Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu sebab yang paling besar terjadinya kesesatan dalam
mengambil akidah adalah mendahulukan akal ketimbang dalil terutama dalam
masalah Asma’ wa sifat, sehingga ketika ada dalil yang berbicara tentang
Asma’ wa sifat lalu dalil tersebut bertentangan dengan akal mereka maka dalil
tersebut di bantah, di kritik, di komentari dengan akal mereka yang sempit
bahkan melakukan perubahan makna pada dalil tersebut sesuai dengan selera
mereka sehingga terjadi penyimpangan dari jalan yang benar dan kesesatan
yang nyata sehingga jadilah mereka Ahlul Bid’ah karena menyelisihi
pemahaman Ahlus Sunnah.
Yang dimagsud dengan Ahlus Sunnah adalah para sahabat karena para
sahabat dibimbing langsung oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam, itu
artinya para sahabat terbebas dari kesesatan dan satu – satunya jalan yang
selamat. Siapa saja yang mengikuti para sahabat maka iapun akan selamat
dari kesesatan, ia akan mendapatkan ridha Allah serta mendapatkan surga –
surga yang mengalir didalamnya sungai – sungai dan kemenangan yang
besar.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman yang artinya: ”Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam yaitu para sahabat) dari
golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
(mengikuti para sahabat) dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-
surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At- Taubah: 100)
Allah Ta’ala juga berfirman: ”Dan barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan
jalan-jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan
yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan
jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” ( QS An Nisaa: 115).

1
Imam Ibnu Abi Jamrah rahimahullah mengatakan, ”Para ulama telah
berkata mengenai makna dalam firman Allah, ”Dan mengikuti jalan yang
bukan jalan-jalan orang yang beriman” yang dimaksud adalah (jalan) para
Sahabat generasi pertama.
Mengikuti pemahaman para sahabat hukumnya wajib karena
Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam telah mengabarkan tentang keadaan
akhir zaman yang Islam terpecah menjadi 73 golongan dan yang akan selamat
hanya 1 golongan, para sahabat bertanya “siapakah 1 golongan yang selamat
tersebut wahai Rasulullah?” maka Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam
bersabda “mereka adalah orang yang berjalan diatas ajaran yang sama
denganku saat ini dan para sahabat” (HR Ahmad).
Yang dimagsud dengan kata “saat ini” yang dicetak tebal di atas
adalah agama Islam yang murni yang terbebas dari ajaran yang baru dan di
ada – adakan baik dari segi Fiqh, akidah ataupun Muamalah itu artinya
golongan yang selamat hanyalah golongan yang berjalan di atas ajaran yang
dibawa oleh para sahabat dan segala permasalahan dalam agama diselesaikan
dengan pemahaman para sahabat sehingga tidak terjadi penyimpangan karena
tidak mungkin Rasulullah Shalallahu’alaihi wasalam meninggal dunia
kecuali agama ini telah sempurna dan tidak butuh akan tambahan dari segi
apapun, artinya tidak ada ajaran yang baru dalam Islam karena Allah ‘Azza
wa Jalla Berfirman:

ِ ‫ت عَ ل َ يْ كُ ْم ن ِ عْ َم ت ِ ي َو َر‬
ُ ‫ضي‬
‫ت‬ ُ ْ‫الْ ي َ ْو َم أ َ ْك َم ل‬
ُ ‫ت ل َ كُ ْم ِد ي ن َكُ ْم َو أ َت ْ َم ْم‬
ۚ ‫س ََل َم ِد ي ن ًا‬ ْ ‫اْل‬ِ ْ ُ‫ل َ ك ُ م‬
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.”

Oleh karena itu pemahaman yang mengatakan untuk mendahulukan


akal terutama dalam penetapan nama dan sifat Allah dari pada dalil adalah
menyelisihi para sahabat dan keluar dari jalan yang selamat, karenanya
penulis tertarik untuk senantiasa membahas tentang pemahaman yang benar

2
terhadap penetapan nama dan sifat Allah sesuai dengan pemahaman Ahlus
sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu Tauhid Asma wa sifat?
2. Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa
sifat?
3. Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk memahami Tauhid Asma’
wa sifat?
4. Apa saja larangan – larangan dalam penetapan Tauhid asma’ wa sifat?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang Apa itu Tauhid Asma wa sifat.
2. Menjelaskan Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid
Asma’ wa sifat.
3. Menjelaskan tentang Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk
memahami Tauhid Asma’ wa sifat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tauhid Asma wa sifat


Syaikh Sholeh Fauzan Al Fauzan Hafidzahullahu Ta’ala berkata “Makna
tauhid asma’ wa sifat adalah beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-
Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya
menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta’wil (Merubah makna) dan ta’thil
(menghilangkan makna atau sifat Allah), takyif (mempersoalkan hakikat asma
Allah dan sifat-sifatNya), dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan
makhlukNya).. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

ِ َ ‫ي ءٌ ۚ َو ه ُ َو ال سَّ ِم ي ُع الْ ب‬
‫ص ي ُر‬ ْ َ‫ْس كَ ِم ث ْ لِ ِه ش‬
َ ‫لَي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dialah yang Maha
Mendengar dan Melihat.” (QS Asy – Syura: 11)”
Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya tapi Allah sifati
dirinya dengan kata sami’ dan Bashir yaitu mendengar dan melihat, kedua kata
ini (mendengar dan melihat) dimiliki juga oleh makhluk tapi Allah mengatakan
tidak ada yang serupa dengan Allah, maka ini menandakan Allah melihat tapi
pengelihatan Allah tidak sama dengan makhluk, Allah mendengar tapi
pendengaran Allah tidak sama dengan pendengaran Makhluk, artinya dari segi
kata boleh sama tapi hakikatnya berbeda, barang siapa yang menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya niscaya orang tersebut keluar dari Islam.
Maka barang siapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat – sifat-
Nya atau menamakan Allah dengan menyifati-Nya dengan nama – nama dan
sifat – sifat Makhluk-Nya atau mena’wil dari maknanya yang benar, maka dia
telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan
Rasul-Nya Allah berfirman:
ْ َ ‫ف َ َم ْن أ‬
َّ ‫ظ ل َ مُ ِم َّم ِن ا فْ ت َ َر ٰى عَ ل َ ى‬
‫َّللا ِ كَ ِذ ب ً ا‬
“Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)

4
2.2 Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah Tauhid Asma’ wa sifat
Pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Azza wa Jalla dan Sifat-sifat-Nya
adalah satu bagian dari pembicaraan tentang Dzat Allâh Azza wa Jalla dan ini
termasuk perkara ghaib. Oleh karena itu, manusia tidak mungkin
mengetahuinya secara rinci kecuali dengan wahyu. Karena kemampuan akal
manusia tidak akan bisa mengetahui segala hal tentang Allâh Azza wa Jalla ,
sebagaimana firman-Nya:

‫ع ْل ًما‬
ِ ُ ‫يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ أ َ ْيدِي ِه ْم َو َما خ َْلفَ ُه ْم َو ََل يُ ِحي‬
‫طونَ بِ ِه‬
“Dia (Allâh) mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada
di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.”
[Thaha/20: 110]

Jadi, pembicaraan tentang Nama-nama Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan


Sifat-sifat-Nya adalah adalah tauqifiyyah, artinya: terbatas hanya pada
keterangan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak ditambah, tidak
dikurangi. Karena kalau kita menambahi, berarti kita telah berbicara tanpa
ilmu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل‬


َ َ‫س ْم َع َو ْالب‬
َّ ‫ْس لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ال‬َ ‫ف َما لَي‬ُ ‫َو ََل ت َ ْق‬
‫وَل‬ً ُ ‫أُو ٰلَ ِئ َك َكانَ َع ْنهُ َم ْسئ‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. [Al-Isrâ’/17: 36]

Dan jika kita mengurangi, berarti kita menyembunyikan atau mengingkari


Nama yang telah Allâh Azza wa Jalla beritakan kepada kita, dan itu
merupakan kejahatan terhadap hak Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla
berfirman:

5
ُ‫ت َو ْال ُهدَ ٰى ِم ْن بَ ْع ِد َما بَيَّنَّاه‬ ِ ‫ِإ َّن الَّذِينَ يَ ْكت ُ ُمونَ َما أ َ ْنزَ ْلنَا ِمنَ ْالبَيِنَا‬
َ‫الَل ِعنُون‬ َّ ‫ب ۚ أُو ٰلَئِ َك يَ ْلعَنُ ُه ُم‬
َّ ‫َّللاُ َويَ ْلعَنُ ُه ُم‬ ِ ‫اس فِي ْال ِكتَا‬ ِ َّ‫ِللن‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami


turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah
Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dila’nati
Allâh dan dila’nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela’nati.” [Al-
Baqarah/2:159]

Oleh karena itu, kita wajib beradab dalam masalah ini dan mencukupkan
diri dengan mengenal Nama dan Sifat Allâh lewat wahyu-Nya.
Imam Ahmad Berkata “Allah tidak disifati dengansesuatu yang lebih
banyak dari apa yang dia sifatkan untuk diri-Nya” Beliau juga berkata “ini
adalah sifat – sifat Allah yang Dia sifatkan bagi Diri-Nya dan kita tidak
menolaknya” (Al-Masa’il War Rasa’il al-Marwiyyah ‘an al-imam Ahmad,
1/276)
Imam Makhul Ad-Damasyqi dan Iman Az-Zuhri pernah ditanya tentang
penjelasan hadits dalam persoalan sifat kemudian keduanya menjawab
“perkara sifat sebagaimana yang disampaikan dalam hadits”
Ali Bin Al-Madini berkata “tidak ditanyakan mengapa dan kenapa, tetapi
yang ada adalah pembenaran dan iman kepadanya, meskipun ia tidak tahu
tafsir haditsnya hendaklah ia beriman dan tunduk” (Al-Lalika’I, 2/165)
Imam Abu Sufyan Ats-Tsauri berkata “Allah sebagaimana disampaikan
dalam nash, kita menetapkannya dan membicarakannya tanpa bertanya
bagaimana” (Ibthal At-Ta’wilat, hlm 47)
Imam Ibnu Mubarak berkata “engkau lalui sebagaimana ia datang tanpa
bertanya bagaimana” (Ibthal at-Ta’wilat, hlm 53)
Imam Hamad bin Salamah berkata “siapa yang engkau lihat mengingkari
hadits - hadits (tentang sifat – sifat Allah) ini maka curigailah agamanya”

6
Imam Yazid bin Harus berkata “siapa yang mendustakan hadits – hadits
tentang sifat – sifat Allah maka dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas
diri darinya”(Ibthal at-Ta’wilat, hlm 55)
Para ulama salaf menyifati Allah dengan apa yang Allah sifatkan untuk
Diri-Nya dan dengan apa yang disifatkan oleh Rasul-Nya tanpa Tahrif dan
Ta’til, takyif dan Tamtsil
2.3 kaidah – kaidah penting dalam memahami Tauhid Asma’ wa sifat
2.3.1 Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang
membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al Quran dan As Sunnah kita wajib
untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar dzahir nash dan
tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al
Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas.
Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan
bahasa Arab, sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah
dan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa
yang ditunjukkan secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari
makna dzahir merupakan perbuatan terlarang, karena ini termasuk
berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah berfirman,

‫طنَ َواْلثْ َم‬ َ ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب‬َ ‫ش َما‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ي ْالفَ َو‬َ ‫قُ ْل ِإنَّ َما َح َّر َم َر ِب‬
‫طانًا َوأ َ ْن تَقُولُوا‬َ ‫س ْل‬ َّ ‫ق َوأ َ ْن ت ُ ْش ِر ُكوا ِب‬
ُ ‫اَّللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه‬ ِ ‫ي ِبغَي ِْر ْال َح‬
َ ‫َو ْالبَ ْغ‬
٣٣( َ‫َّللاِ َما َل ت َ ْعلَ ُمون‬
َّ ‫) َعلَى‬
“Katakanlah: ‘Rabbku mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang

nampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia


tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengatakan tentang Allah
apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)
Sebagai contoh, firman Allah ta’ala,

َ ‫ان يُ ْن ِف ُق َكي‬
‫ْف َيشَا ُء‬ َ ‫سو‬
ِ َ ‫طت‬ ُ ‫َب ْل يَدَاهُ َم ْب‬

7
“(Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbentang. Dia

menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS. Al Ma’idah)

Secara dzahir, ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai


dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan dua tangan Allah
tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut
maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan
makna Al Quran dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian
karena ini berati kita berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.
2.3.2 Kaidah dalam Asma Allah
A. Asma Allah seluruhnya husna (paling baik)
Dalam kebaikan Allahlah yang paling tinggi karena nama
Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan di
dalamnya dari segala sisi.

‫َو ِ ََّّللِ األ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَى‬


“Dan bagi Allah asmaul husna” (Al A’raf: 180)

Contoh, Ar Rahman adalah salah satu dari nama-nama


Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat
yang luas.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita tahu bahwa ad dahr


(waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah karena tidak
mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam

“Janganlah kalian menela dahr (masa) karena Allah adalah

Dahr” (HR. Muslim)

Maka maknanya adalah Allah lah yang menguasai masa.


Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,

8
“Di tangan-Ku lah segala urusan, Aku yang membolak-

balikkan siang dan malam” (HR. Bukhari)

B. Nama Allah tidak dibatasi pada bilangan tertentu


Kaidah ini didasari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang masyhur,

“Ya Allah aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-

Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau turunkan


dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari
makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam
ilmu ghaib di sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)

Lalu bagaimana menggabungkan dengan hadits berikut, “

Sesngguhnya ada 99 nama milik Allah, barang siapa menjaganya


akan masuk syurga” (HR. Bukhari)
Makna hadits ini adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama
yang jika kita menjaganya kita akan masuk syurga. Dan tidaklah
dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya 99. Kita bisa
melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100
dirham untuk disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak
menafikan kalau saya mempunyai dirham yang lain yang saya
peruntukkan untuk selain sedekah.
C. Nama Allah tidak dapat ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus
dengan dalil syar’i
Nama Allah adalah tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan
berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh menambahnya dan tidak
boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai semua
yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini
kita wajib untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini
karena menamai Allah dengan nama yang tidak Allah namakan
diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari nama yang

9
Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan
pelanggaran terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai
adab yang baik kepada Allah ta’ala.
D. Seluruh nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas dzat
Allah, sifat yang terkandung di dalam nama tersebut, dan adanya
pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah nama yang
muta’adi (membutuhkan objek)
Dan tidak sempurna iman seseorang terhadap asma dan
sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal tersebut. Contoh
nama Allah yang bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung).
Tidak sempurna mengimani nama ini sampai mengimani
dengan menetapkan 2 hal:
1. Menetapkan Al Adzim sebagai nama Allah yang
menunjukkan pada Dzat Allah
2. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut,
yaitu Al ‘Udzmah (keagungan)
Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar Rahman Tidak
sempurna mengimaninya sampai mengimani dengan menetapkan 3
hal:
1. Menetapkan Ar Rahman sebagai nama Allah yang
menunjukkan pada dzat Allah
2. Menetapkan sifat yang terkandung dalam nama tersebut,
yaitu Ar Rahmah
3. Menetapkan adanya pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati
siapa yang Allah kehendaki.

2.3.3 Kaidah dalam memahami sifat Allah


A. Sifat Allah seluruhnya tinggi, sempurna, mengandung pujian,
dan tidak ada kekurangan dari sisi mana pun. Seperti Al Hayah
(hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al Qudrah (kehendak), As
Sama (mendengar), Al Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar
Rahmah, Al Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,

10
‫َو ِ ََّّللِ ْال َمث َ ُل األ ْعلَى‬
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi” (Qs. An Nahl:

60)
Karena Allah adalah Rabb yang maha sempurna maka
sifatnya harus sempurna.
B. Jika suatu sifat menunjukkan kekurangan dan bukan
kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat itu dimiliki Allah,
seperti Al Maut (mati), Al Jahl (bodoh), Al Ajs (lemah), As
Samam (tuli), Al ‘Ama (buta), dll. Oleh karena itu Allah
membantah orang yang mensifati diri-Nya dengan kekurangan
dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak
mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi
keberadaan-Nya sebagai Rab semesta alam.
C. Jika sifat tersebut di satu sisi menunjukkan kesempurnaan
sedangkan di sisi lain menunjukkan kekurangan maka sifat ini
tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari Allah secara
mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut
dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita
menolak sifat tersebut dalam keadaan yang menunjukkan
kekurangan.Contohnya sifat Al Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna
ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat yang sempurna jika dalam rangka
menghadapi semisalnya (membalas orang yang berbuat tipu daya)
Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini
(Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan sifat yang kurang dalam keadaan
selain diatas. Maka kita menetapkan sifat tersebut untuk Allah
dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua. Allah ta’ala
berfirman,

َ‫َّللاُ َخي ُْر ْال َما ِك ِرين‬ َّ ‫َو َي ْم ُك ُر‬


َّ ‫َّللاُ َو‬

11
“Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu
daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Qs. Al
Anfal: 30)

١٦( ‫) َوأ َ ِكيد ُ َك ْيدًا‬١٥( ‫)إِنَّ ُه ْم يَ ِكيدُونَ َك ْيدًا‬


“Sesungguhnya orang kafir itu merencanakan tipu daya yang
jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat rencana
(pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)

َّ َ‫ِإ َّن ْال ُمنَافِ ِقينَ يُخَا ِدعُون‬


ُ ‫َّللاَ َو ُه َو خَا ِد‬
‫ع ُه ْم‬
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah

akan membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa: 142)

Jika dikatakan Apakah Allah disifati dengan Al Makr?


Maka jangan menjawab “ya” dan jangan pula menjawab “tidak”,
akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang yang
pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.
E. Sifat Allah terbagi menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
Tsubutiyah yaitu sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya
seperti Al Hayah, Al Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita
tetapkan pada Allah sesuai dengan keagungan-Nya karena Allah
sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan Allah lebih
mengetahui tentang sifat diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat yang Allah nafikan (tiadakan) untuk
diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib kita nafikan pada Allah
karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada diri-Nya. Dan kita
wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan
lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan.
Penafian tidak sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.
Contohnya, Firman Allah ta’ala,

12
ْ َ‫ َوَل ي‬,)
٤٩( ‫ظ ِل ُم َرب َُّك أ َ َحدًا‬

“Dan Rabmu tidak menganiaya seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi:

49)

Kita wajib menafikan sifat dzalim dari Allah disertai dengan


keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah yang mana sifat adil
tersebut dalam bentuk yang sempurna.
F. Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu sifat dzatiyah dan sifat
fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu sifat yang terus-menerus ada (selalu
melekat) pada diri Allah seperti sifat As Sama, Al Bashar
Sifat fi’liyah yaitu sifat yang terikat dengan kehendak
Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia melakukannya dan jika
Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya.
Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy, sifat maji’ (datang).

Dan ada beberapa sifat yang termasuk sifat dzatiyah


sekaligus fi’liyah jika dilihat dari dua sisi. Contohnya sifat kalam
(berbicara). Dilihat dari sisi asalnya sifat tersebut merupakan sifat
dzatiyah karena Allah senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari
sisi lain, kalam merupakan sifat fi’liyah karena Allah berbicara
tergantung pada kehendak-Nya. Dia berbicara kapan dan
bagaimana Dia kehendaki.
(Sumber: Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih
al Utsaimin)

13
2.4 Larangan – larangan dalam menetapkan Tauhid Asma’ wa sifat
2.4.1. Tahrif
Tahrif artinya mengubah, baik mengubah kata maupun
makna. Namun yang banyak terjadi adalah tahrif makna. Pelaku
tahrif disebut muharrif. Tahrif ada dua macam
1. Tahrif lafdzi. Yaitu mengubah suatu bentuk kata ke bentuk
lainnya, baik dengan mengubah harakat, menambah kata atau
huruf, maupun dengan menguranginya.
2. Tahrif maknawi. Yaitu mengubah suatu makna dari hakikatnya,
dan menggantinya dengan makna kata lain. Seperti perkataan
ahlul bid’ah yang mengartikan sifat rahmah dengan keinginan
memberi nikmat, atau mengartikan sifat ghadab (marah) dengan
keinginan untuk membalas. Maksudnya adalah untuk menolak
sifat rahmah dan sifat ghadhab yang hakiki bagi Allah.
Ahlussunah wal jama’ah mengimani nama dan sifat Allah tanpa
disetai tahrif. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Waasithiyyah li
Syaikh Fauzan)
2.4.2. Ta’thil
Ta’thil artinya mengosongkan dan meninggalkan. Maksudnya
adalah mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah
Allah tetapkan untuk diri-Nya, baik mengingkari keseluruhan
maupun sebagian, baik dengan men-tahrif maknanya maupun
menolaknya. Pelaku ta’thil disebut mu’atthil.
Walaupun nampak sama, terdapat perbedaan antara tahrif dan
ta’thil. Tahrif adalah menolak makna yang benar yang terdapat
dalam nash dan menggantinya dengan makna yang tidak benar.
Adapun ta’thil menolak makna yang benar namun tidak mengganti
dengan makna lain, seperti perbuatan mufawwidhah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa setiap muharrif adalah mu’atthil,
namun tidak setiap mu’atthil adalah muharrif.

14
2.4.3. Takyif
Takyif artinya menyebutkan tentang kaifiyyah (karakteristik)
suatu sifat. Takyif merupakan jawaban dari pertanyaan
“bagaimana?”. Ahlussnunnah wal jama’ah tidak men-takyif sifat
Allah. Terdapat dalil naqli dan dalil ‘aqli yang menunjukkan
larangan takyif.

Dalil naqli, yaitu firman Allah Ta’ala :

‫اْلثْ َم‬
ِ ‫طنَ َو‬ َ َ‫ظ َه َر ِم ْن َها َو َما ب‬ َ ‫ش َما‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ي ْالفَ َو‬َ ِ‫قُ ْل إِنَّ َما َح َّر َم َرب‬
ً ‫طانا‬ َ ‫س ْل‬
ُ ‫ق َوأَن ت ُ ْش ِر ُكواْ ِباَّللِ َما لَ ْم يُن َِز ْل ِب ِه‬ ِ ‫ي ِبغَي ِْر ْال َح‬
َ ‫َو ْال َب ْغ‬
َ‫َوأَن تَقُولُواْ َعلَى َّللاِ َما َلَ ت َ ْعلَ ُمون‬

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,

baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,


melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) berkata tentang
Allah apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-A’raf:33)

Dalil yang lain yaitu firman Allah :

‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل‬


َ َ‫س ْم َع َو ْالب‬
َّ ‫ْس لَ َك بِ ِه ِع ْل ٌم ِإ َّن ال‬
َ ‫ف َما لَي‬ ُ ‫َوَلَ ت َ ْق‬
ً‫أُولـئِ َك َكانَ َع ْنهُ َم ْسؤُوَل‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan


dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya “ (Al-
Isra’:36).

15
Dalam ayat ini Allah melarang untuk mengikuti sesuatu tanpa
dasar ilmu, termasuk perbuatan takyif.

2.4.4. Tamtsil
Tamtsil adalah menyebutkan sesuatu dengan yang
semisalnya. Takyif dan tamtsil mempunyai makna yang hampir
sama, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Takyif lebih
umum daripada tamtsil. Setiap mumatstsil (orang yang melakukan
tamtsil) adalah mukayyif (orang yang melakukan takyif), namun
tidak setiap mukayyif adalah mumatstsil. Takyif adalah
menyebutkan bentuk sesuatu tanpa menyebutkan pembanding yang
setara. Misalnya seseorang mengatakan bahwa pena miliknya
bentuknya demikian dan demikian (tanpa menyebutkan contoh
pembandingnya). Jika dia menyebutkan pembanding yang setara,
maka dia melakukan tamtsil. Misalnya mengatakan bahwa pena
miliknya serupa dengan pena milik si A.

Yang dimaksud tamtsil dalam asma’ wa shifat adalah


menyamakan nama dan sifat Allah dengan makhluk. Sebagian ulama
ada yang menggolongkan tamtsil termasuk takyif muqayyad. Takyif
ada dua bentuk : takyif mutlaq (takyif) dan takyif muqayyad
(tamtsil)

Perbuatan tamtsil terlarang dalam memahami nama dan


sifat Allah karena banyak dalil yang melarang tamtsil, seperti firman
Allah dalam surat As-Syuura 11, Maryam 65, dan Al-Ikhlas 4.
Secara akal tamtsil juga tidak bisa diterima karena alasan-alasan
berikut :

Tidak mungkin ada persamaan antara Allah dengan


makhluk dalam segala sisi. Seandainya tidak ada perbedaan di antara
Allah dan makhluk kecuali dalam perbedaan wujud, niscaya itupun

16
sudah cukup. Wujudnya Allah adalah wajib, sedangkan wujudnya
makhluk diawali dengan ketidakadaan dan akan berakhir. Jika ada
dua zat, wujudnya saja sudah berbeda, maka lebih-lebih lagi adanya
perbedaan dalam nama dan sifat pada kedua zat tersebut.

Terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sifat Allah


dengan sifat makhluk. Sifat as sam’u (pendengaran) misalnya.
Pendengaran Allah sangat sempurna, sedangkan makhluk sangat
terbatas.

Zat Allah berbeda dengan makhluk, maka sifat-sifatnya pun


berbeda, karena adanya sifat selalu menyertai pada suatu zat.
Di antara para makhluk saja terdapat perbedaan satu dengan yang
lainnya. Bahkan makhluk yang jenisnya sama pun memiliki sifat
yang berbeda, Tentu saja lebih-lebih lagi perbedan antara makhluk
dengan Zat yang menciptakan mereka. Tasybih (tamtsil) ada dua
bentuk :

1. Tasybih al-makhluq bil Khaaliq (menyamakan makhluk dengan


pencipta). Maksudnya menetapkan sesuatu bagi makhluk yang
merupakan kekhususan Allah, baik dalam perbuatan-Nya, hak-
Nya untuk diibadahi, maupun dalam nama dan sifat-Nya. Dalam
perbuatan-Nya, seperti orang yang berbuat syirik dalam
rububiyyah, yakni meyakini bahwa ada pencipta selain Allah.
Dalam hak-Nya untuk diibadahi, misalnya perbuatan orang-
orang musyrik terhadap berhala-berhala mereka, di mana mereka
meyakini bahwa berhala-berhala tersebut mempunyai hak untuk
disembah. Dalam sifat Allah, misalnya orang-orang yang
berlebihan dalam memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan pujian yang khusus bagi Allah.
2. Tasybih Al-Khaaliq bil makhluq (menyerupakan pencipta
dengan makhluk). Maksudnya menetapkan bagi zat maupun sifat

17
Allah berupa kekhususan seperti yang ada pada makhluk. Seperti
ungkapan bahwa tangan Allah sama dengan tangan makhluk,
istiwa’Allah sama dengan istiwa’ pada makhluk, dan lain-lain.

18
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kita dapat mengetahui Apa itu Tauhid Asma wa sifat.
2. Kita dapat mengetahui Bagaimana Manhaj Salafus Sholeh dalam masalah
Tauhid Asma’ wa sifat.
3. Kita dapat mengetahui Apa saja kaidah – kaidah penting dalam untuk
memahami Tauhid Asma’ wa sifat.
3.2.Saran
Semoga setelah mempelajari dan memahami pembahasan ini kita dapat
mengambil hikmah dari ajaran tauhid asma’ Wa Sifat tentang berbagai
macam golongan-golongan dalam memhami tauhid asma’ wa sifat dan
memahami pembagian-pembagian nama-nama dan sifat allah.

19
DAFTAR PUSTAKA

20

Anda mungkin juga menyukai