Anda di halaman 1dari 5

www.muslim.or.

id

Mengambil Dalil Setengah-Setengah adalah Sebab


Ketergelinciran dan Kesalahan dalam Beragama
muslim.or.id/58083-mengambil-dalil-setengah-setengah-adalah-sebab-ketergelinciran-dan-kesalahan-dalam-
beragama.html

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc. August 19, 2020

Di antara prinsip ahlus-sunnah yang wajib untuk kita pahami dalam beragama
adalah menggabungkan terlebih dahulu semua dalil dalam suatu permasalahan
sebelum mengambil kesimpulan. Ahlus-sunnah tidak mengambil dalil setengah-
setengah ketika hendak menyimpulkan hukum, sehingga hanya al-Qur’an saja yang
diambil tetapi tidak dengan as-Sunnah, atau hanya sebagian ayat atau hadits saja
yang diambil tetapi tidak dengan ayat atau hadits lainnya.
Sesungguhnya jika kita merenungkan kaidah ini, maka terdapat sebuah faidah yang
sangat agung di baliknya. Perhatikan bahwa berapapun banyaknya dalil yang kita
kaji, maka kita tidak akan menemukan sama sekali kontradiksi dalam dalil-dalil
tersebut, selama pemahaman kita itu benar, ditopang oleh kaidah-kaidah yang baku
dan ilmiah dalam memahami dalil. Ini karena dalil wahyu, baik itu ayat al-Qur’an
ataupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah saling menguatkan dan
saling menjelaskan satu sama lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang tidak adanya kontradiksi atau


pertentangan di dalam al-Qur’an,

ً َ ‫اﺧﺘﻠ ٰـ ًﻔﺎ ﻛ‬
‫ﺜﻴﺮا‬ ِ ‫ﻴﺮ اﻟﻠ ِـﻪ ﻟَ َﻮ َﺟﺪوا‬
ِ ‫ﻓﻴﻪ‬ ِ ‫ﻨﺪ َﻏ‬ َ ‫ﺮءان ۚ َوﻟَﻮ‬
ِ ‫ﻛﺎن ِﻣﻦ ِﻋ‬ َ ‫اﻟﻘ‬ُ ‫ﺑﺮون‬
َ َ‫ا َﻓﻼ ﻳَ ﺘَ ﺪ‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu
bukan dari Sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”[1]

Demikian pula dengan as-Sunnah, juga tidak ada pertentangan di dalamnya, karena
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah wahyu dari Allah,
sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,

ّ ٰ َ‫ﻨﻄ ُﻖ ﻋَ ِﻦ اﻟﻬ‬
‫ﻳﻮﺣﻰ‬
ٰ ٌ ‫ﻮى * ان ُﻫ َﻮ اﻻ َو‬
‫ﺣﻰ‬ ِ َ‫َوﻣﺎ ﻳ‬

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya
itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[2]

Jika kita telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa di antara sebab
ketergelinciran dan kesalahan kelompok-kelompok yang menyimpang adalah karena
mereka mengambil dalil hanya setengah-setengah.

Orang-orang yang memiliki pemahaman Khawarij hanya mengambil kesimpulan dari


ayat-ayat wa’id (ancaman), misalnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,

‫ﻬﻴﻦ‬ ٌ َ‫ﻠﻪ ﻧﺎ ًرا ﺧ ٰـ ِﻠﺪً ا ﻓﻴﻬﺎ َوﻟَ ُﻪ ﻋ‬


ٌ ‫ﺬاب ُﻣ‬ ِ ُ‫ﻌﺺ اﻟﻠـﻪَ َو َرﺳﻮﻟَ ُﻪ َوﻳَ ﺘَ ﻌَ ﺪ ُﺣﺪودَ ُه ﻳ‬
ُ ‫ﺪﺧ‬ ِ َ‫َو َﻣﻦ ﻳ‬

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-
ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”[3]

‫ﺪﻳﻦ ﻓﻴﻬﺎ اﺑَﺪً ا‬ َ َ‫ﻌﺺ اﻟﻠـﻪَ َو َرﺳﻮﻟَ ُﻪ َﻓﺎن ﻟَ ُﻪ ﻧﺎ َر َﺟﻬ‬


َ ‫ﻨﻢ ﺧ ٰـ ِﻠ‬ ِ َ‫َو َﻣﻦ ﻳ‬

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya


baginyalah neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”[4]
ِ ‫ﺐ َﺳﻴ َﺌ ًﺔ َواﺣ ٰـ َﻄﺖ ِﺑ ِﻪ َﺧﻄﻴـﺘُ ُﻪ َﻓﺎوﻟ ٰـ ِﺌ َﻚ اﺻﺤ ٰـ ُﺐ اﻟﻨ‬
َ ‫ّﺎر ۖ ُﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧ ٰـ ِﻠ‬
‫ﺪون‬ َ ‫َﻠﻰ َﻣﻦ ﻛ َ َﺴ‬
ٰ ‫ﺑ‬

“Barangsiapa berbuat dosa dan dia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”[5]

Dengan berbekal ayat-ayat ini, Khawarij menghakimi kafirnya para pelaku dosa
besar, sebuah kesimpulan prematur yang bersumber dari mengambil dalil setengah-
setengah dan berujung pada penghalalan darah kaum muslimin dan pemberontakan
kepada ulil-amri.

Adapun orang-orang yang memiliki pemahaman Murji’ah, maka mereka hanya


mengambil kesimpulan dari ayat-ayat wa’d (janji), misalnya firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala berikut,

ِ ‫ﻠﻪ َﺟ ّﻨ ٰـ ٍﺖ َﺗﺠﺮى ِﻣﻦ َﺗ‬


َ ‫ﺤﺘﻬَ ﺎ اﻻﻧﻬ ٰـ ُﺮ ﺧ ٰـ ِﻠ‬
‫ﺪﻳﻦ ﻓﻴﻬﺎ‬ ِ ُ‫َو َﻣﻦ ﻳُ ِﻄ ِﻊ اﻟﻠـﻪَ َو َرﺳﻮﻟَ ُﻪ ﻳ‬
ُ ‫ﺪﺧ‬

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke


dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya.”[6]

ً َ‫َو َﻣﻦ ﻳُ ِﻄ ِﻊ اﻟﻠـﻪَ َو َرﺳﻮﻟَ ُﻪ َﻓ َﻘﺪ ﻓﺎ َز َﻓﻮ ًزا ﻋ‬


‫ﻈﻴﻤﺎ‬

“Barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah mendapat
kemenangan yang besar.”[7]

Dari ayat-ayat di atas, Murji’ah menyimpulkan bahwa selama seseorang itu beriman
kepada Allah, yaitu dengan memiliki tashdiq (membenarkan) tentang Allah dan
Rasul-Nya di dalam hatinya, maka kemaksiatan yang dia lakukan ketika dia dalam
kondisi beriman tersebut tidak akan mempengaruhinya sebagaimana ketaatan yang
dia lakukan jika dia dalam kondisi kafir itu tidak akan mempengaruhinya.

Ini adalah pemahaman yang menyelisihi apa yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-
jama’ah. Mereka meyakini bahwa iman itu tidak hanya sekedar tashdiq di dalam hati
saja, akan tetapi juga mencakup ucapan lisan dan perbuatan atau amalan anggota
tubuh.

Pemahaman ahlus-sunnah berada di tengah-tengah antara dua pemahaman


menyimpang Khawarij dan Murji’ah. Ahlus-sunnah meyakini bahwa iman itu bisa
bertambah dan berkurang; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.

Ahlus-sunnah juga meyakini bahwa di antara dosa dan kemaksiatan ada yang
namanya nawaqidhul-Islam (pembatal-pembatal keislaman), yaitu syirik akbar, kufur
akbar, dan nifaq akbar, di mana jika seseorang melakukan salah satu saja di antara
dosa pembatal keislaman ini, maka dia keluar dari Islam. Ahlus-sunnah meyakini
bahwa pelaku dosa besar, selama dosa tersebut bukan termasuk pembatal-pembatal
keislaman, maka dia tidak keluar dari Islam, seperti misalnya dosa membunuh dan
melakukan zina. Orang yang melakukan dosa seperti ini maka perkaranya
diserahkan kepada Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menghukumnya, dan
jika Dia berkehendak maka Dia akan mengampuninya.

Akidah yang lurus dan shahihah ini tidak akan bisa didapat kecuali setelah kita
menggabungkan berbagai dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah untuk mendapatkan
kesimpulan yang benar sesuai yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikhul-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata,

.‫ﻻ رﻳﺐ أن اﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ ﻓﻴﻬﻤﺎ وﻋﺪ ووﻋﻴﺪ‬

‫ ﻓﻬﺆﻻء‬،‫ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺒﻌﺾ وﻳﻜﻔﺮ ﺑﺒﻌﺾ‬،‫ واﻟﻌﺒﺪ ﻋﻠﻴﻪ أن ﻳﺼﺪق ﺑﻬﺬا وﺑﻬﺬا‬،‫ وﻣﺜﻞ ﻫﺬا ﻛﺜﻴﺮ ﻓﻲ اﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ‬:‫ﺛﻢ ﻗﺎل‬
،‫ واﻟﺤﺮورﻳﺔ واﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ أرادوا أن ﻳﺼﺪﻗﻮا ﺑﺎﻟﻮﻋﻴﺪ دون اﻟﻮﻋﺪ‬.‫ وﻛﺬﺑﻮا ﺑﺎﻟﻮﻋﻴﺪ‬،‫اﻟﻤﺸﺮﻛﻮن أرادوا أن ﻳﺼﺪﻗﻮا ﺑﺎﻟﻮﻋﺪ‬
.‫ واﻟﺬي ﻋﻠﻴﻪ أﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ واﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻹﻳﻤﺎن ﺑﺎﻟﻮﻋﺪ واﻟﻮﻋﻴﺪ‬،‫وﻛﻼﻫﻤﺎ أﺧﻄﺄ‬

‫ وإن ﺷﺎء ﻏﻔﺮ‬،‫ إن ﺷﺎء ﻋﺬﺑﻪ‬،‫ ﺛﻢ إن ﻛﺎن ﻣﻦ أﻫﻞ اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ ﻓﺄﻣﺮه إﻟﻰ ﷲ‬،‫ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ اﻹﻳﻤﺎن ﺑﻜﻞ ﻣﺎ ﺟﺎء ﺑﻪ اﻟﺮﺳﻮل‬:‫ﺛﻢ ﻗﺎل‬
‫ وﻣﻦ ﻛﺎن ﻟﻪ‬،‫ واﻟﺤﺴﻨﺎت ﺗﺤﺒﻄﻬﺎ اﻟﺮدة‬،‫ ﻓﺎﻟﺴﻴﺌﺎت ﺗﺤﺒﻄﻬﺎ اﻟﺘﻮﺑﺔ‬،‫ ﻛﺎن ﻓﻲ اﻟﻨﺎر‬،‫ ﻓﺈن ارﺗﺪ ﻋﻦ اﻹﺳﻼم وﻣﺎت ﻣﺮﺗﺪا‬،‫ﻟﻪ‬
‫ وﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺪ‬،‫ وﻣﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺷﺮا ﻳﺮه‬،‫ ﺑﻞ ﻣﻦ ﻳﻌﻤﻞ ﻣﺜﻘﺎل ذرة ﺧﻴﺮا ﻳﺮه‬،‫ ﻓﺈن ﷲ ﻻ ﻳﻈﻠﻤﻪ‬،‫ﺣﺴﻨﺎت وﺳﻴﺌﺎت‬
.‫ وﻳﺤﺴﻦ إﻟﻴﻪ ﺑﻤﻐﻔﺮﺗﻪ ورﺣﻤﺘﻪ‬،‫ﻳﺘﻔﻀﻞ ﻋﻠﻴﻪ‬

“Tidak diragukan lagi bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah terdapat


dalil wa’d (janji) dan wa’id (ancaman).

Kemudian beliau berkata: Dan yang semisal ini banyak di al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan seorang hamba wajib untuk membenarkan dalil yang ini dan dalil yang itu, tidak
boleh baginya untuk beriman kepada sebagiannya tetapi kufur terhadap sebagian
yang lainnya. Mereka kaum musyrikin ingin membenarkan dalil-dalil wa’d saja dan
mengingkari dalil-dalil wa’id. Sedangkan Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah ingin
membenarkan dalil-dalil wa’id saja tetapi tidak untuk dalil-dalil wa’d. Maka
keduanya telah salah. Yang diyakini oleh ahlus-sunnah wal-jama’ah adalah beriman
kepada dalil wa’d dan wa’id.

Kemudian beliau berkata: Tidak boleh tidak untuk beriman kepada semua yang
datang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian jika dia termasuk
pelaku dosa besar, maka perkaranya diserahkan kepada Allah. Jika Dia berkehendak
maka Dia akan menghukumnya, dan jika Dia berkehendak maka Dia akan
mengampuninya. Jika orang tersebut keluar dari Islam kemudian dia mati dalam
keadaan murtad, maka tempatnya di neraka. Maka, keburukan dihapuskan dengan
taubat, dan kebaikan dihapuskan dengan riddah (murtad, keluar dari Islam). Dan
bagi orang yang memiliki kebaikan dan keburukan, maka sesungguhnya Allah tidak
menzhaliminya. Akan tetapi, barangsiapa yang melakukan kebaikan walaupun hanya
sebesar dzarrah, maka dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa yang
melakukan keburukan walau hanya sebesar dzarrah, maka dia juga akan melihat
(balasan)nya. Dan Allah Ta’ala telah memberikan karunia-Nya dan berbuat baik
kepadanya dengan memberikan ampunan-Nya dan rahmat-Nya.”[8]

@ Dago, Bandung, 25 Dzul-Hijjah 1441 H

Dr. Andy Octavian Latief, M.Sc.

@almaaduuriy / andylatief.net

[1] Surat an-Nisa’: 82.

[2] Surat an-Najm: 3-4.

[3] Surat an-Nisa’: 14.

[4] Surat al-Jinn: 23.

[5] Surat al-Baqarah: 81.

[6] Surat an-Nisa’: 13.

[7] Surat al-Ahzab: 71.

[8] Majmu’ Fatawa Syaikhil-Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah (8/270).

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan
klik disini. Jazakallahu khaira

Copyright 2020 Muslim.Or.Id. All Rights Reserved.

Anda mungkin juga menyukai