Anda di halaman 1dari 7

Takwinu Syakhshiyah Islamiyah

(Membentuk kepribadian Islam)

Di pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa takwinul ummah  (pembentukan


umat) akan terealisasi dengan sempurna jika ditopang oleh pilar takwinus
syakhshiyyah  (pembentukan kepribadian). Bagi masyarakat Islam, kepribadian yang
ideal yang harus dibentuk tentu saja adalah kepribadian Islam yang paripurna—as-
syakhshiyyahtul Islamiyatul kamilah—yakni kepribadian yang ter-shibghah—terwarnai
dan tercelup hati, pikiran, dan amalnya—dengan ajaran Islam.

ِ ‫ص ْب َغ َة اللَّ ِه وَ مَنْ َأ ْحسَنُ مِنَ اللَّ ِه‬


َ‫ص ْب َغ ًة وَ ن َْحنُ لَ ُه عَ ِابدُون‬ ِ

“Shibghah (celupan) Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah?
Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 138)

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa shibghatallah maknanya adalah


“Agama Allah”.[1]

As-syakhshiyyatul Islamiyatul Kamilah

Jika kita menelaah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam  kita dapat menyimpulkan bahwa inti dari as-syakhshiyyatul Islamiyatul
kamilah  adalah tertanamnya keimanan (al-iman) dan ketakwaan (at-taqwa) di dalam diri
sehingga tumbuh darinya Islamiyatul hayah—Islamisasi kehidupan dalam seluruh
aspeknya.

Ciri Pribadi Beriman

Bagaimanakah ciri-ciri pribadi beriman itu? Untuk mendapatkan jawabannya,


renungkanlah firman Allah Ta’ala  berikut ini,

َ‫انَّمَا ا ْلم ُْؤ ِمنُونَ الَّذِينَ آ َمنُوا ِباللَّ ِه وَ رَ سُو ِل ِه ثُ َّم لَ ْم يَرْ تَابُوا[ وَ جَ ا َهدُوا ِب َأمْ وَ ا ِل ِه ْم وَ َأ ْنف ُِس ِه ْم ِفي س َِبي ِل اللَّ ِه أُولَئِكَ ُه ُم الصَّ ا ِد ُقون‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-
Hujurat, 49: 15)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pribadi yang beriman adalah mereka yang
benar-benar dalam beriman kepada Rabb-nya, mengikuti Rasul-Nya, dan menaati-Nya,
kemudian mereka tidak bimbang dan ragu, dan tidak pula goyah, bahkan mereka
semakin kokoh dalam keimanan yang sebenarnya.[2]

Keimanan yang dikehendaki dari pribadi islami adalah keimanan yang disertai dengan
keyakinaan (al-yaqin). Berkenaan dengan hal ini Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫يهمَا ِإالَّ دَخَ َل ا ْلجَ نَّ َة‬ ٍ ّ ‫َأشْ َه ُد َأنْ الَ ِإلَ َه ِإالَّ اللَّ ُه وَ َأ ِنّى رَ سُو ُل اللَّ ِه الَ يَ ْلقَى اللَّ َه ِب ِهمَا عَ ْب ٌد َغيْرَ ش‬
ِ ‫َاك ِف‬

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah
utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia)
dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan
memasukkannya ke surga” (HR. Muslim no. 147).

Keimanan yang dikehendaki dari setiap pribadi muslim, selain keimanan yang
mengandung keyakinan, juga keimanan yang dibarengi sikap taslim  (berserah diri
kepada Allah Ta’ala). Yakni tunduk pada ketentuan Allah dan rasul-Nya sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya,

ُ
ِ ‫ستَمْ سَكَ ِبا ْلعُرْ وَ ِة ا ْلوُ ْثقَىٰ ۗ وَ ِإلَى اللَّ ِه عَ ا ِقبَ ُة اأْل م‬
‫ُور‬ ْ ‫س ِل ْم وَ ْج َه ُه ِإلَى اللَّ ِه وَ ُهوَ م ُْح ِسنٌ َف َق ِد ا‬
ْ ُ‫وَ مَنْ ي‬

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.
dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Luqman, 31: 22)

Menyerahkan diri kepada Allah yaitu mengikhlaskan amalnya dan tunduk kepada
perintah-Nya serta mengikuti syariat-Nya. Selalu berbuat ihsan di dalam amalnya
dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhkan diri dari apa yang
dilarang-Nya.[3]
Bahkan keimanan seorang pribadi muslim pun—setelah diiringi keyakinan dan
sikap taslim, hendaknya dibarengi dengan sikap  as-sam’u wa-tha’ah (mendengar dan
taat). Mereka membaca dan mendengar ayat-ayat Allah Ta’ala  dengan penuh perhatian
dan pengertian kemudian taat terhadap perintah dan larangan yang ada padanya,
dengan ketaatan yang sungguh-sungguh.[4]

ُ ‫س ِل ِه اَل نُف َِّرقُ بَيْنَ َأحَ ٍد مِنْ ُر‬


‫س ِل ِه ۚ وَ َقالُوا‬ ُ ‫آمَنَ الرَّ سُو ُل ِبمَا أُن ِْز َل ِإلَ ْي ِه مِنْ رَ ِبّ ِه وَ ا ْلم ُْؤ ِمنُونَ ۚ ُك ٌّل آمَنَ ِباللَّ ِه وَ َماَل ِئ َك ِت ِه وَ ُكت ُِب ِه وَ ُر‬
ِ ‫س ِم ْعنَا وَ َأط َ ْعنَا ۖ ُغ ْفرَ انَكَ رَ بَّنَا وَ ِإلَيْكَ ا ْلم‬
ُ‫َصير‬ َ

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan
mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami taat.’ (mereka berdoa): ‘Ampunilah kami Ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 285)

Berikutnya, pribadi-pribadi muslim beriman hanyalah mereka yang memiliki


sikap ittiba’ul minhaj (mengikuti sunnah/pedoman). Allah Ta’ala  berfirman,

ً ‫ِل ُك ٍ ّل جَ َع ْلنَا ِم ْن ُك ْم ِشرْ عَ ًة وَ ِم ْن َه‬


‫اجا‬

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan minhaj (jalan
yang terang)…” (Q.S. Al-Maidah, 5: 48)

Mengenai ayat di atas, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar


mengatakan: “Diberikan Taurat kepada penganutnya, dan diberikan pula Injil kepada
penganutnya, yaitu sebelum dihapusnya syariat terdahulu dengan Al-Qur’an. Adapun
setelah itu tidak ada syir’ah (aturan) dan minhaj (sunnah/pedoman), kecuali apa-apa
yang telah diberikan kepada Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]

Dalam melaksanakan itu semua, pribadi muslim beriman juga benar-benar tidak merasa
berat/enggan (‘adamul haraj) terhadap keputusan yang telah ditentukan
Allah Ta’ala  dan rasulNya. Allah Ta’ala  berfirman,

ْ َ‫س ِلّمُوا ت‬
‫س ِليمًا‬ ِ ‫شجَ رَ بَ ْينَ ُه ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا ِفي َأ ْنف‬
َ ُ‫ُس ِه ْم حَ رَ ًجا ِممَّا َقضَ ْيتَ وَ ي‬ َ ‫َفاَل وَ رَ ِبّكَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ حَ تَّىٰ يُحَ ِّكمُوكَ ِفيمَا‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisa, 4: 65)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

‫الَي ُْؤمِنُ َأحَ ُد ُك ْم حَ تَّى يَ ُكوْ نَ َهوَ ا ُه تَبَعًا ِلمَا ِج ْئتُ ِب ِه‬

“Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti


ajaranku.” (H.R. Thabrani).

Selain ‘adamul haraj,  di dalam diri pribadi muslim beriman juga tidak tertanam
alternatif-alternatif lain selain tunduk kepada ketetapan-ketetapan Allah Ta’ala  dan
rasul-Nya itu (‘adamul khiyarah),

ِ ْ‫وَ مَا َكانَ ِلم ُْؤ ِم ٍن وَ اَل م ُْؤ ِمنَ ٍة ِإ َذا َقضَ ى اللَّ ُه وَ رَ سُولُ ُه َأمْ رً ا َأنْ يَ ُكونَ لَ ُه ُم ا ْل ِخيَرَ ُة مِنْ َأمْ ِر ِه ْم ۗ وَ مَنْ يَع‬
‫ص اللَّ َه وَ رَ سُولَ ُه َف َق ْد ضَ َّل‬
‫ضَ اَل اًل م ُِبينًا‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab, 33:
36)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dikaitkan dengan dua peristiwa:

Pertama, tunduknya Zainab binti Jahsy kepada keridhoan rasul-Nya yang menikahkan


dirinya kepada Zaid bin Haritsah—padahal Zainab sendiri sebenarnya tidak berkenan.
Saat itu Zainab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Engkau
meridhainya untuk menikah denganku, ya Rasulullah?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam  menjawab, “Ya.”  Lalu Zainab berkata, “Kalau demikian, aku tidak akan
menentang Rasulullah. Sesungguhnya aku akan menikahkan diriku
dengannya.”  Berikutnya, Allah Ta’ala  justru memberikan kehormatan kepada Zainab
dengan dinikahinya ia oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]
Kedua, tunduknya seorang wanita Anshar kepada keridhoan rasul-Nya yang menikahkan
dirinya kepada Julaibib. Saat orangtuanya bermaksud menyampaikan penolakan atas
lamaran ini karena alasan kemiskinan Julaibib, wanita ini berkata: “Apakah kalian hendak
menolak apa yang diperintahkan oleh Rasulullah? Jika beliau meridhai laki-laki itu untuk
kalian, maka nikahkanlah dia (denganku).” [7]

Ayat di atas bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu jika Allah dan rasul-Nya
menetapkan sesuatu, maka tidak boleh bagi seseorang memiliki pilihan lain, baik
pemikiran atau pendapat.

Pribadi Bertakwa

Manakala ciri-ciri keimanan tersebut di atas telah tertanam di dalam jiwa seseorang,
maka dapatlah dikatakan, takwa itu telah tumbuh dalam jiwanya. Rasulullah shalallahu
‘alihi wa sallam pernah menyebut-nyebut kata takwa di antaranya dalam hadits berikut.

ُ‫اَل يَ ْبلُ ُغ ا ْل َع ْب ُد َأنْ يَ ُكونَ مِنْ ا ْل ُمتَّقِينَ حَ تَّى يَ َدعَ مَا اَل ب َْأسَ ِب ِه حَ َذرً ا ِلمَا ِب ِه ا ْلب َْأس‬

”Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketakwaan sehingga
ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang
dilarang” (Hadist hasan diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi) .

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin
Ka’ab tentang Takwa. Ubay balik bertanya: “Apakah Anda pernah melewati jalan yang
penuh duri?”, “Pernah” Jawab Umar. Ubay bertanya kembali: “Bagaimana ketika Anda
melewatinya?” Umar menjawab: “Saya bersungguh- sungguh serta berhati-hati sekali
supaya tidak kena duri”. Ubay akhirnya mengatakan: “Itulah arti takwa yang sebenar-
benarnya.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat takwa adalah kesungguhan dan
kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Allah Ta’ala. Orang yang bertakwa adalah
orang yang sungguh-sungguh dalam menjauhi segala larangan Allah Ta’ala  dan
berhati-hati sekali agar tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada
ketakwaan tersebut, kadang- kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang,
jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.
Orang yang berkepribadian Islam menjadikan takwa ini sebagai mabda  (prinsip), karena
ia tunduk kepada seruan Allah Ta’ala,

ْ ‫يَا َأيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا اللَّ َه حَ َّق تُقَا ِت ِه وَ اَل تَمُوتُنَّ ِإاَّل وَ َأ ْنتُ ْم ُم‬
َ‫س ِلمُون‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa


kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama
Islam.” (Q.S. Ali Imran: 102).

Bagi mereka, takwa adalah mizan  (timbangan) untuk mengukur kemulian seseorang,


sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,

ٌ‫شعُوبًا وَ َقبَا ِئ َل ِلتَعَارَ ُفوا ۚ ِإنَّ َأ ْكرَ َم ُك ْم ِع ْن َد اللَّ ِه َأ ْتقَا ُك ْم ۚ ِإنَّ اللَّ َه عَ ِلي ٌم خَ ِبير‬
ُ ‫يَا َأيُّ َها النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم مِنْ َذ َك ٍر وَ أُ ْنثَىٰ وَ جَ َع ْلنَا ُك ْم‬

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat, 49: 13)

Mereka pun lebih senang memiliki az-zaadu  (bekal) ketakwaan dalam kehidupannya.

‫وَ تَزَ َّودُوا َف ِإنَّ خَ يْرَ ال َّزا ِد التَّ ْقوَ ٰى‬

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah


kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 197).

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang Arab yang merasa khawatir ketika
diperintahkan melaksanakan ibadah haji. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan
berhaji ke rumah Rabb kami (Ka’bah) dalam keadaan tidak ada makanan.”  Lalu mereka
berhaji dengan tidak membawa bekal, mereka berkata: “Kami bertawakkal kepada Allah
Yang Maha Suci.”  Lalu mereka meminta-minta selama perjalanan haji. Maka mereka
dilarang dari perbuatan seperti itu, dan diperintahkan untuk berbekal dengan cukup
agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan
haji.
Dalam konteks yang lebih luas, zaadutaqwa  adalah membekali diri agar terhindar dari
perbuatan hina dalam seluruh gerak langkah kehidupan.

Pribadi muslim beriman pun tidak hanya menghiasi badannya dengan materi berupa
pakaian yang indah, akan tetapi mereka lebih mengutamakan menghiasi jiwanya
dengan pakain takwa.

ِ ‫اري سَوْ آ ِت ُك ْم وَ ِريشًا ۖ وَ ِلبَاسُ التَّ ْقوَ ٰى ٰ َذلِكَ خَ يْرٌ ۚ ٰ َذلِكَ مِنْ آي‬
َ‫َات اللَّ ِه لَ َعلَّ ُه ْم يَ َّذ َّكرُ ون‬ َ
ِ َ‫يَا بَ ِني آ َد َم َق ْد أ ْنزَ ْلنَا عَ لَ ْي ُك ْم ِلبَاسًا يُو‬

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang
paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (Q.S. Al-A’raf: 26)

Pakaian takwa menurut Syaikh Sulaiman Abdullah Al-Asyqar adalah pakaian iman dan
amal shalih, wara’ (menjaga diri), menghindar dari maksiat kepada Allah, dan khasy-
yah  (takut) kepada Allah—semua ini adalah sebaik-baik pakaian dan seindah-indahnya
perhiasan.[8]

Kesimpulan

Seseorang disebut telah memiliki as-syakhshiyah islamiyah al-


mutakamilah  (kepribadian Islam yang sempurna) jika telah tertanam dalam dirinya
keimanan dan ketakwaan yang terwujud dengan islamiyatul hayah  (islamisasi
kehidupan).

Wallahu a’lam…

Anda mungkin juga menyukai