini berisi pendapat para ulama’ kontemporer yang intinya
berpendapat bahwa cadar termasuk dalam ketgori adat, bukan termasuk bagian
dari ibadah, dengan menampilkan dalil yang bersumber dari Alquran dan hadis
serta menukil pendapat dari para ulama’ salaf dan khalaf dan ijtihad dari hasil
proses ushul fiqh ataupun ushul tafsir.

Dalam pendahulauan risalah tersebut, Mahmud Hamdi Zaqzuq


menyampaikan bahwa bercadar bukan termasuk bagian dari pembebasan diri,
melainkan pada dasarnya mencederai kebebasan itu sendiri, karena pada
prinsipnya ia bertentangan dengan karakter manusia dan kemaslahatan umum,
bahkan ia dianggap menyalahi ajaran agama yaitu ajaran-ajarannya yang mulia.
Kemudian ia mengutip pernyataan Syaikh Muhammad al-Ghazali supaya
menguatkan pendapatnya bahwa cadar adalah adat, bukan ibadah. Ia berpendapat
bahwa tidak ada dalil dari Alquran dan hadis yang menguatkan cadar.

Sehingga dengan demikian, maka cadar bukanah ibadah, melainkan adat,


karena ibadah harus mempunyai dalil yang jelas. Disebutkan juga, bahwa telah
diketahui sebagian perempuan Jahiliyah di permulaan Islam, mereka ada yang
menutupi wajahnya, menyisakan matanya saja. Sehingga perbuatan ini merupakan
adat, bukan ibadah.

Dalam tulisan kedua, pendapat Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi


yang berjudul Wajh al-Mar’ah Laysa bi ‘Aurat wa al-Niqab ‘Adat La ‘Ibadat,
menegaskan pandangan mayoritas ahli fikih yang meyatakan bahwa wajah
perempuan bukanlah aurat, sehingga boleh ditampakkan. Bagi laki-laki lain boleh
melihatnya asalkan tanpa syahwat. Sehingga dalam akhir tulisannya, ia

1
menegaskan bahwa berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan, ia condong
kepada pendapat yang mengatakan bahwa wajah perempuan bukanlah aurat.
Sedangkan masalah cadar merupakan adat yang tidak berkaitan dengan ibadah.

Dalam tulisan ketiga dalam risalah ini yang mengutip pandangan Syaikh
‘Ali Jum’ah selaku mufti Republik Mesir yang berjudul al-Niqab Murtabit bi
al-‘Adat (Cadar berkaitan dengan adat), tulisan ini menampilkan pandangan
Syaikh ‘Ali Jum‘ah tentang cadar, dimana ia cenderung kepada pendapat
mayoritas ulama yang memperbolehkan perempuan membuka wajah dan kedua
telapak tangannya.

Isinya adalah fatwa atas pertanyaan yang diajukan tentang pakaian syar’i
bagi perempuan muslimah dan hukum memakai cadar.Ia menjelaskan bahwa
pakaian syar’i yang diperuntukkan bagi perempuan adalah semua pakaian yang
tidak menggambarkan pesona tubuh dan menutup seluruh tubuh perempuan,
selain wajah dan kedua telapak tangan. Dan juga mereka para perempuan tidak
tidak dilarang memakai pakaian yang berwarna-warni dengan syarat pakaian
tersebut tidak menarik perhatian dan dapat menimbulkan fitnah. Maka apabila
pakaian yang dipakai oleh perempuan telah memenuhi syarat-syarat ini, maka
perempuan boleh memakainya.

Kemudian ia menuturkan bahwa cadar, menurut pendapat yang sahih


hukumnya tidak wajib, karena aurat perempuan muslimah yang merdeka adalah
seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Oleh karena itu,
bagi perempuan boleh menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya.
Menurut Syaikh ‘Ali Jum’ah, pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dari
kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Shafi‘iyyah, adapun menurut al-
Mardawiy, pendapat ini adalah pendapat yang sahih dari mazhab Ahmad dan para
muridnya. Pendapat ini juga merupakan pendapat al-Awza‘iy, Abu Thaur dan
mujtahid lainnya dari kalangan salaf. Bahkan ulama Malikiyyah menegaskan
bahwa pemakaian cadar bagi perempuan dapat dihukumi makruh apabila hal itu
tidak menjadi kebiasaan masyarakatnya. Mereka menyebutkan bahwa memakai

2
cadar pada komunitas masyarakat yang tidak bercadar merupakan perbuatan
berlebih-lebihan dalam beragama.

‘Ali Jum’ah kemudian mengutip argumen dari Syekh al-Islam Zakariyya


al-Anshori dalam kitab Asna al-Mathalib yang menyebutkan menyebutkan bahwa
aurat wanita merdeka dalam sholat ataupun diluar sholat adalah seluruh tubuh
kecuali wajah dan telapak tangan. Pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
‘Aishah, diceritakan bahwa Asma’ binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah
dengan menggunakan pakaian yang tipis sehingga Rasulullah pun berpaling
darinya seraya berkata; “Wahai Asma’, seorang perempuan ketika telah mencapai
usia baligh, tidak patut dilihat darinya ini dan ini” Rasulullah memberi isyarat
kepada wajah dan kedua telapak tangan.
Dalam tulisan tersebut, pada kesimpulannya ia berpendapat bahwa
permasalahan pakaian berkaitan erat dengan kebiasaan sebuah komunitas
masyarakat. Menurutnya, pendapat yang kuat adalah pendapat mayoritas ulama
yang memperbolehkan perempuan membuka wajah dan kedua telapak tangannya.
Pendapat inilah yang diamalkan dan difatwakan di negara Mesir.

Adapun komunitas lain yang mengikuti Mazhab Hanbali (yang


mengharuskan memakai cadar), menurut ‘Ali Jum‘ah, tidak masalah bagi
perempuan mengikuti mazhab ini karena sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya
yang tentunya sama sekali tidak berkaitan dengan kualitas keberagamaan
perempuan tersebut, tapi semata-mata karena kebiasaan yang berlaku di kalangan
mereka, dimana perempuan menutup wajahnya. Menurut Syaikh ‘Ali Jum‘ah,
perbedaan pendapat semacam ini jika memang cadar tidak digunakan sebagai
identitas untuk membedakan antar kelompok masyarakat atau simbol yang
menunjukkan kualitas ibadah dan religiusitas. Namun jika keberadaan cadar
tersebut dijadikan sebagai identitas dan simbol untuk membedakan kualitas ibadah
dan religiusitas, maka hukum cadar yang semula sunah atau mubah menjadi
bid’ah, karena telah menyebabkan perpecahan diantara umat Islam.

Tulisan selanjutnya adalah pandangan Syaikh Muhammad al-Ghazaly


tentang cadar yang di kutip dari kitab Miata Sual Fi Al-Islam (seratus persoalan

3
dalam Islam) pada soal nomor 89. Syaikh Muhammad al-Ghazaly mengkritik
ulama yang mewajibkan perempuan memakai cadar. Ia menampilkan sekian kisah
maupun hadis yang menunjukkan bahwa Nabi dan para sahabat tidak pernah
memerintahkan seorang perempuan pun untuk menutup wajah mereka.

Ia juga menolak dan membantah anggapan sebagian ulama yang


mengatakan bahwa memakai cadar merupakan bentuk “mengikuti” terhadap istri-
istri Nabi, jika dalam permasalahan ini mengikuti apa yang dilakukan oleh istri-
istri Nabi dianjurkan, maka mengapa Rasulullah dan para sahabatnya tidak
memerintahkan anjuran ini kepada segenap perempuan muslimah dan
membiarkan mereka membuka wajah mereka tanpa pertentangan? Dalam
pandangan Syaikh Muhammad al-Ghazaliy, rumah tangga Nabi khususnya yang
berkaitan dengan istri-istrinya mempunyai aturan khusus, sebagaimana ditegaskan
oleh Allah Swt. melalui fi rman-Nya: “Wahai istri-istri Nabi, kalian semua tidak
seperti perempuan (yang lain).” [QS.al-Ahzab (33): 32]. Keharaman menikahi
istri-istri Nabi setelah Nabi wafat, balasan pahala maupun siksa yang berlipat
ganda merupakan syariat yang khusus berlaku bagi mereka. Demikian pula
tentang cadar yang dipakai oleh istri-istri Nabi dan keharusan mereka berada di
dalam rumah, menurut Syaikh Muhammad al-Ghazaliy, semuanya itu termasuk
kekhususan bagi para istri-istri Nabi. Ia juga mengatakan, jika memakai cadar
adalah semata-mata mengikuti istri-istri Nabi, maka mestinya tidak apa-apa pula
megharamkan menikahi perempuan-perempuan yang ditinggal mati suaminya,
karena semata-mata mengikuti hukum yang diberlakukan kepada istri-istri Nabi.

Pada akhirnya, Syaikh Muhammad al-Ghazaliy menegaskan bahwa QS.


Al-Nur (24): 31 sama sekali tidak menunjukkan keharusan menutup wajah bagi
perempuan, karena jika ayat tersebut memerintahkan perempuan menutup wajah,
maka tentu bunyi ayat tersebut seharusnya adalah “wa al-yadhribna
bikhumurihinna ‘alaa wujuuhihinna” (dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke wajahnya), bukan “wa al-yadhribna bikhumurihinna ‘alaa
juyuubihinna” (dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya). Ia
juga menegaskan bahwa sebagian perempuan di masa Jahiliyyah dan masa Islam,

4
terkadang mereka menutup wajah mereka menyisakan matanya saja yang tidak
tertutup. Perbuatan ini termasuk dalam ranah kebiasaan (adat), bukan ibadah,
karena tidak ada ibadah kecuali dengan dalil.

Tulisan terakhir ini adalah kutipan dari ‘Abdul Halim Abu Shuqqah dari
kitabnya yang berjudul Tahrir al-Mar’ah fii ‘Ashr al-Risalah (emansipasi wanita
pada era kerasulan) tentang cadar dalam syariat Islam. Dalam tulisan tersebut, ia
menyimpulkan bahwa cadar merupakan salah satu bentuk perhiasan atau mode,
seperti halnya sorban yang dipakai oleh laki-laki. Dengan demikian, cadar
termasuk kategori pakaian yang masuk dalam hal kebiasaan dan tidak berkaitan
dengan ibadah.
Pada kesimpulannya, ‘Abdul Halim Abu Shuqqah menjelaskan bahwa
cadar merupakan gaya berpakaian yang dijadikan sebagai mode fashion oleh
sebagian perempuan merdeka pada masa Jahiliyyah. Hal itu terus berlangsung
hingga Islam datang dan Nabi membiarkan hal itu, tanpa adanya anjuran untuk
melakukannya. Ini menunjukkan bahwa cadar murni merupakan model dalam
berpakaian di masa itu.

Anda mungkin juga menyukai