Anda di halaman 1dari 10

Nama : Muthi’ah Hani Habibah

NIM : 2110312077
Kelas 117 Agama

Aqidah dan Kehidupan

Pengertian Aqidah
Pengertian Aqidah berakar dari kata Aqada-Ya'qidu-Aqdatan yang berarti tali pengikat
sesuatu dengan yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika
masih dapat dipisahkan berarti belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya.
Dalam pembahasan yang masyhur aqidah diartikan sebagai iman, kepercayaan atau keyakinan.
Dalam kajian Islam, arti aqidah adalah tali pengikat batin manusia dengan yang diyakininya
sebagai Tuhan yang Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini.
Aqidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata yang tidak menerima keraguan
dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu itu masih ada unsur keraguan dan
kebimbangan, maka tidak disebut aqidah. Jadi aqidah itu harus kuat dan tidak ada kelemahan
yang membuka celah untuk dibantah.
M Syaltut menyampaikan bahwa aqidah adalah pondasi yang di atasnya dibangun hukum
syariat. Syariat merupakan perwujudan dari aqidah.
Oleh karena itu hukum yang kuat adalah hukum yang lahir dari aqidah yang kuat. Tidak ada
aqidah tanpa syariat dan tidak mungkin syariat itu lahir jika tidak ada aqidah.
Ibnu Khaldun mengartikan ilmu aqidah adalah ilmu yang membahas kepercayaan-
kepercayaan iman dengan dalil-dalil akal dan mengemukakan alasan-alasan untuk menolak
kepercayaan yang bertentangan dengan kepercayaan golongan salaf dan ahlus sunnah.
Untuk memahami pengertian aqidah dan peranannya dalam kehidupan, kita bisa
menganalogikannya dengan sebatang pohon yang sehat. Untuk bisa bertahan dalam berbagai
kondisi cuaca, sebatang pohon haruslah tumbuh dengan keadaan yang sempurna, di antaranya
adalah keadaan akar yang kuat untuk menjadi penopang dari seluruh komponen lainnya. Darinya
akan tumbuh batang, dahan, daun, bunga dan buah. Tanpa akar yang kuat dan sehat, pohon
apapun tidak mungkin bisa hidup.
Seperti itulah pengertian aqidah dan perannya dalam kehidupan. Ia bagaikan akar yang
menancap ke bumi, kadang ia tidak terlihat, bahkan cenderung terabaikan oleh kasat mata. Akan
tetapi, ia menjadi komponen utama dalam kehidupan yang tidak mungkin seorang muslim hidup
tanpanya. Sebagaimana akar yang menjadi topangan kala dihempa angin dan benda-benda
lainnya, aqidah juga menjadi landasan kekuatan manusia dalam kehidupan. Ia berisi nilai-nilai
utama seperti ketuhanan, kenabian dan segala hal yang dikabarkan oleh nabi perihal penjabaran
segala hal yang tidak dapat disaksikan oleh mata.
Begitulah pengertian aqidah yang dimisalkan dengan akar. Permisalan tentang akar ini
nyatanya telah termaktub dalam Al Quran, Surat Ibrahim, ayat 24:

‫َأَلْم َتَر َك ْي َف َض َر َب ال َّلُه َم َثاًل َك ِلَم ًة َطِّيَبًة َك َش َج َر ٍة َطِّيَبٍة َأْص ُلَه ا َثا ِبٌت َو َفْر ُع َه ا ِفي‬
‫ال َّس ا ِء‬
‫َم‬

“tidakkah engkau tidak melihat permisalan yang Allah Swt dari “Kalimat Thayyibah” seperti
“syajarah thayyibah” pohon yang asal (akar)nya tetap dan cabangnya di langit.”
Para ulama tafsir berpendapat bahwa Syajarah Thayyibah adalah seorang yang beriman dan
Kalimat Thayyibah adalah iman, kepercayaan atau aqidah itu sendiri. Jadi permisalan seorang
mukmin yang baik adalah yang memiliki aqidah dan keimanannya tegas dan kuat selayaknya
akar pohon yang tetap menancap ke tanah, menjaganya dari hantaman panas dan dingin berupa
syirik dan menduakan Allah Swt.
Secara bahasa, iman berarti tasdiq, atau membenarkan. Maksudnya, yaitu membenarkan
dengan tegas segala hal yang dikabarkan oleh Rasulullah dari Tuhannya. Kabar tersebut
berkenaan dengan tiga perkara yaitu Ilahiyat atau ketuhanan, nubuat atau kenabian dan sam’iyyat
atau hal immaterialistis yang dikabarkan oleh Nabi Muhammad Saw. contohnya adalah hari
kiamat, hari pembangkitan, surga dan neraka. Dari ke tiga hal ini kita diwajibkan untuk mengerti
apa saja yang absolut ada pada Tuhan, mungkin ada pada Tuhan dan mustahil ada pada Tuhan.
Pembahasan kemudian meluas ke permasalahan kenabian dan kabar-kabar yang dibawa oleh
para Nabi dari Tuhan mereka.
Semua yang terkait dengan rukun iman tersebut sudah disebutkan dalam Al Quran, surah
al-Baqarah ayat 285:

‫آ ال َّر و ُل ِب ا ُأْنِز َل ِإَل ِه ِم ِّبِه ا ْل ْؤ ِم ُنو َن ۚ ُك ٌّل آ ِبال َّلِه اَل ِئَك ِتِه ُك ُتِبِه‬
‫َو‬ ‫َو َم‬ ‫َم َن‬ ‫ْي ْن َر َو ُم‬ ‫َم َن ُس َم‬
‫ٍد‬
‫َو ُر ُس ِلِه اَل ُنَفِّر ُق َبْي َن َأَح ِم ْن ُر ُس ِلِه ۚ َو َقا ُلوا َس ِم ْع َنا َو َأَطْع َنا ۖ ُغْف َر ا َنَك َر َّبَنا َو ِإَلْي َك‬
‫ِص‬
‫ا ْل َم ي ُر‬
Artinya: Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul Nya. (mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya, dan mereka mengatakan: Kami dengar
dan Kami taat. (mereka berdoa): Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali. (Q.S. Al-Baqarah [2] :285).
Dalam suatu hadis Nabi Saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril mengenai iman
dengan mengatakan: Bahwa engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab
Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat. Dan juga engkau beriman kepada qadar, yang baik dan
yang buruk. ( HR. Bukhari )
Berdasarkan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rukun iman itu ada enam:
1. Iman kepada Allah
2. Iman kepada Malaikat Allah
3. Iman kepada kitab-kitab Allah
4. Iman kepada Rasul-Rasul Allah
5. Iman kepada hari akhir,
6. Iman kepada qada dan qadar.
Permasalahan aqidah adalah perkara mendasar yang menjadi syarat dari keimanan seseorang.
Saat awal mula diutus Nabi Muhammad Saw telah ditugaskan untuk mengumumkan bahwa
hanyalah Tuhan yang Esa yang berhak untuk disembah, dan apa yang telah dilakukan oleh
kaumnya saat itu dari praktik-praktik paganisme tidaklah memberikan manfaat bagi mereka. Dan
untuk menguatkan dakwah kenabian tersebut, Allah Swt menguatkan nabi dengan surat-surat
yang dikenal dengan surat Makkiyah atau surat yang turun di saat periode kenabian sebelum
hijrah ke Madinah yang berisi pokok-pokok aqidah dan kepercayaan pada yang Esa.

Kedudukan Aqidah yang Benar


Aqidah yang benar merupakan landasan tegaknya agama dan kunci diterimanya amalan.
Hal ini sebagaimana ditetapkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya:

‫َفَم ْن َك ا َن َيْر ُج و ِلَق ا َء َر ِّبِه َفْل َيْع َم ْل َع َم اًل َص ا ِلًح ا َو اَل ُيْش ِر ْك ِبِعَبا َد ِة َر ِّبِه َأَح ًد ا‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal
shalih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya.”
(QS. Al Kahfi: 110)
Allah ta’ala juga berfirman,

‫ِم‬ ‫ِإ َّلِذ ِم ِل ِئ‬ ‫ِح ِإ‬


‫َو َلَقْد ُأو َي َلْي َك َو َلى ا ي َن ْن َقْب َك َل ْن َأْش َر ْك َت َلَي ْح َب َطَّن َع َم ُلَك َو َلَتُك و َنَّن َن‬
‫ِس‬
‫ا ْل َخ ا ِر ي َن‬
“Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu: Sungguh, apabila
kamu berbuat syirik pasti akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar akan termasuk
golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa amalan tidak akan diterima apabila
tercampuri dengan kesyirikan. Oleh sebab itulah para Rasul sangat memperhatikan perbaikan
aqidah sebagai prioritas pertama dakwah mereka. Inilah dakwah pertama yang diserukan oleh
para Rasul kepada kaum mereka; menyembah kepada Allah saja dan meninggalkan
penyembahan kepada selain-Nya.
Hal ini telah diberitakan oleh Allah di dalam firman-Nya:

‫ِم‬ ‫ِن‬ ‫ِن‬ ‫ٍة‬ ‫ِف‬


‫َو َلَقْد َبَع ْثَنا ي ُك ِّل ُأَّم َر ُس و اًل َأ ا ْع ُبُد وا ال َّلَه َو ا ْج َت ُبوا ال َّطا ُغ و َت ۖ َف ْنُه ْم َمْن‬
‫َه َد ى ال َّلُه َو ِم ْنُه ْم َمْن َح َّق ْت َع َلْي ِه الَّض اَل َلُةۚ َفِس ي ُر وا ِفي اَأْلْر ِض َفا ْنُظُر وا َك ْي َف َك ا َن‬
‫ِب‬ ‫ِق‬
‫َع ا َبُة ا ْل ُم َك ِّذ ي َن‬
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul yang menyerukan ‘Sembahlah
Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan selain Allah)'” (QS. An Nahl: 36)
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan yang serupa yaitu,
“Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan (yang benar) bagi kalian selain Dia.” (lihat
QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan 85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih,
Syu’aib dan seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah beliau diutus sebagai
Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya mau bertauhid (mengesakan Allah dalam
beribadah) dan demi memperbaiki aqidah. Hal itu dikarenakan aqidah adalah fondasi tegaknya
bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan sebagaimana jalannya para
nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka selalu memulai dakwah dengan ajaran tauhid dan
perbaikan aqidah kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai permasalahan agama
yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).

Pentingnya Aqidah dalam Kehidupan


Pentingnya kualitas akidah dalam kehidupan, yakni yang meliputi keimanan yang teguh
dan pelaksanaan amal yang sholeh, mencakup rukun Islam dan rukun Iman. Sehingga bisa
mencapai surga yang tertinggi dan bisa langsung masuk surga tanpa hisab, dan tak hanya
mendapat surga terendah dan harus melewati neraka dulu. Dijelaskan pula dalam hadis mengenai
pentingnya iman yang dapat menjadi penyelamat terakhir, sebagaimana hadis riwayat Bukhari
dari Abu Said, yang menyatakan bahwa kelak orang yang memiliki keimanan Islam, meski iman
itu hanya seberat biji sawi, maka akan bisa dikeluarkan dari neraka dan lalu diangkat ke surga.
Keimanan Islam itu adalah mengimani bahwa Allah lah satu-satunya tuhan, dan tiada
tuhan selain Allah. Disebut iman sebiji sawi karena meski orang itu yakin Allah sebagai satu-
satunya tuhan, namun imannya itu tipis sehingga ia lalai melanggar laranganNya dengan berbuat
berbagai dosa yang mengakibatkan bekal amalan baiknya lebih sedikit dari perbuatan dosanya,
ketika ditimbang, sehingga orang tersebut harus masuk neraka dulu, baru kemudian akan bisa
masuk ke surga setelah selesai menjalani hukuman atas segala perbuatan dosanya.
Itulah pentingnya dan kekuatan iman itu, namun jangan juga sepelekan perbuatan dosa,
karena waktu di neraka itu sangat panjang dan lama, meski tidak kekal bagi orang yang memiliki
iman, dan juga siksa neraka itu amat pedih. Kemudian jika timbul pertanyaan bagaimana dengan
orang tak beriman, namun beramal baik selama di dunia, atau orang yang keliru akidahnya,
mengapa terhapus dan tak bisa menjadi bekal di akherat amal baiknya tersebut. Maka hal ini
karena mereka telah Allah bayar lunas amal baiknya itu di dunia, sehingga tak bersisa lagi amal
baiknya yang bisa dibawa menjadi bekal hingga ke akherat, guna mengimbangi timbangan hisab
antara perbuatan amal baik dibanding dosanya, saat penentuan penempatannya di neraka atau di
surga.
Dibayar lunas di sini ialah seperti dengan digantinya takdir buruknya selama di dunia
dengan takdir baik di pandangan mereka, bisa jadi itu adalah rejeki yang melimpah, diberikannya
anak, pasangan, kedamaian, ketenangan, kesenangan dan bahagia semu yang sementara, dan
yang hanya berlaku di dunia saja, istilahnya adalah istdraj. Istidraj ialah kesenangan serta nikmat
yang Allah berikan kepada orang-orang yang jauh dari Nya, yang sebenarnya hal tersebut
merupakan azab baginya. Sebagaimana disebutkan dalam QS Ali Imran 3:178. Jadi jagalah
keimanan dan akidah dengan baik dan benar, agar tak menjadi sia-sia amal baik yang dilakukan,
dan dapat diterima amal ibadah yang di laksanakan.

Tujuan Aqidah Islam


Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yaitu:
a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah. Karena Allah adalah Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya
kepada-Nya .
b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya aqidah.
Karena orang yang lemah akidahnya, adakalanya kosong hatinya dan adakalanya
terjerumus pada berbagai kesesatan dan khurafat.
c. Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat hubungan
antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar menghadapi
segala persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan.
d. Meluruskan tujuan dan perbuatan yang menyimpang dalam beribadah kepada Allah serta
berhubungan dengan orang lain berdasarkan ajaran al-Quran dan tuntunan Rasulullah
saw.
e. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dengan tidak menghilangkan kesempatan
yang baik untuk beramal baik. Sebab setiap amal baik pasti ada balasannya. begitu
sebaliknya, setiap amal buruk pasti juga ada balasannya. Di antara dasar akidah ini adalah
mengimani kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
Dalil dalam Aqidah
Argumentasi yang kuat dan benar yang memadai disebut Dalil. Dalil dalam akidah ada
dua yaitu:
a. Dalil Aqli
Dalil yang didasarkan pada penalaran akal yang sehat. Orang yang tidak mampu
mempergunakan akalnya karena ada gangguan, maka tidak dibebani untuk memahami
Akidah. Segala yang menyangkut dengan Aqidah, kita tidak boleh meyakini secara ikut-
ikutan, melainkan berdasarkan keyakinan yang dapat dipelajari sesuai dengan akal yang
sehat.
b. Dalil Naqli
Dalil naqli adalah dalil yang didasarkan pada al-Quran dan sunah. Walaupun akal
manusia dapat menghasilkan kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus disadari bahwa
betapapun kuatnya daya pikir manusia, ia tidak akan sanggup mengetahui hakikat zat
Allah yang sebenarnya.

Sebab-sebab Penyimpangan dari Aqidah yang Benar


Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang
yang tidak mempunyai aqidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam
keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka
mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan bunuh
diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada remaja atau pemuda yang gantung diri gara-gara
diputus pacarnya.
Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi aqidah yang benar
akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran materialisme (segala-galanya diukur
dengan materi), sehingga apabila mereka diajak untuk menghadiri pengajian-pengajian yang
membahas ilmu agama mereka pun malas karena menurut mereka hal itu tidak bisa
menghasilkan keuntungan materi. Jadilah mereka budak-budak dunia, shalat pun mereka
tinggalkan, masjid-masjid pun sepi seolah-olah kampung di mana masjid itu berada bukan
kampungnya umat Islam. Alangkah memprihatinkan, wallaahul musta’aan (disadur dari At
Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12)
Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka kita juga harus mengetahui sebab-
sebab penyimpangan dari aqidah yang benar. Di antara penyebab itu adalah:
1. Bodoh terhadap prinsip-prinsip aqidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak
mau mempelajarinya, tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian
yang dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak
memahami aqidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan
dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap benar. Hal
ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
“Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila di kalangan umat Islam
tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat jahiliyah.”
2. Ta’ashshub (fanatik) kepada nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal
itu termasuk kebatilan, dan meninggalkan semua ajaran yang bertentangan dengan ajaran
nenek moyang walaupun hal itu termasuk kebenaran. Keadaan ini seperti keadaan orang-
orang kafir yang dikisahkan Allah di dalam ayat-Nya, “Dan apabila dikatakan kepada
mereka: ‘Ikutilah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada kalian!’ Mereka justru
mengatakan, ‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan dari
nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka akan tetap mengikutinya
meskipun nenek moyang mereka itu tidak memiliki pemahaman sedikit pun dan juga
tidak mendapatkan hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
3. Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan mengambil pendapat-
pendapat orang dalam permasalahan aqidah tanpa mengetahui landasan dalil dan
kebenarannya. Inilah kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok
sempalan seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Mereka mengikuti saja
perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga ikut-
ikutan menjadi tersesat, jauh dari pemahaman aqidah yang benar.
4. Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh. Mereka
mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia. Hal ini benar-benar terjadi
hingga ada di antara mereka yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa
mengetahui perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya. Ada juga
di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang sudah mati bisa mendatangkan
manfaat, melancarkan rezeki dan bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-
kubur wali ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat mereka. Mereka
beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka merasa sebagai orang-orang yang
banyak dosanya, sehingga tidak pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka
menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara. Padahal perbuatan semacam
ini jelas-jelas dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur-kubur Nabi
mereka sebagai tempat ibadah.” (HR. Bukhari). Beliau memperingatkan umat agar tidak
melakukan sebagaimana apa yang mereka lakukan Kalau kubur nabi-nabi saja tidak
boleh lalu bagaimana lagi dengan kubur orang selain Nabi ?
5. Lalai dari merenungkan ayat-ayat Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini
terjadi karena terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang
digembar-gemborkan orang barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan
itu diukur dengan sejauh mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka
kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka
terheran-heran atas kecerdasan mereka. Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu
Allah yang telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk
mencapai kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang
menyombongkan dirinya di hadapan manusia, “Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku
ini hanya karena pengetahuan yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78). Padahal apa yang
bisa dicapai oleh manusia itu tidaklah seberapa apabila dibandingkan kebesaran alam
semesta yang diciptakan Allah Ta’ala. Allah berfirman yang artinya, “Allah lah yang
menciptakan kamu dan perbuatanmu.” (QS. Ash Shaffaat: 96)
6. Kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal
peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana
telah digariskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Bukhari). Kita dapatkan anak-anak telah besar di bawah asuhan sebuah
mesin yang disebut televisi. Mereka tiru busana artis idola, padahal busana sebagian
mereka itu ketat, tipis dan menonjolkan aurat yang harusnya ditutupi. Setelah itu mereka
pun lalai dari membaca Al Qur’an, merenungkan makna-maknanya dan malas menuntut
ilmu agama.
7. Kebanyakan media informasi dan penyiaran melalaikan tugas penting yang mereka
emban. Sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan
aturan agama. Ini menimbulkan fasilitas-fasilitas itu berubah menjadi sarana perusak dan
penghancur generasi umat Islam. Acara dan rubrik yang mereka suguhkan sedikit sekali
menyuguhkan bimbingan akhlak mulia dan ajaran untuk menanamkan aqidah yang benar.
Hal itu muncul dalam bentuk siaran, bacaan maupun tayangan yang merusak. Sehingga
hal ini menghasilkan tumbuhnya generasi penerus yang sangat asing dari ajaran Islam
dan justru menjadi antek kebudayaan musuh-musuh Islam. Mereka berpikir dengan cara
pikir aneh, mereka agungkan akalnya yang cupet, dan mereka jadikan dalil-dalil Al
Qur’an dan Hadits menuruti kemauan berpikir mereka. Mereka mengaku Islam akan
tetapi menghancurkan Islam dari dalam. (disadur dengan penambahan dari At Tauhid li
Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 12-13).

Cara Meningkatkan Kualitas Aqidah


Seseorang yang beriman kepada Allah SWT maka ia harus melakukan semua yang
diperintahkan Allah Swt. dan menjauhi semua yang dilarangNya. Jika ia beriman kepada kitab
Allah, maka ia harus melaksanakan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.
Jika ia beriman kepada para rasul Allah, maka ia wajib melaksanakan ajaran yang
disampaikan para rasul dengan sebaik-baiknya serta meneladani akhlaknya:
1. Melalui pembiasaan dan keteladanan.
Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran orang
tua sangat penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari anggota
keluarganya sedini mungkin
2. Melalui pendidikan dan pengajaran
Pendidikan dan pengajaran dapat dilaksanakan baik dalam keluarga, masyarakat atau lembaga
pendidikan formal. Pendidikan keimanan ini memerlukan keterlibatan orang lain untuk
menanamkan aqidah di dalam hatinya.
Contoh Aqidah dalam Kehidupan Sehari-Hari
1. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.
2. Berpegang Teguh kepada Al Quran dan hadits Nabi SAW.
3. Menjauhkan diri dari semua perbuatan syirik
4. Meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah SWT dengan sholat berjamaah.
5. Berserah diri dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah.
Sumber:
Pengertian Aqidah, Contoh serta Tujuan dalam Kehidupan Sehari-Hari Bagi Muslim - Bagian 5
(inews.id)
Surat Al-Baqarah Ayat 285 | Tafsirq.com
Surat Ibrahim Ayat 4 | Tafsirq.com
Pengertian Aqidah dan Penerapannya di Kehidupan (takwa.id)
Pentingnya Aqidah dalam Kehidupan - SEKOLAH PRESTASI GLOBAL
Surat Al-Kahf Ayat 110 | Tafsirq.com
Inilah Pentingnya Aqidah Dalam Kehidupan Seorang Insan (muslim.or.id)

Anda mungkin juga menyukai