Anda di halaman 1dari 10

Nama : Alfia Nurhayanti

Jur/Smt/Kls : IAT/I/A
NIM : 1221030021
Mata Kuliah : Metodologi Studi Islam

Konsep Aurat dalam Pandangan Ulama Klasik dan


Kontemporer

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Di zaman serba modern dan permisif ini, banyak syariat islam yang
dilanggar. Bahkan, umat muslim sekarang bersemangat dalam
menghalalkan apa yang telah menjadi tata aturan sebagai ketetapan dari
Allah swt. Salah satu ketetapan tersebut adalah mengenai kesadaran dalam
menutup aurat. Mirisnya, banyak juga umat muslim yang pada hakikatnya
mereka belum mengetahui konsep serta batasan dalam menutup aurat
tersebut.
Menurut salah satu ulama fiqih, yaitu Al-Khatib As-Syirbini
menyebutkan bahwa aurat merupakan bagian tubuh yang harus ditutupi
serta tidak boleh terlihat oleh orang yang tidak muhrim dan bagian yang
harus ditutupi ketika melakukan shalat. Setiap perempuan dan laki-laki
memiliki batasan auratnya masing-masing. Oleh karena itu, setiap muslim
dan Muslimah wajib untuk mengetahui batasannya dan kemudian
mentaatinya dengan menjaga auratnya dalam kehidupan sehari-hari.
Persoalan mengenai konsep menutup aurat tentunya masih aktual
untuk diperbincangkan seiring dengan perkembangan umat manusia itu
sendiri. Sisi singgung antara umat manusia dan perubahan situasi dan
kondisi secara linier berdampak kepada pandangan umat terhadap ajaran
agamanya. Ada yang dapat berubah atau yang disebut dengan “al-
mutaghaiyyirât” dan ada yang tidak berubah yang disebut dengan “al-
tsawâbit”.
Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa konsep aurat
termasuk dalam al-mutaghaiyyirat, akan tetapi pendapat ulama klasik
sebaliknya. Namun, sebagai neraca dalam hal ini perlu untuk
memperhatikan kaedah fikih “al-hukmu yadûru ma‟a al-illati wujudan
waadaman”. Tentunya dengan memperhatikan pengamalan nabi
Muhammad saw dan para sahabat. Sebab, era itu merupakan contoh yang
seharusnya menjadi tolak ukur dalam mengaplikasikan ajaran Islam saat ini.
Sehingga wajah Islam yang bersifat universal dan relevan dengan masa
kontemporer dapat dihadirkan.
2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada


penulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana pandangan ulama klasik menegenai batasan menutup


aurat?
b. Bagaimana pandangan ulama kontemporer mengenai batasan
menutup aurat?
c. Bagaiman perdebatan mengenai batasan aurat menurut ulama
kontemporer?
3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penulisan
ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui pandangan ulama klasik mengenai batasan menutup
aurat.
b. Mengetahui pandangan ulama kontemporer mengenai batasan
aurat.
c. Mengetahui perdebatan mengenai batasan aurat menurut ulama
kontemporer.

B. Pembahasan
1. Pandangan Ulama Klasik Mengenai Batasan Aurat
Pandangan ini merujuk pada empat madzhab dalam agama islam. Aurat
wanita atau anggota tubuh yang harus ditutupi itu berbeda sesuai dengan situasi
atau kondisi dengan siapa dia berkumpul atau bertemu. Yaitu baik sesama
wanita, laki-laki yang bukan mahram, dengan lelaki yang mahram dan juga
saat shalat. Penjelasan ini berdasarkan pandangan ulama fiqih madzhab empat
yaitu Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
a. Madzhab Syafi’i
Para ulama Syafiiyah berpendapat bahwa aurat wanita di depan
wanita lainnya sama dengan auratnya laki-laki yaitu antara pusar sampai
lutut. Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah dikatakan:
،‫ذهب الفقهاء إلى أن عورة المرأة بالنسبة للمرأة هي كعورة الرجل إلى الرجل‬
‫ ولذا يجوز لها النظر إلى جميع بدنها عدا ما بين هذين‬،‫أي ما بين السرة والركبة‬
‫ ولكن يحرم ذلك مع‬، ‫ وذلك لوجود المجانسة وانعدام الشهوة غالبا‬، ‫العضوين‬
‫الشهوة وخوف الفتنة‬.

“Para ahli fiqih berpendapat bahwa aurat wanita dengan sesama


wanita itu sama dengan auratnya laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut.
Oleh karena itu wanita boleh memandang seluruh tubuh wanita lain
kecuali antara pusar dan lutut. Hal itu disebabkan karena sesama jenis dan
umumnya tidak ada syahwat. Akan tetapi haram hukumnya apabila
melihat disertai syahwat dan takut terjadi fitnah.”
Sedangkan dalam shalat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan
telapak tangan. Apabila bagian dari aurat ini terbuka padahal ia mampu
untuk menutupnya maka batal shalatnya. Namun, apabila terbuka karena
angin atau lupa maka segera ia menutupnya dan tidak batal shalatnya.
Adapun di depan laki-laki yang bukan mahram seluruh tubuh wanita
adalah aurat (harus ditutup) kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki.
Dalam kitab al-Umm juz I halaman 89, Imam Asy-Syafii berkata:
‫ وظهر قدميها عورة‬.‫ إال كفيها ووجهها‬،‫وكل المرأة عورة‬

“Seluruh tubuh wanita itu aurat kecuali kedua telapak tangan dan
wajah. Sedang bagian atas kaki adalah aurat (telapak kaki bukan aurat).”
b. Madzhab Hanafi
Seluruh ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa wajah dan kedua
tangan perempuan boleh terbuka/bukan aurat. Dan laki-laki boleh
memandang wajah perempuan asal tidak dengan syahwat. Abu Ja’far ath-
Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar juz II halaman 392 menyatakan:

‫بمحرم عليهم من النساء إلى وجوههن‬


َّ ‫أبيح للناس أن ينظروا إلى ما ليس‬
‫ وهو قول أبي حنيفة وأبي يوسف‬.‫ وحرم ذلك عليهم من أزواج النبي‬،‫وأكفهن‬
‫ومحمد رحمهم هللا تعالى‬

“Diperbolehkan bagi seseorang untuk memandang sesuatu dari


wanita yang tidak diharamkan baginya, yakni wajah dan telapak tangan
mereka. Diharamkan yang demikian itu (memandangnya) adalah bagi para
istri Nabi SAW. Hal ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah dan Abu
Yusuf dan Muhammad rahimahullah taala.”
Sedangkan saat shalat aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali;
telapak tangan bagian dalam (bagian luar telapak tangan termasuk aurat)
dan bagian luar telapak kaki (telapak kaki bagian dalam adalah aurat).
c. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki sama dengan Madzhab Syafi’i bahwa aurat wanita
itu adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Imam ‘Iyadh
Rh. Imam Malik berkata:
‫وال خالف أن فرض ستر الوجه مما اختص به أزواج النبي صلى هللا عليه وسلم‬

“Tidak ada perbedaan ulama mengenai wajibnya menutupi wajah


wanita, itu (wajibnya menutupi wajah) termasuk salah satu kekhususan
bagi para istri Nabi Saw.”
Serta Ulama Madzhab Maliki juga berpendapat bahwa aurat
perempuan di depan laki-laki mahram adalah selain wajah dan sekitar
wajah yakni kepala dan leher. Sebagaiman keterangan Imam Ibnu
Qudamah dalam kitab al-Mughni juz VI halaman 554, Kasyaf al-Qina’ juz
V halaman 11 dan ad-Dasuqi juz III halaman 214.
Sedangkan dalam shalat, Madzhab Maliki membagi aurat wanita
ketika menjadi 2 (dua) yaitu mugholladzoh (berat) dan mukhaffafah
(ringan) dan masing-masing memiliki hukum tersendiri. Aurat
mughalladzah adalah seluruh anggota tubuh selain seputar kepala, dada
dan punggung atau antara pusar sampai lutut. Aurat mukhoffafah (ringan)
ialah seluruh tubuh selain dada, punggung, leher, lengan, dan dari lutut
sampai telapak kaki atau selain pusar sampai lutut kaki. Terbukanya aurat
mugholladzoh ketika shalat dapat membatalkan shalatnya. Sedang
terbukanya aurat mukhaffafah tidak membatalkan shalat. Akan tetapi
disunnahkan mengulangi shalat apabila waktu mencukupi.
d. Madzhab Hanbali
Menurut suatu pendapat, aurat wanita dengan wanita lain yaitu
kedua kemaluan depan dan belakang saja. Menurut Imam al-Mardawi
dalam kitab al-Inshaf mengtakan bahwa ini adalah salah satu pendapat
dalam madzhab Hanbali.
Menurut madzhab Hanbali anak perempuan usia 7 (tujuh) tahun ke
atas, auratnya di depan laki-laki yang bukan mahram adalah seluruh tubuh,
kecuali wajah, leher, kepala, tangan sampai siku dan kaki.
Madzhab Hanbali termasuk yang paling ketat dalam masalah aurat
wanita. Dalam satu riwayat Imam Hanbal pendiri berpendapat bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat termasuk kukunya, baik saat shalat
maupun di luar shalat. Namun Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat
lain menyatakan bahwa aurat wajah dan telapak tangan wanita yang bukan
mahram. Imam al-Mardawi dalam kitab al-Inshaf juz I halaman 452
berkata:
‫الصحيح من المذهب أن الوجه ليس من العورة‬

“Bahwa yang benar dari Madzhab Hanbali adalah berpendapat


wajah bukanlah aurat.”
Ulama Madzhab Hanbali berpendapat bahwa aurat perempuan di
depan laki-laki mahram adalah selain wajah dan sekitar wajah yakni
kepala, leher, tangan dan saq (antara lutut sampai telapak kaki).
Sebagaiman keterangan Imam Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni juz
VI halaman 554, Kasyaf al-Qina’ juz V halaman 11 dan ad-Dasuqi juz III
halaman 214. Sedangkan Ketika shalat, menurut madzhab Hanbali aurat
perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah.
2. Pandangan Ulama Kontemporer Mengenai Batasan Aurat
a. Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab dan Syahrûr
M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang sangat kontroversial
tentang jilbab. Dalam memahami batasan aurat ini beliau berbeda dengan
keumuman (jumhur ulama), menurut beliau menutup aurat wanita dengan
menggunakan khimar bukanlah sebuah kewajiban, akan tetapi bisa berupa
anjuran. Menurutnya, batasan aurat wanita adalah permasalahan khilafiyah
dengan alasan bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian
wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa
ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan
wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.” Lebih lanjut menurut Prof.
Quraish; “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks
situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta
pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah
yang jelas, pasti dan tegas. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika dikatakan
bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah
khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir
mengkafirkan. Dalam bukunya “Wawasan Al-Quran”, Quraish juga sudah
menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama
pun ketika membahasnya berbeda pendapat” Kesimpulannya pandangan
Quraish Sihab tentang batasan Aurat perempuan adalah menurut adalah
seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Demikian pula dengan pakaian perempuan (libâs al-mar‟ah)
menurut Muhammad Syahrûr cendikiawan asal Damaskus Professor di
bidang Teknik Sipil. Syahrûr, berpendapat bahwa batas minimum pakaian
perempuan adalah satral-juyûb (QS. an-Nûr: 31) atau menutup bagian
dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas
maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak
tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai
jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang
ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih
berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi.
Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah,
dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd al-a‟lâ (batasan
maksimum) yang telah ditetapkan Allah, karena melebihi batas maksimum
yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar
dan menutup sekujur tubuhnya -dengan pendekatan ini- malah sudah
“tidak islami”.
Muhammad Syahrur menyimpulkan bahwa aurat di situ berarti:
“apa yang membuat seseorang malu jika terlihat”. Dan aurat itu tidak ada
kaitannya dengan halal-haram, baik dilihat dari dekat maupun dari jauh.
Maka secara kebahasaan, aurat itu relatif.
3. Perdebatan Mengenai Pandangan Ulama Kontemporer
Pandangan ulama kontemporer mengenai batasan aurat tentu tidak dapat
diterima, ada tiga alasan mngenai penolakan tersebut diantaranya:
1. Bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan makna ayat
“kecuali yang biasa nampak”, namun tidak seorang pun dari mereka yang
membolehkan membuka kepala atau kaki sampai ke dengkul dan tangan
sampai kesiku. Batas maksimal yang boleh terbuka adalah wajah, telapak
tangan dan telapak kaki sampai ke mata kaki (menurut Hanafiyah). Tidak
ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya menutup dada, perut,
punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya. Jadi, jika dikatakan bahwa
permasalahan ini adalah khilafiyah yang luas tentunya bertentangan
dengan data yang didapatkan dari pendapat ulama terdahulu yang diakui
otoritas keilmuannya. Menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat
bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di
kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa „‟apa yang biasa
tampak daripadanya‟‟ ialah „‟wajah dan telapak tangan‟‟ dan perhiasan
yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari
menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua
telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk
menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan
yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak
pernah lepas dari wanita”.23 Oleh karena itu, pendapat Syahrur jelas
mengada-ada karena tidak pernah dikemukakan oleh ulama klasik. Apakah
secara akal dapat diterima, bahwa Syahrur lebih memahami al-Qur‟an dan
sunnah berkenaan dengan hukum aurat dan pakaian daripada ulama-ulama
mujtahidin terdahulu?
2. Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan
pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat
“kondisional”, “lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan”
karena bisa membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-
hukum Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang
banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara
muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan, QS. 60:10 hanya
berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab
didominasi oleh laki-laki. Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara
dengan laki-laki dalam rumah tangga – sesuai dengan prinsip gender
equality – maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan
penelitian, lebih baik jika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika
suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70
persen anak ternyata ikut agama ibunya.
3. Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-
ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah
bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika
ayatayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli,
pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk
orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminât”.
Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada
bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita
Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama. Karena itu,
pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal.
C. Penutup
Ajaran umat islam mengenai batasan aurat jika ditinjau dari pandangan
ulama klasik, maka tidak dipengaruhi oleh perkembangan zaman atau disebut
dengan “al-tsawâbit”. Sedangkan menurut ulama kontemporer, ajaran tersebut
bisa saja berubah sesuai perkembangan zaman atau disebut dengan “al-
mutaghaiyyirât”.
Kedua pandangan tersebut tentunya berdasarkan dalil-dalil. Baik itu ulama
klasik maupun kontemporer, keduanya tetap merujuk pada al-qur’an dan hadist.
Namun, penafsiran ulama kontemporer mengenai ayat yang berkaitan dengan
batasan aurat tersebut menimbulkan perdebatan yang cukup riskan.
Dari kedua pandangan tersebut, adakalanya umat islam perlu mematuhi
ketentuan sesuai ajaran ahli sunnah waljama’ah. Yaitu sesuai yang telah diajarkan
Nabi Muhammad SAW. Disinilah pentingnya mengetahui keadaan atau situasi
seperti apa yang bisa memengaruhi ajaran suatu agama. Karena tidak semua
situasi bisa memengaruhi suatu ajaran agama tersebut.

D. Daftar Pustaka
Ahmad, Pengertian Aurat: Tujuan, Jenis, Dalil Serta Batas Aurat Laki-laki &
Perempuan. From Gramedia.com :
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-aurat/
Ardiansyah, KONSEP AURAT MENURUT ULAMA KLASIK DAN
KONTEMPORER; suatu perbandingan Pengertian dan Batasannya di
dalam dan luar Shalat, hal. 269-270.
Arif Rahman Hakim, 2019. From Pecihitam.org :
https://www.pecihitam.org/batasan-aurat-wanita-menurut-empat-madzhab-
fiqih/
Jumal Ahmad, 2021, Batas Aurat ala Muhammad Syahrur. From
ahmadbinhanbal.com : https://ahmadbinhanbal.com/batas-aurat-ala-
muhammad-syahrur/
Rahman, Yusuf Abdul, 2017, Pemikiran Muhammad Quraish Shihab mengenai
batasan aurat wanita. Hal. 2
Rojab, Ahmad Muhammad, 2020, Pemikiran Quraish Sihab dan Wahba Zuhaili
tentang batasan aurat perempuan. Hal. 2
Yhouga Ariesta, S.T. 2016, KEWAJIBAN MENUTUP AURAT, from
bulletin.muslim.or.id : https://buletin.muslim.or.id/kewajiban-menutup-
aurat/

Anda mungkin juga menyukai