Anda di halaman 1dari 19

KEGIATAN BELAJAR 1

AKIDAH ISLAM DAN IMAN KEPADA ALLAH

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Dalam pembelajaran kegiatan belajar 1 tentang Akidah Islam dan Iman
kepada Allah ini, diharapkan Saudara mampu memahami, menerapkan dan
menganalisis materi ajar mengenai akidah Islam dan iman kepada Allah, yakni
keimanan kepada Allah dan tauhid atau mengesakan Allah. Implementasi
kuatnya akidah Islam dan iman kepada Allah dapat dipahami di dalam
pembahasan kontekstualisasinya dalam kehidupan beragama secara moderat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menjelaskan konsep akidah Islam, seperti konsep iman kepada Allah, iman
kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada para rasul,
iman kepada hari akhir dan iman kepada qada’ dan qadar, serta tauhid atau
mengesakan Allah.,
2. Menelaah sumber, posisi dan tujuan akidah Islam. Lebih luas,
mengaitkannya dalam telaah hubungan akidah dengan akhlak dan
hubungan iman dengan tauhid.,
3. Membuktikan keimanan dan ketauhidan kepada Allah dalam kehidupan
beragama, bermasyarakat dan berbangsa.

C. Uraian Materi

1. Akidah Islam
a. Pengertian Akidah Islam

Secara etimologis akidah berasal dari bahasa Arab, ‘aqada-ya’qidu-


‘aqdan-‘aqidatan, artinya simpul, ikatan, perjanjian, kokoh, kepercayaan atau
keyakinan (Munawwir, 1984: 953). Ungkapan kalimat ‫ كذا إعتقدت‬artinya “saya
mempercayai atau meyakini begini.” Sedangkan, secara terminologis
akidah adalah “suatu kepercayaan yang diyakini kebenarannya oleh
seseorang yang mempengaruhi cara bagaimana dirinya berpikir, berkata
dan berbuat.” Senada dengan yang dikemukakan oleh Yusuf Qardawi
bahwa akidah adalah suatu kepercayaan yang meresap ke dalam hati

1
dengan penuh keyakinan, tidak bercampur keraguan serta menjadi alat
kontrol bagi tingkah laku dan perbuatan sehari-hari.
Jika kata akidah diikuti dengan kata Islam, maka berarti kepercayaan
yang menjadi keyakinan berdasarkan ajaran Islam (rukun iman). Dengan
demikian, yang dimaksud dengan akidah Islam adalah “kepercayaan yang
mantap kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-
Nya, hari akhir, qadar yang baik dan yang buruk yang bersumber pada Al-
Qur’an al-Karim dan hadis yang berupa pokok-pokok agama, perintah-
perintah dan berita-beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi
salafush shalih (ijma).” Dengan kata lain, akidah Islam adalah pokok-pokok
kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim
berdasarkan dalil naqli dan aqli (nash dan akal). Dalam istilah lain, akidah
Islam ini disebut dengan iman. Hal ini dapat dipahami dari salah satu
hadits Rasulullah yang berisikan jawaban Rasulullah kepada malaikat Jibril
atas pertanyaan apakah iman itu. Ketika malaikat Jibril bertanya kepadanya
apakah iman itu, beliau menjawab:
ْ ْ ْ ُُ َ َ َ ََ َ
َ َ ْ َ َ َ ْ َ َُْ َ َ ُ ُ َ َ ُْ ْ
.)‫لآخ ِر وتؤ ِمن ِبالقد ِر خي ِر ِه وش ِر ِه (رواه مسلم‬
ِ ‫أن تؤ ِمن ِباهللِ وملا ِئك ِت ِه وكت ِب ِه ورس ِل ِه واليو ِم ا‬

“Iman adalah kamu beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada


kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari akhir, dan kepada qadar yang
baik maupun yang buruk” (H.R. Muslim).
Namun, dalam sistem keyakinan Islam, iman harus sekaligus juga
tauhid. Dengan demikian, ruang lingkup akidah Islam adalah iman kepada
Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan
qadar yang baik maupun buruk, dan tauhid atau mengesakan Allah, baik
secara dzat-Nya, sifat-sifat-Nya maupun perbuatan-Nya.
b. Sumber Akidah Islam

Sumber dari akidah Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Di dalam Al-
Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan pokok akidah Islam.
Akidah Islam ini identik dengan keimanan, sebab keimanan merupakan
pokok dari akidah Islam. Di antara ayat Al-Qur’an yang memuat
kandungan akidah Islam adalah sebagai berikut:

2
ُُ َ َ َّ َ َ ٌّ ُ َ ُ ْ ْ ُ
َ ُ َُ َ
َ ‫اهلل َو َمل ِائك ِت ِه َوكت ِب ِه َو ُر ُس ِل ِه لا نف ِرق َب ْي‬ ْ َْ َ ْ َ ُ َّ ‫آم َن‬َ
ِ ‫الر ُسول ِبما أن ِزل ِإلي ِه ِمن َر ِب ِه َوال ُمؤ ِمنون كل آمن ِب‬

ُ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ
َ
َ َ َ َ َ
.)285 :‫أح ٍد ِمن رس ِل ِه وقالوا س ِمعنا وأطعنا غفرانك ربنا و ِإليك الم ِصير (البقرة‬ َ َ ُ ُ

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari


Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang
lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan kami taat’,
dan (mereka berdoa): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali” (Q.S. Al-Baqarah: 285).

ْ َ ْ
ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َّ ْ َّ ََٰ َ ْ َْ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ُ ُّ َ ُ َّ َْ
‫لآخ ِر‬ ِ ‫لي َس ٱل ِبر أن تولوا وجوهكم ِقبل ٱلمش ِر ِق وٱلمغ ِر ِب ول ِكن ٱل ِبر من ءامن ِبٱ‬
ِ ‫هلل وٱليو ِم ٱ‬
َ
ْ
َ َّ َ ََٰ َ َ ََٰ َ ْ َ
.)177 :‫وٱلمل ِئك ِة وٱل ِكت ِب وٱلن ِب ِيي َ (البقرة‬
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan
tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (Q.S. Al-Baqarah: 177).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, disebutkan:
َ َ َْ ْ َْْ َ ُ
َ ُْ
.)‫آخ ِر َوتؤ ِم َن ِبالقد ِر خ ْي ِر ِه َوش ِره (رواه مسلم‬ ُ ُ َ ُ ََ َ ُْ ْ
ِ ‫لئك ِته وكت ِب ِه ورس ِل ِه و اليو ِم ال‬
ِ ‫أن تؤ ِمن ِباهللِ وم‬

“Hendaklah kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,


rasul-rasul-Nya, hari akhir dan kamu beriman kepada qadar yang baik maupun
buruk” (H.R. Muslim).
c. Posisi Akidah Islam dalam Ajaran Islam

Ajaran Islam secara garis besar terdiri dari akidah, ibadah dan akhlak.
Untuk masing-masing ketiga ajaran Islam tersebut, ada ilmu yang
mempelajarinya. Ilmu yang mempelajari akidah disebut ilmu tauhid atau
ilmu kalam atau ilmu aqaid atau ilmu usuludin atau ilmu ma’rifat, akan
tetapi di antara nama-nama ini yang paling terkenal dan paling subtansial
adalah ilmu tauhid dan ilmu kalam. Sementara itu, ilmu yang mempelajari
ibadah disebut ilmu fikih. Terakhir, ilmu yang mempelajari akhlak disebut
ilmu akhlak atau ilmu tasawuf.
Akidah dalam ajaran Islam merupakan aspek yang sangat mendasar.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa akidah Islam dalam istilah lain
disebut keimanan atau tauhid, karena dalam Islam tidak cukup hanya

3
membenarkan atau beriman kepada Allah akan tetapi harus mengesakan
Allah. Tauhid ini sebenarnya yang menjadi pembeda (distingsi) antara
orang mukmin dan orang kafir atau antara muslim dan non muslim. Oleh
sebab itu, agama Islam disebut dengan agama tauhid (monoteisme).
Perbuatan ibadah, jika tidak didasarkan pada tauhid, yakni sikap
mengesakan Allah dalam beribadah, maka ibadah itu tidak ada artinya.
Agama Islam memerintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu selain-Nya. Allah SWT berfirman:
ًْ َ ُ ُْ َ ْ َ
ْ َ ‫اع ُب ُد ْوا‬
.)36 :‫اهلل َولا تش ِركوا ِب ِه شيئا (النساء‬ ‫و‬

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatu apapun (Q.S. Anisa: 36).
Akidah Islam atau keimanan atau tauhid merupakan pintu masuk ke
dalam Islam sebagai bentuk perilaku penyerahan diri kepada Allah.
Misalnya, untuk dapat melaksanakan shalat, zakat, puasa, haji, dan ibadah-
ibadah lainnya dengan benar, seseorang harus bertauhid terlebih dahulu.
Tindakan-tindakan penyerahan diri kepada Allah, seperti shalat, zakat,
puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya tersebut dapat dilakukan oleh siapa
saja. Akan tetapi, jika penyerahan diri itu dilakukan tanpa berdasarkan
keimanan dan tauhid, maka orang yang melakukannya disebut munafik
atau musyrik. Sebaliknya, jika dilakukan dengan berdasarkan keimanan
dan tauhid, maka yang melakukannya disebut muslim yang benar-benar
muslim (muslim muwahhid).

d. Tujuan Akidah Islam

Tujuan akidah Islam antara lain adalah:


1) Memupuk dan mengembangkan potensi-potensi ketuhanan yang
ada sejak lahir. Hal ini karena manusia sejak di alam roh sudah
mempunyai fitrah ketuhanan, sebagaimana firman Allah:
ُ َ ُ َ َُْ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ ْ
َْ َ َ ُ َ َ ُ ُ َ َ
‫َو ِإذ أخذ َر ُّبك ِم ْن َب ِنى َءاد َم ِم ْن ظ ُه ْو ِر ِه ْم ذ ِرَّيت ُه ْم َوأش َهده ْم على أنف ِس ِه ْم أل ْست ِب َر ِبك ْم قال ْوا َبلى ش ِهدنا‬

َ َ َ َ َ َُّ َّ ْ ُ َُ ْ َ
‫ أو تقولوا إنما أشرك آباؤنا من قبل وكنا ذرية من‬،َ ‫أن تق ْول ْوا َي ْو َم ا ِلق َي َام ِة ِإنا كنا ع ْن هذا غ ِاف ِل ْي‬

.)173 -172 :‫بعدهم أفتهلكنا بما فعل المبطلون (الأعراف‬

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka seraya berfirman:”Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab:

4
“Betul Engkau Tuhan kami, Kami menjadi saksi.” Kami lakukan yang demikian
itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini, atau agar kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang sesudah
mereka. Maka,apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-
orang sesat dahulu?” (Q.S. Al-A’râf: 172-173).
2) Menjaga manusia dari kemusyrikan
Kemungkinan manusia untuk terperosok ke dalam kemusyrikan
terbuka lebar, baik secara terang-terangan (syirik jali), yakni baik
berupa perbuatan ataupun ucapan; maupun kemusyrikan yang
bersifat sembunyi-sembunyi (syirik khafi) yang berada di dalam hati.
Untuk mencegah manusia dari kemusyrikan tersebut, diperlukan
tuntunan yang jelas tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
3) Menghindari dari pengaruh akal yang menyesatkan
Walaupun manusia diberi kelebihan oleh Allah berupa akal
pikiran, manusia sering tersesat oleh akal pikirannya sendiri, sehingga
akal pikiran manusia perlu dibimbing dan diarahkan oleh akidah
Islam.

e. Hubungan antara Akidah dan Akhlak

Akidah dan akhlak adalah bagian penting dalam syariat Islam yang
keduanya merupakan kesatuan dan memiliki hubungan timbal balik. Pola
hubungan akidah dan akhlak dapat dijelaskan, sebagai berikut: Pertama,
akidah melahirkan akhlak. Dengan kata lain, akhlak yang baik merupakan
mata rantai dari keimanan. Contohnya, seorang yang beriman akan merasa
malu melakukan kejahatan. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk
adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Iman tidak
sempurna jika hanya berada dalam hati, tetapi harus tergambarkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk ibadah dan akhlak yang baik. Dapat
dikatakan bahwa hanya akidah yang benar yang akan melahirkan akhlak
yang baik. Oleh karena itu, Sa’id Hawa (2015: 53-54) mengatakan bahwa
ilmu aqaid mengikat ilmu tasawuf. Artinya, ilmu tasawuf
menyempurnakan ilmu aqaid. Sehingga, dapat dikatakan bahwa
bertasawuf yang benar adalah memiliki akidah yang benar.

5
Kedua, akhlak karimah menambah keimanan kepada Allah. Akhlak
karimah adalah keadaan jiwa yang mendorong adanya perilaku-perilaku
yang baik secara mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Keadaan jiwa seperti ini muncul disebabkan adanya kedekatan dengan
Allah. Selanjutnya, kedekatan dengan Allah akan menjadikan kuatnya
keimanan kepada-Nya.
Hubungan antara akidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan
Nabi Muhammad Saw. sebagai berikut:
ً ُ ُ ْ ُ ُ َ ْ َ ً َ ْ َ ْ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َّ َ َ ْ َ َ ُ َ َ ُْ ُ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ
‫ أكمل المؤ ِم ِني َ ِإيمانا أحسنهم خلقا (رواه‬:‫ قال رسول اهللِ صلى اهلل علي ِه وسلم‬:‫ر َرة قال‬‫عن أ ِب ْي ه َي‬

.)‫الترمذى‬
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda: ‘Orang mukmin yang paling
sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. At-
Tirmidzi).

2. Iman kepada Allah


a. Iman kepada Allah

Pokok dari segala pokok akidah adalah iman kepada Allah Swt. yang
berpusat pada pengakuan terhadap kemaha-Esaan-Nya. Dari iman kepada
Allah Swt., dengan sendirinya akan lahir keimanan pada pokok-pokok
(rukun) iman yang lain, yaitu iman kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, para rasul-Nya, hari kiamat dan qadar-Nya yang baik dan yang buruk.
Oleh karena itu, Abu Hasan Al-Asy'ari (1955: 123) memberikan definisi
bahwa iman adalah at-tasdȋq billah (membenarkan Allah).
Iman kepada Allah meliputi pengakuan (iddi’an) bahwa Allah adalah
Tuhan yang wajib disembah, bahwa nabi Muhammad adalah utusan-Nya,
Al-Qur’an adalah kitab-Nya serta menerima (qabul) segala ajaran yang
dibawa utusan-Nya. Dengan demikian, yang dimaksud bahwa iman
membenarkan dalam hati adalah mengakui (qabul) dan menerima (iddi’an).
Dalam pandangan Asy’ariyah, iman syaratnya hanya membenarkan
dalam hati, tidak memiliki syarat beramal, sama dengan dalam pandangan
Khawarij dan Mu’tazilah. Adapun, amal hanyalah sebatas syarat
sempurnanya iman. Dengan kata lain, kalau seseorang telah membenarkan
(tasdiq) dalam hati meskipun belum dapat beramal, maka ia adalah seorang
mukmin, namun imannya belum sempurna. Di akhirat ia akan dimasukan
ke surga serta kekal di dalamnya, walaupun dimasukan ke neraka terlebih
dahulu. Berbeda dengan pandangan Khawarij dan Mu’tazilah, mereka
menganggap bahwa orang yang tidak beramal bukanlah mukmin. Akan

6
tetapi ada bedanya, bukan mukmin menurut Mu’tazilah artinya bukan
mukmin bukan pula kafir, tetapi fasik dan di akhirat akan berada di
manzilah baina manzilatain, yakni di neraka tetapi panasnya berbeda dengan
neraka bagi orang-orang kafir (Al-Baijuri, tt: 28). Sementara itu, bukan
mukmin menurut Khawarij artinya kafir dan di akhirat akan kekal di
neraka.
Ada juga ulama lain yang mendefinisikan iman kepada Allah,
diantaranya sebagai berikut: Iman kepada Allah adalah membenarkan
adanya Allah dan sesungguhnya Dia pencipta langit dan bumi, mengetahui
yang ghaib dan yang nyata, pemelihara setiap sesuatu dan pemiliknya,
tiada yang wajib disembah kecuali Dia dan tidak ada Tuhan selain-Nya dan
sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi tersifati oleh setiap
kesempurnaan dan bersih dari setiap kekurangan (Aceng Zakaria, 2008: 7).

b. Tauhid

Kata tauhid berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari wahhada,
yuwahhidu, tauhidan yang berarti “menjadikan sesuatu satu atau
mengesakan sesuatu.” Yang dimaksud tauhid dalam konteks keagamaan
adalah tauhidullah, mengesakan Allah. Maka, tauhid secara bahasa adalah
mengesakan Allah atau Tuhan. Maksud mengesakan Allah ialah
mengaitkan Allah dengan keesaan-Nya, bukan menjadikan Allah satu atau
esa, karena keesaan Allah itu telah melekat pada dzat-Nya, bukan karena
ada yang menjadikan-Nya menjadi esa (Oman Fathurrahman, 1999: 90).
Adapun, tauhid secara istilah sebagaimana dikatakan Ibrahim Al-
Baijuri (tt: 8) adalah ifrâdul ma’bȗd bil ibâdah, ma’a i’tiqâdi wahdâniyyatihi
watasdȋqi bihâ dzâtan wa sifâtin wa af’âlan (mengkhususkan pengabdian atau
ibadah kepada Allah disertai meyakini keesaan-Nya dan membenarkan-
Nya baik dalam dzat, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya). Dengan
kata lain, menjadikan Allah satu-satunya yang disembah disertai keyakinan
atas keesaan-Nya, baik dzat-Nya, sifat-Nya ataupun perbuatan-Nya.
Tauhid memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama Islam.
Dalam Islam tidak cukup hanya membenarkan atau beriman kepada Allah,
tetapi harus mengesakan Allah. Jika tidak mengesakan Allah, maka berarti
menyekutukan-Nya (as-syirku billah) dan orang yang menyekutukan-Nya
termasuk orang-orang kafir. Allah berfirman:
ُ َ
َْ َ ُ َ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ ْ َ ْ ْ ْ ْ ُ َ َ َ ْ َّ َّ
:‫اب َوال ُمش ِر ِك ْي َ ِفى ن ِار ج َهن َم خالِ ِدين ِف ْي َها أ ْو ِلئك ه ْم ش ُر الب ِرَّي ِة (اليينة‬
ِ ِ ِ ‫ِإن ال ِذين كفروا ِمن‬
‫ت‬‫لك‬‫ا‬ ‫ل‬‫ه‬ ‫أ‬

.)6

7
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang
musyrik akan masuk ke neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu
adalah seburuk-buruk makhluk” (Q.S. Al-Bayyinah: 6).
Tauhid merupakan pintu masuk ke dalam Islam sebagai perilaku
penyerahan diri kepada Allah. Untuk dapat melaksanakan shalat, zakat,
puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya dengan baik, seseorang harus
bertauhid terlebih dahulu, yaitu mengesakan yang menjadi tujuan dalam
beribadah itu sendiri atau sesuatu yang disembahnya. Tepatnya, hanya
Allah yang dituju dalam beribadah, tidak selain-Nya. Jika perilaku
penyerahan diri kepada Allah atau perbuatan ibadah dilakukan tanpa
berdasarkan keimanan dan tauhȋdullah, mengesakan Allah, maka orang
yang melakukannya disebut munâfik atau musyrik. Perbuatan ibadah seperti
itu sama sekali tidak bernilai. Karenanya, agama Islam memerintahkan
untuk beribadah kepada Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun selain-Nya. Allah berfirman:
َ ‫َوا ْعبُد ُْوا هللاَ َوالَ ت ُ ْش ِر ُك ْوا بِ ِه‬
.)36 :‫ش ْيئًا (النساء‬
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun” (Q.S. Anisa: 36).
Tauhid yang menjadi pembeda (distingsi) antara orang mukmin dan
orang kafir atau antara orang yang beragama Islam (muslim) dengan orang
yang lain agamanya (non muslim). Oleh sebab itu, agama Islam disebut
dengan agama tauhid (monoteisme). Iman dalam Islam terintegrasi dengan
tauhid, sehingga orangnya disebut mukmin muwahhid.
Dengan demikian, begitu penting kedudukan tauhid dalam agama
Islam. Pentingnya kedudukan tauhid dalam agama Islam terungkap dalam
perkataan ulama, misalnya Abdurrauf Singkel dalam Tanbȋh al-Masyi
(Oman Fathurrahman, 1999: 90) berkata kepada muridnya bahwa
kewajiban pertama atasmu adalah tauhȋd al-Haq, mengesakan al-Haq dan
mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat
lâ ilâha illallah.
Tauhid atau mengesakan Allah adalah misi dari para rasul. Setiap rasul
diutus untuk menyeru kaumnya kepada tauhid. Hingga Nabi Muhammad
Saw. diutus pun, esensi dari ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad
adalah tauhid. Tauhid sebagai esensi dari Islam mengandung arti bahwa
setiap aktivitas manusia senantiasa berorientasikan transenden, yakni
mengharap rida Allah semata. Sebagai pengalaman keagamaan, tauhid
menjadi inti dari aqidah Islam.

8
Para nabi dan rasul menyerukan untuk mengesakan Allah
sebagaimana diterangkan di dalam Al-Qur’an, di antaranya sebagai
berikut:
ُ ُ َ َ
َ ‫اف َع َل ْيك ْم َع َذ‬ َ ََٰ ُ َ َ ً ُ َْ َ ْ ََ
َ َّ‫وحا إل َٰى َق ْومه َف َق َال ََٰي َق ْوم ٱ ْع ُب ُدوا ٱ‬
‫اب َي ْو ٍم‬ ‫هلل َما لكم ِم ْن ِإل ٍه غ ْي ُر ُهۥ ِ ِإنى أخ‬ ِ ‫ۦ‬ ِ ِ ِ ‫لقد أ ْر َسلنا ن‬
َ
.)59 :‫يم (الأعراف‬
ٍ ‫ع ِظ‬

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata:


"Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya".
Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan
ditimpa azab hari yang besar (kiamat) (Q.S. al-A‘raf: 59).
َ ُ ََّ َ َ َ ُ ُ ْ َ ََٰ ْ ْ ُ َ َ َ َّ ُ ُ ْ ْ َ َ َ َ ً ُ ْ ُ َ َ َ َٰ َ َ
.)65 :‫و ِإلى ع ٍاد أخاهم هودا قال يا قو ِم اعبدوا اهلل ما لكم ِمن ِإل ٍه غيره أفلا تتقون (الأعراف‬

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ´Ad saudara mereka, Hud. Ia berkata
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-
Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Q.S. al-A‘raf: 65).
َ
ََٰ ْ ُ َّ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ ُ ْ َ ََٰ ْ ُ َ َ َ َّ ُ ُ ْ ْ َ ََٰ َ َ ً ََٰ ْ ُ َ َ ُ َ َٰ َ َ
‫ه‬ ‫ذ‬
‫ِ ِۦ‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ب‬ِ ‫ر‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ة‬‫ن‬
ِ ِ ‫ي‬‫ب‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫اء‬ ‫ج‬ ‫د‬ ‫ق‬ ‫ۥ‬ ‫ه‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ه‬ ‫ل‬‫إ‬
ٍ ِ ِ ‫ن‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫هلل‬ ‫ٱ‬ ‫وا‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ع‬ ‫ٱ‬ ‫م‬ِ ‫و‬‫ق‬ ‫ي‬ ‫ال‬ ‫ق‬ ‫ا‬ ‫ح‬‫ل‬ِ ‫ص‬ ‫م‬ ‫اه‬ ‫خ‬ ‫أ‬ ‫و ِإلى ثمود‬
َ َ َ ْ ُ َ ُ َْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ُ َ َ ً َ ْ ُ َ َّ ُ َ َ
ُ َ ُّ َ َ َ َ َّ ْ َ
:‫وء فيأخذكم عذاب أ ِليم (الأعراف‬ ٍ ِ‫س‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫وه‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ل‬‫و‬ ‫هلل‬
ِ ‫ٱ‬ ‫ض‬ ِ ‫ر‬ ‫أ‬ ‫ى‬ ‫ف‬ِ ‫هلل لكم ءاية فذروها تأك‬
‫ل‬ ِ ‫ناقة ٱ‬

.)73

“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Ia berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.
Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta
betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah,
dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang
karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih" (Q.S. al-A‘raf: 73).
Di dalam Al-Qur‘an diterangkan tentang tauhid dengan beberapa
bentuk, antara lain keesaan Allah; menyembah dan beribadah hanya
kepada Allah semata; perintah Allah yang harus ditaati dan larangan-
larangan Allah yang harus dijauhi serta kewajiban taat kepada Allah
sebagai manifestasi dari nilai tauhid.

Di antara para ulama, ada yang membagi tiga macam tauhid, yaitu
tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid dzat, asma dan sifat. Tiga
tauhid itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

9
1) Tauhid Rububiyah
Rububiyah berasal dari akar kata Rabb yang merupakan bentuk
infinitif (mashdar) dari kata Rabba - Yarubbu, yang berarti “menata,
memelihara, membimbing.” Selain itu, berarti “sesuatu yang tumbuh
dari satu keadaan menuju keadaan yang sempurna.” Dari beberapa ayat
Al-Qur`an yang memuat kata Rabb, di antaranya menjelaskan bahwa
Allah adalah dzat Pencipta, Penata, Pemelihara dan Pembimbing alam
semesta. Di antaranya dapat dilihat dalam QS. Al-Fatihah: 2; QS. Al-
Anbiya`: 56; QS. Asy-Syu‘ara: 28; Ash-Shaffat: 5, dan lain-lain.
Secara istilah tauhid rububiyah adalah menyakini bahwa “Allah itu
Maha Pencipta, Pemelihara dan yang mengatur segala-galanya.”
Beberapa ulama menjelaskan bahwa tauhid rububiyah adalah seorang
hamba yang meyakini bahwa Allah Tuhan yang menyendiri dalam
penciptaan, pemberian rizki dan pengaturan yang memelihara semua
ciptaan dengan berbagai kenikmatan dan mengatur kelompok tertentu,
yaitu para nabi dan para pengikutnya dengan akidah yang benar, akhlak
yang mulia, ilmu yang bermanfaat dan amal saleh (Aceng Zakaria, 2008:
13). Pengertian ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an sebagai
berikut:
َ َ َ َّ
ًْ َ َ َّ َ َ َ ْ َ ً َ َ َّ َ َ َ ْ َ ً َ َ َ َّ َ ً َ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َ َ
‫ات ِرْقا‬
ِ ‫ال ِذي جعل لكم الأرض ِفراشا والسماء بِناء وأنزل ِمن السم ِاء ماء فأخرج ِب ِه ِمن الثمر‬
َ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ً َ ْ َ َّ ُ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ
.)22 :‫هلل أندادا وأنتم تعلمون (البقرة‬ ِ ِ ‫لكم فلا تجعلوا‬

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-


orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah, padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 22).
ُ ‫اهلل ر ْْ ُق َها َو َي ْع َل ُم ُم ْس َت َقَّر َها َو ُم ْس َت ْو َد َع َها ُك ٌّل في ك َتاب‬
َّ َ َ َّ َ
:‫ي َ (هود‬ ‫ب‬ ‫م‬ ِ ‫ى‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ض‬ ‫ر‬ْ ‫َو َما م ْن َدَّابة في ْالأ‬
ٍ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ

.)6
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang
memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan
tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (lauhul
mahfudz)” (Q.S. Hud: 6).

10
ُّ
ُ ‫اء َو ُت ِذل َم ْن تَ َش‬
ُ ‫اء َو ُتع ُّز َم ْن تَ َش‬
ُ ‫ك َِِّم ْن تَ َش‬ َ ْ ُْ ُ ََْ ُ ََ ْ َ َ ْ ُْ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ َُّ َّ ُ
‫اء‬ ِ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ع‬‫ز‬ِ ‫ن‬ ‫ت‬‫و‬ ‫اء‬ ‫ش‬ ‫ت‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬‫م‬ ‫ال‬ ‫ي‬‫ت‬ ‫ؤ‬
ِ ‫كت‬ ِ ‫ق ِل هَّللا ما ِلك المل‬
َْ ُ ْ ُ َّ َّ ُ ُ َ َ َّ َ ْ َّ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ َّ ُ ْ َ ْ َ َ
‫ولج الن َه َار ِفي الل ْي ِل َوتخ ِرج الحَّي ِم َن‬ ِ ‫ت‬‫و‬ ‫ار‬ِ ‫ه‬ ‫الن‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫الل‬ ‫ج‬ ‫ل‬ِ ‫و‬ ‫ت‬ .‫ير‬ ‫د‬ِ ‫ق‬ ‫ء‬ ٍ ‫ي‬ْ ‫ش‬ ‫ِبي ِدك الخير ِإنك عل َٰى ك ِل‬

َ ‫اء ب َغ ْير ح‬ ُ ‫الحي َو َت ْر ُْ ُق َم ْن تَ َش‬ َْ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ


َ ‫ال‬
.)27-26: ‫اب (آل عمران‬ ٍ ‫س‬ ِ ِ ِ ‫ن‬ ‫م‬ ِ ‫ت‬ ‫ي‬ِ ‫م‬ ‫ال‬ ‫ج‬‫ر‬
ِ ‫خ‬‫ت‬‫و‬ ‫ت‬ ‫ي‬
ِ ِ ‫م‬
ِ
“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari
orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki
dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah
segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam
malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan
yang mati dari yang hidup. Dan, Engkau beri rezeki siapa yang Engkau
kehendaki tanpa hisab (batas)" (QS. Ali Imran: 26-27).
Keyakinan terhadap Allah sebagai Pencipta merupakan naluri
bawaan yang telah ditanamkan Allah sejak manusia berada dalam rahim
sang ibu, yang dalam Al-Qur'an disebut dengan fithrah. Hal itu dapat
dilihat dalam QS. Ar-Ruum: 30 dan QS. Al-A‘raf: 172.
َْ ُ َ ََٰ َّ ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ْ ً َ َ َ ْ َ ْ ََ
‫الدين الق ِي ُم‬
ِ ‫ك‬ ‫ل‬
ِ ‫ذ‬ ‫اهلل‬
ِ ‫ق‬ ‫ل‬
ِ ِ‫خ‬‫ل‬ ‫يل‬‫د‬ِ ‫ب‬‫ت‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ي‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫اس‬ ‫الن‬ ‫ر‬‫ط‬ ‫ف‬ ‫ي‬‫ت‬ِ ‫ال‬ ‫اهلل‬
ِ ‫ت‬‫ر‬ ‫ط‬ ‫ف‬
ِ ‫ا‬ ‫يف‬‫ن‬ِ ِ ِ ِ ‫فأ ِقم وجه‬
‫ح‬ ‫ين‬ ‫لد‬‫ل‬ ‫ك‬
َ
َ َ ْ َ َّ َ َ ْ َّ ََٰ َ
.)30 :‫اس لا َيعل ُمون (الروم‬ ِ ‫الن‬ ‫ر‬ ‫ث‬ ‫ك‬ ‫أ‬ ‫ول ِكن‬
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Ruum: 30).
ََ ُْ َ ْ ُ َ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َّ ُ ْ ْ ُ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ُّ َ َ َ َ ْ َ
َ ُ َْ ْ
‫و ِإذ أخذ ربك ِمن ب ِنى ءادم ِمن ظهو ِر ِهم ذ ِريتهم وأشهدهم على أنف ِس ِهم ألست ِبر ِبكم قالوا بلى‬
َ
َ ْ َ َ َ ْ َ َُّ َّ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ ْ َ
.)172 :‫ش ِهدنا أن تقولوا يوم ا ِلقيام ِة ِإنا كنا عن هذا غ ِاف ِلي َ (الأعراف‬

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam


dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (QS. Al-A‘raf:
172)
Pengakuan atas keesaan dan rububiyah Allah adalah fitrah
manusia. Sebaliknya, syirik merupakan sesuatu yang baru, bukan fitrah

11
manusia. Jadi seandainya fitrah manusia ini tidak terpengaruh hal-hal
yang menyimpang pasti akan mengarah pada tauhid sebagaimana
ajaran yang dibawa Rasulullah Saw. Akan tetapi, karena pendidikan dan
lingkungan yang menyimpang dari ajaran Islam, sehingga mengubah
arah fitrah manusia yang mengikuti pendidikan atau lingkungannya.
Sebagaimana, disampaikan oleh Rasulullah Saw:
ََ
َّ َ َ ْ ْ َ َ ُ َ َّ ُ
)‫ (رواه مسلم‬.‫َما ِم ْن َم ْول ْو ٍد ِإلا ُي ْولد على ا ِلفط َر ِة فأ َب َو ُاه ُي َه ِودا ِن ِه َو ُينص َرا ِن ِه َو ُي َم ِج َسا ِن ِه‬

“Tidak ada seorang anak, kecuali dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua
orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Majusi dan Nasrani” (H.R.
Muslim).

2) Tauhid Uluhiyah
Arti kata ilah, yang terdiri dari tiga huruf, yaitu hamzah, lam dan ha‘,
dalam Mu‘jam al-Lughah memiliki arti sebagai berikut:
a) Menyembah, seperti dalam kata alaha–ilaahatan-uluhatan;
b) Berlindung atau merasa aman dan tentram, seperti dalam
kalimat alahtu ila fulanin;
c) Tertutup, seperti arti kata laaha yaliihu laihan;
d) Rindu atau cinta, seperti dalam kalimat alaha al-fasiil bi ummihi;
e) Menghadap, seperti dalam kalimat alaha ar-rajulu ila ar-rajuli;
f) Meminta pertolongan, seperti dalam kalimat alaha ar-rajulu
ya‘lahu.
Dalam kaidah bahasa Arab, kata yang memiliki materi (huruf yang
membentuknya) yang sama berarti memiliki keterkaitan di antaranya.
Begitu juga dengan kata-kata di atas, jika diamati memiliki keterikatan
makna bahwa Tuhan adalah tempat kita merasa aman dan tentram
untuk meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya yang kita
cintai, rindukan dan disembah. Oleh karena itu, makna la ilaha illallahu
mengandug makna tersebut.
Adapun, yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah memfokuskan
seluruh pengabdian kepada Allah. Hanya Allah satu-satunya Tuhan
yang harus disembah. Kepada Allah kita beribadah, memohon
pertolongan dan perlindungan. Kepada-Nya kita berharap dan takut.
Para ulama mendefinisikan tauhid uluhiyah adalah mengetahui dan
meyakini bahwa Allah mempunyai hak uluhiyah dan ubudiyah (hak
untuk disembah) atas seluruh ciptaan-Nya, memfokuskan seluruh
pengabdian kepada Allah dan mengikhlaskan agama karena Allah Swt.

12
(Aceng Zakaria, 2008: 99). Pengertian ini sesuai dengan beberapa ayat
Al-Qur’an berikut ini:
ْ َ َ َ
ْ َ َ َّ َ ْ ُ ْ َ َ َّ َ َ ُ َ َّ
.)14 :‫دنى وأ ِق ِم الصلاة لِ ِذك ِري (طه‬
ِ ‫ِإن ِنى أنا اهلل لا ِإله ِإلا أنا فعب‬

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S.
Thâhâ: 14).

ُ ْ َّ ْ ْ ْ ُ َْ َ
.)56 :‫َو َما خلقت ا ِلَّجن َوا ِلإن َس ِإلا ِل َيع ُبد ْو ِن (الذاريات‬

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah
kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzâriyaat: 56).
Dengan demikian, keimanan kepada Allah mengandung makna
bahwa seseorang yang beriman kepada Allah di samping meyakini
bahwa Allah itu ada, juga meyakini akan keesaan Allah dalam dzat-Nya,
meyakini bahwa Allah Esa dalam sifat-Nya, Esa dalam perbuata-Nya
dan diwujudkan dengan beribadah hanya kepada-Nya.

3) Tauhid Dzat, Asma dan Sifat


Yang dimaksud tauhid dzat, asma dan sifat adalah meyakini bahwa
Allah itu Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan tidak ada seorang pun atau
sesuatupun yang setara dengan-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak
dilahirkan, Dia memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang luhur
tiada yang menyamainya atau menandinginya siapapun.
Beberapa ulama mendefinisikan tauhid dzat, asma dan sifat adalah
seorang muslim hendaknya meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama
dan sifat-sifat yang tinggi, tidak menyekutukan selain Allah dalam
nama-nama dan sifat-sifat itu, tidak juga mentakwilkan sifat-sifat-Nya
sehingga ia merusaknya, dan tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat
makhluk sehingga ia menggambarkannya atau menyerupakannya
(Aceng Zakaria, 2008: 200).
Jenis tauhid ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an, di
antaranya sebagai berikut:
َ َ ُ ْ َ َّ ْ َ ْ َّ
ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ َ ُ ‫اء ال ُح ْس َن َٰى َف ْاد ُع‬
ُ ‫هلل الأ ْس َم‬
‫وه ِب َها َوذ ُروا ال ِذين ُيل ِحدون ِفي أسم ِائ ِه سيجزون ما كانوا‬ ِ ‫َ ِو‬
َ ُ ْ
.)180 :‫(الأعراف‬.‫َيع َملون‬

13
“Hanya milik Allah asma al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
balasan atas apa yang telah mereka perbuat” (Q.S. Al-A’raf: 180).
َ‫ ُهو‬.‫ون‬ َ ُ َ َْ ُ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ َْ َ ُ ْ َ َّ َ ْ
ُ ‫اء ال ُح ْس َن َٰى َف ْاد ُع‬ َ ْ َّ
ُ ‫هلل الأ ْس َم‬
‫وه ِب َها َوذ ُروا ال ِذين ُيل ِحدون ِفي أسم ِائ ِه سيجزون ما كانوا يعمل‬ ِ ‫َ ِو‬
ُ َّ َ ََٰ َ َّ َّ ُ
َّ ‫الر ْح ََٰم ُن‬
َّ ‫الش َه َاد ِة ُه َو‬
َّ َ ْ َ ْ ُ َ َ ُ َّ َ ََٰ َ َّ َّ
‫اهلل ال ِذي لا ِإله ِإلا ه َو‬ ُ ‫ ه َو‬.‫يم‬ ُ ‫الرح‬
ِ ‫و‬ ‫ب‬ ِ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫ل‬ِ ‫ا‬ ‫ع‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫ه‬
ِ ِ ‫ل‬‫إ‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ذ‬ ِ
ُ
‫اهلل ال‬

ُ َّ ‫ ُه َو‬.‫ون‬َ ُ ْ ُ َّ َ َّ َ َ ْ ُ ُ َ َ ُ ْ ُ ََّ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ ْ ُ َ َّ ُ ُّ ُ ْ ُ َ ْ
‫اهلل‬ ‫اهلل عما يش ِرك‬
ِ ‫الم ِلك القدوس السلام المؤ ِمن المهي ِمن الع ِزيز الجبار المتك ِبر سبحان‬
ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ ُ َْ ُ َْ
ُ‫اوات َو ْالأ ْرض َو ُه َو ال َعز ُيز الحَكيم‬ َّ ‫اء ال ُح ْس َن َٰى يُ َسب ُح ل ُه َما في‬
َ ‫الس َم‬ ُ ‫ئ ال ُم َصو ُر ل ُه الأ ْس َم‬ ‫الخ ِالق الب ِار‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ

.)24-22 :‫(الحشر‬

“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan
yang nyata, Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah
yang tiada Tuhan selain Dia, Raja yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang
Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang
Maha Kuasa, yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang
Membentuk Rupa yang Mempunyai asma al-husna. Bertasbih kepada-Nya apa
yang dilangit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” (Q.S. Al-Hasyr: 22-24).

c. Sifat Allah

Salah satu bentuk perwujudan dari iman kepada Allah adalah


percaya akan keesaan Allah dalam asma dan sifat-Nya, yaitu bahwa
tidak ada suatu apapun yang menyerupai sifat Allah dalam
kesempurnaan dan kualitasnya. Selain itu, juga penting diyakini bahwa
seluruh nama dan sifat Allah yang ada dalam asma` al-husna, semuanya
baik (al-husna), dan tidak ada nama dan sifat yang buruk pada Allah Swt.
Hal itu dapat dipahami dari beberapa ayat, yaitu Q.S. Al-A‘raf: 180; Q.S.
Thaha: 8; Q.S. Al-Hasyr: 24; dan Q.S. Al-Isra`: 110.
Dalam menerangkan sifat Allah dan meneguhkan keesaan Allah,
kalangan teolog pengikut Asy'ariyah mengklasifikasikan sifat Allah
menjadi tiga. Pertama, sifat wajib (yang harus ada pada Allah) berjumlah
20 sifat. Kedua, sifat mustahil (yang tidak boleh ada pada Allah) yang
merupakan kebalikan atau lawan dari sifat wajib berjumlah 20 sifat.
Ketiga, sifat jaiz (boleh) berjumlah satu sifat. Kemudian, semuanya
digabung dengan 4 sifat wajib bagi rasul, 4 sifat mustahil bagi rasul dan 1

14
sifat jaiz bagi rasul menjadi genap 50 sifat. Oleh karena itu, sering dikenal
dengan istilah “aqidatul khomsin” (akidah lima puluh).

Tabel.1
Sifat Wajib dan Mustahil bagi Allah

No Sifat Wajib Arti Sifat Mustahil Arti

1 Wujud (‫)وجود‬ Ada Adam (‫)عدم‬ Tiada

2 Qidam (‫)قدام‬ Terdahulu Huduts (‫)حدوث‬ Ada yang

Mendahului

3 Baqa` (‫)بقاء‬ Kekal Fana` (‫)فناء‬ Musnah

4 Mukhalafatu Berbeda Mumaatsalatu lil Ada yang

lil-hawaditsi dengan hawadits‫مماثلة‬ ) Menyamai


(‫للحوادث‬ ‫)مخالفة‬ ‫)للحوادث‬
makhluk

5 Qiyamuhu bi- Berdiri sendiri Ihtiyaju li- Memerlukan


nafsihi ( ‫قيامه‬
gairihi( ‫احتياج‬ (membutuhkan)
‫)بنفسه‬
‫)لغيره‬ yang lain

6 Wahdaniyah Esa Ta'addud (‫)تعدد‬ Berbilang


(‫)وحدنية‬ (banyak)

7 Qudrah (‫)قدرة‬ Kuasa ‘Ajzun (‫)عجز‬ Lemah (tidak

berkuasa)

8 Iradah (‫)إرادة‬ Berkehendak Karahah (‫)كراهة‬ Terpaksa

9 ‘Ilmun (‫)علم‬ Mengetahui Jahlun (‫)جهل‬ Bodoh

10 Hayat (‫)حياة‬ Hidup Mautun (‫)موت‬ Mati

11 Sama‘ (‫)سمع‬ Mendengar Shummun ( ‫ ) ّصم‬Tuli

12 Bashar (‫)بصر‬ Melihat ‘Umyun (‫)عمي‬ Buta

13 Kalam (‫)كالم‬ Berfirman Bukmun (‫)بكم‬ Bisu

15
14 Qadiran (‫)قديرا‬ Maha Kuasa ‘Ajizan (‫)عاجزا‬ Yang lemah

15 Muridan (‫)مريدا‬ Mahaberkehe Mukrahan (‫ )مكرها‬Yang terpaksa


ndak

16 ‘Aliman (‫)عليما‬ Mahamengeta Jahilan (‫)جاهال‬ Yang bodoh


hui

17 Hayyan (‫حيا‬ Mahahidup Mayyitan (‫)ميتا‬ Yang mati

18 Sami'an (‫)سميعا‬ Mahamenden Ashammu (‫)أصم‬ Yang tuli


gar

19 Bashiran (‫ )بصيرا‬Mahamelihat A‘ma (‫)أعم‬ Yang buta

20 Mutakalliman Mahaberfirma Abkam (‫)ابكم‬ Yang bisu


(‫)متكلّما‬ n

Sifat jaiz bagi Allah Swt. berarti sifat kebebasan Allah Swt. untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sesuai kehendak-Nya yang
mutlak dan tidak terikat oleh apapun dan siapapun. Setiap orang
beriman wajib mengimani sifat jaiz bagi Allah. Sifat jaiz bagi Allah Swt
hanya satu, yaitu:
َ
ُ ُ َْ ْ ُْ ُ ُ ْ
‫ِفعل ك ِل ِم ِك ٍن أو تركه‬

“Allah Swt. memiliki kuasa penuh untuk melakukan (berbuat) segala sesuatu
yang mungkin dilakukan dan juga (memiliki kuasa penuh) untuk
meninggalkannya".
Sifat jaiz bagi Allah dijelaskan di dalam salah surat Al-Qur’an berikut
ini:
َ ُ ْ ُ َّ َ َ َ َ َ َ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ ُ َ َ َ ُ ُ ْ َ َ ُّ َ َ
.)68 : ‫الخ َي َرة ُس ْبحان اهللِ َوتعالى عما يش ِرك ْون (القص‬
ِ ‫ ما كان لكم‬،‫وربك يخلق ما يشاء ويختار‬

“Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka
(manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang
mereka persekutukan” (Q.S. Al-Qashash: 68).
Sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 20 tersebut secara garis besar terdiri
dari sifat nafsiyah, salbiyah, ma’ani dan ma’nawiyah. Sifat nafsiyah terdiri
dari satu sifat, yaitu wujud yang berarti ada. Sifat salbiyah terdiri dari sifat
qidam yang berarti tidak ada permulaannya, baqa yang berarti tidak ada
akhirnya, mukhâlafatu lil hawâditsi yang berarti tidak sama dengan segala

16
yang baru atau makhluk-Nya, qiyâmuhu binafsihi yang berarti tidak
memerlukan yang lain dari dzat-Nya, dan wahdâniyah yang bararti tidak
berbilang, baik dzat-Nya, sifat-Nya, maupun perbuatan-Nya (Maha
Esa). Sifat ma’âni terdiri dari tujuh sifat, yaitu sifat qudrat yang berarti
kekuasaan, irâdah yang berarti kehendak, ‘ilmun yang berarti
pengetahuan, hayât yang berarti kehidupan, sama’ yang berarti
pendengaran, bashar yang berarti penglihatan, dan kalâm yang berarti
pembicaraan atau firman Tuhan. Terakhir, sifat ma’nawiyah terdiri dari
tujuh sifat, yaitu qadȋran (yang Mahakuasa), murȋdan (yang
berkehendak), ‘alȋman (yang Mahamengetahui), hayyan (yang
Mahahidup), samȋ’an (yang Mahamendengar), bashȋran (yang
Mahamelihat) dan mutakalliman ( yang berbicara atau berfirman).
Disebut sifat nafsiyah, karena yang wujud itu adalah nafs atau dzat.
Disebut sifat salbiyah, karena sifat-sifat itu mencabut sifat-sifat yang tidak
layak pada Tuhan atau meniadakan sesuatu dari Tuhan, tidak ada
awalnya, tidak ada akhirnya, tidak serupa dengan makhluknya dan
sebagainya, seperti telah disebutkan di atas. Disebut sifat ma’ani, karena
sifat-sifat tersebut ada pada dzat Tuhan, seperti adanya makna pada
lafadz. Kekuasaan, kehendak, ilmu, kehidupan, pendengaran,
penglihatan dan pembicaraan semua terliputi pada dzat Tuhan.
Selanjutnya, disebut ma’nawiyah, karena sifat-sifat tersebut merupakan
konsekuensi (mulâzamah) dari sifat ma’ani. Kalau pada Tuhan ada
kekuasaan pasti Tuhan itu Mahakuasa. Kalau pada Tuhan itu ada
kehendak, pasti Tuhan Mahaberkehendak. Kalau pada Tuhan itu ada
pengetahuan pasti Tuhan Yang Mahamengetahui dan sebagainya (Jenal
Bustomi, 2022: 98-99).
Selain dari sifat wajib yang berjumlah 20 menurut teologi Asy‘ariyah,
dalam pandangan sebagian ulama, Allah juga memiliki sifat yang
jumlahnya lebih banyak yakni 99, yang dikenal dengan Asmaul Husna.
Asmaul Husna, secara harfiyah bermakna nama-nama yang baik. Hal itu
dimasukkan sebagai sifat-sifat Allah, karena nama bagi Allah adalah
sekaligus sebagai sifat Allah. Kita mengenal Allah dari nama dan sifat
yang disebutkan-Nya di dalam Al-Qur`an. Berkaitan dengan Asmaul
Husna, akan dibicarakan dalam pembahasan khusus.

17
D. Kontekstualisasi Akidah Islam dan Iman kepada Allah dalam Moderasi
Beragama
Akidah Islam adalah kepercayaan yang mantap kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, qada’ dan qadar
yang baik dan yang buruk. Akidah Islam ini bersumber pada Al-Qur’an al-Karim
dan hadis yang berisi pokok-pokok agama, perintah-perintah dan berita-
beritanya, serta apa saja yang disepakati oleh generasi salafush shalih (ijma).
Pemahaman akidah Islam ini tertanam pada pemahaman pribadi yang diyakini
secara pribadi dan tidak menjustifikasi bahwa ini adalah yang paling benar
dengan pemahaman lainnya. Pemahaman seperti ini dalam moderasi beragama
disebut dengan sikap tawassuth dalam memahami agama secara benar dan
proporsional.
Tawassuth atau wasathiyyah adalah memilih jalan tengah di antara dua kutub
ideologi keagamaan ekstrem fundamentalisme dan liberalisme. Ciri sikap
tawassuth ini, antara lain tidak bersikap ekstrem dalam menyebarluaskan ajaran
agama; tidak mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan
pemahaman agama; memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan
senantiasa memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi
(tasamuh); hidup berdampingan dengan sesama umat Islam maupun warga
negara yang memeluk agama lain.
Saudara sekalian, selanjutnya temukan nilai-nilai moderasi beragama dari
materi akidah Islam dan iman kepada Allah ini, seperti nilai i’tidal dan tasamuh.
Lakukan analisis Saudara terhadap dua nilai moderasi beragama tersebut.

E. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Saudara di atas, kerjakan latihan berikut
ini:
1. Jelaskan apa perbedaan iman menurut Abu Hasan Al-Asy’ari dan
menurut Mu’tazilah?
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tauhid fi dzati, fi sifati, dan fil af’al?
3. Jelaskan apa hubungan akidah dengan akhlak?

F. Referensi Tambahan

1. Jenal Bustomi, Ilmu Tauhid: Mengikis Fanatisme Kelompok Merekat


Persatuan Umat, Cetakan ke-3, Bandung: Media Jaya Abadi,, 2022.

18
2. Siti Sya’diya Shafik, “Tauhid Membina Keutuhan Akidah Islam,” Jurnal
Islam dan Masyarakat Kontemporari, Vol. 2, 2009, 81-101.
https://journal.unisza.edu.my/jimk/index.php/jimk/article/view/48
3. Maskaree Ardae, dkk, “Sejarah Pembahagian Tauhid Rububiyah, Tauhid
Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat dalam Pengajian Usuludin,” Insan
Cita, Vol. 4 No. 1, 2019, 17- 34.
https://journals.mindamas.com/index.php/insancita/article/view/1197

19

Anda mungkin juga menyukai