PENDAHULUAN
1
Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, ”Para ulama telah
berkata mengenai makna dalam firman Allah, ”Dan mengikuti jalan yang
bukan jalan-jalan orang yang beriman” yang dimaksud adalah (jalan) para
Sahabat generasi pertama.
Mengikuti pemahaman para sahabat hukumnya wajib karena
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam telah mengabarkan tentang keadaan
akhir zaman yang Islam terpecah menjadi 73 golongan dan yang akan selamat
hanya 1 golongan, para sahabat bertanya “siapakah 1 golongan yang selamat
tersebut wahai Rasulullah?” maka Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam
bersabda “mereka adalah orang yang berjalan diatas ajaran yang sama
denganku saat ini dan para sahabat” (HR Ahmad).
Yang dimagsud dengan kata “saat ini” yang dicetak tebal di atas
adalah agama Islam yang murni yang terbebas dari ajaran yang baru dan di
ada – adakan baik dari segi Fiqh, akidah ataupun Muamalah itu artinya
golongan yang selamat hanyalah golongan yang berjalan di atas ajaran yang
dibawa oleh para sahabat dan segala permasalahan dalam agama diselesaikan
dengan pemahaman para sahabat sehingga tidak terjadi penyimpangan karena
tidak mungkin Rasulullah Shalallahu’alaihi wasalam meninggal dunia
kecuali agama ini telah sempurna dan tidak butuh akan tambahan dari segi
apapun, artinya tidak ada ajaran yang baru dalam Islam karena Allah ‘Azza
wa Jalla Berfirman:
ِ ت عَ ل َ يْ كُ ْم ن ِ عْ َم ت ِ ي َو َر
ُ ضي
ت ُ ْالْ ي َ ْو َم أ َ ْك َم ل
ُ ت ل َ كُ ْم ِد ي ن َكُ ْم َو أ َت ْ َم ْم
ۚ س ََل َم ِد ي ن ًا ْ اْلِ ْ ُل َ ك ُ م
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.”
2
terhadap penetapan nama dan sifat Allah sesuai dengan pemahaman Ahlus
sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Tauhid Asma wa sifat?
2. Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa
sifat?
3. Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk memahami Tauhid Asma’
wa sifat?
4. Apa saja larangan – larangan dalam penetapan Tauhid asma’ wa sifat?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang Apa itu Tauhid Asma wa sifat.
2. Menjelaskan Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid
Asma’ wa sifat.
3. Menjelaskan tentang Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk
memahami Tauhid Asma’ wa sifat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
ِ َ ي ءٌ ۚ َو ه ُ َو ال سَّ ِم ي ُع الْ ب
ص ي ُر ْ َْس كَ ِم ث ْ لِ ِه ش
َ لَي
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.” (QS Asy – Syura: 11)”
Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya tapi Allah sifati
dirinya dengan kata sami’ dan Bashir yaitu mendengar dan melihat, kedua kata
ini (mendengar dan melihat) dimiliki juga oleh makhluk tapi Allah mengatakan
tidak ada yang serupa dengan Allah, maka ini menandakan Allah melihat tapi
pengelihatan Allah tidak sama dengan makhluk, Allah mendengar tapi
pendengaran Allah tidak sama dengan pendengaran Makhluk, artinya dari segi
kata boleh sama tapi hakikatnya berbeda, barang siapa yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya niscaya orang tersebut keluar dari Islam.
Maka barang siapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat – sifat-
Nya atau menamakan Allah dengan menyifati-Nya dengan nama – nama dan
sifat – sifat Makhluk-Nya atau mena’wil dari maknanya yang benar, maka dia
telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan
Rasul-Nya Allah berfirman:
ْ َ ف َ َم ْن أ
َّ ظ ل َ مُ ِم َّم ِن ا فْ ت َ َر ٰى عَ ل َ ى
َّللا ِ كَ ِذ ب ً ا
“Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)
4
2.2 Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa sifat
Pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya
adalah satu bagian dari pembicaraan tentang Dzat Allâh Azza wa Jalla dan ini
termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin
mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Karena kemampuan akal
manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâh Azza wa Jalla ,
sebagaimana firman-Nya:
ع ْل ًما
ِ ُ يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ أ َ ْيدِي ِه ْم َو َما خ َْلفَ ُه ْم َو ََل يُ ِحي
طونَ بِ ِه
“Dia (Allâh) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada
di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”
[Thaha/20: 110]
5
ُت َو ْال ُهدَ ٰى ِم ْن بَ ْع ِد َما بَيَّنَّاه ِ ِإ َّن الَّذِينَ يَ ْكت ُ ُمونَ َما أ َ ْنزَ ْلنَا ِمنَ ْالبَيِنَا
َالَل ِعنُون َّ ب ۚ أُو ٰلَئِ َك يَ ْلعَنُ ُه ُم
َّ َّللاُ َويَ ْلعَنُ ُه ُم ِ اس فِي ْال ِكتَا ِ َِّللن
Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan
diri dengan mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat wahyu-Nya.
Imam Ahmad Berkata “Allah tidak disifati dengansesuatu yang lebih
banyak dari apa yang dia sifatkan untuk diri-Nya” Beliau juga berkata “ini
adalah sifat – sifat Allah yang Dia sifatkan bagi Diri-Nya dan kita tidak
menolaknya” (Al-Masa’il War Rasa’il al-Marwiyyah ‘an al-imam Ahmad,
1/276)
Imam Makhul Ad-Damasyqi dan Iman Az-Zuhri pernah ditanya tentang
penjelasan hadits dalam persoalan sifat kemudian keduanya menjawab
“perkara sifat sebagaimana yang disampaikan dalam hadits”
Ali Bin Al-Madini berkata “tidak ditanyakan mengapa dan kenapa, tetapi
yang ada adalah pembenaran dan iman kepadanya, meskipun ia tidak tahu
tafsir haditsnya hendaklah ia beriman dan tunduk” (Al-Lalika’I, 2/165)
Imam Abu Sufyan Ats-Tsauri berkata “Allah sebagaimana disampaikan
dalam nash, kita menetapkannya dan membicarakannya tanpa bertanya
bagaimana” (Ibthal At-Ta’wilat, hlm 47)
Imam Ibnu Mubarak berkata “engkau lalui sebagaimana ia datang tanpa
bertanya bagaimana” (Ibthal at-Ta’wilat, hlm 53)
Imam Hamad bin Salamah berkata “siapa yang engkau lihat mengingkari
hadits - hadits (tentang sifat – sifat Allah) ini maka curigailah agamanya”
6
Imam Yazid bin Harus berkata “siapa yang mendustakan hadits – hadits
tentang sifat – sifat Allah maka dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas
diri darinya”(Ibthal at-Ta’wilat, hlm 55)
Para ulama salaf menyifati Allah dengan apa yang Allah sifatkan untuk
Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa Tahrif dan
Ta’til, takyif dan Tamtsil
2.3 kaidah – kaidah penting dalam memahami Tauhid Asma’ wa sifat
2.3.1 Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang
membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib
untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan
tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al
Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas.
Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan
bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah
dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa
yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari
makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk
berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,
طنَ َواْلثْ َم َ ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َبَ ش َما َ اح ِ ي ْالفَ َوَ قُ ْل ِإنَّ َما َح َّر َم َر ِب
طانًا َوأ َ ْن تَقُولُواَ س ْل َّ ق َوأ َ ْن ت ُ ْش ِر ُكوا ِب
ُ اَّللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه ِ ي ِبغَي ِْر ْال َح
َ َو ْالبَ ْغ
٣٣( ََّللاِ َما َل ت َ ْعلَ ُمون
َّ ) َعلَى
“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
َ ان يُ ْن ِف ُق َكي
ْف َيشَا ُء َ سو
ِ َ طت ُ َب ْل يَدَاهُ َم ْب
7
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia
8
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-
9
Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan
pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai
adab yang baik kepada Allah ta’ala.
D. Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat
Allah, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya
pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang
muta’adi (membutuhkan objek)
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan
sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut. Contoh
nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung).
Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani
dengan menetapkan 2 hal:
1. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang
menunjukkan pada Dzat Allah
2. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut,
yaitu Al ‘Udzmah (keagungan)
Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman Tidak
sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3
hal:
1. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang
menunjukkan pada dzat Allah
2. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut,
yaitu Ar Rahmah
3. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati
siapa yang Allah kehendaki.
10
َو ِ ََّّللِ ْال َمث َ ُل األ ْعلَى
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl:
60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka
sifatnya harus sempurna.
B. Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan
kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah,
seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As
Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah
membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan
dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak
mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi
keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.
C. Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan
sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini
tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara
mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut
dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita
menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan
kekurangan.Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna
ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka
menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya)
Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini
(Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan
selain diatas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah
dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua. Allah ta’ala
berfirman,
11
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu
daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al
Anfal: 30)
12
ْ َ َوَل ي,)
٤٩( ظ ِل ُم َرب َُّك أ َ َحدًا
49)
13
2.4 Larangan – larangan dalam menetapkan Tauhid Asma’ wa sifat
2.4.1. Tahrif
Tahrif artinya mengubah, baik mengubah kata maupun
makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif makna. Pelaku
tahrif disebut muharrif. Tahrif ada dua macam
1. Tahrif lafdzi. Yaitu mengubah suatu bentuk kata ke bentuk
lainnya, baik dengan mengubah harakat, menambah kata atau
huruf, maupun dengan menguranginya.
2. Tahrif maknawi. Yaitu mengubah suatu makna dari hakikatnya,
dan menggantinya dengan makna kata lain. Seperti perkataan
ahlul bid’ah yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan
memberi nikmat, atau mengartikan sifat ghadab (marah) dengan
keinginan untuk membalas. Maksudnya adalah untuk menolak
sifat rahmah dan sifat ghadhab yang hakiki bagi Allah.
Ahlussunah wal jama’ah mengimani nama dan sifat Allah tanpa
disetai tahrif. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyyah li
Syaikh Fauzan)
2.4.2. Ta’thil
Ta’thil artinya mengosongkan dan meninggalkan. Maksudnya
adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah
Allah tetapkan untuk diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan
maupun sebagian, baik dengan men-tahrif maknanya maupun
menolaknya. Pelaku ta’thil disebut mu’atthil.
Walaupun nampak sama, terdapat perbedaan antara tahrif dan
ta’thil. Tahrif adalah menolak makna yang benar yang terdapat
dalam nash dan menggantinya dengan makna yang tidak benar.
Adapun ta’thil menolak makna yang benar namun tidak mengganti
dengan makna lain, seperti perbuatan mufawwidhah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa setiap muharrif adalah mu’atthil,
namun tidak setiap mu’atthil adalah muharrif.
14
2.4.3. Takyif
Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik)
suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan
“bagaimana?”. Ahlussnunnah wal jama’ah tidak men-takyif sifat
Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menunjukkan
larangan takyif.
اْلثْ َم
ِ طنَ َو َ َظ َه َر ِم ْن َها َو َما ب َ ش َما َ اح ِ ي ْالفَ َوَ ِقُ ْل إِنَّ َما َح َّر َم َرب
ً طانا َ س ْل
ُ ق َوأَن ت ُ ْش ِر ُكواْ ِباَّللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه ِ ي ِبغَي ِْر ْال َح
َ َو ْال َب ْغ
ََوأَن تَقُولُواْ َعلَى َّللاِ َما َلَ ت َ ْعلَ ُمون
15
Dalam ayat ini Allah melarang untuk mengikuti sesuatu tanpa
dasar ilmu, termasuk perbuatan takyif.
2.4.4. Tamtsil
Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir
sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Takyif lebih
umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil (orang yang melakukan
tamtsil) adalah mukayyif (orang yang melakukan takyif), namun
tidak setiap mukayyif adalah mumatstsil. Takyif adalah
menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan pembanding yang
setara. Misalnya seseorang mengatakan bahwa pena miliknya
bentuknya demikian dan demikian (tanpa menyebutkan contoh
pembandingnya). Jika dia menyebutkan pembanding yang setara,
maka dia melakukan tamtsil. Misalnya mengatakan bahwa pena
miliknya serupa dengan pena milik si A.
16
sudah cukup. Wujudnya Allah adalah wajib, sedangkan wujudnya
makhluk diawali dengan ketidakadaan dan akan berakhir. Jika ada
dua zat, wujudnya saja sudah berbeda, maka lebih-lebih lagi adanya
perbedaan dalam nama dan sifat pada kedua zat tersebut.
17
Allah berupa kekhususan seperti yang ada pada makhluk. Seperti
ungkapan bahwa tangan Allah sama dengan tangan makhluk,
istiwa’Allah sama dengan istiwa’ pada makhluk, dan lain-lain.
18
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kita dapat mengetahui Apa itu Tauhid Asma wa sifat.
2. Kita dapat mengetahui Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah
Tauhid Asma’ wa sifat.
3. Kita dapat mengetahui Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk
memahami Tauhid Asma’ wa sifat.
3.2.Saran
Semoga setelah mempelajari dan memahami pembahasan ini kita dapat
mengambil hikmah dari ajaran tauhid asma’ Wa Sifat tentang berbagai
macam golongan-golongan dalam memhami tauhid asma’ wa sifat dan
memahami pembagian-pembagian nama-nama dan sifat allah.
19
DAFTAR PUSTAKA
20