Anda di halaman 1dari 4

Aqidah Manhaj Penyejuk Jiwa  Fikih dan Muamalah  Keluarga  Kisah  

MUBK Jan 2023

Apakah Wajah Wanita Harus Ditutup


oleh
Redaksi Muslimah.Or.Id

16 November 2022
Waktu Baca: 4 menit 0

129 719  Share on Facebook  Share on Twitter  


SHARES VIEWS
Tanya:

Apakah wanita harus menutup wajahnya?

Jawab:

Menurut kami, tak ada seorang pun sahabat yang mewajibkan para wanita menutup wajahnya. Dan
bagi kami, mengenakan penutup wajah lebih utama dan lebih mulia bagi para wanita. Tidak sampai
ke taraf wajib, karena tidak boleh mewajibkan satu perkara yang tidak diwajibkan oleh Allah dan
tanpa disertai dalil syari.

Karena itu, dalam buku yang berjudul Hijaab Al Mar’ah Al Muslimah, saya telah membuat satu bab
khusus yang berisi bantahan kepada orang-orang yang menganggap cadar itu sesuatu yang baru
dalam agama (bid’ah). Dan sekaligus menjelaskan keutamaan (afdhalnya) menggunakan penutup
wajah (cadar).

Banyak bukti yang menunjukkan tidak wajibnya wanita menutup wajahnya, di antaranya riwayat dari
Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa wajah dan dua telapak tangan wanita bukan aurat. Riwayat ini
dapat kita lihat dalam kitab Al Mushannaf yang disusun oleh Ibnu Abi Syaibah.

Dan kita yang belakangan tidak pernah mendatangkan/ menciptakan hal yang baru dalam agama.
Para ulama salaf dan ahli tafsir telah menerangkan sebelumnya, seperti Ibnu Jarir Ath Thabari
bahwa wajah wanita bukan aurat dan menutupnya dihukumi afdhal, tidak wajib.

Perlu diketahui, bahwa sebagian orang yang mewajibkan cadar berdalil dengan satu kaidah ushul
fikih, yaitu.

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

“Menolak menghindari kerusakan lebih didahulukan daripada menarik manfaat.”

Menurut saya, kaidah ushul ini memang bukan sesuatu yang baru muncul dalam agama. Kaidah ini
diambil dari syariat Islam. Berasal dari Nabi. Kemudian orang-orang yang menerima syariat ini dari
beliau adalah para sahabat. Para sahabat tentu sudah memahami substansi kaidah ini, walaupun
mereka belum menyusunnya dengan ungkapan ilmu ushul fikih seperti di atas.

Dalam buku Hijaab Al Mar’aatul Muslimah kami telah membawakan kisah yang dialami seorang
wanita dari bani Khats’am yang mendatangi nabi untuk meminta fatwa, ketika itu Nabi sedang
bersama Fadhal bin ‘Abbas. Di saat wanita ini berada di dekat Nabi Fadhal bin Abbas melirik
wajahnya yang cantik. Dan ternyata si wanita juga melirik Fadhal bin Abbas yang ganteng.
Mengetahui hal itu, Rasulullah segera memalingkan wajah Fadhal bin Abbas. Dari kisah ini sangat
jelas menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak menutup wajahnya. Bagaimana mungkin
kecantikan wanita tersebut diketahui oleh Fadhal bin Abbas jika wajahnya tertutup. Dan juga
mengapa Rasulullah  ketika itu memalingkan wajah Al Fadhl ke arah lain. Yang demikian ini
menunjukkan bahwa wanita Khats’amiyah ini tidak menutup wajahnya.

Sebagian dari mereka yang mewajibkan wanita menutup wajahnya berkata, “Wanita tadi dalam
keadaan berihram, sehingga boleh baginya membuka wajah.”

Kita jawab, “Tidak ada tanda-tanda sedikit pun yang menunjukkan bahwa wanita tadi sedang
berihram. Dan dalam buku Hijaab Al Marah Al Muslimah saya telah mengetengahkan bukti kuat yang
menunjukkan bahwa wanita tersebut menghadap Nabi  setelah melempar jumrah, yaitu setelah
tahallul awal.

Dan seandainya benar wanita tadi memang benar sedang berihram, mengapa Rasulullah tidak
menerapkan kaidah di atas, yaitu kaidah menolak kerusakan?

Kemudian kami katakan bahwa dari sisi syariat dan tabiat manusia, tidak ada bedanya antara laki-
laki memandang wajah wanita dan sebaliknya.

Oleh sebab itu Allah berfirman:

‫وقل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم‬

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaknya

mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 30)

Maksudnya dari (memandang) wanita.

Dan Allah berfirman:

‫وقل للمؤمنات يغضضن من أبصاره‬

“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: ‘Hendaklah

mereka menahan pandangannya‘.” (QS. An Nur: 31)

Maksudnya yaitu jangan memandang kepada laki-laki.

Kedua ayat di atas mengandung hukum yang sama. Ayat pertama memerintahkan laki-laki untuk
menundukkan pandangannya dari wajah wanita, sedang ayat kedua memerintahkan wanita untuk
menundukkan pandangannya dari wajah pria.

Sebagaimana tidak adanya konsekuensi dari surat An Nur ayat 30 bagi laki-laki untuk menutup
wajahnya (agar kaum wanita bisa menjaga pandangannya –ed.-). Begitu pula bagi para wanita,
tidak ada konsekuensi dari surat An Nur ayat 31 untuk menutup wajah mereka (agar kaum lelaki
bisa menjaga pandangannya -ed.-)

Kedua ayat di atas secara jelas mengatakan bahwa di zaman Rasulullah wajah adalah sesuatu yang
biasa terbuka dan terlihat. Maka Allah, Sang Pembuat syariat dan Yang Maha Bijaksana
memerintahkan kepada kedua jenis manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menundukkan
pandangan masing-masing.

Adapun hadits:

‫المرأة عورة‬
“Wanita adalah aurat.”

Tidak berlaku secara mutlak. Karena sangat mungkin seseorang boleh menampakkan auratnya di
dalam shalat.(*16)

Yang berpendapat bahwa wajah wanita itu aurat adalah sebagian kecil ulama. Sedangkan jumhur
(mayoritas) berpendapat bahwa wajah bukan aurat.

Hadits di atas, yang berbunyi:

‫المرأة عورة إذا خرجت استشرفها الشيطان‬

“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syetan memperindahnya.”

Tidak bisa diartikan secara mutlak bahwa seluruh tubuh wanita itu aurat. Karena ada kaidah yang
berbunyi: “Nas (dalil) yang bersifat umum dan mencakup banyak cabang hukum di bawahnya. Tidak
boleh diterapkan secara mutlak kepada cabang hukum dibawahnya jika tidak cocok diamalkan.”

Banyak orang yang menganggap bidah itu baik dengan berlandaskan dalil-dalil yang bersifat umum.
Dan ini telah terjadi di negeri-negeri Islam seperti Mesir, Suriah, Yordania dan lainlain, banyak orang
membaca shalawat ketika memulai adzan. Mereka melakukan ini berdasarkan dalil yang sangat
umum yaitu firman Allah:

‫يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما‬

“Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. Al Ahzaab: 56)

Dan juga dalil-dalil lain yang menjelaskan keutamaan shalawat kepada Nabi yang masih bersifat
umum (yang tidak bisa diamalkan begitu saja -ed,-)

Mewajibkan wanita menutup wajah berdasarkan hadits: “Wanita adalah aurat,” adalah sama dengan
kasus di atas. Karena sahabat wanita berangkat ke masjid dengan wajah yang terbuka. Demikian
pula ketika mereka pulang dari masjid, sebagian mereka menutupi wajah, dan sebagian yang lain
masih membuka wajahnya.

Jika demikian hadits di atas (wanita adalah aurat), tidak termasuk wajah dan tapak tangan. Prinsip
ini tidak pernah bertentangan dengan praktek orang-orang Salaf (para sahabat).

(*16) Maksud beliau adalah bahwa orang yang berpendapat tentang wajibnya menutup

wajah bagi wanita pun bersepakat tentang bolehnya wanita membuka wajahnya, yang menurut
mereka adalah aurat, ketika shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa hadits di atas tidaklah berlaku
secara mutlak.

Anda mungkin juga menyukai