“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah?
Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)
َانَّمَا ا ْلم ُْؤ ِمنُونَ الَّذِينَ آ َمنُوا ِباللَّ ِه وَ رَ سُو ِل ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا[ وَ جَ ا َهدُوا ِب َأمْ وَ ا ِل ِه ْم وَ َأ ْنف ُِس ِه ْم ِفي س َِبي ِل اللَّ ِه أُولَئِكَ ُه ُم الصَّ ا ِد ُقون
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-
Hujurat, 49: 15)
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pribadi yang beriman adalah mereka yang
benar-benar dalam beriman kepada Rabb-nya, mengikuti Rasul-Nya, dan menaati-Nya,
kemudian mereka tidak bimbang dan ragu, dan tidak pula goyah, bahkan mereka
semakin kokoh dalam keimanan yang sebenarnya.[2]
Keimanan yang dikehendaki dari pribadi islami adalah keimanan yang disertai dengan
keyakinaan (al-yaqin). Berkenaan dengan hal ini Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يهمَا ِإالَّ دَخَ َل ا ْلجَ نَّ َة ٍ ّ َأشْ َه ُد َأنْ الَ ِإلَ َه ِإالَّ اللَّ ُه وَ َأ ِنّى رَ سُو ُل اللَّ ِه الَ يَ ْلقَى اللَّ َه ِب ِهمَا عَ ْب ٌد َغيْرَ ش
ِ َاك ِف
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah
utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia)
dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan
memasukkannya ke surga” (HR. Muslim no. 147).
Keimanan yang dikehendaki dari setiap pribadi muslim, selain keimanan yang
mengandung keyakinan, juga keimanan yang dibarengi sikap taslim (berserah diri
kepada Allah Ta’ala). Yakni tunduk pada ketentuan Allah dan rasul-Nya sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya,
ُ
ِ ستَمْ سَكَ ِبا ْلعُرْ وَ ِة ا ْلوُ ْثقَىٰ ۗ وَ ِإلَى اللَّ ِه عَ ا ِقبَ ُة اأْل م
ُور ْ س ِل ْم وَ ْج َه ُه ِإلَى اللَّ ِه وَ ُهوَ م ُْح ِسنٌ َف َق ِد ا
ْ ُوَ مَنْ ي
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.
dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman, 31: 22)
Menyerahkan diri kepada Allah yaitu mengikhlaskan amalnya dan tunduk kepada
perintah-Nya serta mengikuti syariat-Nya. Selalu berbuat ihsan di dalam amalnya
dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhkan diri dari apa yang
dilarang-Nya.[3]
Bahkan keimanan seorang pribadi muslim pun—setelah diiringi keyakinan dan
sikap taslim, hendaknya dibarengi dengan sikap as-sam’u wa-tha’ah (mendengar dan
taat). Mereka membaca dan mendengar ayat-ayat Allah Ta’ala dengan penuh perhatian
dan pengertian kemudian taat terhadap perintah dan larangan yang ada padanya,
dengan ketaatan yang sungguh-sungguh.[4]
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan
mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami taat.’ (mereka berdoa): ‘Ampunilah kami Ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 285)
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan minhaj (jalan
yang terang)…” (Q.S. Al-Maidah, 5: 48)
Dalam melaksanakan itu semua, pribadi muslim beriman juga benar-benar tidak merasa
berat/enggan (‘adamul haraj) terhadap keputusan yang telah ditentukan
Allah Ta’ala dan rasulNya. Allah Ta’ala berfirman,
ْ َس ِلّمُوا ت
س ِليمًا ِ شجَ رَ بَ ْينَ ُه ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا ِفي َأ ْنف
َ ُُس ِه ْم حَ رَ ًجا ِممَّا َقضَ ْيتَ وَ ي َ َفاَل وَ رَ ِبّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ حَ تَّىٰ يُحَ ِّكمُوكَ ِفيمَا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisa, 4: 65)
الَي ُْؤمِنُ َأحَ ُد ُك ْم حَ تَّى يَ ُكوْ نَ َهوَ ا ُه تَبَعًا ِلمَا ِج ْئتُ ِب ِه
Selain ‘adamul haraj, di dalam diri pribadi muslim beriman juga tidak tertanam
alternatif-alternatif lain selain tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah Ta’ala dan
rasul-Nya itu (‘adamul khiyarah),
ِ ْوَ مَا َكانَ ِلم ُْؤ ِم ٍن وَ اَل م ُْؤ ِمنَ ٍة ِإ َذا َقضَ ى اللَّ ُه وَ رَ سُولُ ُه َأمْ رً ا َأنْ يَ ُكونَ لَ ُه ُم ا ْل ِخيَرَ ُة مِنْ َأمْ ِر ِه ْم ۗ وَ مَنْ يَع
ص اللَّ َه وَ رَ سُولَ ُه َف َق ْد ضَ َّل
ضَ اَل اًل م ُِبينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab, 33:
36)
Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dikaitkan dengan dua peristiwa:
Ayat di atas bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu jika Allah dan rasul-Nya
menetapkan sesuatu, maka tidak boleh bagi seseorang memiliki pilihan lain, baik
pemikiran atau pendapat.
Pribadi Bertakwa
Manakala ciri-ciri keimanan tersebut di atas telah tertanam di dalam jiwa seseorang,
maka dapatlah dikatakan, takwa itu telah tumbuh dalam jiwanya. Rasulullah shalallahu
‘alihi wa sallam pernah menyebut-nyebut kata takwa di antaranya dalam hadits berikut.
ُاَل يَ ْبلُ ُغ ا ْل َع ْب ُد َأنْ يَ ُكونَ مِنْ ا ْل ُمتَّقِينَ حَ تَّى يَ َدعَ مَا اَل ب َْأسَ ِب ِه حَ َذرً ا ِلمَا ِب ِه ا ْلب َْأس
”Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketakwaan sehingga
ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang
dilarang” (Hadist hasan diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi) .
Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin
Ka’ab tentang Takwa. Ubay balik bertanya: “Apakah Anda pernah melewati jalan yang
penuh duri?”, “Pernah” Jawab Umar. Ubay bertanya kembali: “Bagaimana ketika Anda
melewatinya?” Umar menjawab: “Saya bersungguh- sungguh serta berhati-hati sekali
supaya tidak kena duri”. Ubay akhirnya mengatakan: “Itulah arti takwa yang sebenar-
benarnya.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat takwa adalah kesungguhan dan
kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah Ta’ala. Orang yang bertakwa adalah
orang yang sungguh-sungguh dalam menjauhi segala larangan Allah Ta’ala dan
berhati-hati sekali agar tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada
ketakwaan tersebut, kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang,
jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Orang yang berkepribadian Islam menjadikan takwa ini sebagai mabda (prinsip), karena
ia tunduk kepada seruan Allah Ta’ala,
ْ يَا َأيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا اللَّ َه حَ َّق تُقَا ِت ِه وَ اَل تَمُوتُنَّ ِإاَّل وَ َأ ْنتُ ْم ُم
َس ِلمُون
ٌشعُوبًا وَ َقبَا ِئ َل ِلتَعَارَ ُفوا ۚ ِإنَّ َأ ْكرَ َم ُك ْم ِع ْن َد اللَّ ِه َأ ْتقَا ُك ْم ۚ ِإنَّ اللَّ َه عَ ِلي ٌم خَ ِبير
ُ يَا َأيُّ َها النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم مِنْ َذ َك ٍر وَ أُ ْنثَىٰ وَ جَ َع ْلنَا ُك ْم
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat, 49: 13)
Ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang Arab yang merasa khawatir ketika
diperintahkan melaksanakan ibadah haji. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan
berhaji ke rumah Rabb kami (Ka’bah) dalam keadaan tidak ada makanan.” Lalu mereka
berhaji dengan tidak membawa bekal, mereka berkata: “Kami bertawakkal kepada Allah
Yang Maha Suci.” Lalu mereka meminta-minta selama perjalanan haji. Maka mereka
dilarang dari perbuatan seperti itu, dan diperintahkan untuk berbekal dengan cukup
agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan
haji.
Dalam konteks yang lebih luas, zaadutaqwa adalah membekali diri agar terhindar dari
perbuatan hina dalam seluruh gerak langkah kehidupan.
Pribadi muslim beriman pun tidak hanya menghiasi badannya dengan materi berupa
pakaian yang indah, akan tetapi mereka lebih mengutamakan menghiasi jiwanya
dengan pakain takwa.
ِ اري سَوْ آ ِت ُك ْم وَ ِريشًا ۖ وَ ِلبَاسُ التَّ ْقوَ ٰى ٰ َذلِكَ خَ يْرٌ ۚ ٰ َذلِكَ مِنْ آي
ََات اللَّ ِه لَ َعلَّ ُه ْم يَ َّذ َّكرُ ون َ
ِ َيَا بَ ِني آ َد َم َق ْد أ ْنزَ ْلنَا عَ لَ ْي ُك ْم ِلبَاسًا يُو
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26)
Pakaian takwa menurut Syaikh Sulaiman Abdullah Al-Asyqar adalah pakaian iman dan
amal shalih, wara’ (menjaga diri), menghindar dari maksiat kepada Allah, dan khasy-
yah (takut) kepada Allah—semua ini adalah sebaik-baik pakaian dan seindah-indahnya
perhiasan.[8]
Kesimpulan
Wallahu a’lam…