Anda di halaman 1dari 7

Hakikat Dua Kalimat Syahadat

Dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa

Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh saja yaitu
orang yang mengucapkan syahadat dengan mengetahui maknanya, meyakininya, dan mengamalkan
konsekuensinya secara lahir dan batin. Karena tidak cukup hanya dengan melafazhkan syahadat saja
tanpa mengetahui maknanya. Begitu juga mengucapkan syahadat dengan mengetahui maknanya, tetapi
tidak mengamalkan konsekuensinya, maka ini juga tidak cukup. Yang wajib adalah mengucapkan,
mengetahui, meyakini dan mengamalkan konsekuensi kalimat yang agung ini, yaitu dengan mengesakan
Allâh dalam beribadah dan meninggalkan peribadahan kepada selain Allâh. Inilah makna syahadat Lâ
ilâha illallâh.

Jika seseorang tidak mengucapkan kalimat syahadat tersebut, maka dia tidak dihukumi Islam, walapun ia
mengetahuinya dengan hatinya dan beribadah kepada Allâh dalam amalannya, akan tetapi dia enggan
untuk mengucapkan kalimat syahadat. Seseorang tidak dihukumi sebagai seorang Muslim, sampai ia
mengucapkan kalimat syahadat,

Begitu juga orang yang mengucapkan kalimat syahadat dengan lisannya tetapi dia tidak meyakini
dengan hatinya, maka ia juga bukan seorang Muslim, tetapi seorang munafik. Orang munafik
mengucapkan kalimat Lâ ilaha illallâh tetapi mereka berada di neraka yang paling bawah. Mengapa?
Karena mereka tidak meyakini maknanya.

Termasuk, para penyembah kubur, mereka mengucapkan kalimat Lâ ilaha illallâh dengan lisan, tetapi
mereka tidak mengamalkan konsekuensinya. Mereka menyembah kubur serta berdoa kepada para wali
dan orang-orang shalih. Mereka mengikrarkan lafazh kalimat syahadat tetapi menyelisihi maknanya,
tidak jauh berbeda dengan orang musyrik yang mengingkari lafazh dan maknanya. Begitu juga orang
munafik yang melafazhkan kalimat syahadat tetapi tidak mengimaninya dengan hati mereka. Mereka
hampir sama, namun orang munafik lebih jelek dari orang kafir.

Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan
kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisâ`/4:145)

Kesimpulannya, bahwa kalimat Lâ ilâha illallâh merupakan kalimat yang agung, harus dipenuhi tiga hal
berikut:
1.Mengucapkannya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah disebutkan di atas.

2. Mengetahui maknanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ُ ‫فَا ْعلَ ْم َأنَّهُ اَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل هَّللا‬

Maka ketahuilah bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allâh …
[Muhammad/47:19]

3. Mengamalkan konsekuensinya.

Makna yang benar dari kalimat Tauhid ُ‫( اَل ِإ ٰلـهَ ِإاَّل هللا‬Lâ ilâha illallâh) adalah Tidak ada sesembahan yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh.”

Kalimat syahadat lâ ilâha illallâh memiliki dua rukun: yaitu al-itsbât (penetapan) dan an-nafyu
(peniadaan).

Lafazh lâ ilâha berarti peniadaan atau penolakan (an-nafyu) terhadap segala ilah (sesembahan) selain
Allâh.

Dan lafazh illallâh berarti penetapan (al-itsbât) bahwa segala bentuk ibadah (penghambaan) itu hanya
bagi Allâh semata, tidak ada sesuatu apa pun yang boleh dijadikan sebagai sekutu dalam peribadahan
kepada-Nya.

Konsekuensi dari dua rukun tersebut, yaitu seorang Muslim yang sudah mengucapkan kalimat tauhid ini
wajib menolak dan mengingkari semua yang disembah selain Allâh. Dan ia pun wajib menetapkan
bahwa satu-satunya yang benar dan yang wajib diibadahi hanya Allâh saja. Semua yang disembah dan
diibadahi selain Allâh adalah bathil. Kita wajib beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada
selain-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫ق َوَأ َّن َما يَ ْد ُعونَ ِم ْن دُونِ ِه هُ َو ْالبَا ِط ُل َوَأ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬ َ ِ‫ٰ َذل‬
ُّ ‫ك بَِأ َّن هَّللا َ ه َُو ْال َح‬

Demikianlah (kebesaran Allâh) karena Allâh, Dia-lah (Tuhan) Yang Haqq (untuk diibadahi). Dan apa saja
yang mereka ibadahi selain Dia, itulah yang bathil. Dan sungguh Allâh, Dia-lah Yang Mahatinggi,
Mahabesar. [Al-Hajj/22:62]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ُ‫ك لَه‬ ِ ‫“ َوحْ َدهُ اَل ش‬Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Kalimat
َ ‫َر ْي‬
wahdahu merupakan penekanan al-itsbât dan kalimat la syarika lahu merupakan penekanan an-nafyu.
Jadi kedua kalimat tersebut merupakan penekanan untuk kalimat Lâ ilâha illallâh, karena mengandung
al-itsbât dan an-nafyu.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika seorang Mukmin bersaksi dengan kalimat tauhid,
mengetahui maknanya dan hakikatnya dari segi nafyu dan itsbât, melaksanakan tuntutan
(konsekuensi)nya, serta hati, lisan dan anggota badannya melaksanakan syahadat tersebut, maka
kalimat yang baik inilah yang mengangkat amalan tersebut. Pangkalnya tertanam kuat dalam hati dan
akarnya sampai ke langit, ia mengeluarkan buahnya setiap saat.”[3]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Kalimat yang agung ini tidak akan membuahkan
manfaat bagi pemeluknya kecuali apabila ia memenuhi syarat-syarat kalimat lâ ilâha illallâh yang
tersebut dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Allâh Azza wa Jalla telah menyebutkan dalam surah Barâ`ah (at-
Taubah) dan surat yang lain tentang orang-orang yang mengucapkan kalimat ini tapi ucapan mereka
tidak bermanfaat sama sekali, sebagaimana keadaan kaum ahli kitab dan orang-orang munafik dengan
segala macamnya. Kalimat tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka karena mereka tidak
mengamalkan syarat-syaratnya.

Di antara mereka ada yang mengucapkannya tapi dia tidak mengetahui kandungan kalimat ini yaitu
berupa penolakan terhadap kesyirikan, berlepas dari kesyirikan tersebut, serta jujur dan ikhlas. Ini
menyebabkan mereka tidak bisa menerima orang-orang yang mendakwahkan kalimat ini dengan ilmu
dan amal, dan menyebabkan mereka tidak mau tunduk atau patuh untuk mengamalkan kandungannya
sebagaimana keadaan kebanyakan manusia yang mengucapkannya sejak zaman dahulu maupun
sekarang, akan tetapi kasus ini di zaman sekarang lebih banyak.

Di antara mereka ada yang terhalang dari mencintai dan mengamalkan kalimat ini oleh sifat sombong
dan hawa nafsunya.

Adapun orang-orang yang beriman dengan iman yang murni, mereka mengucapkannya dan
mengamalkan syarat-syaratnya, baik  dalam keilmuan, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, kecintaan,
penerimaan, dan ketundukan. Mereka memusuhi atas dasar kalimat ini, loyal di atas kalimat ini,
mencintai karenanya dan membenci karenanya.”[4]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ُ‫َوَأ َّن ِع ْي َسى َع ْب ُد هللاِ َو َرسُوْ لُهُ َو َكلِ َمتُهُ َأ ْلقَاهَا ِإلَى َمرْ يَ َم َورُوْ ٌح ِم ْنه‬

Dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikannya kepada
Maryam serta ruh dari-Nya.
Beliau adalah ‘Isa bin Maryam. Allâh Azza wa Jalla menciptakannya dari seorang ibu tanpa ayah. Ini
untuk menunjukkan kepada manusia bahwa Allâh Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu.

Kisah Maryam yang Allâh Azza wa Jalla sebutkan dalam al-Qur`an yaitu dia tumbuh dari rumah yang
baik, rumah ibadah. Ayahnya wafat ketika dia masih kecil, kemudian diasuh oleh Nabi Zakaria karena
bibinya merupakan isteri Zakaria Alaihissallam .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-
Nya.” Ini merupakan bantahan terhadap kaum Yahudi dan Nashrani. Bantahan terhadap Yahudi, karena
mereka mengingkari kerasulan ‘Isa Alaihissallam dan menuduhnya dengan tuduhan dusta –wal ‘iyâdzu
billâh-. Mereka mengatakan bahwa ‘Isa Alaihissallam adalah anak zina. Semoga Allâh Azza wa Jalla
menjelekkan dan menghinakan mereka. Mereka berusaha untuk membunuh Nabi ‘Isa Alaihissallam ,
tetapi Allâh menyelamatkannya dan mengangkatnya.

Dalam potongan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga terdapat bantahan terhadap kaum
Nashrani yang tidak menetapkan Isa Alaihissallam sebagai hamba Allâh. Mereka mengaku bahwa Isa
adalah anak Allâh, salah satu dari tuhan yang tiga, atau bahkan mengatakan bahwa Isa itu adalah Allâh.
Tiga perkataan mereka yang Allâh sebutkan dalam al-Qur`an:

‫لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َم ِسي ُح ابْنُ َمرْ يَ َم‬

Sungguh, telah kafir orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allâh itu dialah al-Masih putra Maryam…’” [Al-
Mâ`idah/5:17]

ُ ِ‫لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ ثَال‬


‫ث ثَاَل ثَ ٍة‬

Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allâh adalah salah satu dari yang tiga…” [Al-
Mâ`idah/5:73]

ِ ‫صا َرى ْال َم ِسي ُح ابْنُ هَّللا‬


َ َّ‫ت الن‬
ِ َ‫َوقَال‬
dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih putra Allâh (QS. At-Taubah/9:30)

Perkataan mereka itu kufur dan mereka adalah orang-orang kafir. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ۖ ِإنَّهُ َم ْن يُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ فَقَ ْد َح َّر َم هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬ ‫يل ا ْعبُدُوا هَّللا َ َربِّي َو َربَّ ُك ْم‬َ ‫ال ْال َم ِسي ُح يَا بَنِي ِإس َْراِئ‬ َ َ‫ۖ َوق‬ ‫لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ ه َُو ْال َم ِسي ُح ابْنُ َمرْ يَ َم‬
ٰ ٰ
َ‫ۚ َوِإ ْن لَ ْم يَ ْنتَهُوا َع َّما يَقُولُون‬ ‫ َو َما ِم ْن ِإلَ ٍه ِإاَّل ِإلَهٌ َوا ِح ٌد‬ ۘ ‫ث ثَاَل ثَ ٍة‬ ُ ِ‫﴾ لَقَ ْد َكفَ َر الَّ ِذينَ قَالُوا ِإ َّن هَّللا َ ثَال‬٧٢﴿ ‫ار‬ َ ‫ َو َما لِلظَّالِ ِمينَ ِم ْن َأ ْن‬ ۖ ‫ْال َجنَّةَ َو َمْأ َواهُ النَّا ُر‬
ٍ ‫ص‬
‫لَيَ َمس ََّّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْنهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬

Sungguh, telah kafir, orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allâh itu dialah al-Masih putra
Maryam.” padahal al-Masih  (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil! Beribadahlah kepada Allâh, Rabbku
dan Rabbmu.” Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh,
Allâh mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun
bagi orang-orang zhalim itu. Sungguh, telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allâh adalah
salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allâh Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka
akan ditimpa adzab yang pedih.” [Al-Mâ`idah/5:72-73]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada
Maryam.” Kalimat yang dimaksudkan adalah firman Allâh kepada ‘Isa Alaihissallam , “ ‫( ” ُك ْن‬Jadilah).
Karena ‘Isa Alaihissallam tercipta tanpa bapak, tetapi beliau tercipta dengan kalimat kun (jadilah), bukan
berarti ‘Isa Alaihissallam adalah kalimat tersebut. Nabi ‘Isa Alaihissallam dinamakan kalimat karena
beliau diciptakan dengannya, berbeda dengan manusia lain yang tercipta dari bapak dan ibu.
Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla firmankan juga perihal Adam:

ٍ ‫ َخلَقَهُ ِم ْن تُ َرا‬ ۖ ‫ِإ َّن َمثَ َل ِعي َس ٰى ِع ْن َد هَّللا ِ َك َمثَ ِل آ َد َم‬


َ َ‫ب ثُ َّم ق‬
ُ‫ال لَهُ ُك ْن فَيَ ُكون‬

Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allâh, seperti (penciptaan) Adam. Dia
menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. [Ali
‘Imrân/3:59]
Jika kalian heran dengan proses penciptaan ‘Isa Alaihissallam yang dilahirkan dari seorang ibu tanpa
bapak dan tercipta dengan kalimat kun (jadilah), maka bagaimana kalian tidak takjub dengan proses
penciptaan Nabi Adam Alaihissallam yang diciptakan dari tanah tanpa ibu dan bapak, tetapi dengan
kalimat kun (Jadilah). Jadi, sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan kekuasaan Allâh Azza wa Jalla .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “serta ruh dari-Nya.” Maksudnya adalah Isa
Alaihissallam tercipta dari ruh yang Allâh Azza wa Jalla ciptakan, bukan dari ruh atau dzat Allâh.

Kata ُ‫ ِم ْنه‬di atas berarti permulaan, artinya ruh itu bermula (tercipta) dari Allâh Azza wa Jalla ,
sebagaimana jika kita mengatakan bahwa rezeki itu dari Allâh, artinya rezeki kita itu datang dari Allâh
Azza wa Jalla dengan memberi kita kemudahan untuk meraihnya dan Allâh juga yang telah menciptakan
rezeki itu buat kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ِ ْ‫ت َو َما فِي اَأْلر‬


ُ‫ض َج ِميعًا ِم ْنه‬ ِ ‫َو َس َّخ َر لَ ُك ْم َما فِي ال َّس َما َوا‬

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai
rahmat) dari-Nya.” [Al-Jâtsiyah/45:13]

Maknanya, yaitu hal tersebut didapat, diturunkan, dan tercipta dari Allâh Azza wa Jalla .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ٌّ ‫َو ْالـ َجـنَّـةَ َحـ‬


ٌّ ‫ َوالنَّا َر َحـ‬، ‫ق‬
‫ق‬

dan surga adalah benar adanya dan neraka adalah benar adanya

Yaitu bersaksi bahwa surga dan neraka adalah benar. Keduanya adalah tempat yang sudah ada, sudah
diciptakan, kekal dan tidak fana. Surga untuk orang yang bertakwa dan neraka untuk orang kafir.
Sebagaimana yang disebutkan, bahwa tempat tinggal itu ada tiga:

Pertama, dunia yang merupakan tempat beramal dan berusaha.

Kedua, alam barzakh, yaitu alam kubur, antara dunia dan akhirat. Al-Barzakh maknanya yaitu pemisah,
kehidupan dalam kubur. Dinamakan al-hayâh al-barzakhiyyah (kehidupan alam kubur), di dalamnya ada
hal-hal luar biasa, ada nikmat atau adzab, bisa jadi kubur tersebut menjadi salah satu dari lubang neraka
atau salah satu taman surga. Orang yang sudah mati akan tetap berada dalam kuburnya sampai Allâh
Azza wa Jalla membangkitkan mereka dan pengumpulan mereka untuk hisâb (perhitungan) dan jazâ`
(balasan) amalan.

Ketiga, darul jazâ`, yang merupakan hari kiamat, surga atau neraka. Tempat ini kekal, tidak fana dan
tidak akan musnah selama-lamanya. Jika seseorang beriman bahwa dua tempat ini ada, maka keimanan
tersebut akan memotivasinya melakukan amal shalih dan bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahannya.

Jika ia yakin bahwa surga itu ada dan dia juga yakin bahwa surga itu tidak bisa dimasuki kecuali dengan
amal shalih, maka dia akan beramal. Jika ia yakin bahwa neraka itu ada akan menjadi tempat bagi para
pelaku maksiat, orang kafir dan pelaku keburukan, maka dia akan berhati-hati dari hal tersebut,
menjauhinya dan bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla

Jadi, beriman kepada hari akhir, surga, dan neraka akan membawa seorang hamba untuk melakukan
amal shalih serta bertaubat dari dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukannya.

Anda mungkin juga menyukai