Anda di halaman 1dari 329

PEDOMAN DASAR AGAMA ISLAM

Aqidah

Agama Islam

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan
agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat
atas mereka. Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab
itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.

Allah ta’ala berfirman,

َ ‫َّللاُ بِّ ُك ِّل‬


‫ش ْيءٍ َع ِّليما‬ َّ َ‫َّللاِّ َوخَات ََم النَّبِّيِّينَ َو َكان‬ ُ ‫َّما َكانَ ُم َح َّمد ٌ أَبَا أ َ َح ٍد ِّمن ِّر َجا ِّل ُك ْم َولَ ِّكن َّر‬
َّ ‫سو َل‬

“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan tetapi
dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Allah ta’ala juga berfirman,

ِّ ‫ْاليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِّينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم نِّ ْع َمتِّي َو َر‬


ِّ ‫ضيتُ لَ ُك ُم‬
‫اإل ْسالَ َم دِّينا‬

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan
nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al
Maa’idah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman,

‫اإل ْسالَ ُم‬


ِّ ِّ‫إِّ َّن الدِّينَ ِّعندَ َّللا‬

“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Allah ta’ala berfirman,

َ‫اآلخ َرةِّ ِّمنَ ْالخَا ِّس ِّرين‬


ِّ ‫اإل ْسالَ ِّم دِّينا فَلَن يُ ْقبَ َل ِّم ْنهُ َوه َُو فِّي‬
ِّ ‫َو َمن يَ ْبت َغِّ َغي َْر‬

“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya
dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan
memeluk agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُ ‫آمنُواْ ِّباّللِّ َو َر‬
‫سو ِّل ِّه‬ ِّ َ‫ض ال ِّإلَـهَ ِّإالَّ ُه َو يُحْ ِّيـي َوي ُِّميتُ ف‬ ِّ ‫ت َواأل َ ْر‬ َّ ‫سو ُل َّللاِّ ِّإلَ ْي ُك ْم َج ِّميعا الَّذِّي لَهُ ُم ْلكُ ال‬
ِّ ‫س َم َاوا‬ ُ َّ‫قُ ْل يَا أَيُّ َها الن‬
ُ ‫اس ِّإنِّي َر‬
ُ َّ َ َّ َّ ُ َّ
َ‫النبِّي ِّ األ ِّمي ِّ الذِّي يُؤْ ِّمنُ بِّاّللِّ َو َك ِّل َماتِّ ِّه َواتبِّعُوهُ لعَلك ْم تَ ْهتَدُون‬

“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kalian
semua, Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq
selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah
dan Rasul-Nya seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta
kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf:
158)

Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya,
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari
umat ini yang mendengar kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia
meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti
termasuk salah seorang penghuni neraka.”

Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa dengan
disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu
Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam walaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi
bahwasanya Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-
agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-
agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat
dan di masyarakat manapun. Allah ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,

ِّ ‫صدِّقا ِّل َما بَيْنَ يَدَ ْي ِّه ِّمنَ ْال ِّكتَا‬


‫ب َو ُم َهي ِّْمنا‬ ِّ ‫َاب بِّ ْال َح‬
َ ‫ق ُم‬ َ ‫َوأَنزَ ْلنَا إِّلَيْكَ ْال ِّكت‬

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab
yang terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)

Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat
adalah dengan berpegang teguh dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan
umat tersebut di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan umat
itu akan menjadi baik. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu cocok
bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap masa,
tempat dan masyarakat, sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan jaminan
pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,

َ‫ِّين ُك ِّل ِّه َولَ ْو ك َِّرهَ ْال ُم ْش ِّر ُكون‬ ْ ‫ق ِّلي‬


ِّ ‫ُظ ِّه َرهُ َعلَى الد‬ ِّ ‫ِّين ْال َح‬
ِّ ‫سولَهُ بِّ ْال ُهدَى َود‬ َ ‫ه َُو الَّذِّي أ َ ْر‬
ُ ‫س َل َر‬
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang
benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang
musyrik tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)

Allah ta’ala berfirman,

‫ف الَّ ِّذينَ ِّمن قَ ْب ِّل ِّه ْم َولَيُ َم ِّكن ََّن لَ ُه ْم دِّينَ ُه ُم الَّذِّي‬َ ‫ض َك َما ا ْست َْخ َل‬ ِّ ‫ت لَيَ ْست َْخ ِّلفَنَّ ُهم فِّي ْاأل َ ْر‬ َّ ‫َّللاُ الَّذِّينَ آ َمنُوا ِّمن ُك ْم َو َع ِّملُوا ال‬
ِّ ‫صا ِّل َحا‬ َّ َ‫َو َعد‬
ُ
َ‫ِّ ون‬‫ق‬‫س‬ ‫ا‬ َ ‫ف‬ ْ
‫ال‬ ‫م‬ ُ
‫ه‬ ‫ئ‬َ ‫ل‬ ‫و‬ُ ‫أ‬
ُ َ‫َ َ ْ َ ِّكَ ْ ِّك‬َ ‫ف‬ ‫ل‬َ ‫ذ‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ر‬ َ ‫ف‬‫ك‬َ ‫ن‬ ‫م‬ ‫و‬
َ َ ‫ْئا‬‫ي‬‫ش‬َ ‫ي‬ ‫ب‬ ُ
‫ك‬ ‫ر‬
ِّ َ‫ُ ِّ ون‬ ْ
‫ش‬ ‫ي‬ ‫ال‬ َ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ن‬
َ ‫ُو‬ ‫د‬ ‫ب‬‫ع‬ ‫ي‬ ‫نا‬ ‫م‬َ ‫أ‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ف‬ ‫َو‬
‫خ‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ن‬
ِّ ُ ْ َ ْ ْ ِّ ِّ ْ ِّ ْ َ ِّ ُ ِّ َ ُ َ ْ ُ َ ْ‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬ َّ ‫ن‬َ ‫ل‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ي‬َ ‫ل‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫ى‬ ‫ض‬َ ‫ت‬‫ار‬

“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman serta beramal salih
diantara kalian untuk menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-
orang sebelum mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah pasti akan meneguhkan
bagi mereka agama mereka, sebuah agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan
Allah pasti akan menggantikan rasa takut yang sebelumnya menghinggapi mereka dengan rasa
tenteram, mereka menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun. Dan
barangsiapa yang ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An
Nuur: 55)

Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam adalah
ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:

1. Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.


2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan
durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus)
dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap
buruk kepada mereka.

Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan
melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan
melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,

ُ ‫ان َو ِّإيتَاء ذِّي ْالقُ ْربَى َويَ ْن َهى َع ِّن ْالفَحْ شَاء َو ْال ُمنك َِّر َو ْالبَ ْغي ِّ َي ِّع‬
َ‫ظ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُرون‬ ِّ ‫س‬ ِّ ‫ِّإ َّن َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ِّب ْال َعدْ ِّل َو‬
َ ْ‫اإلح‬

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak
kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan
melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil pelajaran.” (QS. An
Nahl: 90)
 Rukun dan Makna Islam

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena
dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan
yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada.
Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia
sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih
lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu

Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan
kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau
juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada
kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan
bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada
umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

ٌ ‫يص َعلَ ْي ُكم ِّبا ْل ُمؤْ ِّمنِّينَ َر‬


‫ؤُوف َّر ِّحي ٌم‬ ٌ ‫سو ٌل ِّم ْن أَنفُ ِّس ُك ْم َع ِّز‬
ٌ ‫يز َعلَ ْي ِّه َما َع ِّنتُّ ْم َح ِّر‬ ُ ‫لَقَدْ َجاء ُك ْم َر‬

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau
bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)
mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada
bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai
Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam
adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau
menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau
menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril,
“Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab,
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau
beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam
yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits
tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah
sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan
istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan
amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan
Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut
dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan
perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima
pilar:

1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya
agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan
janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam
yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah
dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan
berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang
yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh
Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi
Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah
Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian
juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah
diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan
sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari
kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama
pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau
adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ْ َ‫َكانَ ِّمنَ ْال ُم ْش ِّركِّينَ َما َكانَ إِّب َْراهِّي ُم يَ ُهودِّيا َوالَ ن‬
‫ص َرا ِّنيا َولَ ِّكن َكانَ َحنِّيفا ُّم ْس ِّلما َو َما‬

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah
seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,

‫س َّما ُك ُم ْال ُم ْسلِّمينَ ِّمن قَ ْب ُل‬


َ ‫ه َُو‬

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya
syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa
embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah
agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-
orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim
yang beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang
berarti berserah diri.

 Penjelasan Ringkas Rukun Islam 1


 Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat
 Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan Islam
dari diri seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur, maka akan ikut hancur pula
bangunan Islam dari diri seseorang. Oleh karena itu sudah seharusnya seorang muslim
memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini dalam seluruh waktu dan
kehidupannya.
 Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu
wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya
sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui
dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya
tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah melihat
sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi
seperti ini disebut saksi palsu. Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua
kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya, maka
orang ini adalah seorang pendusta. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai
orang munafik ketika mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, namun Allah mendustakan persaksian
palsu mereka yang tidak muncul keyakinan tersebut. Allah berfirman:
 ‫َّللاُ َي ْش َهد ُ ِّإ َّن ْال ُمنَا ِّفقِّينَ ل‬
َّ ‫سولُهُ َو‬
ُ ‫َّللاُ َي ْعلَ ُم ِّإنَّكَ لَ َر‬ ُ ‫كَا ِّذبُونَ ََ ِّإذَا َجاءكَ ْال ُمنَا ِّفقُونَ قَالُوا نَ ْش َهدُ ِّإنَّكَ لَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
َّ ‫َّللاِّ َو‬
 “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui,
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (QS. Al
Munafiquun: 1)
 Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah
bukanlah kalimat yang ringan dan sepele. Ada makna yang sangat dalam dan
konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi
saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 ‫يز ْال َح ِّكي ُم‬ ِّ ‫ش ِّهدَ َّللاُ أَنَّهُ الَ ِّإلَـهَ ِّإالَّ ه َُو َو ْال َمالَِئِّ َكُةُ َوأ ُ ْولُواْ ْال ِّع ْل ِّم قَآِئِّ َما بِّ ْال ِّقس‬
ُ ‫ْط الَ ِّإلَـهَ ِّإالَّ ه َُو ْالعَ ِّز‬ َ
 “Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu
(juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
 Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
 ُ‫َال َم ْعب ُْودَ َح ٌق إِّ َال للا‬
 “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 ‫اط ُل و‬ ِّ َ‫َّللاَ ه َُو ْال َح ُّق َوأ َ َّن َما يَدْعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه ه َُو ْالب‬ َّ ‫ي ْال َك ِّبي ُر ََذَلِّكَ ِّبأ َ َّن‬ُّ ‫َّللاَ ه َُو ْال َع ِّل‬
َّ ‫أَ َّن‬
 “Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
 Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala
yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih
dan lain sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama
sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi
hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala.
 ‫ب‬ ٍ ‫ش ْيءٍ ِّل َّما َجاء أَ ْم ُر َر ِّبكَ َو َما زَ اد ُو ُه ْم َغي َْر تَتْ ِّبي‬ َ ‫ُون َّللاِّ ِّمن‬ ِّ ‫َت َع ْن ُه ْم آ ِّل َهت ُ ُه ُم الَّتِّي يَدْعُونَ ِّمن د‬ ْ ‫فَ َما أ َ ْغن‬
 “Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sembahan-sembahan yang
mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu
tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
 Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki sesembahan
selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat memberikan manfaat pada
mereka ketika datang azab Allah.
 Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan sekali ketika kita
melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun
dia masih melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain Allah subhanahu
wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di
antara penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam yang
menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak tahu terhadap tauhid
yang merupakan inti dari agama Islam.
 Dalam kalimat ‫ ال اله إال للا‬terkandung dua aspek yang sangat penting. Yang pertama yaitu
aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin pada kata-kata ‫( ال اله‬Tidak ada sesembahan
yang berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan
pada selain Allah, apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini
dengan istilah An Nafyu (‫)النفي‬. Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek penetapan, hal
ini tercermin pada kata-kata ‫( إال للا‬kecuali Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh
macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah semata. Para ulama mengistilahkan
aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (‫)اإلثبات‬.
 Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh seorang muslim
yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah
dalam memahaminya, maka ia akan salah pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa
kita lihat pada orang-orang yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal),
sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan
memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali
Tuhan (dengan T besar)”. Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh
Tuhan yang ada yang disembah manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan
bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya.
Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan menjauhkan kaum muslimin
dari pemikiran seperti ini.
 Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam
orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika
menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,
 ‫ين َو َجعَلَ َها َك ِّل َمُة بَاقِّيَُة فِّي َع ِّقبِّ ِّه لَعَلَّ ُه ْم‬ َ ُ‫ط َرنِّي فَإِّنَّه‬
ِّ ‫سيَ ْه ِّد‬ َ َ‫َوإِّذْ قَا َل إِّب َْراهِّي ُم ِّألَبِّي ِّه َوقَ ْو ِّم ِّه إِّنَّنِّي بَ َراء ِّم َّما تَ ْعبُد ُونَ إِّ َّال الَّذِّي ف‬
َ‫يَ ْر ِّجعُون‬
 “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya
aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” Dan
lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya
mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
 Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang disembah oleh
kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian
beliau menetapkan bahwa peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah
menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan
kalimat ‫ ال اله إال للا‬tersebut kekal untuk keturunannya.
 Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa
telah ada seorang Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita,
teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
 ‫يص َعلَيْك‬ ٌ ‫يز َعلَ ْي ِّه َما َعنِّت ُّ ْم َح ِّر‬ ٌ ‫سو ٌل ِّم ْن أَنفُ ِّس ُك ْم َع ِّز‬ ُ ‫ؤُوف َّر ِّحي ٌم َُلَقَدْ َجاء ُك ْم َر‬ ٌ ‫م بِّ ْال ُمؤْ ِّمنِّينَ َر‬
 “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah:
128)
 Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
 ‫ب َو ْال ِّح ْك َمُةَ َوإِّن كَانُوا ِّمن قَ ْب ُل لَ ِّفي‬ ُ ‫ث فِّي ْاأل ُ ِّميِّينَ َر‬
َ ‫سوال ِّم ْن ُه ْم َيتْلُو َعلَ ْي ِّه ْم آيَاتِّ ِّه َويُزَ ِّكي ِّه ْم َويُعَ ِّل ُم ُه ُم ْال ِّكتَا‬ َ َ‫ه َُو الَّذِّي بَع‬
ٍ ِّ‫ض َال ٍل ُّمب‬
‫ين‬ َ
 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka,
yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-
benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
 Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah,
serta beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu
Syaikh: hadits kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau
tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya tidaklah sah.
Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada orang-orang yang meragukan agama
Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun
oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala yang
kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
 Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk menyampaikan sesuatu
yang telah diperintahkan kepada beliau, maka persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga
barang siapa yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka persaksiannya tersebut tidaklah sah.
Sebagaimana diklaim oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa ada di antara
kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa
yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa)
dan lain sebagainya.
 Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki konsekuensi yaitu taat
terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh
larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa.
Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan
perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau
memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat pada Allah dan karena
perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan
kita dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita
yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena
perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman
bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan beliau.
Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan beliau hanya melarang kita dari hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan
agama kita. Beribadah kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena
orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan
bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang
beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut
tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73

 Penjelasan Ringkas Rukun Islam 2


 Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat
 Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima
waktu. Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak
beriman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
yang memisahkan antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan sholat.” (HR. Muslim). Oleh karena itu seorang muslim haruslah
memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang sangat memprihatinkan,
banyak kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah sholat bahkan terkadang
lalai dari mengerjakannya.
 Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat
Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh seorang
muslim. Mari kita simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau
berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada
malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu, kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu
kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku tidak akan
berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50 waktu bagimu.” (Muttafaqun
‘alaihi)
 Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
 ‫ق اللَّ ْي ِّل َوقُ ْرآنَ ْالفَجْ ِّر إِّ َّن ق‬ َ ‫ش ْم ِّس ِّإلَى َغ‬
ِّ ‫س‬ ِّ ُ‫صالَة َ ِّلدُل‬
َّ ‫وك ال‬ َّ ‫ْرآنَ ْالفَجْ ِّر َكانَ َم ْش ُهودا َُأ َ ِّق ِّم ال‬
 “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
 Pada firman Allah,
 ‫ق اللَّ ْي ِّل‬ ِّ ‫س‬َ ‫ش ْم ِّس إِّلَى َغ‬ َّ ‫وك ال‬ِّ ُ‫صالَةَ ِّلدُل‬ َّ ‫أَقِّ ِّم ال‬
 “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”
 Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya
kemudian pada firman-Nya,
 ‫َوقُ ْرآنَ ْالفَجْ ِّر ِّإ َّن قُ ْرآنَ ْالفَجْ ِّر َكانَ َم ْش ُهودا‬
 “Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh
malaikat).” terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah
Aqidah al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
 Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan berakal.
Adapun seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan
mengerjakan sholat berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang
tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai
dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513
).
 Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar
melatih sang anak menjaga sholat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Perintahkanlah anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk
mengerjakan sholat, dan pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat
mereka berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih
Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
 Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat
 Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
 ‫الزكَاة َ َوذَلِّكَ ِّدينُ ْالقَ ِّي َم ُِّة‬ َّ ‫ص َالة َ َويُؤْ تُوا‬ َّ ‫الدينَ ُحنَفَاء َويُ ِّقي ُموا ال‬ ِّ ُ‫صينَ لَه‬ َّ ‫َو َما أ ُ ِّم ُروا ِّإ َّال ِّل َي ْعبُد ُوا‬
ِّ ‫َّللاَ ُم ْخ ِّل‬
 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(QS. Al Bayyinah: 5)
 Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak
mau membayar zakatnya,
 ‫ط َّوقُونَ َما بَ ِّخلُواْ بِّ ِّه يَ ْو َم ْال ِّقيَا َم ُِّة‬ َ ‫ض ِّل ِّه ه َُو َخيْرا لَّ ُه ْم بَ ْل ه َُو ش ٌَّر لَّ ُه ْم‬
َ ُ‫سي‬ ْ َ‫َوالَ يَحْ َسبَ َّن الَّذِّينَ يَ ْب َخلُونَ بِّ َما آت َا ُه ُم َّللاُ ِّمن ف‬
‫ير‬ ُ
ٌ ‫ض َوَّللاُ ِّب َما تَ ْع َملونَ َخ ِّب‬ َ
ِّ ‫ت َواأل ْر‬ ِّ ‫س َم َاوا‬َّ ‫اث ال‬ُ ‫ير‬ َ ‫َو ِّّللِّ ِّم‬
 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
 Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan
harta oleh Allah namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan
menghadapi ular jantan yang botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua
taring yang akan mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit
dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta simpananmu, aku adalah hartamu.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
 ‫ط َّوقُونَ َما بَ ِّخلُواْ ِّب ِّه يَ ْو َم ْال ِّقيَا َم ُِّة‬ َ ‫ض ِّل ِّه ه َُو َخيْرا لَّ ُه ْم بَ ْل ه َُو ش ٌَّر لَّ ُه ْم‬
َ ُ‫سي‬ ْ َ‫َوالَ يَحْ َسبَ َّن الَّذِّينَ يَ ْب َخلُونَ ِّب َما آت َا ُه ُم َّللاُ ِّمن ف‬
ٌ ‫ض َوَّللاُ بِّ َما تَ ْع َملُونَ َخ ِّب‬
‫ير‬ ِّ ‫ت َواأل َ ْر‬ ِّ ‫س َم َاوا‬ َّ ‫اث ال‬ُ ‫ير‬ َ ‫َو ِّّللِّ ِّم‬
 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan
kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)
 Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
 Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa
selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan menahan makan, minum dan
berhubungan suami istri serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 ‫ت فَ َمن َكانَ ِّمن ُكم‬ ٍ ‫ب َعلَى الَّذِّينَ ِّمن قَ ْب ِّل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ أَيَّاما َّم ْعد ُودَا‬ ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم‬
َ ‫الصيَا ُم َك َما ُك ِّت‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُواْ ُك ِّت‬
‫ع َخيْرا فَ ُه َو َخي ٌْر لَّهُ َوأَن‬ َ ‫ط َّو‬َ َ ‫ين فَ َمن ت‬ َ ٌ‫سفَ ٍر فَ ِّعدَّة ٌ ِّم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر َو َعلَى الَّذِّينَ ي ُِّطيقُونَهُ ِّفدْ َيُة‬
ٍ ‫ط َعا ُم ِّم ْس ِّك‬ َ ‫َّم ِّريضا أَ ْو َعلَى‬
‫ان فَ َمن‬ ُ ْ
ِّ َ‫ت ِّمنَ ال ُهدَى َوالف ْرق‬ ْ ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ ُ ْ
ِّ َّ‫نز َل فِّي ِّه الق ْرآنُ هُدى ِّللن‬ ُ
ِّ ‫ِّي أ‬ َّ
َ ‫ضانَ الذ‬ َ ‫ش ْه ُر َر َم‬ َ َ‫صو ُمواْ َخي ٌْر لَّ ُك ْم إِّن ُكنت ُ ْم ت َ ْعل ُمون‬
َ ُ َ‫ت‬
ُ‫ص ْمه‬ ُ َ َ ْ ‫ي‬‫ل‬ْ َ ‫ف‬ ‫ر‬ ‫ه‬ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫م‬
ُ ُ
‫ك‬ ‫ن‬‫م‬ ِّ َ ‫د‬ ‫ه‬
ِّ ‫ش‬
َ
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa
hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan
seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan
karena beriman dengan kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
 Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
berfirman, seluruh amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa
adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika kalian
berpuasa, maka janganlah kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak. Jika ada
yang menghina kalian atau memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa”
sebanyak dua kali. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut
orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada
hari kiamat nanti. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia ketika
berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika bertemu dengan
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
 Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di
dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-
orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil,
“Mana orang-orang yang berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-
orang selain mereka tidak bisa masuk. Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu
tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
 Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
 Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur
hidup. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
 َ ‫ع ِّإلَ ْي ِّه‬
‫س ِّبي‬ َ ‫طا‬ ِّ ‫اس ِّح ُّج ْال َب ْي‬
َ َ‫ت َم ِّن ا ْست‬ ِّ َّ‫َو ِّّللِّ َعلَى الن‬
 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi
pelebur dosa di antara keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang
mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
 Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah
mewajibkan pada kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki
yang berkata, “Apakah pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam
sampai-sampai laki-laki itu bertanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
“Seandainya aku katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak
mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya sebab kebinasaan orang
setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan
satu hal maka lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka jauhilah.”
(HR. Muslim).
 Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul
‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji
terkait dengan 3 hal yaitu:
 Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari
Ja’tsam yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai
Rasulullah sesungguhnya ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan
ia tidak mampu menaiki tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
 Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk
kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia
menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)
 Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena menunaikan haji padahal kondisi
tidak aman adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang
disyariatkan.
 Penutup
 Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita kenal dengan rukun
Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya
mujibbas Saailiin…

 Islam, Iman dan Ihsan


 embaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama
menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah
mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak
lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah
sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini
dikenal di dalam Islam?
 Islam Mencakup 3 Tingkatan
 Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril
dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada
pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah
beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka,
maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob,
“Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar
menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda,
“Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan
agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di
dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya
diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita
anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
 Tingkatan Islam
 Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab,
“Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat,
berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh
perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in
hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
 Tingkatan Iman
 Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau
beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir
dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi
Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini
adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan
secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota
badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan
secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang
lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama
kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman…
(Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
 Tingkatan Ihsan
 Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah
kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah
seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang
ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa
harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai
kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa
mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari
tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya
seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
 Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan
iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih
khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan
iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus
daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap
ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan
itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min
itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li
shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
 Muslim, Mu’min dan Muhsin
 Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti
muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di
dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu
setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya
tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan
lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak
tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah
berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah
‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.”
(Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang
memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya.
Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah
iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil
awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
 Kesimpulan
 Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian
agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para
ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat
ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman
dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada
kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin
mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh
justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah
bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari
kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat
muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat
sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at. Wallohu a’lam.

 Agama Islam untuk Seluruh Manusia


 Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah beliau diutus
oleh Allah untuk seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah
diutus untuk umatnya masing-masing.
 Allah Ta’ala berfirman:
 ‫اس يَاأَيُّهَا قُل‬ ُ ‫ت ُملكُ لَهُ الَّذِي جَمِ يعًا إِلَيكُم للاِ َر‬
ُ َّ‫سو ُل إِنِِّي الن‬ ِ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬َّ ‫ض ال‬ ِ ‫َو َرسُو ِل ِه بِاللِ فَئَامِ نُوا َويُمِ يتُ يُحي ِ ه َُو إِلَّ إِلَهَ آل َواألَر‬
َّ ُ
‫ت َهتَدُونَ لَعَلَّكُم َواتَّبِعُوهُ َو َك ِل َماتِ ِه بِاللِ يُؤمِ نُ الذِي األ ِ ِّم ِِّي النبِ ِِّي‬
َّ
 Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua,
yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak
disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu
kepada Alloh dan RosulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada
kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.
[QS. Al-A’rof (7): 158]
 Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk
seluruh manusia, sebagaimana firman Allah,
 َ ‫اس كَآفَّةً إِلَّ أَر‬
‫سلنَاكَ َو َمآ‬ ِ َّ‫ِيرا لِلن‬ ً ‫اس أَكث َ َر َولَ ِكنَّ َونَذ‬
ً ‫ِيرا بَش‬ ِ َّ‫يَعلَ ُمونَ لَ الن‬
 Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada menge-tahui. [QS. Saba’ (34): 28]
 Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama Islam, agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad , yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak
beriman, tidak percaya dan tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan di akhirat
menjadi penghuni neraka, kekal selamanya. Allah Ta’ala berfirman,
 ِ ‫ار األَح َزا‬
‫ب مِ نَ ِب ِه يَكفُر َو َمن‬ ُ َّ‫اس أَكث َ َر َو َل ِكنَّ َّر ِِّبكَ مِ ن الحَقُّ ِإنَّهُ ِ ِّمنهُ مِ ريَة فِي ت َكُ فَلَ َمو ِع ُد ُه فَالن‬
ِ َّ‫يُؤمِ نُونَ لَ الن‬
 Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang
kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancam-kan baginya, karena itu
janganlah kamu ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-
benar dari Robbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]
 Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 ُ ‫مِ ن كَانَ إِلَّ بِ ِه أُرسِلتُ بِالَّذِي يُؤ ِمن َولَم يَ ُموتُ ث ُ َّم نَص َرانِي َولَ يَ ُهودِي األ ُ َّم ِة َه ِذ ِه مِ ن أَحَد بِي يَس َم ُع لَ بِيَ ِد ِه ُم َح َّمد نَف‬
‫س َوالَّذِي‬
ِ ‫النَّ ِار أَصحَا‬
‫ب‬
 Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di kalangan
umat ini, Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak
beriman kepada apa yang aku diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni
neraka. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no: 153, dari Abu Huroiroh]
 NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA
 Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka semua di utus khusus
kepada umatnya masing-masing. Perkara ini merupakan perkara yang telah pasti di dalam
agama Islam, sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini,
 َّ َّ‫صلَّى النَّ ِب َّي أَن‬
‫َللاِ عَب ِد ب ِن جَابِ ِر عَن‬ َ ُ‫َللا‬ َّ ‫علَي ِه‬ َ ‫سا أُعطِ يتُ قَا َل َو‬
َ ‫سلَّ َم‬ َ ‫ب نُ ِصرتُ َقبلِي أَحَد يُع‬
ً ‫ط ُهنَّ َلم َخم‬ ِ ‫الرع‬ ُّ ِ‫ِير َة ب‬
َ ‫َو ُج ِعلَت شَهر َمس‬
‫ض لِي‬ َ
ُ ‫ورا َمس ِجدًا األر‬ َ َ َ ُ َ ُ
ً ‫ص ِ ِّل الص ََّلة أد َركَتهُ أ َّمتِي مِ ن َر ُجل فأيُّ َما َوط ُه‬ َّ ُ َ َ
َ ُ‫َوأُعطِ يتُ قَبلِي ِألحَد تَحِ َّل َولم ال َمغَانِ ُم لِي َوأحِ لت فلي‬
َ
َ‫شفَاعَة‬
َّ ‫ث النَّ ِب ُّي َوكَانَ ال‬ُ َ‫اس ِإلَى َوبُعِثتُ َخاصَّةً قَومِ ِه ِإلَى يُبع‬
ِ َّ‫عَا َّمةً الن‬
 Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku diberi (oleh Allah)
lima perkara, yang itu semua tidak diberikan kepada seorang-pun sebelumku.
Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedata-nganku) sejauh
perjalanan sebulan;
Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci (untuk
tayammum-pen). Maka siapa saja dari umatku yang (waktu) sholat menemuinya,
hendaklah dia sholat.
Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk
seorangpun sebelumku.
Aku diberi syafa’at (oleh Allah).
Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku
diutus kepada manusia semuanya.
[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]
 Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama mereka ke berbagai
pelosok dunia. Mereka menisbatkan agama mereka kepada Nabi Isa bin Maryam , yang
mereka menyebutnya dengan Yesus. Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus kepada
Bani Isroil. Allah Ta’ala berfirman,
 ‫سى قَا َل َوإِذ‬ ُ ‫ص ِ ِّدقًا إِلَيكُم للاِ َر‬
َ ‫سو ُل إِنِِّي إِس َراءِ ي َل بَنِي يَا َمريَ َم ابنُ عِي‬ َ ‫َي بَينَ ِِّل َما ُّم‬
َّ ‫ش ًِّرا الت َّو َرا ِة مِ نَ يَد‬
ِ َ‫سول َو ُمب‬
ُ ‫بَعدِي مِ ن يَأتِي ِب َر‬
ُ‫أح َم ُد اس ُمه‬ َ
 Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil, sesungguhnya aku
adalah utusan Alloh kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu
Taurot dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan
datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah
sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]
 KESAKSIAN AYAT BIBEL
 Dan ternyata kita masih menda-patkan di antara ayat-ayat Bibel (Kitab yang dianggap
suci oleh orang-orang Nashoro) menjelaskan dengan tegas bahwa Nabi Isa (yang mereka
sebut Yesus) hanya diutus kepada Bani Isroil saja. Marilah kita perhatikan ayat-ayat di
dalam kitab mereka:
 1-Disebutkan di dalam Bibel: “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya kepada domba-domba
yang hilang dari umat Israel”. (Matius 15: 24)
2-Disebutkan di dalam Bibel: “Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan
kepada mereka: “Janganlah kamu menyim-pang ke jalan bangsa lain atau masuk ke
dalam kota orang Samaria, melain-kan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari
umat Israel”. (Matius 10: 6)
 Walaupun ayat-ayat Bibel di atas begitu jelas menyatakan bahwa ajaran Kristen hanya
untuk Bani Israel, namun pengikut-pengikut Kristen begitu giat menyebarkan agamanya
kepada semua bangsa, termasuk di Indonesia. Bahkan sampai ke ber-bagai pelosok yang
tidak ada orang Bani Israel di sana! Maka apakah manfaat bangsa selain Bani Israel yang
mengikuti agama Kristen, yang pembawa agama itu telah mene-gaskan bahwa agamanya
hanya untuk umat Israel?!
 Atau mungkin mereka berpegang ayat lain pada kitab mereka yang memerintahkan untuk
menyebarkan agama Kristen kepada seluruh bangsa. Ayat itu berbunyi: “Karena itu
pergi-lah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptiskan mereka dalam nama Bapa
dan anak dan Roh Kudus”. (Matius 28:19)
 Ini berarti ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat di atasnya! Maka manakah yang benar?
Yang pasti bahwa tidak ada jaminan kebenaran terhadap semua isi kitab Bibel, bahkan
bukti-bukti menunjukkan banyak ayat yang dipalsukan. Maha benar Allah Ta’ala yang
telah berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an,
 َ‫َللاِ َكلَ َم يَس َمعُونَ مِ ن ُهم فَ ِريق كَانَ َوقَد لَكُم يُؤمِ نُوا أَن أَفَت َط َمعُون‬
َّ ‫عقَلُوهُ َما بَع ِد مِ ن يُح ِ َِّرفُونَهُ ث ُ َّم‬
َ ‫يَعلَ ُمونَ َوهُم‬
 Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal
segolongan dari mereka (Ahli Kitab) mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya
setelah mereka memahaminya, sedang mereka menge-tahui? [QS. Al-Baqoroh (2): 75]
 Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang mengada-adakan
kedustaan terhadap Allah dengan firmanNya,
 ‫َاب يَكتُبُونَ ِِّللَّ ِذينَ فَ َويل‬ ِ ‫َللاِ عِن ِد مِ ن َهذَا يَقُولُونَ ث ُ َّم ِبأَيد‬
َ ‫ِيهم ال ِكت‬ ِ ‫َو َوي ُل ُُلَّ ُهم أَيد‬
َّ ‫ِيهم َكتَبَت ِ ِّم َّما لَّ ُهم فَ َويل قَلِيلً ث َ َمنًا بِ ِه ِليَشت َُروا‬
‫سبُونَ ِ ِّم َّما‬
ِ ‫يَك‬
 Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh
keuntungan yang sedikit (yakni kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan itu. Maka
kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang telah mereka tulis dengan
tangan-tangan mereka, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang
mereka kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]
 – Semoga Allah selalu menetapkan kita di atas jalan yang lurus. –

 Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah


 Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut sah.
Seseorang yang hendak sholat tentu akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah
syarat sah sholat. Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat juga memiliki
rukun-rukun dan syarat yang tidak boleh tidak harus dipenuhi. Segala sesuatu yang harus
dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana pula
dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh? Tidak diragukan lagi bahwa syahadat
adalah setinggi-tingginya derajat keimanan dan rukun islam yang paling utama. Di sana
ada syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ucapkan
dianggap sah.
 Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:
 1. Ilmu
 Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita
untuk mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut.
Alloh berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak
dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang
yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui
Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang
benar dari kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq melainkan
Alloh Ta’ala.
 2. Yakin
 Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah
terombang-ambing oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan
harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al
Hujurat: 15)
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari
balik dinding ini dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya
sampaikanlah kabar gembira untuknya bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)
 3. Menerima
 Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi
Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan
kepada mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami
harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (As
Shoffat: 35-36)
 Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir,
tidak menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang
berhak disembah dan diibadahi.
 4. Tunduk
 Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat
kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan
hanya kepada Alloh-lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)
 Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk
mengikuti ajaranku.” (HR. Thabrani)
 5. Jujur
 Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya
kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh
mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-
orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha
Illalloh dan Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh
mengharamkan neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
 Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang
munafik ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’ Dan Alloh mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Alloh mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
 6. Ikhlas
 Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan
mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
 Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi
neraka menyentuh orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata
mencari wajah Alloh.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
 7. Cinta
 Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh.
Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya
pasti akan merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding
selain keduanya, dia mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali
kafir sebagaimana kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan
Muslim)
 8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.
 Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho disembah/diibadahi. Alloh
berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh: 256)
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha
Illalloh dan mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang
perhitungannya adalah terserah kepada Alloh Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)
 Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika sekedar dihafalkan,
tanpa diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi
delapan syarat ini dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum
terlambat. Berbenahlah! Semoga kita bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang
bertauhid, bukan sebagai seorang musyrik. Wal ‘iyaadzu billah.

 Tiga Pokok Ajaran Islam


 Sejauh Mana Pemahaman Kita?
 Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun atau bahkan lebih) kita
menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat yang besar ini patutlah kita syukuri, karena
banyak diantara manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah yang
sangat menentukan bahagia atau sengsaranya kita di hari akhir nanti.
 Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak kapan kita masuk islam?’
atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah
suatu yang paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling penting yang
harus kita renungkan dan kita jawab pada setiap diri kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah
kita telah memahami dan mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling
penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena jawaban pertanyaan inilah yang
nantinya sangat menentukan kualitas keislaman dan ketakwaan seseorang.
 Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)
 Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)
 Pokok Ajaran Islam
 Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling
sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar
sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah:
3)
 Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin,
‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai
buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini
menunjukkan sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di
dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori
demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.
 Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah
kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para
Nabi dan Rosul yang diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang
tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para
Nabi. Keadaan orang semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh
seorang penyair,
 Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka
 Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid
 Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh
dalam setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita
kepada selain-Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah
yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini,
pantaskah kita tujukan ibadah kita kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan
sedikitpun pada diri kita?
 Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan
terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka
mempersekutukan dengan berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun?
Sedang berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak
mampu memberi pertolongan kepada para penyembahnya, bahkan kepada diri meraka
sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)
 Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta
ini. Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai
apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar
seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan
permintaanmu, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan
tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
 Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan
 Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada
Alloh. Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya.
Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan
terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang,
semata-mata hanya karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata,
berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.
 Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan
kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa
mereka dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)
 Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah
menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
beriman dan tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan
kesesatan yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
 Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi
mereka mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman, “Sesungguhnya jawaban
orang-orang beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul
menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nur: 51)
 Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya
 Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka
konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci
perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-
benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci
Alloh. Padahal syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah
dosa yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling
bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan, memelihara dan
mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua.
 Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim
‘alaihis salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah
selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan
dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.'” (Al-
Mumtahanah: 4)
 Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama
sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah
beliau ialah memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus!
Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan
peperangan terhadap segala bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga
pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab
pertanyaan di atas dengan jawaban yang yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah
aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga Alloh
memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami agama ini, serta diteguhkan di
atas meniti din ini. Wallohu a’lam
 Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia
melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan
dirimu diberkahi di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan
dirimu termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar
ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena
ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama
yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama
(amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah
penciptaan mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).
Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila
disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak
disertai dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik
menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang
muncul pada diri orang yang sudah bersuci.

Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan
ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong
penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu
adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu dari jebakan
perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman tentang syirik ini (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni
dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’
[4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang
disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan.
Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki
kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan
penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka
pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau
bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Kaidah Kedua
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan
selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya
dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong
(sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena
bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’
Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang
mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang
yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan
yang mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada
selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula
menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi
syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)

Syafa’at ada dua macam:

Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan
yang hanya dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami
berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli,
persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]: 254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang
diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan
syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan
perbuatannya diridhai Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari
Allah, pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu
siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al
Baqarah [2]: 255)

Kaidah Ketiga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki


peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada
pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang
beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan.
Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa
sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama
(amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya
(yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan
bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu
kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-
Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-
nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang artinya,
“Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada
manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa
berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan
menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al
Maa’idah [5]: 116)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada
Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat
mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat
yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan
oleh hadits Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami
berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami
masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu
memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk
menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami
melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami
sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181],
Ahmad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)

Kaidah Keempat

Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang
musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan
beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita
melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil
yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah
naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa)
kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah
selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al
‘Ankabuut [29]: 65)

Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad, segenap
pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.

 Agar Ibadah Diterima di Sisi Allah


 Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah
yang agung. Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal
tujuan tersebut karena sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah
ibadah kita itu diterima ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin
hal ini, sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal dengan senantiasa
berharap dan cemas. Berharap agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah
ditetapkan Alloh dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan
janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya
pasti diterima.
 Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka
berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang
semacam ini? yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi
ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.
 Apakah Makna Ibadah?
 Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah,
ulama banyak memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti
yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi
segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh
Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah
lisan dan ibadah anggota badan.
 Syarat Diterimanya Amal Ibadah
 Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi
dua syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi
wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan
janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al
Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata
cara yang telah diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah
maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.
 Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa
yang menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala
pada sisi Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti
mengikhlashkan seluruh ibadah hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan)
berarti mengikuti syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
 Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada
sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk
mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua
(mutaba’ah) adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -
shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).
 Ikhlash dalam Ibadah
 Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. Walaupun
seseorang beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-
sialah amal tersebut. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan agar mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
 Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah
maksud hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh.
Perhatikanlah jenis amal-amal berikut:
 Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau
karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan
pelakunya pantas mendapat murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan
disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan
seperti ini bathil dan terhapus. Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain
selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena menghendaki harta
rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya dan tidak sampai batal dan
tidak sampai terhapus amalnya.
 Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah,
maka amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera
dihalau maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu
menyertai amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa
amalannya tidak batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri.
Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan
amal karena riya’) terhapus. Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat
pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa-
apa terhadap amalnya.
 Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
 Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan
sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh
kecuali setelah Alloh kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak
tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena
menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia
menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau melarang aku dari
melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik
buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang tiada
dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
 Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
dalam beberapa hal:
 Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah
tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud
pada malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam
Mi’roj Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat
tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan
syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.
 Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang
yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam
jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.
 Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at
sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena
tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita
tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut
sampai bilangan tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan.
Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.
 Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan
dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang
ditentukan syariat.
 Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari
pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan
pada hari raya dan hari tasyriq saja.
 Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah
i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.
 Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita
menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah
hanya dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam
dalam setiap tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita
semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam
bish showaab.
 Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma
ba’du, sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah
jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan
setiap bid’ah pasti sesat.
 Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya yang mulia,
 ‫إِّ َّن َّللاَ الَ يَ ْغ ِّف ُر أَن يُ ْش َركَ بِّ ِّه َو َي ْغ ِّف ُر َما د ُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن يَشَا ُء‬
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan
mengampuni dosa lainnya yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang
dikehendaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 116)
 Pengertian dan Ruang lingkup Syirik
 Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang
termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan
Allah itu meliputi tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur
alam, menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti
berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan
perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau sembelihan, menjadi tujuan
harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan ketundukkan. Ketiga, hak
kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar Rabb dan
Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar, Maha Melihat,
Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu
bisa terjadi dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya.
 Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang bisa membersihkan
diri dari ketiga macam syirik ini dalam penghambaaan dan tauhidnya kepada Allah, dia
mengesakan Zat-Nya, beribadah hanya kepada-Nya dan mengesakan sifat-sifatNya,
maka dialah muwahhid sejati. Dialah pemilik berbagai keutamaan khusus yang dimiliki
oleh kaum yang bertauhid. Dan barangsiapa yang kehilangan salah satu bagian darinya
maka kepadanyalah tertuju ancaman yang terdapat dalam firman Allah ta’ala, semacam,
“Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan kamu
benar-benar termasuk orang yang merugi”. Camkanlah perkara ini, sebab inilah
perkara terpenting dalam masalah akidah…” (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Syarh wa
Ta’liq, hal. 17-18) Adapun yang sering disebut dengan syirik saja oleh para ulama maka
yang dimaksud adalah syirik dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang akan kita
bicarakan sekarang. Yaitu syirik dalam hal ibadah.
 Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan
 Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang hendaknya kita
perhatikan dengan seksama. Dalil-dalil itu akan menggambarkan kepada kita sebuah
gambaran mengerikan dan sangat menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan.
Semoga Allah menyelamatkan diri kita darinya.
 Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ِّإ َّن َّللاَ الَ َي ْغ ِّف ُر أَن يُ ْش َركَ ِّب ِّه َو َي ْغ ِّف ُر َما د ُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن َيشَا ُء‬
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan
mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang
dikehndaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan 116)
 Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala
berfirman,
 ‫ار‬ٍ ‫ص‬َ ‫ظا ِّل ِّمينَ ِّم ْن أَن‬
َّ ‫ار َو َما ِّلل‬ ُ َّ‫ِّإنَّهُ َمن يُ ْش ِّر ْك ِّباّللِّ فَقَدْ َح َّر َم َّللاُ َعلَي ِّه ْال َجنَُّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن‬
 “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah
telah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada
seorang penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)
 Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah ta’ala berfirman,
 ‫َار َج َهنَّ َم َخال‬ِّ ‫ب َو ْال ُم ْش ِّركِّينَ فِّي ن‬ ِّ ‫دِّينَ فِّي َها أ ُ ْولَئِّكَ ُه ْم ش َُّر ْال َب ِّريَّ ُِّةَِّ ِّإ َّن الَّذِّينَ َكفَ ُروا ِّم ْن أ َ ْه ِّل ْال ِّكت َا‬
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang
musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah
sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al Bayyinah: 6)
 Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun
banyak amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,
 ‫طن‬ َ َ‫ي ِّإلَيْكَ َو ِّإلَى الَّذِّينَ ِّم ْن قَ ْبلِّكَ لَئِّ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ ب‬ ِّ ُ ‫ََولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬ َ َ‫َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِّمنَ ْالخَا ِّس ِّرين‬
 “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika
kamu berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
 Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala berfirman,
 َّ ِّ‫ي َال تُ ْش ِّر ْك ب‬
‫اّللِّ ِّإن‬ َّ َ‫ظهُ يَا بُن‬ َ ‫ظ ْل ٌم َع ِّظي ٌم‬
ُ ‫ََو ِّإذْ قَا َل لُ ْق َمانُ ِّال ْبنِّ ِّه َوه َُو يَ ِّع‬ ُ َ‫الش ِّْركَ ل‬
 “Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
 Allah ta’ala juga berfirman,
 ِّ ‫اس ِّب ْال ِّقس‬
‫ْط‬ ُ َّ‫وم الن‬َ ُ‫َاب َو ْال ِّميزَ انَ ِّل َيق‬
َ ‫ت َوأَنزَ ْلنَا َم َع ُه ُم ْال ِّكت‬ ِّ ‫سلَنَا ِّب ْال َب ِّينَا‬
ُ ‫س ْلنَا ُر‬
َ ‫لَقَدْ أ َ ْر‬
 “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan
keadilan.” (QS. Al Hadiid: 25)
 Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia
mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitabNya agar manusia menegakkan yaitu
keadilan. Salah satu di antara keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah
pokok terbesar dan pilar penegak keadilan. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid
merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 145)
 Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bertanya kepada para sahabatnya yang artinya, “Maukah kalian aku kabarkan
tentang dosa-dosa yang paling besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka
para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik
terhadap Allah dan durhaka kepada kedua orang tua…” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka menurut ketetapan syariat
Islam dia berhak dihukum bunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara
tiga penyebab: seorang yang sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang
membunuh saudaranya (seagama) atau orang yang meninggalkan agamanya sengaja
memisahkan diri dari jama’ah (murtad dari Islam).” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau
juga bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
 Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan sirna sebagaimana debu-
debu yang beterbangan disapu oleh angin. Allah ta’ala berfirman,
 ‫َوقَ ِّد ْمنَا إِّلَى َما َع ِّملُوا ِّم ْن َع َم ٍل فَ َجعَ ْلنَاهُ َهبَاء َّمنثُورا‬
 “Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka amalkan (sewaktu di dunia)
kemudian Kami jadikan amal-amal itu sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan.”
(QS. Al Furqan: 23)
 Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia akan ditelantarkan oleh
Allah. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Aku adalah Zat
yang Maha Kaya dan paling tidak membutuhkan sekutu, oleh sebab itu barang siapa
yang beramal dengan suatu amalan yang dia mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di
dalam amalnya itu maka pasti Aku akan telantarkan dia bersama kesyirikannya itu.”
(HR. Muslim)
 Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada bahaya Dajjal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Maukah kalian aku
beritahukan tentang sesuatu yang paling aku khawatirkan mengancam kalian dalam
pandanganku dan lebih menakutkan daripada Al Masih Ad Dajjal?” Maka para sahabat
menjawab, “Mau (ya Rasulullah).” Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang samar.
Apabila seseorang mendirikan shalat sambil membagus-baguskan shalatnya karena dia
melihat ada orang lain yang memperhatikan shalatnya.” (HR. Ahmad)
 Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan terjadi pada generasi
terbaik yaitu para sahabat radhiallahu ‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda yang artinya, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian
adalah syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab,
“Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam
Ash Shahihah no. 951 dan Shahihul Jami’ no. 1551)
 Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan oleh bapak para Nabi yaitu
Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa pada dirinya dan pada anak keturunannya. Allah
ta’ala mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim di dalam ayat-Nya,
 ‫َام‬
َ ‫صن‬ ْ َ ‫ي أَن نَّ ْعبُدَ األ‬ َّ ِّ‫ب اجْ عَ ْل هَـذَا ْالبَلَدَ ِّآمنا َواجْ نُ ْبنِّي َوبَن‬ ِّ ‫َر‬
 “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS.
Ibrahim: 35)
 Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain Ibrahim yang bisa merasa
aman dari ancaman bencana (syirik)?!” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
berkata, “Maka tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan kecuali
orang yang bodoh tentangnya dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa
menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya
yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul
Majid, hal. 72).
 Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan masih musyrik maka pasti masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa yang
menjumpai Allah (mati) dalam keadaan mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka
pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)
 Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak akan diterima. Allah ta’ala
berfirman,
 ‫صا ِّلحا َو َال يُ ْش ِّر ْك بِّ ِّعبَاد‬ َ ‫ةِّ َربِّ ِّه أَ َحدا ََفَ َمن َكانَ يَ ْر ُجو ِّلقَاء َربِّ ِّه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َمال‬
 “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia
beramal shalih dan tidak mempersekutukan apapun dengan Allah dalam beribadah
kepada tuhannya itu.” (QS. Al Kahfi: 110)
 Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan ayat, “[Maka barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya] artinya barangsiapa yang
menginginkan pahala dan balasan kebaikan dari-Nya, [maka hendaklah dia beramal
shalih], yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah. [dan dia tidak mempersekutukan
apapun dalam beribadah kepada kepada Tuhannya] Artinya dia adalah orang yang
hanya mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua buah
rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus ikhlas untuk Allah dan benar yaitu
berada di atas tuntunan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 5/154). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Barang siapa yang mendatangi paranormal kemudian menanyakan sesuatu kepadanya
maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
 Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta dermawan yang
terjangkiti kesyirikan maka akan diadili pertama kali pada hari kiamat dan kemudian
dibongkar kedustaannya lalu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan wajahnya
tertelungkup dan diseret oleh Malaikat.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang
pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah.
Dia didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan
kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan
dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah
berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai
pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat
untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia
didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia
pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia
menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di
jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau
dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan,
dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al
Quran. Dia didatangkan kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah
didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau
perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan
membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau
menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut
sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
 Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa kecanduan dengan sesembahannya
dan ditelantarkan oleh Allah. Abdullah bin ‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai
kepada Nabi) bahwasanya beliau bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan
sesuatu (jimat dan semacamnya, red) maka dia akan dibuat bersandar dan tergantung
kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth dalam Takhrij Jami’ul
Ushul 7/575)
 Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling sesat sejagad
raya. Allah ta’ala berfirman,
 ‫اس كَانُوا‬ ُ َّ‫وم ْال ِّقيَا َم ُِّة َو ُه ْم َعن د ُ َعاِئِّ ِّه ْم غَافِّ ُل َوإِّذَا ُحش َِّر الن‬ ِّ َ‫َّللاِّ َمن َّال يَ ْست َِّجيبُ لَهُ إِّلَى ي‬ ِّ ‫ض ُّل ِّم َّمن يَدْعُو ِّمن د‬
َّ ‫ُون‬ َ َ ‫َو َم ْن أ‬
َ
َ‫لَ ُه ْم أ ْعدَاء َوكَانُوا بِّ ِّعبَادَ ِّت ِّه ْم كَافِّ ِّرين‬
 “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sesembahan-
sesembahan selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga
hari kiamat, dan sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan
apabila umat manusia nanti dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-
sesembahan itu justru akan menjadi musuh serta mengingkari peribadatan yang
dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
 Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok manusia yang sangat
dungu lagi tidak mau mengambil pelajaran. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ض ِّمن بَع‬ َ ‫اء َماء فَأَحْ يَا ِّب ِّه ْاأل َ ْر‬ َّ ‫سأ َ ْلت َ ُهم َّمن نَّ َّز َل ِّمنَ ال‬
ِّ ‫س َم‬ َ ْ ‫َّللاُ قُ ِّل ْال َح ْمد ُ ِّ َّّللِّ بَل‬
َ ‫َولَئِّن‬ َّ ‫أ َ ْكثَ ُر ُه ْم َال يَ ْع ِّقلُونَ َْ ِّد َم ْوتِّ َها لَيَقُولُ َّن‬
 “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menurunkan air
dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka
akan menjawab, “Allah”, Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” tetapi kebanyakan
mereka tidak memahaminya.” (QS. Al ‘Ankabut: 63)
 Allah juga berfirman,
 َ‫ص ُرون‬ ُ ‫س ُه ْم َين‬ َ ُ‫صرا َوالَ أَنف‬ ْ َ‫أَيُ ْش ِّر ُكونَ َما الَ َي ْخلُ ُق َشيْئا َو ُه ْم ي ُْخلَقُونَ َوالَ َي ْست َِّطيعُونَ لَ ُه ْم ن‬
 “Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah) sesuatu yang tidak bisa
menciptakan apa-apa dan mereka sendiri pun sebenarnya diciptakan, mereka juga tidak
sanggup memberikan sedikitpun pertolongan dan tidak bisa pula menolong diri mereka
sendiri.” (QS. Al A’raaf: 191-192)
 Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,
 ‫س ِّمعُوا َما ا ْست َ َجابُوا لَ ُك ْم َويَ ْو َم‬ َ ‫ير ِّإن تَدْعُو ُه ْم َال يَ ْس َمعُوا د ُ َعاء ُك ْم َولَ ْو‬ ٍ ‫ط ِّم‬ ْ ِّ‫َوالَّذِّينَ تَدْعُونَ ِّمن د ُونِّ ِّه َما يَ ْم ِّل ُكونَ ِّمن ق‬
‫ير‬ ْ ُ َ ُ ُ ْ
ٍ ِّ‫ال ِّقيَا َم ُِّة يَكف ُرونَ بِّ ِّش ْر ِّكك ْم َوال يُنَبِّئكَ ِّمث ُل َخب‬ ْ
 “Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu tidak bisa menguasai
setipis kulit ari sekalipun. Jika kalian menyeru mereka (berhala), maka mereka itu tidak
bisa mendengar doa kalian. Dan seandainya mereka itu bisa mendengar maka mereka
juga tidak akan bisa mengabulkan permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti
mereka akan mengingkari perbuatan syirik kalian, dan tiada yang bisa menyampaikan
kepadamu tentang hakikat segala hal sebagaimana (Allah) Zat yang maha mengetahui.”
(QS Faathir: 13-14)
 Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang berkepribadian rendah
dan tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Thiyarah (menganggap sial karena melihat, mendengar atau
mengetahui sesuatu) adalah syirik. Thiyarah adalah syirik…” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi, hadits hasan shahih, lihat Al Jadid, hal. 259)
 Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat thaghut (sesuatu yang
disembah, ditaati atau diikuti sehingga menjadi sosok tandingan bagi Allah) akan berubah
menjadi penyesalan abadi di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ت ِّب ِّه ُم األ َ ْسبَابُ َوقَا َل الَّذِّينَ اتَّبَعُواْ لَ ْو أ َ َّن لَنَا ك ََّرة فَنَتَبَ َّرأَ ِّم ْن ُه ْم‬ ْ َ‫طع‬ َ َ‫إِّذْ تَبَ َّرأ َ الَّذِّينَ اتُّبِّعُواْ ِّمنَ الَّذِّينَ اتَّبَعُواْ َو َرأ َ ُواْ ْالعَذ‬
َّ َ‫اب َوتَق‬
ِّ َّ‫ار ِّجينَ ِّمنَ الن‬
‫ار‬ ِّ ‫ت َعلَ ْي ِّه ْم َو َما هُم ِّب َخ‬
ٍ ‫س َرا‬ َ ‫َك َما تَ َب َّرؤُواْ ِّمنَّا َكذَ ِّلكَ ي ُِّري ِّه ُم َّللاُ أ َ ْع َمالَ ُه ْم َح‬
 “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka
terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti; “Seandainya kami
dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka
berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal
perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan
keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)
 Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai sesembahan atau
pujaannya sebagai sekutu dalam hal cinta ibadah maka dia tidak akan bisa merasakan
manisnya iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ada
tiga ciri, barang siapa yang memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman:
(1) Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada segala sesuatu selain
keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai seseorang hanya karena Allah saja. (3) Apabila
dia merasa begitu benci untuk kembali dalam kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya
darinya sebagaimana orang yang tidak mau dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
 Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan diberikan kecukupan oleh
Allah. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ش ْيءٍ قَدْرا‬َ ‫َّللاُ ِّل ُك ِّل‬َّ ‫َّللاَ بَا ِّل ُغ أ َ ْم ِّر ِّه قَدْ َج َع َل‬ َّ ‫َو َمن يَت ََو َّك ْل َعلَى‬
َّ ‫َّللاِّ فَ ُه َو َح ْسبُهُ ِّإ َّن‬
 “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan tidak menyandarkan
hatinya kepada selain Allah) maka Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan
menyelesaikan urusannya, dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan waktu bagi
segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 3)
 Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode busana. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba
dirham, hamba Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau
tidak diberi maka dia murka. Binasalah dan rugilah dia…” (HR. Bukhari)
 Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang bercorak, sedangkan Khamilah
adalah kain beludru (lihat Al Jadid, hal. 330 dan Fathul Majid, hal. 365).
 Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Hadits itu menunjukkan
bahwasanya barang siapa yang menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan akhir
kehidupan serta puncak cita-citanya maka sesungguhnya dia telah menyembahnya dan
mengangkatnya sebagai sekutu selain Allah.” (Al Jadid, hal. 332).
 Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa bencana atau siksa
yang sangat pedih dan menyakitkan. Allah ta’ala berfirman,
 ِّ ‫صيبَ ُه ْم فِّتْنَُةٌ أَ ْو ي‬
‫ُصيبَه‬ ِّ ُ ‫ْم َعذَابٌ أ َ ِّلي ٌم َُفَ ْليَحْ ذَ ِّر الَّذِّينَ يُخَا ِّلفُونَ َع ْن أَ ْم ِّر ِّه أَن ت‬
 “Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul kalau-kalau
mereka itu akan tertimpa fitnah (bala/bencana) atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An
Nuur: 63)

 Awas Syirik ! (1)


 Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada
Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma
ba’du, sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah
jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan
setiap bid’ah pasti sesat.
 Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya yang mulia,
 ‫ِّإ َّن َّللاَ الَ يَ ْغ ِّف ُر أَن يُ ْش َركَ ِّب ِّه َو َي ْغ ِّف ُر َما د ُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن يَشَا ُء‬
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan
mengampuni dosa lainnya yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang
dikehendaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 116)
 Pengertian dan Ruang lingkup Syirik
 Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang
termasuk kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan
Allah itu meliputi tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur
alam, menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti
berhak untuk diibadahi, menjadi tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan
perlindungan, tujuan dalam melaksanakan persembahan atau sembelihan, menjadi tujuan
harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan ketundukkan. Ketiga, hak
kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar Rabb dan
Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar, Maha Melihat,
Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu
bisa terjadi dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya.
 Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang bisa membersihkan
diri dari ketiga macam syirik ini dalam penghambaaan dan tauhidnya kepada Allah, dia
mengesakan Zat-Nya, beribadah hanya kepada-Nya dan mengesakan sifat-sifatNya,
maka dialah muwahhid sejati. Dialah pemilik berbagai keutamaan khusus yang dimiliki
oleh kaum yang bertauhid. Dan barangsiapa yang kehilangan salah satu bagian darinya
maka kepadanyalah tertuju ancaman yang terdapat dalam firman Allah ta’ala, semacam,
“Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan terhapus seluruh amalmu dan kamu
benar-benar termasuk orang yang merugi”. Camkanlah perkara ini, sebab inilah
perkara terpenting dalam masalah akidah…” (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, Syarh wa
Ta’liq, hal. 17-18) Adapun yang sering disebut dengan syirik saja oleh para ulama maka
yang dimaksud adalah syirik dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang akan kita
bicarakan sekarang. Yaitu syirik dalam hal ibadah.
 Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan
 Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang hendaknya kita
perhatikan dengan seksama. Dalil-dalil itu akan menggambarkan kepada kita sebuah
gambaran mengerikan dan sangat menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan.
Semoga Allah menyelamatkan diri kita darinya.
 Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
 ‫إِّ َّن َّللاَ الَ يَ ْغ ِّف ُر أَن يُ ْش َركَ بِّ ِّه َو َي ْغ ِّف ُر َما د ُونَ ذَلِّكَ ِّل َمن يَشَا ُء‬
 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan
mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang
dikehndaki oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan 116)
 Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala
berfirman,
 ‫ار‬ ٍ ‫ص‬ َ ‫ظا ِّل ِّمينَ ِّم ْن أَن‬ َّ ‫ار َو َما ِّلل‬ ُ َّ‫ِّإنَّهُ َمن يُ ْش ِّر ْك ِّباّللِّ فَقَدْ َح َّر َم َّللاُ َعلَي ِّه ْال َجنَُّةَ َو َمأ ْ َواهُ الن‬
 “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah
telah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada
seorang penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)
 Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah ta’ala berfirman,
 ‫َار َج َهنَّ َم خَا ِّلدِّينَ فِّي َها أ ُ ْولَئِّكَ ُه ْم ش َُّر ْالبَ ِّريَّ ُِّة‬ ِّ ‫ب َو ْال ُم ْش ِّركِّينَ فِّي ن‬ ِّ ‫إِّ َّن الَّذِّينَ َكفَ ُروا ِّم ْن أ َ ْه ِّل ْال ِّكتَا‬
 “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang
musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah
sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al Bayyinah: 6)
 Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun
banyak amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,
 ‫طن‬ َ ‫ي ِّإلَيْكَ َو ِّإلَى الَّذِّينَ ِّم ْن قَ ْبلِّكَ لَئِّ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَ َيحْ َب‬ ِّ ُ ‫ََولَقَدْ أ‬
َ ‫وح‬ َ َ‫َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِّمنَ ْالخَا ِّس ِّرين‬
 “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika
kamu berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
 Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala berfirman,
 ‫اّللِّ إِّن‬ َّ ِّ‫ي َال تُ ْش ِّر ْك ب‬ َّ َ‫ظهُ يَا بُن‬ُ ‫ظ ْل ٌم َع ِّظي ٌم ََ َوإِّذْ قَا َل لُ ْق َمانُ ِّال ْبنِّ ِّه َوه َُو يَ ِّع‬ ُ َ‫الش ِّْركَ ل‬
 “Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)
 Allah ta’ala juga berfirman,
 ِّ ‫اس ِّب ْال ِّقس‬
‫ْط‬ َ ُ‫َاب َو ْال ِّميزَ انَ ِّليَق‬
ُ َّ‫وم الن‬ َ ‫ت َوأَنزَ ْلنَا َم َع ُه ُم ْال ِّكت‬
ِّ ‫س َلنَا ِّب ْالبَ ِّينَا‬
ُ ‫س ْلنَا ُر‬
َ ‫َل َق ْد أ َ ْر‬
 “Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan
keadilan.” (QS. Al Hadiid: 25)
 Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia
mengutus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitabNya agar manusia menegakkan yaitu
keadilan. Salah satu di antara keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah
pokok terbesar dan pilar penegak keadilan. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid
merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’ wad Dawaa’, hal. 145)
 Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bertanya kepada para sahabatnya yang artinya, “Maukah kalian aku kabarkan
tentang dosa-dosa yang paling besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka
para sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik
terhadap Allah dan durhaka kepada kedua orang tua…” (HR. Bukhari dan Muslim)
 Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka menurut ketetapan syariat
Islam dia berhak dihukum bunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara
tiga penyebab: seorang yang sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang
membunuh saudaranya (seagama) atau orang yang meninggalkan agamanya sengaja
memisahkan diri dari jama’ah (murtad dari Islam).” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau
juga bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
 Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan sirna sebagaimana debu-
debu yang beterbangan disapu oleh angin. Allah ta’ala berfirman,
 ‫َوقَ ِّد ْمنَا ِّإلَى َما َع ِّملُوا ِّم ْن َع َم ٍل فَ َج َع ْلنَاهُ َه َباء َّمنثُورا‬
 “Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka amalkan (sewaktu di dunia)
kemudian Kami jadikan amal-amal itu sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan.”
(QS. Al Furqan: 23)
 Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia akan ditelantarkan oleh
Allah. Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Aku adalah Zat
yang Maha Kaya dan paling tidak membutuhkan sekutu, oleh sebab itu barang siapa
yang beramal dengan suatu amalan yang dia mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di
dalam amalnya itu maka pasti Aku akan telantarkan dia bersama kesyirikannya itu.”
(HR. Muslim)
 Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada bahaya Dajjal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Maukah kalian aku
beritahukan tentang sesuatu yang paling aku khawatirkan mengancam kalian dalam
pandanganku dan lebih menakutkan daripada Al Masih Ad Dajjal?” Maka para sahabat
menjawab, “Mau (ya Rasulullah).” Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang samar.
Apabila seseorang mendirikan shalat sambil membagus-baguskan shalatnya karena dia
melihat ada orang lain yang memperhatikan shalatnya.” (HR. Ahmad)
 Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan terjadi pada generasi
terbaik yaitu para sahabat radhiallahu ‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda yang artinya, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian
adalah syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab,
“Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam
Ash Shahihah no. 951 dan Shahihul Jami’ no. 1551)
 Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan oleh bapak para Nabi yaitu
Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa pada dirinya dan pada anak keturunannya. Allah
ta’ala mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim di dalam ayat-Nya,
 ‫َام‬
َ ‫صن‬ ْ َ ‫ي أَن نَّ ْعبُدَ األ‬ َّ ‫ب اجْ َع ْل هَـذَا ْال َبلَدَ ِّآمنا َواجْ نُ ْب ِّني َو َب ِّن‬
ِّ ‫َر‬
 “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS.
Ibrahim: 35)
 Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain Ibrahim yang bisa merasa
aman dari ancaman bencana (syirik)?!” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah
berkata, “Maka tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan kecuali
orang yang bodoh tentangnya dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa
menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya
yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul
Majid, hal. 72).
 Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan masih musyrik maka pasti masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa yang
menjumpai Allah (mati) dalam keadaan mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka
pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)
 Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak akan diterima. Allah ta’ala
berfirman,
 ‫صا ِّلحا َو َال يُ ْش ِّر ْك بِّ ِّعبَاد‬ َ ‫ةِّ َربِّ ِّه أَ َحدا ََفَ َمن َكانَ يَ ْر ُجو ِّلقَاء َربِّ ِّه فَ ْليَ ْع َم ْل َع َمال‬
 “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia
beramal shalih dan tidak mempersekutukan apapun dengan Allah dalam beribadah
kepada tuhannya itu.” (QS. Al Kahfi: 110)
 Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan ayat, “[Maka barangsiapa
yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya] artinya barangsiapa yang
menginginkan pahala dan balasan kebaikan dari-Nya, [maka hendaklah dia beramal
shalih], yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah. [dan dia tidak mempersekutukan
apapun dalam beribadah kepada kepada Tuhannya] Artinya dia adalah orang yang
hanya mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua buah
rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus ikhlas untuk Allah dan benar yaitu
berada di atas tuntunan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 5/154). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Barang siapa yang mendatangi paranormal kemudian menanyakan sesuatu kepadanya
maka shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)
 Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta dermawan yang
terjangkiti kesyirikan maka akan diadili pertama kali pada hari kiamat dan kemudian
dibongkar kedustaannya lalu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan wajahnya
tertelungkup dan diseret oleh Malaikat.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang
pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah.
Dia didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan
kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan
dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah
berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai
pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat
untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia
didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia
pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia
menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di
jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau
dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan,
dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk
menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.
Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al
Quran. Dia didatangkan kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah
didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau
perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan
membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau
menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut
sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
 Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa kecanduan dengan sesembahannya
dan ditelantarkan oleh Allah. Abdullah bin ‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai
kepada Nabi) bahwasanya beliau bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan
sesuatu (jimat dan semacamnya, red) maka dia akan dibuat bersandar dan tergantung
kepadanya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth dalam Takhrij Jami’ul
Ushul 7/575)
 Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling sesat sejagad
raya. Allah ta’ala berfirman,
 ‫اس كَانُوا لَ ُه ْم‬ ُ َّ‫وم ْال ِّقيَا َم ُِّة َو ُه ْم َعن د ُ َعاِئِّ ِّه ْم غَافِّ ُل َوإِّذَا ُحش َِّر الن‬
ِّ َ‫َّللاِّ َمن َّال يَ ْست َِّجيبُ لَهُ إِّلَى ي‬ َّ ‫ُون‬ ِّ ‫ض ُّل ِّم َّمن يَدْعُو ِّمن د‬ َ َ ‫َو َم ْن أ‬
َ‫أَ ْعدَاء َوكَانُوا ِّب ِّع َبادَ ِّت ِّه ْم كَا ِّف ِّرين‬
 “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sesembahan-
sesembahan selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga
hari kiamat, dan sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan
apabila umat manusia nanti dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-
sesembahan itu justru akan menjadi musuh serta mengingkari peribadatan yang
dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
 Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok manusia yang sangat
dungu lagi tidak mau mengambil pelajaran. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ض ِّمن َبع‬ َ ‫اء َماء فَأَحْ َيا ِّب ِّه ْاأل َ ْر‬ ِّ ‫س َم‬َّ ‫سأ َ ْلت َ ُهم َّمن نَّ َّز َل ِّمنَ ال‬
َ ‫َّللاُ قُ ِّل ْال َح ْمد ُ ِّ َّّللِّ َبلَْ َولَ ِّئن‬
َّ ‫أ َ ْكثَ ُر ُه ْم َال َي ْع ِّقلُونَ َْ ِّد َم ْو ِّت َها لَ َيقُولُ َّن‬
 “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menurunkan air
dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka
akan menjawab, “Allah”, Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” tetapi kebanyakan
mereka tidak memahaminya.” (QS. Al ‘Ankabut: 63)
 Allah juga berfirman,
 َ‫ص ُرون‬ ُ ‫س ُه ْم يَن‬ َ ُ‫صرا َوالَ أَنف‬ ْ َ‫أَيُ ْش ِّر ُكونَ َما الَ يَ ْخلُ ُق َشيْئا َو ُه ْم ي ُْخلَقُونَ َوالَ يَ ْست َِّطيعُونَ لَ ُه ْم ن‬
 “Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah) sesuatu yang tidak bisa
menciptakan apa-apa dan mereka sendiri pun sebenarnya diciptakan, mereka juga tidak
sanggup memberikan sedikitpun pertolongan dan tidak bisa pula menolong diri mereka
sendiri.” (QS. Al A’raaf: 191-192)
 Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,
 ‫س ِّمعُوا َما ا ْست َ َجابُوا لَ ُك ْم َويَ ْو َم ْال ِّقيَا َم ُِّة‬ َ ‫ير إِّن تَدْعُو ُه ْم َال يَ ْس َمعُوا دُ َعاء ُك ْم َولَ ْو‬ ٍ ‫ط ِّم‬ْ ِّ‫َوالَّذِّينَ تَدْعُونَ ِّمن د ُونِّ ِّه َما يَ ْم ِّل ُكونَ ِّمن ق‬
‫ير‬ ْ
ٍ ِّ‫يَ ْكفُ ُرونَ بِّ ِّش ْر ِّك ُك ْم َو َال يُنَبِّئُكَ ِّمث ُل َخب‬
 “Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu tidak bisa menguasai
setipis kulit ari sekalipun. Jika kalian menyeru mereka (berhala), maka mereka itu tidak
bisa mendengar doa kalian. Dan seandainya mereka itu bisa mendengar maka mereka
juga tidak akan bisa mengabulkan permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti
mereka akan mengingkari perbuatan syirik kalian, dan tiada yang bisa menyampaikan
kepadamu tentang hakikat segala hal sebagaimana (Allah) Zat yang maha mengetahui.”
(QS Faathir: 13-14)
 Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang berkepribadian rendah
dan tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Thiyarah (menganggap sial karena melihat, mendengar atau
mengetahui sesuatu) adalah syirik. Thiyarah adalah syirik…” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi, hadits hasan shahih, lihat Al Jadid, hal. 259)
 Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat thaghut (sesuatu yang
disembah, ditaati atau diikuti sehingga menjadi sosok tandingan bagi Allah) akan berubah
menjadi penyesalan abadi di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ت ِّب ِّه ُم األ َ ْسبَابُ َوقَا َل الَّذِّينَ اتَّبَعُواْ لَ ْو أَ َّن لَنَا ك ََّرة فَنَتَبَ َّرأَ ِّم ْن ُه ْم‬ ْ ‫ط َع‬ َ َ‫ِّإذْ تَبَ َّرأ َ الَّذِّينَ ات ُّ ِّبعُواْ ِّمنَ الَّذِّينَ اتَّبَعُواْ َو َرأ َ ُواْ ْال َعذ‬
َّ َ‫اب َوتَق‬
‫ار‬ َّ
ِّ ‫ار ِّجينَ ِّمنَ الن‬ َ
ِّ ‫ت َعل ْي ِّه ْم َو َما هُم بِّ َخ‬ ٍ ‫س َرا‬ َ َ
َ ‫َك َما تَبَ َّرؤُواْ ِّمنَّا َكذلِّكَ ي ُِّري ِّه ُم َّللاُ أ ْع َمال ُه ْم َح‬
َ
 “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka
terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti; “Seandainya kami
dapat kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka
berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal
perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan
keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)
 Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai sesembahan atau
pujaannya sebagai sekutu dalam hal cinta ibadah maka dia tidak akan bisa merasakan
manisnya iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ada
tiga ciri, barang siapa yang memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman:
(1) Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada segala sesuatu selain
keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai seseorang hanya karena Allah saja. (3) Apabila
dia merasa begitu benci untuk kembali dalam kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya
darinya sebagaimana orang yang tidak mau dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
 Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan diberikan kecukupan oleh
Allah. Allah ta’ala berfirman,
 ‫ش ْيءٍ قَدْرا‬ َّ ‫َّللاَ بَا ِّل ُغ أ َ ْم ِّر ِّه قَدْ َج َع َل‬
َ ‫َّللاُ ِّل ُك ِّل‬ َّ ‫َو َمن يَت ََو َّك ْل َعلَى‬
َّ ‫َّللاِّ فَ ُه َو َح ْسبُهُ ِّإ َّن‬
 “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan tidak menyandarkan
hatinya kepada selain Allah) maka Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan
menyelesaikan urusannya, dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan waktu bagi
segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 3)
 Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode busana. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba
dirham, hamba Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau
tidak diberi maka dia murka. Binasalah dan rugilah dia…” (HR. Bukhari)
 Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang bercorak, sedangkan Khamilah
adalah kain beludru (lihat Al Jadid, hal. 330 dan Fathul Majid, hal. 365).
 Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Hadits itu menunjukkan
bahwasanya barang siapa yang menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan akhir
kehidupan serta puncak cita-citanya maka sesungguhnya dia telah menyembahnya dan
mengangkatnya sebagai sekutu selain Allah.” (Al Jadid, hal. 332).
 Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa bencana atau siksa
yang sangat pedih dan menyakitkan. Allah ta’ala berfirman,
 ِّ ‫صيبَ ُه ْم فِّتْنَُةٌ أَ ْو ي‬
‫ُصيبَه‬ ِّ ُ ‫ْم َعذَابٌ أ َ ِّلي ٌم َُفَ ْليَحْ ذَ ِّر الَّذِّينَ يُخَا ِّلفُونَ َع ْن أ َ ْم ِّر ِّه أَن ت‬
 “Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul kalau-kalau
mereka itu akan tertimpa fitnah (bala/bencana) atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An
Nuur: 63)

 Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting
kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya
membuahkan akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan Allah
kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga
ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Makna Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti bahwa
Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala
sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Semua
sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah
kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,

‫ي ْال َكبِّي ُر ذَ ِّل َك بِّأ َ َّن للاَ ُه َو ْال َح ُّق َوأ َ َّن َمايَ ْدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه ُه َو‬
ُّ ‫اط ُل َوأ َ َّن للاَ ُه َو ْالعَ ِّل‬
ِّ َ‫ْالب‬
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala
kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah,
tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam
tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah
Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil
I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).

Cakupan Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah mencakup empat perkara :

1. Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.


2. Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
3. Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
4. Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.

Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman
kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah,
Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Dalil Tentang Keberadaan Allah

Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan dalil
akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.

Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang
sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu
mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan.

Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan
untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang
berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari
fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir
dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani,
dan Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa
menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-orang
yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula ayat-
ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau yang
mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu
Allah Ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada umumnya,
yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan memenangkan
para rasul-Nya.

Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi
seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa
hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang
dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita
yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa
kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu.
(Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan
Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).

Iman terhadap Rububiyah

Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai
sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang
dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak
memerintahkan kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,

‫علَى ْالعَ ْر ِّش يُ ْغشِّى الَّ ْي َل‬ َ ‫ض فِّي ِّست َّ ُِّة أَي ٍَّام ث ُ َّم ا ْست ََوى‬ َ ‫ت َواْأل َ ْر‬ َّ ‫ِّإ َّن َربَّ ُك ُم للاُ الَّذِّي َخلَقَ ال‬
ِّ ‫س َم َاوا‬
ُ‫ار َك للا‬ َ َ‫ت بِّأ َ ْم ِّر ِّه أَالَلَهُ ْالخ َْل ُق َواْأل َ ْم ُر تَب‬
ٍ ‫س َّخ َرا‬ َ ‫س َو ْالقَ َم َر َوالنُّ ُج‬
َ ‫وم ُم‬ َ ‫ش ْم‬ ْ َ‫ار ي‬
َّ ‫طلُبُهُ َحثِّيثا َوال‬ َ ‫النَّ َه‬
َ‫َربُّ ْالعَالَ ِّمين‬
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).

Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali karena
sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat
pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,

‫فَقَا َل أَنَا َربُّ ُك ُم اْأل َ ْعلَى‬


“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)

ْ َ‫ين ف‬
‫اجعَل‬ ِّ ‫علَى‬
ِّ ‫الط‬ َ ‫ان‬ ُ ‫غي ِّْري فَأ َ ْوقِّ ْد ِّلي يَاهَا َم‬َ ‫ع ِّل ْمتُ لَ ُكم ِّم ْن إِّلَ ٍه‬َ ‫ع ْو ُن يَآأَيُّ َها ْال َمأل ُ َما‬
َ ‫َوقَا َل فِّ ْر‬
َ‫ظنُّهُ ِّمنَ ْال َكا ِّذبِّين‬
ُ َ ‫سى َوإِّنِّي أل‬ َّ َ ‫ص ْرحا لَّعَ ِّلي أ‬
َ ‫ط ِّل ُع إِّلَى إِّلَ ِّه ُمو‬ َ ‫ِّلي‬
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.
Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang
tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin
bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)

Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,

ُ ‫ظ ْلما َو‬
‫علُ ًّوا فَانظ‬ ُ ‫س ُه ْم‬ َ َ‫عاقِّبَُةُ ْال ُم ْف ِّسدِّين‬
ُ ُ‫َُو َج َحد ُوا ِّب َها َوا ْست َ ْيقَنَتْ َهآ أَنف‬ َ َ‫ْف َكان‬
َ ‫ْر َكي‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang
berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).

Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala
berfirman,

‫سأ َ ْلت َ ُهم َّم ْن َخلَقَ ُه ْم لَيَقُولُ َّن للاُ فَأَنَّى يُؤْ فَك‬
َ ‫َُولَئِّن‬
َ َ‫ون‬
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin
Sholih al ‘Utsaimin)

Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap
diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang
rububiyah Allah.

Iman Kepada Uluhiyah

Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah karena
penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk.
Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena hanya
Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,

‫اط ُلََذَ ِّل َك بِّأ َ َّن للاَ ُه َو ْال َح ُّق َوأ َ َّن َمايَ ْدعُونَ ِّمن دُونِّ ِّه ْالب‬
ِّ
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka
seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS. Luqman: 30).

Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para
rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,

ُ‫وحي إِّلَ ْي ِّه أَنَّه‬ ُ ‫س ْلنَا ِّمن قَ ْب ِّل َك ِّمن َّر‬


ِّ ُ‫سو ٍل إِّالَّن‬ َ ‫ُون َو َمآأ َ ْر‬
ِّ ‫آل إِّلَهَ إِّآل أَنَا فَا ْعبُد‬
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid,
Syaikh Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)

Antara Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan seseorang
terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa
yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan mengatur segala
urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid rububiyah.
Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya.
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti ia akan
meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salaam,

َّ‫عد ٌُّو ِّلي ِّإالَّ َرب‬ َ ‫} فَإِّنَّ ُه ْم‬76{ َ‫} أَنت ُ ْم َو َءابَآؤُ ُك ُم اْأل َ ْقدَ ُمون‬75{ َ‫قَا َل أَفَ َر َء ْيتُم َّما ُكنت ُ ْم ت َ ْعبُد ُون‬
}79{ ‫ين‬ ْ ُ‫} َوالَّذِّي ُه َو ي‬78{ ‫ِّين‬
ِّ ‫ط ِّع ُمنِّي َويَ ْس ِّق‬ ِّ ‫} الَّذِّي َخلَقَنِّي فَ ُه َو يَ ْهد‬77{ َ‫ْالعَالَ ِّمين‬
‫ط َم ُع أَن يَ ْغ ِّف َر ِّلي‬ ْ َ ‫} َوالَّذِّي أ‬81{ ‫ين‬ ِّ ِّ‫} َوالَّذِّي يُ ِّميتُنِّي ث ُ َّم يُ ْحي‬80{ ‫ين‬ ْ ‫َوإِّذَا َم ِّر‬
ِّ ‫ضتُ فَ ُه َو يَ ْش ِّف‬
ِّ ‫َطيئَتِّي يَ ْو َم الد‬
‫ِّين‬ ِّ ‫} خ‬82{
“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu
sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang
kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah
menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi
makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80), dan
Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat aku
inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)

Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya
berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan
kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,

ِّ َّ‫} ِّإلَ ِّه الن‬2{ ‫اس‬


3{ ‫اس‬ ِّ َّ‫} َم ِّل ِّك الن‬1{ ‫اس‬
ِّ َّ‫ب الن‬ ُ َ ‫}قُ ْل أ‬
ِّ ‫عوذُ ِّب َر‬
“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1).
Raja manusia(2). Sesembahan manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini
adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya
yang berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika
disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana
ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah
penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,

‫ق ِّإآلَّ أَن يَقُولُوا ر‬ ِّ َ‫} بُّنَا للاََُالَّذِّينَ أ ُ ْخ ِّر ُجوا ِّمن ِّدي‬40{
ٍ ‫ار ِّهم ِّبغَي ِّْر َح‬
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)

‫غي َْر للاِّ أ َ ْب ِّغي َربًّا‬


َ َ ‫} قُ ْل أ‬164{
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)

‫} ِّإ َّن الَّذِّينَ قَالُوا َربُّنَا للاُ ث ُ َّم ا ْستَقَا ُموا‬30{


“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di
atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al
Fauzan)

Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah

Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat.
Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi
milik-Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus
menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya
dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah
dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

‫ير‬
ُ ‫ص‬ِّ َ‫س ِّمي ُع ْالب‬ َ ‫ْس َك ِّمثْ ِّل ِّه‬
َّ ‫ش ْى ُءَُ َو ُه َو ال‬ َ ‫} لَي‬11{
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).

Cabang Keimanan yang Tertinggi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang
keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang
paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan
yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali
Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan. Semua
butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia Maha
Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan
mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah
cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa
Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Faedah Iman yang Benar

Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang
beriman, di antaranya:
1. Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung
selain Allah dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain
Allah.
2. Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai
dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. 3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al
‘Utsaimin)

Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan
memberikan kita istiqomah di atas iman yang benar. Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa
sallaam.

 Iman Kepada Malaikat

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya
oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan
takdir yang baik dan buruk.” (Muttafaq `alaih)

Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah kafir, keluar dari Islam.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)

Batasan Minimal Iman kepada Malaikat

Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan: “Batas minimal (iman
kepada malaikat) adalah keimanan bahwasanya Allah menciptakan makhluk yang bernama
malaikat. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka
merupakan makhluk yang diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama sekali. Diantara mereka
ada malaikat yang ditugasi untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain
Syaikh Shalih Alu Syaikh)

Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu


Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian hal tersebut (malaikat), wajib
baginya mengimaninya. Dengan begitu, maka imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang
munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turannya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya,
dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

Hakikat malaikat

Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari al-Qur`an,
as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal
sebagai berikut:

 Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.


 Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah
menciptakan jin dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.
 Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.
 Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di
alam yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena
kedekatannya, dan untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang
bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah
mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah
hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan
mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan
kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain
daripada Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami
memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)

(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil
Malaikatil Muqarrabiin hal. 15)

Asal Penciptaan Malaikat

Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam hadits
dari Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR.
Muslim)

Jumlah Malaikat

Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu berapa banyak jumlah mereka.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu
melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir: 31) Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallammelakukan Isra` Mi`raj, berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau: “Ini adalah Baitul
Ma`mur. Setiap hari shalat di dalamnya 70 ribu malaikat. Jika mereka telah keluar, maka
mereka tidak kembali lagi…. ” (Muttafaqun `alaihi)

Sifat Fisik Malaikat

Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:

 Kuatnya fisik mereka


Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang artinya), “Penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. Tahrim: 6)
Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh, tidak membahayakan
mereka.Demikian juga dengan Malakul jibal (Malaikat gunung), dimana dia menawarkan
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam untuk menabrakkan dua gunung kepada
sebuah kaum yang mendurhakai beliau. Kemudian beliau menolak tawaran tersebut.
(Hadits yang menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)
 Mempunyai sayap
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi,
Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam
urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah
menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fathiir: 1)
 Tidak membutuhkan makan dan minum
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-
malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama
kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala
dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan
mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut,
sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” (QS.
Huud: 69 – 70)As Suyuthi rahimahullah berkata: “Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan
bahwa para ulama sepakat bahwasanya malaikat tidak makan, tidak minum, dan juga
tidak menikah.”

Ke-ma`shum-an Malaikat

Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk yang ma`shum, dimana mereka tidak
akan pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan
Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah….” (lihat QS. Al-
Anbiyaa`: 26 – 29 di atas)

Buah Iman kepada Malaikat


Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:

 Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan makhluk-makhluk yang


mulia, yaitu malaikat.
 Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang mereka lakukan. (lihat Syarh
Tsalatsatul Ushul Syaikh `Utsaimin)

Demikialah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih rinci
tentang Malaikat, silahkan merujuk ke kitabMu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan
Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin karya DR. Muhammad bin
`Abdul Wahhab al-`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.

 Iman Kepada Kitab Allah

Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama kita. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan
tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah ketika ditanya oleh
Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab:“(Iman yaitu) Engkau beriman dengan
Allah, para Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir
yang baik dan buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab (biasa disebut dengan Kitab
suci) adalah kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-
Nya, dan petunjuk bagi mereka, supaya mereka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat
kitab Rasaail fil `Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)

Cakupan Iman dengan Kitab Suci

Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman dengan kitab suci mencakup 4
perkara:

1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.

2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab tersebut, seperti al-Qur`an yang
Allah turunkan kepada Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa, Injil
kepada Isa, dan lain sebagainya.

3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-berita yang ada dalam al-Qur`an
dan kitab-kitab suci sebelumnya selama kitab-kitab tersebut belum diganti atau diselewengkan.

4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari kitab-kitab tersebut, rida
terhadapnya, dan berserah diri dengannya, baik yang diketahui hikmahnya, maupun yang tidak
diketahui.” (Rasaail fil `Aqiidah)
Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci

Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari Allah Jalla wa `Alaa.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan
al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan Kitab yang telah diturunkan
sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Quran), menjadi petunjuk bagi
manusia, dan dia menurunkan al-Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai
balasan (siksa).” (QS. Ali Imran: 2-4)

Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya peribadatan hanya kepada Allah
semata, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50.
(Untuk pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war Risaalaat karya `Umar bin Sulaiman al-
Asyqar, hal 231 – 235)

Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya

Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-kitab suci sebelumnya. Selain
itu, al-Qur`an juga merupakan hakim atas kitab-kitab suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…. ” (QS. Al-Maidah: 48)

Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas cakupannya.
Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam bersabda: “Saya diberi ganti dari Taurat dengan as-
sab`ut thiwaal (tujuh surat dalam al-Qur`an yang panjang-panjang). Saya diberi ganti dari
Zabur dengan al-mi`iin (surat yang jumlah ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti dari
Injil dengan al-matsani (surat yang terulang-ulang pembacaannya dalam setiap rekaat shalat)
dan saya diberi tambahan dengan al-mufashshal (surat yang dimulai dari Qaf sampai surat an-
Naas).” (HR. Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani)

Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari kitab-kitab suci lainnya adalah
penjagaan Allah terhadapnya. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-
Hijr: 9)

Sekilas Tentang Taurat

Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis salam. Taurat merupakan kitab
yang mulia yang tercakup didalamnya cahaya dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi)….” (QS. Al-Maidah: 44)
Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian lama – , setiap orang yang
berakal tentu mengetahui bahwa taurat tersebut bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada
Musa `alaihis salam. Hal itu bisa diketahui dari beberapa bukti berikut:.

 Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani) dalam menunjukkan sanad


ilmiah yang sampai kepada Musa `alaihis salam, bahkan mereka mengakui bahwa Taurat
pernah hilang selama beberapa kali.
 Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan bahwa sudah banyak terjadi
campur tangan para ulama yahudi dalam merubah isi Taurat.
 Banyak terdapat kesalahan ilmiah.
 Dan masih banyak bukti lainnya.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)

Sekilas Tentang Injil

Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada Isa `alaihis salam sebagai
penyempurna dan penguat bagi Taurat, mencocoki dangannya dalam sebagian besar syariatnya,
petunjuk kepada jalan yang lurus, membedakan kebenaran dan kebatilan, dan menyeru kepada
peribadatan kepada Allah Ta`ala semata.

Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa,
demikian juga injil yang ada sekarang, juga bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas
salam. Di antara bukti dari penyataan tersebut:

 Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah diangkatnya Isa`alaihis salam.
 Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil tersebut kepada penulisnya.
 Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di dalamnya
 Dan masih banyak bukti lainnya.

(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan Taurat dan Injil yang ada
sekarang, silahkan merujuk ke kitab Izhaarul Haq karya Rahmatullah al-Hindy)

Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-Qur`an?

Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab tersebut (Taurat atau Injil yang
ada sekarang) adalah benar berasal dari para Nabi mereka, maka kita tetap tidak boleh
mengikutinya karena kitab-kitab tersebut diturunkan khusus kepada umat nabi tersebut dan
dalam tempo yang terbatas, dan kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-Qur`an.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-
Maidah: 48)

Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti al-Qur`an.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya! Tidaklah seorang pun dari Yahudi dan Nasrani yang mendengar akan diutusnya
aku, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya,
kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Demikianlah sedikit bahasan tentang Iman dengan kitab suci. “Wahai Rabb kami, tambahkan
kepada kami keimanan, keyakinan, kefakihan, dan ilmu.”

 Iman Kepada Utusan Allah

Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin adalah beriman kepada para Nabi
dan Rasul utusan Allah. Diutusnya Rasul merupakan nikmat yang sangat agung. Kebutuhan
manusia terhadap diutusnya Rasul melebihi kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk itu,
kita tidak boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan Allah yang mulia ini.
Berikut adalah penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul.

Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para Rasul, di antaranya
adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ‫َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ْن َءا َمنَ ب ِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اْأل َ ِخ ِر َو ْال َملَئِ َك ِة َو ْال ِكت َا‬
َ‫ب َوال َّنبِيِن‬

“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al Baqarah: 177)

َ َ ‫س ِم ْعنَا َوأ‬
‫ط ْعنَا‬ ُ ‫س ِل ِه الَ نُفَ ِر ُق بَيْنَ أ َ َح ٍد ِمن ُّر‬
َ ‫س ِل ِه َوقَالُوا‬ ُ ‫ُك ٌّل َءا َمنَ ِباهللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكت ُ ِب ِه َو ُر‬

“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-


Nya (mereka mengatakan):’ Kita tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dan rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan “Kami dengar dan kami taat…” (QS. Al
Baqarah: 285)

Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan kepada para Rasul dengan
keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi
kafir orang yang membedakan antara keimanan kepada Allah dan para Rasul. Mereka beriman
terhadap sebagian namun kafir tehadap sebagian yang lain (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqaad,
hal 146)

Pokok-Pokok Keimanan Terhadap Para Rasul


Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah harus mengandung empat unsur pokok yaitu:

1. Beriman bahwasanya risalah yang mereka bawa benar-benar risalah yang berasal dari
wahyu Allah Ta’ala.
2. Beriman terhadap nama-nama mereka yang kita ketahui.
3. Membenarkan berita-berita yang shahih dari mereka.
4. Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita, yaitu penutup para Nabi,
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallaam. (Syarhu Ushuuill Iman, hal 34-35)

Antara Nabi dan Rasul

Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi sama dengan rasul. Namun pendapat yang benar adalah
nabi berbeda dengan rasul, walaupun terdapat beberapa persamaan. Nabi adalah seseorang yang
Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat untuk dirinya sendiri atau diperintahkan untuk
menyampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid. Sedangkan rasul adalah seorang yang Allah
beri wahyu kepadanya dengan syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum
yang menyelisihnya. Nabi dan rasul memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.

Persamaan Nabi dan Rasul adalah :

 Nabi dan Rasul sama-sama utusan Allah yang diberi wahyu oleh Allah, berdasarkan
firman Allah,

ُ ‫س ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ ِمن َّر‬


ٍ ‫سو ٍل َوالَنَبِي‬ َ ‫َو َمآأ َ ْر‬

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi…”
(QS. Al Hajj:52). Dalam ayat ini Allah membedakan antara nabi dan rasul, namun menjelasakan
kalau keduanya merupakan utusan Allah.

 Nabi dan rasul sama-sama diutus untuk menyampaikan syariat.


 Nabi dan rasul ada yang diturunkan kepadanya kitab, ada pula yang tidak.

Perbedaan Nabi dan Rasul :

 Nabi diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid atau untuk
diamalkan bagi dirinya sendiri, sebagaimana dalam sebuah hadist, ”Dan akan datang
Nabi yang tidak memiliki satu pun pengikut”. Sedangkan rasul diutus untuk
menyampaikan syariat kepada kaum yang menyelisihinya.
 Nabi mengikuti syariat sebelumnya yang sudah ada, sedangkan Rasul terkadang
mengikuti syariat sebelumnya -seperti Yusuf yang diutus untuk kaumnya dengan syariat
yang dibawa oleh Ibrahim dan Ya’qub- dan terkadang membawa syariat baru. (Diringkas
dari Syarh al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal 227-234)

Para Nabi dan Rasul Mengajarkan Agama yang Satu


Seluruh Nabi mengajarkan agama yang satu, walaupun mereka memiliki syariat-syariat yang
berbeda. Allah Ta’ala berfirman,

‫سى أ َ ْن أَقِي ُموا الدِينَ َوالَتَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬


َ ‫سى َو ِعي‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬ َّ ‫صى بِ ِه نُو ًحا َوالَّذِي أ َ ْو َح ْينَآ إِلَيْكَ َو َم َاو‬
َ ‫ص ْينَا بِ ِه إِب َْراه‬ ِ ‫ع لَ ُكم ِمنَ الد‬
َّ ‫ِين َم َاو‬ َ ‫ش ََر‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya…. ”(QS. Asy Syuuraa:13)

ِ ‫} َوإِ َّن َه ِذ ِه أ ُ َّمت ُ ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬51{ ‫صا ِل ًحا إِنِي بِ َمات َ ْع َملُونَ َع ِلي ٌم‬
}52{ َ‫احدَة ً َوأَنَا َربُّ ُك ْم فَاتَّقُون‬ َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬ َّ ‫س ُل ُكلُوا ِمنَ ال‬
ِ ‫طيِبَا‬ ُّ ‫يَآأَيُّ َها‬
ُ ‫الر‬

“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid)
ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah
kepada-Ku” (QS. Al Mu’minun:51-52)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Sesungguhnya seluruh nabi memiliki agama yang
satu, dan para nabi adalah saudara” (Muttafaqun ‘alaih).

Agama seluruh para Nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Allah tidak akan menerima agama
selain Islam. Yang dimaksud dengan islam adalah berserah diri kepada Allah dengan
mentauhidkan-Nya, tunduk kepada Allah dengan mentaatinya, dan menjauhkan diri dari
perbuatan syirik dan orang-orang musyrik. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 159-160).

Mendustakan Satu = Mendustakan Semuanya

Kewajiban seorang mukmin adalah beriman bahwa risalah para Rasul adalah benar-benar dari
Allah. Barangsiapa mendustakan risalah mereka, sekalipun hanya salah seorang di antara
mereka, berarti ia telah mendustakan seluruh para rasul. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
:

َ ‫ت قَ ْو ُم نُوحٍ ْال ُم ْر‬


َ‫سلِين‬ ْ َ‫َكذَّب‬

“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul” (QS. Asy Syu’araa’:105)

Dalam ayat in Allah menilai tindakan kaum Nuh sebagai pendustaan kepada para rasul yang
diutus oleh Allah, padahal ketika diutusnya Nuh belum ada seorang Rasulpun selain Nabi Nuh
‘alaihis salaam. Berdasarkan hal ini maka orang-orang Nasrani yang mendustakan Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau mengikuti beliau berarti mereka telah mendustakan
Al Masih bin Maryam (Nab Isa ‘alaihis salaam) dan tidak mengikuti ajarannya. (Syarhu
Ushuulil Iman hal 34-35)

Mengimani Nama Para Rasul


Termasuk pokok keimanan adalah kita beriman bahwa para Rasul Allah memiliki nama.
Sebagiannya diberitakan kepada kita dan sebagiannya tdak diberitakan kepada kita. Yang
diberikan kepada kita seperti Muhanmad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alahimus shalatu wa
salaam. Kelima nama tersebut adalah para Rasul ‘Ulul Azmi. Allah Ta’ala telah menyebut
mereka pada dua (tempat) surat di dalam Al Quran yakni surat Al Ahzaab dan As Syuraa,

‫سى اب ِْن َم ْريَ َم‬


َ ‫سى َو ِعي‬ َ ‫َوإِذْ أ َ َخذْنَا ِمنَ النَّبِيِينَ ِميثَاقَ ُه ْم َو ِمنكَ َو ِمن نُّوحٍ َو ِإب َْراه‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari
Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam…” (QS. Al Ahzab:7)

…‫سى أ َ ْن أَقِي ُموا الدِينَ َوالَتَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬


َ ‫سى َو ِعي‬
َ ‫ِيم َو ُمو‬ َّ ‫صى ِب ِه نُو ًحا َوالَّذِي أ َ ْو َح ْينَآ ِإ َليْكَ َو َم َاو‬
َ ‫ص ْينَا ِب ِه ِإب َْراه‬ ِ ‫ع لَ ُكم ِمنَ الد‬
َّ ‫ِين َم َاو‬ َ ‫ش ََر‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS.
Asy Syuraa:13)

Adapun terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-namanya, kita beriman secara global.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ص َعلَيْك‬ ُ ‫صنَا َعلَيْكَ َو ِم ْن ُهم َّمن لَّ ْم نَ ْق‬


ْ ‫ص‬ ُ ‫س ْلنَا ُر‬
َ َ‫سالً ِمن قَ ْبلِكَ ِم ْن ُهم َّمن ق‬
ْ ‫ص‬ َ ‫َولَقَدْ أ َ ْر‬

“Dan sesungguhnya telah Kami utus bebrapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada
yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu” (QS. Al Mukmin:78). (Syarhu Ushuulil Iman,hal 35)

Para Rasul Pemberi Kabar Gembira Sekaligus Pemberi Peringatan

Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira sekaligus memberikan
peringatan. Ini merupakan salah satu dari hikmah diutusnya para rasul kepada manusia. Maksud
menyampaikan kabar gembira adalah menyebutkan pahala bagi orang yang taat, sekaligus
memberikan peringatan kemudian mengancam orang yang durhaka dan orang kafir dengan
kemurkaan dan siksa Allah. Allah Ta’ala berfirman,

‫اس َعلَى للاِّ ُح َّجُةَُُ َب ْعدَ الر‬


ِّ َّ‫سال ُّم َبش ِِّّرينَ َو ُمنذ ِِّّرينَ ِّلئَالَّ َي ُكونَ ِّللن‬ ُّ َُ ‫س ِّل َو َكانَ للاُ َع ِّزيزا َح ِّكيما‬
ُ ‫َر‬ ُ

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
tidak ada lagi alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS.
An Nisaa’ 165).

Ayat ini merupakan dalil bahwa tugas para Rasul ialah memberikan kabar gembira bagi siapa
saja yang mentaati Allah dan mengikuti keridhaan-Nya dengan melakukan kebaikan. Dan bagi
siapa yang menentang perintah-Nya dan mendustakan para rasul-Nya akan diancam dengan
hukum dan siksaan. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 195-196)
Nuh yang Pertama, Muhammad Penutupnya

Termasuk keyakinan Ahlus sunnah adalah beriman bahwasanya Rasul yang petama diutus adalah
Nuh ‘alaihis salaam dan yang terkhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil
yang menunjukkan bahwa Nuh adalah Rasul pertama adalah firman Allah,

‫ِإنَّآأ َ ْو َح ْينَآ ِإلَيْكَ َك َمآأ َ ْو َح ْينَآ ِإلَى نُوحٍ َوالنَّبِيِينَ ِمن بَ ْع ِد ِه‬

“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu sebagaman Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa’:163)

Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwa Nuh adalah rasul pertama. Sisi pendalilannya adalah
dari kalimat “dan nabi-nabi yang kemudiannya”. Jika ada rasul sebelum Nuh tentunya akan
dikatakan dalam ayat ini.

Adapun dalil dari sunnah adalah sebuah hadist shahih tentang syafa’at, ketika manusia
mendatangi Nabi Adam untuk meminta syafaat, beliau berkata kepada mereka, “Pergilah kalian
kepada Nuh, karena ia adalah rasul pertama yang diutus ke muka bumi”. Maka mereka pun
mendatangi Nuh dan berkata: “engkau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi…” (Muttafaqun
‘alaihi). Hadist ini merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan bahwa Nuh adalah rasul
pertama. Dan Nabi Adam sendiri menyebutkan bahwa Nuh sebagai Rasul pertama di atas muka
bumi. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 196-197)

Sedangkan Rasul yang terakhir adalah Muhammad sholallahu ‘alaihi wa salaam. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala.

ُ ‫َّما َكانَ ُم َح َّمد ٌ أَ َبآ أ َ َح ٍد ِمن ِر َجا ِل ُك ْم َولَ ِكن َّر‬


َ ‫سو َل هللاِ َوخَات ََم النَّ ِب ِيينَ َو َكانَ هللاُ ِب ُك ِل‬
‫ش ْىءٍ َع ِلي ًما‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dia adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS. Al Ahzab:40).

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Aku adalah penutup para Nabi, dan beliau
berkata :’ Tidak ada Nabi sesudahku”. Hal ini melazimkan berakhirnya diutusnya para Rasul,
karena berakhirnya yang lebih umum (yakni diutusnya Nabi) melazimkan berakhirnya yang
lebih khusus (yakni diutusnya Rasul). Makna berakhirnya kenabian dengan kenabian
Muhammad yakni tidak adanya pensyariatan baru setelah kenabian dan syariat yang dibawa oleh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 173).

Buah Manis Iman yang Benar Terhadap Para Rasul

Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah akan memberikan faedah yang berharga, di
antaranya adalah:

1. Mengetahui akan rahmat Allah dan perhatian-Nya kepada manusia dengan mengutus
kepada mereka para Rasul untuk memberi petunjuk kepada merka kepada jalan Allah dan
memberikan penjelasan kepada mereka bagaimana beribadah kepada Allah karena akal
manusia tidak dapat menjangkau hal tersebut.
2. Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini.
3. Mencintai para Rasul,, mengagungkan mereka , serta memberikan pujian yang layak bagi
mereka. Karena mereka adalah utusan Allah Ta’ala dan senantiasa menegakkan ibadah
kepada-Nya serta menyampaikan risalah dan memberikan nasehat kepada para hamba.
(Syarhu Ushuuill Iman hal 36)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menetapkan hati kita kepada keimanan yang benar.
Washolallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

 Iman Kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama merupakan salah satu
di antara rukun iman yang enam. Banyak sekali Allah Ta’ala menggandengkan antara iman
kepada Allah dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari
akhir, tidak mungkin akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari akhir
tidak akan beramal, karena seseorang tidak akan beramal kecuali dia mengharapkan kenikmatan
di hari akhir dan takut terhadap adzab di hari akhir.[1]

Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat itu merupakan tahapan
yang terakhir[2]. Keimanan yang benar terhadap hari akhir mancakup tiga hal pokok yaitu
mengimani adanya hari kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan) dan jazaa’
(balasan), serta mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan kepada hari akhir
adalah mengimani segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti fitnah kubur,
adzab kubur, dan nikmat kubur.

Mengimani Adanya Hari Kebangkitan

Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang sudah mati ketika ditiupkannya
sangkakala yang kedua. Kemudian manusia akan berdiri menghadap Rabb semesta alam dalam
keadaan telanjang tanpa alas kaki, telanjang tanpa pakaian, dan dalam keadaan tidak disunat.
Allah Ta’ala berfirman,

َّ ‫س ِِج ِِّل َك َط ِّي ِ ال‬


‫س َمآ َء نَط ِوي يَو َم‬ ِ ُ ‫ع َلينَآ َوعدًا نُّ ِعي ُدهُ َخلق أ َ َّو َل بَدَأنَآ َك َما ِلل ُكت‬
ِّ ‫ب ال‬ َ ‫{ َفا ِع ِلينَ ُكنَّا إِ َّنا‬104}

“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.
Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.”
(QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah
dan Ijmaa’ (konsensus) kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

‫{ لَ َم ِِّيت ُونَ ذَ ِلكَ بَع َد إِنَّكُم ث ُ َّم‬15} ‫{ ت ُبعَثُونَ ال ِقيَا َم ِة يَو َم إِنَّكُم ث ُ َّم‬16}

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati(15). Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al
Mukminun:15-16)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :

‫يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال‬

“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki,
telanjang, dan tidak disunat”[3]

Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya hari kebangkitan ini. [4]

Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan

Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari akhir adalah mengimani adanya
hari perhitungan dan pembalasan. Seluruh amal perbuatan setiap hamba akan dihisab dan diberi
balasan. Hal ini juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmaa’ kaum muslimin.

Allah Ta’ala berifrman,

َّ‫{ ِإيَّابَ ُهم ِإلَينَآ إِن‬25} ‫ع َلينَا ِإنَّ ث ُ َّم‬ َ ‫{ ِح‬26}


َ ‫سابَ ُهم‬

“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian sesungguhnya kewajiban


Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al Ghasiyah:25-26)

َ َ‫س ِبينَ َو َكفَى بِ َها أَتَي َنا َخردَل ِِّمن َحبَّة ِمث َقا َل كَانَ َوإِن شَيئًا نَفس ت ُظلَ ُم فَلَ ال ِقيَا َم ِة ِليَو ِم ال ِقس َط ال َم َو ِازينَ َون‬
‫ض ُع‬ ِ ‫بِ َنا َحا‬
{47}

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al
Anbiyaa’:47)

Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau bersabda,


‫فإن شيئا تكتب لم يعملها فلم بسيئة هم ومن عشرا له كتبت عملها فإن حسنة له كتبت يعملها فلم بحسنة هم ومن‬
‫واحدة سيئة كتبت عملها‬

“Barangsiapa yang berniat melakukam suatu kebaikan, lalu mengerjakannya, maka Allah telah
menulisnya sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan, bahkan sampai kelipatan yang lebih banyak
lagi. Sedangkan barangsiapa yang berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya, maka
Allah hanya akan menulisnya satu keburukan saja“ [5].

Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari perhitungan dan pembalasan. Dan ini
sesuai dengan tuntutan hikmah Allah Ta’ala.[6]

Mengimani Adanya Surga dan Neraka

Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga dan neraka. Keduanya
merupakan tempat kembali yang abadi bagi makhluk. Surga adalah kampung kenikmatan yang
dipersiapkan oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan neraka adalah hunian
yang penuh dengan adzab yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir. Allah
Ta’ala berfirman :

َ ‫{ نَ ِعيم لَ ِفي األَب َر‬13} َّ‫ار َو ِإن‬


َّ‫ار إِن‬ َ ‫{ َج ِحيم لَ ِفي الفُ َّج‬14}

“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang
penuh keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka” (Al Infithaar:13-14)

Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang merupakan keyakinan ahlus
sunnah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah :

Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya

Keberadaan surga dan nereka adalah haq (benar adanya). Tidak ada keraguan di dalamnya.
Neraka disediakan bagi musuh-musuh Allah, sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah.
Penyebutan tentang surga dan neraka dalam Al Quran dan As Sunnah sangatlah banyak.
Terkadang disebutkan tentang kondisi penduduk surga dan neraka. Terkadang disebutkan
tentang janji kenikmatan surga dan adzab di neraka. Terkadang disebutkan dorongan agar
bersemangat meraih surga dan ancaman dari neraka. Demikian pula As Sunnah banyak
menyebutkan tentang surga dan neraka. Itu semua menunjukkan bahwa keberadaan surga dan
neraka adalah benar adanya. [7]

Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada

Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan makhluk Allah yang telah ada sekarang.
Hal ini bertentangan dengan keyakinan mu’tazilah dan qodariyah yang lebih mengedepankan
akal mereka. Adapun dalilnya adalah firman Allah,
َ ‫ض َها َو َجنَّة َّربِِّكُم ِِّمن َمغ ِف َرة إِلَى َو‬
‫س ِارعُوا‬ ُ ‫اواتُ عَر‬
َ ‫س َم‬ ُ ‫ { ِلل ُمت َّ ِقينَ أ ُ ِعدَّت َواألَر‬133}
َّ ‫ض ال‬

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran:133)

Tentang neraka Allah berfirman,

َ ‫{ ِللكَافِ ِرينَ أ ُ ِعدَّت ا َّلتِي ال َّن‬131}


‫ار َواتَّقُوا‬

“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir”
(QS. Ali Imran:131)

Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Sidratul Muntaha,
kemudian melihat dan masuk ke dalam surga. Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]

Ketiga: Penciptaan Surga dan Neraka Sebelum Penciptaan Makhluk

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫ث ِمن فَ ُكلَ ال َجنَّةَ َو َزو ُجكَ أَنتَ اسكُن َويَائ َا َد ُم‬ َّ ‫{ ال َّظا ِل ِمينَ ِمنَ فَتَكُو َنا ال‬19}
ِ ‫ش َج َرةَ َه ِذ ِه َولَتَق َر َبا‬
ُ ‫شئت ُ َما َحي‬

“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta
makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu
berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.””
(QS. Al A’raf: 19)

Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini menunjukkan surga sudah ada
sebelum penciptaan Adam. [9].

Keempat: Surga dan Neraka Sudah Ditentukan Siapakah Yang Akan Menjadi Penghuninya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫يرا ِل َج َهنَّ َم ذَ َرأ َنا َولَقَد‬


ً ‫نس ال ِج ِنِّ ِمنَ َك ِث‬
ِ ‫َوا ِإل‬

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia … ”(QS. Al A’raf: 179)

Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

‫آبائهم أصلب في وهم لها خلقهم أهل للنار وخلق آبائهم أصلب في وهم لها خلقهم أهل للجنة خلق للا إن‬

“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk jannah. Allah telah
menentukan mereka sebagai penghuninya, sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-
bapak mereka. Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka. Allah telah
menentukan mereka sebagai penghuninya, padahal mereka masih dalam tulang sulbi bapak-
bapak mereka” [10].[11]

Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi

Allah Ta’ala berfirman,

‫س ِعدُوا ا َّل ِذينَ َوأ َ َّما‬


ُ ‫ت فِي َها َخا ِل ِدينَ ال َجنَّ ِة فَ ِفي‬
ِ ‫اواتُ َمادَا َم‬
َ ‫س َم‬ ُ ‫ع َطآ ًء َربُّكَ َماشَآ َء إِلَّ َواألَر‬
َّ ‫ض ال‬ َ ‫{ َمجذُوذ‬108}
َ ‫غي َر‬

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (Huud:108)

Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫وإن أبدا تهرموا فل تشبوا أن لكم وإن أبدا تموتوا فل تحيوا أن لكم وإن أبدا تسقموا فل تصحوا أن لكم إن مناد ينادي‬
‫} تعملون كنتم بما أورثتموها الجنة تلكم أن ونودوا { وجل عز قوله فذلك أبدا تبأسوا فل تنعموا أن لكم‬

“Datanglah suara berkumandang :Wahai ahli surga, sesungguhnya kamu sekalian akan sehat
dan tak pernah sakit. Kamu sekalian akan menjadi muda belia dan tak pernah tua lagi. Dan
kalian pun akan hidup dan tak akan pernah mati.”[12].

Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam perkataan yang disampaikan oleh
Imam Abu Ja’far At Thahawy rahimahullah dalam kitab beliau al ‘Aqidah Ath Thahawiyah,
beliau menjelaskan,

،ً‫ َو َخلَقَ لَ ُه َما أ َ ْهال‬،‫ق‬ َ َّ‫ َف ِإنَّ هللاَ تَعَالَى َخلَقَ ال َجنَّ َة َوالن‬،‫َان‬
ِ ‫ار قَ ْب َل ال َخ ْل‬ ِ ‫ان أَبَدًا َوال تَبِ ْيد‬ ِ َ ‫َوال َجنَّةُ َوال َّنا ُر َم ْخلُ ْوقَت‬
ِ َ‫ الَ ت َ ْفنَي‬،‫ان‬

“Surga dan neraka merupakan dua makhluk yang tidak akan punah dan binasa. Sesungguhnya
Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga telah
menentukan siapakah penghuninya…”[13].

Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur

Dalil perkara ini sangat gamblang dan jelas. Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat
dalam Al Quran. Demikian pula penjabaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang masalah ini sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. Allah Ta’ala berfirman,

‫ت ِفي ال َّظا ِل ُمونَ إِ ِذ َولَوت َ َرى‬ ِ ‫طوا َوال َملَئِكَةُ ال َمو‬


َ ‫ت‬
ِ ‫غ َم َرا‬ ُ ‫س‬ِ ‫ِيهم َبا‬ِ ‫س ُك ُم أَخ ِر ُجوا أَيد‬
َ ُ‫اب ت ُج َزونَ اليَو َم أَنف‬
َ َ‫عذ‬
َ ‫ون‬
ِ ‫ِب َما ال ُه‬
‫علَى تَقُولُونَ كُنت ُم‬َ ِ‫غي َر للا‬ َ ‫ق‬ ِ ِّ ‫{ تَستَك ِب ُرونَ َءا َيا ِت ِه عَن َوكُنت ُم ال َح‬93}

“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada
dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil
berkata): “Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat
menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan
(karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am: 93). [14]

Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah pertanyaan malaikat di alam kubur
kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan orang-
orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan kemantapannya ia
menjawab, ”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad”.
Sebaliknya Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa
menjawab, ”Hah…hah!Aku tidak tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu
menjawab :” Aku tidak tahu. Aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula
mengaatkannya”[15].

Faedah Iman yang Benar

Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang bermanfaat. Demikian pula keimanan yang
benar terhadap hari akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :

1. Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan dengan mengharapkan pahalanya
kelak di ahri akhir.
2. Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka kembali pada maksiat karena
khawatir mendapat siksa di hari akhir.
3. Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang tidak mereka dapatkan di dunia
dengan mengharapkan kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].

Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan kepada hari akhir. Terdapat banyak
perincian yang harus kita imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan dijelaskan
lebih rinci dalam kesempatan lain. Semoga Allah meneguhkan iman kita hingga ajal menjemput
kita. Wallahul muwafiq.

 Iman Kepada Takdir

Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir
adalah beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk.
Salah memahami keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya
keimanan seseorang. Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap
muslim terkait masalah takdir ini. Semoga paparan ringkas ini dapat membantu kita
untuk memahami keimanan yang benar terhadap takdir Allah. Wallahul musta’an.

 Antara Qodho’ dan Qodar


 Dalam pembahasan takdir, kita sering mendengar istilah qodho’ dan qodar. Dua istilah
yang serupa tapi tak sama. Mempunyai makna yang sama jika disebut salah satunya,
namun memiliki makna yang berbeda tatkala disebutkan bersamaan.[1] Jika disebutkan
qodho’ saja maka mencakup makna qodar, demikian pula sebaliknya. Namun jika
disebutkan bersamaan, maka qodho’ maknanya adalah sesuatu yang telah ditetapkan
Allah pada makhluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan, maupun perubahan
terhadap sesuatu. Sedangkan qodar maknanya adalah sesuatu yang telah ditentukan Allah
sejak zaman azali. Dengan demikian qodar ada lebih dulu kemudian disusul dengan
qodho’.[2]
 Empat Prinsip Keimanan kepada Takdir
 Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah. Perlu kita ketahui bahwa keimanan terhadap
takdir harus mencakup empat prinsip. Keempat prinsip ini harus diimani oleh setiap
muslim.
 Pertama: Mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui dengan ilmunya yang azali dan
abadi tentang segala sesuatu yang terjadi baik perkara yang kecil maupun yang besar,
yang nyata maupun yang tersembunyi, baik itu perbuatan yang dilakukan oleh Allah
maupun perbuatan makhluknya. Semuanya terjadi dalam pengilmuan Allah Ta’ala.
 Kedua: Mengimanai bahwa Allah Ta’ala telah menulis dalam lauhul mahfudz catatan
takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Tidak ada sesuatupun yang sudah terjadi
maupun yang akan terjadi kecuali telah tercatat.
 Dalil kedua prinsip di atas terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Dalam Al Qur’an,
Allah Ta’ala berfirman,
}70{ ‫ِير‬ ٌ ‫ب إِ َّن ذَلِكَ َعلَى هللاِ يَس‬ ٍ ‫ض إِ َّن ذَلِكَ فِي ِكتَا‬ ِ ‫آء َواْأل َ ْر‬ ِ ‫س َم‬َّ ‫ أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أ َ َّن هللاَ يَ ْعلَ ُم َمافِي ال‬
 “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab
(Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (QS. Al
Hajj:70).
ِ ‫ت اْأل َ ْر‬
‫ض‬ ِ ‫ظلُ َما‬ُ ‫ط ِمن َو َرقَ ٍة يَ ْعلَ ُم َها َوالَ َحبَّ ٍة فِي‬ ُ ُ‫ب الَ َي ْعلَ ُم َهآ ِإالَّ ه َُو َويَ ْعلَ ُم َمافِي ْالبَ ِر َو ْالبَحْ ِر َو َما ت َ ْسق‬ ِ ‫ َو ِع ْندَهُ َمفَاتِ ُح ْالغَ ْي‬
}59{ ‫ين‬ ٍ ‫ب َوالَيَا ِب ٍس إِالَّ فِي ِكتَا‬
ٍ ِ‫ب ًّمب‬ ٍ ‫ط‬ ْ ‫َوالَ َر‬
 “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”” (QS. Al An’am:59).
 Sedangkan dalil dari As Sunnah, di antaranya adalah sabda Rasulullah shalallhu ‘alaihi
wa salam,
‫سنَ ٍة‬
َ ‫ف‬ َ ‫ض ِبخ َْمسِينَ أ َ ْل‬َ ‫ت َواأل َ ْر‬ ِ ‫س َم َوا‬َّ ‫ق قَ ْب َل أ َ ْن َي ْخلُقَ ال‬ ِ ِ‫ِير ْال َخالَئ‬
َ ‫َّللاُ َمقَاد‬َّ ‫َب‬ َ ‫ َكت‬
 “… Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun
sebelum penciptaan langit dan bumi”[3]
 Ketiga: Mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu, baik yang terjadi
maupun yang tidak terjadi, baik perkara besar maupun kecil, baik yang tampak maupun
yang tersembunyi, baik yang terjadi di langit maupun di bumi. Semuanya terjadi atas
kehendak Allah Ta’ala, baik itu perbuatan Allah sendiri maupun perbuatan makhluknya.
 Keempat: Mengimani dengan penciptaan Allah. Allah Ta’ala menciptakan segala
sesuatu baik yang besar maupun kecil, yang nyata dan tersembunyi. Ciptaan Allah
mencakup segala sesuatu dari bagian makhluk beserta sifat-sifatnya. Perkataan dan
perbuatan makhluk pun termasuk ciptaan Allah.
 Dalil kedua prinsip di atas adalah firman Allah Ta’ala,
 ‫ت للاِّ أ ُ ْولَئِّكَ ُه ُم‬ِّ ‫ض َوالَّ ِّذينَ َكفَ ُروا بِّئ َايَا‬ ِّ ‫ت َواْأل َ ْر‬ َّ ‫} لَّهُ َمقَا ِّليد ُ ال‬62{ ‫ش ْىءٍ َو ِّكي ٌل‬
ِّ ‫س َم َاوا‬ َ ‫ش ْىءٍ َوه َُو َعلَى ُك ِّل‬ َ ‫للاُ خَا ِّل ُق ُك ِّل‬
ْ
َ‫} الخَا ِّس ُرون‬63{
 “.Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-
Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir
terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”(QS. Az Zumar 62-
63)
}96{ َ‫ َوهللاُ َخلَقَ ُك ْم َو َمات َ ْع َملُون‬
 “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“.” (QS. As
Shafat:96).[4]
 Antara Kehendak Makhluk dan Kehendak-Nya
 Beriman dengan benar terhadap takdir bukan berarti meniadakan kehendak dan
kemampuan manusia untuk berbuat. Hal ini karena dalil syariat dan realita yang ada
menunjukkan bahwa manusia masih memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu.
 Dalil dari syariat, Allah Ta’ala telah berfirman tentang kehendak makhluk,
}39{ ‫لى َربِ ِه َمئ َابًا‬ َ ِ‫ ذَلِكَ ْاليَ ْو ُم ْال َح ُّق فَ َمن شَآ َء ات َّ َخذَ إ‬
 “Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia
menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Nabaa’:39)
}223{ …‫ث لَّ ُك ْم فَأْتُوا َح ْرثَ ُك ْم أ َ َّنى ِشئْت ُ ْم‬ ُ ‫سآ ُؤ ُك ْم َح ْر‬ َ ِ‫ ن‬
 “Isteri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. …”(Al
Baqoroh:223)
 Adapun tentang kemampuan makhluk Allah menjelaskan,
}16{ َ‫ش َّح نَ ْف ِس ِه فَأ ُ ْولَئِكَ ُه ُم ْال ُم ْف ِلحُون‬ُ َ‫ط ْعت ُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا َوأَن ِفقُوا َخي ًْرا ألَنفُ ِس ُك ْم َو َمن يُوق‬ َ َ ‫ فَاتَّقُوا هللاَ َماا ْست‬
 “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta
ta’atlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu . Dan barangsiapa yang
dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. At Taghobun :16)
}286{… ‫ت َر َّبنَا‬ َ َ‫ت َو َعلَ ْي َها َماا ْكت‬
ْ ‫س َب‬ ْ ‫س َب‬َ ‫سا ِإالَّ ُو ْس َع َها لَ َها َما َك‬ ً ‫ف هللاُ نَ ْف‬
ُ ‫ الَ يُك َِل‬
 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya….”(QS. Al Baqoroh:286)
 Sedangkan realita yang ada menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui bahwa
dirinya memiliki kehendak dan kemampuan. Dengan kehendak dan kemampuannya, dia
melakukan atau meninggalkan sesuatu. Ia juga bisa membedakan antara sesuatu yang
terjadi dengan kehendaknya (seperti berjalan), dengan sesuatu yang terjadi tanpa
kehendaknya, (seperti gemetar atau bernapas). Namun, kehendak maupun kemampuan
makhluk itu terjadi dengan kehendak dan kemampuan Allah Ta’la karena Allah
berfirman,
}29{ َ‫َّللاُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬ َّ ‫} َو َماتَشَآ ُءونَ ِإآلَّ أَن َيشَآ َء‬28{ ‫يم‬ َ ‫ ِل َمن شَآ َء ِمن ُك ْم أَن َي ْستَ ِق‬
 “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.” (QS. At Takwiir:28-29). Dan karena semuanya adalah milik Allah maka
tidak ada satu pun dari milik-Nya itu yang tidak diketahui dan tidak dikehendaki oleh-
Nya.[5]
 Macam-Macam Takdir
 Pembaca yang dirahmati Allah, perlu kita ketahui bahwa takdir ada beberapa macam:
 [1] Takdir Azali. Yakni ketetapan Allah sebelum penciptaan langit dan bumi ketika
Allah Ta’ala menciptakan qolam (pena). Allah berfirman,
}51{ َ‫َب هللاُ لَنَا ه َُو َم ْوالَنَا َو َعلَى هللاِ فَ ْليَت ََو َّك ِل ْال ُمؤْ ِمنُون‬ َ ‫ُصيبَنَآ ِإالَّ َما َكت‬ِ ‫ قُل لَّن ي‬
 “Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-
orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At Taubah:51)
 Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “… Allah telah menetapkan takdir
untuk setiap makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan
bumi”[6]
 [2] Takdir Kitaabah. Yakni pencatatan perjanjian ketika manusia ditanya oleh
Allah:”Bukankah Aku Tuhan kalian?”. Allah Ta’ala berfirman,
‫ش ِهدْنَآ أَن تَقُولُوا َي ْو َم‬ َ ‫ور ِه ْم ذ ُ ِريَّت َ ُه ْم َوأ َ ْش َهدَ ُه ْم َعلَى أَنفُ ِس ِه ْم أَلَ ْستُ ِب َر ِب ُك ْم قَالُوا َبلَى‬ِ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ } َو ِإذْ أ َ َخذَ َربُّكَ ِمن َبنِي َءادَ َم ِمن‬
‫} أ ْو تَقولوا إِن َما أش َركَ َءابَآؤُ نَا ِمن ق ْب ُل َوكنا ذ ِريَة ِمن بَ ْع ِد ِه ْم أفت ْه ِلكنًا بِ َما فعَ َل‬172{ َ‫ْال ِقيَا َم ِة إِنَّا ُكنَّا َع ْن َهذَا غَافِلِين‬
َ ُ ُ َ َ ً ُ َّ ُ َ ْ َ َّ ُ ُ َ
}173{ َ‫ْال ُمب ِْطلُون‬
 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengata-kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”. atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini
adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan
membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?” (QS. Al A’raaf
172-173).
 [3] Takdir ‘Umri. Yakni ketetapan Allah ketika penciptaan nutfah di dalam rahim, telah
ditentukan jenis kelaminnya, ajal, amal, susah senangnya, dan rizkinya. Semuanya telah
ditetapkan, tidak akan bertambah dan tidak berkurang. Allah Ta’ala berfirman,
‫ضغَ ٍة ُّم َخلَّقَ ٍة َو َغي ِْر‬ ْ ‫طفَ ٍة ث ُ َّم ِم ْن َعلَقَ ٍة ث ُ َّم ِمن ُم‬ ْ ُّ‫ب ث ُ َّم ِمن ن‬
ٍ ‫ث فَإِنا َّ َخلَ ْقنَا ُكم ِمن ت ُ َرا‬ ِ ‫ب ِمنَ ْال َب ْع‬
ٍ ‫اس ِإن ُكنت ُ ْم ِفي َر ْي‬ ُ َّ‫ َياأ َ ُّي َها الن‬
َّ
‫شدَّ ُك ْم َو ِمن ُكم َّمن يُت ََوفى َو ِمن ُكم‬ ُ ُ ُ ً ُ
ُ ‫س ًّمى ث َّم نُ ْخ ِر ُج ُك ْم ِط ْفال ث َّم ِلت َ ْبلغُوا أ‬َ ‫ُم َخلَّقَ ٍة ِلنُبَيِنَ لَ ُك ْم َونُ ِق ُّر فِي األ ْر َح ِام َمانَشَآ ُء إِلَى أ َج ٍل ُم‬
َ َ ْ
ْ ‫ت َوأَن َبت‬
‫َت‬ ْ ‫ت َو َر َب‬ ْ ‫َامدَة ً فَإِذَآ أَنزَ ْلنَا َعلَ ْي َها ْال َمآ َء ا ْهت ََّز‬
ِ ‫ضه‬ َ ‫ش ْيئًا َوت ََرى اْأل َ ْر‬ َ ‫َّمن ي َُردُّ ِإلَى أ َ ْرذ َ ِل ْالعُ ُم ِر ِل َك ْيالَ َي ْعلَ َم ِمن َب ْع ِد ِع ْل ٍم‬
}5{ ٍ‫ِمن ُك ِل زَ ْوجٍ بَ ِهيج‬
 “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka
(ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan
Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah
ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-
angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan
dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat
bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu
dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS.
Al Hajj:5)
 [5] Takdir Hauli. Yakni takdir yang Allah tetapkan pada malam lailatul qadar, Allah
menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam satu tahun. Allah berfirman,
ْ‫} أَ ْم ًرا ِمن‬4{ ‫} فِي َها يُ ْف َر ُق ُك ُّل أ َ ْم ٍر َح ِك ٍيم‬3{ َ‫ار َك ٍة إِنَّا ُكنَّا ُمنذ ِِرين‬ َ َ‫} إِنَّآ أَنزَ ْلنَاهُ فِي لَ ْيلَ ٍة ُّمب‬2{ ‫ين‬ ِ ِ‫ب ْال ُمب‬ ِ ‫} َو ْال ِكت َا‬1{ ‫ حم‬
}5{ َ‫ِعن ِدنَآ ِإنَّا ُكنَّا ُم ْر ِسلِين‬
 “Haa miim . Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami
menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang
memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah ,
(yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus
rasul-rasul” (QS. Ad Dukhaan:1-5)
 [5] Takdir Yaumi. Yakni pnentuan terjadinya takdir pada waktu yang telah ditakdirkan
sbelumnya. Allah berfirman,
}29{ ‫ض ُك َّل َي ْو ٍم ه َُو ِفي شَأ ْ ٍن‬ ِ ‫ت َواْأل َ ْر‬ َّ ‫ َي ْسئَلُهُ َمن ِفي ال‬
ِ ‫س َم َاوا‬
 “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan . “ (QS. Ar Rahmaan: 29). Ibnu Jarir meriwayatkan dari Munib bin Abdillah
bin Munib Al Azdiy dari bapaknya berkata, “Rasulullah membaca firman Allah “ Setiap
waktu Dia dalam kesibukan”, maka kami bertanya: Wahai Rasulullah apakah kesibukan
yang dimaksud?. Rasulullah bersabda :” Allah mengampuni dosa, menghilangkan
kesusahan, dan meninggikan suara serta merendahkan suara yang lain”[7]
 Sikap Pertengahan Dalam Memahami Takdir
 Diantara prinsip ahlus sunnah adalah bersikap pertengahan dalam memahami Al Qur’an
dan As Sunnah, tidak sebagaimana sikap ahlul bid’ah. Ahlus sunnah beriman bahwa
Allah telah menetapkan seluruh taqdir sejak azali, dan Allah mengetahui takdir yang akan
terjadi pada waktunya dan bagaimana bentuk takdir tersebut, semuanya terjadi sesuai
dengan takdir yang telah Allah tetapkan.
 Adapun orang-orang yang menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, mereka bersikap
berlebih-lebihan. Yang satu terlalu meremehkan dan yang lain melampaui batas.
Kelompok Qodariyyah, mereka mengingkari adanya takdir. Mereka mengatakan bahwa
Allah tidak menakdirkan perbuatan hamba. Menurut mereka perbuatan hamba bukan
makhluk Allah, namun hamba sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Mereka
mengingkari penciptaan Allah terhadap amal hamba.
 Kelompok yang lain adalah yang terlalu melampaui batas dalam menetapkan takdir.
Mereka dikenal dengan kelompok Jabariyyah. Mereka berlebihan dalam menetapkan
takdir dan menafikan adanya kehendak hamba dalam perbuatannya. Mereka mengingkari
adanya perbuatan hamba dan menisbatkan semua perbuatan hamba kepada Allah. Jadi
seolah-olah hamba dipaksa dalam perbuatannya.[8]
 Kedua kelompok di atas telah salah dalam memahai takdir sebagaimana ditunjukkan
dalam banyak dalil. Di antaranya firman Allah ‘Azza wa Jalla,
َّ ‫} َو َماتَشَآ ُءونَ ِإآلَّ أَن يَشَآ َء‬28{ ‫يم‬
}29{ َ‫َّللاُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬ َ ‫ ِل َمن شَآ َء ِمن ُك ْم أَن يَ ْستَ ِق‬
 “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam.”(QS. At Takwiir:28-29)
 Pada ayat (yang artinya), “ (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menempuh jalan yang
lurus” merupakan bantahan untuk Jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan
adanya kehendak bagi hamba. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mereka yang
mengatakan bahwa hamba dipaksa tanpa memiliki kehendak. Kemudian Allah berfirman
(yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam ayat ini terdapat bantahan
untuk Qodariyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh hamba tanpa sesuai dengan kehendak Allah karena Allah mengaitkan
kehendak hamba dengan kehendak-Nya.[9]
 Takdir Baik dan Takdir Buruk
 Takdir terkadang disifati dengan takdir baik dan takdir buruk. Takdir yang baik sudah
jelas maksudnya. Lalu apa yang dimaksud dengan takdir yang buruk? Apakah berarti
Allah berbuat sesuatu yang buruk? Dalam hal ini kita perlu memahami antara takdir yang
merupakan perbuatan Allah dan dampak/hasil dari perbuatan tersebut. Jika takdir disifati
buruk, maka yang dimaksud adalah buruknnya sesuatu yang ditakdirkan tersebut, bukan
takdir yang merupakan perbuatan Allah, karena tidak ada satu pun perbuatan Allah yang
buruk. Seluruh perbuatan Allah mengandung kebaikan dan hikmah. Jadi keburukan yang
dimaksud ditinjau dari sesuatu yang ditakdirkan/hasil perbuatan, bukan ditinjau dari
perbuatan Allah. Untuk lebih jelasnya bisa kita contohkan sebagai berikut.
 Seseorang yang terkena kanker tulang ganas pada kaki misalnya, terkadang
membutuhkan tindakan amputasi (pemotongan bagian tubuh) untuk mencegah
penyebaran kanker tersebut. Kita sepakat bahwa terpotongnya kaki adalah sesuatu yang
buruk. Namun pada kasus ini, tindakan melakukan amputasi (pemotongan kaki) adalah
perbuatan yang baik. Walaupun hasil perbuatannya buruk (yakni terpotongnya kaki),
namun tindakan amputasi adalah perbuatan yang baik. Demikian pula dalam kita
memahami takdir yang Allah tetapkan. Semua perbuatan Allah adalah baik, walaupun
terkadang hasilnya adalah sesuatu yang tidak baik bagi hambanya.
 Namun yang perlu diperhatikan, bahwa hasil takdir yang buruk terkadang di satu sisi
buruk, akan tetapi mengandung kebaikan di sisi yang lain. Allah Ta’ala berfirman :
}41{ َ‫ض الَّذِي َع ِملُوا لَ َعلَّ ُه ْم يَ ْر ِجعُون‬ َ ‫اس ِليُذِيقَ ُهم بَ ْع‬ ِ َّ‫ت أ َ ْيدِي الن‬ ْ َ‫سب‬ َ ‫ساد ُ فِي ْالبَ ِر َو ْالبَحْ ِر ِب َما َك‬َ َ‫ظ َه َر ْالف‬
َ 
 “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum:41). Kerusakan yang
terjadi pada akhirnya menimbulkan kebaikan. Oleh karena itu, keburukan yang terjadi
dalam takdir bukanlah keburukan yang hakiki, karena terkadang akan menimbulkan hasil
akhir berupa kebaikan.[10]
 Bersemangatlah, Jangan Hanya Bersandar Pada Takdir
 Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami takdir. Mereka hanya
pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah
kesalahan yang nyata. Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab
dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan
mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa
karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah. Oleh karena itu, Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
َّ ‫ َولَ ِك ْن قُ ْل قَدَ ُر‬.‫ش ْى ٌء فَالَ تَقُ ْل لَ ْو أَنِى فَعَ ْلتُ َكانَ َكذَا َو َكذَا‬
ِ‫َّللا‬ َ َ‫صابَك‬ َ َ ‫اَّللِ َوالَ تَ ْع ِج ْز َوإِ ْن أ‬
َّ ِ‫ص َعلَى َما يَ ْنفَعُكَ َوا ْست َ ِع ْن ب‬
ْ ‫ احْ ِر‬
‫ان‬
ِ َ
‫ط‬ ‫ي‬
ْ َّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ل‬ ‫م‬‫ع‬
َ ََ ُ ‫ح‬ َ ‫ت‬‫ف‬ْ َ ‫ت‬ ‫و‬ َ ‫ل‬ َّ
‫ن‬
ْ ِ َ َ َ ‫إ‬ َ ‫ف‬ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ف‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ش‬
َ ‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬
َ َ
 “Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah,
jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau
katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau
katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’
Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[11] [12]
 Faedah Penting
 Keimanan yang benar terhadap takdir akan membuahkan hal-hal penting, di antaranya
sebagai berikut :
 Pertama: Hanya bersandar kepada Allah ketika melakukan berbagai sebab, dan tidak
bersandar kepada sebab itu sendiri. Karena segala sesuatu tergantung pada takdir Allah.
 Kedua: Seseorang tidak sombong terhadap dirinya sendiri ketika tercapai tujuannya,
karena keberhasilan yang ia dapatkan merupakan nikmat dari Allah, berupa sebab-sebab
kebaikan dan keberhasilan yang memang telah ditakdirkan oleh Allah. Kekaguman
terhadap dirinya sendiri akan melupakan dirinya untuk mensyukuri nikmat tersebut.
 Ketiga: Munculnya ketenangan dalam hati terhadap takdir Allah yang menimpa dirinya,
sehingga dia tidak bersedih atas hilangnya sesuatu yang dicintainya atau ketika
mendapatkan sesuatu yang dibencinya. Sebab semuanya itu terjadi dengan ketentuan
Allah. Allah berfirman,
َ َ‫ب ِمن قَ ْب ِل أَن نَّب َْرأَهَآ إِ َّن ذَلِك‬
ٌ ‫علَى هللاِ يَس‬
َ‫} ِل َك ْيال‬22{ ‫ِير‬ ٍ ‫ض َوالَفِي أَنفُ ِس ُك ْم إِالَّ فِي ِكت َا‬ ِ ‫صيبَ ٍة فِي اْأل َ ْر‬
ِ ‫اب ِمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ َ ‫ َمآأ‬
}23{… ‫س ْوا َعلَى َمافَات َ ُك ْم َوالَتَ ْف َر ُحوا ِب َمآ َءات َا ُك ْم‬ ْ
َ ‫ت َأ‬
 “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…”
(QS. Al Hadiid:22-23).[13]
 Demikian paparan ringkas seputar keimanan terhadap takdir. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimmush shaalihat.

 Cinta dan Benci Dalam Islam

Pembahasan tentang cinta dan benci dalam Islam masuk dalam ranah pembahasan akidah yang
sering diistilahkan dengan al wala’ wal bara’. Al-Wala’ artinya mencintai kaum muslimin dan
membantu mereka serta memuliakan dan menghormati mereka dan berusaha dekat dengan
mereka. Al-Bara’ artinya membenci orang-orang kafir dan menjauhi serta memusuhi mereka.
Akidah al wala’ wal bara’ merupakan sesuatu yang penting karena:

1. Termasuk pokok akidah Islam


2. Termasuk tali keimanan yang paling kuat
3. Termasuk agama Ibrahim ‘alaihis salaam dan agama seluruh rasul, termasuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman :

‫َّللاِّ َكفَ ْرنَا بِّ ُك ْم َوبَدَا َب ْي َننَا‬ َّ ‫ُون‬ َ ‫سنَُةٌ فِّي إِّب َْراه‬
ِّ ‫ِّيم َوالَّذِّينَ َمعَهُ إِّذْ قَالُوا ِّلقَ ْو ِّم ِّه ْم إِّنَّا ب َُراء ِّمن ُك ْم َو ِّم َّما تَ ْعبُد ُونَ ِّمن د‬ َ ‫َت لَ ُك ْم أُس َْوة ٌ َح‬
ْ ‫قَدْ كَان‬
ٍ‫ش ْيء‬ َ َ َ
َّ َ‫ِّيم ِّألبِّي ِّه َأل ْست َ ْغ ِّف َر َّن لَكَ َو َما أ ْم ِّلكُ لَكَ ِّمن‬
َ ‫َّللاِّ ِّمن‬ َ ‫اّللِّ َوحْ دَهُ ِّإ َّال قَ ْو َل ِّإب َْراه‬ َ
َّ ِّ‫ضاء أبَدا َحتَّى تُؤْ ِّمنُوا ب‬ ْ ْ
َ ‫َوبَ ْي َن ُك ُم العَدَ َاوة ُ َوالبَ ْغ‬
‫ير‬ ‫ص‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬
ُ ِّ َ َ‫َ ِّ ْك‬ ‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫و‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫ب‬ْ ‫ن‬
َ َ ‫أ‬ ‫ي‬َ ‫ل‬
َ‫َ ِّ ْك‬‫إ‬ ‫و‬ ‫َا‬ ‫ن‬‫ل‬ْ َّ
‫ك‬ ‫َو‬ ‫ت‬ ‫ي‬َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫َا‬
َ َ‫َّ َّ َ ْك‬ ‫ن‬‫ب‬‫ر‬

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas
diri dari kamu dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya aku
akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu
(siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal
dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali’” (Al-
Mumtahanah: 4).

Jenis-jenis muwalah

Sikap wala’ (cinta dan loyal) terhadap orang kafir ada dua macam :

1. Sikap muwalah kubra (tawalli). Yaitu mencintai kesyirikan dan orang-orang musyrik
serta mencintai kekufuran dan orang-orang kafir. Sikap ini disertai membantu orang-
orang kafir dalam memerangi kaum muslimin. Hukum sikap seperti ini adalah kufur
akbar dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah:

‫ارى أَ ْو ِّليَاء بَع‬


َ ‫ص‬َ َّ‫ض َو َمن يَت ََولَّ ُهم ِّمن ُك ْم فَإِّنَّهُ مَْيَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُواْ الَ تَت َّ ِّخذُواْ ْاليَ ُهودَ َوالن‬
ٍ ‫ض ُه ْم أ َ ْو ِّليَاء بَ ْع‬
ُ َِّ‫ْن ُه ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin,
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka“ (Al-Ma’idah: 51).

2. Sikap muwalah sughra. Yaitu sikap mencintai orang-orang kafir dan musyrik karena
alasan dunia dan tidak disertai pembelaan terhadap mereka. Hukum sikap seperti ini
adalah haram dan termasuk dosa besar, namun bukan merupakan kekufuran. Dalilnya
adalah firman Allah:

ِّ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َمنُوا َال تَت َّ ِّخذُوا َعد ُِّوي َو َعد َُّو ُك ْم أَ ْو ِّليَاء ت ُ ْلقُونَ إِّلَ ْي ِّهم بِّ ْال َم َودَّة‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang“ (Al-Mumtahanah: 1).

Di antara contoh-contoh perbuatan yang termasuk muwalah sughra adalah:

1. Menyerupai mereka dalam berpakaian dan berbicara.


2. Bepergian ke negeri mereka tanpa ada keperluan yang penting dan darurat.
3. Tinggal di negeri mereka dan tidak berusaha pindah ke negeri kaum muslimin.
4. Menggunakan sistem penanggalan mereka.
5. Bersekongkol dan membantu perayaan hari besar mereka serta hadir dalam acara
tersebut.
6. Memberi nama dengan nama-nama yang khusus di kalangan mereka. (Lihat At-Tauhid
Al-Muyassar 38-40)
Tiga Golongan dalam Al Wala’ wal Bara’

Ada tiga golongan orang dalam al wala’ wal bara’ yang harus kita perhatikan:

1. Orang yang harus kita cintai secara total dan tidak disertai kebencian. Mereka adalah
mukmin yang sempurna keimanannya, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-
orang shalih. Tentu saja yang paling terdepan di antara mereka adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah yang mendapat kecintaan paling besar
dibandingkan cinta seseorang kepada anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia.
Kemudian setelah itu adalah para istri-istri Nabi dan keluarga beliau, serta para sahabat
Nabi radiyallahu ‘anhum. Kemudian orang-orang yang mengkuti jalannya para sahabat,
seperti imam yang empat. Allah Ta’ala berfirman :

َ‫ان َو َال تَجْ َع ْل فِّي قُلُو ِّبنَا ِّغال ِّللَّذِّين‬ َ َ‫َوا َّلذِّينَ َجاؤُوا ِّمن بَ ْع ِّد ِّه ْم يَقُولُونَ َربَّنَا ا ْغ ِّف ْر لَنَا َو ِّ ِّإل ْخ َوا ِّننَا الَّذِّين‬
ِّ ْ ‫سبَقُونَا ِّب‬
ِّ ‫اإلي َم‬
‫وف َّر ِّحي ٌم‬ َّ
ٌ ُ‫آ َمنوا َربَّنَا إِّنكَ َرؤ‬ ُ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang” (Al-Hasyr: 10).

2. Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara mutlak, serta tidak boleh mencintai
dan loyal terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan
orang yang murtad, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.
3. Orang yang kita cintai dan sekaligus kita benci. Pada diri mereka terkumpul kecintaan
sekaligus kebencian, mereka adalah orang mukmin yang bermaksiat. Kita mencintai
mereka karena mereka adalah orang yang beriman, dan kita membenci mereka karena
maksiat mereka yang tidak termasuk kemusyrikan dan kekafiran. Kecintaan kepada
mereka menuntut seseorang untuk menasehati mereka dan mengingkarinya. Tidak boleh
diam terhadap maksiat mereka, bahkan harus mengingkarinya dan memerintahkan
mereka untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran. Namun tidak boleh seseorang
membenci mereka secara mutlak dan berlepas diri dari mereka seperti perbuatan khawarij
(dalam masalah ini, khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir.)
terhadap pelaku dosa besar yang bukan dosa kekafiran. Tidak boleh pula mencintai dan
loyal secara mutlak terhadap mereka seperti perbuatan murji’ah (dalam masalah ini,
murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap seorang mukmin yang sempurna
imannya). Kita harus bersikap adil terhadap mereka, mencintai karena keimanan mereka,
dan membenci karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Inilah madzhab ahlussunnah
wal jama’ah (Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam 27-30).

Balasan Bagi yang Mengamalkan Al Wala’ wal Bara’

Allah Ta’ala berfirman:


َ‫ِّيرتَ ُه ْم أ ُ ْولَئِّك‬
َ ‫سولَهُ َولَ ْو كَانُوا آبَاء ُه ْم أ َ ْو أَ ْبنَاء ُه ْم أَ ْو ِّإ ْخ َوانَ ُه ْم أ َ ْو َعش‬ َّ َّ‫اّللِّ َو ْاليَ ْو ِّم ْاآل ِّخ ِّر ي َُوادُّونَ َم ْن َحاد‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ َّ ‫َال ت َِّجد ُ َق ْوما يُؤْ ِّمنُونَ ِّب‬
ُْ‫َّللاُ َع ْن ُه ْم َو َرضُوا َعنه‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِّ ‫ار َخا ِّلدِّينَ فِّي َها َر‬ ْ َ ْ
ُ ‫ت تَجْ ِّري ِّمن تَحْ تِّ َها األن َه‬ َّ ُ ْ َ
ٍ ‫اإلي َمانَ َوأيَّدَهُم بِّ ُروحٍ ِّمنهُ َويُد ِّْخل ُه ْم َجنا‬ ِّ ْ ‫َب فِّي قُلُوبِّ ِّه ُم‬
َ ‫َكت‬
ْ
َ‫َّللاِّ ُه ُم ال ُم ْف ِّلحُون‬
َّ ‫ب‬َ ‫َّللاِّ أ َ َال ِّإ َّن ِّح ْز‬
َّ ُ‫أ ْولَئِّكَ ِّح ْزب‬ ُ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan
Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung” (Al
Mujadilah: 22).

Barangsiapa yang merealisasikan dan mengamalkan akidah al wala’ wal bara’ dengan benar
akan mendapat balasan kebaikan sebagai berikut:

1. Terkumpulnya iman di dalam hatinya dan iman akan teguh di dalam hatinya. Allah
berfirman : ( َ‫اإلي َمان‬ َ َ‫)أُولَ ِئكَ َكت‬
ِ ‫ب ِفي قُلُو ِب ِه ُم‬
2. Allah akan memberinya cahaya dan petunjuk. Allah berfirman: (ُ‫)وأَيَّ َدهُم بِ ُروح ِ ِّمنه‬ َ
3. Mendapat janji akan masuk surga. Allah berfirman: ( َ‫َار َخا ِل ِدين‬ ُ ‫ه‬‫ن‬َ ‫األ‬ ‫َا‬
‫ه‬ ‫ت‬
ِ ‫ح‬َ ‫ت‬ ‫ن‬‫م‬ِ ِ ‫َويُد ِخلُ ُهم َجنَّات‬
‫ي‬ ‫ر‬ ‫ج‬َ ‫ت‬
‫)فِيهَا‬
4. Allah akan ridha kepadanya. Allah berfirman: (‫َللاُ عَن ُهم‬ َّ ‫)ر ِض َي‬
َ
5. Keridhaan hamba di akherat dengan masuknya ke dalam surga. Allah berifman: ( ‫َو َرضُوا‬
ُ‫)عَنه‬
6. Mendapat kemuliaan dari Allah, Allah menjadikannya termauk golongan orang-orang
khusus dan termasuk golongan yang beruntung. Allah berfirman: (‫َللاِ أ َ َل إِن‬ َّ ‫ب‬ُ ‫َُ ُِّأُولَئِكَ ِحز‬
َ‫َللاِ ُه ُم ال ُمف ِل ُحون‬
َّ ‫ب‬َ ‫)حز‬.
ِ (Tasirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul 37-38)

Semoga sajian ringkas ini bermanfaat.

Akhlak

 Kemuliaan Ilmu dan Ulama


 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud Darda’radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli
ilmu di atas ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas seluruh
bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris nabi-nabi. Sedangkan
para nabi tidak mewariskan uang dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan
ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh jatah warisan yang
sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 22)
 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin Hubaisy. Dia berkata:
Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai
Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang,
wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan
mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka menaiki
sebagian yang lain sampai ke langit dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang
mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
 Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata: Aku mendengar Zaid
bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan
mengangkat kedudukan orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau
berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal
[1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-Bari [1/172])
 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid mengenai makna firman
Allah (yang artinya), “Allah berikan hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-
Nya.”Mujahid menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq al-
’Ulama, hal. 19)
 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid tentang maksud firman
Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan ulil amri di antara kalian.” Beliau
menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’ dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)
 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan, bahwa Abud
Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan para ulama di tengah-tengah umat
manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi
manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)
 Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang
yang mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu, sampai ikan di dalam
lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 43-44)
 Petaka Lenyapnya Ilmu
 Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya
ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari
dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])
 Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan didahului dengan hancurnya
pilar-pilar penegak kemaslahatan hidup manusia yang menopang urusan dunia dan
akherat mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis keturunan/nasab.
Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu. Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya
nasab adalah karena praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana (lihat Fath al-
Bari[1/218])
 Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-
dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-
orang yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).
 Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah
bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu
itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan
cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka
orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh.
Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR.
Bukhari dalam Kitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
 Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu
Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika Hajjatul Wada’ Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu sebelum sebelum ia dicabut atau
diangkat.” Maka ada seorang Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka
beliau menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya (meninggalnya)
orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath al-Bari [1/237-238])
 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan
kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang
dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun
lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap
hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan
ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih
buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih
rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
 Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk
mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada
tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon
dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa menampung air saja
dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk
mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa
tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-
tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia
mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli
dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR.
Bukhari)
 Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan antara hujan dengan ilmu
agama. Beliau berkata, “Sebagaimana hujan akan menghidupkan tanah yang mati
(gersang), demikian pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.”
(lihat Fath al-Bari [1/215]).
 Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati
laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan
curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan
ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227). Wallahu a’lam.

 Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu


 Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
ْ ‫ضُةٌ َعلَى ُك ِّل ُم‬
 ‫س ِّل ٍم‬ َ ‫طلَبُ ْال ِّع ْل ِّم فَ ِّري‬
َ
 Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan
lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]
 Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-
Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah
termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu
dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara
masalah agama tanpa ilmu:
 1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.
 Alloh Ta’ala berfirman:
 َ ‫س ْل‬
‫طانا‬ ُ ‫ق َوأَن ت ُ ْش ِّر ُكوا بِّاهللِّ َما لَ ْم يُن َِّز ْل بِّ ِّه‬ ِّ ‫ى ِّبغَي ِّْر ْال َح‬ َ ‫طنَ َواْ ِّإلثْ َم َو ْالبَ ْغ‬
َ ‫ظ َه َر ِّم ْن َها َو َما َب‬ َ ‫ش َما‬ َ ‫اح‬ ِّ ‫ي ْالفَ َو‬
َ ِّ‫قُ ْل إِّنَّ َما َح َّر َم َرب‬
َ‫َوأ َ ْن تَقُولُوا َعلَى للاِّ َما الَ تَ ْعلَ ُمون‬
 Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
 Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang
Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu
disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh
mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang
paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-
hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya
dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang
syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma
Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan,
penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
 2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
 Allah Ta’ala berfirman:
 ِّ‫ِّب إِّ َّن الَّذِّينَ يَ ْفت َُرونَ َعلَى للا‬ َ ‫ِّب َهذَا َحالَ ٌل َو َهذَا َح َرا ٌم ِّلت َ ْفت َُروا َعلَى للاِّ ْال َكذ‬ َ ‫ف أ َ ْل ِّسنَت ُ ُك ُم ْال َكذ‬
ُ ‫َص‬ ِّ ‫َوالَ تَقُولُوا ِّل َما ت‬
َ‫ِّب الَ يُ ْف ِّلحُون‬ َ ‫ْال َكذ‬
 Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
 3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan
orang lain.
 Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
 ُ َّ‫ق َعا ِّلما ات َّ َخذَ الن‬
‫اس‬ ِّ ‫ْض ْالعُلَ َما ِّء َحتَّى إِّذَا لَ ْم يُ ْب‬ ِّ ‫ض ْال ِّع ْل َم بِّقَب‬ ُ ِّ‫عهُ ِّمنَ ْال ِّعبَا ِّد َولَ ِّك ْن يَ ْقب‬ُ ‫ض ْال ِّع ْل َم ا ْنتِّزَ اعا يَ ْنت َِّز‬ُ ِّ‫َّللاَ َال يَ ْقب‬
َّ ‫إِّ َّن‬
‫ضلُّوا‬ َ ‫أ‬ ‫و‬ ‫وا‬
َ َ َ ٍ ِّ ِّ ُّْ ‫ل‬ ‫ض‬ َ ‫ف‬ ‫م‬ ْ
‫ل‬ ‫ع‬
ِّ ‫ْر‬ ‫ي‬َ ‫غ‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫َو‬ ‫ت‬ ْ
‫ف‬ َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ‫وا‬ ُ ‫ل‬ ‫ئ‬
ِّ ‫س‬
ُ َ ‫ف‬ ‫اال‬ ‫ه‬
َّ ُ ‫ج‬ ‫ا‬ ‫وس‬ ‫ء‬
ُ ُ‫ر‬
 Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi
Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak
menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang
bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga
mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan
lainnya)
 Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan
yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan
akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang
yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi
Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul
Asybal Az-Zuhairi)
 4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
 Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa
ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah
berfirman:
 ِّ‫ل ِّم َّم ِّن اتَّبَ َع ه ََواهُ ِّب َغي ِّْر هُدى ِّمنَ للا‬ َ َ ‫َو َم ْن أ‬
ُّ ‫ض‬
 Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan
tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah
Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
 5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan
RasulNya.
 Allah berfirman:
 َ َ‫سو ِّل ِّه َواتَّقُوا للاَ ِّإ َّن للا‬
َُ‫س ِّمي ٌع َع ِّلي ُم‬ ُ ‫َياأَيُّ َها الَّذِّينَ َءا َمنُوا الَ تُقَ ِّد ُموا َبيْنَ َيدَي ِّ للاِّ َو َر‬
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)
 Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab
terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan
kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan
konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-
perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan
mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan
agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata,
sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”.
(Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
 6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-
orang yang dia sesatkan.
 Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada
kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia
sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
 ‫ضالَلَ ٍُة َكانَ َعلَ ْي ِّه‬
َ ‫شيْئا َو َم ْن دَ َعا ِّإلَى‬ َ ‫ور ِّه ْم‬ ِّ ‫ص ذَلِّكَ ِّم ْن أ ُ ُج‬ ُ ُ‫ور َم ْن ت َ ِّب َعهُ الَ َي ْنق‬ ِّ ‫َم ْن دَ َعا ِّإلَى هُدى َكانَ لَهُ ِّمنَ اْأل َ ْج ِّر ِّمثْ ُل أ ُ ُج‬
‫شيْئا‬ ِّ َ ‫ص ذَلِّكَ ِّم ْن آث‬
َ ‫ام ِّه ْم‬ ُ ‫ِّمنَ اْ ِّإلثْ ِّم ِّمثْ ُل آث َ ِّام َم ْن ت َ ِّبعَهُ الَ َي ْنق‬
ُ
 Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana
pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa
sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka
sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)
 7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.
 Allah Ta’ala berfirman:
 ‫لأ‬ ُّ ‫ص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك‬ َ ‫س ْم َع َو ْال َب‬ َّ ‫ْس لَكَ ِّب ِّه ِّع ْل ٌم ِّإ َّن ال‬ َ ‫ف َما لَي‬ ُ ‫ْوالَِئِّكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسئُوال َُ َوالَ ت َ ْق‬
 Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir
rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa
Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan
yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
 8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum
dengan apa yang Allah turunkan.
 Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya
berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan
apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-
Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
ُ َ‫َو َمن لَّ ْم يَحْ ُكم ِّب َمآ أَنزَ َل للاُ فَأ ُ ْوالَِئِّك‬
 َ‫ه ُم ْالكَافِّ ُرون‬
 Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)
 9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
 Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah
Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang
Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah
Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
 10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
 Allah berfirman:
َ ‫َآء َوأَن تَقُولُوا‬
 ‫علَى للاِّ َما الَ تَ ْعل‬ ِّ ‫ُمونَ ََإِّنَّ َما يَأ ْ ُم ُر ُكم بِّالس‬
ِّ ‫ُّوء َو ْالفَحْ ش‬
 Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan
mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)
 Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah
agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara
berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.

 Tahapan Dalam Menuntut Ilmu

Fadhilatus Syaikh Zaid bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah ditanya pertanyaan berikut:

“Bagaimana metode yang benar dalam belajar agama secara bertahap? Dan bagaimana metode
yang benar dalam belajar ilmu aqidah, tafsir, fiqih dan hadits. Dari mana kita memulainya?”

Beliau lalu menjawab:

Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya sedang mencari metode yang benar untuk
mendapatkan ilmu agama. Namun yang benar, pertama-tama, seorang penuntut ilmu hendaknya
mencari dulu guru yang menguasai ilmu syar’i yang berjalan di atas manhaj salafus shalih.
Karena memilih guru dan memilih kitab yang tepat adalah metode yang benar untuk menuntut
ilmu syar’i.
Memilih mata pelajaran dalam ilmu syar’i baik aqidah, tafsir, hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah,
semuanya ini tidak diragukan lagi butuh tahapan dan butuh pula kebijaksanaan dalam berpindah
dari satu tahapan ke tahapan yang lain atau dari satu kitab ke kitab yang lain.

Ketika belajar aqidah dan ingin melalui tahapan yang benar, maka seorang penuntut ilmu
hendaknya memulai dengan belajar kitab Al Ushul Ats Tsalatsah milik Imam Mujaddid Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab (wafat 1206 H) rahimahullah. Dalam kitab ini terdapat ilmu yang
melimpah dalam permasalahan aqidah yang tidak akan membuat penuntut ilmu menyimpang
dari manhaj salafus shalih dalam memahami agama.

Setelah itu lanjutkan mempelajari Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus Syubhat dan Risalah Ushulil
Iman. Tulisan-tulisan ini merupakan panduan dalam bidang aqidah dan merupakan pelajaran
pokok dalam mempelajari ilmu-ilmu syariah yang lain. Ketika seseorang telah mempelajari
kitab-kitab ini, ia akan memiliki akidah yang benar dan berjalan di atas manhaj salafiy, serta
mendapatkan pencerahan darinya. Kemudian setelah mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya
berpindah ke tahapan yang lebih tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah menyelesaikan
kitab ini berpindah lagi ke kitab Al Aqidah Al Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke kitab Al Hamawiyyah
dan At Tadmuriyyah lalu Al Aqidah Ath Thahawiyyah.

Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang berkaitan dengan pembahasan
sunnah dan tahdzir terhadap bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah
milik Al Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik Al Khallal (wafat 311H), Kitab As
Sunnah milik Abdullah bin Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah milik Ibnu Bathah
Al’Akbari (wafat 387H), dan Kitab At Tauhid milik Ibnu Khuzaimah (wafat 311H) dan kitab-
kitab lain yang termasuk dalam bidang ini.

Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk para penuntut ilmu adalah kitab
Tafsir Ibni Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As Sa’di (1376H) rahimahullah.
Lebih khusus lagi, aku menyarankan Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad Nasib
Ar Rafi’i karena -sepengetahuan kami- beliau telah meringkas Tafsir Ibni Katsir hingga sejalan
dengan manhaj salaf. Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka pelajarilah Tafsir Al
Baghawi (516H) juga kitab-kitab tafsir selain yang disebutkan yang bila seorang penuntut ilmu
membacanya lalu menelaahnya ia bisa menyadari jika menemukan ta’wil-ta’wil yang tercela,
semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat 671H). Dan dapat juga mempelajari kitab tafsir lainnya
seperti Tafsir Ibnul Jauzi (wafat 597H), dan Tafsir Asy Syaukani (wafat 1250H).

Namun dengan catatan, dalam sebagian kitab-kitab tafsir yang bagus dan mengandung limpahan
ilmu tersebut, penulisnya –rahimahullah ‘alaihim– terkadang men-ta’wil ayat-ayat tentang sifat
Allah. Tapi sedikit sekali ta’wil yang disepakati oleh mereka yang men-ta’wil nash Qur’an dan
Sunnah dengan ta’wilan yang tercela. Penyebab terjadinya hal tersebut, -sepengatahuan kami-
ada tiga:

1. Pengaruh lingkungan tempat sang mufassir hidup


2. Pengaruh guru tempat sang mufassir menuntut ilmu
3. Pengaruh telaah kitab-kitab. Sebagian mufassir menelaah kitab-kitab yang memuat
berbagai pemikiran manusia, lalu ia terpengaruh

Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dari Al Arba’in An
Nawawiyah untuk dihafal dan dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di
dalamnya. Lalu hendaknya secara bertahap mempelajari Umdatul Ahkam kemudian Bulughul
Maram, juga dengan syarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu untuk mempelajari
Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal dan keilmuan
manusia itu senantiasa berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta keberlanjutannya
dalam menuntut ilmu tanpa terputus.

Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu sekedar membaca hadits-hadits saja
ia akan mendapat banyak pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka juga
mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang merinci permasalahan-permasalahan
furu’ atau juga kitab Zaadul Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini dengan adanya banyak
kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama terdahulu maupun ulama di masa ini. Di
antara syarah yang mudah dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama masa ini, Syaikh Al Allamah
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam kitab As Syarh Al Mumthi’. Kitab ini memang
benar-benar memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat bahasan-bahasan yang
bermanfaat dan penjelasan-penjelasan yang langka. Semoga Allah memberikan ganjaran kepada
beliau, menjadikan manfaat yang besar dari ilmu beliau, dan menambah keutamaan beliau.

Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan mempelajari Mukhtashar Sirah


Nabawiyyah karya Imam Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian setelah
itu mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam (wafat 183H). Dan di zaman ini,
walhamdulillah, kitab-kitab sirah sudah banyak yang diringkas.

Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti ilmu
ushul fiqih, qawa’id, musthalah, serta butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab dan qawaidul
fiqhiyyah. Sehingga barulah seseorang memiliki kemampuan untuk mengambil ilmu dari dalil-
dalil Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar.

Semua ini, tidak cukup hanya dengan membaca kitab secara otodidak, bahkan jika perlu
seseorang menempuh perjalanan untuk mencari guru ke daerah lain jika memang di daerahnya
tidak ada, sebagaimana yang dilakukan para salafus shalih dalam menuntut ilmu. Ini jika
memang mampu untuk menempuh perjalanan tersebut. Jika tidak mampu menempuh perjalanan
tersebut, maka bacalah kitab-kitab lalu kumpulkan hal-hal yang membingungkanmu, kemudian
tempuhlah sekedar perjalanan pendek (untuk menanyakanya kepada ulama, pent). Apalagi di
zaman ini berhubungan dengan ulama melalui telepon telah mencukupi kebutuhan tersebut tanpa
harus bersusah payah. Walhamdulillah.

Wallahu’alam.

Catatan:
Urutan dan jenis kitab dalam menuntut ilmu sebagaimana yang disebutkan di atas bukanlah suatu
yang saklek harus demikian. Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda-
beda sehingga sangat mungkin berbeda pula tahapan belajarnya. Dan akan sangat mungkin
berbeda jawabannya jika ditanyakan kepada ulama yang lain. Namun yang pasti, seorang
penuntut ilmu hendaknya belajar kepada seorang guru yang mapan ilmunya, sehingga sang guru
dapat mengarahkan tahapan belajar yang cocok baginya.

 Pengaruh Teman Bergaul


 Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah mengatur bagaimana adab-
adab serta batasan-batasan dalam pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Dampak buruk akan menimpa seseorang akibat bergaul dengan teman-teman
yang jelek, sebaliknya manfaat yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan
orang-orang yang baik.
 Pengaruh Teman Bagi Seseorang
 Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan kesesatan karena
pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun juga tidak sedikit orang yang mendapatkan
hidayah dan banyak kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
 Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang peran
dan dampak seorang teman dalam sabda beliau :
 ‫ َوإِّ َّما أَ ْن‬، ُ‫ع ِّم ْنه‬ ِّ ‫ام ُل ْال ِّمس‬
َ ‫ َوإِّ َّما أَ ْن ت َ ْبتَا‬، َ‫ْك إِّ َّما أَ ْن يُحْ ِّذيَك‬ ِّ ‫ْك َونَافِّخِّ ْال ِّك‬
ِّ ‫ فَ َح‬، ‫ير‬ ِّ ‫ام ِّل ْال ِّمس‬
ِّ ‫صا ِّلحِّ َوالس َّْو ِّء َك َح‬ ِّ ‫َمث َ ُل ْال َج ِّل‬
َّ ‫يس ال‬
‫ َو ِّإ َّما أ َ ْن ت َِّجدَ ِّريحا َخ ِّبيثَُة‬، َ‫ير ِّإ َّما أ َ ْن يُحْ ِّرقَ ثِّيَابَك‬ ِّ ‫ َونَافِّ ُخ ْال ِّك‬، ‫ط ِّيبَُة‬
َ ‫ت َِّجدَ ِّم ْنهُ ِّريحا‬
 “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak
wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak
wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau
tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan
apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau
asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
 Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman yang Jelek
 Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam Bab : Anjuran Untuk
Berteman dengan Orang Shalih dan Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi
rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman yang shalih
dengan seorang penjual minyak wangi dan teman yang jelek dengan seorang pandai besi.
Hadits ini juga menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang baik
yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan adab. Sekaligus juga terdapat
larangan bergaul dengan orang yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang yang
mempunyai sikap tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)
 Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini menunjukkan larangan
berteman dengan orang-orang yang dapat merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini
juga mendorong seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat memberikan
manfaat dalam agama dan dunia.”( Fathul Bari 4/324)
 Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik
 Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman yang baik akan
mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-duanya baik. Kita akan menjadi baik atau
minimal kita akan memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.
 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh
(yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan teman
yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang
akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi
hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding
dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.
Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih
lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan
mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan
memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka.
Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua
orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga
mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap.
Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan
perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam
kondisi sebaliknya.
 Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih ada manfaat lain yang
penting jika berteman dengan orang yang shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari
perbuatan-perbuatn buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga dari
maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, serta meninggalkan kejelekan.
Dia juga akan senantiasa menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan
memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu, baik ketika engkau
masih hidup maupun setelah engkau tiada. Dia juga akan membantu menghilangkan
kesulitanmu karena persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu. (Bahjatu
Quluubil Abrar, 148)
 Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
 Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-
duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang
dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman
dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat
jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat
mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya.
Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka,
dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran,
baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah
yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik
berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah
mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)
 Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman sebagai patokan terhadapa
baik dan buruknya agama seseorang. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul. Dalam sebuah
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 ‫المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬
 “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat
siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
 Jangan Sampai Menyesal di Akhirat
 Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama seseorang. Jangan sampai kita
menyesal pada hari kiamat nanti karena pengaruh teman yang jelek sehingga tergelincir
dari jalan kebenaran dan terjerumus dalam kemaksiatan. Renungkanlah firman Allah
berikut :
 ‫ضلَّنِّي‬
َ َ‫س ِّبيال يَا َو ْيلَتَى لَ ْيتَنِّي لَ ْم أَت َّ ِّخذْ فُ َالنا َخ ِّليال لَقَدْ أ‬
َ ‫سو ِّل‬
ُ ‫الر‬ َّ ‫ض ال‬
َّ ‫ظا ِّل ُم َعلَى يَدَ ْي ِّه يَقُو ُل يَا لَ ْيتَنِّي ات َّ َخذْتُ َم َع‬ ُّ ‫َويَ ْو َم يَ َع‬
ُ
‫ان َخذوال‬ ِّ ‫س‬َ ‫ْلن‬ ْ ُ‫ان‬ َ َّ َ ْ
ِّ ‫َع ِّن ال ِّذك ِّر بَ ْعدَ إِّذ َجاءنِّي َوكانَ الش ْيط ِّل‬ ْ
 “ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata :
“Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku.
Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah
menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu
tidak mau menolong manusia” (Al Furqan:27-29)
Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah menjadikan orang-orang
yang jelek sebagai teman-temannya di dunia sehingga di akhirat menyebabkan
penyesalan yang sudah tidak berguna lagi.
 Sifat Teman yang Baik
 Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :
 ‫ أن يكون عاقال حسن الخلق غير فاسق وال مبتدع وال‬: ‫ فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خصال‬،‫وفى جملُة‬
‫حريص على الدنيا‬
 “ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi sahabat memiliki lima sifat
berikut : orang yang berakal, memiliki akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli
bid’ah, dan bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul Qashidin
2/36).
 Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan
berteman dengan orang yang bodoh. Karena orang yang bodoh, dia ingin menolongmu
tapi justru dia malah mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal
adalah orang yang memamahai segala sesuatu sesuai dengan hakekatnya, baik dirinya
sendiri atau tatkala dia menjelaskan kepada orang ain. Teman yang baik juga harus
memiliki akhlak yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai oleh rasa
marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak ada kebaikan berteman
dengannya. Sedangkan orang yang fasik, dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah.
Orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan engkau
tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia
akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/
36-37)
 Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya
 Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya. Termasuk dalam hal ini
memantau pergaulan anak-anaknya. Betapa banyak anak yang sudah mendapat
pendidikan yang bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang buruk dari
teman-temannya. Hendaknya orangtua memperhatikan lingkungan dan pergaulan anak-
anaknya, karena setap orang tua adalah pemimpin bagikeluarganya, dan setiap pemimpin
kan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Allah Ta’ala juga
berfirman :
 ‫س ُك ْم َوأَ ْه ِّلي ُك ْم نَارا َوقُودُهَا النَّاس‬
َ ُ‫َّللاَ َما أ َ َم َر ُه ْم َُيَا أَيُّ َها الَّ ِّذينَ آ َمنُوا قُوا أ َ ْنف‬ ٌ ‫ارة ُ َعلَ ْي َها َم َالِئِّكَُةٌ ِّغ َال‬
ُ ‫ظ ِّشدَادٌ َال يَ ْع‬
َّ َ‫صون‬ َ ‫َو ْال ِّح َج‬
ُ
‫َويَ ْفعَلونَ َما يُؤْ َم ُرون‬
 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).
 Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita dari pengaruh teman-
teman yang buruk dan mengumpulkan kita bersama teman-teman yang baik. Wallahul
musta’an.
 Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

 Menebar Kasih Sayang


 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :
 ‫ح َما َء‬ ُّ ‫ِّإنَّ َما َي ْر َح ُم للاُ ِّم ْن ِّع َبا ِّد ِّه‬
َ ‫الر‬
 Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang penyayang (HR At-
Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih
Al-Jaami’ no 2377)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
 ‫ح ْم ُك ْم َم ْن‬ َ ‫ض يَ ْر‬ ِّ ‫ ا ِّْر َح ُموا َم ْن فِّي األ َ ْر‬، ُ‫الرحْ َمان‬ َّ ‫اح ُم ْونَ يَ ْر َح ُم ُه ُم‬
ِّ ‫الر‬َّ ‫س َما ِّء‬ َّ ‫فِّي ال‬
 “Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-Rahmaan (Allah yang
maha pengasih lagi maha penyayang-pen), rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian
akan dirahmati oleh Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-
Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-Shahihah no 925)
 Kata dalam ‫ َم ْن‬sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isim maushuul, yang
dalam kadiah ilmu ushuul fiqh memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk merahmati orang
yang sholeh saja… bahkan Nabi memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia…
dan bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun termasuk di dalamnya.
 Al-Munaawi rahimahullah berkata,
َّ ‫ش َوال‬
 ‫طي ُْر‬ ُ ْ‫وال ُم ْب َه ُم َو ْال َوح‬
ْ ‫اط ُق‬ ِّ َّ‫ق فَي ُْر َح ُم البَر َوالفَا ِّج ُر َوالن‬ ِّ ِّ‫َاف ال َخالَِئ‬
ِّ ‫صن‬ ْ َ ‫ص ْيغَ ُِّة ْالعُ ُم ْو ِّم يَ ْش َم ُل َج ِّم ْي َع أ‬
ِّ ِّ‫ب‬
 “Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks keumuman, mencakup
seluruh jenis makhluk, maka mencakup rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang
yang berbicara, orang yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)
 Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan oleh Allah bukan hanya
untuk merahmati manusia… bahkan kita diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!
َّ ‫ ” وال‬:‫ قال‬،‫ يا رسول للا! إني ألذبح الشاة فأرح ُمها‬: ‫َمكَ للاُ” َم َّرتَي ِّْنَِّقال رج ٌل‬
 ‫ َرح‬،‫شاة ِّإ ْن َر ِّح ْمت َ َها‬
 “Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih seekor kambing lantas aku
merahmatinya”, Rasulullah berkata, “Bahkan seekor kambing jika engkau
merahmatinya maka Allah akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua
kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh Syaikh Albani di as-
Shahihah no 26)
 Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat dengan mengasah
parangnya di hadapan kambing tersebut misalnya, atau menyembelihnya dengan parang
yang tidak tajam sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak sama
dengan seseorang yang menyembelih kambing namun dengan rasa rahmat kepada sang
kambing, sehingga ia berusaha menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya.
Orang yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang tersebut, bahkan
Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua kali.
 Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
 ‫ َر ِّح َمهُ للاُ يَ ْو َم ْال ِّقيَا َم ُِّة‬،‫حُة‬ َ ‫َم ْن َر ِّح َم َولَ ْو ذَبِّ ْي‬
 “Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan maka Allah akan
merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan
oleh Syaikh Albani)
 Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya dirahmati oleh Allah di
dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita
membutuhkan kasih sayang Allah.
 Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah hadits ini
 ‫سقَتْهُ فَغ‬
َ َ‫ت ُموقَ َها ف‬
ْ ‫ي ِّم ْن َبغَا َيا َبنِّي ِّإس َْراِئِّي َل فَنَزَ َع‬ ٌّ ‫ش ِّإذْ َرأَتْهُ َب ِّغ‬ ُ ‫ط‬ َ ‫يف ِّب َر ِّكيَّ ٍُة كَادَ َي ْقتُلُهُ ْال َع‬
ُ ‫فِّ َر لَ َها ِّب ِّه َُ َب ْي َن َما ك َْلبٌ ي ُِّط‬
 “Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan berputar-putar
mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba anjing tersebut dilihat oleh seorang
wanita pezina dari kaum bani Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya
(sepatunya untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi
minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut karena
amalannya itu” (HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
 Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat Allah dan kasih sayang Allah
maka bagaimana lagi jika kita merahmati sesama manusia ???
 Merahmati seorang fajir
 Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum bahkan mencakup seorang
pelaku kemaksiatan –sebagaimana perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita
kasihan tatkala melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan
kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-lebih lagi jika akhirnya
masuk ke dalam neraka jahannam. Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan
merahmatinya…??
 Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah kepadanya…??
 Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah sering kita menanti-nanti
ada yang mendakwahi kita tatkala itu..?? sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata
orang-orang sholeh malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa
mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!
 Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja yang saya dengar di
Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita
bahwa ia dahulunya adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan ibunya
selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan tetapi teguran sang ibu tidak
pernah ia hiraukan. Hingga bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya
menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun ia juga tidak bosan-
bosannya tidak menghiraukan teguran sang ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari
jum’at setelah ashar (yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana
pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa Allah sadarkanlah putraku
atau cabutlah nyawanya agar ia berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah
mengabulkan doa sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga akhirnya
iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang pemuda.
 Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang pemuda berkata, “Saya
sering lewat di depan mesjid tatkala adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat,
akan tetapi tidak seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-tahun
lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang menegurku..!!”
 Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga semestinya berusaha untuk
menebarkan rahmat dan kasih sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan
mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara yang selembut-lembutnya.
 Merahmati pelaku bid’ah
 Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan adalah pelaku bid’ah.
Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah di zaman kita –terutama di tanah air kita-
adalah orang-orang yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan
banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal dakwah sunnah, mereka
mewarisi bid’ah yang mereka lakukan secara turun temurun.
 Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang mengikuti hawa nafsu
mereka sehingga nekad menolak atau mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah
mereka. Akan tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita yang
terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak tahuan mereka. Bukankah
banyak diantara kita –bahkan sebagian besar kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?,
akan tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah sebagaimana kebanyakan
masyarakat yang terjerumus dalam praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan
hidayah dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat kepada kita sehingga
kemudian menjelaskan sunnah kepada kita…??.
 Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah dengan menyebarkan dakwah
sunnah kepada mereka.
 Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:
 َ َ‫ َوإِّ ْن ن‬،َ‫سالَ َمُة‬
‫ظ ْرنَا إِّلَ ْي ِّه ْم بِّ َعي ِّْن‬ َّ ‫ َونَ ْسأ َ ُل للاَ لَ ُه ُم ال‬،‫ظ ْرنَا إِّلَ ْي ِّه ْم بِّ َعي ِّْن ْالقَد ِّْر؛ فَن ََر َّق لَ ُه ْم‬
َ َ‫ إِّ ْن ن‬، ُ‫اك ْين‬
ِّ ‫س‬ َ ‫َوهؤالء ْال ُمخ َِّرفُ ْونَ َم‬
‫اط ْال ُم ْستَ ِّقي ِّْم‬ ِّ ‫الص َر‬ِّ ‫ى يَعُ ْود ُوا ِّإلَى‬ َّ ‫ش ْرعِّ؛ فَإِّنَّنَا يَ ِّجبُ أ َ ْن نُنَا ِّبذَ ُه ْم ِّب ْال ُح َّج ُِّة َحت‬ َّ ‫ال‬
 “Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita memandang mereka dengan
pandangan taqdir (bahwasanya semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan
mereka, dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi mereka. Jika kita memandang
mereka dengan pandangan syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah
agara mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)
 Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
 ‫حتَّى ي ُِّحبَّ أل َ ِّخ ْي ِّه َما ي ُِّحبُّ ِّلنَ ْف ِّس َِّ ِّه‬ َ ‫الَ يُؤْ ِّمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم‬
 “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai bagi saudaranya apa
yang dia sukai untuk dirinya”
 Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada Allah…??, maka
hendaknya kita juga senang jika saudara kita juga demikian dan meninggalkan
kemaksiatan yang dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam
kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita sesama muslim???
 Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah
 Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai dengan kehendak Allah,
bukan bergerak dengan kehendak hawa nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak
sebagaimana praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah marah
karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang menghembuskan kemarahannya
tersebut di balik topeng membela agama.. wallahul musta’aan.
 Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-musuhnya para pelaku
bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat luar biasa.
 Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan membantah berbagai
macam model bid’ah. Oleh karenanya kita dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah
bantahan terhadap bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan aqidah.
Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mereka berfatwa akan
kafirnya Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk
membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah pernah berfikir untuk
membalas dendam jika ia mendapatkan kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut
ini:
 Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn Qolawuun
 Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-Nihaayah bercerita
tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
 Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari kalangan para ulama
bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar
membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu
Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat datanglah Al-Jaasyinkir
kemudian menggulingkan dan merebut kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi
tersebut berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan membai’at Al-
Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya
berusaha merebut kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para petinggi
tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini membuat sang sulthoon marah dan
mengetahui bahwasanya mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun
mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu Taimiyyah dengan
pernuh penghormatan di hadapan para petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk
membunuh Ibnu Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas dari
kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa para petinggi tersebut untuk
membunuh Ibnu Taimiyyah. Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang
sangat besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya untuk membunuh
para petinggi tersebut.
 Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon, dan aku tahu
bahwasanya ia menyimpan dendam dan kemarahan yang sangat dalam terhadap para
ptinggi tersebut, karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-Jasyinkir…,
maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para petinggi tersebut, dan menyebutkan
jasa mereka, dan seandainya mereka pergi maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan
petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata, “Mereka (para ulama dan
petinggi) tersebut telah menyakitimu dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah memafkannya,
dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku
tidak akan membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang sulthoon. (Lihat
kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95 (tahqiq At-Turki) dan juga Al-‘Uquud
Ad-Durriyyah hal 221)
 Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia
 Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih
mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu
memafkan dan berbuat ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu Taimiyyah
berkata,
ُ ‫ص َحا ِّبي ِّمثْلُهُ أل َ ْع ِّدا ِِّئ ِّه َو ُخ‬
 ‫ص ْو ِّم ِّه‬ ْ َ ‫َو ِّددْتُ أ َ ِّني أل‬
 “Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku sebagaimana sikap Ibnu
Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau”
 Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada seorangpun dari musuh-
musuhnya, bahkan beliau mendoakan mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member
kabar gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling keras menentang
dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun membentak aku dan mengingkari
sikapku dan mengucapkan inaa lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi
menuju rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan turut berduka cita
dan menghibur mereka dan berkata : “Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi
kalian. Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka aku akan
membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka merekapun gembira dan mendoakan
Ibnu Taimiyyah dan mereka menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah”
(Lihat perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin 3/139-140)
 Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh besarnya yang sangat
menentang dan paling menyakiti beliau tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera
menghibur keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah membentak Ibnul
Qoyyim yang bergembira dengan kematian musuhnya tersebut.
 Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
 Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi yang membolehkan
beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang
pemikirannya telah dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi Ar-
Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah adalah seorang
zindiiq bahkan terkadang ia mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama
pengikutnya telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-orang
semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan tersebut maka Al-Bakry pun kabur
karena ketakutan. Akhirnya datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu
Taimiyyah meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat
perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak mau membela diriku”.
Akan tetapi mereka tetap ngotot agar menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu
Taimiyyah berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya, atau
merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika hak tersebut adalah hak saya maka
Al-Bakriy telah saya maafkan, dan jika hak menghukum adalah hak kalian maka jika
kalian tidak mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan silahkan
kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika hak adalah milik Allah maka
Allah akan mengambil hakNya sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
 Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka Al-Bakriy pun lari
dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga
akhirnya Ibnu Taimiyyah member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan
akhirnya iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-Nihaayah
14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail
‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)
 Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat mulia dari Syaikul Islam
Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan baginya untuk membalas dendam justru ia
malah memaafkan musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah
dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada yang berkata,
َ ‫حرضنَا َعلَ ْي ِّه فَلَ ْم نَ ْقد ِّْر‬
 ‫ وقَد‬،‫علَ ْي ِّه‬ َّ ،َ‫ َو َحا َج َج َعنَّاَِّ َما َرأ َ ْينَا ِّمثْ َل اب ِّْن تَي ِّْميَُّة‬،‫صفَ َح َعنَّا‬ َ َ‫علَينَا ف‬
َ ‫َر‬
 “Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah, kami berusaha untuk
mengganggunya namun kami tidak mampu untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu
untuk menjatuhkan kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini
merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/95
tahqiq At-Turki)
 Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan bukan dengan hawa
nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa
dilakukan kecuali oleh seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan
janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin dan sabar) maka
seseorang akan meraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang telah diraih oleh
Ibnu Taimiyyah. Beliu berkata dalam kalimat emasnya;
 ‫ْن‬ ِّ ‫اإل َما َمُةُ فِّي‬
ِّ ‫الدي‬ ِّ ‫صب ِّْر َو ْاليَ ِّقي ِّْن تُنَا ُل‬ َّ ‫بِّال‬
 “Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih kepimimpinan dalam agama” (Al-
Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-Fataawaa 1/145)
 Allah telah berfirman
 ‫صبَ ُروا َوكَانُوا بِّآيَاتِّن‬ َ ‫ََو َجعَ ْلنَا ِّم ْن ُه ْم أَِئِّ َّمُة َي ْهد ُونَ بِّأ َ ْم ِّرنَا َل َّما‬
َ َ‫ا يُوقِّنُون‬
 Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami
(As-Sajdah ayat 24)
 Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara yang sangat menyedihkan
tatkala kita melihat diri kita atau sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang
kita kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh hidupnya ia korbankan
demi menegakkan aqidah dan manhaj salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat
tatkala melihat sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain diantara ahlus
sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau…
bahkan mengkafirkan beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap
Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus sunnah. Ya Allah Engkau
Maha Tahu bahwasanya kami para dai jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka
ampunilah kami Yaa Gofuur Yaa Rohiim.
 Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari praktek hajr terhadap pelaku
maksiat ataupun kepada ahlul bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang
antara maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya
yang lalu. Allahul Musta’aan

 Tawakkal
 Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk
mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia
maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa
kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari
arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka
Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
 Makna Bertawakkal Kepada Allah
 Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna Tawakkal, diantaranya
adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan
kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul Qadir, 5/311).
Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa Tawakkal bermakna percaya
sepenuhnya kepada Allah Ta’ala. Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti
memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al Bashri
pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”,
Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan
sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak
bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar
Al Asqolani mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab
setelah sebab disiapkan.”
 Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan
 Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan
seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas
serta memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi
keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai pelindungnya atau yang
memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Allah sebagai
pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa
mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
 Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori telah mencatat dalam
kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika Nabi
Ibrahim dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau mengatakan,
“HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah
adalah sebaik-baik pelindung). Perkataan ini pulalah yang diungkapkan oleh Rosululloh
ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada beliau, Sesungguhnya orang-
orang musyrik telah berencana untuk memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap
mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir. Lihat Fathul Bari VIII/77)
 Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia
dilemparkan ke tengah bara api adalah: ‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan
Allah sebaik-baik pelindung’.” (HR. Bukhori)
 Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
 Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, seandainya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki
sebagaimana burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-
Hakim)
 Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang bertawakkal
kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak,
karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah mati.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Hadist ini merupakan tonggak tawakkal. Tawakkal kepada
Allah itulah faktor terbesar dalam mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakkal
kepadaNya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah berfirman
yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu
mencukupinya dari segala sesuatu yang membuat sempit manusia.”
 Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha
 Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah memerintahkan hamba-
hambaNya untuk berusaha sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota
badan dan bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada Allah Ta’ala.
 Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang bertawakkal kepada Allah
itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan.
Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari
langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang itu tentang hakikat
Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi
rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore
hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian,
pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha Esa
sebagai tempat bergantung.
 Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah
memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam
hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya
justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud
hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian,
kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di
TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta
dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)
 Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau
di masjid seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang
sendiri”. Maka beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu.
Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah
menjadikan rizkiku dalam bayang-bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan
beliau juga bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada
burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari
dalam keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya Imam Ahmad
berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan mengelola pohon kurmanya.
Dan mereka itulah teladan kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)
 Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa pengaruh tawakkal itu tampak
dalam gerak dan usaha seseorang ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam
Abul Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya
di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal
yang ada di dalam hati setelah seseorang meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah.
Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya. Dan jika terdapat
kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya.” (Murqatul Mafatih, 5/157)
 Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan
usaha adalah sebuah hadits. Seseorang berkata kepada Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa
sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi bersabda, “Ikatlah
kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan Al Albani
dalam Shohih Jami’ush Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa
Amr bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rosululloh!!
Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku berTawakkal kepada Allah, ataukah
aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu
bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa Tawakkal, no. 633,
1/368)
 Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap muslim bersungguh-
sungguh dan berusaha untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh
menyandarkan diri pada kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini
bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.

 Jangan Marah…

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang lelaki berkata kepada Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Berilah saya nasihat.” Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-ulang permintaannya dan beliau tetap
menjawab, “Jangan marah.” (HR. Bukhari). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan, “Makna
jangan marah yaitu janganlah kamu tumpahkan kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju
kepada rasa marah itu sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia, yang tidak
mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah menasihatkan, “Apabila salah seorang dari
kalian marah dalam kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga
hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad, Shohih)

Dahulu ada juga seorang lelaki yang datang menemui Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
dan mengatakan, “Wahai Rosululloh, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa
mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka beliau shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jangan tumpahkan kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR.
Thobrani, Shohih)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga mengatakan, “Bukanlah maksud
beliau adalah melarang memiliki rasa marah. Karena rasa marah itu bagian dari tabi’at manusia
yang pasti ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu ketika muncul rasa marah. Supaya
kemarahanmu itu tidak menimbulkan dampak yang tidak baik. Sesungguhnya kemarahan adalah
bara api yang dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk hati bani Adam. Oleh sebab itulah anda
bisa melihat kalau orang sedang marah maka kedua matanya pun menjadi merah dan urat
lehernya menonjol dan menegang. Bahkan terkadang rambutnya ikut rontok dan berjatuhan
akibat luapan marah. Dan berbagai hal lain yang tidak terpuji timbul di belakangnya. Sehingga
terkadang pelakunya merasa sangat menyesal atas perbuatan yang telah dia lakukan.”

Tips Menanggulangi Kemarahan

Syaikh Wahiid Baali hafizhohulloh menyebutkan beberapa tips untuk menanggulangi marah.
Diantaranya ialah:

1. Membaca ta’awudz yaitu, “A’udzubillahi minasy syaithanir rajiim”.


2. Mengingat besarnya pahala orang yang bisa menahan luapan marahnya.
3. Mengambil sikap diam, tidak berbicara.
4. Duduk atau berbaring.
5. Memikirkan betapa jelek penampilannya apabila sedang dalam keadaan marah.
6. Mengingat agungnya balasan bagi orang yang mau memaafkan kesalahan orang yang
bodoh.
7. Meninggalkan berbagai bentuk celaan, makian, tuduhan, laknat dan cercaan karena itu
semua termasuk perangai orang-orang bodoh.

Syaikh As Sa’di rohimahulloh mengatakan, “Sebaik-baik orang ialah yang keinginannya tunduk
mengikuti ajaran Rasul shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang menjadikan murka dan
pembelaannya dilakukan demi mempertahankan kebenaran dari rongrongan kebatilan.
Sedangkan sejelek-jelek orang ialah yang suka melampiaskan hawa nafsu dan kemarahannya.
Laa haula wa laa quwwata illa billaah” (lihat Durrah Salafiyah).

 Bahaya Lisan
 Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya
dengan menyampaikan yang haq ataupun malah terjerumus ke dalam dosa dan maksiat.
 Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan berupa gunjingan
(ghibah), mengadu domba (namimah) atau maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu
wa Ta’ala melarang hal tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang amat
kotor dan menjijikkan. Alloh berfirman yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik dengannya.” (Al-
Hujurat: 12)
 Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan makna ghibah (menggunjing) ini.
Beliau bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan
Rosul-Nya yang lebih mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau mengabarkan tentang
saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku
katakan itu memang terdapat pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu
katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau telah menggunjingnya (melakukan
ghibah) dan jika ia tidak terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya.” (HR.
Muslim)
 Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri seorang muslim, baik
tentang agama, kekayaan, akhlak, atau bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal
itu disebutkan, dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak tertentu dari
orang yang dipergunjingkan dengan maksud mengolok-ngolok. Banyak orang
meremehkan masalah ghibah, padahal dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang
keji dan kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu ada tujuh
puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama dengan seorang laki-laki yang
menyetubuhi ibunya (sendiri), dan riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang
laki-laki atas kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
 Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang menggunjing orang lain, untuk
mencegah kemunkaran dan membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana dalam sabdanya,
“Barangsiapa membela (ghibah atas) kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat
Alloh akan menghindarkan api Neraka dari wajahnya.” (HR. Ahmad)
 Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah). Mengadukan ucapan
seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan di antara keduanya adalah
salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api kebencian
dan permusuhan antar manusia. Alloh mencela pelaku perbuatan tersebut dalam
firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,
yang banyak mencela, yang kesana kemari menghambur fitnah.” (Al-Qalam: 10-11).
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga al-qattat
(tukang adu domba).” (HR. Bukhari). Ibnu Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang
yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia
membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
(An-Nihayah 4/11)
 Oleh karena itu ada beberapa hal penting perlu kita perhatikan dalam menjaga lisan.
Pertama, hendaknya pembicaraan kita selalu diarahkan ke dalam kebaikan. Alloh
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan
mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah
atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa: 114)
 Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri kita maupun orang lain
yang akan mendengarkan. Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak
berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
 Ketiga, tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu
berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah menjadi suatu
dosa bagi seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah ia dengar.”
(HR. Muslim)
 Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-pun kita berada di
pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda. Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman
surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan
(penjamin) istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta
sekalipun bercanda.” (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani)
 Kelima, Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah rodhiallohu ‘anha
berkata, “Sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu
hal, dan ada orang yang mau menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya” (HR.
Bukhari-Muslim). Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga diri kita,
sehingga diri kita senantiasa berada dalam kebaikan. Wallohu’alam.

 Hakikat Sabar (1)

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan
terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi berbagai
macam cobaan. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana
kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di
dalam tubuh.” (Al Fawa’id, hal. 95)

Pengertian Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah meneguhkan
diri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada
Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah….”
(Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Macam-Macam Sabar

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar itu terbagi menjadi
tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah


2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, berupa berbagai hal yang
menyakitkan dan gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari
orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)

Sebab Meraih Kemuliaan

Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab


untuk menggapai berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab terbesar untuk
bisa meraih itu semua adalah iman dan amal shalih.

Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian dari kedua perkara ini. Di
antaranya adalah kesabaran. Sabar adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan
menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah ta’ala, “Dan
mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan shalat dalam menangani semua
urusan kalian. Begitu pula sabar menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga.
Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan atas kalian berkat kesabaran
kalian.” (QS. Ar Ra’d [13] : 24).

Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan
tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).

Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab untuk mencapai kedudukan
tertinggi yaitu kepemimpinan dalam hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami
menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan
titah Kami, karena mereka mau bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]:
24) (Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)

Sabar Dalam Ketaatan

Sabar Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang harus dihadapi oleh seseorang
yang berusaha menuntut ilmu. Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan
harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus bersabar dalam upaya menimba
ilmu dengan cara menghadiri pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan serta
mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.

Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah mengatakan, “Ilmu itu tidak akan
didapatkan dengan banyak mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih Imam
Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan dari orang-orang yang terdekat darinya,
apalagi orang lain yang hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut ilmu.
Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang mendapatkan anugerah ketegaran dari
Allah.” (Taisirul wushul, hal. 12-13)

Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu

Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal dengan ilmunya juga harus
bersabar dalam menghadapi gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah niscaya akan ada ahlul bida’
wal ahwaa’ yang menghalangi di hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak
kenal agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.

Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan terkadang berbentuk gangguan fisik,
bahkan terkadang dengan kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana orang
yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang yang sedang menggenggam bara api,
maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong” (Taisirul
wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah

Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah mengajak kepada agama Allah
harus bersabar menghadapi gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat itu
dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul. Waraqah bin Naufal mengatakan kepada
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan
membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti akan disakiti orang.”

Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i pengajak kesyirikan tegak di
hadapannya, begitu pula para pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka
dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran As Sunnah maka akan
ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan
dan berbagai kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat, kefasikan dan dosa
besar serta orang-orang yang turut bergabung dengan kelompok mereka.

Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya karena dia telah menghalangi
mereka dari kesyirikan, bid’ah dan kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul
wushul, hal. 13-14)

Sabar dan Kemenangan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ta’ala berfirman
kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun
bersabar menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga disakiti sampai tibalah
pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]: 34).

Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat pula datangnya kemenangan. Dan
bukanlah pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang (da’i) masih hidup saja
sehingga dia bisa menyaksikan buah dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud
pertolongan itu terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika Allah menundukkan
hati-hati umat manusia sehingga menerima dakwahnya serta berpegang teguh dengannya.
Sesungguhnya hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini meskipun dia sudah
mati.

Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan dakwahnya dan tetap konsisten
dalam menjalankannya. Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang sedang
didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam menghadapi rintangan dan gangguan
yang menghalangi dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihim.
Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada seorang Rasul pun yang datang
sebelum mereka melainkan mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau orang
gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan
demikianlah Kami menjadikan bagi setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-
orang pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i tabah dan bersabar
dalam menghadapi itu semua…” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam

Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang tetap berpegang teguh
dengan Islam meskipun harus merasakan siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas
padang pasir yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah bagaimana siksaan
tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya
Sumayyah disiksa dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah pertama yang
syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122-123)

Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk
meninggalkan Islam sampai-sampai ibunya bersumpah mogok makan dan minum bahkan tidak
mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash
mengatakan, “Wahai Ibu, demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu
persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 133) Inilah akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh
menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan kehidupan.

Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik yang berupa
kehilangan harta, kehilangan jiwa dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan daripada cobaan yang dialami oleh
salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.

Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-bukan, bahkan ada juga yang
dikucilkan. Ada yang tertimpa kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di
dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah menggoyahkan pilar keimanan mereka.

Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan
dalam keadaan sebagai seorang muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).

Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan
Allah berikan jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak
disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).

Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya datangnya kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan pasti akan ada kemudahan.” (HR.
Abdu bin Humaid di dalam Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al Haakim
dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)

Sabar Menjauhi Maksiat

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Bersabar menahan diri dari
kemaksiatan kepada Allah, sehingga dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia,
alam kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya. Dan tidaklah umat-umat
terdahulu binasa kecuali karena disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu dikabarkan
oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam lautan, ada pula yang binasa
karena disambar petir, ada pula yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga
di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut bumi, dan ada juga di antara
mereka yang di rubah bentuk fisiknya (dikutuk).”

Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh memberikan isyarat terhadap sebuah ayat,
“Maka masing-masing (mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada
yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara
keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya
mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al ‘Ankabuut [29] :
40).

“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu maksiat kepada Allah tabaaraka
wa ta’ala. Karena hak Allah adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan
kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang akan menimbulkan kemurkaan,
kemarahan serta mengakibatkan turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam
kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan maksiat kepada Allah. Janganlah
mendekatinya.

Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya hendaklah dia segera bertaubat
kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di
hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-kejelekannya dengan berbuat kebaikan-
kebaikan. Sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan
akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud [11] : 114). Dan juga sebagaimana
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR. Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam
Misykatul Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar Menerima Takdir

Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-
macam kesabaran adalah Bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-
Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini,
begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya.
Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang
terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan
menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)

Sabar dan Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah,
ash-shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang
keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati
kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat
penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.

Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau
berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam
bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika
menghadapinya.

Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan
syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian
oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa
melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir.

Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah sebagaimana tercermin dalam firman
Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi
riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda “Allah ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka
menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”

Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan
adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang ada dengan
diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab
itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat,
sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang terasa
menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau
lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan
tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah.

Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang
tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau
membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala
tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan
penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan
hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si
polan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang diikat
lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran
yang dipakai dalam pengertian syar’i.

Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh
kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak
mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan
semacamnya. Maka menurut istilah syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh,
menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan dengan
cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata sabar disebutkan dalam 90 tempat
lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang
tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk menjauhi
maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak
sekali bagian keimanan”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.

Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa
sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu
juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi
dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus
dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa
menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)

Hakikat Sabar (2)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah

Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Hukum merasa ridha dengan
adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang
kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan kesimpulan yang pas untuk itu
adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar terkandung meninggalkan
sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.

Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa
ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha dan
puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia
merasa ridha terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridha
terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus
ada).

Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu
sendiri. Maka hukum merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba
untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa
ridha dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha
dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunnahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan,
“Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni merasa puas terhadap
ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”. Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi
(perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393)

Sabar dan Syukur

Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang
beriman, semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan kecuali pada diri seorang
mukmin. Apabila dia tertimpa kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila
dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik baginya.” (HR. Muslim)

Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam menghadapi takdir Allah yang berupa
kesenangan dan kesulitan terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak
beriman.

Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu baik baginya. Apabila dia tertimpa
kesulitan maka dia bersabar dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta
mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan demikian dia memperoleh pahala orang-
orang yang sabar. Maka ini baik baginya.

Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah maupun duniawiyah maka dia
bersyukur yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja
mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus dilengkapi dengan melaksanakan
berbagai ketaatan kepada Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika
mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa senang dan nikmat diniyah dengan
bersyukur. Sehingga inipun baik bagi dirinya.

Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk sekali, wal ‘iyaadzu billaah.
Apabila tertimpa kesulitan mereka tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes
takdir, mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak bersyukur kepada Allah. Maka
kesenangan yang dialami oleh orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah
menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap makanan atau menikmati minuman
kecuali dia pasti mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang mukmin tidak dinilai
dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.

Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang artinya, “Katakanlah: Siapakah yang
mengharamkan perhiasan Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-
hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam
kehidupan dunia yang akan diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf
[7]: 32).

Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum beriman saja pada hari kiamat nanti.
Adapun orang-orang yang tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka. Mereka
memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada hari kiamat nanti mereka akan disiksa
karenanya. Sehingga bagi orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama
buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin, I/107-108)

Hikmah di Balik Musibah

Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman
atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan
nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau
mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak
(1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220)

Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat. Karena ia menjadi
sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya
justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di
hadapan Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan
berbagai maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh
Allah sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling
agung. Maka seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan
makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi
terjerumus dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum
tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut
pandang musibah yang menimpa agamanya.”

“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau
bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan
padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya.
Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi
musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan
sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini
sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ‘azza wa
jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-
Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran
oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus karenanya maka
muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).

Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan
memperoleh pujian-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari
Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqarah [2]: 156) Ampunan dari Allah
atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa
yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan memperoleh balasan-
balasan tersebut” Selesai perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid, hal.
353-354)

Doa Apabila Tertimpa Musibah

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii mushiibatii wa ahklif lii khairan
minhaa

Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ya
Allah, berikanlah ganjaran pahala atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu
yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal. 96-97)

Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit atau tertimpa suatu bencana
yang berakibat buruk bagi diri atau hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa
bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab, “Allah ‘azza wa jalla
menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan
kelapangan. Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa menaikkan derajat
mereka serta meninggikan sebutan mereka dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan
mereka. Yang demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush
shalatu was salaam, dan juga para hamba Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat cobaannya adalah para
Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”

Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh perbuatan-perbuatan maksiat dan
dosa-dosa (yang mereka lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu merupakan
hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah Yang Mahasuci yang
artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan
tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.” (QS. Asy Syura [42]:
30).
Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah fenomena taqshir/meremehkan dan
tidak menunaikan kewajiban yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa
dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa yang diperbuatnya serta
kekurangannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah.

Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk golongan hamba Allah yang
shalih, entah berupa penyakit tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal ini
termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para Nabi dan Rasul dalam rangka
mengangkat derajat serta membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi contoh
untuk orang lain dalam hal kesabaran dan keyakinannya untuk berharap pahala. Sehingga hasil
yang ingin diraih dengan sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan
pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah menimpa para Nabi dan
sebagian orang yang baik/shalih.

Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-kesalahan, sebagaimana
tercantum dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan kejelekan
pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada sebuah kesusahan, kekalutan,
keletihan, penyakit, kesedihan maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan
Allah pasti menghapuskan sebagian dosa kesalahan-kesalahannnya, bahkan sampai duri yang
menusuk bagian tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa
yang diinginkan baik oleh Allah maka pasti Dia timpakan musibah kepadanya.”

Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di segerakan disebabkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu
sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi
bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan
hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-
Nya maka Allah menahan hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari kiamat.”
(HR. Tirmidzi, dinilainya hasan). (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah juz 4,
diterjemahkan dari website beliau)

Marah Saat Tertimpa Musibah ?

Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa musibah ?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi
musibah terbagi dalam empat tingkatan :

Tingkatan Pertama: Marah

Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:

Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati kepada Allah. Sehingga dia pun
menjadi marah terhadap apa yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan
terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia
tertimpa kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian maka dia pun berbalik
ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).

Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan. Seperti dengan mendoakan


kecelakaan dan kebinasaan atau ucapan semacamnya, ini juga haram.

Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga terekspresikan dengan tindakan anggota
badan. Seperti dengan menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti rambut
dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram hukumnya dan meniadakan sifat sabar
yang wajib ada.

Tingkatan Kedua: Bersabar

Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam syairnya,

Sabar itu memang seperti namanya

Pahit kalau baru dirasa

Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu

Jauh lebih manis daripada madu

Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat akan tetapi dia tetap bisa tabah
dalam menanggungnya. Dia merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih bisa
menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau tidaknya musibah itu masih terasa berbeda
baginya. Dan hal ini adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala telah memerintahkan untuk
bersabar. Allah berfirman yang artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]: 46).

Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha

Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang menimpanya. Sehingga ada dan
tidaknya musibah adalah sama saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban yang
sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib
menurut pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya cukup
jelas. Yaitu karena dalam tingkatan ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal
keridhaan terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya terjadinya musibah itu masih
dirasakan sebagai sesuatu yang sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.

Tingkatan Keempat: Bersyukur

Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur kepada Allah atas musibah yang
menimpanya. Dia sadar bahwa pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya
dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber penambahan amal kebaikannya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa seorang
muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan sebab musibah itu, bahkan sekalipun
duri yang menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)). (Diterjemahkan dengan
penyesuaian redaksional dari Fatawa Arkanil Islam, hal. 126-127)

Balasan Bagi Orang yang Sabar

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa
takut, kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar
gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah
mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali
kepada-Nya”. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan ucapan shalawat (pujian)
dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al
Baqarah [2]: 155-157).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat
ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan
darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan
antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang
sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang
yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76)

Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang
yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar [39]: 10).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya,”Ayat
ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang
terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-
Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan,
artinya tanpa batasan tertentu maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu
tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan
agungnya kedudukan sabar di sisi Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong
segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721)

Surga Bagi Orang yang Sabar

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil
mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan
atas kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu. Maka alangkah baiknya
tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-24).
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

 Tebarkan Salam

Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk selalu meningkatkan kecintaan
terhadap saudara semuslim, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkan
hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka syariat Islam memerintahkan untuk
menyebarkan salam.

Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang sangat besar dan penting. Namun
begitu, sekarang ini salam sering sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang lain,
entah itu dengan good morning, selamat pagi, selamat siang, salam sejahtera atau sejenisnya.
Tentunya seorang muslim tidak akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini
kemudian diganti dengan ucapan-ucapan lain. Allah berfirman, “Maukah kamu mengambil
sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah: 61). Dan sungguh apa
yang ditetapkan Allah untuk manusia, itulah yang terbaik.

Perintah dari Allah

Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini)
hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada
dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.” (Qs. An
Nur: 61)

Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi Allah, maksudnya Allah telah
mensyari’atkan salam bagi kalian dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan
yang terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang diberi berkat lagi baik, maka
hal tersebut karena salam termasuk kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka
jiwa akan menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.” (Lihat Taisir Karimir Rohman)

Perintah dari Nabi

Baro’ bin Azib berkata, “Rasulullah melarang dan memerintahkan kami dalam tujuh perkara:
Kami diperintah untuk mengiringi jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan
menolong orang yang dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab salam dan mendoakan
orang yang bersin…” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Perintah
menjawab salam maksudnya yaitu menyebarkan salam di antara manusia agar mereka
menghidupkan syariatnya.” (Lihat Fathul Bari 11/23)

Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk
surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Maukah
kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling
mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Dari Abdulloh bin Salam,
Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam di antara kalian, berilah
makan sambunglah tali silaturahmi dan shalatlah ketika manusia tidur malam, niscaya kalian
akan masuk surga dengan selamat.” (Shohih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Etika Salam

Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi seraya mengucapkan
Assalamu ‘alaikum. Maka nabi menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi berkata, “Dia
mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain mengucapkan Assalamu ‘alaikum
warahmatullah. Maka Nabi menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala baginya.” Kemudian
ada yang datang lagi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Nabi pun menjawabnya dan berkata, “Dia mendapat tiga puluh pahala.” (Shohih. Riwayat Abu
dawud, Tirmidzi dan Ahmad)

Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu, berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi
wa barakatuh, kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan yang terakhir
Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih baik, atau minimal serupa
dengan yang mengucapkan. Allah berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan
dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang berkendaraan memberi salam
kepada yang berjalan. Yang berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang banyak.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih tua.”
Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang yang meninggalkan tatacara salam
seperti pada hadits ini tidaklah mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang
utama.

Salam Kepada Orang yang Dikenal dan Tidak Dikenal

Termasuk mulianya syariat ini ialah diperintahkannya kaum muslimin untuk member salam baik
pada orang yang dikenal maupun orang yang belum dikenal. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat apabila salam hanya ditujukan kepada orang
yang telah dikenal.” (Shohih. Riwayat Ahmad dan Thobroni)

(Disadur dari majalah Al Furqon edisi 9 th III)


Se Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka
menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus
Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama
yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah
beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di
alam semesta. Amma ba’du.

Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku
dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai
kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi
yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan
membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ وأن مع العسر يسرا‬، ‫ وأن الفرج مع الكرب‬، ‫واعلم أن النصر مع الصبر‬

“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar
beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits
riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah
hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa


kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan
tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.

Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-
shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang
keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:

“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk
salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan
dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan
sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa
ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi
larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu
bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan
ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin
Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala
berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji
(manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah
menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya.
Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab
itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat
taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang
terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau
lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan
tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak
muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya
musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah
hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau
juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya
si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang
diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya
terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah
dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-
nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya:
“Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab
orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia
kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa
sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu
juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi
dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus
dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa
menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

‫ش ْيءٍ َع ِّلي ٌم‬ َّ ‫يَ ْه ِّد قَ ْلبَهُ َو‬‫اّلل‬


َ ‫َّللاُ بِّ ُك ِّل‬ َّ ‫صيبَ ٍُة ِّإ َّال بِّإِّذْ ِّن‬
ِّ َّ ِّ‫َّللاِّ َو َمن يُؤْ ِّمن ب‬ ِّ ‫اب ِّمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya.
Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah
subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu
di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa
terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana
tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah
ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya
sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin
terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat
hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.”
(Al Jadiid, hal. 313).

Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka
dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:

“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini
merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan
dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman
kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya
serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’
yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa
marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk
menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-
Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal.
391-392).

Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:

1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah,
sebagaimana halnya kebaikan.
2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih
hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.

(Al Jadiid, hal. 314).

Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:

“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh
karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya
wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar
terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa
ridho terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho
dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia
merasa ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho
terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus
ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu
sendiri. Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba
untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa
ridho dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho
dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan,
‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni merasa puas terhadap
ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi
(perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).
Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan

Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman
atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan
nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau
mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak
(1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).

Syaikhul Islam mengatakan:

“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-
dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah
itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta
memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung
lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab
penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh
musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali
apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam
kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu
yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang
menimpa agamanya.

Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau
bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan
padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya.
Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi
musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan
sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini
sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb
‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena
perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia
kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus
karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia
memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-
Nya.

َ‫صلَ َواتٌ ِّمن َّر ِّب ِّه ْم َو َرحْ َمُةٌ َوأُولَـئِّكَ ُه ُم ْال ُم ْهتَدُون‬
َ ‫أُولَـئِّكَ َعلَ ْي ِّه ْم‬

“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan
memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan
terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan
memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat
Fathul Majiid, hal. 353-354).

Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:

1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai
dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak
menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama
ini senantiasa kita rasakan.
5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang
telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.

(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).

Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman,

َ َ‫} الَّذِّينَ ِّإذَآ أ‬155{ َ‫صا ِّب ِّرين‬


‫صا َبتْ ُهم‬ ٍ ‫ف َو ْال ُجوعِّ َو َن ْق‬
ِّ ‫ص ِّمنَ اْأل َ ْم َوا ِّل َواْألَنفُ ِّس َوالثَّ َم َرا‬
َّ ‫ت َو َبش ِِّّر ال‬ ِّ ‫ش ْيءٍ ِّمنَ ْالخ َْو‬ َ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِّب‬
ْ ُ ٌ
َ‫صل َواتُ َُ ِّمن َّربِّ ِّه ْم َو َرحْ َمُة َوأ ْوآلِئِّكَ ُه ُم ال ُم ْهتَدُون‬ َ َ ُ
َ ‫} أ ْوآلِئِّكَ َعل ْي ِّه ْم‬156{ َ‫اجعُون‬ َ ُ ٌ
ِّ ‫صيبَُة قَالوا إِّنَّا هللِّ َوإِّنَّآ إِّل ْي ِّه َر‬
ِّ ‫ُّم‬

“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan
harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang
sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya
kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-
orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat
ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan
darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan
antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang
sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang
yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman,

‫ب‬ َ ‫صا ِّب ُرونَ أَجْ َرهُم ِّبغَي ِّْر ِّح‬


ٍ ‫سا‬ َّ ‫ِّإنَّ َما ي َُوفَّى ال‬
“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az
Zumar: 10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat
ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang
terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-
Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali
disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi
Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman,
hal. 721).

Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.

Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

 berkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah

Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka
menguji manusia siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus
Rasul-Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama
yang ada. Sholawat beriring salam semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah
beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang setia hingga tegaknya kiamat di
alam semesta. Amma ba’du.

Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai cinta dan ridho-Nya kepadaku
dan dirimu. Perjalanan kehidupan terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai
kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu seolah-olah menjadi sesak. Bumi
yang begitu luas terhampar seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan
membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi bersabarlah. Karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ وأن مع العسر يسرا‬، ‫ وأن الفرج مع الكرب‬، ‫واعلم أن النصر مع الصبر‬

“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan dengan kesabaran. Jalan keluar
beriringan dengan kesukaran. Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits
riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor 636, Ad Durrah As Salafiyyah
hal. 148)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan kepada umatnya bahwa


kesabaran itu bak sebuah cahaya yang panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan
tetapi memang terasa panas menyengat di dalam dada.
Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid

Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ta’ala
membuat sebuah bab di dalam Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-
shabru ‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah termasuk cabang
keimanan kepada Allah).

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini:

“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk
salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan
dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi
tanpa kesabaran. Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk mengerjakan
sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa
ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau
bersabar ketika menghadapinya.

Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syariat serta menjauhi
larangan syariat dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hambaNya. Dengan demikian ujian itu
bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian dengan
ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin
Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala
berfirman: Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji
(manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah
menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya.
Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.

Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan bekal kesabaran. Untuk
meninggalkan berbagai larangan dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan bekal kesabaran. Oleh sebab
itulah sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat
taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala menerima takdir Allah yang
terasa menyakitkan.”

Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar tatkala tertimpa musibah maka
Syaikh pun membuat sebuah bab tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau
lakukan dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian dari kesempurnaan
tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak
muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian berupa ditimpakannya
musibah. Dengan alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah
hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau
juga ingin memberikan penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan dan
meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.

Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya
si Fulan dibunuh dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang
diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan demikianlah inti makna
kesabaran yang dipakai dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya
terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah
dan menahan anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-
nampar pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar artinya:
“Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah dan menahan anggota badan dari
menampakkan kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain semacamnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata sabar disebutkan dalam 90
tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab
orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak punya kesabaran untuk
menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia
kehilangan banyak sekali bagian keimanan.”

Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri
karakteristik iman kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan penegasan bahwa
sabar termasuk salah satu cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu
juga termasuk salah satu cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus dihadapi
dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah sebuah cabang kekafiran maka dia harus
dihadapi dengan sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah yang terasa
menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).

Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

‫ش ْيءٍ َع ِّلي ٌم‬ َّ ‫يَ ْه ِّد قَ ْلبَهُ َو‬‫اّلل‬


َ ‫َّللاُ ِّب ُك ِّل‬ َّ ‫صيبَ ٍُة ِّإ َّال ِّبإِّذْ ِّن‬
ِّ َّ ‫َّللاِّ َو َمن يُؤْ ِّمن ِّب‬ ِّ ‫اب ِّمن ُّم‬
َ ‫ص‬َ َ‫َما أ‬

“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa
yang beriman kepada Allah (bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada hatinya.
Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At Taghaabun: 11)

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di dalam ayat ini Allah
subhanahu wa ta’ala menginformasikan bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu
di antara umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau yang lainnya hanya bisa
terjadi dengan sebab takdir dari Allah. Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana
tidak bisa dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus mengakui bahwa musibah
ini terjadi dengan ketetapan dan takdir Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya
sehingga mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala menghadapinya karena yakin
terhadap kebijaksanaan Allah. Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat membuat
hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut lagi maha penyayang terhadap mereka.”
(Al Jadiid, hal. 313).

Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka
dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala mengatakan dalam
penjelasannya tentang perkataan Alqamah ini:

“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid sahabat)- terhadap ayat ini. Ini
merupakan penafsiran yang benar dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ disebutkan
dalam konteks ditimpakannya musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman
kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan melaksanakan perintah-Nya
serta menjauhi larangan-Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’
yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa
marah dan tidak terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni untuk
menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-
Nya.’ Inilah kandungan iman kepada Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal.
391-392).

Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga, di antaranya adalah:

1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan ada oleh Allah,
sebagaimana halnya kebaikan.
2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi sebab hati dapat meraih
hidayah dan merasakan ketenteraman diri.
3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.

(Al Jadiid, hal. 314).

Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah

Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala menjelaskan:

“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab (sunnah), bukan wajib. Oleh
karenanya banyak orang yang kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar menghadapi musibah hukumnya
wajib, dia adalah salah satu kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam sabar
terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun ridho memiliki dua sudut pandang yang berlainan:

Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa ‘ala. Seorang hamba merasa
ridho terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho
dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia
merasa ridho terhadap pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala. Rasa ridho
terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu kewajiban yang harus ditunaikan.
Meninggalkan perasaan itu hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang harus
ada).

Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu
sendiri. Maka hukum merasa ridho terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba
untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa
ridho dengan sebab kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridho
dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini hukumnya mustahab (disunahkan).

Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya wajib) Alqamah mengatakan,
‘Ayat ini berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni merasa puas terhadap
ketetapan Allah ‘dan ia bersikap pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi
(perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid, hal. 392-393).

Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan

Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah
menginginkan kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-Nya maka Allah tahan hukuman
atas dosanya itu sampai dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi dengan
nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran menghadapi musibah. Beliau
mengatakan: hadits ini hasan gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak
(1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).

Syaikhul Islam mengatakan:

“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-
dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala. Musibah
itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta
memalingkan ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung
lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab
penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh
musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan makhluk, kecuali
apabila musibah itu menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam
kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu
yang terjadi maka ia menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang
menimpa agamanya.
Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit
atau terluka justru menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau
bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan
padanya dan malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya.
Hal ini bila ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari sisi
musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan
sikap sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang semacam ini
sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb
‘azza wa jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha terpuji karena
perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia
kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya terhapus
karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah). Dan apabila dia
memuji Robbnya atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-
Nya.

َ‫صلَ َواتٌ ِّمن َّر ِّب ِّه ْم َو َرحْ َمُةٌ َوأُولَـئِّكَ ُه ُم ْال ُم ْهتَدُون‬
َ ‫أُولَـئِّكَ َعلَ ْي ِّه ْم‬

“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari Rabb mereka dan
memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al Baqoroh: 157)

Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan
terangkat. Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan
memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat
Fathul Majiid, hal. 353-354).

Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga, yaitu:

1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak), tentunya yang sesuai
dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari Allah ta’ala.
3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda kebaikan. Selama hal itu tidak
menimbulkan dirinya meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat dan kesehatan yang selama
ini senantiasa kita rasakan.
5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir tidak mengenakkan yang
telah diputuskan-Nya terjadi pada diri kita.
6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti Allah meridhoi orang tersebut.

(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).

Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar

Allah ta’ala berfirman,


َ َ‫} الَّذِّينَ ِّإذَآ أ‬155{ َ‫صا ِّب ِّرين‬
‫صابَتْ ُهم‬ ٍ ‫ف َو ْال ُجوعِّ َونَ ْق‬
ِّ ‫ص ِّمنَ اْأل َ ْم َوا ِّل َواْألَنفُ ِّس َوالثَّ َم َرا‬
َّ ‫ت َوبَش ِِّّر ال‬ ِّ ‫ش ْيءٍ ِّمنَ ْالخ َْو‬ َ ‫َولَنَ ْبلُ َونَّ ُك ْم ِّب‬
ْ ُ ٌ
َ‫صل َواتُ َُ ِّمن َّربِّ ِّه ْم َو َرحْ َمُة َوأ ْوآلِئِّكَ ُه ُم ال ُم ْهتَدُون‬َ َ ُ
َ ‫} أ ْوآلِئِّكَ َعل ْي ِّه ْم‬156{ َ‫اجعُون‬ َ َّ َّ ُ َ ٌ
ِّ ‫صيبَُة قالوا إِّنا هللِّ َوإِّنآ إِّل ْي ِّه َر‬ ِّ ‫ُّم‬

“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan
harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang
sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya
kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-
orang yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat
ini menunjukkan bahwa barang siapa yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan
darinya, berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian. Betapa jauhnya perbedaan
antara kedua golongan ini. Betapa kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang
sabar bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus ditanggung oleh orang-orang
yang protes dan tidak bersabar…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 76).

Allah ta’ala juga berfirman,

‫ب‬ َ ‫صابِّ ُرونَ أَجْ َرهُم بِّغَي ِّْر ِّح‬


ٍ ‫سا‬ َّ ‫إِّنَّ َما ي َُوفَّى ال‬

“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS. Az
Zumar: 10)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di dalam kitab tafsirnya, “Ayat
ini berlaku umum untuk semua jenis kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang
terasa menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar dari kemaksiatan kepada-
Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan
kepada-Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya. Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang sabar pahala untuk mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu tidaklah bisa diraih kecuali
disebabkan karena begitu besarnya keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi
Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala urusan.” (Taisir Karimir Rahman,
hal. 721).

Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya yang sabar.

Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

 Sombong vs Tawadhu
 Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al Qur’an dan As Sunah
mencelanya dan mengajak kita untuk meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai
sifat ini diancam tidak masuk ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al Qur’an Allah
memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala
berfirman,
َ ‫ض ه َْونا َوإِّذَا خَا‬
 ‫طبَ ُه ُم ال‬ ِّ ‫شونَ َعلَى ْاأل َ ْر‬ُ ‫الرحْ َم ِّن الَّذِّينَ يَ ْم‬ َّ ُ ‫َو ِّعبَاد‬ َ ْ ‫س َالما‬ َ ‫َجا ِّهلُونَ قَالُوا‬
 “Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang berjalan di atas
muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫اس‬ ِّ َّ‫ط الن‬ ُ ‫ق َو َغ ْم‬ ِّ ‫ط ُر ْال َح‬
َ َ‫ْال ِّكب ُْر ب‬
 “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
 Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya
 Allah ta’ala berfirman,
 َ‫إِّنَّهُ َال ي ُِّحبُّ ْال ُم ْست َ ْكبِّ ِّرين‬
 “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. An
Nahl: 23)
 Allah ta’ala juga berfirman,
 ‫ض‬ ِّ ‫علُ ًّوا ِّفي ْاأل َ ْر‬
ُ َ‫َّار ْاآلَ ِّخ َرة ُ نَجْ َعلُ َها ِّللَّذِّينَ َال ي ُِّريدُون‬ُ ‫سادا ِّت ْلكَ الد‬ َ َ‫َو َال ف‬
 “Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang tidak berambisi untuk
menyombongkan diri di atas muka bumi dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash:
83)
 Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang
menyombongkan diri kepada manusia dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan
kemuliaan yang dia miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk
dirinya. Karena barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan
membuatnya rendah hati dan menumbuhkan kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia
akan terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus memperhatikannya. Bahkan di
setiap saat dia selalu berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal itu,
dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan binasa. Barang siapa yang
menuntut ilmu untuk berbangga-banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh
kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka,
sungguh ini tergolong kesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk surga orang
yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sekecil dzarrah (anak
semut), la haula wa la quwwata illa billah.” (lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu
‘Utsaimin, hal. 75-76 cet. Darul Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di dalam kitab ini saya
menemukan kesalahan cetak, seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An Nahl di
atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal yang benar ayat 23. Wallahul muwaffiq)
 Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
 Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan
adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula
sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin
meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin
berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah
kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah
tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan
berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati
kepada mereka.”
 Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya
maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah
amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan
terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka
bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin
pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan
derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah
ujian dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya. Sehingga akan
berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian kelompok yang lain akan binasa. Begitu
pula halnya dengan kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan, dan
harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman tatkala melihat singgasana Ratu
Balqis sudah berada di sisinya,
 ‫ش ُك ُر أ َ ْم أ َ ْكفُ ُر‬ ْ َ‫ض ِّل َربِّي ِّليَ ْبلُ َونِّي أَأ‬
ْ َ‫َهذَا ِّم ْن ف‬
 “Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah aku bisa bersyukur
ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”
 Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai kenikmatan itu adalah
cobaan dan ujian dari Allah yang dengan hal itu akan tampak bukti syukur orang yang
pandai berterima kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari
nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga menjadi cobaan yang
ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk
kenikmatan, sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai musibah yang
menimpanya. Allah ta’ala berfirman,
 . ‫ َوأ َ َّما ِّإذَا َما ا ْبت ََالهُ فَقَدَ َر َعلَ ْي ِّه ِّر ْزقَهُ فَيَقُو ُل َر ِّبي أَهَان َِّن‬. ‫سانُ ِّإذَا َما ا ْبت ََالهُ َربُّهُ فَأ َ ْك َر َمهُ َونَعَّ َمهُ فَيَقُو ُل َر ِّبي أ َ ْك َر َم ِّن‬ ِّ ْ ‫فَأ َ َّما‬
َ ‫اإل ْن‬
‫… ك ََّال‬
 “Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan memuliakan kedudukannya dan
mencurahkan nikmat (dunia) kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah
memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan menyempitkan rezkinya ia
pun berkata, ‘Rabbku telah menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS.
Al Fajr : 15-17)
 Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan Aku muliakan
kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat (duniawi) kepadanya adalah pasti orang
yang Aku muliakan di sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya
dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku menghinakan dirinya.” (Al
Fawa’id, hal. 149)
 Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
 Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim mengatakan, Aku pernah
mendengar Malik membawakan sebuah kisah bahwa pada suatu ketika di masa
kekhalifahan Abu Bakar ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat
telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam mimpi itu dia
menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan kemuliaan derajat yang lebih di antara
manusia yang lain. Dia mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena
faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-orang yang lain?” Dia
berkata: Lantas ada yang berujar kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai
khalifah dan orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut kepada
celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas jalan Allah.’ Pada keesokan harinya,
laki-laki itu datang dan ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama.
Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka berdua. Ketika dia selesai
bercerita maka Umar pun menghardik orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah
kamu, itu hanyalah mimpi orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat
tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang urusan pemerintahan, maka
beliau pun mengutus orang untuk memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata
kepadanya, “Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki itu
menjawab, “Bukankah anda telah menolak cerita saya dahulu?!” Umar mengatakan,
“Tidakkah kamu merasa malu menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis
Abu Bakar sementara pada saat itu dia sedang duduk di tempat itu?!” Syaikh Abdul Aziz
As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu ‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya
disebutkan sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya
dia tidak perlu merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi inilah
salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.” (lihat Ma’alim fi Thariq
Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
 Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

 Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu

Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan
menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,

َ ‫ألخ ِّر َف ْليُ ْك ِّر ْم‬


ُ‫ض ْيفَه‬ ِّ ْ‫َم ْن َكانَ يُؤْ ِّمنُ ِّباهللِّ َواْليَ ْو ِّم ا‬

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan
tamunya.” (HR. Bukhari)

Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi
pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.

Adab Bagi Tuan Rumah

1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan


orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫ي‬ َ ‫والَ يَأ ْ ُك ُل‬,‫ا‬


ٌّ ‫طعَا َمك َإِّالَّ تَ ِّق‬ َ ‫احبْ إِّالَّ ُمؤْ ِّمن‬ َ ُ ‫الَ ت‬
ِّ ‫ص‬

“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin,
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫ َويُتْ َركُ ْالفُقَ َرا ُء‬، ‫طعَا ُم ْال َو ِّلي َم ُِّة يُدْ َعى لَ َها األ َ ْغنِّيَا ُء‬ َّ ‫ش َُّر ال‬
َ ‫طعَ ِّام‬

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.

4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

‫َم ْر َحبا بِّ ْال َو ْف ِّد الَّذِّينَ َجا ُءوا َغي َْر خَزَ ايَا َوالَ نَدَا َمى‬

“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR.
Bukhari)

5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan
tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala
telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

‫ فَقَ َّربَهُ إِّلَ ْي ِّه ْم قَا َل آالَ ت َأ ْ ُكلُو‬. ‫س ِّمي ٍْن‬


َ ‫لى أ َ ْه ِّل ِّه فَ َجا َء بِّعِّجْ ٍل‬ َ ‫نَ َْفَ َرا‬
َ ِّ‫غ إ‬

“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia
mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah
kalian makan?'” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)

6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi


bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum
beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu)
karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.

7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada


sesama muslim.

8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila
para tamu duduk dengan tertib.

9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َ ‫ص ِّغي َْرنَا َوي ُِّج َّل َك ِّبي َْرنَا فَلَي‬


‫ْس ِّمنَّا‬ َ ‫َم ْن لَ ْم َي ْر َح ْم‬
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang
lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits
ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.

11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka berbincang-bincang
dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan
kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan
pulang.

12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut kepadanya
sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,

‫فَقَ َّربَهُ إِّلَ ْي ِّه ْم‬

“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)

13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan
penghormatan bagi mereka.

14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para tamunya dan
menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria
dan berseri-seri.

15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫ْف يُؤْ ِّث َمهُ؟ قَا َل‬


َ ‫س ْو َل للاِّ َو َكي‬ َ ‫الض َيافَُةُ ثَالَثَُةُ أَي ٍَّام َو َجاِئِّزَ تُهُ َي ْو ٌم َولَ ْيََ لَُةٌ َوالَ َي ِّح ُّل ِّل َر ُج ٍل ُم ْس ِّل ٍم أ َ ْن يُقي َْم ِّع ْندَ أ َ ِّخ ْي ِّه َحتَّى يُؤْ ثِّ َمهُ قاَلُ ْوا َي‬
ُ ‫ار‬ ِّ
:‫ئ لَهُ ي ْق ِّر ْي ِّه بِّ ِّه‬
َ ‫يُ ِّق ْي ُم ِّع ْندَهُ َوالَ َش ْي‬

“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi
seorang muslim tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat
berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk
menjamu tamunya.”

16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.

Adab Bagi Tamu

1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur,
seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ْ‫ى فَ ْلي ُِّجب‬


َ ‫َم ْن د ُ ِّع‬
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

ُ‫س ْولَه‬ َ ‫ْـوة َ فَقَدْ َع‬


ُ ‫صى للاَ َو َر‬ َ ‫َو َم ْن ت ََركَ الدَّع‬

“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)

Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:

 Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
 Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
 Orang yang mengundang adalah muslim.
 Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun,
ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya
berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang
diundang.
 Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
 Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.

2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun
orang yang miskin.

3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim. Sebagaimana
hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang
tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan
hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana
dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:

َ ‫كن ِّإذَا د ُ ِّع ْيت ُ ْم فَادْ ُخلُ ْوا فَإِّذَا‬


‫ط ِّع ْمت ُ ْم‬ ْ ‫َاظ ِّـريْنَ ِّإنهُ َو ِّل‬ َ ‫يَاأَََ يُّ َها الَّ ِّذيْنَ آ َمنُ ْوا الَ تَدْ ُخـلُ ْوا بُي ُْـوتَ النَّ ِّبي ِّ ِّإالَّ أ َ ْن يُؤْ ذَنَ لَ ُك ْم ِّإلَى‬
ِّ ‫طـ َع ٍام َغي َْر ن‬
‫ق‬ ْ َ ُ ْ
ِّ ‫ي فَيَ ْست َِّحي ِّمنك ْم َوللاُ ال يَ ْست َِّحي ِّمنَ ال َح‬ َّ ِّ‫ث إ َ َّن ذ ِّل ُك ْم َكانَ يُؤْ ذِّى النَّب‬ٍ ‫ِّـر ْوا َوالَ ُم ْستَئْ ِّن ِّسيْنَ ِّل َح ِّد ْي‬
ُ ‫فَا ْنتَش‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya!
Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa
memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu,
Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang
benar.” (Qs. Al Azab: 53)

5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri undangan karena
menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak menghalangi
seseorang untuk menghadiri undangan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

ْ ‫ـطرا فَ ْلي‬
‫ُط ِّع ْم‬ َ ‫صاِِّئما فَ ْلي‬
ِّ ‫ُص َِّ ِّل ِّو ِّإ ْن َكانَ ُم ْف‬ َ َ‫ى أ َ َحد ُ ُك ْم فَ ْلي ُِّجبْ فَإ ِّ ْن َكان‬
َ ‫إذَا د ُ ِّع‬
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan
apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)

6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak melihat-lihat ke arah tempat
keluarnya perempuan, tidak menolak tempat duduk yang telah disediakan.

7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang
sedang makan.

8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan tuan rumah,
sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs.
Al Ahzab: 53)

9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini dapat
mempererat kasih sayang antara sesama muslim,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara kalian! Niscaya
kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus meminta izin kepada
tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

‫س‬ ِّ ‫سلَّ َم خ‬
َ ‫َام‬ َ ‫ى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صل‬
َ ِّ‫س ْو َل للا‬ ُ ‫ع َر‬ُ ْ‫ط َعاما اُد‬ َ ‫صنَ ْع ِّلي‬ ْ ِّ‫غالَ ٌم ِّل َحا ٌم فَقَا َل ا‬ ُ ُ‫ش َعيْبُ َو َكانَ لَه‬ُ ‫ار َرجـ ُ ٌل يُ َقا ُل لُهُ أَب ُْو‬ ِّ ‫ص‬َ ‫َكانَ ِّمنَ اْأل َ ْن‬
َّ
‫سل َم إِّنَّكَ دَ َع ْوتَنَا‬ َ ‫ى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬َّ ‫صل‬
َ ِّ‫س ْو َل للا‬ ُ ‫س ٍُة فَتَبِّعَ ُه ْم َر ُج ٌل فَقَا َل َر‬ َ ‫س َخ ْم‬َ ‫َام‬ َّ
ِّ ‫سل َم خ‬ َ ‫ى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صل‬َ ِّ‫س ْو َل للا‬ ُ ‫س ٍُة فَدَ َعا َر‬َ ‫َخ ْم‬
ُ ‫س ٍُة َوهذَا َر ُج ٌل قَدْ ت َ ِّب َعنَا فَإ ِّ ْن ِّشئْتَ اْذَ ْن لَهُ َو ِّإ ْن ِّشئْتَ ت ََر ْكتُهُ قَا َل َب ْل أَذْ ْنتُ لَه‬ ‫م‬ ‫خ‬َ
َ ْ َ ‫َام‬ ‫س‬ ِّ ‫خ‬

“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai
seorang anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang
dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang
kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini
mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana tidak, aku akan
meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku telah mengizinkannya.”” (HR.
Bukhari)

11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah
selesai mencicipi makanan tersebut dengan doa:

ُ‫ت َعلَ ْي ُك ُم اْل َمالَِئِّ َكُة‬


ْ َّ‫صل‬
َ ‫و‬, َ ‫ط َعا َم ُك ُم اْألَب َْر‬
َ ‫ار‬ َ ‫ َوأ َ َك َل‬, َ‫صاِئِّ ُم ْون‬ َ ‫أ َ ْف‬
َّ ‫ط َر ِّع ْندَ ُك ُم ال‬

“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah
memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud,
dishahihkan oleh Al Albani)

‫سقَانِّي‬ ْ َ ‫ط ِّع ْم َم ْن أ‬
ِّ ‫ َواْس‬,‫ط َع َمنِّي‬
َ ‫ق َم ْن‬ ْ َ ‫اَلل ُهـ َّم أ‬
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan kepadaku dan
berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)

‫ار ْك لَ ُه ْم فِّ ْي َما َرزَ ْقت َ ُه ْم‬ ْ ‫اَلل ُهـ َّم ا ْغـ ِّف ْر لَ ُه ْم َو‬
ِّ َ‫ار َح ْم ُه ْم َوب‬

“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR.
Muslim)

12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang dada,
memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.

 Miskin Tapi Kaya


 Imam As-Syafii rahimahullah berkata :
 ‫س َوا ُء‬ ٍ ‫إِّذَا َما ُك ْنتَ ذَا قَ ْل‬
َ ‫ فَأ َ ْنتَ َو َما ِّلكُ الدُّ ْنيَا‬..… ٍ‫ب قَنُ ْوع‬

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …


 maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
 Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang teman saya di
Universitas Madinah yang berasal dari negara Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga
mahasiswa yang saling dibatasi dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut
menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga meter. Ternyata… ia
sekamar dengan seorang mahasiswa yang berasal dari negeri China yang bernama
Ahmad. Beberapa kali aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi teman-temannya
para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya mereka sering makan
bersama di kamar Ahmad, sementara Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat
mereka. Akupun tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani teman-
temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak. Ahmad adalah seorang
mahasiswa yang telah berkeluarga dan telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi
jauhnya ia dari istri dan anaknya tidaklah menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…, hal
ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu bersedih hati karena
memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia tinggalkan.
 Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka aku dapati ternyata
Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat
ia sholat. Tatkala ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya dan
bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau senantiasa ceria dan
tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan
polos, “Wahai akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa jika
hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya engkau dan seorang raja di
dunia ini sama saja”.
 Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam As-Syafii… rupanya
inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa tersenyum.
 Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah “nerimo” dengan apa
yang ada. Yaitu sifat menerima semua keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa
nerima dengan apa yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa cukup,
maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia. Kepuasan yang diperoleh sang
raja dengan banyaknya harta juga kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi
dengan hati yang qona’ah.
 Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak menemukan kepuasan dengan
harta yang berlimpah ruah… oleh karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda
memiliki hati yang senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari seorang
raja di dunia”.
 Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan tetapi mengandung
makna yang begitu dalam. Sungguh Imam As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir
diatas sungguh-sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.
 Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan semua keputusan Allah
menunjukkan bahwa ia benar-benar mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu
dari enam rukun Iman.
 Ibnu Batthool berkata
 ‫ألو ِّليَاِئِّ ِّه‬ َ َ‫ َوفِّى ق‬،‫ َع ِّل َم أ َ َّن َما ِّع ْندَ للاِّ َخي ٌْر لألَب َْر ِّار‬،ِّ‫الى َوالت َّ ْس ِّليْم أل َ ْم ِّره‬
ْ ‫ضاِئِّ ِّه‬ َ َ‫اء للاِّ تَع‬ َ َ‫ضا بِّق‬
ِّ ‫ض‬ َ ‫الر‬ ِّ ُ‫َو ِّغنَى النَّ ْف ِّس ه َُو بَاب‬
ِّ ‫األ َ ْخ َي‬
‫ار‬
 “Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas keputusan Allah dan
menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya, ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi
Allah lebih baik bagi orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi
wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)
 Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak amalan-amalan hati yang
sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang
Allah tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal kepada Allah dengan
menyerahkan segala urusannya kepada Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap
menjadikannya bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah daripada
kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.
 Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;
 ِّ‫ق ِّم ْنكَ بِّ َما فِّي يَ ِّد للا‬ ُ َ ‫ف يَ ِّق ْينِّكَ أ َ ْن ت َ ُك ْونَ ِّب َما فِّي يَدِّكَ أَ ْوث‬
ِّ ‫ض ْع‬ َ ‫إِّ َّن ِّم ْن‬
 “Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih percaya kepada harta yang ada
di tanganmu dari pada apa yang ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)
 Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang mengkilau, dan ia tidak
hasad kepada orang-orang yang telah diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah…
ia menerima semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang sifatnya
seperti ini tidak akan bahagia..???!!!
 Allah berfirman,
 ‫ح َياة ط‬ َ ُ‫صا ِّلحا ِّم ْن ذَك ٍَر أ َ ْو أ ُ ْنثَى َوه َُو ُمؤْ ِّم ٌن فَلَنُحْ ِّي َينَّه‬ َ ‫س ِّن َما كَانُوا َي ْع َملُونَ ََ َم ْن َع ِّم َل‬ َ ْ‫ِّي َبُة َولَنَجْ ِّز َينَّ ُه ْم أَجْ َر ُه ْم ِّبأَح‬
 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-Nahl : 97)
 Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata : ُ ‫حيَاة‬ َ ‫ال‬
ُ‫ط ِّيبَُةُ ْالقَنَا َعُة‬ َّ ‫ ال‬Kehidupan yang baik adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-
Thobari dalam tafsirnya 17/290)
 Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia yaitu Nabi kita
shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,
 َ ‫ظ ُر ِّإلَى ْال ِّه َال ِّل ث ُ َّم ْال ِّه َال ِّل ث َ َالثَُةَ أَ ِّهلَّ ٍُة فِّي‬
‫ش ْه َري ِّْن‬ ُ ‫ت ِّلعُ ْر َوة َ ابْنَ أ ُ ْختِّي ِّإ ْن ُكنَّا لَنَ ْن‬ ْ َ‫َّللاُ َع ْن َها أَنَّ َها قَال‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِّ ‫شُةَ َر‬
َ ِّ‫َع ْن َعاِئ‬
ْ َّ
‫ان الت ْم ُر َوال َما ُء‬ َ ْ ْ َ َ ُ ُ َ
ِّ َ‫سل َم نَا ٌر فقل يَا خَالُة َما كانَ يُ ِّعيشك ْم قالت األس َْود‬ ُ َ ُ‫ت‬ ْ ُ َ َّ َ َّ
َ ‫صلى َّللاُ َعل ْي ِّه َو‬ َّ َّ
َ ِّ‫سو ِّل َّللا‬ ُ ‫ت َر‬ َ
ِّ ‫ت فِّي أ ْبيَا‬ ْ َ‫َو َما أُوقِّد‬
َّ ‫سو َل‬
ِّ‫َّللا‬ ُ ‫َت لَ ُه ْم َمنَاِئِّ ُح َوكَانُوا يَ ْمنَحُونَ َر‬ ْ ‫ار كَان‬ ِّ ‫ص‬ َ
َ ‫ان ِّم ْن ْاأل ْن‬ ٌ ‫ير‬
َ ‫سل َم ِّج‬ َّ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬
َّ ‫صلى‬ َّ َّ ‫سو ِّل‬
َ ِّ‫َّللا‬ ُ ‫ِّإ َّال أَنَّهُ قَدْ َكانَ ِّل َر‬
‫سلَّ َم ِّم ْن أ َ ْل َبا ِّن ِّه ْم فَ َي ْس ِّقينَا‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬َّ ‫صلَّى‬ َ
 Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh kita dahulu melihat
hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya) hingga tiga hilal selama dua bulan, akan
tetapi sama sekali tidak dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah makanan kalian?”, Aisyah
berkata, “Kurma dan air”, hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
tetangga dari kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-kambing) betina
yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah
susunya, maka Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta tersebut” (HR
Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)
 Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang bisa dimasak sama
sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan
air.
 Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-
Khurosaani rahimahullah berkata : “Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari
pelepah korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam. Aku menghadiri
tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik (khalifah tatkala itu) dibaca yang
memerintahkan agar rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam
areal mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang menangis
sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena rumah-rumah tersebut akan dipugar dan
dimasukan dalam areal mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata
pada hari itu,
 ِّ‫س ْو ُل للا‬ ُ ‫ق فَ َي َرى َما ا ْكتَفَى ِّب ِّه َر‬ ِّ ُ‫وللاِّ لَ َو ِّددْتُ أَنَّ ُه ْم ت ََر ُك ْوهَا َعلَى َحا ِّل َها َي ْنشَأ ُ نَا ِّشي ٌء ِّم ْن أ َ ْه ِّل ْال َم ِّد ْينَ ُِّة َو َي ْقد ُ ُم ْالقَا ِّد ُم ِّمنَ األُف‬
‫اس فِّي التَّكَاث ُ ِّر َوالتَّفَا ُخ ِّر‬ َ َّ‫فِّي َحيَاتِّ ِّه فَيَ ُك ْونُ ذَلِّكَ ِّم َّما يُزَ ِّهد ُ الن‬
 “Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan rumah-rumah Rasulullah
sebagaimana kondisinya, agar jika muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika
datang orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan melihat bagaimana
kehidupan Rasulullah. Hal ini akan menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling
berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-banggaan” (At-
Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)
 Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang seorang yang qona’ah
yang berpenampilan orang miskin.., karena memang ia adalah seorang yang miskin harta.
Akan tetapi sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫غنَى النَّ ْف ِّس‬ ِّ ‫ض َولَ ِّك َّن ْال ِّغنَى‬ ِّ ‫ْس ْال ِّغنَى َع ْن َكثْ َرةِّ ْالعَ َر‬ َ ‫لَي‬
 “Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yang haqiqi
adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no 6446 dan Muslim no 1050)
 Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang dilapangkan hartanya
oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak nerimo dengan apa yang Allah berikan
kepadanya, maka ia senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak perduli
dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah orang yang kekurangan harta
karena semangatnya dan tamaknya untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya
hakekat kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa cukup (nerimo)
dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk menambah-nambah hartanya, dan
nafsu dalam mencari harta, maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu
mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-Bukhari)
 Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berkata kepadanya,
 ُ ‫ نَ َع ْم َيا َر‬: ُ‫ أَفَت ََرى قِّلَّ ُِّة ْال َما ِّل ه َُو ْالفَ ْق ُر؟ قُ ْلت‬: ‫ قَا َل‬،ِّ‫س ْو َل للا‬
‫س ْو َل‬ ُ ‫ نَ َع ْم َيا َر‬: ُ‫ أَت ََرى َكثْ َرة َ ْال َما ِّل ه َُو ْال ِّغنَى؟ قُ ْلت‬،‫َيا أ َ َبا ذَر‬
ْ ْ ْ ْ
ِّ ‫ب َوالفَق ُر فَق ُر القَل‬
‫ب‬ ْ ِّ ‫ إِّنَّ َما ْال ِّغنَى ِّغنَى القَل‬: ‫ قال‬.ِّ‫للا‬
ْ ْ
 “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta merupakan kekayaan?”.
Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau
memandang bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu Dzar ) berkata,
“Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata : “Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen)
adalah kayanya hati, dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR Ibnu
Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih At-Targiib wa At-Tarhiib no
827)
 Maka orang yang qona’ah meskipun miskin namun pada hakikatnya sesungguhnya ialah
orang yang kaya.

Manhaj

 Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
masa. Amma ba’du.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal.
Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-
orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak
suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna
menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya.
Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya
mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)

Pengertian Sahabat

Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan
muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al
Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas
daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan
termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah
melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin
Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir
Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat

Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai
kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan
untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa
dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha
Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)

Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan
diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela
mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu
adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi
di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila
benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang
telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa
yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Al Baqarah [2]: 141). Barang siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia
telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil
I’tiqaad, hal. 77)

Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat

1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-
orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling
menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa
mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)
2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin
yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena
mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang
tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-
orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada
rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan
saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam
kesulitan.” (QS. Al Hasyr [59]: 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang
yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah
pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka.
Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan
kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18)
4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa
kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha
kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)
5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan menghinakan
Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan
dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)

Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang


pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu
di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa
menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan
atau bahkan setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat),
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang
mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi
langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan
akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku
telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku.
Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para
sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red)
yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela para
sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan
laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang
para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat

1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya,


“Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada
seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang
ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para
ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah
orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan
kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat
untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi
dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil,
mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik
yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan
para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al
Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil
orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat
sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)

Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat

Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap


bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum
Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah.
Duhai, sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!

Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah
menurunkan ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para
sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka itulah (Rasul dan
para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah
Maha mengetahui atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)

(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-orang yang
berhak dan pantas mendapatkan predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah)
justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada suatu saat Allah ta’ala
memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’
dalam rangka memintakan ampunan bagi para sahabat yang sudah meninggal di antara mereka
dan agar beliau mendoakan mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah
meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela
mereka !!

Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam
Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka serta apa yang akan
muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka
dengan seenaknya ….

Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang
menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi
guru umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini justru berani mencaci maki
mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal.
79)

-bersambung insya Allah-


 Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (2)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam

Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada
umat Islam adalah sebagai berikut.

1. Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih hidup dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang
yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau memilih beberapa orang sahabatnya
untuk mencatat wahyu, di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Sehingga apabila wahyu turun merekalah
yang diperintahkan untuk mencatat dan di samping juga untuk dihafalkan di dalam
ingatan mereka. Di antara para sahabat ada pula yang berinisiatif untuk menulisnya untuk
mereka pribadi tanpa perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan hafalan Qur’annya kepada
malaikat Jibril setiap tahun pada setiap malam bulan Ramadhan, maka para sahabat pun
menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang mereka miliki kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tatkala Rasul wafat al-Qur’an itu sudah
terpelihara di dalam dada-dada para sahabat serta tertulis di dalam shuhuf, kayu, dan lain
sebagainya. Kemudian tibalah masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika itu
tahun 12 hijriyah terjadi perang Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-orang
yang murtad. Dalam peperangan ini 70 orang sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Karena
itulah Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya
mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga akhirnya Abu Bakar pun
menerima saran tersebut. Maka Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
mencatatnya dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga berkat jasa Abu
Bakar dan para sahabat lainnya inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an
yang sudah berbentuk mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa
khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal.
118-134)
2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya hadits-hadits
Nabi belum boleh dicatat karena ketika itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya
al-Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat. Sehingga Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi
kemudian larangan itu beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan
baik oleh para sahabat sehingga tidak dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits
tercampur dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya
pencatatan hadits itu memang sudah terjadi di jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang
memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah sabda beliau pada saat khutbah di tahun
pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta kepada beliau untuk dituliskan
ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan
Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau menceritakan, “Sesungguhnya dia (Abdullah
bin Amr) dahulu mencatat (hadits) sedangkan aku tidak mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu
pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
mendengar sabdamu dan akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya,
(silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun ridha?” Beliau menjawab,
“Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.” (HR. Ahmad, sanadnya
shahih kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi, Mushthalahuhu,
Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)

Dan cukuplah kiranya dua buah jasa besar ini menjadi sumbangan paling berharga yang mereka
berikan bagi pemeliharaan ajaran Islam yang murni. Sehingga Islam yang diturunkan Allah
melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan kemudian diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabat bisa sampai di tangan kita melalui ribuan ayat al-Qur’an dan puluhan
ribu hadits Nabi yang tertulis dengan sanad-sanad yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah di dalam kitab-kitab hadits. Yang dari ayat-ayat dan hadits-hadits itulah umat manusia
bisa mengetahui apa yang harus mereka yakini, apa yang harus mereka ucapkan dan apa yang
harus mereka perbuat. Dari ayat dan hadits itulah para ulama menarik berbagai prinsip dan
kesimpulan hukum dalam bidang akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya.
Sehingga seorang muslim yang hidup di abad 15 Hijriyah bisa mengetahui secara gamblang
dengan tangan yang manakah seharusnya dia makan, dan dengan tangan yang manakah
seharusnya dia mencuci duburnya..!! Sebagaimana kaum muslimin pada masa sahabat pun
mengetahuinya.

Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela
menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan
mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat, dan kejahatan mereka sangat
layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka
tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian
memang masih ingin selamat !!

Hukum Mencela Sahabat

Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa
tingkatan:

1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi
kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan
mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka tindakan semacam ini
tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah,
Rasul-Nya dan berdusta atas nama agama.
2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada
dua pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan
adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul karena
kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang
bersumber dari keyakinan hati
3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan
agama mereka, seperti dengan menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit,
tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan perbuatan seperti itu berhak
menerima ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh
pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)

Urutan Keutamaan Para Sahabat

Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang
bertingkat-tingkat.

1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar,
‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah
disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti
Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan
gigi geraham kalian.”
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti
masuk surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi
Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan
Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha
kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam
hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas
mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath.
Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah
Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak
sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang
lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan
masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid
[57]: 10) Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian
Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar.

Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar di dalam al-Qur’an, Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin
yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena
mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8) Mereka itulah kaum
Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tantang kaum Anshar, “Sedangkan orang-orang yang
tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang
yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh
terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri
mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan. Dan barang siapa yang
dijaga dari rasa bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS.
Al Hasyr [59] : 9)
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka
yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan
negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu
menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama
Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya


martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan
keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin
paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At
Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah
meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi
di Mekkah, red).

Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu
berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis
Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal
pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan
‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru
‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini.
Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat,
karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah
‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)

Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus
Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka
merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali
dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang
mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata
dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.

Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih
posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para
sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang
paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal
ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah
orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang
aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang
terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap
yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah
seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)

Keterjagaan para Sahabat


Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat
bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja
terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan
tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab
sebagai berikut:

1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih


2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik
generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain
mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang
dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang
menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup
bekas-bekas dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia
yang paling berhak untuk memperolehnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan sebagian mereka yang diingkari


(karena salah) adalah sangat sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu
dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para Nabi dan juga orang-orang terpilih
di antara umat ini, yang menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan pernah ada
suatu kaum yang serupa dengan mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)

-bersambung insya Allah-

 Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (3)

atwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat
dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk
diambil daripada pendapat-pendapat ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka.
Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan
masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga
fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.

Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah
seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah
hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…”
(dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya
Ahmad Salam, hal. 11)

Macam-Macam Perkataan Sahabat

Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:

1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’
(bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan
hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam namun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini
yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian mereka
tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya.
Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang
harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih kuat berdasarkan
dalil yang ada.
3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya,
maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para ulama.
4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu
apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer,
atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan
adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas umat
Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat kaum filsafat yang
menyimpang.

Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai untuk berhujjah dengan
beberapa syarat yaitu:

1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka
ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat
tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang
diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan
apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus
berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-
Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat
lain yang menentang pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain
yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong
ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan
sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin
bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang
bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam. Karena
tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri.
Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu
tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas.
Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihat Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)

Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan seorang sahabat yang
bertentangan dengan analogi daripada pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu
adalah bukti bahwa mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para sahabat.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat
para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para
sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang
siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat
para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.”
(Ash Shahihah: 24) Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian
menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!

Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk
menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan
wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru
dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan
utama (para sahabat).”

Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah
kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi
kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah
wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka
teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan
umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka
adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan
tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.”
Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah
cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada
di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).”
Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai
kebaikan.”

Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap
konsisten dengan atsar.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran
semata niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian
atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”

Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu
‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya
sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku
melihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan
menciummu.”

Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu
(para sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka
menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal sebenarnya mereka
adalah orang yang paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka
jauh lebih dahulu melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada
di antara kalian yang berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada
yang menciptakannya kecuali orang yang menentang petunjuk mereka serta membenci sunnah
mereka. Sesungguhnya mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan
pemecahan. Dan apa yang mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu
siapapun yang melampaui mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan
siapapun yang sengaja mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang
melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka
sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya
mereka pun menjadi ekstrem. Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara
keduanya, mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.”

Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf.
Meskipun risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat
orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena
sesungguhnya urusan agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”

Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin
menambah kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan
melainkan akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”

Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang
meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat.
Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan
taubatnya.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah
atsar (hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal
menafsirkan hadits.”

Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah,
“Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan
tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?”
Maka beliau pun menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan
atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia
adalah bid’ah.”

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa
yang menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan
tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu,
pastilah para sahabat sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah
berbicara dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan
menjerumuskan ke dalam kebatilan.”

Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa
yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah
kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku
telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan
menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama
pada hari ini.”

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami
adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua
bid’ah adalah sesat.”

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai
kaum Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan,
“Jika kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id,
Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan
nama-nama yang lain. “Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa
yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”

Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan
merangkum wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa
memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki
generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka
juga bukan termasuk agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih
lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 197-206)

Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara
mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci
orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka
dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan.
Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah
kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul
‘Aqidah, hal. 488)

Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat
berarti membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.

Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah

 Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran


 Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran
begitu larisnya bak kacang goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan
diri sebagai yang lebih benar pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
 Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan
relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al
Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib
menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai
kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu,
jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an
sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda
Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
 Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku
telah berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan,
berpecah-belah dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini
menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata
dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh masing-masing individu.
Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling
memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?
Jawabnya, merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
 Pengertian Sahabat Nabi
 Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah:
 ‫ وإن لم يرو‬،‫ وإن لم تطل صحبته له‬،‫عنه شيئا من رأى رسول للا صلى للا عليه وسلم في حال إسالم الراوي‬
 “Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan Islam, yang
meriwayatkan sabda Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang
lama, atau Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
 Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang
jumlah orang yang tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan:
 ‫ وقبض عليه الصالة والسالم عن ماِئُة ألف وأربعُة‬،‫ وكان معه بتبوك سبعون ألفا‬،‫شهد معه حجُة الوداع أربعون ألفا‬
‫عشر ألفا من الصحابُة‬
 “Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa
sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan
ketika Rasulullah wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]
 Keutamaan Sahabat
 Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan
keutamaan sahabat Nabi:
 ‫ وبما نطقت به السنُة النبويُة في‬،‫ لما أثنى للا عليهم في كتابه العزيز‬،‫والصحابُة كلهم عدول عند أهل السنُة والجماعُة‬
‫ وما بذلوه من األموال واألرواح بين يدي رسول للا صلى للا عليه وسلم‬،‫المدح لهم في جميع أخالقهم وأفعالهم‬
 “Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil.
Karena Allah Ta’ala telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan
banyaknya pujian yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan
amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan, baik berupa
harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
 Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
 ٍ ‫َّللاُ َع ْن ُه ْم َو َرضُوا َع ْنهُ َوأ َ َعدَّ لَ ُه ْم َجنَّا‬
‫ت‬ َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬
ِّ ‫ان َر‬
ٍ ‫س‬َ ْ‫ار َوالَّذِّينَ ات َّ َبعُو ُه ْم ِّبإِّح‬
ِّ ‫ص‬ ِّ ‫َوالسَّا ِّبقُونَ ْاأل َ َّولُونَ ِّمنَ ْال ُم َه‬
َ ‫اج ِّرينَ َو ْاأل َ ْن‬
ْ ْ َ َٰ َ
‫ار خَا ِّلدِّينَ فِّي َها أبَدا َ ذلِّكَ الفَ ْو ُز العَ ِّظي ُم‬ ُ ‫تَجْ ِّري تَحْ تَ َها ا ْأل َ ْن َه‬
 “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100)
 Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya.
Beliau bersabda:
 ‫ال تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني‬
 “Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang pernah melihatku dan
para sahabatku, dan orang yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang
yang pernah melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
 Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
 ‫ خير الناس قرني‬، ‫ ثم الذين يلونه‬، ‫ثم الذين يلونهم‬
 “Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka,
kemudian setelah mereka”[5]
 Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa
merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda
dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari
kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap
mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan
tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
 ‫ ثم نكف عن جميع أصحاب رسول‬, ‫ أبوبكر وعمر وعثمان وعلي‬: ‫أفضل الناس بعد رسول للا صلى للا عليه وسلم‬
‫للا صلى للا عليه وسلم إال بذكر جميل‬
 “Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu
Bakar, lalu Umar, lalu Utsman lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari
celaan terhadap seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh
menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah”[6]
 Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
 ‫ ما بلغ مد أحدهم وال نصيف‬، ‫ فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا‬، ‫ال تسبوا أصحابي‬
 “Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang berinfaq emas sebesar
gunung Uhud, tetap tidak akan bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu
mud (satu genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
 Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
 Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu
paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku
Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap
agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta
menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai
kepada kita, walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam dengan
Nabinya.
 Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang
sama sekali tidak diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia
mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepadanya?
Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita perlu menyadari bahwa mengambil metode
beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat, akan menjerumuskan kita
kepada jalan yang menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan
jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari kita
membaca ayat:
 ‫غي ِّْر ْال َمغ‬َ ‫ط الَّذِّينَ أ َ ْنعَ ْمتَ َعلَ ْي ِّه ْم‬
َ ‫ص َرا‬ ِّ ‫يم‬ َ ‫ط ْال ُم ْست َ ِّق‬َ ‫الص َرا‬ ِّ ‫ب َعلَ ْي ِّه ْم َو َال الضَّا ِّلينَ َْا ْه ِّدنَا‬
ِّ ‫ضُو‬
 “Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)
 Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah
berfirman:
 َ‫صا ِّل ِّحينَ َو َحسُنَ أُولَئِّك‬
َّ ‫اء َوال‬
ِّ َ‫ش َهد‬ ِّ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه ْم ِّمنَ النَّ ِّب ِّيينَ َو‬
ُّ ‫الص ِّديقِّينَ َوال‬ َّ ‫سو َل فَأُولَئِّكَ َم َع الَّذِّينَ أ َ ْن َع َم‬
ُ ‫الر‬ َّ ِّ‫َو َم ْن ي ُِّطع‬
َّ ‫َّللاَ َو‬
‫َرفِّيقا‬
 “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para
shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.”[8]
 Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam,
menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan para sahabatnya[9].
 Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu
berkata:
 ‫ وأعمقـُها‬،‫أبر هذ ِّه األم ُِّة قلوبا‬ َّ ‫ فإنهم كانوا‬,‫وسلم‬ َ ‫ب رسول َِّللاِّ صلى للاُ علي ِّه‬ ِّ ‫فليتأس بأصحا‬ َّ ‫من كانَ منكم ُمتأسيا‬
‫ فاعرفوا‬،‫وسلم وإقا َم ُِّة دينِّ ِّه‬ َ ‫صحب ُِّة نبيِّ ِّه صلى للاُ علي ِّه‬ ُ ‫اختار ُه ُم للاُ ِّل‬ َ ،‫ وأحسنـُها حاال‬،‫ وأقو ُمها هَديَا‬،‫ وأقلـ ُّ َها تكلـُّفَا‬،‫ِّعلما‬
‫ فإنهم كانوا على ال ُهدى ال ُمستقيم‬،‫آثارهِّم‬ ِّ ‫ واتـَّبـِّعُوهم في‬،‫لهم فضلـ َ ُهم‬
 “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling
mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling
lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk
mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah
keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal
mustaqim (jalan yang lurus)”[10]
 Beliau juga berkata:
 ‫ظ َر فِّي‬َ َ‫ ث ُ َّم ن‬،‫ َوا ْنت َ َخ َبهُ ِّب ِّع ْل ِّم ِّه‬،‫سالَتِّ ِّه‬
َ ‫سلَّ َم فَ َب َعثَهُ ِّب ِّر‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ‫َار ُم َح َّمدا‬ َ ‫اخت‬ ْ َ‫ب ْال ِّع َبا ِّد ف‬
ِّ ‫ظ َر فِّي قُلُو‬ َ َ‫َّللاَ ت َ َعالَى ن‬
َّ ‫ِّإ َّن‬
‫سنا فَ ُه َو‬ ْ
َ ‫ فَ َما َرآهُ ال ُمؤْ ِّمنُونَ َح‬،‫ار دِّينِّ ِّه‬ َ ‫ص‬ َ
َ ‫ َوأ ْن‬،‫سل َم‬ َّ َ َّ ‫صلى‬
َ ‫َّللاُ َعل ْي ِّه َو‬ َّ َ
َ ‫ص َحابَهُ فَ َجعَل ُه ْم ُوزَ َرا َء نَبِّيِّ ِّه‬ َ
ْ ‫َار أ‬ ْ
َ ‫اس فَاخت‬ ِّ َّ‫ب الن‬ ِّ ‫قُلُو‬
َّ َ‫ َو َما َرآهُ ْال ُمؤْ ِّمنُونَ قَ ِّبيحا فَ ُه َو ِّع ْند‬،‫س ٌن‬
‫َّللاِّ قَ ِّبي ٌح‬ َّ َ‫ِّع ْند‬
َ ‫َّللاِّ َح‬
 “Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’ala
memperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian
menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka
segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para
sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk
oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah”[11]
 Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
 ‫…أصول السنُة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رسول للا صلى للا عليه و سلم واالقتداء بهم‬
 “Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah berpegang teguh dengan
pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani
mereka… dst.”
 Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi
dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu
dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
 ، ‫ وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملُة كلهم في النار إال ملُة واحدة‬، ‫إن بني إسراِئيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملُة‬
‫ ما أنا عليه وأصحابي‬: ‫قال من هي يا رسول للا ؟ قال‬
 “Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73
golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”
 Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
 “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”[12]
 Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:
 ‫ فعليكم بسنتي‬، ‫ وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم فسيرى اختالفا كثيرا‬، ‫أوصيكم بتقوى للا والسمع والطاعُة‬
‫ وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثُة بدعُة‬، ‫ فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ‬، ‫وسنُة الخلفاء الراشدين المهديين‬
‫) وكل بدعُة ضاللُة‬
 “Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada
pemimpin, walaupun ia dari kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup
sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk
mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi
petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah
perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat” (HR.
Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban no.5)
 Jika Sahabat Berselisih Pendapat
 Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan
dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka
kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah
permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di
salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan
Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
 Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
 : ‫قد سمعت قولك في اإلجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب للا وسنُة رسوله أرأيت أقاويل أصحاب رسول للا إذا‬
‫تفرقوا فيها ؟‬
 [ ‫ح في القياس‬َّ ‫ نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنُة أو اإلجماع أو كان أص‬: ‫فقلت‬
 “Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan
bahwa setelah Al Qur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu
bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
 Imam Asy Syafi’i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di
antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al
Qu’an atau Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih”[13]
 Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh
oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya

 Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if

Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam agama Islam haruslah
berlandaskan hadits shahih, bukan hadits dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini
dengan adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan penopang agama. Oleh
karena itu, hadits shahih wajib diamalkan, adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang
muslim tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah hadits, kecuali
sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad hadits tersebut shahih ataukah tidak?

Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,


‫سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول هللا صلى هللا عليه و سلم – والصحابة والتابعين وليس للرجل‬
‫بصر بالحديث الضعيف المتروك وال االسناد القوي من الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال‬
‫ال يعمل حتى يسأل ما يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم‬

“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai seorang yang memiliki berbagai kitab
yang memuat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in.
Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah, tidak pula mampu membedakan
sanad hadits yang shahih dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan
memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan berfatwa dengannya? Ayahku
menjawab, “Dia tidak boleh mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang boleh
diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal dengan landasan yang tepat, dan
(hendaknya) dia bertanya kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in 4/206).

Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah melimpahkan rahmat


kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat
hanya menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan mereka adalah pribadi
yang menghafal seluruh periwayatan para rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan.
Sehingga, pondasi yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan atsar yang
dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita
sekarang.” (At-Tamyiz hal. 218).

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,

‫فأما األئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان‬

“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf
hal. 57) .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

‫ال يجوز أن يعتمد فى الشريعة على األحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة وال حسنة‬

“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang tidak berkategori shahih
(valid berasal dari nabi) dan hasan.” (Majmu’ al-Fatawa 1/250).

Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil dengan suatu hadits yang
terdapat dalam kitab Sunan dan Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia
seorang yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan dijadikan dalil, maka dia
tidak boleh berdalil dengannya hingga dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut
(hingga nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika dia tidak
mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila menemui salah seorang imam yang menilai
hadits tersebut berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam yang
menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil dengan hadits tersebut.” (Fath al-
Baqi fi Syarh Alfiyah al-‘Iraqi).
 Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum

Dikeluarkan oleh Abdul Karim Ar Rafi’i Asy Syafi’i dalam kitab At Tadwin fii Akhbari Qazwiin
(1134),

ُ‫ ثَنَا ُم َح َّمدُ ْبن‬، ‫ي‬ َ ‫ ثَنَا َع ْبدُ ْال َح ِّمي ِّد ْبنُ إبراهيم ْالبُو‬، ‫ي‬
ُّ ‫ش ْن ِّج‬ ُّ ‫َض ِّر ْال َم ْر ِّز‬ ِّ ‫ ثَنَا أَحْ َمد ْبنُ ْالخ‬، َ‫َّللاِّ ْال َم ْر ُزبَانُ بِّ َق ْز ِّوين‬
َّ ُ ‫ثَنَا أَبُو ُم َح َّم ٍد َع ْبد‬
َّ ‫سو ُل‬
ِّ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ قَا َل‬، ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
َّ ‫ي‬ َ ‫ض‬ َ َ
ِّ ‫ َع ْن أبِّي ه َُري َْرة َ َر‬، ‫ َع ْن أبِّي ِّه‬، ِّ‫َّللا‬ َّ ‫ ثَنَا يَحْ يَى ْبنُ َعبْي ِّد‬، ‫ار ِّك‬ ْ
َ َ‫َّللاِّ ْبنُ ال ُمب‬َّ ُ ‫ ثَنَا َع ْبد‬، ‫بَ ْك ٍر‬
‫الص َرا ِّط‬
ِّ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ا‬ َ
‫ط‬ ‫م‬
َ ْ َ َ َ ِّ ْ َ َ َ‫ا‬ ‫ه‬َّ ‫ن‬‫إ‬ َ ‫ف‬ ، ‫م‬ ُ
‫ك‬ ‫ا‬ ‫ي‬‫ا‬ ‫ح‬‫ض‬ ‫ُوا‬‫ه‬ ‫ر‬ ْ
‫ف‬
ِّ ْ َ ‫ت‬‫س‬ ‫ا‬ : ‫م‬ َّ ‫ل‬‫س‬‫و‬ َّ ‫صلَّى‬
َ َ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه‬ َ

“Abu Muhammad Abdullah Al Marzuban di Qazwin menuturkan kepadaku, Ahmad bin Al Hadr
Al Marziy menuturkan kepadaku, Abdul Hamid bin Ibrahim Al Busyanji menuturkan kepadaku,
Muhammad bin Bakr menuturkan kepadaku, Abdullah bin Al Mubarak menuturkan kepadaku,
Yahya bin ‘Ubaidillah menuturkan kepadaku, dari ayahnya, dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‘Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian
melewati shirath‘”

juga dikeluarkan oleh Al Dailami dalam Musnad Al Firdaus (268).

Derajat hadits

Riwayat ini sangat lemah, karena adanya beberapa perawi yang lemah:

1. Abdul Hamid bin Ibrahim Al Busyanji, dikatakan oleh Abu Zur’ah dan Abu Hatim: “ia tidak kuat
hafalannya dan tidak memiliki kitab”. An Nasa’i mengatakan: “ia tidak tsiqah”. Ibnu Hajar Al
Asqalani mengatakan: “ia shaduq, namun kitab-kitabnya hilang sehingga hafalannya menjadi
buruk”. Maka Abdul Hamid bin Ibrahim bisa diambil periwayatannya jika ada mutaba’ah.
2. Yahya bin ‘Ubaidillah Al Qurasyi, dikatakan oleh Imam Ahmad: “munkarul hadits, ia tidak
tsiqah”. An Nasa’i berkata: “matrukul hadits”. Ibnu Abi Hatim mengatakan: “dha’iful hadits,
munkarul hadits, jangan menyibukkan diri dengannya”. Ibnu Hajar mengatakan: “Yahya sangat
lemah”. Adz Dzahabi berkata: “para ulama menganggapnya lemah”. Sehingga Yahya bin
‘Ubaidillah ini sangat lemah atau bahkan matruk.
3. ‘Ubaidillah bin Abdillah At Taimi, Abu Hatim berkata: “ia shalih”. Al Hakim mengatakan:
“shaduq”. Imam Ahmad mengatakan: “ia tidak dikenal, dan memiliki banyak hadits munkar”.
Asy Syafi’i berkata: “kami tidak mengenalnya”. Ibnu ‘Adi berkata: “hasanul hadits, haditsnya
ditulis”. Ibnu Hajar berkata: “maqbul“, dan ini yang tepat insya Allah. Maka ‘Ubaidillah ini
hasan hadist-nya jika ada mutaba’ah.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Sebagaimana dikatakan oleh para
ulama seperti Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Talkhis Al Habir (2364), As Sakhawi
dalam Maqasidul Hasanah (114), Al Munawi dalam Faidhul Qadir (1/496), As Suyuthi dalam
Jami’ Ash Shaghir (992), Az Zarqani dalam Mukhtashar Al Maqashidil Hasanah (96), Al Ajluni
dalam Kasyful Khafa (1/133), Al Albani dalam Silsilah Adh Dha’ifah (74), serta para ulama
yang lain.

Memang terdapat lafadz lain,


‫الصراط مطاياكم‬
ِّ ‫ فإنها على‬، ‫عظموا ضحاياكم‬
ِّ

“Perbesarlah hewan qurban kalian, karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati
shirath”

Namun Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani setelah membawakan hadits ini beliau berkata,

‫س ِّه ُل ْال َج َوازَ َعلَى‬ َ ‫ب ْال ُم‬


َ ُ ‫ إنَّ َها ت‬:َ‫ َوقِّيل‬، َ‫ض ِّحين‬ َ ‫ إ َّن َها ت َ ُكونُ َم َرا ِّك‬:ُ‫ َوقَا َل َم ْعنَاه‬،‫سبَقَ ُه َما فِّي النِّ َهايَ ُِّة‬ ِّ ‫سبَقَهُ إلَ ْي ِّه فِّي ْال َو ِّس‬
َ ‫ َو‬،‫يط‬ َ ‫ َو‬،ُ‫لَ ْم أ َ َره‬
ُ‫ِّيث َغي ُْر َم ْع ُروفٍ َو َال ثَابِّتٌ فِّي َما َع ِّل ْمنَاه‬ ْ
ُ ‫ َهذَا ال َحد‬:ِّ‫ص َالح‬ َّ ‫ قَا َل ا ْبنُ ال‬،‫اط‬ ِّ ‫الص َر‬ِّ

“aku tidak pernah melihat (sanad) nya. Hadits ini ada di Al Wasith (karya Al Ghazali) dan kedua
hadits tersebut ada di An Nihayah (karya Al Juwaini). Mereka mengatakan tentang maknanya:
‘bahwa hewan kurban akan menjadi tunggangan bagi orang yang berkurban‘. Juga ada yang
mengatakan maknanya, ia akan memudahkan orang yang berkurban untuk melewati shirath.
Ibnu Shalah berkata: ‘hadits ini tidak dikenal, dan sepengetahuan saya tidaklah shahih'” (Talkhis
Al Habir, 2364).

Ibnu Mulaqqin berkata,

‫ال يحضرني من خرجه بعد البحث الشديد عنه‬

“tidak aku dapatkan siapa yang mengeluarkan hadits ini walaupun sudah aku cari dengan sangat
gigih” (Badrul Munir, 9/273).

Oleh karena itu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan, “tidak ada asal-usulnya
dengan lafadz ini” (Silsilah Adh Dha’ifah, 74).

Kesimpulan

Hadits yang menyatakan bahwa hewan qurban akan menjadi tunggangan melewati shirath tidak
shahih, bahkan sangat lemah. Ibnul ‘Arabi dalam Syarah Sunan At Tirmidzi mengatakan:

‫ليس في األضحيُة حديث صحيح‬

“tidak ada hadits yang shahih mengenai keutamaan hewan qurban” (dinukil dari Kasyful Khafa,
1/133).

Maka keyakinan tersebut tidaklah didasari landasan yang shahih sehingga tidaklah dibenarkan.

Wallahu ta’ala a’lam.

 Mengapa Harus Manhaj Salaf ?


 Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus”
(QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah
jelaskan pada ayat berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang
siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan
orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para
shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?


 Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu
adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat
di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah
tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama
ialah Nabi Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’
ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan
‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi.
Merekalah salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah yang
seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah maupun dakwah.
 Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran
 Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk
baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)
 Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud adalah para sahabat
Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti
mereka serta menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan
Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka surga-
surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-
lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100). Demikianlah,
Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari pengaruh-pengaruh peradaban lama
dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan pemahaman salaf telah
banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
 Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah
 Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah menegaskan
saat beliau sakit mendekati wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya,
Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya aku adalah
sebaik-baik salaf bagimu” (HR. Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang
banyak menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab mereka. Seperti
contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka mengatakan, “Dan setiap
kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari
bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam
Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang menampakkan madzhab salaf dan
bernasab padanya, bahkan wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah
kebenaran.
 Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat
 Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut dengan kembalinya umat
pada agama Islam yang murni, yaitu dengan meniti manhaj salaf. Di tengah maraknya
perpecahan umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-beda dan
saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang benar yaitu jalan yang sesuai dengan
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang kemudian disebut dengan
kembali kepada pemahaman yang benar, pemahamannya Rasulullah dan tiga generasi
awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ tabi’in, serta para pengikut mereka
yang setia dari kalangan para imam dan ulama. Tidak ada jalan lain untuk mencari
kebenaran dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali kepada
pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik, “Tidak akan baik
keadaan umat terakhir ini kecuali dengan apa yang menjadi baik dengannya generasi
pertama.”
 Wallahu a’lam.

 Mari Mengenal Manhaj Salaf

Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan hidayah
dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum
mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah kemudian muncul
berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu
kita ingat bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang
harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika
orang fasik datang kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al
Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi
01/Thn X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).

Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah yang cukup populer namun sering
disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau salafi dan
salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan
maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut berpartisipasi mengurai
“benang kusut” ini. Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan
wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.

Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad ini Syaikh Al Albani-
hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku beliau Limadza
Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
hafizhahullah dengan judul Mengapa Memilih Manhaj Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari,
Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki atau membaca
langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik

Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim
demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu
kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan
pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua
nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas
pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di
jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak.
Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-
orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti
jalan orang yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman
dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87,
dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44).

Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin untuk
memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu
untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak
sedikit kita saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa
mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa
banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi
taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi
parameter pemahaman) adalah termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat
disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang
haq ini. Sehingga kita temui adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain
manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus
mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di
antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana, namun tatkala pulang ke
Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala
Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan jari… Wallahul musta’aan.
Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.

Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan menunjukkan jalan untuk
memecahkan segala macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian
apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah
dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu
pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri adalah mencakup umara’
(penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa
makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul
adalah ambillah ajaran (Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam
rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh
dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila
kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat
tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya,
demikianlah tafsiran Mujahid dan para ulama salaf yang lain.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa
segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-
pokok agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus
dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Dan apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah.”
(QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta
dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah
kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).

Kata Salaf Secara Bahasa

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau
jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti
orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu
dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat
disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari
Limadza, hal. 30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat
Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu
Kami tenggelamkan mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf
(pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya adalah:
Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan perbuatan
sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan
mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini dengan istilah nenek moyang dan
leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada
jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik pendahulu. (lihat
Limadza, hal. 30, baca juga Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin
Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu
adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-
Nabi, para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan kita
bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas
bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..!
Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…

Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan pengertian secara bahasa
apabila ternyata pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan
menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan,
“Faidahnya adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari’at
dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita
bahwasanya istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber pemaknaan
bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai
para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan
sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah
demikian sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan supaya
tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat
Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).

Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata salaf maka yang mereka
maksud adalah salah satu di antara 3 kemungkinan berikut:

Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).

Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui kredibilitasnya di dalam Islam
yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al
Wajiz, hal. 21).

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun secara terminologi kata salaf
berarti sebuah karakter yang melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara
beragama mereka yang meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat
ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang
mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -red). Dan setiap orang yang
meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai
bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal.
5-6).

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun
Salafush shalih, mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti
jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah ta’ala
telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat
ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh
kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan
kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…”
( lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik orang
adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang
sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang
menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh
manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun
pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah
pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan
kesesatan. Akan tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka
dengan Al Kitab dan As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun
orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah
pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang
yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak beragama sebagaimana mereka maka
bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah
Ahlus Sunnah, hal. 8).

Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”

Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Imam Bukhari
rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan.
Karena ia lebih lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan kata
salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena
Rasyid bin Sa’ad adalah seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut salaf
olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.” Demikian pula perkataan Imam
Bukhari, “Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku
menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya
sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu’anhum,
karena Az Zuhri adalah seorang tabi’in.” (lihat Limadza, hal. 31-32).

Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Di dalam
mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia
(Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq mengatakan: Aku mendengar
Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits (yang
dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim mengatakan,
“Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).

Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam kitab-kitab mereka. Seperti
contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul
Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah.
Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka
katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu. Dan titilah jalan
salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka
cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.”
(lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.

Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah


Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran diri kepada kaum salaf.
Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai aliran
pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu
mereka anggap bahwa salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai
sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di
pikiran mereka ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai
sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang
ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah, namun
realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun
salafiyah adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan terpuji yang
disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru
ada.” (lihat Limadza, hal. 33).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan tidaklah tercela bagi orang yang
menampakkan diri sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa
mulia dengannya. Bahkan wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para
ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’
Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang
ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah adalah sebuah aliran baru yang
dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi
penghancuran dan pengkafiran yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah
salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan
ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau
ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang dipelopori
oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di Mesir.
Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah
munculnya istilah ini.

Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan pernyataan semacam ini atau yang turut
menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna,
asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh
karena itu sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap orang
yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal akidah dan manhaj sebagai
seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam
Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan
Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat.”
Maka Adz Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad Daruquthni)
belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam
dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan perbincangan di dalam
hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-35).

Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam
Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun
661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H.
Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu
Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir sebelum Ad Daruquthni
sehingga beliau layak untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan
penukilan semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah
pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang
berakal… Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya
pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.

Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah

Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak
digunakan pada masa sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah
memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum
dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam
yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa memahami
Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini sebagaimana mereka
mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf
dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena
semata-mata tidak ada di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan
dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab
tersebut demi meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka
demikian pula dengan istilah salafiyah.

Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan pemahaman bertebaran di udara kaum
muslimin maka sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan
pemahaman Islam kepada pemahaman yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok
yang menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur’an
dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama
pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).

Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah ini maka kami akan katakan
kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak
penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad
bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama),
dll. Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan: Baiklah, anggap
istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap mengatakan bahwa
penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin.
Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah
dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan.
Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang
tidak terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan mereka secara
kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan
kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak penisbatan
kepada pribadi dan kelompok yang ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat
Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr
hafizhahullah, silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan
manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427
H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah…!).

Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya: Kenapa harus


menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai,
kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di
dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah sangat
dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini adalah
pengertiannya menurut pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah
radhiyallahu ‘anha di saat beliau menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada
Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku.”
Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini
terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya kami bawakan sebuah contoh
saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai
macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf…
dan semua keburukan bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi ternyata di sana ada orang yang
mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa
istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh bagi
seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan,
“Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal
akidah, ibadah dan perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini -
meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri dari
Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di
dalam shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang sesudah mereka,
dan kemudian sesudah mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi seorang
muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya
dengan penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum
atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan
menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al
Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor
Muhammad Musa Nashr hafizhahullah).

Cinta Salaf Berarti Cinta Islam

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat adalah generasi pilihan yang harus
kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang
pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan
Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun
agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath Thahawi
rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat Islam di
sepanjang zaman, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami
tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak
berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka
dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak
menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman
dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran
batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah
kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan
belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…

Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai kaum Anshar adalah tanda
keimanan seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di
kitab Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar’.
Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan
adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini
di dalam Kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik adalah membenci Anshar. Dan
tanda orang beriman adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il Anshar
(Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar, tidak ada orang yang
mencintai mereka kecuali orang beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab
shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada
seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”
(Muslim no. 77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka kecuali orang
beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai
mereka maka Allah mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga
membencinya.” (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id
di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan
membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).

Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits di atas mengatakan, “…Makna
hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan
mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan
melindungi umat Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam
menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan
mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka,
kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan
permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi
menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran iman dan
ketulusannya dalam memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).

Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi menunjukkan kepada kita bahwa
mencintai para sahabat adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al
Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda
Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian orang-
orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah
mereka.” Maka mereka itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat
dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan
membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…Supaya Allah
membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29).
Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan dalil
tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di jalan
Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan
Rasul dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan
bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-
490).

Catatan:

Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits
yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun….
Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan lafazh
khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara
keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas;
sebaik-baik manusia, red).” (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).

Benci Salaf Berarti Benci Islam

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-
tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus
di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara
mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan
bahwa salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan
ayat inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera
dalam salah satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang
membenci para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, “Hal itu karena
mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang
membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan
sekelompok ulama radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…” (lihat Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya
konflik yang terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada
sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan
yang diselimuti dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan JIL (yang
sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara
Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah
mengabarkan pada kita, dulu muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali
bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki
pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya
kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi
salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya
dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan
kekuasaan atau persoalan politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL
dengan Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan… !!!
(silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-
72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang
Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema
Agama Syi’ah Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena
jasa mereka ini. Bacalah!!).

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki keutamaan lebih, begitu pula
lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara
umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun
ridha kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal
mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya:
Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari
Al A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara kalian
yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud
sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah,
diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir
7/280).

Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya

Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada
Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At
Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum Muhajirin,
kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa
Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat
hafizhahullah mengatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang
menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah
‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan
para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di
timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang tidak mengikuti perjalanan
para Shahabat, apalagi sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan
keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Allah ta’ala mengabarkan
bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu
kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan
bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh
dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140). Imam
Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum
Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-
orang sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”
merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-
orang yang mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam
hal perbuatan maupun perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal
Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat
Fathul Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik” di dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam
rangka mencari keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini merupakan dalil tegas dari Al Qur’an
yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan membenci
mereka maka dia adalah orang yang sesat dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah
berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa
kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah
jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah
Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah
memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela shahabat.
Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka orang yang membenci atau mencela mereka (semua
sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian mereka…” Setelah
memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang
terbaik sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap
ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa
akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan
mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah
diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul
bid’ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah
hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha kepada mereka
dan saya pun ridha kepada mereka).

Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan

Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati
bergetar dan air mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai
Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah
kiranya anda memberikan wasiat kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada
kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada
pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya
barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka
berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (di
dalam agama). Karena semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”

Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau
(Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan
bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu Dawud (4607),
Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al
Albani dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba’in
An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal.
164).

Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan
sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau
wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam
Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang
empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah keempat
khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad
bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita
tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi sunnatii
ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga
berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan
yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita
harus berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan
yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan
demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi
orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam
kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya berpegang
teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya
(Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat orang
Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 203). Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al
Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap khalifah
yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah
dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa seorang khalifah yang lurus tidak
diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud
dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan
sebuah ajaran kecuali berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk
bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50
dan 7/420) Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah
Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (dinukil dari Limadza, hal. 73).

Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim
Al Hilali. Beliau mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini
menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat
radhiyallahu ‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan
pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka
kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan
yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai
macam firqah dan aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau
dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari
istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka
dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang agung ini.

Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah

As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah As Sunnah adalah ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan,
perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah
dalam terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah
yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang
dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang
hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul
Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara.
Sedangkan menurut istilah syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran
yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti
jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh
karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah
mengatakan, “Al Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun engkau
seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang
berada di atas jama’ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia
berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat
radhiyallahu ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika
menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali
satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat. Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah
menurut ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam
Majmu’ Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat
populer di dalam kitab-kitab sunan dan musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh
Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani
rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di
dalam buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).

Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang
yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan
mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti
Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka senantiasa ada, eksis dan
mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka
mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka
itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’ (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30,
Panduan Aqidah Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul
Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain
Al Jizani hafizhahullah).

Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu orang-orang yang tetap
mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan)
maupun bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid’ahnya
(lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi
seseorang atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata, “Terjatuhnya seorang
ulama dalam bid’ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….”
“…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:

1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.


2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini) berkata, “Tidak semua orang
yang melakukan bid’ah secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi
orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam
pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat
yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang menyelisihinya
sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya
Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah
hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan
mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik
dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah
mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas
Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya anda dapatkan mereka itu
berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh
dari petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka ciptakan.” (Fatawa
Arkanul Islam, hal. 21).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan para ulama yaitu: Ash-habul
Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul
Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai
keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan
Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika banyak
kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh menyimpang dari
prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah
pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6,
Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14). Apabila para pembaca ingin
mengetahui lebih dalam tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka
kami sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau
sudah menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau.
Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun
Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca
buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan
dakwah Ahlul bid’ah, …Aammiin.

Hanya Satu yang Selamat!

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memberitakan tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat
mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di
Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil
Ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu
menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan
kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah.
Seluruh firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari
orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana yang
diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang
disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari
kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat
kelak. Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan
dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang
dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”

“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas kebenaran sedangkan selainnya berada
di atas kebatilan. Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya
menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi
lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa
dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya. Mereka beralasan
karena bukan hanya firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak
kelompok orang yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya.
Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang.
Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa
diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman ketika hari kiamat datang. Oleh
sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah
disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya
umat ini akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu.
Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan pemahaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-firqah ini.
Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok
aliran sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas
sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung cabang-cabang
sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada
di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).

Firqah-Firqah yang Menyimpang

Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan yang diridhai Allah dalam
beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah
mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim
yang sangat penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang
benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan
lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini
adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua
nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al
maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia
selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya
rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi
nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan niat yang baik.
Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min
Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga
bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman
dan buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar
Islam.

Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini pada hakikatnya mewarisi
penyimpangan-penyimpangan yang ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di
antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-
gabungkan penyimpangan dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka.
Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama lama. Akan tetapi mereka kelabui
umat dengan nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak
puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan pelajaran’ dari produk
pemikiran orang-orang Kafir. Di antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam.
Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan
lebih senang dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang
yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini
maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam bentuk
ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi mengkader para penerus kesesatan
mereka. Mereka racuni pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak
jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar
lagi ada yang berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak.
Subhaanallaah…!!

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan
dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti
contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah,
Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah
firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.”
(Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak
disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari
syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij. Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul
I’tiqad Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-
ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara
cirinya adalah:

1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah
yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun
tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul
I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara
singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain.
Mereka itu adalah:

1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait
(keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari
kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para
Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini
pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani
mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah
kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta
begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal.
49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang
madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah.
Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham
Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan
dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab
mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan
pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari
pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya.
Wallaahul musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah
membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir.
Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat
yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan
pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara
mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa
terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun
sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan
modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk
orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan
meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab
Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu
di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain),
tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan
kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab
mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana kelakuan
kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah. Sedang dalam
masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan
dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena
Jahmiyah menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu dalam satu
tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan
tetapi sebenarnya hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab
Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini
juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah
yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal.
Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini
pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan
Al Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian
sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah
perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan
semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup,
mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya
beliau bertaubat secara total dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga
Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163).

Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak
terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya
saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya,
Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam
kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan)
pada masa kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa
Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah menyebar
kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa, red),
Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini
termasuk pengusung paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al
Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku
Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al
Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh
berkembang menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan
kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul
I’tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan bahaya di balik
jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim
bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah).

Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai

Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras tindakan mendirikan berbagai
jama’ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok
keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul
‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan
hizb/partai di dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?” Komite tersebut
menjawab: “Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi
berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara
yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang
mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya dengan siksaan
yang sangat besar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan tali
Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah
datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah siksaan yang
sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105). Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan tidak
ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila
pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan terhadap
mereka serta memilah-milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan
untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674
tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).

Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di
dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai. Akan
tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53). Dan tidak ragu lagi
bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga
bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya
(agama Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu,
Maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal.
54).

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang untuk
khuruj (keluar daerah untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama
Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki
bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak
diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah mempunyai bekal
ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus
Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan menasihati mereka.” (Majalah Ad
Da’wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’ Fatawa beliau
8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56).
Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya
berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan
(anggota Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan ulama-ulama yang
lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah menjaga mereka
semua.

Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah
sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat
jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru asyik
mendengung-dengungkan kehebatan partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya,
mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta
memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang
lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21 yang berusaha
‘menegakkan benang basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi
mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang yang mau merenungkan?

Penutup

Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf artinya para sahabat Nabi dan
orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau
organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan… jangan salah paham. Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari
perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An
Najiyah (golongan yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang
mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau
bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama sebagaimana caraku dan cara para
sahabatku pada hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal.
11).

Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama kali kepada diri-diri kita sekarang
adalah; apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan
petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran
yang tenang: Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta
Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya?
Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke
zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman
Salaf. Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru
saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan
pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa biar kelihatan cocok?! Orang yang
bijak mengatakan: ‘Kenalilah kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’ Kenapa
kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau
organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau
ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik
sebelum anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua telah
mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai
pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!!

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-
orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci
Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya:
jalan yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan
mengantarkan menuju Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu
terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan
ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada
Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar menempuh jalan
menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan
mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu akupun memiliki [hujjah
yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak
ada keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang
mengikutiku], mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah
yang nyata dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan kepada-
Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan
termasuk orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan
mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).

Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang
masih jauh dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal
dari kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan kami. Dan kami
memohon ampun kepada Allah atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang
budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan
ridha, rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal
kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan kita Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

 Mengenal Salaf dan Salafi


 Pada tulisan yang lalu kita telah membahas bagaimana terjadinya polemik antara para
sahabat yang berujung dengan peperangan antara dua kelompok besar dari kaum
muslimin. Kita pun melihat bagaimana persaudaraan tetap terjaga diantara mereka.
Bahwa peperangan yang terjadi tidak membuat mereka saling mencela apalagi saling
mengkafirkan.
 Terjadinya polemik tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah terjadi, melihat bahwa
para sahabat -dengan segala kemuliaan dan keutamaan yang diberikan kepada mereka-,
tetap merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun kita meyakini
bahwa dosa yang mereka lakukan telah dihapuskan oleh Allah ta’ala. Entah karena
mereka sudah bertaubat, atau karena kebaikan yang mereka lakukan, atau karena
keutamaan mereka sebagai orang orang yang terdahulu masuk agama islam, atau bisa
juga terhapuskan oleh syafaat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana tentu
saja para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya1.
 Itu berlaku untuk kesalahan yang berujung dosa. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang
sifatnya ijtihad sebagaimana yang terjadi pada perang siffin? Yang mana Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam menjanjikan dua pahala bagi yang ijtihadnya benar dan satu
pahala bagi yang ijtihadnya salah?!
 Orang majusi mengambil kesempatan2
 Namun pandangan tersebut akan berbeda jika yang melihat adalah orang orang picik
yang memang ingin berbuat jahat. Orang-orang Majusi persia melihat bahwa perselisihan
yang terjadi adalah kesempatan emas untuk kembali menjalankan aksi mereka. Mereka
pun memutuskan untuk berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Bukan karena mereka
memandang kebenaran berada di pihak Ali! Bukan! Mereka mendukung Ali karena
mereka ingin menggunakan posisi Ali sebagai menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Yang dengan itu mereka ingin memunculkan propoganda berupa cinta kepada
Ahlul Bait, yaitu keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa diantara kaum
muslimin yang tidak mencintai keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?!
 Dari konsep cinta ahlul bait ini mereka ingin menghidupkan kembali ajaran Majusi yang
mengkultuskan sebuah keluarga. Sebagaimana kita ketahui, salah satu ajaran agama
majusi adalah keharusan adanya sebuah keluarga yang berisi orang orang ma’shum, yang
terbebas dari dosa baik yang besar maupun kecil. Keluarga inilah yang mengatur urusan
agama rakyatnya. Maka dengan konsep cinta ahlul bait, mereka pun bisa menghidupkan
ajaran lama mereka. Makanya konsep ahlul bait bukan hanya sekedar mencintai ahlu bait
saja, tapi juga mengkultuskan dan menganggap bahwa para imam imam mereka yang
merupakan keturunan Rosulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah kultur
keluarga (Ahlu bait) yang memiliki sifat ishmah (terjaga dari dosa). Perkataan mereka
pun dianggap laksana wahyu yang harus diikuti.
 Hal ini bertambah kuat dengan menikahnya cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam yaitu Husain bin Abi Thalib dengan putri Yazdajir (raja Persia). Yazdajir dan
putrinya ketika itu telah menjadi tawanan kaum muslimin. Karena putri dari seorang raja,
kaum muslimin pun menikahkannya dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan
pernikahan tersebut tentunya akan lahir orang orang yang berdarah persia dari keturunan
Husain Radhiyallahu ‘Anhu. Sementara orang-orang Majusi adalah orang orang yang
sangat fanatik dengan bangsa mereka. Maka selain menghidupkan kembali ajaran Majusi,
berdirinya mereka di sisi Ali bin Abi Thalib dan putranya Husain tentunya juga
didasarkan kefanatikan mereka kepada darah persia.
 Peran orang Yahudi
 Ternyata bukan hanya orang orang Majusi saja yang berdiri di barisan Ali untuk berbuat
makar. Di saat yang sama orang orang Yahudi yang dipelopori Abdullah bin Saba pun
berdiri di satu barisan. Merekapun bersekongkol dan bekerja sama untuk melakukan
konspirasi di tubuh kaum muslimin.
 Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib ditangan seorang khawarij Abu Muljam, orang
orang Majusi dan Yahudi terus menerus dengan gigih memprovokasi para pendukung Ali
untuk memerangi bani Umayyah dengan dalih cinta kepada Ahlu bait. Mereka juga terus
berusaha memunculkan aliran aliran kebatinan yang sesuai dengan ideologi Majusi
Persia. Hingga merekapun berhasil memunculkan aliran Sabaiyah dan Kisaniyah.
 Sabaiyah3 dinisbatkan kepada Abdulllah bin Saba yang mengajak kepada penuhanan
kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali bin Abi Thalib masih hidup, sebagian mereka
berkata kepada Ali, “engkau adalah engkau”. Ali pun bertanya, “siapa saya?”, mereka
menjawab, “engkau adalah pencipta”. Maka ali pun menyuruh mereka bertaubat, namun
mereka tidak mau bertaubat. Maka Ali pun membuat api yang sangat besar dan
membakar mereka. Sementara Abdullah bin Saba, sebagian sejarawan mengatakan
bahwa dia tidak ikut dibakar, namun diasingkan ke negri Madain. Dan setelah Ali bin Abi
Thalib syahid terbunuh, dia pun menyatakan bahwa Ali tidaklah meninggal dunia.
 Selain meyakini ketuhanan Ali bin Abi Thalib, orang orang sabaiyah juga meyakini
bahwasanya Ali adalah orang yang telah mendatangkan awan untuk menurunkan hujan.
Bahwa halilintar pada hakekatnya merupakan suara Ali, dan kilatannya merupakan
senyuman Ali. Mereka juga mengatakan bahwasanya Ali akan kembali lagi turun ke
bumi untuk mengisi bumi dengan keadilan.
 Adapun kisaniyah4 adalah para pengikut kisan yang merupakan budak dari Ali bin Abi
Thalib. Mereka memiliki keyakinan tanashukul arwah, hulul, dan raj’ah5 setelah
kematian. Mereka juga mengatakan bahwa ilmu kaisan mencakup seluruh ilmu. Dan
kaisan telah mengambil ilmu tersebut dari dua penghulu yaitu Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu ‘Anhu dan putra beliau Muhammad bin Hanafiyah Rahimahullah.
 Melalui dua aliran kebatinan tersebut lahirlah aliran aliran kebatinan yang lain, seperti
mukhtariyah, hasyimiyah, bayaaniyah, dan romaziyah6. Yang mana meskipun nama
mereka bermacam macam, pada hakekatnya ajaran mereka sama.
 Pada masa Bani Umayyah aliran aliran tersebut diberantas oleh tangan kekuasaan Bani
Umayyah. Orang orang pun mengira bahwa mereka telah punah dan tidak akan muncul
kembali. Namun hal tersebut ternyata keliru. Karena jangan lupa, bahwa orang orang
persia sangat mudah memainkan gerakan bawah tanah. Jikapun gerakan yang muncul
dipermukaan telah habis, maka masih ada gerakan bawah tanah yang akan kembali
muncul jika saatnya telah tiba.

 Beginilah Seharusnya Seorang Salafy

Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di
negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah
akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu
mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi
(pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan
juga sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus
persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.

Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang
sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan
memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh
sebab itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan taufik
kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik
paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya
kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas
mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?”

Jawaban:

Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang
Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal
akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama
manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak
menonjol ciri mereka:

Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan
keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini
tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-
Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang
begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-
ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya
perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka
adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak
mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan
oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka
tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya:
mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan
pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan
keluhurannya.

Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama
manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai
hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan
menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka
berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka
berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari
keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan
mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid
terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya
keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang
diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang
Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari
Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini,
meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah
terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala
kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran
agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah
berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung
jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi
bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al
An’am: 159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling
menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab
itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai
perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun
kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah
bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di
antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu
sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru
saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap
berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya
jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini
semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad
dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya
adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha
mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh
sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu
perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan
mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila
dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam
pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah
meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat
tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap
keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab
dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani
Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan
kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR.
Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di
tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang
mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka
beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat
‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat
pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita
mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun
demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara
kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci
shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang
menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah
terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan
yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan
seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-
ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk
menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa
memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan
meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu
memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal
ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang
lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan
hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan
bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling
berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara
lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama
Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan
karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat;
yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan
ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau
gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau
di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah.
Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan
saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka.
Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima
dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan,
tidak grusah-grusuh dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa
salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang
menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang
beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena kebenaran itu datang dari selain kelompok
kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang
taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang
musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari
ketergelinciran kita.

Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj
Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam
saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah
Ahlul bida’ wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki
akhlak demi terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran?
Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran.
Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami
mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas
kebenaran dan bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan
Maha Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada
panutan kita Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum
Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji
bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

 Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari
diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Tidak, demi Allah,
hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah,
sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)

Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Demi Allah, salah
seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang
tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari
[I/58] no: 15, dan Muslim dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])

Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di atas, yang menekankan wajibnya
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama,
hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut.
Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah kecintaan kepada Allah- atas
kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tanpa diragukan lagi adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab cinta dan kasih sayang
merupakan buah dari perkenalan, dan para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan
paling mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak
mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh lebih besar dan lebih dalam dibandingkan
kecintaan orang-orang yang datang sesudah mereka.

Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang terekam dalam sejarah yaitu:
Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat
Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas
dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya
Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya,
kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi
Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah
duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun
berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para
sahabat Muhammad kepada Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir
[V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah
berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru
kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di
tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara
kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah
peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya
perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada
di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas
menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi
Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama
engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia
berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari syaikhnya Muhammad bin
Su’aib dan aku tidak mengenalnya, sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).

Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan suatu ibadah yang amat besar
pahalanya. Banyak ayat-ayat Al Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang hamba dari kecintaan dia kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku belum mempersiapkan shalat
dan puasa yang banyak, hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang (di hari
kiamat) akan bersama orang yang dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.”
Anas pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.'” Anas kembali berkata,
“Aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka aku berharap
akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan cintaku ini kepada mereka, meskipun aku
sendiri belum (bisa) beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])

Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya di surga kelak??

Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan Ragam Manusia di Dalamnya

Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beberapa potret cinta para sahabat kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ganjaran
yang akan diraih oleh orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada
perkara yang amat penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?,
bagaimanakah seorang muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-Mushthafa
shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus direalisasikan oleh seorang muslim agar dia
dikatakan telah mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu kita angkat,
karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan diri mereka ke agama Islam mengaku
bahwa mereka telah mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang mengaku telah merealisasikan sesuatu,
dapat diterima pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya bukti-bukti bagi
pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-lah yang seyogyanya kita ambil.

Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami makna cinta kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Golongan yang berlebih-lebihan.


2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam memahami makna cinta kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As Sunnah
sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush shalih)
dalam mengungkapkan rasa cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush
shalih adalah generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Nabi kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah mereka
(para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya
[IV/1962, no: 2533])

Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
antara lain:

a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan Allah subhanahu wa
ta’ala, dan Beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan.
Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling akhir,
penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-
Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Shalih Alu
Syaikh, hal 56).

b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah menegaskan,

‫سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَانتَ ُهوا‬ َّ ‫َو َما آت َا ُك ُم‬
ُ ‫الر‬

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah
terjadi maupun yang belum terjadi, karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah
subhanahu wa ta’ala.

ٌ ْ‫نط ُق َع ِّن ْال َه َوى ِّإ ْن ه َُو ِّإ َّال َوح‬


‫ي يُو َحى‬ ِّ ‫َو َما َي‬

“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,

َ ‫َّللاِّ أُس َْوة ٌ َح‬


ٌ‫سنَُة‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِّي َر‬
َّ ‫سو ِّل‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-
Ahzab: 21)

Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan ditolak.” (HR.
Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).

e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat dengan
syari’at yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk mengamalkannya,
karena apa yang disebutkan di dalam As Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam
Al Quran (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal:
138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

َ‫ع َّللا‬ َ َ ‫سو َل فَقَدْ أ‬


َ ‫طا‬ َّ ِّ‫َّم ْن ي ُِّطع‬
ُ ‫الر‬

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa:
80)

f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau masih hidup, dan membela
ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan sunnahnya dan menyebarkannya
di masyarakat.

g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya. Sebagaimana kisah yang dialami
oleh Umar di atas, akan tetapi jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan),
sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa ta’ala
karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya perbuatan sebagian orang yang
membersembahkan ibadah-ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya: ber-istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya, meyakini bahwa
beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam
sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-
orang Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam, sesungguhnya aku hanyalah
hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])

h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-
orang yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para
sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’
Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala
Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi
[I/344-358]), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih
dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah kewajiban untuk
memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya
dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, [2/575], untuk pembahasan lebih
lanjut silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).

Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah orang-orang
yang lalai dalam merealisasikan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah disebutkan
di atas.

Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka bahwa hanya dengan meyakini
kerasulan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah cukup untuk merealisasikan
cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa harus “capek-capek” mengikuti
tuntunannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan hati legowo tentang ke-
ma’shum-an (dilindunginya) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kesalahan-kesalahan
dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi. Sebagaimana yang digembar-
gemborkan oleh koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw
adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang
dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak
kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Islam Liberal &
Fundamental, Sebuah Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).

Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bisa diterapkan di segala zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih gaya
baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih klasik tidak mampu lagi
menampung perkembangan kebutuhan manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan
agama-agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Nurcholis
Madjid dkk, hal: ix).

Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ulah Koran
Denmark “Jyllands-Posten”, pada hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan
memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah
wa qatha’a aidiyahum, amien.

Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang menggambarkan beraneka ragamnya
kekurangan banyak orang yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam
merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang itu semua
bermuara pada penyakit tidak dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf
sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka yang berlebih-lebihan dalam
mengungkapkan cinta mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga
mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak disyari’atkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan
oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang paling tinggi kecintaannya
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan
tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan dalam mengagung-agungkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak
prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini adalah apa yang ada dalam
“Qashidah al-Burdah” yang sering disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ِّ ‫ق َما ِّلي َم ْن أَلُ ْوذُ ِّب ِّه ِّس َواكَ ِّع ْندَ ُحلُ ْو ِّل ْال َحا ِّد‬
‫ث ال َع ِّم ِّم‬ ِّ ‫… َيا أَ ْك َر َم ْالخ َْل‬

‫علُ ْو ِّمكَ ِّع ْل ُم اللَّ ْوحِّ َو ْالقَ َل ِّم‬ َ ‫فَإ ِّ َّن ِّم ْن ُج ْودِّكَ الدُّ ْن َيا َو‬
ُ ‫ض َّرت َ َها َو ِّم ْن‬

“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!

Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain dirimu, ketika datang musibah yang
besar…

Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian kedermawananmu,

dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”

(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur Rabbani, hal: 56).

La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan untuk memohon


perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al
An’am: 17 dan At Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber dari Allah
semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil
akhirati hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu qalam adalah sebagian dari
ilmu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita
Allah subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta
mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi budaya, hingga timbul semacam
ketakutan moral diasingkan dari arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa
berdosa jika tidak turut menyukseskannya.

Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah perayaan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ini pernah diperintahkan oleh Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah
para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakannya? Atau mungkin salah
seorang dari generasi Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa pertanyaan-
pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah kabarkan bahwa perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka
berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling sempurna dalam merealisasikan
kecintaan kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini,
banyak sekali para ulama kita yang menegaskan hal ini.

Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah dikerjakan pada masa-masa itu:

1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam
Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa (I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad bin
Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-‘Ibad (I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-
Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Muhammad
bin ash-Shiddiq dalam kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil oleh Ahmad bin Yahya al-
Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa
Ulama Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-Sunan wa al-Mubtada’at al-
Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.

Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan? Maulid pertama kali dirayakan
pada abad ke empat hijriah (kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang bernama al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi, salah
seorang raja Kerajaan al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat Bathiniyah
(Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-
Ghazali, dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.

Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:

1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w 766 H), dalam kitabnya
al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-Khuthathi wa al-Atsar (I/490).
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam risalahnya: Al-Maurid fi al-
Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam kitabnya Shubh al-A’sya fi
Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, hal: 69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya) dalam kitabnya Ahsan al-
Kalam fima Yata’allaqu bi as-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi
Maulid Khair ar-Rusul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal: 126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-Mukhtar, hal: 185-186.

Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini? Berhubung mereka telah
melakukan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di
Mesir dan Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di Mesir dan Syam
tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan,
hingga pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan digulingkan oleh rakyatnya.
Maka dalam rangka mengambil hati rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-‘Ubaidi mengadakan acara
maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-maulid lain seperti maulid
Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan, maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk
perayaan Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman itu berjibaku untuk
mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal
abad ketujuh kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang sufi yang dijuluki
al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat
kejahilan terhadap agama dan taqlid buta.

Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu adalah rekayasa politis untuk
melanggengkan kekuasaan bani Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi
al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad
al-Huqail, hal: 5).

Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-orang yang pertama kali
mengadakan perayaan maulid ini. Dan itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan
Bani Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-Qaddah yang telah terkenal
di mata para ulama dengan kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada kaum
mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-musuh Islam untuk membantai kaum
muslimin, banyak di antara para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun
orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun tumbuh berkembang dengan
membawa pemikirannya, di mana ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu,
jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan hakikat kepercayaannya (Lihat:
Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-Fatawa
lil Ba’li, hal: 488).

Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid yaitu al-Mu’iz lidinillah al-
‘Ubaidi, maka dia adalah orang yang gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani,
kebalikannya kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan menjadi “Hayya
‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut merangkul paranormal dan memakai
ramalan-ramalan mereka (Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum az-
Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi IV/75). Inilah hakikat asal
sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah
diukur dengan merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya. Bukankah kita juga
mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya? Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua, untuk
membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu berapa miliar dana yang harus
dikeluarkan? Bukankah lebih baik dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir
miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?

Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-sampai orang yang senantiasa
berusaha menegakkan akidah yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha
untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, tidak
dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid.
Sebaliknya setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya setahun dua kali (idul
adha dan idul fitri), atau dia masih gemar maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam bersikap?

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan kecintaan yang hakiki kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mohon maaf atas segala kekurangan.

Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi
ajma’in.

 Mana Bukti Cintamu pada Nabi?


 Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi akhir
zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik hingga akhir zaman.
 Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan usahanya untuk
membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu pula kecintaan pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Setiap orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun
tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang keliru. Itulah yang nanti
diangkat pada tulisan kali ini. Semoga Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
 Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Allah Ta’ala berfirman,
ُ‫سا ِكن‬
َ ‫سادَ َها َو َم‬ َ ‫ِيرتُ ُك ْم َوأَ ْم َوا ٌل ا ْقت ََر ْفت ُ ُموهَا َوتِ َج‬
َ ‫ارة ٌ ت َْخش َْونَ َك‬ َ ‫ قُ ْل إِ ْن َكانَ آَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم َوإِ ْخ َوانُ ُك ْم َوأ َ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش‬
ْ ْ َ ْ َّ َ‫ض ْونَ َها أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ُك ْم ِمن‬
َ‫َّللاُ َال يَ ْهدِي ال َق ْو َم الفَا ِسقِين‬
َّ ‫َّللاُ ِبأ ْم ِر ِه َو‬
َّ ‫ي‬ َ ِ‫صوا َحتَّى يَأت‬ ُ َّ‫س ِبي ِل ِه فَت ََرب‬
َ ‫سو ِل ِه َو ِج َها ٍد فِي‬ُ ‫َّللاِ َو َر‬ َ ‫ت َْر‬
 “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua
hal-hal tadi lebih dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah,
maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.”[1] Ancaman keras
inilah yang menunjukkan bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
makhluk lainnya adalah wajib.
 Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ي أ َ ْولَى بِ ْال ُمؤْ ِمنِينَ ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َوأَ ْز َوا ُجهُ أ ُ َّم َهات ُ ُه ْم‬ُّ ِ‫ النَّب‬
 “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.”
(QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada umatnya kecuali
jika ada maslahat dan mendatangkan keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa
mereka sendiri. Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena itu,
kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan pada diri sendiri.
 ‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar
berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali
terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
َ‫ الَ َوالَّذِى نَ ْفسِى بِيَ ِد ِه َحتَّى أ َ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَيْكَ ِم ْن نَ ْفسِك‬
 ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku
harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata,
”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar,
(imanmu telah sempurna).”[3]
 Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
 Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
 Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
 Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat tumbuhnya kecintaan.
Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam adalah manusia yang paling luar
biasa dan sempurna dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat beliau
adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan kasih sayang pada umatnya.
Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati beliau dalam firman-Nya,
‫وف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫يص َعلَ ْي ُك ْم ِب ْال ُمؤْ ِمنِينَ َر ُء‬ ٌ ‫يز َعلَ ْي ِه َما َعنِت ُّ ْم َح ِر‬ ٌ ‫سو ٌل ِم ْن أ َ ْنفُ ِس ُك ْم َع ِز‬
ُ ‫ لَقَدْ َجا َء ُك ْم َر‬
 ”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah:
128)
 Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika seseorang mencintai
nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara faedah tersebut adalah:
 [1] Mendapatkan manisnya iman
 Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
‫سولُهُ أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم َّما ِس َوا ُه َما َوأ َ ْن ي ُِحبَّ ْال َم ْر َء َال ي ُِحبُّهُ ِإ َّال ِ ََّّللِ َوأَ ْن‬ َّ َ‫ان أ َ ْن يَ ُكون‬
ُ ‫َّللاُ َو َر‬ ِ ْ َ ‫ث َم ْن ُك َّن فِي ِه َو َجدَ َح َال َوة‬
ِ ‫اْلي َم‬ ٌ ‫ ث َ َال‬
‫ار‬ َّ
ِ ‫ف فِي الن‬ َ ْ ْ َ ْ ْ ُ ْ
َ ‫يَك َرهَ أن يَعُودَ فِي الكف ِر َك َما يَك َرهُ أن يُقذ‬ ْ َ ْ
 “Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah
dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya
karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam
api.”[4]
 [2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
 Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk
menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah.
Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata,
 َ‫أ َ ْنتَ َم َع َم ْن أَحْ بَبْت‬
 “(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.”[5]
 Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira
sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena
kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”[6]
 [3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ‫اس أَجْ َمعِين‬
ِ َّ‫ َال يُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحتَّى أ َ ُكونَ أ َ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوا ِل ِد ِه َوالن‬
 “Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku lebih dicintainya dari anak
dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.”[7]
 Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencintai beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
 Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa pun
 Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk pilihan dari Allah
Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫طفَا ِنى ِم ْن َب ِنى‬ ْ ‫طفَى ِم ْن قُ َري ٍْش َب ِنى هَا ِش ٍم َوا‬
َ ‫ص‬ َ ‫ص‬ ْ ‫شا ِم ْن ِكنَانَةَ َوا‬ ً ‫طفَى قُ َر ْي‬َ ‫ص‬ ْ ‫طفَى ِكنَانَةَ ِم ْن َولَ ِد ِإ ْس َما ِعي َل َوا‬
َ ‫ص‬ َّ ‫ ِإ َّن‬
ْ ‫َّللاَ ا‬
‫هَا ِش ٍم‬
 “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari keturunan Isma’il. Lalu
Allah pilih Quraisy yang terbaik dari Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang
terbaik dari Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani Hasyim.”[9]
 Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari siapa pun yaitu apabila pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya
bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka yang didahulukan
adalah pendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang
telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal
baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]
 Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
 Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah mengimani kemaksuman Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam dari dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala
yang dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang, dan akan datang.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
)4( ‫ي يُو َحى‬ ٌ ْ‫) ِإ ْن ه َُو ِإ َّال َوح‬3( ‫) َو َما َي ْن ِط ُق َع ِن ْال َه َوى‬2( ‫احبُ ُك ْم َو َما غ ََوى‬ َ ‫ض َّل‬
ِ ‫ص‬ َ ‫) َما‬1( ‫ َوالنَّجْ ِم ِإذَا ه ََوى‬
 ”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula
keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS. An Najm: 1-4)
 Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
 Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah memuji beliau
dengan pujian yang layak baginya. Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang
diberikan oleh Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang paling
utama adalah shalawat dan salam kepada beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َّ َ‫ص ِل َعل‬
‫ي‬ َ ُ‫ْالبَ ِخي ُل الَّذِي َم ْن ذ ُ ِك ْرتُ ِع ْندَهُ فَلَ ْم ي‬ 
 “Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia
tidak bershalawat kepadaku.”[11]
 Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta berpegang pada
petunjuknya.
 Allah Ta’ala berfirman,
‫َّللاُ َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ذُنُو َب ُك ْم‬ َّ َ‫ قُ ْل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬
َّ ‫َّللاَ فَات َّ ِبعُو ِني يُحْ ِب ْب ُك ُم‬
 “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
 Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ٌ ‫ضاللَة‬ َ ‫ ُك ُّل ِبدْ َع ٍة‬،‫ َوال ت َ ْبت َ ِدعُوا فَقَدْ ُك ِفيت ُ ْم‬،‫ ات َّ ِبعُوا‬
 “Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah.
Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan
Nabi (baca: bid’ah) adalah sesat .”[12]
 Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
 Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah salah
satu prinsip mahabbah (cinta) dan ittiba’ (mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam).
Tidak ada iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan sepenuhnya
syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
‫س ِل ُموا تَ ْس ِلي ًما‬
َ ُ‫ضيْتَ َوي‬َ َ‫ش َج َر َب ْينَ ُه ْم ث ُ َّم َال َي ِجد ُوا فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َح َر ًجا ِم َّما ق‬ َ ‫ فَ َال َو َر ِبكَ َال يُؤْ ِمنُونَ َحتَّى يُ َح ِك ُموكَ فِي َما‬
 “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
 Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang keluar dari ajaran dan
syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Allah telah bersumpah dengan
diri-Nya yang disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan hukum
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang diperselisihkan di antara
mereka dari perkara-perkara agama dan dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa
keberatan terhadap hukumnya.”[13]
 Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu tanda
kecintaan dan pengagungan. Allah Ta’ala berfirman,
 َ‫سولَهُ أُولَئِّك‬ َّ َ‫ص ُرون‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ ُ ‫َّللاِّ َو ِّرض َْوانا َويَ ْن‬ َّ َ‫ار ِّه ْم َوأ َ ْم َوا ِّل ِّه ْم يَ ْبتَغُونَ فَضْال ِّمن‬ ِّ َ‫اج ِّرينَ الَّذِّينَ أ ُ ْخ ِّر ُجوا ِّم ْن ِّدي‬
ِّ ‫اء ْال ُم َه‬
ِّ ‫ِّل ْلفُقَ َر‬
َ‫صا ِّدقُون‬ َّ ‫ُه ُم ال‬
 “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari
harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka
menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr:
8)
 Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti
diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam mengalami kekalahan, Anas bin
Nadhr pada perang Uhud mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu dari perbuatan kaum
musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad
bin Mu’adz, surga. Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga dari
Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sebagaimana yang diperbuatnya,”
ujar Sa’ad. Anas bin Malik berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang,
tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah gugur dan kaum
musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak ada seorang pun yang mengenalinya
kecuali saudara perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
 Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengharuskan beberapa hal, di
antaranya:
 [1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
 Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫َصيفَه‬ ِ ‫ص َحابِي فَإ ِ َّن أ َ َحدَ ُك ْم لَ ْو أ َ ْنفَقَ ِمثْ َل أ ُ ُح ٍد ذَ َهبًا َما أَد َْركَ ُمدَّ أَ َح ِد ِه ْم َو َال ن‬
ْ َ‫سبُّوا أ َ َحدًا ِم ْن أ‬ ُ َ ‫ َال ت‬
 ”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh, seandainya salah seorang
di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai
satu mud (yang diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula separuhnya.”[15]
 Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi mereka. Sebagaimana
Allah Ta’ala berfirman,
‫ان َو َال تَجْ َع ْل ِفي قُلُو ِبنَا ِغ ًّال ِللَّذِينَ آَ َمنُوا َر َّبنَا‬ ِ ْ ‫س َبقُونَا ِب‬
ِ ‫اْلي َم‬ َ َ‫ َوالَّذِينَ َجا ُءوا ِم ْن َب ْع ِد ِه ْم َيقُولُونَ َر َّبنَا ا ْغ ِف ْر لَنَا َو ِ ِْل ْخ َوا ِننَا الَّذِين‬
‫وف َر ِحي ٌم‬ ٌ ‫إِنَّكَ َر ُء‬
 “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka
berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10)
 Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah
(Syi’ah). Mereka sama saja mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan
selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya Rafidhah hanyalah ingin
mencela Rasul. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-
sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang itu sholih, maka
sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun
Rafidhah, maka merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan perkataan
mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka adalah mencela risalah
Muhammad.”[17]
 [2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –radhiyallahu ’anhunna-
 Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela Abu Bakr, maka ia
pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang mencela Aisyah, maka ia pantas untuk
dibunuh.” Ada yang menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau
menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah mencela Al Qur’an karena Allah
Ta’ala berfirman (agar tidak lagi menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
َ‫َّللاُ أ َ ْن تَعُود ُوا ِل ِمثْ ِل ِه أَبَدًا ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ُمؤْ ِمنِين‬ ُ ‫ يَ ِع‬
َّ ‫ظ ُك َم‬
 “Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu
selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
 Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
 Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa sallam ialah memelihara dan
menyebarkannya, menjaganya dari ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-
lebihan dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan membantah
syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya, serta menjelaskan kedustaan-kedustaan
mereka. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan keceriaan wajah bagi
siapa yang membela panji sunnah ini dengan sabdanya,
 ٍ‫امع‬
ِّ ‫س‬ َ ‫س ِّمعَهُ فَ ُربَّ ُمبَ ِّلغٍ أ َ ْو َعى ِّم ْن‬ َ ‫س ِّم َع ِّمنَّا َشيْئا فَبَلَّغَهُ َك َما‬ َّ ‫نَض ََّر‬
َ ‫َّللاُ ا ْم َرأ‬
 “Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang mendengar sabda kami
lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya. Betapa banyak orang yang
diberi berita lebih paham daripada orang yang mendengar.”[19]
 Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ialah berkeinginan kuat untuk menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ً‫ بَ ِلغُوا َعنِي َولَ ْو آيَة‬
 “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan pada umat adalah
yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya.
 Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah dengan Berbuat Bid’ah
 Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti cinta Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah dengan menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya,
konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah, kesesatan dan berbagai ajaran
menyimpang lainnya. Karena sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa
tuntunan) dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang sebenarnya, walaupun
mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
ٌّ‫ْس ِم ْنهُ فَ ُه َو َرد‬ َ ‫ث فِى أ َ ْم ِرنَا َهذَا َما لَي‬ َ َ‫ َم ْن أَحْ د‬
 “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada
asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]
 Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan
tunduk pada ajaran beliau, mengikuti jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan serta bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan dalam
ajarannya.[23]
 Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah dengan melakukan
bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan
perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha)
seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan
malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal
Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok
pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan
oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak
pernah melaksanakannya.”[24]
 Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
 [Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di
bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah
mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya
terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana
digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana
seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?]
Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah
yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
 Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu
Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti
mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu
dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
 Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa yang
bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang memberatkan
[?]”[25]
 [Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal
dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah
yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil
Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
 Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar
dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang
dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan,
yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat
pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di
mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka
yang tepat perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para
ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu
yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid
tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah
jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah
karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum
muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau
haram.”[26]
 Penutup
 Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan merayakan Maulid.
Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’)
setiap ajarannya dan mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga
akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
َّ ‫َّللاَ فَاتَّ ِبعُو ِني يُحْ ِب ْب ُك ْم‬
ُ‫َّللا‬ ُ ‫ لهذا لما َكث ُ َر األدعياء‬
َّ َ‫قُ ْل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِحبُّون‬, ‫طولبوا بالبرهان‬
 Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk
mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron:
31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu hanya mau mengikuti
ajaran yang beliau syariatkan dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang
tidak ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
 Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas kerancuan yang
dikemukakan oleh orang-orang yang menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mendukung acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
 Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
 Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-Sleman.

 Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau,
memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Ta’ala menjadikan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang
mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat
menjalankan agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫اس َما نُ ِّز َل إِّلَ ْي ِّه ْم َولَعَلَّ ُه ْم يَت َ َف َّك ُرون‬ ِّ َ‫َوأ َ ْنزَ ْلنَا إِّلَيْك‬
ِّ َّ‫الذ ْك َر ِّلتُبَيِّنَ ِّللن‬

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An
Nahl: 44)

Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya tentang ahlak (tingkah laku)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh akhlak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini berarti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan
mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-
adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka
orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al
Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan
(utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah:
bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang
menjelaskan makna) al-Qur’an.” (Ushuulus Sunnah, hal. 3)

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan,
baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan. (Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)

Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan
sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang
lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)

Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
Sebenarnya

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

‫َّللاُ َويَ ْغ ِّف ْر لَ ُك ْم ذُن‬ َّ َ‫ور َر ِّحي ٌم َُقُ ْل إِّ ْن ُك ْنت ُ ْم ت ُ ِّحبُّون‬
َّ ‫َّللاَ فَات َّ ِّبعُونِّي يُحْ بِّ ْب ُك ُم‬ ٌ ُ‫َّللاُ َغف‬
َّ ‫وبَ ُك ْم َو‬

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku,


niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim
(pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak
mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang
berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan
agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)

Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa barangsiapa yang mencintai
sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian,
maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti
nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan
perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri
dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan
lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa, 2/24)

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya
dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah (yaitu setiap perbuatan yang diada-
adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau,
atau memuji dan mensifati beliau secara berlebihan, dengan menempatkan beliau melebihi
kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau padanya. (Mahabbatur Rasul bainal
Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-71)

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang
Nashrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku
hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al
Bukhari no. 3261)

Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan
diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang pun yang paling dicintai oleh
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak
berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.” (HR At
Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)

Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


Dalam Diri Kita?

Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan
ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.

Dua tingkatan tersebut adalah:

1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)
yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan
patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara utuh. Kemudian mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan,
mantaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, meninggalkan semua perbuatan haram
yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan
kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus
dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam) yang mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah
laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang
baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan
akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah
dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan
mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang
mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan)
ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang
paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sikap zuhud terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia,
dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat
(kelak)” (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil Qudsi, hal. 34-35)

Keutamaan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Ta’ala berfirman,

َّ ‫َّللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاآلَ ِّخ َر َوذَك ََر‬


‫َّللاَ َكثِّيرا‬ َ ‫َّللاِّ أُس َْوة ٌ َح‬
َّ ‫سنَُةٌ ِّل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِّي َر‬
َّ ‫سو ِّل‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan
bahwa orang yang meneladani sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah
menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan
kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala. (Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, hal. 481)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan
landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua
ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/626)

Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faidah yang penting untuk
direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat
dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas, beliau berkata, “Teladan
yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik
(dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat)
Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah,
serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi
seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang paling
semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum
muslimin sendiri. Karena seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan
(pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun
semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan
mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah di
kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji wal ‘Umrah, hal. 92)

Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al Khatiib Al Baghdadi dalam
kitab beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’ (1/215) berikut ini:

“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), berusaha
untuk membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku
dan sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman,

َ ‫َّللاِّ أُس َْوة ٌ َح‬


ٌ‫سنَُة‬ ُ ‫لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِّي َر‬
َّ ‫سو ِّل‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. Al
Ahzaab: 21)”

‫ وآخر دعوانا أن الحمد هلل رب العالمين‬،‫وصلى للا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H

 Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:


 Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut
menjadi simbol golongan tersebut.
 Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena amalan
tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini
merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah
muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan
pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya.
Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’
bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama,
pakaian, maupun cara-cara buatan.
 Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
 Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
 Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
 Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
 Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

َ ‫صا ِل ِر َجا ٌل ال ت ُ ْل ِهي ِه ْم ِت َج‬


َّ ‫ارة ٌ َوال َب ْي ٌع َع ْن ِذ ْك ِر‬
‫َّللاِ َو ِإقَ ِام‬ َ ‫س ِب ُح لَهُ ِفي َها ِب ْالغُد ُ ِو َو ْاآل‬
َ ُ‫َّللاُ أ َ ْن ت ُ ْرفَ َع َويُذْك ََر ِفي َها ا ْس ُمهُ ي‬
َّ َ‫ت أَذِن‬
ٍ ‫﴿ ِفي بُيُو‬
)37_36:‫ار﴾(النور‬ َ ْ ُ ْ َّ
َ ‫الزكَاةِ يَخَافُونَ يَ ْوما ً تَتَقَلبُ فِي ِه القُلوبُ َواأل ْب‬
ُ ‫ص‬ َّ ‫صالةِ َوإِيت َِاء‬ َّ ‫ال‬

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut
nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati
yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar
balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).

 Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.


 Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi
tentang unta temuan):

.‫ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها‬،‫ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها‬

“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari
makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”

(Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).

 Walau Engkau Seorang Diri dalam Kebenaran


 Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti dianut oleh orang banyak.
Meskipun seseorang bersendirian dalam menggenggam ajaran kebenaran, dialah yang
berada di jalan yang benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita hanya bersendirian di
kampung atau di negeri, sedangkan yang lainnya berada dalam kegelapan syirik dan
bid’ah. Karena sebenarnya kita bersama dengan Rasul dan para sahabat yang terlebih
dahulu berpegang pada kebenaran.
 Ibnu Mas’ud berkata,
‫ الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك‬
 “Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia seorang diri.”
(Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 160 dan
Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/ 322/ 13).
 Sebagian salaf mengatakan,
‫ عليك بطريق الحق وال تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل وال تغتر بكثرة الهالكين‬
 “Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau berkecil hati dengan
sedikitnya orang yang mengikuti jalan kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan
kebatilan. Jangan engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan
binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
 Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, itulah yang selalu teranggap
asing. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
ُ َ َ ِ َ ‫ يَقُو ُل « بَدَأ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
‫اْل ْسالَ ُم غ َِريبا ً ث ُ َّم َيعُود ُ غ َِريبا ً َك َما بَدَأ فطوبَى‬ َ ُ‫سنَّةَ أَنَّه‬
َّ ِ‫س ِم َع النَّب‬ َ َ‫الرحْ َم ِن بْن‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد‬ 
ُ َّ‫سدَ الن‬
‫اس‬ َ َ‫ص ِلحُونَ ِإذَا ف‬ َّ ْ
ْ ُ‫َّللاِ َو َم ِن الغُ َربَا ُء قَا َل « الذِينَ ي‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ ِقي َل يَا َر‬.» ‫اء‬ ِ َ‫ِل ْلغُ َرب‬
 Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabad, “Islam itu akan datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing
seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada yang bertanya pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki
manusia ketika rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits ini dho’if.
Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184 dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan
sanad jayyid)
 Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْ‫صي ِه ْم أَ ْكثَ ُر ِم َّمن‬
ِ ‫ير َم ْن َي ْع‬
ٍ ِ‫س ْوءٍ َكث‬
َ ‫َاس‬ِ ‫صا ِلحُونَ فِى أُن‬ َ ‫َاس‬ ٌ ‫َّللاِ قَا َل « أُن‬
َّ ‫سو َل‬ُ ‫ فَ ِقي َل َم ِن ْالغُ َربَا ُء يَا َر‬.» ‫اء‬ ِ َ‫طوبَى ِل ْلغُ َرب‬ ُ « 
» ‫ي ُِطيعُ ُه ْم‬
 “Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang asing wahai
Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-orang yang sholih yang berada di
tengah banyaknya orang-orang yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih
banyak daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan lighoirihi,
kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
 Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas kebenaran yang dianut
sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat, yang jauh dari syirik dan bid’ah.
 Hanya Allah yang memberikan petunjuk pada al haq, kebenaran.

 Terorisme dan Pengeboman


 “DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di media massa beberapa
waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak dapat dipisahkan dengan terorisme dan
pengeboman, dia diyakini sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional
sebelumnya dikejutkan dengan munculnya seseorang bernama Usamah bin Laden.
Namun disini kita tidak akan membahas tentang sepak terjang DR Azahari atau Usamah
bin Laden. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: “Apakah aksi-aksi pengeboman
ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata salah penafsiran terhadap dalil-dalil
syar’i, yang tentunya akan berdampak buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia
secara umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai terorisme dalam Islam
dan bagaimanakah pemahaman salah yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat
urgen dan harus diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka atau
bahkan merasa simpati dan ikut tertarik dengan pemikiran mereka.
 Awas Bahaya Laten Khowarij !!!
 Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa pemahaman mereka ini bukanlah
pemahaman baru yang dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak
dulu dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti pula oleh orang-orang
jahil yang sebetulnya punya semangat tinggi, tapi salah jalan.
 Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghonimah (harta
rampasan perang). Dalam pembagian tersebut ada yang mendapat bagian banyak adapula
yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi. Kemudian muncullah seseorang yang
bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak terima dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi
dan mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad, karena sesungguhnya ini adalah
pembagian yang tidak ikhlas!” Maka Nabi bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang
bisa berbuat adil jika saya saja sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan rugi
saya jika saya tidak bisa berbuat adil.” Tatkala itu Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta
izin pada Nabi untuk memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan
dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut yang menganggap kecil sholat kalian
dibanding sholat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka (Mereka adalah ahli
ibadah, -ed). Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan mereka.
Mereka telah keluar dari batas-batas agama seperti keluarnya anak panah dari
busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan Muslim 1064)
 Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhuma, yang berbuntut pada terbunuhnya kedua
kholifah tersebut. Pada masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi
suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok Khowarij ini. Ketika
terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dengan Mu’awiyah, maka mereka berdua
mengirim utusan masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara Khalifah Ali dan
Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap beliau dan memisahkan diri,
dan menetap di Haruro’ sehingga mereka dikenal dengan Haruriyah. Mereka
menganggap bahwa Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.
 Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk berdialog dengan
mereka. Diantara isi dialognya adalah penentangan mereka terhadap Ali karena
berhukum dengan hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari dan
dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk menyelesaikan perselisihan mereka.
Para penentang ini berdalil dengan firman Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik
Allah.” (QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika aku bacakan ayat
dalam kitab Allah yang membantah pendapat kalian, maukah kalian kembali?” Mereka
menjawab, “Ya”. Lantas Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu khawatirkan
ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. Annisa’: 35). Akhirnya dua
ribu orang sadar dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu
‘anhu.
 Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam
bersabda, “Akan muncul satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak
memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti tertumpas.” Ibnu Umar berkata,
“Saya mendengar beliau mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti
tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin beliau bersabda, ‘Hingga
muncullah Dajjal dalam barisan mereka’.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)
 Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah Khowarij. Bisa saja
mereka bisa saja mengatakan, “Kami bukan Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa
perubahan nama tidak merubah hakekat dan wajah asli.
 Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!
 Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap zaman, diantara ciri-ciri
itu adalah:
 1. Mengkafirkan pelaku dosa besar
 Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi awal begitu mudahnya
mengkafirkan Ali dan Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata, “… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka (khowarij) terhadap
Al Quran meski mereka tidak bermaksud menentang Al Quran, mereka memahami
wajibnya mengkafirkan pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa orang mukmin itu
hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa tidak baik lagi bertaqwa
dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’ Fatawa XIII/20)
 Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i yang harus
dikembalikan kepada pada Allah dan Rosul-Nya, sebagaimana penghalalan,
pengharaman. Kita tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab
dan sunnah atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah cukup dengan semata-
mata didasari prasangka, karena akan menimbulkan akibat-akibat yang berbahaya, seperti
penghalalan darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi, pernikahannya menjadi
batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan akibat murtadnya seseorang. Karena itulah Nabi
memperingatkan dari hukum pengkafiran terhadap seseorang yang bukan kafir, beliau
bersabda: “Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka
sungguh akan kembali kalimat itu pada salah satu diantara keduanya. Jika memang
benar ucapan itu (maka kalimat itu tidak akan mengenainya) dan jika tidak, maka akan
kembali kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)
 Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan pemahaman ahlus sunnah yang
didasari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan
mengampuni dosa lain di bawah syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” Intinya, bila
seseorang berbuat kesyirikan dan belum bertaubat sampai ia meninggal maka Allah tidak
akan mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik seperti judi, minum khomr
dan sebagainya maka boleh jadi Allah mengadzabnya dan boleh jadi mengampuninya.
 Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka itu adalah wewenang
ulama, bukan orang-orang jahil. Tidak boleh bagi seseorang ketika melihat ada orang lain
yang melakukan perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan meriam
takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini harus melihat apakah syaratnya terpenuhi
dan tidak adanya penghalang (seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita
dapat mengerti, mengapa dengan mudahnya mereka membom dan menewaskan korban
dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka
darah mereka halal untuk ditumpahkan.
 2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang sah
 Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak pada pemerintah yang sah
seperti kita lihat pada kisah di atas. Mereka telah memberontak kepada Ali bin Abi
Tholib dan kholifah selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan hukum
Islam namun karena satu kesalahan dalam berhukum -menurut paham mereka- mereka
berontak, apalagi apalagi penguasa yang jelas-jelas menerapkan hukum thogut.
 Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan dengan pemahaman Ahlus
Sunnah yang mengharuskan untuk tetap mendengar dan taat kepada mereka selama tidak
bertentangan dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat zholim kepada rakyatnya.
Bahkan Nabi melarang untuk menentang kepada para penguasa kecuali bila melihat ada
kekufuran yang sangat jelas dengan sabdanya, “Kecuali engkau melihat kufur yang
nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari Allah.” (Mutafaqun’alaih). Maksud dari
“Kecuali Engkau melihat!” yaitu tidaklah cukup berdasar pada persangkaan dan kabar
angin semata. Maksud dari “… kekufuran” yaitu tidak cukup adanya kefasikan meskipun
besar seperti kezholiman, minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan monopoli yang
diharamkan. “yang nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup kekufuran yang tidak nyata,
tidak jelas, lagi tidak tampak. Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya
yaitu harus ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya dan gamblang
penunjukannya. Maka tidak cukup jika dalil itu sanadnya lemah dan samar
penunjukannya. Serta sabda Nabi “Dari Allah”, maksudnya yaitu didukung oleh dalil
yang benar dari Al Quran dan As Sunnah.
 3. Menghalalkan darah kaum muslimin
 Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang Khowarij, “Mereka membunuh kaum
muslimin dan membiarkan penyembah berhala.” (HR. Bukhori, Muslim). Sehingga pada
kenyataannya kita saksikan mereka tidak merasa berdosa telah membunuh kaum
muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa bangga dengan aksinya itu.
 Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan haram untuk diterjang,
yaitu: agama, jiwa, harta, kehormatan dan akal. Tidak ada perselisihan diantara kaum
muslimin tentang haramnya menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa alasan
yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia memikul dosa yang besar.
 Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka
balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93). Begitu
juga sabda Nabi dalam sunan Nasa’i dari Abdulloh bin Amr, “Sungguh hancurnya dunia
itu lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim.”
 Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat perjanjian dan Ahli dzimmah
(orang bukan islam yang berada di bawah perlindungan pemerintahan Islam). Nabi
bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir yang ada ikatan
perjanjian) maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal baunya bisa dirasakan dari
jarak sejauh 40 tahun perjalanan.” (HR. Bukhori)
 4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak berhukum berdasarkan
apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al
Maidah: 44)
 Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di ataslah alasannya. Dan
demikianlah syiar khowarij dari masa ke masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan
ayat di atas minimalnya mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini. Mereka
memahami makna kafir secara tekstual dan tanpa perincian. Mereka menganggap bahwa
sekedar berhukum dengan selain hukum Allah merupakan kekufuran yang mengeluarkan
keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata
kufur tidak menunjukkan satu makna saja seperti juga dzolim dan fasik. Kata dzolim dan
fasik tidak mesti pelakunya keluar dari Islam.
 Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan, “Kekufuran ini tidak seperti
pendapat mereka, ini bukan kufur yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam mustadrok 2/212, shohih
menurut syarat Bukhori dan Muslim. Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-
shohihah 6/109-116 no 2552). Inilah pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu bahwa seseorang
tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan hukum Allah, terkecuali apabila ia
meyakini dalam hatinya bahwa hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau meyakini
bahwa hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang hukum Allah.
 5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka
 Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam
tidak ikhlas dalam pembagiannya, demikian juga khowarj dimasa Ali bin Abi Tholib
dengan beraninya mereka menyelisihi paham para sahabat yang notabene adalah ulama
umat ketika itu. Dan tentunya para sahabat lebih paham tentang maksud ayat daripada
mereka. Demikian pula keadaan khowarij masa kini. Mereka menutup telinga terhadap
nasehat para ulama bahkan menuduh para ulama sebagai ulama “piring” atau ulama
pemerintah. Mereka maksudkan dengan tuduhan tersebut bahwa para ulama berfatwa
demi kepentingan piring atau pemerintah semata.
 Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah
mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia. Namun Allah mengangkatnya dengan
mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorangpun ulama, manusia
mengangkat orang-orang jahil sebagai tokoh. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan
fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.”
 Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber kesesatan adalah meninggalkn
fatwa ulama. Imam Ath Thurhusi berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya
musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-
orang jahil mengerluarkan fatwa atass dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa
manusia.”
 Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?
 Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah, bahkan jihad fisik
adalah salah satu dari dua penopang Islam selain tiang bayan (ilmu), yang merupakan
jihad lisan. Penyebaran ilmu syar’i merupakan jihad yang lebih utama dari jihad fisik,
apalagi ketika meratanya kebodohan terhadap ilmu syar’i pada masyarakat. Dengan jihad
maka tegaklah kemuliaan kaum muslimin. Sebaliknya jika kaum muslimin melalaikan
jihad maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad termasuk ibadah, dan ibadah tidak
diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal itu ikhlash dan sesuai dengan sunnah
Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.
 Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka harus diserahkan kepada
ulama senior. Merekalah yang berhak mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi wewenang
orang bodoh lagi masih ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Akan tiba nanti atas umat manusia masa-masa penuh tipu daya. Para pembohong
dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat. Dan para ruwaibidhoh
mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh berkomentar tentang urusan rakyat
banyak.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)
 Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membawa bahan peledak di
tubuhnya lalu meledakkan dirinya, maka perbuatan ini termasuk bunuh diri, merupakan
perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana sabda Nabi shollAllahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi
itu diletakkan ditangannya, ditusukkan keperutnya di neraka jahannam dia kekal di
dalamnya.” (Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini disebabkan orang ini membunuh
dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan Islam, bahkan malah sebaliknya. Mungkin
mereka dapat membunuh sepuluh orang kafir akan tetapi orang kafir membalasnya
dengan membantai ratusan kaum muslimin dengan cara-cara yang biadab.
 Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim sendiri, padahal Allah telah
berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An Nisa: 93) Di sisi lain
perbuatan ini semakin membuat ruang gerak kaum muslimin makin sempit dan
menyebabkan nama Islam tercoreng. Akibatnya dakwah Islam menjadi lebih sulit
tersampaikan.
 Penutup
 Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk memperingatkan ummat dari
bahaya pemahaman khowarij. Hal ini mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu
ada sampai hari kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya dengan
menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga jalan paling baik ialah membekali kaum muslimin
dengan pemahaman Islam yang benar dan memperingatkan mereka dari setiap jalan
kesesatan. Dan merupakan keharusan untuk selalu mengembalikan urusan besar yang
berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad dan pengkafiran, kepada para
ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita lihat bahwa kesesatan khowarij timbul karena mereka
tidak mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih alim dalam agama
ketimbang mereka, yaitu para sahabat.
 Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum, agar tidak tergesa-gesa
dan dengan mudahnya menghukumi setiap orang yang berpenampilan fisik sama dengan
para pelaku teroris kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris! Karena hal itu
merupakan tindakan yang tidak didasari dengan ilmu, serta berasal dari rasa emosi
belaka.
 Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh, dan kita bisa istiqomah
dijaman yang penuh dengan fitnah ini. Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat
dengan jujur terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

 Pengeboman = Jihad???
 Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan
sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara
semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah
Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada
pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri
Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik
berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau
akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.
 Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i
 Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga
harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan
yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama.
Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah
membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan
dugaan saja.
 Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar
jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya,
“Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan
itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka
benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang
mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
 Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor
penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat
tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang
diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam
mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai
pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang menetapkan
hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
 Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka
persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan
terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan
membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam melarang pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian
memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)
 Dampak Mudah Mengkafirkan
 Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik
orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta
angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan
yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum
muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari
pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa
yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan
mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)

 Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi


Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah kesalahan dalam beragama atau
memberikan nasehat untuk meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-
pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke
bulan koq masih membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan
khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari orang-orang yang
enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya dalih
‘khilafiyah’ pun dipakai.

Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah,
namun terkadang memang khilafiyah. Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang
ternyata yang dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua
perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.

Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’

Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang
memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan.
Allah Ta’ala berfirman:

‫سو ِّل إِّ ْن ُك ْنت ُ ْم ت‬


ُ ‫الر‬
َّ ‫َّللا َو‬ َ ‫سنُ ت َأ ْ ِّويال َُفَإِّ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِّي‬
ِّ َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِّلَى‬ َ ْ‫اّلل َو ْاليَ ْو ِّم ْاآل ِّخ ِّر ذَلِّكَ َخي ٌْر َوأ َح‬
ِّ َّ ِّ‫ؤْ ِّمنُونَ ب‬
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Allah Ta’ala berfirman:

َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُح ْك ُمهُ ِّإلَى‬


ِّ‫َّللا‬ َ ‫َو َما ا ْختَلَ ْفت ُ ْم فِّي ِّه ِّم ْن‬

“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS.
Asy Syura: 10)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫س ُكوا بِّ َها‬ َّ َ‫اء ْال َم ْه ِّديِّين‬


َّ ‫ ت َ َم‬، َ‫الرا ِّشدِّين‬ ِّ َ‫سنَّ ُِّة ْال ُخلَف‬ ُ ِّ‫ فَعَلَ ْي ُك ْم ب‬،‫اختِّ َالفا َكثِّيرا‬
ُ ‫سنَّتِّي َو‬ ْ ‫سيَ َرى‬
َ َ‫ش ِّم ْن ُك ْم بَ ْعدِّي ف‬ ْ ‫فَإِّنَّهُ َم ْن يَ ِّع‬
ِّ ‫َو َعضُّوا َعلَ ْي َها بِّالنَّ َو‬
‫اج ِّذ‬

“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian


berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah
dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud )

Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah dipahami dengan pemahaman para
salaf. Selain itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ وتفترق أمتي على ثالث وسبعين ملُة كلهم في النار إال ملُة‬، ‫إن بني إسراِئيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملُة‬
‫ ما أنا عليه وأصحابي‬: ‫ قال من هي يا رسول للا ؟ قال‬، ‫واحدة‬

“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73
golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah
yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku
dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata:
“Semua sanadnya jayyid”)

Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan
tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in
dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut
toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal,
hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

Pendapat Ulama Bukan Dalil

Para ulama berkata:

‫أقوال أهل العلم فيحتج لها وال يحتج بها‬

“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”

Imam Abu Hanifah berkata:

‫ال يحل ألحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه‬

“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia tidak tahu darimana kami
mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu
‘Abidin 6/293. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

‫ وخذ من حيث أخذوا‬،‫ وال الثوري‬،‫ وال األوزاعي‬،‫ وال الشافعي‬،‫ وال تقلد مالكا‬،‫ال تقلدني‬

“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats
Tsauri. Ambilah darimana mereka mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam
Al I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)

Imam Asy Syafi’i berkata:

‫أجمع الناس على أن من استبانت له سنُة رسول للا صلى للا عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد من الناس‬
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam tidak boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat
siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361. Dinukil dari Ashl Sifah
Shalatin Nabi, 28 )

Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak pernah terjatuh dalam
kesalahan. Terkadang masing-masing dari mereka berpendapat dengan pendapat yang salah
karena bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik
berkata:

‫ وكل ما لم يوافق الكتاب‬،‫ فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنُة؛ فخذوه‬،‫إنما أنا بشر أخطئ وأصيب‬
‫والسنُة؛ فاتركوه‬

“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap
yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm
dalam Ushul Al Ahkam 6/149. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)

Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat salah dan aneh dari para ulama
demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At
Taimi berkata,

َ‫ اجْ ت َ َم َع فِّيك‬، ‫ أ َ ْو زَ لَّ ُِّة ُك ِّل َعا ِّل ٍم‬، ‫ص ُِّة ُك ِّل َعا ِّل ٍم‬
َ ‫ش ُّر ُكلُّهُ لَ ْو أ َ َخ ْذتَ بِّ ُر ْخ‬
َّ ‫ال‬

“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja dari para ulama, atau mengambil
setiap ketergelinciran dari pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh
keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 3172)

Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?

Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak permasalahan yang para ulama
berlapang dada dalam menyikapi perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama
di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita menganggap
orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli
bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan selayaknya kita
mentoleransi setiap pendapat selama bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap
pendapat yang kita pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak
boleh diingkari, tidaklah benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa,
atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau
ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk diingkari
menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara langsung pengingkarannya,
menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut bertentangan
dengan dalil, ini juga merupakan bentuk pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika
perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.

Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak boleh ada
pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah sepakat
menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah
menjadi batal. Walaupun keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama.
Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan
memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun muqallid” (I’lamul
Muwaqqi’in, 3/224)

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi

1. Qunut Subuh

Pendapat pertama: hukumnya sunnah.

Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Bara’ bin ‘Adzib:

‫ْح‬ ُّ ‫سلَّ َم َكانَ يَ ْقنُتُ فِّي ال‬


ِّ ‫صب‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ِّ ‫َو ْال َم ْغ ِّر‬
ُ ‫أ َ َّن َر‬، ‫ب‬
َ ِّ‫سو َل للا‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca qunut di waktu subuh dan
maghrib” (HR. Muslim 678)

 Hadits dari Muhammad bin Sirin:

‫ أ َ َوقَنَتَ قَ ْب َل‬:ُ‫ فَ ِّقي َل لَه‬،‫ نَعَ ْم‬:َ‫صبْحِّ؟ قَال‬


ُّ ‫سلَّ َم فِّي ال‬
َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬
َ ‫ي‬ ُّ ِّ‫ أَقَنَتَ النَّب‬: ٍ‫َس بْنُ َمالِّك‬ ُ ‫سئِّ َل أَن‬
ُ
‫الر ُكوعِّ يَسِّيرا‬ ‫د‬ ‫ع‬
ُّ َ ْ َ ‫ب‬ « :َ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ق‬ ‫؟‬ِّ ‫وع‬ ُ
‫ك‬ ‫الر‬
ُّ «

“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membaca


Qunut ketika shalat subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah membacanya
sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’ sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)

 Hadits Anas bin Maalik:

‫الر ُكوعِّ ف‬ َ ‫سلَّ َم‬


ُّ َ‫ش ْهرا بَ ْعد‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ُ ‫ َوذَ ْك َوانَ َِّقَنَتَ َر‬،‫عو َعلَى ِّر ْع ٍل‬
َ ِّ‫سو ُل للا‬ ُ ‫ْح يَ ْد‬
ِّ ‫صب‬ ُّ ‫ص َالةِّ ال‬
َ ‫ي‬،
ُ‫سولَه‬ ‫ر‬‫و‬ ‫للا‬ ‫ت‬ ‫ص‬ ‫ع‬ ُ
ُ َ َ َ ِّ َ َ َّ َ ُ ‫َويَقُول‬
‫ُة‬‫ي‬ ‫ص‬ ‫ع‬ :ُ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau


mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)
 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf Abdirrazzaq (3/109)
dengan sanad yang shahih bahwa beliau ketika shalat subuh, selesai membaca surat
beliau membaca doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil dari Mafatihul
Fiqh, 103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/312-313)
dengan sanad shahih dari Abi Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas
di Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh,
103)

Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini dipegang oleh Imam Asy Syafi’i,
Imam Malik, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan Daud
Rahimahumullah.

Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan bid’ah bila
mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:

 Hadits Anas bin Maalik:

‫الر ُكوعِّ ف‬ َ ‫سلَّ َم‬


ُّ َ‫ش ْهرا بَ ْعد‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ُ ‫ َوذَ ْك َوانَ َِّقَنَتَ َر‬،‫عو َعلَى ِّر ْع ٍل‬
ِّ ‫سو ُل‬
َ ‫للا‬ ُ ‫ْح يَ ْد‬ ُّ ‫ص َال ِّة ال‬
ِّ ‫صب‬ َ ‫ي‬،
ُ‫سولَه‬ ُ ‫ت للاَ َو َر‬
ِّ ‫ص‬ َ ‫صيَُّةُ َع‬
َ ‫ع‬ ُ :ُ‫َويَقُول‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut selama sebulan penuh, beliau


mendoakan keburukan terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003, Muslim 677)

Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi pengkhianatan dari suku Ri’lan,
Dzakwan dan Ushayyah. Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.

 Hadits Abu Hurairah:


“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah membaca ُ‫َّللا‬ َّ ‫سمع‬
‫ ِّل َم ْن َح ِّمدَ ُه‬pada raka’at terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:

ْ َ ‫سلَ َمُةَ بْنَ ِّهش ٍَام اللَّ ُه َّم أ َ ْنجِّ ْال ُم ْست‬
َ‫ضعَفِّين‬ َ ‫ج‬ ْ ْ ‫َّاش بْنَ أَبِّي َربِّيعَُةَ اللَّ ُه َّم أ َ ْن‬
ِّ ‫ج ال َو ِّليدَ بْنَ ال َو ِّلي ِّد اللَّ ُه َّم أ َ ْن‬
ِّ َ ‫ج َعي‬ ِّ ‫اللَّ ُه َّم أ َ ْن‬
‫ف‬َ ‫س‬ُ ‫ض َر اللَّ ُه َّم اجْ عَ ْل َها َعلَ ْي ِّه ْم ِّسنِّينَ َك ِّسنِّي يُو‬ َ ‫طأَتَكَ َعلَى ُم‬ ْ ‫ِّمنَ ْال ُمؤْ ِّمنِّينَ اللَّ ُه َّم ا ْشدُ ْد َو‬

Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah, tolonglah Walid bin Al Walid. Ya
Allah, tolonglah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum
mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang yang durhaka. Ya Allah,
jadikanlah tahun-tahun yang mereka lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati
Yusuf “ (HR. Bukhari 1006, 2932, 3386)

 Hadits Abu Malik Al Asyja-‘i


،‫ت‬ ْ ُ‫ف أَبِّي بَ ْك ٍر فَلَ ْم يَ ْقن‬ َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬
َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ُ‫سلَّ َم فَلَ ْم يَ ْقن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ ‫ف النَّبِّي‬ َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬
َ ‫َع ْن أَبِّي ِّه‬
‫ ث ُ َّم‬، ‫ت‬ْ ُ‫ف َع ِّلي ٍ فَلَ ْم يَ ْقن‬َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬َ ‫ت َو‬ ْ ُ‫عثْ َمانَ فَلَ ْم يَ ْقن‬ ُ ‫ف‬ َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬ َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ُ‫ع َم َر فَلَ ْم يَ ْقن‬
ُ ‫ف‬َ ‫صلَّيْتُ خ َْل‬ َ ‫َو‬
‫ص ِّحي ٌح‬َ ‫س ٌن‬ َ ‫ِّيث َح‬ ٌ ‫ي َوقَا َل َحد‬ ُّ ‫ساِئِّي َوابْنُ َما َج ْه َوالتِّ ْر ِّم ِّذ‬ َ َّ‫ي إنَّ َها ِّب ْد َعُةٌ } َر َواهُ الن‬َّ َ‫قَا َل يَا بُن‬
“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi
Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu
Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar
namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia
tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca
Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At
Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf Abdirrazzaq(4954) dengan sanad
shahih:

‫ ما شعرت ان احدا يفعله‬: ‫سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال‬

“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu subuh. Ia berkata: Saya rasa
tidak ada seorang pun (sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 106)

 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949) dengan sanad shahih yang
menyatakan bahwa beliau tidak pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil dari
Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut, umumnya berkaitan dengan
musibah. Ibnul Qayyim berkata: “Petunjuk Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dalam berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat terjadi musibah dan
tidak melakukannya jika tidak ada musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat
Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering melakukan pada shalat Shubuh”
(Zaadul Ma’ad 273/1).

Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir
Imam Ahmad, Ibnu Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.

Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya juga boleh


Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan berkesimpulan bahwa terkadang
Nabi membaca doa Qunut dan terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada
pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari, dan Ibnu Hazm.

Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang
shahih, didukung dengan pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), dan
sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam
permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.
2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram

Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:

 Hadits Jabir bin Abdillah:

:‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ُ ْ‫ح َم َّكُةَ َو َرأ‬
ُ ‫ فَقَا َل َر‬،‫سهُ َولِّحْ يَتُهُ َكالثَّغَا َم ُِّة بَيَاضا‬
َ ِّ‫سو ُل للا‬ ِّ ْ‫ي بِّأَبِّي قُ َحافَُةَ يَ ْو َم فَت‬
ُ
َ ِّ‫أت‬
َّ ‫ َواجْ تَنِّبُوا ال‬، ٍ‫ش ْيء‬
«َ‫س َواد‬ َ ِّ‫« َغيِّ ُروا َهذَا ب‬

“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah. Rambut dan jenggot beliau
putih seperti tsaghamah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah
warna rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR. Muslim, 2102)

 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

‫اص ِّل ْال َحم‬


ِّ ‫ َك َح َو‬،ِّ‫س َواد‬
َّ ‫ان بِّال‬ َّ ‫آخ ِّر‬
ِّ ‫الز َم‬ ِّ ‫ َال يَ ِّري ُحونَ َراِئِّ َحُةَ ْال َجنَّ ُِّة ََيَ ُكونُ قَ ْو ٌم يَ ْخ‬،‫ِّام‬
ِّ ‫ضبُونَ فِّي‬

“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir rambut dengan warna hitam
bagaikan tembolok burung dara. Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR.
Abu Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.

Pendapat kedua: makruh


Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:

 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah dan orang-orang yang
semisalnya dalam usia. Ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak bisa mencium wangi surga
bukan karena sebab perbuatan menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang
termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam hanyalah ciri kebanyakan
mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081) dengan sanad shahih
bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam
 Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5082) dengan sanad
shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir rambut dengan warna hitam

Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka memakruhkan hal ini. Pendapat
ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Abdil Barr.

Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan salaf sering bermakna haram
sebagaimana penjelasan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat berpegang pada dalil yang
shahih, didukung dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan
yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini
selayaknya ditoleransi oleh setiap muslim.

Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi

1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali


Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa
wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau
ini sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil
diantaranya:

 Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:

ٍ ‫الَ نِّ َكا َح إِّالَّ بِّ َو ِّلي‬


“Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568, Ahmad 4/394.
Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘ 7555)

 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

‫ فَإِّ ْن دَخَل بِّ َها فَلَ َها‬،ٌ‫اطل‬


ِّ َ‫ فَنِّ َكا ُح َها ب‬،ٌ‫اطل‬ ِّ َ‫ فَنِّ َكا ُح َها ب‬،ٌ‫اطل‬ ْ ‫أَيُّ َما ْام َرأَةٍ نَ َك َح‬
ِّ َ‫ت بِّغَي ِّْر إِّ ْذ ِّن َو ِّليِّ َها فَنِّ َكا ُح َها ب‬
ُ‫ي لَه‬َّ ‫ي َم ْن الَ َو ِّل‬ُّ ‫طانُ َو ِّل‬ َ ‫س ْل‬
ُّ ‫ فَإِّ ْن تَشَا َج ُروا فَال‬،‫ْال َم ْه ُر بِّ َما ا ْست َ َحل ِّم ْن فَ ْر ِّج َها‬

“Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal,
nikahnya batal! Jika mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita berhak
atas maharnya sebagai kompensasi atas persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini
tidak memiliki wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”
(HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa 1840)

 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

َ ‫ َوالَ ت ُ ْن ِّك ُح ْال َم ْرأَة ُ نَ ْف‬،َ ‫الَ ت ُ ْن ِّك ُح ْال َم ْرأَة ُ ْال َم ْرأَة‬
‫س َها‬

“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam
At Talkhis 3/157)

Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat
yang bertentangan dengan dalil syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita
tidak boleh mentoleransi wanita yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk perkara
khilafiyah.

2. Bid’ahnya Doa Istiftah


Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan, atau dengan kata lain: bid’ah
(Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama, 1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh
dalil ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa hukum asal ibadah adalah
haram sampai ada dalilnya. Dan pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil
diantaranya:

 Hadist dari Abu Hurairah:

!‫ يا رسول للا‬:‫ فقلت‬.‫سلَّ َم إذا كبَّر في الصالة؛ سكتَ ُهنَيَُّة قبل أن يقرأ‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ‫كان رسول للا‬
‫ … ” فذكره‬:‫ ” أقول‬:‫بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال‬

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia


diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai
Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara
takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan
doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

 Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

ُ‫ َو ْال َح ْمد‬،‫ للاُ أ َ ْكبَ ُر َكبِّيرا‬:‫سلَّ َم؛ إذ قال رجل من القوم‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ‫بينما نحن نصلي مع رسول للا‬
‫ ” عجبت لها! فتحت لها‬:‫سل َم‬ َّ َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ
َّ ‫صلى‬ َ ‫ فقال رسول للا‬.‫صيال‬ ِّ َ ‫س ْب َحانَ للاِّ بُ ْك َرة َوأ‬
ُ ‫ َو‬،‫ّلل َكثِّيرا‬
ِّ َّ ِّ
‫سل َم يقول ذلك‬ َّ َ َّ ‫صلى‬
َ ‫َّللاُ َعل ْي ِّه َو‬ َّ َ ‫ فما تركتهن منذ سمعت رسول للا‬:‫ قال ابن عمر‬.“ ‫أبواب السماء‬
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki
yang berdoa istiftah: ‫ااااا اااااااا ااااااااا ااااااااااا‬
‫ااااااا ااااااااا ااااااااااا ااااا اااااااا‬
‫اااااااااا‬. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran,
dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah
meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)

Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-macam doa istiftah yang
dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat
Imam Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan dengan banyak dalil syar’i.
Para ulama mengatakan bahwa kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada
Imam Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang berkeyakinan bahwa doa istiftah
adalah bid’ah, walaupun ini termasuk perkara khilafiyah.

3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi

As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani, adalah beberapa ulama yang
memfatwakan bolehnya merayakan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau pemahaman para salaf,
kecuali hadits-hadits dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan kaidah-kaidah
syar’i yang fundamental, diantaranya:

 Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau ditetapkan berdasarkan dalil.
Mensyariatkan ibadah tanpa dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:

َّ ‫ي بَ ْينَ ُه ْم َو ِّإ َّن‬


ٌ‫الظا ِّل ِّمينَ لَ ُه ْم َعذَاب‬ ِّ ُ‫ص ِّل لَق‬
َ ‫ض‬ َّ ‫ين َما لَ ْم يَأْذَ ْن ِّب ِّه‬
ْ َ‫َّللاُ َك ِّل َمُةُ ْالف‬ ِّ ‫عوا لَ ُه ْم ِّمنَ ال ِّد‬ ُ ‫أ َ ْم لَ ُه ْم‬
ُ ‫ش َر َكا ُء ش ََر‬
‫أ َ ِّلي ٌم‬

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan


ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang
zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)

Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

ٌّ‫ْس َعلَ ْي ِّه أ َ ْم ُرنَا فَ ُه َو َرد‬


َ ‫َم ْن َع ِّم َل َع َمال لَي‬
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan berasal dari urusan
(agama) kami, maka amalan itu tertolak” (Muttafaq ‘alaihi)

 Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan sebuah ibadah dan
 Para ulama bersepakat atas kaidah:

‫ال قياس ف إثبات العبادة‬

“Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.


Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh menggunakan qiyas dalam masalah
aqidah. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.

 Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk mensyari’atkan sebuah ibadah


 Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah aqidah. Dengan kata lain, ini
bukan ranah ijtihad. Dan masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Namun dalam kurun waktu selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan
Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para sahabatlah yang paling dahulu
memulainya. Karena merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan paling
cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
 Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in merayakan Maulid Nabi
 Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam Madzhab yang empat merayakan
Maulid Nabi

Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat yang tidak bisa ditoleransi
walaupun memang khilafiyah.

Wabillahi At Taufiq Was Sadaad


Al Qur’an

 Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an

[1] al-Qur’an adalah Cahaya

Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju
keselamatan adalah cahaya al-Qur’an dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala
di dalam firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-
Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang
dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang
Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan
iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya
adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang
bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 38)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sungguh telah datang kepada
kalian keterangan yang jelas dari Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang
terang-benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman,
Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang
kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju
kegelapan-kegelapan.” (QS. al-Baqarah: 257)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan
dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak,
sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya?
Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka
kerjakan.” (QS. al-An’aam: 122)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat ini, “Orang itu -yaitu yang berada
dalam kegelapan- adalah dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah
menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia
bisa berjalan di tengah-tengah orang banyak.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)

[2] al-Qur’an adalah Petunjuk

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Inilah Kitab yang tidak ada sedikit pun
keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 1-2). Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’an ini menunjukkan kepada urusan yang
lurus dan memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal
salih bahwasanya mereka akan mendapatkan pahala yang sangat besar.” (QS. al-Israa’: 9).

Oleh sebab itu merenungkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan pintu gerbang hidayah bagi kaum
yang beriman. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ini adalah sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, ataukah
pada hati mereka itu ada gembok-gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya ia datang bukan dari
sisi Allah pastilah mereka akan menemukan di dalamnya banyak sekali perselisihan.” (QS. an-
Nisaa’: 82)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya
dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 123).

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang
membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia tidak
akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas
(lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr,
hal. 49).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari
mengikuti petunjuk Allah ialah:

1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,


2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah,
4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim
ar-Rahman, hal. 515 cet. Mu’assasah ar-Risalah)

[3] al-Qur’an Rahmat dan Obat

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sungguh telah datang kepada
kalian nasehat dari Rabb kalian (yaitu al-Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada,
hidayah, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57). Allah ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an itu obat dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman. Akan tetapi ia tidaklah menambah bagi orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS.
al-Israa’: 82)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an itu mengandung ilmu yang
sangat meyakinkan yang dengannya akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia juga
mengandung nasehat dan peringatan yang dengannya akan lenyap segala keinginan untuk
menyelisihi perintah Allah. Ia juga mengandung obat bagi tubuh atas derita dan penyakit yang
menimpanya.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah
dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan turun kepada mereka ketenangan,
kasih sayang akan meliputi mereka, para malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun
akan menyebut nama-nama mereka diantara para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim
dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa at-Taubah wa al-Istighfar [2699])

[4] al-Qur’an dan Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah
dan mendirikan sholat serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berharap akan suatu perniagaan
yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan
keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Berterima
kasih.” (QS. Fathir: 29-30)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman maukah Aku
tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang
sangat pedih. Yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kalian pun berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.
Maka niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan tempat tinggal yang baik di surga-
surga ‘and. Itulah kemenangan yang sangat besar. Dan juga balasan lain yang kalian cintai
berupa pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat. Maka berikanlah kabar gembira
bagi orang-orang yang beriman.” (QS. ash-Shaff: 10-13)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
yang beriman, jiwa dan harta mereka, bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan surga.
Mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka berhasil membunuh (musuh) atau justru
dibunuh. Itulah janji atas-Nya yang telah ditetapkan di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan
siapakah yang lebih memenuhi janji selain daripada Allah, maka bergembiralah dengan
perjanjian jual-beli yang kalian terikat dengannya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS.
at-Taubah: 111)

[5] al-Qur’an dan Kemuliaan Sebuah Umat

Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’ bin Abdul Harits bertemu
dengan ‘Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu
‘Umar mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun bertanya kepadanya,
“Siapakah yang kamu angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’
menjawab, “Ibnu Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia menjawab,
“Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu
mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’ menjawab, “Dia
adalah seorang yang menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.”
‘Umar pun berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam memang telah bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini sebagian kaum dan dengannya pula
Dia akan menghinakan sebagian kaum yang lain.”.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-
Musafirin [817])

Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5027])

[6] al-Qur’an dan Hasad Yang Diperbolehkan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: seorang lelaki yang diberikan ilmu oleh Allah
tentang al-Qur’an sehingga dia pun membacanya sepanjang malam dan siang maka ada
tetangganya yang mendengar hal itu lalu dia berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana
apa yang diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia
lakukan.” Dan seorang lelaki yang Allah berikan harta kepadanya maka dia pun menghabiskan
harta itu di jalan yang benar kemudian ada orang yang berkata, “Seandainya aku diberikan
sebagaimana apa yang diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa
yang dia lakukan.”.” (HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5026])

[7] al-Qur’an dan Syafa’at

Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Bacalah al-Qur’an! Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat untuk
memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [804])

[8] al-Qur’an dan Pahala Yang Berlipat-Lipat

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Kitabullah maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku
tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf,
dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Tsawab al-Qur’an [2910], disahihkan oleh
Syaikh al-Albani)

[9] al-Qur’an Menentramkan Hati

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa
tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati
akan merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa
pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat/merenungkan al-
Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan
iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa
diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)

[10] al-Qur’an dan as-Sunnah Rujukan Umat


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah rasul, dan juga ulil amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang
sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Maimun bin Mihran berkata, “Kembali kepada Allah adalah kembali kepada Kitab-Nya. Adapun
kembali kepada rasul adalah kembali kepada beliau di saat beliau masih hidup, atau kembali
kepada Sunnahnya setelah beliau wafat.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 14)

[11] al-Qur’an Dijelaskan oleh as-Sunnah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an
supaya kamu menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan mudah-
mudahan mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa menaati rasul itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’:
80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang baik
pada diri Rasulullah, yaitu bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. al-
Ahzab: 21)

Mak-hul berkata, “al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-Sunnah dibandingkan kebutuhan


as-Sunnah kepada al-Qur’an.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13). Imam Ahmad berkata,
“Sesungguhnya as-Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an dan menjelaskannya.” (lihat ad-Difa’
‘anis Sunnah, hal. 13)

Wallahu a’lam bish showab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa
shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

 Adab Membaca Al-Quran


 Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun. Al
Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia
di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan
dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala.
Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi
keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam, “Sebaik-baik kamu adalah orang yg mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
 Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab
berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
 1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan dan tenang.
 Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan suci. Namun,
diperbolehkan apabila dia membaca dalam keadaan terkena najis. Imam Haromain
berkata, “Orang yang membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan
mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama.” (At-
Tibyan, hal. 58-59)
 2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat
yang dibaca.
 Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an (khatam) kurang dari tiga
hari, berarti dia tidak memahami.” (HR. Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
 Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari semalam, dengan dasar
hadits di atas. Rosululloh telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam
kan Al-Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim). Sebagaimana yang
dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit, mereka
mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu.
 3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis, karena sentuhan
pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan.
 Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya yang shalih, “Dan mereka
menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS.
Al-Isra’: 109). Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk pura-pura
menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
 4. Membaguskan suara ketika membacanya.
 Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Hiasilah Al-Qur’an
dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain
dijelaskan, “Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-Qur’an dengan susunan
bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai
keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak perlu melenggok-lenggokkan
suara di luar kemampuannya.
 5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
 Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila kamu akan membaca Al-
Qur’an, maka mintalah perlindungan kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang
terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)
 Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu
membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah
dengan suara yang lirih secara khusyu’.
 Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah bahwasanya setiap dari
kalian bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu
yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras daripada yang lain
pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim).
Wallohu a’lam.

 Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada
ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu,
berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa
mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-
teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ ‫عن ِّذ ْك ِّرى فَإ ِّ َّن لَهُ َم ِّعيشَُة‬ َ ‫} َو َم ْن أَع َْر‬123{ ‫ض ُّل َوالَ يَ ْشقَى‬ ْ
ُ ْ‫ضنكا َونَح‬
‫ش ُرهُ يَ ْو َم‬ َ ‫ض‬ َ َ‫فَإ ِّ َّما يَأتِّ َينَّ ُكم ِّمنِّي هُدى فَ َم ِّن اتَّبَ َع ُهد‬
ِّ َ‫اي فَالَ ي‬
َ ْ
‫ال ِّقيَا َم ُِّة أ ْع َمى‬

Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia
tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).

Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa
saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan
sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫سن‬
ُ ‫َاب للاِّ َو‬ َّ ‫َضلُّ ْوا َما ت َ َم‬
َ ‫ ِّكت‬: ‫س ْكت ُ ْم ِّب ِّه َما‬ ِّ ‫س ْو ِّل ِّه ََت ََر ْكتُ فِّ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِّْن لَ ْن ت‬
ُ ‫ةَ َر‬

Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-
Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At
Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).

KENYATAAN UMAT

Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam
telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-
prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi
bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan
yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan
syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.

Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang
benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup
bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka
meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha
berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum
mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan
di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan
pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju
jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-
Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj
as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im
Saliim].

RUJUKAN MEMAHAMI NASH

Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan
rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau,
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam
memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman
Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal
itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul
Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].

Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di
antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara
memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri.
Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.

Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:

 Menafsirkan Alquran dengan Alquran


 Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in
 Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa
Arab

Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:

 Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara
global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di
tempat yang lain.
 Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat
lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan
penjelas bagi Alquran.
 Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-
ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena
mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan
keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya
wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka,
sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun
generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena
para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang
shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat,
yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk,
Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya)
Abdullah bin Abbas.
 Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak
mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada
perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat
(tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah
maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id
bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim,
dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi
setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih),
namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan
hujjah.
 Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap
perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam
masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau
keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun
menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya)
haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).

Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat,
tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara
lain:

Firman Allah Ta’ala,

‫سآ َءت‬ ْ ُ‫س ِّبي ِّل ا ْل ُمؤْ ِّمنِّينَ نُ َو ِّل ِّه َما ت ََولَّى َون‬
َ ‫ص ِّل ِّه َج َهنَّ َم َو‬ َ ‫سو َل ِّمن َب ْع ِّد َما تَ َبيَّنَ لَهُ ْال ُهدَى َو َيت َّ ِّب ْع َغي َْر‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ِّ ‫صيرا َْ َو َمن يُشَا ِّق‬
ِّ ‫َم‬

Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-
orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan
semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang
Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫اس قَ ْرنِّي ث ُ َّم الَّذِّينَ يَلُونَ ُه ْم ث ُ َّم الَّذِّينَ يَلُونَ ُه ْم‬


ِّ َّ‫َخي ُْر الن‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang
mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka
(yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no.
2533; dan lainnya).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ِّ ‫ار ِّإ َّال ِّملَُّة َو‬


‫احدَة قَالُوا َو َم ْن‬ ٍ ‫س ْبعِّينَ ِّم َّلُة َوت َ ْفت َِّر ُق أ ُ َّم ِّتي َع َلى ثَ َال‬
ِّ َّ‫ث َو َس ْبعِّينَ ِّملَُّة ُكلُّ ُه ْم ِّفي الن‬ َ ‫ت َعلَى ِّث ْنتَي ِّْن َو‬
ْ َ‫َو ِّإ َّن َب ِّني ِّإس َْرا ِِّئي َل تَفَ َّرق‬
‫ص َحابِّي‬ َ َ
ْ ‫َّللاِّ قَا َل َما أنَا َعلَ ْي ِّه َوأ‬
َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ِّي يَا َر‬ َ ‫ه‬

Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku
akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama.
Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no.
2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh
Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).

Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah
(ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi
perselisihan, tidak ada jalan lain!

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ِّ َ‫سنَّ ُِّة ْال ُخلَف‬


‫اء‬ ُ ِّ‫اختِّ َالفا َكثِّيرا فَعَلَ ْي ُك ْم ب‬
ِّ ‫س َّن‬
ُ ‫ت َو‬ ْ ‫سيَ َرى‬ َ َ‫ش ِّم ْن ُك ْم َب ْعدِّي ف‬ َّ ‫َّللاِّ َوالس َّْمع َوال‬
ْ ‫طا َع ُِّة َوإِّ ْن َعبْدا َحبَ ِّشيًّا فَإِّنَّهُ َم ْن يَ ِّع‬ ِّ َّ ‫وصي ُك ْم بِّت َ ْق َوى‬ِّ ُ ‫أ‬
ٌ‫ض َاللَُة‬ ِّ ‫ت ْاأل ُ ُم‬
َ ‫ور فَإ ِّ َّن ُك َّل ُمحْ دَثَ ٍُة ِّب ْد َعُةٌ َو ُك َّل ِّبدْ َع ٍُة‬ ِّ ‫علَ ْي َها ِّبالنَّ َو‬
ِّ ‫اج ِّذ َو ِّإيَّا ُك ْم َو ُمحْ دَثَا‬ َ ‫س ُكوا ِّب َها َو َعضُّوا‬ َّ َ‫ْال َم ْهد ِِّّيين‬
َّ ‫الرا ِّشدِّينَ ت َ َم‬

Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya,
barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu
berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama),
karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R
Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin
Sariyah).

Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman
para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan
alasan makna bahasa.

Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah
syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang
manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada
umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-
Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh
adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena
secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan
menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa
Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus.
Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya!
Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].

Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang
digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab
‫]ق ر ب‬. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan
pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10
Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis
Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab,
Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara
bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk
membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan
berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat
Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].

Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata
me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita
tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih.
Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang
dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu
agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan
semacamnya.

Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.

 Tafsir Surat Al-Fatihah


 Keutamaan Surat Al-Fatihah
 Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang
yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari
Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
 Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak
membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR.
Muslim)
 Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak
lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik,
Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat
bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat
tanpanya.
 Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
 Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat
paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau
pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka
aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu
sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah)
Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh
ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus
Salam, hal. 270)
 Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
 Makna bacaan Ta’awwudz
 ‫الر ِّجي ِّْم‬
َّ ‫ان‬ ِّ ‫ط‬ َ ‫الشََ ْي‬
َّ َ‫اّلل ِّمن‬ ِّ ‫أَع ُْوذُ ِّب‬
 Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
 Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak
menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu
menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri
kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan
umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
 ‫قَا َل فَ ِّب ِّع َّزتِّكَ َأل ُ ْغ ِّويَ َّن ُه ْم أَجْ َمعِّينَ ِّإ َّال ِّعبَادَكَ ِّم ْن ُه ُم ْال ُم‬
 “Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-
hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
 Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang
yang ikhlas.
 Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak
boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah
adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-
kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam
yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
 َ ‫َام‬ َ ‫صن‬ ْ َ ‫ي أَن نَّ ْعبُدَ األ‬ َّ ِّ‫َواجْ نُ ْبنِّي َوبَن‬
 “Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim:
35)
 Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam
hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang
benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri
dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat
yang artinya,
 ‫ُوحي َب ْعض‬ ِّ ‫نس َو ْال ِّج ِّن ي‬ ِّ ‫اإل‬ ِّ َ‫اطين‬ َ ‫غ ُرورا َُ َو َكذَلِّكَ َج َع ْلنَا ِّل ُك ِّل نِّ ِّبي ٍ َعد ُوا‬
ِّ ‫ش َي‬ ُ ‫ف ْالقَ ْو ِّل‬ ٍ ‫ُه ْم ِّإلَى َب ْع‬
َ ‫ض ُز ْخ ُر‬
 “Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa)
syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian
yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam:
112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz
Alus Syaikh hafizhahullah).
 Makna bacaan Basmalah
 ‫الر ِّح ِّيم‬ َّ ‫من‬ ِّ ْ‫الرح‬ َّ ِّ‫ِّب ْس ِّم للا‬
 Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
 Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut
seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan
peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah
memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik
manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu
Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
 Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta,
takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman
dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang
dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung.
Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-
Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi
dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu
rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang
tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan
rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
 Penjelasan Kandungan Surat
 Makna Ayat Pertama
 ‫ب ْالعَالَ ِّم‬
ِّ ‫ْال َح ْمد ُ ّللِّ َر‬
 Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
 Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan
juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan
karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah
yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah
sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada
Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan
bukanlah pujian yang sempurna.
 Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara).
Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah.
Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan
nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum
yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang
khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di
samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang
khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain
itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan
rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang
abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari
hal-hal yang dibenci oleh syariat.
 Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul
‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur,
pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya,
baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka
mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir
Lathiifil Mannaan, hal. 20).
 Makna Ayat Kedua
 ‫الر ِّح ِّيم‬
َّ ‫مـن‬
ِّ ْ‫الرح‬ َّ
 Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
 Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah
wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
 “Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan
menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
 Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah.
Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3
golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
 Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat
makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan
sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun
Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka
terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan).
Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan
nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga
mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan
Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa
menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka
yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang
artinya,
 “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
 Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan
penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun
namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha
Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan.
Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan
kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak
mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah
berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan
Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela
daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya
dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-
Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang
Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
 Makna Ayat Ketiga
 ‫ِّين‬
ِّ ‫َما ِّل ِّك َي ْو ِّم الد‬
 Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
 Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk
memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga
yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah
yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya
menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan
memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya
penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
 Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu
seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka
kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia
kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali
kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja
dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya
tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun
rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan
kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya.
Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat
khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di
dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari
pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada.
Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
 Makna Ayat Keempat
 ُ‫ِّإيَّاكَ نَ ْعبُد ُ و ِّإيَّاكَ نَ ْستَ ِّعين‬
 Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami
meminta pertolongan.”
 Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-
Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek
kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan
pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami
menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-
Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
 Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa
perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang
tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan
larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan
diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak
cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara
bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau
perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta
pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah
di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
 Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah
sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum
sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala
di atas hak hamba-Nya….”
 Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu
merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah
sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan
menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap
benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan
hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa
dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal
isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu
membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya.
Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk
melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu
tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
 Makna Ayat Kelima
 ‫يم‬ َ ‫الص َرا‬
َ ‫ط ال ُمستَ ِّق‬ ِّ ‫اه ِّدنَــــا‬
 Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
 Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti
shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan
jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan
berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah
memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami
menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan
hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan
meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah
hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan
begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai
macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan
wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain
dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir
Karimir Rahman, hal. 39).
 Makna Ayat Keenam
 ‫ط الَّذِّينَ أَنعَمتَ َعلَي ِّه ْم‬
َ ‫ص َرا‬
ِّ
 Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
 Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan
bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para
pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan
ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan
kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya,
mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk
melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah
murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala.
Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai
dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini
kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah
nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun
sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir,
hal. 12).
 Makna Ayat Ketujuh
 َ‫ب َعلَي ِّه ْم َوالَ الضَّالِّين‬
ِّ ‫َير ال َمغضُو‬
ِّ ‫غ‬
 Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang
yang tersesat.”
 Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak
mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan
orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara
kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan
semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita
supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita
untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat
Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
 Kesimpulan Isi Surat
 Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang
tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat
ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin
terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam
hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di
dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid
uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya.
Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-
sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri.
Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah
mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-
benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang
nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun
menyerupakannya dengan sifat makhluk.
 Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat
Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh
hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga
menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari
ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari
ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan
prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik
untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir,
bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh
kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang
benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana
keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu
terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena
pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti
menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya.
Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam
beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi
ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
(disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
 Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al
Quran.
 Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan
orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.

 Tafsir Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi

Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia. Demikian juga seluruh ayat
yang dikandungnya. Namun, Allah ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan
sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain. Surat yang paling agung adalah
surat al-Fatihah, sedangkan ayat yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah,
ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini adalah ayat kursi.

Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang
paling agung?”

Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat mana di kitab Allah yang paling
agung?”

Aku pun menjawab,

‫ي ْالقَيُّو ُم‬
ُّ ‫َّللاُ الَ إِّلَهَ إِّالَّ ه َُو ْال َح‬
َّ

Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat atas ilmu (yang diberikan
Allah kepadamu) wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)

Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang mencuri harta zakat, disebutkan
bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah memberimu manfaat dengannya. Jika
engkau berangkat tidur, bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga dari
Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai pagi.”

Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau
berkata,

“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-Bukhari no. 2187)

Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu
‘anhu, disebutkan bahwa si jin mengatakan:

َ ‫صبِّ ُح أ ُ ِّج‬
َ ‫ير ِّمنَّا َحتَّى يُ ْم ِّس‬
‫ي‬ ْ ُ‫ َو َم ْن قَالَ َها ِّحينَ ي‬، ‫صبِّ َح‬ َ ‫َم ْن قَالَ َها ِّحينَ يُ ْمسِّي أ ُ ِّج‬
ْ ُ‫ير ِّمنَّا َحتَّى ي‬

“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari kami sampai pagi. Barangsiapa
membacanya ketika pagi, ia akan dilindungi sampai sore.” (HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-
Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

َ ‫ إِّال ْال َم ْوتُ َْ َم ْن قَ َرأ َ آيَُةَ ْال ُك ْر ِّسي ِّ دُب َُر ُك ِّل‬،‫َجنَّ ُِّة‬
‫صالةٍ َم ْكتُوبَ ٍُة لَ ْم يَ ْم َن ْعهُ ِّم ْن د ُ ُخو ِّل ال‬

“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib, tidak ada yang menghalanginya
dari masuk surga selain kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-
Albani)

Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2) pada dzikir pagi dan sore, (3)
juga sebelum tidur.

Tafsir Ayat Kursi

‫ي ْالقَيُّو ُم‬
ُّ ‫َّللاُ الَ إِّلَهَ إِّالَّ ه َُو ْال َح‬
َّ

“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia Yang hidup kekal serta terus
menerus mengurus (makhluk).”

Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah mengawali ayat ini dengan
menegaskan kalimat tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat
sebelumnya. Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah.
Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah apapun kepada selain Allah.

Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna yang Allah miliki. Al-Hayyu
artinya Yang hidup dengan sendirinya dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua
membutuhkan-Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu, Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-
Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah nama yang paling agung.
Pendapat ini dan yang sebelumnya adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang
paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.

‫الَ ت َأ ْ ُخذُهُ ِّسنَُةٌ َوالَ ن َْو ٌم‬

“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”

Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan dan mengawasi segala sesuatu.
Tidak ada yang tersembunyi darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.

Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk terjadi sebelum tidur.

Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah cukup sehingga tidak perlu
menyebut tidak tidur; karena jika mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”

Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang tidur tanpa mengantuk terlebih
dahulu, dan (2) orang bisa menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan
kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.

ِّ ‫ت َو َما فِّي اْأل َ ْر‬


‫ض‬ َّ ‫لَهُ َما فِّي ال‬
ِّ ‫س َم َاوا‬

“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”

Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada
yang bisa menjalankan suatu kehendak kecuali dengan kehendak Allah.

‫َم ْن ذَا الَّذِّي يَ ْشفَ ُع ِّع ْندَهُ إِّالَّ بِّإِّذْنِّ ِّه‬

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”

Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain dalam mendatangkan manfaat
atau mencegah bahaya. Inti syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan syafaat
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
mendoakannya di sisi Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti syafaat
untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi penghuni surga agar pintu surga dibukakan
untuk mereka. Ada yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti syafaat
bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar
terangkat ke derajat yang lebih tinggi di surga.

Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua, anak, saudara atau sahabatnya di
akhirat. Akan tetapi, syafaat hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal dalam
keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk mendapatkannya, yaitu:

1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.


2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali kepada Allah. Selain berdoa,
hendaknya kita mewujudkan syarat mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya
dengan menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan meninggalkan semua
laranganNya.

‫يَ ْعلَ ُم َما َبيْنَ أ َ ْيدِّي ِّه ْم َو َما خ َْل َف ُه ْم‬

“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka.”

Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik yang ada pada masa lampau,
sekarang maupun yang akan datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan
terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah
sangat sempurna.

‫ش ْيءٍ ِّم ْن ِّع ْل ِّم ِّه إِّالَّ ِّب َما شَا َء‬ ُ ‫َوالَ ي ُِّحي‬
َ ِّ‫طونَ ب‬

“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali dengan apa yang dikehendaki-
Nya.”

Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah ajarkan. Demikian pula ilmu tentang
dzat dan sifat-sifat Allah. Kita tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat, kecuali
yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadits.

َ ‫ت َواْأل َ ْر‬
‫ض‬ َّ ‫َو ِّس َع ُك ْر ِّسيُّهُ ال‬
ِّ ‫س َم َاوا‬

“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:

‫ض ُع قَدَ َم ْي ِّه‬ ُّ ‫ال ُك ْرس‬


ِّ ‫ي َم ْو‬

“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no. 3116, di hukumi shahih
oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)

Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana ditetapkan Allah dan Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa
menyerupakannya dengan sifat makhluk.

Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah. Dalam sebuah hadits, Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

‫سبْع َم َع ال ُك ْر ِّسي ِّ ِّإالَّ َك َح ْلقَ ٍُة ُم ْلقَاةٍ ِّبأ َ ْرض فَالَ ٍة‬
َّ ‫س َم َاواتُ ال‬
َّ ‫َما ال‬

“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana lingkaran anting yang diletakkan di
tanah lapang.” (HR. Ibnu Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
ُ ‫َوالَ يَئُودُهُ ِّح ْف‬
‫ظ ُه َما‬

“Dan Allah tidak terberati pemeliharaan keduanya.”

Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah sendirian. Demikian juga
seorang kepala desa, camat, bupati, gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang
mereka pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat. Pemeliharaan langit dan
bumi beserta isinya sangat ringan bagi-Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di
depan Allah.

‫ي ْالعَ ِّظي ُم‬


ُّ ‫َوه َُو ْالعَ ِّل‬

“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di ketinggian, yaitu di atas langit (di
atas singgasana). Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada
seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”

Ia menjawab, “Di langit.”

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”

Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”

Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada majikannya (majikan budak perempuan
tersebut -ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim no. 537)

Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada dimana-mana bertentangan dengan
al-Qur’an dan al-Hadits.

Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya juga agung sebagaimana
ditunjukkan oleh keagungan kursiNya dalam ayat ini.

Kesimpulan:

1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling agung adalah ayat kursi.
2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat wajib, pada dzikir pagi dan
sore, dan sebelum tidur.
3. Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat yang ditetapkan oleh Allah dan
RasulNya sesuai dengan keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya dengan
nama dan sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan
kesempurnaan-Nya.

Wallahu a’lam.

Referensi:

1. Al-Quran dan Terjemahnya


2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
5. Shahih al-Bukhari
6. Shahih Muslim
7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
8. al-Mustadrak, al-Hakim.
9. Shahih Ibnu Hibban
10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati, tidak ada kesenangan dan
ketenangan baginya, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan
Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintai-Nya lebih dari yang
lain, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-
Thahawiyyah)

Fiqih dan Muamalah

 Macam-Macam Najis

Contoh-contoh Ibadah Syirik

Suatu ibadah jika dipersembahkan kepada Allah semata, maka itulah tauhid. Sebaliknya, apabila
suatu ibadah dipersembahkan kepada selain Allah, maka itulah kesyirikan. Di bawah ini
penyusun disampaikan contoh-contoh ibadah, seperti do’a, khauf (takut), raja’ (berharap),
tawakkal, isti’anah, isti’adzah, istighatsah, dan dzabh (menyembelih hewan) yang bernilai
tauhid dan yang bernilai syirik.
1. Khauf (Takut)

Ciri Ibadah Khauf

 Rasa takut yang disertai pengagungan dan perendahan diri yang sempurna terhadap
sesuatu yang ditakuti, sebagaimana layaknya mengagungkan sesembahan dan
merendahkan diri kepadanya.
 Rasa takut yang mendorong pelakunya untuk taat mutlak kepada sesuatu yang ditakuti,
sebagaimana takut seorang muslim kepada Allah (melakukan apapun yang
diperintahkannya dan menjauhi apapun yang dilarangnya).
 Bahaya yang ditakutkan adalah perkara yang hanya Allah yang mampu menimpakannya,
seperti menimpakan musibah tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba mati, tiba-tiba jatuh miskin
dan yang semisalnya.
 Pelakunya bertaqarrub (mendekatkan diri) dan beribadah dengan rasa takut tersebut
kepada sesuatu yang ditakutinya.

Maka rasa takut jenis ibadah ini bernilai

1. Tauhid, apabila hanya dipersembahkan kepada Allah Ta’ala semata, maksudnya seorang
hamba hanya takut kepada Allah dengan jenis takut ibadah ini, karena Allah lah Yang Maha
Kuasa atas segala sesuatu, Dia lah yang memuliakan sebagian hamba yang dikehendaki-Nya,
menghinakan sebagian hamba lain yang dikehendaki-Nya, dan memberi anugerah kepada siapa
yang dikehendaki-Nya serta mencegah pemberian dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di tangan-
Nya lah manfa’at dan mudharat (bahaya).

Dalil ibadah khauf (takut) yang bernilai tauhid ini terdapat dalam firman Allah Ta’ala :

ِّ ُ‫ف أ َ ْو ِّليَا َءهُ فَ َال تَخَافُو ُه ْم َوخَاف‬


‫ون إِّ ْن ُكن‬ َّ ‫ت ُ ْم ُمؤْ ِّمنِّينَ َْإِّنَّ َما َٰذَ ِّل ُك ُم ال‬
َ ‫ش ْي‬
ُ ‫طانُ يُخ َِّو‬

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kalian) dengan
kawan-kawannya, karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku,
jika kalian benar-benar orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 175).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk takut kepada-Nya dan melarang
hamba-Nya dari takut kepada wali-wali setan (makhluk).

2. Syirik Akbar (besar), apabila dipersembahkan kepada selain Allah, maksudnya seorang takut
kepada selain Allah dengan jenis takut ibadah tersebut. Hal ini mengeluarkan pelakunya dari
Islam.

Inilah rasa takut yang ada pada hati kaum musyrikin, penyembah kuburan, dan yang semisalnya
kepada berhala, patung, wali, ruh orang shaleh yang telah meninggal dunia, mayit, jin dan
selainnya dari sesembahan selain Allah. Kaum musyrikin tersebut merasa takut kalau
sesembahan-sesembahan selain Allah tersebut menimpakan bahaya tanpa sebab yang jelas
kepada mereka persis sebagaimana Allah menimpakan bahaya kepada hamba-Nya, ketika
mereka merasa kurang menghormati, kurang dalam memberi sesajen/tumbal, dan kurang
memenuhi hak sesembahan selain Allah tersebut.

Ketika mereka terkena musibah besar secara mendadak, kematian, jatuh sakit, kecelakaan dan
musibah lainnya, serta merta mereka menyimpulkan bahwa musibah itu dikarenakan kemarahan
wali, ruh orang sholeh yang telah meninggal dunia, mayit, jin tersebut, karena selama ini kurang
menghormati sesembahan selain Allah tersebut, sehingga merekapun takut kepada sesembahan-
sesembahan tersebut sebagaimana takutnya mereka kepada Allah Ta’ala. Padahal sesembahan-
sesembahan mereka tersebut sebenarnya tidak mampu menimpakan bahaya sebagaimana yang
mereka takutkan, tetapi mereka yakini sesembahan-sesembahan tersebut dapat memberi manfaat
dan mudharat kepada mereka.

[bersambung]

 Cara Membersihkan Najis

Najasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah syariat adalah
segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat. Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah disebutkan,

‫النجاسات جمع نجاسة‬, ‫و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و‬
‫البول‬

“Najasat adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh
orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan
membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni”1.

Dalam Al Fiqhul Muyassar disebutkan,

‫النجاسة‬: ‫هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها‬

“Najasah adalah setiap hal yang dianggap kotor yang diperintahkan oleh syariat untuk
menjauhinya”2.

Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang disebutkan para ulama
menunjukkan bahwa tidak semua yang kotor menurut manusia itu adalah najis dalam istilah
syar’i, dan juga menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu harus dilandasi
dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia suci. Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:

‫يجب أن يعلم أن األصل في جميع األشياء الطهارة فال تنجس و ال ينجس منها إال ما دل عليه الشرع‬

“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia
sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat”3.
Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu itu najis,
melainkan harus berdasarkan dalil. Dan yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita
diperintahkan untuk menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena najis.

Kemudian, najis berbeda dengan pembatal wudhu. Dan jika seseorang terkena najis, wudhunya
tidak menjadi batal, namun ia wajib membersihkan najis tersebut

Perintah membersihkan najis

Syariat memerintahkan kita untuk membersihkan diri dari najis dalam banyak dalil dari Al
Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:

َ َ‫َوثِّيَا َبكَ ف‬
‫ط ِّه ْر‬

“dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al Mudatsir: 4).

Allah Ta’ala juga berfirman:

‫طاِئِّفِّينَ َو ْالعَا ِّكف‬


َّ ‫ي ِّلل‬ َ ‫ِّيم َوإِّ ْس َما ِّعي َل أَن‬
َ ِّ‫ط ِّه َرا بَ ْيت‬ َ ‫َو َع ِّهدْنَا إِّلَى إِّب َْراه‬ ُّ ‫الر َّكعِّ ال‬
َ ِّ ‫س ُجو ِّد‬ ُّ ‫ينَ َو‬

“Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk mensucikan rumah-Ku bagi orang-
orang yang ber-thawaf, ber-i’tikaf dan orang-orang yang rukuk dan sujud” (QS. Al Baqarah:
125).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ير أ َ َّما أَ َحدُ ُه َما فَ َكانَ َي ْمشِّي ِّبالنَّ ِّمي َم ُِّة‬


ٍ ‫ان ِّفي َك ِّب‬ ِّ ‫سلَّ َم َعلَى قَب َْري ِّْن فَقَا َل أَ َما ِّإنَّ ُه َما لَيُ َعذَّ َب‬
ِّ ‫ان َو َما يُ َعذَّ َب‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِّ‫َّللا‬ ُ ‫َم َّر َر‬
‫َوأ َ َّما اآلخ َُر فَ َكانَ ال يَ ْستَتِّ ُر ِّم ْن بَ ْو ِّل ِّه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati dua kuburan. Lalu beliau bersabda: “kedua
orang ini sedang diadzab, dan mereka diazab bukan karena dosa besar. Orang yang pertama
diadzab karena berbuat namimah (adu domba). Adapun yang kedua, ia diadzab karena tidak
membersihkan diri dari sisa kencingnya”” (HR. Muslim no. 292).

Dan dalil-dalil yang lainnya.

Cara membersihkan najis

Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga:

1. Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah


2. Najasah mukhaffafah (ringan)
3. Najasah mutawashitah (pertengahan)
1. Cara membersihkan najasah tsaqilah

Misalnya najis dari anjing dan babi, maka membersihkannya dengan tujuh kali cucian, dan
cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya. Syaikh As Sa’di menyatakan:
“Najis dari anjing dan semua yang berasal dari babi cara mencucinya harus dengan tujuh kali
cucian, dan cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya” 4.

Dalilnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ب‬ َ ُ‫ت أ‬
ِّ ‫واله َُّن بِّالت ُّ َرا‬ َ ُ‫ أ َ ْن يَ ْغ ِّسلَه‬، ُ‫َاء أ َ َح ِّد ُك ْم إِّذَا َولَ َغ فِّي ِّه ْالك َْلب‬
ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬ ِّ ‫ور إِّن‬ َ
ُ ‫ط ُه‬

“cara mensucikan bejana dari seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan
mencucinya tujuh kali, cucian yang pertama menggunakan tanah” (HR. Al Bukhari no. 182,
Muslim no. 279).

Dan babi juga demikian, berdasarkan qiyas min baabil aula. Karena babi lebih buruk dari pada
anjing5.

2. Cara membersihkan najasah mukhaffafah

Najasah yang mukhaffah ada 3 macam di lihat dari cara membersihkannya:

a. Dengan cara memercikkan air sekali percikan

Syaikh As Sa’di menyatakan: “air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan karena
syahwat (untuk makan) maka ini semua cukup dipercikkan air sekali saja, ini merupakan salah
satu pendapat dari madzhab (Hambali), sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih.
Demikian juga muntahnya anak-anak, itu statusnya lebih ringan daripada air kencingnya.
Demikian juga madzi, menurut pendapat yang shahih, ia juga cukup dipercikkan air saja,
sebagaimana terdapat dalam hadits, dan ini semua selaras dengan hikmah keringanan dalam
masyaqqah”6.

Berikut perincian dalilnya:

 Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan


Hadits dari Abu Samh Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ش ِّم ْن بَ ْو ِّل ْالغُالَ ِّم‬ ِّ ‫س ُل ِّم ْن بَ ْو ِّل ْال َج‬


ُّ ‫اريَ ُِّة َوي َُر‬ َ ‫يُ ْغ‬

“Air kencing anak perempuan itu dicuci, sedangkan air kencing anak laki-laki itu
dipercikkan” (HR. Abu Daud 377, An Nasa’i 303, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
An Nasa’i).

 Muntahnya anak laki-laki yang belum memakan makanan, diqiyaskan dengan air kencing.
 Madzi
Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata:
‫كيف يَ ْف َع ُل به ؟ فقال‬
َ ‫اإلنسان‬
ِّ ِّ ‫س ْلنا‬
َ‫فسألَه عن ال َمذْي ِّ يَ ْخ ُر ُج ِّمن‬، ‫الم ْقدَّادَ بنَ األسو ٍد إلى رسو ِّل للاِّ صلى للا عليه وسلم‬ َ ‫أر‬
َ ْ ْ
َّ ‫وان‬، ‫ ت ََوضَّأ‬: ‫رسو ُل للاِّ صلى للا عليه وسلم‬
َ‫ض ْح ف ْر َجك‬

“Miqdad bin Al Aswad mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu


aku bertanya mengenai madzi yang keluar dari seseorang, bagaimana menyikapinya?
Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘berwudhulah dan percikkan
kemaluanmu dengan air‘” (HR. Muslim 303).

b. Dengan menyiramnya sekali siram atau secukupnya hingga hilang inti objeknya

Ini berlaku pada semua najis yang ada di atas permukaan lantai atau tanah. Syaikh As Sa’di
menyatakan: “Najis jika berada di atas permukaan tanah atau lantai maka cukup disiram dengan
sekali siraman yang membuat ‘ainun najasah (inti dari objek najis) hilang, sebagaimana perintah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menyiram air kencing orang badwi dengan seember
air”7.

Dalilnya hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

ُ‫صلَّى للا‬ ُّ ِّ‫ضى بَ ْولَهُ أ َ َم َر النَّب‬


َ ‫ي‬ َ َ‫سلَّ َم فَلَ َّما ق‬
َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ ُّ ِّ‫ «فَ َن َها ُه ُم النَّب‬،‫اس‬
َ ‫ي‬ ٌّ ِّ‫َجا َء أَع َْراب‬
َ ‫ي فَبَا َل فِّي‬
ُ َّ‫ فَزَ َج َرهُ الن‬،ِّ‫طاِئِّفَ ُِّة ال َمس ِّْجد‬
ُ ٍ ‫سلَّ َم بِّذَنُو‬
‫ب ِّم ْن َماءٍ فَأ ْه ِّريقَ َعلَ ْي ِّه‬ َ ‫« َعلَ ْي ِّه َو‬

“Seorang arab badwi kencing di satu bagian masjid, maka orang-orang pun hendak
memarahinya. Namun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mereka. Ketika ia selesai kencing, Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember
air” (HR. Bukhari no. 221, Muslim no. 284).

Dari hadits ini jelas bahwa najis yang ada di permukaan lantai atau tanah maka cukup hingga
hilang ‘ainun najasah (inti dari objek najis), tidak harus hilang 100%. Karena
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk menyiram air kencing orang
badwi tersebut dengan air seember yang tentu belum menghilangkan semua najisnya 100%.

c. Dengan menyentuhkan pada debu atau tanah

Yaitu najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki lainnya, juga pada bagian bawah
pakaian wanita yang terkena tanah. Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najis yang ada pada bagian
bawah sepatu dan alas kaki lainnya, cukup disentuhkan pada permukaan tanah atau pada debu,
sebagaimana terdapat dalam hadits shahih. Dan ini yang sesuai dengan hikmah syar’iyyah”.

Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:

،‫ فَلَ َّما َرأَى ذَلِّكَ ْالقَ ْو ُم أَ ْلقَ ْوا نِّعَالَ ُه ْم‬،ِّ‫اره‬ ِّ ‫س‬َ َ‫ضعَ ُه َما َع ْن ي‬ َ ‫ص َحابِّ ِّه إِّذْ َخلَ َع نَ ْعلَ ْي ِّه فَ َو‬ ْ َ ‫ص ِّلي بِّأ‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬ َ ‫صلَّى للاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫سو ُل‬
َ ِّ‫َّللا‬ ُ ‫بَ ْي َن َما َر‬
‫ َرأَ ْينَاكَ أَ ْلقَيْتَ نَ ْعلَيْكَ فَأ َ ْلقَ ْينَا‬:‫ قَالُوا‬،«‫اء نِّ َعا ِّل ُك ْم‬ِّ َ‫ « َما َح َملَ ُك ْم َعلَى ِّإ ْلق‬:َ‫ قَال‬،ُ‫ص َالتَه‬ َ َ َ َ َ ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬‫و‬ ‫ه‬
ِّ ‫ي‬
ْ َ ‫ل‬‫ع‬ ُ ‫للا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬‫ص‬َ ِّ َّ
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬
َ ‫ض‬
‫ى‬ َ َ‫فَلَ َّما ق‬
َ َ َ َ َ ْ َ
:َ‫سل َم أتَانِّي فأخبَ َرنِّي أ َّن فِّي ِّه َما قذرا – أ ْو قال‬ َ َ َّ َ
َ ‫صلى للاُ َعل ْي ِّه َو‬ َّ َ ‫ ” إِّ َّن ِّجب ِّْري َل‬:‫سل َم‬ َّ َ
َ ‫صلى للاُ َعل ْي ِّه َو‬ َّ َّ ‫سو ُل‬
َ ِّ‫َّللا‬ ُ ‫ فَقا َل َر‬،‫نِّعَالَنَا‬
َ
‫ص ِّل فِّي ِّه َما‬ ْ
َ ُ‫سحْ هُ َولي‬ ْ
َ ‫ فَإِّ ْن َرأَى فِّي نَ ْعلَ ْي ِّه قَذَرا أَ ْو أَذى فَليَ ْم‬:‫ظ ْر‬ ْ ْ
ُ ‫ ” ِّإذَا َجا َء أ َ َحد ُ ُك ْم إِّلَى ال َمس ِّْج ِّد فَليَ ْن‬:َ‫“ أَذى – ” َوقَال‬
“Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama para sahabatnya, beliau
melepaskan kedua sandalnya dan meletakannya di sebelah kirinya. Ketika para sahabat (yang
bermakmum) melihat hal itu, mereka pun melemparkan sandal-sandal mereka. Ketika
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selesai shalat beliau bertanya: ‘Mengapa kalian
melemparkan sandal-sandal kalian?’. Para sahabat menjawab: ‘Kami melihat anda
melemparkan sandal anda, maka kami pun melemparkan sandal kami’. Lalu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat Jibril ‘alaihissalam
mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua sandalku ada najis (dalam riwayat lain:
kotoran)’. Lalu beliau bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid maka
perhatikanlah kedua sandalnya, jika ia melihat ada najis atau kotoran maka sentuhkanlah (ke
tanah) lalu shalatlah dengan keduanya‘” (HR. Abu Daud no. 650, dishahihkan Al Albani dalam
Shahih Abi Daud).

Juga hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha. Dari jalan Ummu Walad (disebut juga:
Hamidah), ia berkata:

‫ ي‬:‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِّ ‫ إِّنِّي ْام َرأَة ٌ أ ُ ِّطي ُل ذَ ْي ِّلي َوأ َ ْمشِّي فِّي ْال َمك‬:َ‫سلَ َمُة‬
ْ َ‫َان القَذ ِِّّر؟ فَقَال‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت‬
َ ِّ‫سو ُل للا‬ َ ‫ط ِّه ُرهُ َما َب ْعدَهُ َُقُ ْلتُ أل ُ ِّم‬
َ

“Aku bertanya kepada Ummu Salamah: ‘saya ini wanita yang panjang gaunnya dan saya biasa
berjalan di tempat yang kotor’. Ummu Salamah berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: ‘tanah yang setelahnya sudah membersihkannya””(HR. Tirmidzi 143, ia
berkata: “hadits ini shahih”).

3. Cara membersihkan najasah mutawashitah

Yaitu yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air kencing secara umum, kotoran
manusia (feces), bangkai, darah haid, dll. Maka cara membersihkannya bisa dengan berbagai
cara yang bisa menghilangkan semua najisnya hingga tidak tersisa warna, bau dan rasanya. Bisa
dengan menyiramnya, atau membasuhnya, atau mencucinya, atau menyikatnya, atau
menggunakan sabun, atau menggunakan alat-alat kebersihan.

Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najasah (mutawashitah) ketika ia bisa hilang dengan cara
apapun, dengan alat apapun, maka itu sudah cukup untuk mensucikannya. Tanpa disyaratkan
adanya jumlah bilangan dan tidak harus menggunakan air. Ini yang ditunjukkan oleh zhahir nash
dalil-dalil. Karena syariat dalam hal ini hanya memerintahkan untuk menghilangkan najis. Dan
najis itu terkadang hilang dengan menggunakan air, kadang dengan membasuhnya, kadang
dengan istijmar (menggunakan batu, kayu atau semisalnya), dan terkadang dengan cara yang
lain. Dan syariat tidak memerintahkan untuk menghilangkan najis sebanyak tujuh kali, kecuali
najis anjing. Sebagaimana juga pendapat ini juga merupakan kelaziman dari nash dalil-dalil
syar’i, karena pendapat ini memiliki kesesuaian yang tinggi dengan nash. Karena penghilangan
najis itu adalah penghilangan sesuatu yang mahsuusah (bisa diindera)”8.

Demikian semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.


 Panduan Praktis Tata Cara Wudhu

Kedudukan wudhu dalam sholat

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah
mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita
lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan
apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang
telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan
ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur
bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi
maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana
sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

« َ ‫ضأ‬ َ َ‫صالَة ُ َم ْن أ َ ْحد‬


َّ ‫ث َحتَّى يَت ََو‬ َ ‫« الَ ت ُ ْقبَ ُل‬
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu”.[2]

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam
KitabNya,

‫س ُحوا‬ ِّ ِّ‫ص َال ِّة فَا ْغ ِّسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِّديَ ُك ْم إِّلَى ْال َم َراف‬
َ ‫ق َو ْام‬ َّ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َ َمنُوا ِّإذَا قُ ْمت ُ ْم إِّلَى ال‬
‫ِّب ُر ُءو ِّس ُك ْم َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم إِّلَى ْال َك ْعبَي ِّْن‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat
dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[3].
Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah
‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika
pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan
sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],
‫علَى يَدَ ْي ِّه ِّم ْن‬ َ ‫غ‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ٍ‫ضوء‬ ُ ‫عا ِّب َو‬ َ َ‫عثْ َمانَ د‬ ُ ‫عفَّانَ أَنَّهُ َرأَى‬ َ ‫عثْ َمانَ ب ِّْن‬ُ ‫ع ْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬ َ
، َ‫ َوا ْست َ ْنشَق‬، ‫ض‬ َ ‫ض َم‬ ُ
ْ ‫ ث َّم ت َ َم‬، ‫وء‬ ِّ ‫ض‬ ْ َ
ُ ‫ ث َّم أ ْد َخ َل يَ ِّمينَهُ فِّى ال َو‬، ‫ت‬ُ ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫سل ُه َما ثَال‬ َ َ َ‫ فَغ‬، ‫ِّإنَاِئِّ ِّه‬
‫س َل ُك َّل‬ َ ‫غ‬َ ‫ ث ُ َّم‬، ‫س َح بِّ َرأْ ِّس ِّه‬َ ‫ ث ُ َّم َم‬، ‫س َل َو ْج َههُ ثَالَثا َويَدَ ْي ِّه إِّلَى ْال ِّم ْرفَقَي ِّْن ثَالَثا‬ َ ‫غ‬َ ‫ ث ُ َّم‬، ‫َوا ْست َ ْنث َ َر‬
« ‫ضو ِِّئى َهذَا َوقَا َل‬ ُ ‫ى – صلى للا عليه وسلم – يَت ََوضَّأ ُ ن َْح َو ُو‬ َّ ِّ‫ ث ُ َّم قَا َل َرأَيْتُ النَّب‬، ‫ِّر ْج ٍل ثَالَثا‬
‫َّللاُ لَهُ َما تَقَد ََّم ِّم ْن‬َّ ‫غفَ َر‬ َ ، ُ ‫سه‬ َ ‫ث فِّي ِّه َما نَ ْف‬ ُ ‫ الَ يُ َح ِّد‬، ‫صلَّى َر ْكعَتَي ِّْن‬ َ ‫ضوِئِّى َهذَا ث ُ َّم‬ ُ ‫ضأ َ ن َْح َو ُو‬ َّ ‫َم ْن ت ََو‬
‫ذَ ْنبِّ ِّه‬
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan–, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk
membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke
kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan
tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan
beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua
tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.)
kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan
beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu
semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara
wudhu dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut[8],

1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.


2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung
untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar
(mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali
kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi
ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga
sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3
kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu[9]

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat
wudhu ada tujuh[10], yaitu

 Islam,
 Berakal,
 Tamyiz[11],
 Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
 Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang
haram,
 Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’
dan istijmar dari hadats),
 Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.

Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf
dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu

 Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was
sallam,

« ‫ضو َء ِّل َم ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِّر‬


ُ ‫ضو َء لَهُ َوالَ ُو‬ َ َ‫علَ ْي ِّه ال‬
ُ ‫صالَة َ ِّل َم ْن الَ ُو‬ َ ‫َّللاِّ تَعَالَى‬
َّ ‫« اس َْم‬
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang
tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]

 Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan
istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari
atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri
kanan adalah telinga[*][18].

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu
Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai
ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana
yang firman Allah ‘azza wa jalla,

َّ ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم َُيَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َ َمنُوا ِّإذَا قُ ْمت ُ ْم إِّلَى ال‬
‫ص َال ِّة فَا ْغسِّل‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
wajah”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara ibadah memberikan
konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang
menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang
memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian
dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ‫ِّق بِّ َم ْن ِّخ َر ْي ِّه ِّمنَ ْال َما ِّء ث ُ َّم ْليَ ْنتَثِّ ْر‬
ْ ‫ضأ َ أ َ َحدُ ُك ْم فَ ْليَ ْست َ ْنش‬
َّ ‫« إِّذَا ت ََو‬
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan
air kemudian beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

َ ْ ‫« ِّإذَا ت ََوضَّأ‬
ْ ‫ت فَ َمض ِّْم‬
«‫ض‬
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur,


istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk
berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]

 Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫ِّه فَخَلَّ َل بِّ ِّه ِّل ْحيَتَهَُِّ َكانَ إِّذَا ت ََو‬


َ ‫ضأ َ أ َ َخذَ َكفًّا ِّم ْن َماءٍ فَأ َ ْد َخلَهُ ت َْح‬
‫ت َحنَك‬

َ ‫« َوقَا َل « َه َكذَا أ َ َم َرنِّى َربِّى‬


‫ع َّز َو َج َّل‬
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu,
beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai
ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan,
“Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].

 Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

‫ص َالةِّ فَا ْغ ِّسلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِّديَ ُك ْم إ‬ ِّ ‫لَى ْال َم َرا ِّف‬
َّ ‫قَِّ ِّإذَا قُ ْمت ُ ْم إِّلَى ال‬
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai
dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ِّ ِّ‫س َل يَدَهُ ْاليُس َْرى ِّإلَى ْال َم ْرف‬


« ‫ق ثَالَثا‬ َ ‫غ‬ ِّ ِّ‫س َل يَدَهُ ْاليُ ْمنَى إِّلَى ْال َم ْرف‬
َ ‫ ث ُ َّم‬، ‫ق ثَالَثا‬ َ ‫« ث ُ َّم‬
َ ‫غ‬
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian
membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].

 Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya
adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

‫س ُحوا ِّب ُر ُءو ِّس ُك ْم‬


َ ‫َو ْام‬
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini
diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam,

َ ‫ َحتَّى ذَه‬، ‫ بَدَأ َ بِّ ُمقَد َِّّم َرأْ ِّس ِّه‬، ‫ فَأ َ ْقبَ َل ِّب ِّه َما َوأَدْبَ َر‬، ‫سهُ بِّيَدَ ْي ِّه‬
« ، ُ‫َب ِّب ِّه َما ِّإلَى قَفَاه‬ َ ْ‫س َح َرأ‬
َ ‫ث ُ َّم َم‬
ِّ ‫« ث ُ َّم َردَّ ُه َما إِّلَى ْال َم َك‬
ُ‫ان الَّذِّى بَدَأ َ ِّم ْنه‬
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.)
menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik
ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan
kepalanya”[30].

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[31] yang Allah perintahkan dalam
surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala
yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al
Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori
rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya
sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa
menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu
was salam,

« ‫الرأْ ِّس‬ ِّ ‫« األُذُن‬


َّ َ‫َان ِّمن‬
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ‫سبَّا َحتَي ِّْن و‬ ِّ َ‫س َح بِّ َرأْ ِّس ِّه َوأُذُنَ ْي ِّه ب‬
َّ ‫اطنِّ ِّه َما بِّال‬ َ ‫ظا ِّه ِّر ِّه َما بِّإ ِّ ْب َها َم ْي ِّهََث ُ َّم َم‬
َ «
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi
luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama
seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah
demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh
Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah [35].

 Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫َوأ َ ْر ُجلَ ُك ْم إِّلَى ْال َك ْعبَي ِّْن‬


“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

« ‫س َل ِّر ْجلَ ْي ِّه ِّإلَى ْال َك ْعبَي ِّْن‬ َ ‫« ث ُ َّم‬


َ ‫غ‬
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[36].

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk
perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara
membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

« ‫ص ِّر ِّه‬ َ َ ‫ضأ َ دَلَ َك أ‬


َ ‫صا ِّب َع ِّر ْجلَ ْي ِّه بِّ ِّخ ْن‬ َّ ‫« ِّإذَا ت ََو‬
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua
kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[37].

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’,
sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah[38].

 Muwalah

Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian


membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.)
mengering dalam kondisi/waktu normal[40].

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

ِّ ِّ‫وا ُو ُجو َه ُك ْم َوأ َ ْي ِّديَ ُك ْم إِّلَى ْال َم َراف‬


َّ ‫ق َُيَا أَيُّ َها الَّذِّينَ آ َ َمنُوا ِّإذَا قُ ْمت ُ ْم إِّلَى ال‬
‫ص َالةِّ فَا ْغسِّل‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.)
merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah
adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh
anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

« ‫ فَقَا َل‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َ ‫علَى قَدَ ِّم ِّه فَأ َ ْب‬
ُّ ‫ص َرهُ النَّ ِّب‬ َ ‫ظفُ ٍر‬ ُ ‫ض َع‬ ِّ ‫ضأ َ فَت ََر َك َم ْو‬
َّ ‫أ َ َّن َر ُجال ت ََو‬
‫صلَّى‬
َ ‫ فَ َر َج َع ث ُ َّم‬.« ‫ضو َء َك‬ ُ ‫ار ِّج ْع فَأ َ ْحس ِّْن ُو‬ ْ
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh
sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah
wudhumu”.[42]

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al
Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau[43].

Sunnah Wudhu

 Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ِّ ‫علَى أ ُ َّمتِّى أل َ َم ْرت ُ ُه ْم بِّال ِّس َو‬


« ‫اك ِّع ْندَ ك‬ ُ َ ‫صالَةٍ َُلَ ْوالَ أ َ ْن أ‬
َ ‫ش َّق‬ َ ‫« ِّل‬
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak
pada setiap hendak berwudhu”[45].

 Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika
bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa
mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,

‫علَى يَدَ ْي ِّه ِّم ْن‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ٍ‫ضوء‬


َ ‫غ‬ َ َ‫عثْ َمانَ د‬
ُ ‫عا ِّب َو‬ َ ‫عثْ َمانَ ب ِّْن‬
ُ ‫عفَّانَ أَنَّهُ َرأَى‬ ُ ‫ع ْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬ َ
ُ ‫ى – صلى للا عليه وسلم – يَت ََوضَّأ‬ َ ُ
َّ ‫ ث َّم قَا َل َرأيْتُ النَّ ِّب‬..…‫ت‬ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫سلَ ُه َما ثَال‬
َ َ‫ فَغ‬، ‫ِّإنَاِئِّ ِّه‬
‫ضوِئِّى َهذَا‬ ُ ‫ن َْح َو ُو‬
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu
ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya
sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu
melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum
anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika
bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ُ ‫ظ أ َ َحدُ ُك ْم ِّم ْن ن َْو ِّم ِّه فَ ْليَ ْغس ِّْل يَدَهُ قَ ْب َل أ َ ْن يُد ِّْخلَ َها فِّى َو‬
« ‫ فَإِّ َّن أ َ َحدَ ُك ْم الَ يَد ِّْرى‬، ‫ضوِئِّ ِّه‬ َ َ‫َوإِّذَا ا ْست َ ْيق‬
ُ‫َت يَدُه‬ْ ‫« أَيْنَ بَات‬
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya
sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya
bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum?
Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di
atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia
tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga
mayoritas ‘ulama[48].

 Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang


berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

َ َ‫ق ِّإالَّ أ َ ْن ت َ ُكون‬


« ‫صاِئِّما‬ ِّ ‫اال ْستِّ ْنشَا‬
ِّ ‫« بَا ِّل ْغ فِّى‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].

 Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam,

َّ ‫سو ُل‬
« -‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َ َ ‫ور ِّه إِّذَا ت‬
ُ ‫ط َّه َر َكانَ َر‬ ُ ‫« لَيُ ِّحبُّ التَّيَ ُّمنَ فِّى‬
ِّ ‫ط ُه‬
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan
dalam thoharoh (berwudhupent.)”[51].

 Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah bin Zaid,

َّ ‫ضأ َ َم َّرتَي ِّْن َم َّرتَي ِّْنََصلى للا عليه وسلم – ت – أ َ َّن النَّ ِّب‬
‫ى‬ َّ ‫َو‬
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya
sebanyakpent.) dua kali-dua kali.[52]”

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang
diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat
cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

‫علَى يَدَ ْي ِّه ِّم ْن‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ٍ‫ضوء‬


َ ‫غ‬ َ َ‫عثْ َمانَ د‬
ُ ‫عا ِّب َو‬ ُ ‫عفَّانَ أَنَّهُ َرأَى‬َ ‫عثْ َمانَ ب ِّْن‬ ُ ‫ع ْن ُح ْم َرانَ َم ْولَى‬
َ
‫س َل َو ْج َههُ ثَالَثا‬
َ ‫غ‬ ُ
َ ‫ ث َّم‬.…‫ت‬ َ َ‫سلَ ُه َما ثَال‬
ٍ ‫ث َم َّرا‬ َ َ‫ فَغ‬، ‫… ِّإنَاِئِّ ِّه‬
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu
ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3
kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan
salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam
shohihain,
َ ْ‫س َح َرأ‬
‫ فَأ َ ْقبَ َل ِّب ِّه َما َوأ َ ْدبَ َر م‬، ُ‫سه‬ َ ‫احدَةََث ُ َّم أ َ ْد َخ َل يَدَهُ فَ َم‬
ِّ ‫َّرة َو‬
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah
depan dan belakang sebanyak 1 kali”[54].

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini
dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits
yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika
beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

ُ ‫س َل ِّر ْجلَ ْي ِّه ثَالَثا ث ُ َّم قَا َل َرأَيْتُ َر‬


َّ ‫سو َل‬
-‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َ ‫غ‬ َ ْ‫س َح َرأ‬
َ ‫سهُ ثَالَثا ث ُ َّم‬ َ ‫َو َم‬
‫ضأ َ َه َكذَا‬
َّ ‫ت ََو‬
Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga
kali, kemudian beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam
berwudhu dengan wudhu seperti ini”[56].

 Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan
yang ada dalam ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah
bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy
rodhiyallahu ‘anhu,

‫ض‬ َ ‫ض َم‬ َ َ‫ضأ َ فَغ‬


ْ ‫س َل َكفَّ ْي ِّه ثَالَثا ث ُ َّم ت َ َم‬ َّ ‫ضوءٍ فَت ََو‬ ُ ‫ بِّ َو‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ُ ‫ى َر‬ ُ
َ ِّ‫أت‬
‫س َح بِّ َرأْ ِّس ِّه َوأُذُنَ ْي ِّه‬
َ ‫ع ْي ِّه ثَالَثا ثَالَثا ث ُ َّم َم‬ َ ‫س َل ذ َِّرا‬
َ ‫غ‬ َ ‫س َل َو ْج َههُ ثَالَثا ث ُ َّم‬ َ ‫َوا ْست َ ْنشَقَ ثَالَثا َو‬
َ ‫غ‬
‫اط ِّن ِّه َما‬ َ
ِّ َ‫ظا ِّه ِّر ِّه َما َوب‬
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga
kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali,
kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar
maupun dalam”[58].

 Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam,

« ‫َّللاُ َوأ َ َّن‬


َّ َّ‫ضو َء ث ُ َّم يَقُو ُل أ َ ْش َهد ُ أ َ ْن الَ ِّإلَهَ ِّإال‬ ُ ‫َما ِّم ْن ُك ْم ِّم ْن أ َ َح ٍد يَت ََوضَّأ ُ فَيُ ْب ِّل ُغ – أ َ ْو فَيُ ْس ِّب ُغ – ْال ُو‬
‫اب ْال َجنَّ ُِّة الث َّ َمانِّيَُةُ يَ ْد ُخ ُل ِّم ْن أ َ ِّي َها شَا َء‬
ُ ‫ت لَهُ أَب َْو‬
ْ ‫سولُهُ إِّالَّ فُتِّ َح‬
ُ ‫َّللاِّ َو َر‬ َّ ُ ‫ع ْبد‬
َ ‫« ُم َح َّمدا‬.
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian
membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga
yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,


َ َ ‫اجعَ ْلنِّى ِّمنَ ْال ُمت‬
َ‫ط ِّه ِّرين‬ ْ ‫اجعَ ْلنِّى ِّمنَ الت َّ َّوا ِّبينَ َو‬
ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk
orang-orang yang selalu mensucikan diri”[60].

 Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

« ‫َّللاُ لَهُ َما‬


َّ ‫غفَ َر‬
َ ، ُ‫سه‬ ُ ‫ الَ يُ َح ِّد‬، ‫صلَّى َر ْكعَتَي ِّْن‬
َ ‫ث فِّي ِّه َما نَ ْف‬ ُ ‫ضأ َ ن َْح َو ُو‬
َ ‫ضوِئِّى َهذَا ث ُ َّم‬ َّ ‫َم ْن ت ََو‬
‫« تَقَد ََّم ِّم ْن ذَ ْن ِّب ِّه‬
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan
khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni
seluruh dosanya yang telah lalu”[62].

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal
dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu
a’lam bish showab

 Fiqih Wudhu

Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan mandi (wajib)? Apa hukum
perbuatan yang dilakukan tanpa niat dan apa dalilnya?

Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib) adalah niat untuk
menghilangkan hadats atau untuk menjadikan boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci,
oleh karenanya amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya adalah firman
Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan melainkan agar beribadah kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al-
Bayyinah: 5)

Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya segala
amalan itu tidak lain tergantung pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan
memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya menuju (keridhaan)
Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa
hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia yang dia harapkan, atau karena seorang wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”

Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya wudhu? Dan apa (serta
berapa macam) yang mewajibkan wudhu?

Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang suci dan mensucikan dengan cara
yang khusus di empat anggota badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.
Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa saja yang mewajibkan wudhu
atau mandi [terbagi menjadi dua macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi
dan (Hadats Kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu].

Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah:
6)

Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban
tersebut kalau lupa atau tidak tahu?

Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan
tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”

Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah
hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan
mengucapkan bismillah.

Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?

Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:

(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara baik dan buruk), (4). Niat, (5).
Istishab hukum niat, (6). Tidak adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar
sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci lagi mensucikan), (9). Air yang
mubah (bukan hasil curian -misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air
meresap dalam pori-pori.

Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?

Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:

1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan sebagian air ke dalam hidung lalu
dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap kedua daun telinga).
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).

Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana hukum membasuh rambut/bulu
yang tumbuh di (daerah) muka ketika berwudhu?

Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat tumbuhnya rambut kepala yang
normal sampai jenggot yang turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke
bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib membasuh semua bagian
muka bagi yang tidak lebat rambut jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya)
beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak lebat). Karena anda lihat
sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat maka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan
menyela-nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot yang lebat dan bagian bawah
jenggot yang jarang bisa terlihat dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang mewajibkannya dari al-Qur’an
dan As-Sunnah?

Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana yang tertera dalam ayat yang
mulia. Yaitu membasuh wajah, kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap
kepala, kemudian membasuh kedua kaki.

Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas (ayat 6 surat al-Maidah). Di
dalam ayat tersebut telah dimasukkan kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab
tidak melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang tidak lain adalah tertib
(urut).

Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah memulai dengannya.”

Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia berkata, “Wahai Rasulullah
beritahukan kepadaku tentang wudhu?” Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari
kalian mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur, memasukkan air ke hidungnya lalu
mengeluarkannya kembali, melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga
hidungnya bersama air wudhunya, kemudian (tidaklah) ia membasuh mukanya sebagaimana
yang Allah perintahkan, melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung
janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua tangannya
sampai ke siku, melainkan gugurlah dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari
tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya, melainkan gugur dosa-dasa kepalanya
bersama air melalui ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua kakinya,
melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui ujung-ujung jari kakinya.” (HR.
Muslim)

Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian mengusap kepalanya (sebagaimana
yang Allah perintahkan),… kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki sebagaimana
yang Allah perintahkan.”

Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang menunjukkan akan hal itu.
Wallahu A’lam.

Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?

Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh anggota wudhu sampai mengering
anggota sebelumnya setelah beberapa saat.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari Nabi, bahwa beliau melihat
seorang laki-laki di kakinya ada bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu,
maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa seorang laki-laki berwudhu, tetapi
meninggalkan satu bagian sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air wudhu).
Rasulullah melihatnya maka beliau berkata, “Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah.”
Sedangkan dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah kembali.”

Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa yang dibasuh oleh orang yang
buntung ketika berwudhu?

Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan membasuh tangannya sebanyak
tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu
mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan. Kemudian, membasuh mukanya
sebanyak tiga kali, kemudian membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak tiga
kali, kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat tumbuh rambut bagian depan
sampai akhir tumbuhnya rambut dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu
(membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian memasukkan masing-masing
jari telunjuknya ke telinga dan menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya, kemudian
membasuh kedua kakinya beserta mata kakinya tiga kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-
bagian yang wajib (dari anggota tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah persendiannya
maka memulainya dari bagian lengan yang terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah
dari persendian tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.

Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan dalil-dalil tersebut secara
lengkap?

Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan dalilnya di atas. Dan dalam
riwayat Abdullah bin Zaid tentang tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah
memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung dengan satu
tangan sebanyak tiga kali.” (Mutafaq ‘alaih)

“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air wudhu, maka ia membasuh
kedua telapak tangannya tiga kali, …kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga
kali, kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap kepalanya, kemudian
membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula,
kemudian berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku ini.’” (Mutafaq alaih)

Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia berkata, “Dan Rasulullah
mengusap kepalanya, menyapukannya ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)

Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan kepalanya sampai ke tengkuk,
kemudian menariknya lagi ke bagian depan tempat semula memulai.”
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu, katanya, “Kemudian (Rasulullah)
mengusap kepalanya, dan memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya, dan
mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i
dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta dalilnya?

Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:

1. Menyempurnakan wudhu.
2. Menyela-nyela antara jari jemari.
3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali bagi yang berpuasa.
4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
5. Bersiwak.
6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.

Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang membasuh dua telapak tangan
sebelum berwudhu, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-
Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau mencuci dua telapak tangannya
sebanyak tiga kali.”

Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari jemari dan melebihkan (dalam
memasukkan air ke hidung) kecuali bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, kabarkan
kepadaku tentang wudhu?'” Nabi berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara
jari-jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali jika
kamu dalam keadaan berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh Tirmidzi)

Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu dengan yang kanan, dalam
memakai terompah, bersisir, bersuci dan dalam segala sesuatu.” (Mutafaq alaih)

Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada
menyela-nyala jenggotnya.” (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara
menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan meletakkannya dari bawahnya
dengan jari-jemarinya atau dari dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat
Abu Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil seraup air, kemudian
meletakkannya di bawah dagunya dan berkata, ‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan
kepadaku.'”

Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?

Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter
menurut ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3
hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air
sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR.
Muttafaq alaih). Dan makruh (dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam
berwudhu.

Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?

Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Umar, katanya, “Berkata Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu dan
menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan: asyhadu anlaa ilaaha illalloohu wahdahu
laa syariikalahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku bersaksi bahwa
tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan dibukakan
untuknya delapan pintu syurga, ia dapat masuk dari mana saja yang ia kehendaki.'” (HR.
Muslim)

Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina waj’alnii minl


mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku
termasuk orang-orang yang suka mensucikan diri).”

 Pembatal Wudhu
 Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?
 Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu, seperti sesuatu yang keluar
dari dua jalan (kencing dan berak), makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan
dengan syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan, obat-obat yang
menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari Islam -semoga Allah melindungi kita
darinya-.
 Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan wudhu?
 Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Dia berkata bahwa
Rasulullah bersabda, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang dari kamu
apabila telah berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132. Muslim, hadits
no. 225)
 Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang bertanya, “Apa yang
dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq
alaih)
 Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang temasuk perkara yang
membatalkan wudhu adalah buang air besar, buang air kecil, dan tidur.”
 Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu termasuk yang
membatalkan wudhu?
 Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah, Bahwa ada seorang laki-
laki yang bertanya kepada Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging
kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu lagi).” Laki-laki itu
bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu karena makan daging onta?” Beliau
bersabda, “Ya.” Laki-laki itu bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau
bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat di kandang onta?”
Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)
 Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang wudhu karena makan
daging unta, maka beliau bersabda, ‘Berwudhulah karenanya.'” Dan ketika ditanya
tentang wudhu karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah berwudhu
karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud hadits no. 184)
 Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau makan unta selain
dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan, lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus,
kuah. Sementara pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di sini
sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada dalam binatang. Sesungguhnya
pengaharaman babi itu secara keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian
pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini, dagingnya saja atau selain
dagingnya tetap membatalkan, dan ini adalah pendapat yang paling kuat dan paling
berkah. Wallahu ‘alam.
 Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu
sementara tidur lama (pulas) membatalkan wudhu?
 Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata, “Telah bersabda
Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah
berwudhu.'” (Ibnu Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud Hadits
no. 203)
 Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi (yang termasuk
membatalkan wudhu) adalah buang air besar, buang air kecil dan tidur.”
 Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak membatalkan wudhu
adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, “Adalah para sahabat
Rasulullah menunggu-nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka
berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat tanpa wudhu lagi.”
(Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat
Muslim)
 Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku bermalam di tempat bibiku,
Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping
kirinya. Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping
kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila aku mengantuk, beliau
memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas
rakaat.”
 Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan sebab pingsan, gila,
mabuk, atau memakai obat-obatan yang menghilangkan akal itu termasuk membatalkan
wudhu?
 Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur. Mengenai dalilnya telah
lalu penjelasannya. Kedua hilang akal karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya.
Pembatalan wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak sadarannya
lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur, dengan dalil (bukti) dia tidak akan
bangun apabila dibangunkan. Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang
hilang akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan para ulama telah
menjelaskan bahwasannya sebentar atau lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang
sejenisnya tetap membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama. Telah
berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas wajibnya wudhu bagi orang yang
pingsan.
 Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan baru membatalkan jika
diiringi dengan syahwat?
 Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya shahih:
 Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku telah mendengar
Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia
berwudhu.'” (Ibnu Majah, hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan
Abu Zur’ah)
 Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya,
maka janganlah melaksanakan shalat hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah
dishahihkan oleh Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang
paling shahih)
 “Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh kemaluannya, maka wajib
atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i dan Ahmad Hadits no. 8199)
 Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
 Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi bersabda, “Setiap laki-laki
yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang
menyentuhnya maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
 Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi ditanya tentang menyentuh
kamaluan ketika shalat? Maka beliau bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari
anggata tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni I/149, Majmu Zawaid
I/244)
 Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat hadits di atas, bahwa
menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu jika menyentuhnya sebagaimana
menyentuh anggota tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan
anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika menyentuh kemaluan
tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara
inilah kedua hadits tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inilah yang
paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah as-Habu Malik dan sebagian
ulama hadits.
 Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh wanita atau sebaliknya
tanpa pembatas dengan syahwat membatalkan wudhu?
 Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil dari firman Allah, “Atau
kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa: 43)
 Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman itu mengharuskan
wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil yang dijadikan pegangan bagi mereka
yang berpendapat batal wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa
syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada satupun yang shahih). Maka
jawaban atas mereka yang berpendapat seperti ini sebagai berikut:
 Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas yang benar adalah
bermakna jima (senggama), dan sesuai dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy
dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah:
 “Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian shalat dan tanpa
mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits no. 170)
 Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha, katanya, “Pada suatu malam aku
kehilangan Rasulullah dari tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku
menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang ketika itu beliau berada
di masjid dalam posisi sujud dengan menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim
dan Tirmidzi telah menshahihkan)
 Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat atau tidak dengan
syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan
inilah pendapat yang benar.
 Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa dalil yang menunjukan
bahwa riddah itu membatalkan wudhu?
 Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang menyebabkan seseorang keluar
dari Islam, baik dengan ucapan, keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali
masuk Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan berwudhu) dia
tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.
 Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan
kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya
akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.'” (QS.
az-Zumar: 65)
 Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. al-Maidah: 5)
 Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua, hadats lisan dan hadats
kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan dari keduanya mengharuskan wudhu.”
 Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak menerima shalat salah
seorang di antara kalian apabila hadats hingga berwudhu.” (Muttafaq alaih; Bukhari
hadits no. 135, 6554. Muslim hadits no. 225)
 Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan mayat membatalkan
wudhu?
 Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. Adapun
riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua telah memerintahkan kepada
orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari Abu Hurairah
dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang yang memandikan mayat adalah
berwudhu, dan kami tidak mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi
pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan mayat itu tangannya tidak
bisa menghindari dari menyentuh kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka
yang memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan, sebagaimana orang yang
tidur lama telah dianggap berhadats (karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia
perbuat, termasuk jika ia berhadats).
 Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang memandikan mayit.”
Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya
karena hukum wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash) dalam hal ini
dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana yang dinaskan atasnya. Maka
hukumnya kembali pada asal, yaitu kerena memandikan mayat mirip memandikan orang
hidup inilah sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang memandian mayit.
Adapun riwayat dari imam Ahmad yang berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak
sampai kepada wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak wajibnya
wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa
memandikan mayat maka hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan
hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga ucapan Abu Hurairah tidak
menjadikan hukum tersebut menjadi wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan
alasan adanya kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang lebih
utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu merupakan ucapan Abu
Hurairah dengan tidak membuka peluang kemungkinan bahwa itu adalah sabda
Rasulullah.

 Fiqih Tayammum

Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang
dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang
serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk
beribadah kepada Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan
sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan
tayamum. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah
tayamum. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.

Pengertian Tayamum

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai


berikut. Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan
orang Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya).
Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan
kedua telapak tangan dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti bersuci
dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah
satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan
agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka
(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)

Dalil Pensyari’atannya

Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut
shalat berjamaah bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan,
apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab,
“Wahai Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja
sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum) Yang dimaksud dengan ash-
sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu
diperbolehkan bertayamum dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan
bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini
menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum.
Dan menunjukkan pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air,
selama air tidak ada atau tidak sanggup memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul
‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)

Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum

Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup memakai air, atau (2) Karena tidak
ada air, atau (3) Karena khawatir akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara badan
sedang menderita sakit atau karena hawa dingin yang sangat menusuk. Bahkan mayoritas ulama
berpendapat bahwa seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang sangat menusuk
diperbolehkan untuk bertayamum, karena kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit
(Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/196) Dalil-dalilnya adalah: Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan (apabila) kemudian kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah dengan
tanah yang suci.” (QS. An-Nisaa’: 43) Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu’anhu bahwa dia
berkata; Pada suatu saat kami bepergian dalam sebuah rombongan perjalanan. Tiba-tiba ada
seorang lelaki diantara kami yang tertimpa batu sehingga menyisakan luka di kepalanya.
Beberapa waktu sesudah itu dia mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada
sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian dalam kondisi ini saya diberi keringanan untuk
bertayamum saja?” Menanggapi pertanyaan itu mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak
diberikan keringanan untuk melakukan hal itu, sedangkan engkau sanggup memakai air.” Maka
orang itu pun mandi dan akhirnya meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang peristiwa itu. Beliau
bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati ! Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa
mereka tidak mau bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat ketidaktahuan
adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup bertayamum saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad
dan Hakim. Dinilai shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al Wajiz hal. 55. Namun
hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Hazm karena sanadnya lemah. Lihat
Shahih Fiqih Sunnah, I/195)

Tata Caranya

Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; ‘Saya pernah
mengalami junub dan ketika itu saya tidak mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu
saya pun bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian saya menjalankan shalat.
Maka hal itu pun saya ceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda,
“Sebenarnya sudah cukup bagimu bersuci dengan cara seperti ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memukulkan kedua telapak tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian
dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Bukhari
dan Muslim) Berdasarkan hadits ini dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang benar
adalah cukup dengan menepukkan kedua telapak tangan (1X) ke tanah atau permukaan bumi
yang lainnya, kemudian meniupnya, lalu membasuh dengan kedua telapak tangannya itu wajah
dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai pergelangan, bagian luar dan dalam telapak
tangan) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/202-203)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara
tayamum karena junub sama halnya dengan tayamum karena hadats kecil yaitu dengan cara
menepuk tanah dengan kedua telapak tangannya sekali dan kemudian membasuh telapak tangan
kirinya dengan bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga bagian luar kedua telapak
tangannya serta wajahnya. Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits ‘Ammar
bin Yasir di atas. Syaikh Ibnu Bassam hafizhahullah menerangkan bahwa tayamum itu cukup
dengan satu kali tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, di antara
mereka adalah Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-
hadits shahih (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 116 dan 117)

Bertayamum Dengan Dinding

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia berkata; Saya datang bersama
dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah Al-Anshari maka Abu
Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal.
Kemudian ada seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam kepada beliau. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding
(dengan tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak tangannya. Baru
setelah itu beliau mau menjawab salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa
bertayamum dengan mengusap dinding diperbolehkan (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Pembatal Tayamum

Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan wudhu. Selain itu tayamum juga
dinilai batal apabila air berhasil ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum
menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila seseorang yang pada awalnya tidak
sanggup memakai air karena sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali
sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah dilakukan sebelumnya dengan bekal
tayamum tersebut tetap dinilai sah dan tidak perlu diulangi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-
Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua orang lelaki yang menempuh suatu
perjalanan. Maka tibalah waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama sekali.
Oleh sebab itu mereka pun bertayamum dengan tanah yang suci lalu melakukan shalat.
Kemudian pada suatu saat ternyata mereka menemukan air. Maka salah seorang dari keduanya
mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan kawannya yang satu tidak. Kemudian mereka berdua
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut kepada
beliau. Maka beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah
sesuai dengan tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau berkata kepada orang yang
berwudhu dan mengulangi shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu Dawud
dan An-Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-Wajiz hal. 56-57)

Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?


Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya (anggota badan yang dikenai
usapan wudhu atau tayamum, pen) maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun
perbannya, pen) tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang
artinya, “Allah tidak akan membebankan kepada seseorang melainkan menurut
kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Begitu pula sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian untuk menjalankan sesuatu maka laksanakanlah
menurut kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i) Berdasarkan ayat al-Qur’an dan As-
Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari setiap orang yang tidak berkesanggupan
menjalankannya. Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap anggota badan,
pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban dan semacamnya, pen) adalah tindakan
pensyari’atan. Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-Qur’an atau as-Sunnah.
Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menyebutkan adanya
pengganti tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan mengusap perban atau
pembalut lukanya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap
perban adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)

Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tayamum. Semoga kaum muslimin bisa memetik
faedah darinya, begitu pula penyusunnya serta orang-orang yang turut menyebarkannya. Ya
Allah terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengetahui. Dan
terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

 5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib

Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang
menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan
mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِنَّ َما األ َ ْع َما ُل بِالنِيَّا‬


‫ت‬

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no.
1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.

Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya
adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,

َ ‫يض ْال َما َء َعلَى َج‬


‫س ِد ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ث ُ َّم يُ ِف‬
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa
ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”[1]

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,

‫سدِى‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِسى ث ُ َّم أ ُ ِفي‬


َ ‫ضهُ َب ْعدُ َعلَى‬
َ ‫سا ِئ ِر َج‬ ُ َ ‫أ َ َّما أَنَا فَآ ُخذ ُ ِم ْل َء َك ِفى ثَالَثا ً فَأ‬

“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian
saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan
rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu
Salamah. Ia mengatakan,

‫ت ث ُ َّم‬ َ َ‫يك أ َ ْن تَحْ ثِى َعلَى َرأْ ِس ِك ثَال‬


ٍ ‫ث َحثَيَا‬ ُ ُ‫ض ْف َر َرأْ ِسى فَأ َ ْنق‬
ِ ‫ضهُ ِلغُ ْس ِل ْال َجنَابَ ِة قَا َل « الَ ِإ َّن َما َي ْك ِف‬ ُ َ ‫َّللاِ ِإنِى ا ْم َرأَة ٌ أ‬
َ ُّ‫شد‬ َّ ‫سو َل‬ُ ‫قُ ْلتُ يَا َر‬
.» َ‫يضينَ َعلَي ِْك ْال َما َء فَت َْط ُه ِرين‬ِ ‫ت ُ ِف‬

“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku,
apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya
dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai
niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.

Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan


menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas
ulama.[2]

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka
akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.

Hadits pertama:

‫ ث ُ َّم‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬ َ َ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة بَدَأ َ فَغ‬


َ َ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – َكانَ ِإذَا ا ْغت‬ َّ ‫شةَ زَ ْوجِ النَّ ِب ِى – صلى هللا عليه وسلم – أ َ َّن النَّ ِب‬ َ ِ‫َع ْن َعائ‬
ُ‫ ث َّم‬، ‫غ َرفٍ بِيَدَ ْي ِه‬ ُ ‫ث‬ َ َ ْ َ
َ ‫صبُّ َعلى َرأ ِس ِه ثال‬ ُ
ُ َ‫شعَ ِر ِه ث َّم ي‬ ُ َ
ُ ‫ فيُ َخ ِل ُل بِ َها أ‬، ‫اء‬
َ ‫صو َل‬ ْ
ِ ‫صابِعَهُ فِى ال َم‬ َ ُ َ
َ ‫ ث َّم يُد ِْخ ُل أ‬، ِ‫صالة‬ َّ ‫يَت ََوضَّأ ُ َك َما يَت ََوضَّأ ِلل‬
ُ
‫يض ْال َما َء َعلَى ِج ْل ِد ِه ُك ِل ِه‬ُ ‫يُ ِف‬
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian
beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke
dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas
kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau
mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:

‫سلَ ُه َما َم َّرتَي ِْن‬


َ َ‫ فَغ‬، ‫غ َعلَى َيدَ ْي ِه‬ َ ‫ فَأ َ ْف َر‬، ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغت َ ِس ُل ِب ِه‬ َّ ‫سو ِل‬ َ ‫ت َم ْي ُمونَةُ َو‬
ُ ‫ض ْعتُ ِل َر‬ ْ َ‫َّاس قَا َل قَال‬ٍ ‫َع ِن اب ِْن َعب‬
ُ‫س َل َوجْ َهه‬ ُ
َ ‫ ث َّم َغ‬، َ‫ض َوا ْست َ ْنشَق‬ َ ‫ض َم‬ ُ
ْ ‫ ث َّم َم‬، ‫ض‬ َ َ
ِ ‫ ث َّم دَلكَ يَدَهُ بِاأل ْر‬، ُ‫يره‬ُ َ
َ ‫س َل َمذا ِك‬ َ َ‫ فَغ‬، ‫ ث َّم أف َرغ بِ َي ِمينِ ِه َعلى ِش َما ِل ِه‬، ‫َم َّرتَي ِْن أ َ ْو ثَالَثا‬
َ َ ْ َ ُ ً
‫س َل قَدَ َم ْي ِه‬
َ َ‫ام ِه فَغ‬ِ َ‫ ث ُ َّم تَنَ َّحى ِم ْن َمق‬، ‫س ِد ِه‬
َ ‫غ َعلَى َج‬ َ ‫ ث ُ َّم أ َ ْف َر‬، ‫سهُ ثَالَثًا‬َ ْ‫س َل َرأ‬ َ ‫َو َيدَ ْي ِه ث ُ َّم َغ‬

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi
untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua
tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya
beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.
Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau
bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR.
Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan
dalam bejana atau sebelum mandi.

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan
terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi
tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau
dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’


(membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan
debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok
untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu
ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan
tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”[5]

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?

Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu
mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah
menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai
mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang
tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-
sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu,
setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah.
Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam
hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh
tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang
disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini
ada kelapangan.”[6]

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.

Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,

‫ ث ُ َّم يُ َخ ِل ُل ِبيَ ِد ِه‬، ‫س َل‬ َّ ‫ضأ َ ُوضُو َءهُ ِلل‬


َ َ ‫صالَةِ ث ُ َّم ا ْغت‬ َّ ‫ َوت ََو‬، ‫س َل يَدَ ْي ِه‬
َ ‫غ‬ َ ‫س َل ِمنَ ْال َجنَابَ ِة‬
َ َ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – ِإذَا ا ْغت‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
‫س ِد ِه‬
َ ‫سائِ َر َج‬
َ ‫س َل‬ َ ُ ٍ َ َ َ ْ
َ ‫ ث َّم غ‬، ‫اض َعل ْي ِه ال َما َء ثالث َم َّرات‬ َ َ َ ُ َ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ َّ
َ ‫ أف‬، ‫ َحتى إِذا ظن أن قد أ ْر َوى بَش ََرته‬، ُ‫شعَ َره‬ َ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-
gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit
kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan
lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

‫ َو ِبيَ ِدهَا األ ُ ْخ َرى َعلَى ِش ِق َها‬، ‫ ث ُ َّم ت َأ ْ ُخذ ُ ِبيَ ِدهَا َعلَى ِش ِق َها األ َ ْي َم ِن‬، ‫ت ِبيَدَ ْي َها ثَالَثًا فَ ْوقَ َرأْ ِس َها‬
ْ َ ‫ أَ َخذ‬، ٌ‫ت ِإحْ دَانَا َجنَابَة‬ َ َ ‫ُكنَّا ِإذَا أ‬
ْ َ‫صاب‬
‫س ِر‬َ ‫األ َ ْي‬
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua
tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan
disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang
lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.

Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

‫ور ِه َو ِفى شَأ ْ ِن ِه ُك ِل ِه‬ ُ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – يُ ْع ِجبُهُ الت َّ َي ُّمنُ ِفى ت َ َن ُّع ِل ِه َوت ََر ُّج ِل ِه َو‬
ِ ‫ط ُه‬ ُّ ‫َكانَ النَّ ِب‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal,
ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no.
168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits
yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]

Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas
sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah,
aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku
ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air
pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.”
(HR. Muslim no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan
dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

‫ور ث ُ َّم‬
َ ‫ط ُه‬ ُّ ‫ط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ ال‬ َ َ‫يض فَقَا َل « ت َأ ْ ُخذ ُ إِحْ دَا ُك َّن َما َءهَا َو ِسد َْرتَ َها فَت‬ ِ ‫غ ْس ِل ْال َم ِح‬ ُ ‫ع ْن‬ َ -‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ِ‫ت النَّب‬ ِ َ‫سأَل‬
َ ‫أ َ َّن أَ ْس َما َء‬
‫ت‬ْ َ‫ فَقَال‬.» ‫ط َّه ُر بِ َها‬ ً
َ َ‫س َكة فَت‬ َّ ‫صة ُم َم‬ً ُ ْ ُ ْ
َ ‫ ث َّم تَأ ُخذ فِ ْر‬.‫صبُّ َعلَ ْي َها ال َما َء‬ ُ ْ
ُ َ‫شئُونَ َرأ ِس َها ث َّم ت‬ ُ
ُ ‫شدِيدًا َحتَّى ت َ ْبل َغ‬ ْ ُ ْ
َ ‫صبُّ َعلَى َرأ ِس َها فَتَدْل ُكهُ دَل ًكا‬ ُ َ‫ت‬
ُ ‫ع ْن‬
‫غ ْس ِل‬ َ ُ ‫ه‬ْ ‫ت‬َ ‫ل‬َ ‫أ‬ ‫س‬ ‫و‬
َ َ ِ َ . ‫َّم‬ ‫د‬ ‫ال‬ ‫ر‬َ ‫ث‬ َ ‫أ‬ ‫ع‬
َ‫ِين‬ ‫ب‬
َّ َ ‫ت‬ َ ‫ت‬ َ‫ِ ِك‬‫ل‬َ ‫ذ‬ ‫ى‬ ‫ف‬ ْ
‫خ‬ ُ ‫ت‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ َّ ‫ن‬َ ‫أ‬ َ
‫ك‬ ُ ‫ة‬ ‫ش‬
َ ‫ئ‬‫ا‬
ِ َ‫ع‬ ْ
‫ت‬ َ ‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ .» ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ب‬ َ‫ين‬
َ ِ ِ َّ ِ ‫ر‬ ‫ه‬‫ط‬َ َ ‫ت‬ َّ
‫َّللا‬ َ‫ان‬ ‫ح‬ ‫ب‬
ْ
َ ُ ‫س‬ « ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ب‬
َ ِ ُ َّ‫ر‬ ‫ه‬ َ
‫ط‬ َ ‫ت‬ َ َ ُ َ ‫أ َ ْس‬
‫ْف‬ ‫ي‬ ‫ك‬َ ‫و‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫م‬
ُ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث َّم‬ ُ ُ
ُ ‫صبُّ َعلى َرأ ِس َها فَتَدْل ُكهُ َحتَّى تَ ْبل َغ‬ ْ َ ُ
ُ َ ‫ور – ث َّم ت‬ ُّ
َ ‫ور – أ ْو ت ُ ْب ِل ُغ الط ُه‬ َ ُّ َ ُ ْ
َ ‫ْال َجنَابَ ِة فَقَا َل « ت َأ ُخذ َما ًء فَتَط َّه ُر فَتُحْ ِسنُ الط ُه‬
» ‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ُ ‫ت ُ ِف‬

“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka
beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu
engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut
kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian
engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana
dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.”
Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah
haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub,
maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya
bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu
memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR.
Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,

‫شئُونَ َرأْ ِّس َها‬ َ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِّس َها فَتَدْلُ ُكهُ دَ ْلكا‬
ُ ‫شدِّيدا َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬ ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya


dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup
dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub
disebutkan,

ُ ‫شئُونَ َرأْ ِس َها ث ُ َّم ت ُ ِف‬


‫يض َعلَ ْي َها ْال َما َء‬ ُ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِس َها فَتَدْلُ ُكهُ َحتَّى ت َ ْبلُ َغ‬
ُ َ ‫ث ُ َّم ت‬

“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya,
kemudian mengguyurkan air padanya.”

Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan
bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.

Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau
potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain
itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau
parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas
darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,

‫ َكانَ الَ يَت ََوضَّأ ُ َب ْعدَ ْالغُ ْس ِل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
َّ ِ‫شةَ أ َ َّن النَّب‬
َ ِ‫َع ْن َعائ‬

Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai
mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,


‫ي ُوضُوءٍ أ َ َع ُّم ِمنَ ْالغُ ْس ِل؟‬ َ ‫ُوء بَ ْعدَ ْالغُ ْس ِل؟ فَقَال‬
ُّ َ ‫وأ‬:َ ِ ‫سئِ َل َع ِن ْال ُوض‬
ُ

Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang
mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])

Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah
masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam
masalah ini.[9]

Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi
wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu
berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,

َ ‫ فَا ْن‬، ُ‫فَن ََاو ْلتُهُ ث َ ْوبًا فَلَ ْم يَأ ْ ُخذْه‬


ُ ُ‫طلَقَ َو ْه َو يَ ْنف‬
‫ض يَدَ ْي ِه‬

“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau
pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276).
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi.
Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa
alasan:

1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa
kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya
yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain
tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau
tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah
makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.

Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.[10]

Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu). Tata cara di atas juga berlaku
untuk mandi yang sunnah yang akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau
terakhir).

Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 Waktu-Waktu Shalat
Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus dikerjakan pada waktunya, dalilnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

‫َت َعلَى ْال ُمؤْ ِّمنِّينَ ِّكت َابا َم ْوقُوتا‬


ْ ‫ص َالةَ كَان‬
َّ ‫إِّ َّن ال‬

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) : 103]

Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.

Sholat Zhuhur

Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu tergelincirnya matahari (waktu matahari
bergeser dari tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).

Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur
disebut juga sholat Al Uulaa (‫ )األُولَى‬karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga sholat Al Hijriyah (ُ‫[)الحج ِريَة‬1].
ِ

Awal Waktu Sholat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari tengah langit menuju arah
tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah
hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

ُ ‫الر ُج ِل َك‬
‫طو ِل ِه َما لَم يَحض ُِر العَص ُر‬ َّ ‫س َوكَانَ ِظ ُّل‬ ِ َ‫…… َوقتُ ال ُّظه ِر ِإذَا َزال‬..
ُ ‫ت الشَّم‬

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya)
hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu
‘Ashar……….”[2].

Akhir Waktu Sholat Zhuhur

Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur namun pendapat yang lebih tepat
dan ini adalah pendapat jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang
seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits
Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.

Catatan :

Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu yaitu dengan menghitung waktu
antara terbitnya matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan
membagi duanya.
Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di Awal Waktunya

Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,

ُّ ‫س َُ َكانَ النَّ ِّب‬


‫ ي‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِّ ‫ض‬ ُّ ‫ص ِّلى ال‬
َ ‫ظ ْه َر ِّإذَا دَ َح‬ َ

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat zhuhur ketika matahari telah
tergelincir”[3].

Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika Sangat Panas

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,

َّ ‫ َوإِّذَا ا ْشتَدَّ ْال َح ُّر أَب َْردَ بِّال‬، ِّ‫صالَة‬


ُّ ِّ‫صالَةَِّ َكانَ النَّب‬
‫ى – صلى للا عليه وسلم – إ‬ َّ ‫َِّذَا ا ْشتَدَّ ْالبَ ْرد ُ بَ َّك َر بِّال‬

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat dingin beliau menyegerakan
sholat dan jika keadaan sangat panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].

Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak terlalu panjang hingga mendekati
waktu akhir sholat.

Sholat ‘Ashar

‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu akhir dari
dalam sehari.

Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar, sholat ‘ashar ini juga disebut sholat
woshtho (‫)الوس َطى‬.
ُ

Awal Waktu Sholat ‘Ashar

Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur
ulama). Dalilnya adalah hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

‫س‬ َّ ‫صفَ َّر ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ َ‫ص ُر َو َو ْقتُ ْالع‬
ْ َ ‫ص ِّر َما لَ ْم ت‬ ْ َ‫طو ِّل ِّه َما لَ ْم يَحْ ض ُِّر ا ْلع‬
ُ ‫الر ُج ِّل َك‬
َّ ‫س َو َكانَ ِّظ ُّل‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ُ‫…… َو ْقت‬.
ِّ َ‫الظ ْه ِّر إِّذَا زَ ال‬

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju arah tenggelamnya)
hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan waktu
‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[5].

Akhir Waktu Sholat ‘Ashar

Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah terlihat saling bertentangan.

 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril
‘alihissalam menjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
‫س ث ُ َّم‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫ص ِّل ال‬
ْ َ‫ظ ْه َر ِّحينَ َمال‬ َ َ‫س فَقَا َل قُ ْم يَا ُم َح َّمد ُ ف‬ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ت ال‬ ْ َ‫س َّل َم ِّحينَ زَ ال‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ ‫َجا َء ِّجب ِّْري ُل َعلَ ْي ِّه الس ََّالم ِّإلَى النَّ ِّبي‬
َ‫س…… َما َبيْن‬ َّ
ُ ‫ت الش ْم‬ َ َّ
ْ َ‫َث َحتى إِّذا غَاب‬ ُ
َ ‫ص َر ث َّم َمك‬ ْ
ْ َ‫ص ِّل الع‬ َ ُ َ َ
َ ‫ص ِّر فقا َل ق ْم يَا ُم َح َّمد ُ ف‬ ْ
ْ َ‫الر ُج ِّل ِّمثْلَهُ َجا َءهُ ِّللع‬
َّ ‫َث َحتَّى إِّذَا َكانَ فَ ْي ُء‬ َ ‫َمك‬
ُ‫َهذَي ِّْن َو ْقتٌ ُكلُّه‬

“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah tergelincir ke arah
tenggelamnya kemudian dia mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola zhuhur
lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan seseorang sama dengan tingginya. Jibril
datang kemudian mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”. Kemudian ia
diam hingga matahari tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu sholat
seluruhnya”[6].

 Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

‫س‬ َّ ‫صفَ َّر ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫َو َو ْقتُ ْال َع‬
ْ َ ‫ص ِّر َما لَ ْم ت‬

“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum menguning………”[7].

 Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh
rodhiyallahu ‘anhu,

ْ ‫س فَقَدْ أَد َْركَ ْال َع‬


‫ص َر‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫َم ْن أَد َْركَ َر ْك َعُة ِّمنَ ْال َع‬
َ ‫ص ِّر قَ ْب َل أ َ ْن ت َ ْغ ُر‬

“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum matahari tenggelam maka ia
telah mendapatkan sholat ‘ashar”[8].

Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah saling bertentangan ini adalah :

Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan Jibril ‘Alaihissalam dipahami
sebagai penjelasan tentang akhir waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits
‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang
masih boleh. Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini
kecuali bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu
hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.

Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari Sahabat
Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

ٌ‫س ُم ْرت َ ِّفعَُةٌ َحيَُّة‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ َ‫ص ِّلى ْالع‬
َّ ‫ص َر َوال‬ َ ُ‫َّللاِّ – صلى للا عليه وسلم – ي‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬

“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan sholat ‘ashar ketika matahari
masih tinggi”[9].
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari
Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,

َ‫صالَة‬
َ َ‫ى – صلى للا عليه وسلم – قَا َل « َم ْن ت ََرك‬
َّ ِّ‫ص ِّر فَإِّ َّن النَّب‬ ْ َ‫صالَةِّ ْالع‬
َ ِّ‫ُكنَّا َم َع ب َُر ْيدَة َ فِّى غ َْز َوةٍ فِّى يَ ْو ٍم ذِّى َغي ٍْم فَقَا َل بَ ِّك ُروا ب‬
ُُ ‫ط َع َمله‬ ْ ‫ْال َع‬
َ ‫ص ِّر فَقَدْ َح ِّب‬

“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang mendung. Kemudian ia mengatakan,
“Segerakanlah sholat ‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya telah batal”[10].

Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan sholat ‘ashar.

Sholat Maghrib

Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari. Sholat maghrib
adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.

Awal Waktu Sholat Maghrib

Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika matahari telah tenggelam
hingga matahari benar-benar tenggelam sempurna.

Akhir Waktu Sholat Maghrib

Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.

Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya merupakan satu waktu saja yaitu
sekadar waktu yang diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan
adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al
Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika
Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,

ِّ ‫س َو ْقتا َو‬
‫احدا لَ ْم يَ ُز ْل َع ْنهُ فَقَا َل‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِّ ‫ب ث ُ َّم َجا َءهُ ِّل ْل َم ْغ ِّر‬
ْ َ‫ب ِّحينَ غَاب‬ َ ‫صلَّى ْال َم ْغ ِّر‬ َ َ‫…قُ ْم ف‬..
َ َ‫ص ِّل ف‬

“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam ketika matahari telah
tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari
sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah laksanakanlah sholat
maghrib………..”[11].

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah ketika telah hilang sinar merah
ketika matahari tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang
dinilai tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
rodhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫ب ال‬
….‫شفَ ُق‬ ِّ ‫صالَةِّ ْال َم ْغ ِّر‬
ِّ ‫ب َما لَ ْم يَ ِّغ‬ َ ُ‫…و ْقت‬..
َ
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah ketika matahari tenggelam”[12].

Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.

Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir
rodhiyallahu ‘anhu,

‫ط َرةِّ – الَ ت َزَ ا ُل أ ُ َّمتِّى بِّ َخي ٍْر‬


ْ ‫ب إِّلَى أَ ْن تَ ْشتَبِّكَ النُّ ُجو ُم – أ َ ْو قَا َل َعلَى ْال ِّف‬
َ ‫َما لَ ْم ي َُؤ ِّخ ُروا ْال َم ْغ ِّر‬

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama mereka tidak mengakhirkan
waktu sholat maghrib hingga munculnya bintang (di langit)”[13].

Sholat ‘Isya’

‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap (setelah maghrib) hingga sepertiga
malam yang awal. Sholat ‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.

Awal Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika telah hilang sinar merah di langit.

Akhir Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat ‘isya’.

Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini
adalah pendapatnya Imam Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur
dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,

….‫ث اللَّ ْي ِّل ْاأل َ َّو ُل‬


ُ ُ‫َب ثُل‬ ِّ ‫…ث ُ َّم َجا َءهُ ِّل ْل ِّعش‬..
َ ‫َاء ِّحينَ ذَه‬

“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam untuk melaksanakan
sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam yang pertama………..”[14].

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah setengah malam. Inilah
pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu
Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

َ ‫ف اللَّ ْي ِّل األ َ ْو‬


…‫س ِّط‬ ِّ ‫صالَةِّ ْال ِّعش‬
ْ ِّ‫َاء إِّلَى ن‬
ِّ ‫ص‬ َ ُ‫…و ْقت‬.
َ

“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].


Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’ adalah ketika terbit fajar shodiq.
Inilah pendapatnya ‘Atho’, ‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas,
Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan
dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,

َّ ‫صالَةَ َحتَّى يَ ِّجى َء َو ْقتُ ال‬


…‫صالَةِّ األ‬ َّ ‫ص ِّل ال‬ ُ ‫…خ َرى َُإِّنَّ َما الت َّ ْف ِّري‬.
َ ُ‫ط َعلَى َم ْن لَ ْم ي‬ ْ

“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama adalah orang yang tidak
mengerjakan sholat hingga tiba waktu sholat lain”[16].

Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang
terbaik adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas
waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu
Qotadah. Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah
adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak shohih.

Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ِّ ُ‫ش َّق َعلَى أ ُ َّمتِّى أل َ َم ْرتُ ُه ْم أ َ ْن ي َُؤ ِّخ ُروا ْال ِّعشَا َء إِّلَى ثُل‬
‫ث الل‬ ُ َ ‫ص ِّف ِّهَ ََلَ ْوالَ أ َ ْن أ‬
ْ ِّ‫ْي ِّل أ َ ْو ن‬

“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku perintah agar mereka
mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”[17].

Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam, sebagaimana
dalam hadits yang lain,

َ ‫ َوإِّذَا َرآ ُه ْم أَ ْب‬، ‫ إذَا َرآهُ ْم اجْ تَ َمعُوا َع َّج َل‬: ‫ َوأَحْ يَانا ي َُؤ ِّخ ُرهَا‬، ‫َو ْال ِّعشَا ُء أَحْ يَانا يُقَ ِّد ُم َها‬
‫طئُوا أ َ َّخ َر‬

“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga mengakhirkannya. Jika mereka
telah terlihat terkumpul maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].

Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang Tidak Perlu Setelahnya

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

َ ‫َكانَ يَ ْك َرهُ النَّ ْو َم قَ ْبلَ َها َو ْال َحد‬


‫ِّيث َب ْعدَهَا‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum sholat ‘isya’ dan melakukan
pembicaraan yang tidak berguna setelahnya[19]”.

Sholat Shubuh/Fajar

Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga sebagai sholat shubuh dan
sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang merupakan pancaran sinar putih yang
mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.

Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang memanjang di arah ufuk,
cahaya ini akan terus menerus menjadi lebih terang hingga terbit matahari.

Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya fajar kedua/fajar
shodiq.

Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.

Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang
Bercampur Putih)

Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat fajar pada saat gholas dari pada
melaksanakannya ketika ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur
rohimahumullah. Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,

ُ ‫صالَة َ ْالغَدَاةِّ بِّغَلَ ٍس ََصلى للا عليه وسلم – غ – أَ َّن َر‬


َّ ‫سو َل‬
ِّ‫َّللا‬ َ ‫صلَّ ْينَا ِّع ْندَهَا‬
َ َ‫ ف‬، ‫زَ ا َخ ْيبَ َر‬

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka
kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas”[20].

Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan bermanfaat. Amin

 Rukun-Rukun Shalat

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan
membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap
secara syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak
sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal
ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun
tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi
karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فَإِّ ْن لَ ْم ت َ ْست َِّط ْع فَعَلَى ج‬، ‫ فَإِّ ْن لَ ْم ت َ ْست َِّط ْع فَقَا ِّعدا‬، ‫ص ِّل قَاِئِّما‬ ٍ ‫ْن‬
َ ََ ‫ب‬
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika
tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]

Rukun kedua: Takbiratul ihram

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ير َوتَحْ ِّليلُ َها الت َّ ْس ِّلي ُم‬


ُ ‫َحْري ُم َها الت َّ ْك ِّب‬
ِّ ‫ور َوت‬ ُّ ِّ‫صالَة‬
ُ ‫الط ُه‬ َّ ‫ِّم ْفت َا ُح ال‬
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat
adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[2]

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini
tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِّ ‫صالَة َ ِّل َم ْن لَ ْم يَ ْق َرأْ ِّبفَاتِّ َح ُِّة ْال ِّكت َا‬


‫ب‬ َ َ‫ال‬
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]

Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai
ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),

‫ار َك ْع َحتَّى ت َْط َمئِّ َّن َرا ِّكعا‬


ْ ‫ث ُ َّم‬

“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]


Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.

Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian
juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada
orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,

‫صالَة ُ أ َ َح ِّد ُك ْم َحتَّى يُ ْس ِّب َغ‬ ِّ َ‫ى ت َْط َمئِّ َّن َمف‬
َ ‫اصلُهُ َوت َ ْست َْر ِّخ‬
َ َ‫ىَث ُ َّم يُ َك ِّب ُر فَيَ ْر َك ُع فَي‬
َ ‫ض ُع َكفَّ ْي ِّه َعلَى ُر ْكبَت َ ْي ِّه َحتَ … الَ ت َ ِّت ُّم‬
“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, …
kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai
persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang
wajib dalam ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

ْ ‫ث ُ َّم‬
‫ارفَ ْع َحتَّى ت َ ْعت َ ِّد َل قَاِئِّما‬

“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

‫اجدا‬ َ ‫ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت َْط َمئِّ َّن‬


ِّ ‫س‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]

Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan
kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan
hidung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ظ ٍم َعلَى ْال َج ْب َه ُِّة‬ َ ‫َار ِّبيَ ِّد ِّه َعلَى أ َ ْن ِّف ِّه – أ ُ ِّم ْرتُ أ َ ْن أ َ ْس ُجدَ َعلَى‬
ُ ‫س ْبعَ ُِّة أ َ ْع‬ َ ‫اف ْالقَدَم – َوأَش‬ ْ َ ‫الر ْكبَتَي ِّْن َوأ‬
ِّ ‫ط َر‬ ُّ ‫ َو‬، ‫ي ِّْن ََ َو ْاليَدَي ِّْن‬

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga
hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5]
lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ارفَ ْع َحتَّى ت َْط َمئِّ َّن َجا ِّلسا‬
ْ ‫ ث ُ َّم‬، ‫اجدا‬ َ ‫ ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت َْط َمئِّ َّن‬، ‫اجدا‬
ِّ ‫س‬ َ ‫ث ُ َّم ا ْس ُج ْد َحتَّى ت َْط َمئِّ َّن‬
ِّ ‫س‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan
thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِّ َّ ِّ ُ‫صالَةِّ فَ ْليَقُ ِّل الت َّ ِّحيَّات‬


‫ّلل‬ َّ ‫… فَإِّذَا قَعَدَ أ َ َحدُ ُك ْم فِّى ال‬

“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at
tahiyatu lillah …”.”[9]

Bacaan tasyahud:

َّ ‫سالَ ُم َعلَ ْينَا َو َعلَى ِّعبَا ِّد‬


ِّ‫َّللا‬ ِّ َّ ُ‫ى َو َرحْ َمُة‬
َّ ‫ ال‬، ُ‫َّللا َوبَ َر َكاتُه‬ ُّ ِّ‫سالَ ُم َعلَيْكَ أَيُّ َها النَّب‬ َّ ‫صلَ َواتُ َو‬
َّ ‫ ال‬، ُ‫الطيِّبَات‬ ِّ َّ ِّ ُ‫الت َّ ِّحيَّات‬
َّ ‫ّلل َوال‬
ُُ‫سوله‬ َ َ
ُ ‫َّللاُ َوأ ْش َهدُ أ َّن ُم َح َّمدا َع ْبدُهُ َو َر‬ َّ َ َ َ
َّ ‫ أ ْش َهدُ أ ْن الَ إِّلهَ ِّإال‬، َ‫صا ِّل ِّحين‬
َّ ‫ال‬

“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa
rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa
ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan
penghormatan hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan segenap
karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan hamba-hamba Allah yang
shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]

Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan
“assalaamu ‘alan nabi”?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,

“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau
bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat
dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu
‘alaika ayyuhan nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu
‘alan nabi”.

Jawab:

Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika
ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal
dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti
setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-,
maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih
yang ada. Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh
‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin
Ghodyan sebagai anggota)[11]

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu
cepatnya ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata
padanya dan lainnya,

‫يدعو بعد بما شاء إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد للا والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى للا عليه وسلم ثم‬

“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan
memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a
setelah itu semau kalian.”[13]

Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.

ِّ َ‫ اللَّ ُه َّم ب‬، ٌ‫ ِّإنَّكَ َح ِّميدٌ َم ِّجيد‬، ‫ِّيم‬


‫ار ْك َعلَى ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫صلَّيْتَ َعلَى آ ِّل ِّإب َْراه‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
َ ‫ َك َما‬، ‫ص ِّل َعلَى ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آ ِّل ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫ار ْكتَ َعلَى آ ِّل ِّإب َْراه‬
ٌ ‫ ِّإنَّكَ َح ِّميدٌ َم ِّجيد‬، ‫ِّيم‬ َ َ‫ َك َما ب‬، ‫َو َعلَى آ ِّل ُم َح َّم ٍد‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa
‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali
Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]

Rukun kelimabelas: Salam

Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,

‫ير َوتَحْ ِّليلُ َها الت َّ ْس ِّلي ُم‬


ُ ‫َحْري ُم َها الت َّ ْك ِّب‬
ِّ ‫ور َوت‬ ُّ ِّ‫صالَة‬
ُ ‫الط ُه‬ َّ ‫ِّم ْفت َا ُح ال‬

“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang
menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[15]

Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama
Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.

Model salam ada empat:


1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu
‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada

Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam
setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]

Semoga bermanfaat.

 Syarat dan Rukun Puasa


 Syarat Wajib Puasa[1]
 Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh[2], dan (4)
mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
 Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
 Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia
dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
 (1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
 (2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah
Ta’ala,
 ‫سفَ ٍر فَ ِّعدَّة ٌ ِّم ْن أَي ٍَّام أُخ ََر‬
َ ‫َو َم ْن َكانَ َم ِّريضا أَ ْو َعلَى‬
 “Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-
hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib
penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’
puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan
orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’
berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan
demikian, puasa mereka tetap sah.
 (3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya
pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,
 ُ‫ت قُ ْلت‬
ِّ ‫وريَُّةٌ أَ ْن‬
ِّ ‫ت أَ َح ُر‬ ْ َ‫صالَةَ فَقَال‬ َّ ‫ضى ال‬ ِّ ‫ص ْو َم َوالَ ت َ ْق‬
َّ ‫ضى ال‬ ِّ ِّ‫شُةَ فَقُ ْلتُ َما بَا ُل ْال َحاِئ‬
ِّ ‫ض ت َ ْق‬ َ ِّ‫سأ َ ْلتُ َعاِئ‬
َ ‫ت‬ ْ َ‫َع ْن ُمعَاذَة َ قَال‬
ِّ‫صالَة‬
َّ ‫اء ال‬ ِّ ‫ض‬ َ َ‫ص ْو ِّم َوالَ نُؤْ َم ُر بِّق‬ َّ ‫اء ال‬ َ َ‫ُصيبُنَا ذَلِّكَ فَنُؤْ َم ُر بِّق‬
ِّ ‫ض‬ ِّ ‫ت َكانَ ي‬ َ َ
ْ َ‫ قَال‬.ُ‫لَ ْستُ بِّ َح ُرو ِّريَّ ٍُة َولَ ِّكنِّى أسْأل‬.
 Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa
gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka
Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku
bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga
mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak
diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’
puasanya.[6]
 Syarat Sahnya Puasa
 Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
 (1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban
puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
 (2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan
ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 ِّ ‫ِّإنَّ َما األ َ ْع َما ُل ِّبال ِّنيَّا‬
‫ت‬
 “Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
 Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya.
Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit
sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
 Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah
diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan
sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah
–ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,
 ٍ‫ط ُق ِّبالَ ِّخ َالف‬ ْ ُّ‫ط الن‬ُ ‫ص ْو َم ِّإ َّال ِّبال ِّنيَّ ُِّة َو َم َحلُّ َها القَ ْلبُ َو َال يُ ْشت ََر‬
َّ ‫ص ُّح ال‬ ِّ ‫َال َي‬
 “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak
disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para
ulama.”[10]
 Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
 ‫ف‬ ُ َ‫ط التَّل‬ ُ ‫ َو َال يُ ْشت ََر‬، ‫طعا‬ ْ َ‫ان ق‬ِّ ‫س‬ َ ‫ َو َال تَ ْك ِّفي بِّال ِّل‬، ُ‫ض ُِّةَ َو َم َحلُّ َها ْالقَ ْلب‬ َ ‫الر ْو‬ َّ ‫طعا َك َما قَالَهُ فِّي‬ ْ َ‫ظ ِّب َها ق‬ ُ
 “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali
tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar
Roudhoh.”[11]
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
 ‫اء ؛ فَإ ِّ ْن ن ََوى بِّقَ ْلبِّ ِّه َول‬ ِّ ‫ق ْالعُلَ َم‬ ِّ ‫سانِّ ِّه أَجْ زَ أَتْهُ النِّيَُّةُ بِّاتِّفَاقِّ ِّهم ََ َوالنِّيَُّةُ َم َحلُّ َها ْالقَ ْلبُ بِّاتِّفَا‬
َ ‫َْ ْم يَت َ َكلَّ ْم بِّ ِّل‬
 “Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di
hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah
berdasarkan kesepakatan para ulama.”[12]
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan
melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan
makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah
berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya.
Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka
sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang
hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya
telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
 Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
 Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ُ‫ام لَه‬َ َ‫صي‬ ِّ َ‫ام قَ ْب َل ْالفَجْ ِّر فَال‬ َ َ‫الصي‬ ِّ ِّ‫َم ْن لَ ْم يُجْ ِّمع‬
 “Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]
 Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali.
Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari
hingga terbit fajar.[16]
 Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama.
Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini
adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
 َ ‫ قَا َل « فَإِّنِّى إِّذا‬.َ‫ فَقُ ْلنَا ال‬.« ‫ش ْى ٌء‬
‫ ث ُ َّم أَتَانَا‬.« ‫صاِئِّ ٌم‬ َ ‫ ذَاتَ يَ ْو ٍم فَقَا َل « ه َْل ِّع ْندَ ُك ْم‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ َ‫دَ َخ َل َعل‬
ُّ ِّ‫ى النَّب‬
َ
‫ فَأ َك َل‬.« ‫صاِئِّما‬ َ ُ‫صبَحْ ت‬ َ َ
ْ ‫ فَقَا َل « أ ِّرينِّي ِّه فَلَقَدْ أ‬.‫ْس‬ ٌ ‫ِّى لَنَا َحي‬ ُ
َ ‫َّللاِّ أ ْهد‬
َّ ‫سو َل‬ ْ
ُ ‫يَ ْوما آخ ََر فَقُلنَا يَا َر‬.
 “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah
kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau
begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami
berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang
terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari
sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] Di sini
disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal
puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya
tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]
 Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan
masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa
di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]
 Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan.
Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika
besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan,
saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak
menegaskan niat puasanya.[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa
Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
 Rukun Puasa
 Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai
pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya
matahari[23]. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
 ‫ض ِّمنَ ْال َخي ِّْط ْاأل‬ ُ ‫ط ْاأل َ ْب َي‬ُ ‫ََو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى َيت َ َبيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬َ ‫ام إِّلَى اللَّي‬ ِّ ‫ِّلَْس َْو ِّد ِّمنَ ْالفَجْ ِّر ث ُ َّم أَتِّ ُّموا‬
َ ‫الص َي‬
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah:
187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan
yang dimaksud benang secara hakiki.
 Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padanya,
 ‫س َوا ِّد اللَّ ْي ِّل‬
َ ‫ار ِّم ْن‬ ِّ ‫اض النَّ َه‬ُ ‫ِّإنَّ َما ذَاكَ َب َي‬
 “Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia
mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari
benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut
pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai
kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]
 Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
 Artikel www.muslim.or.id

 [1] Disebut dengan syarat wujub shoum.

 [2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat
mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita
adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
 Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia
tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk
shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka
hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
 [3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
 [4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
 [5] HR. Muslim no. 335.
 [6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
 [7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
 [8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
 [9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang
makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh
tidak mempersulit umatnya.
 [10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
 [11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
 [12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
 [13] Idem.
 [14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
 [15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
 Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini
mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat
marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli
ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama,
namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa
argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
 Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
 [16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
 [17] HR. Muslim no. 1154.
 [18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
 [19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
 [20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
 [21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/9918.
 [22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
 [23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
 [24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
 [25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth

 Pembatal-Pembatal Puasa
 Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
 1. Makan dan minum dengan sengaja.
 Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama[1]. Makan dan
minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui
mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti roti dan makanan
lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]),
atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3].
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
 ‫األ‬ ْ ‫ض ِّمنَ ْال َخي ِّْط‬ ُ ‫ط ْاأل َ ْب َي‬ ُ ‫ََو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َحتَّى َيت َ َبيَّنَ لَ ُك ُم ْال َخ ْي‬ َ ‫ام إِّلَى اللَّي‬ ِّ ‫ِّلَْس َْو ِّد ِّمنَ ْالفَجْ ِّر ث ُ َّم أ َ ِّت ُّموا‬
َ ‫الص َي‬
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah:
187).
 Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ُ‫سقَاه‬ َّ ُ‫ط َع َمه‬
َ ‫َّللاُ َو‬ ْ َ ‫ فَإِّنَّ َما أ‬، ُ‫ص ْو َمه‬ َ ‫ب فَ ْليُتِّ َّم‬ َ ‫ِّى فَأ َ َك َل َوش َِّر‬
َ ‫ِّإذَا نَس‬
 “Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”[4]
 Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 ‫علَ ْي ِّه‬ َ ‫طأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْست ُ ْك ِّرهُوا‬ َ ‫ض َع َع ْن أ ُ َّمتِّى ْال َخ‬ َ ‫َّللاَ َو‬َّ ‫إِّ َّن‬
 “Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau
dipaksa.”[5]
 Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika
seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini
dihukumi sama dengan makan dan minum.[6]
 Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya
kewajiban mengqodho’ puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.[7]
 2. Muntah dengan sengaja.
 Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫ض‬ ِّ ‫ضا ٌء َوإِّ ِّن ا ْستَقَا َء فَ ْل َي ْق‬َ َ‫ْس َعلَ ْي ِّه ق‬
َ ‫صا ِِّئ ٌم فَلَي‬
َ ‫َم ْن ذَ َر َعهُ قَ ْى ٌء َوه َُو‬
 “Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak
ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya
membayar qodho’.”[8]
 3. Haidh dan nifas.
 Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di
awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah
sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas membatalkan puasa
berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]
 Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫ان دِّينِّ َها‬ ِّ ‫ص‬ َ ‫ قَا َل « فَذَلِّكَ ِّم ْن نُ ْق‬. ‫ قُ ْلنَ بَلَى‬. « ‫ص ْم‬ ُ َ ‫ص ِّل َولَ ْم ت‬ َ ُ ‫ت لَ ْم ت‬ َ ‫ْس إِّذَا َحا‬
ْ ‫ض‬ َ ‫« أَلَي‬
 “Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan
puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.”[10]
 Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh
dan nifas wajib mengqodho’ puasanya ketika ia suci.[12]
 4. Keluarnya mani dengan sengaja.
 Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’ seperti
mengeluarkan mani dengan tangan, dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada
perut atau paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan puasanya batal
dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 ‫ش ْه َوتَهُ ِّم ْن أَجْ ِّلى‬ َ ‫طعَا َمهُ َوش ََرابَهُ َو‬ َ ُ‫يَتْ ُرك‬
 “(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat
karena-Ku”[13]. Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga
termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.[14]
 Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika tidak keluar
mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri, lalu keluar mani,
puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal.[15]
 Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar
mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.[16] Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
 ‫ َما لَ ْم ت َ ْع َم ْل‬، ‫س َها‬ َ ُ‫ت بِّ ِّه أ َ ْنف‬ ْ َ‫َّللاَ ت َ َج َاوزَ َع ْن أ ُ َّمتِّى َما َحدَّث‬ َّ ‫أ َ ْو تَتَ َكلَّ ْم إِّ َّن‬
 “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka,
selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”[17]
 5. Berniat membatalkan puasa.
 Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Jika
telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat
sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak makan dan minum.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫ئ َما ن ََوى‬ ٍ ‫َو ِّإنَّ َما ِّل ُك ِّل ْام ِّر‬
 “Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”[18] Ibnu Hazm
rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam
keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam keadaan seperti
ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.[20]
 6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
 Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa, wajib
mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua syarat:
(1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan
termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang
termasuk orang yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit
dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi
istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]
 Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
 ‫ قَا َل‬. « َ‫ قَا َل « َما لَك‬. ُ‫َّللاِّ َهلَ ْكت‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ فَقَا َل يَا َر‬، ‫وس ِّع ْندَ النَّبِّ ِّى – صلى للا عليه وسلم – إِّذْ َجا َءهُ َر ُج ٌل‬ ٌ ُ‫بَ ْي َن َما نَحْ نُ ُجل‬
« ‫ قَا َل‬. َ‫ قَا َل ال‬. « ‫َّللاِّ – صلى للا عليه وسلم – « ه َْل ت َِّجدُ َرقَبَُة ت ُ ْعتِّقُ َها‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬. ‫صاِئِّ ٌم‬ َ ‫َوقَ ْعتُ َعلَى ا ْم َرأَتِّى َوأَنَا‬
َ َ َ َ
َ ‫ قا َل ف َمك‬. ‫ قا َل ال‬. « ‫ام ِّستِّينَ ِّمس ِّْكينا‬
‫َث‬ ْ َ َ َ َ َ
َ َ‫ فقا َل « ف َه ْل ت َِّجد ُ إِّطع‬. ‫ قا َل ال‬. « ‫ش ْه َري ِّْن ُمتَت َابِّ َعي ِّْن‬ َ ‫وم‬ ُ َ ‫فَ َه ْل ت َ ْست َِّطي ُع أ َ ْن ت‬
َ ‫ص‬
ُ
– ‫ق فِّي َها ت َْم ٌر‬
ٍ ‫ى – صلى للا عليه وسلم – ِّب َع َر‬ ُّ ‫ى النَّ ِّب‬ َ ِّ‫ فَبَ ْينَا نَحْ نُ َعلَى ذَلِّكَ أت‬، – ‫ى – صلى للا عليه وسلم‬ ُّ ‫النَّ ِّب‬
‫سو َل‬ َ ْ
ُ ‫على أفق َر ِّمنِّى يَا َر‬َ َ َ ُ
َ ‫الر ُجل أ‬ َ َ
َّ ‫ فقا َل‬. « ‫صدَّق بِّ ِّه‬ ْ َ ‫ قا َل « خذهَا فت‬. ‫ فقا َل أنَا‬. « ‫َو ْالعَ َر ُق ال ِّمكتل – قا َل « أيْنَ السَّاِئِّل‬
َ َ ْ ُ َ َ َ َ ُ َ َ ُ َ ْ ْ
– ‫ى – صلى للا عليه وسلم‬ ُّ ‫ض ِّحكَ النَّ ِّب‬َ َ‫ ف‬، ‫ت أَ ْفقَ ُر ِّم ْن أَ ْه ِّل بَ ْيتِّى‬ ٍ ‫َّللاِّ َما َبيْنَ الَ َبت َ ْي َها – ي ُِّريد ُ ْال َح َّرتَي ِّْن – أَ ْه ُل بَ ْي‬ َّ ‫َّللاِّ فَ َو‬
َّ
ََ‫ط ِّع ْمهُ أَ ْهلك‬ ْ َ ‫ت أَ ْن َيابُهُ ث ُ َّم قَا َل « أ‬ ْ َ‫« َحتَّى َبد‬
 “Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut
mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi
istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?”
Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau
dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu
Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana
orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.”
Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih
miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur
hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”[22]
 Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan bertemunya dua kemaluan dan
tenggelamnya ujung kemaluan di kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di
siang hari bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak
sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’,
ditambah dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak.
Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya pun
batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun yang nanti
jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai
kafaroh.
 Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan Imam
Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan
Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si pria.
Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah
wanita yang bersetubuh di siang hari untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya.
Hal ini menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya.
Selain itu, kafaroh adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki
sebagaimana mahar.[23]
 Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
 a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
 b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
 c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin
mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]
 Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu
melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib
baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-
piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah.[26]
 Semoga sajian ini bermanfaat.

 Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)


 Bagi hamba yang masih memiliki tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu
menginginkan kemudahan dan bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam
perihal puasa, Allah Ta’ala juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan
kesulitan dari hamba-Nya. Berikut ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at
ini dan tidak membatalkan puasa :
 1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.
 Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
َّ ‫سو َل‬
 ‫َّللاِّ – صلى للا عليه وسلم‬ ُ ‫ ث ُ َّم يَ ْغتَ ِّس ُل َويَص – أ َ َّن َر‬، ‫و ُم َُ َكانَ يُد ِّْر ُكهُ ْالفَجْ ُر َوه َُو ُجنُبٌ ِّم ْن أ َ ْه ِّل ِّه‬
 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh)
dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”[1]
 Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
ُ ‫ضانَ َوه َُو ُجنُبٌ ِّم ْن َغي ِّْر ُحلُ ٍم فَ َي ْغت َ ِّس ُل َوي قَدْ َكانَ َر‬
َّ ‫سو ُل‬
 -‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َ ‫صو ُم ََيُد ِّْر ُكهُ ا ْلفَجْ ُر فِّى َر َم‬
ُ .
 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan
Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”[2]
 2. Bersiwak ketika berpuasa.
 Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
 ٍ‫ل ُوضُوء‬ ِّ ‫ش َّق َعلَى أ ُ َّمتِّى أل َ َم ْرتُ ُه ْم ِّبالس َِّو‬
ِّ ‫اك ِّع ْندَ ُك‬ ُ َ ‫لَ ْوالَ أَ ْن أ‬
 “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk
menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu.”[3]
 Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak
basah dan kering bagi orang yang berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam
Al Bukhari ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi)
yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.[4]
 Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa
ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang
makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada
dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat,
tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal
terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”[5]
 Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang
membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa
siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
 Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak
dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”[7]
 Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari
‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫ب‬ ِّ ‫لر‬ َ ‫ط َه َرة ٌ ِّل ْلفَ ِّم َم ْر‬
َّ ‫ضاة ٌ ِّل‬ ْ ‫الس َِّواكَ َم‬
 “Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”[8]
 Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa
karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian
dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi
sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga
waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak
puasanya.[9]
 3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 ‫صاِئِّم‬ َ َ‫ق إِّالَّ أ َ ْن ت َ ُكون‬ ِّ ‫َوبَا ِّل ْغ فِّى ا ِّال ْستِّ ْنشَا‬
 “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali
jika engkau berpuasa.”[10]
 Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan
air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para
ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan
beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika
itu.”[11]
 Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena
wudhu dan mandi.[12]
 Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam
mulut lalu tertelan tanpa sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit
dihindari. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak
terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih
tersisa sesuatu yang basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun
sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”[13]
 4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.
 Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan
selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama
tidak keluar mani.[14] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di
antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama
tidak keluar mani”.[15]
 Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa
sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat
radhiyallahu ‘anhum.
 Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
 ‫ى – صلى للا عليه وسلم – ي‬ ُّ ‫ َو َكانَ أ َ ْملَ َك ُك ْم ِّإل ْر ِّب ِّه َُ َكانَ النَّ ِّب‬، ‫صاِئِّ ٌم‬
َ ‫ َو ُه َو‬، ‫ قَ ِّب ُل َويُ َبا ِّش ُر‬.
 “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan
syahwatnya.”[16]
 Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,
 َ ‫صنَ ْعتُ ْاليَ ْو َم أ َ ْمرا َع ِّظيما قَب َّْلتُ َوأَنَا‬
‫صاِئِّ ٌم‬ َ ُ‫ فَقُ ْلت‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َّ ‫صاِئِّ ٌم فَأَتَيْتُ النَّ ِّب‬َ ‫ش ْشتُ يَ ْوما فَقَب َّْلتُ َوأَنَا‬َ ‫َه‬
َ َ َ ْ َ ْ ُ
َ ‫ قلتُ ال بَأ‬.« ‫صاِئِّ ٌم‬
‫س بِّذلِّكَ فقا َل‬ ْ َ
َ َ‫ض َمضْتَ ِّب َماءٍ َوأنت‬ َ َ َ
ْ ‫ « أ َرأيْتَ ل ْو تَ َم‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ َ
ُ ‫فقا َل َر‬ َ
‫يم‬
َ ‫ف‬
ِّ َ ‫ف‬ « - ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫للا‬ ‫صلى‬ - ِّ َّ
‫َّللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ ‫س‬
ُ ‫ر‬َ «
 “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal
aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku
padahal sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku
menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
 Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah,
 ‫ع‬ َ ‫ش ْيء ِّإ َّال ْال ِّج َما‬ َ ‫ت ُك ُّل‬ َ ‫لر ُج ِّل ِّم ْن اِّ ْم َرأَته‬
ْ َ‫صاِئِّما ؟ قَال‬ َّ ‫َما يَ ِّح ُّل ِّل‬
 “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah
menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.”[18]
 – Bersambung insya Allah –

 Yang Dibolehkan Ketika Puasa (2)

. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.

Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.

‫َّاس‬ َّ ِّ‫صاِئِّ ٌم – أَ َّن النَّب‬


ٍ ‫ى – رضى للا عنهما – َع ِّن اب ِّْن َعب‬ َ ‫ َو ْه َو ُمحْ ِّر ٌم َواحْ ت َ َج َم َو ْه َو‬، ‫ صلى للا عليه وسلم – احْ ت َ َج َم‬.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)

ٍ‫َس بْنَ َمالِّك‬ َّ ‫فَْأ َ ُك ْنت ُ ْم ت َ ْك َر ُهونَ ْال ِّح َجا َمُةَ ِّلل‬
َ ‫ ِّإالَّ ِّم ْن أَجْ ِّل الضَّع – رضى للا عنه – يُ ْسأ َ ُل أَن‬. َ‫صاِئِّ ِّم قَا َل ال‬ ِّ

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi
orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR.
Bukhari no. 1940)

Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam
tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.

Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika
puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan
bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.”[1]

Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:


Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam
dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:

‫ فِّى ْالقُ ْبلَُة‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ‫ى‬ َ ‫صاِئِّ ِّم َو ْال ِّح َجا َم ُِّة َِّ َر َّخ‬
ُّ ‫ص النَّ ِّب‬ َّ ‫ِّلل‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa
untuk mencium istrinya dan berbekam.”[2]

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan
bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-.
Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad hadits ini
shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada
setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang
menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang
yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[3]

Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits
semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam
adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat
ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”[4]

Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan
pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya”
adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang membekam dan
dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini
adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ص َحا ِّب ِّه ََأ َ َّن َر‬


َّ ‫سو َل‬
‫ نَ َهى ع‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َ ‫ِّن ْال ِّح َجا َم ُِّة َو ْال ُم َوا‬
ْ َ ‫صلَ ُِّة َولَ ْم يُ َح ِّر ْم ُه َما ِّإ ْبقَاء َعلَى أ‬

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak
sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.”[5]

Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu
terlarang ketika akan membuat lemah. Anas ditanya,

‫ف‬
ِّ ‫ض ْع‬ َّ ‫أ َ ُك ْنت ُ ْم تَ ْك َر ُهونَ ْال ِّح َجا َمُةَ ِّلل‬
َّ ‫ ِّإالَّ ِّم ْن أَجْ ِّل ال‬. َ‫صاِئِّ ِّم قَا َل ال‬

“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak,
kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”

Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam
tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas.
Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya
sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]

6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,

َ ‫ش ْي َء َما لَ ْم يَدْ ُخ ْل َح ْلقَهُ َوه َُو‬


‫صاِئِّ ٌم‬ َ ْ ‫الَ بَأ‬
َّ ‫س أ َ ْن يَذ ُ ْوقَ ال َخ َّل أ َ ْو ال‬

“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak
masuk sampai ke kerongkongan.”[7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada
hajat, namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”[8]

Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan
seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.

‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan
untuk anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘.
‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri,
ia berkata,

‫ضغُهُ ث ُ َّم ي ُْخ ِّر ُجهُ ِّم ْن ِّف ْي ِّه ي‬


َ ‫صا ِِّئ ٌم َي ْم‬ َ ‫ص ِّبي‬
َ ‫ط َعاما َوه َُو‬ َ ‫ص ِّبي ََ َرأ َ ْيتُهُ َي ْم‬
َّ ‫ض ُغ ِّلل‬ َّ ‫ض َعهُ ِّفي فَ ِّم ال‬
َ

“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan
berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[9]

7. Bercelak dan tetes mata

Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah
bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya
perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa,
tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini
disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya
pada kita sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun
menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad
(bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan
bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal).
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang
dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau
tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan
kitab referensi lainnya.”[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,

َّ ‫َال بَأْس ِّب ْال ُكحْ ِّل ِّلل‬


‫صاِئِّ ِّم‬

“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.”[12]

8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar

Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu
Hajar berkata, “Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.

Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang
dianjurkan, diwajibkan dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan
tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan orang yang berpuasa
untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan
sanad dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan)
mandi untuk orang yang berpuasa.”[13]

Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata,

ُ ‫ط ِّش أَ ْو ِّمنَ ْالحَِّلَقَدْ َرأَيْتُ َر‬


َّ ‫سو َل‬
‫ ب‬-‫صلى للا عليه وسلم‬- ِّ‫َّللا‬ َ ‫صبُّ َعلَى َرأْ ِّس ِّه ْال َما َء َوه َُو‬
َ َ‫صاِئِّ ٌم ِّمنَ ْالع‬ ُ َ‫ر ََ ْالعَ ْرجِّ ي‬.
ِّ

“Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur


kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau
dalam keadaan berpuasa. ”[14]

Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa
untuk menyegarkan badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau
seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan antara mandi
wajib, sunnah atau mubah.” [15]

9. Menelan dahak.

Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[16] tidak membatalkan puasa
karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]

10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.

Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit
dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit,
maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari
air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.[18]

11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.

12. Muntah yang tidak sengaja.


Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal puasa, namun masih
dibolehkan ketika berpuasa. Semoga bermanfaat.

 Panduan Zakat (1): Keutamaan Menunaikan Zakat


 Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa mendapat penjagaan
Allah-, insya Allah dalam beberapa serial ke depan, kami dari pihak redaksi akan
mengetengahkan bahasan yang cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun
Islam, yaitu mengenai zakat. Seluk beluk zakat akan dipaparkan satu per satu dimulai
dari keutamaan zakat, syarat zakat, harta-harta yang dizakati dan siapakah yang berhak
menerima zakat, juga beberapa perincian lainnya yang dianggap penting untuk dibahas.
Semoga para pembaca bisa bersabar menantikan serial ini hingga tuntas dan moga
bermanfaat.
 Pengertian Zakat
 Zakat –secara bahasa- berarti “‫ ”النماء والريع والزيادة‬berarti bertambah atau tumbuh. Makna
seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
‫ العلم يزكو باْلنفاق‬
 “Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
 Zakat secara bahasa juga berarti “‫”الصالح‬, yang lebih baik. Sebagaimana dapat kita lihat
pada firman Allah Ta’ala,
ً ‫ فَأ َ َردْنَا أَ ْن يُ ْب ِدلَ ُه َما َربُّ ُه َما َخي ًْرا ِم ْنهُ زَ كَاة‬
 “Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain
yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]
 Secara bahasa, zakat juga berarti “‫ ”تطهير‬mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
‫ قَدْ أَ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا‬
 “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9).
Zakat mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
‫ط ِه ُر ُه ْم َوتُزَ ِكي ِه ْم ِب َها‬ َ ‫ُخذْ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬ 
 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103).[2]
 Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dengan
cara yang khusus, dan disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu
tahun) dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang
dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk
orang yang memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.[3]
 Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat dapat disebut zakat
karena pokok harta itu akan tumbuh dengan bertambah barokah ketika dikeluarkan dan
juga orang yang mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang yang
berhak menerima zakat tersebut. Harta lain yang tersisa juga akan bersih dari syubhat,
ditambah dengan terlepasnya dari kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta
tersebut.[4]
 Hukum Zakat
 Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan waktu disyari’atkannya
puasa Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam.
Hal ini tidak bisa diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an, As
Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat ulama).
 Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat dalam ayat,
َّ ‫ص َالة َ َوآَت ُوا‬
َ ‫الزكَاة‬ َّ ‫ َوأَقِي ُموا ال‬
 “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”
(QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai
ayat sampai berulang hingga 32 kali.[6]
 Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui haditsd dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َ ‫ َو‬، ِ‫ َو ْال َحج‬، ِ‫الزكَاة‬
‫ص ْو ِم‬ َّ ‫َاء‬ ِ ‫ َوإِيت‬، ِ‫صالَة‬ َّ ‫ َوإِقَ ِام ال‬، ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َّللاُ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َر‬
َّ َّ‫ش َهادَةِ أ َ ْن الَ إِلَهَ إِال‬ َ ‫اْل ْسالَ ُم َعلَى َخ ْم ٍس‬ ِ ‫ى‬ َ ِ‫ بُن‬
َ‫ضان‬َ ‫َر َم‬
 “Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan
shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[7]
 Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memerintahkan pada
Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,
‫ تُؤْ َخذ ُ ِم ْن أ َ ْغنِيَائِ ِه ْم َوت ُ َردُّ َعلَى فُقَ َرائِ ِه ْم‬، ‫صدَقَةً فِى أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬
َ ‫ض َعلَ ْي ِه ْم‬ َّ ‫طاعُوا ِلذَلِكَ فَأ َ ْع ِل ْم ُه ْم أ َ َّن‬
َ ‫َّللاَ ا ْفت ََر‬ َ َ ‫ فَإ ِ ْن ُه ْم أ‬
 “… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan Allah dan menunaikan
shalat ), maka ajarilah mereka sedekah (zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana
zakat tersebut diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian disebar
kembali oleh orang miskin di antara mereka.”[8]
 Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu kepastian dalam
syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil
untuk membuktikannya. Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya.
Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa
yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]
 Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at Islam memiliki makna
yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan
sebagian masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang
sunnah, maka itu adalah anggapan yang tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan
kuat.
 Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk istilah sedekah yang
wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban dan pemaafan.”[10]
 Keutamaan Menunaikan Zakat
 1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat merupakan bagian dari rukun
Islam yang lima. Apabila seseorang melakukannya, maka keislamannya akan menjadi
sempurna. Hal ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang amat agung
dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar keislamannya menjadi sempurna.
 2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta adalah sesuatu yang
sangat dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan
mengharap balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan. Oleh karena
itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -
pen) karena zakat akan menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang
mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan zakatnya tersebut.
 3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya,
‫ ال يُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحت َّى ي ُِحبَّ أل َ ِخي ِه َما ي ُِحبُّ ِلنَ ْف ِس ِه‬
 “Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia mencintai saudaranya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”[11] Sebagaimana kita mencintai jika ada
saudara kita meringankan kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka untuk
meringankan kesusahan saudara kita yang lain. Maka pemberian seperti ini merupakan
tanda kesempurnaan iman kita.
 4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َّللاِ قَا َل ِل َم ْن‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫ى فَقَا َل ِل َم ْن ه‬
ُ ‫ِى َيا َر‬ ٌّ ‫ام أَع َْرا ِب‬
َ َ‫ورهَافَق‬ ِ ‫ظ ُه‬ ُ ‫طونُ َها ِم ْن‬ ُ ُ‫طو ِن َها َوب‬
ُ ُ‫ورهَا ِم ْن ب‬ُ ‫ظ ُه‬ ُ ‫ ِإ َّن فِى ْال َجنَّ ِة‬
ُ ‫غ َرفًا ت ُ َرى‬
َّ َّ
ُ ‫صلى ِ ََّّللِ بِالل ْي ِل َوالن‬
‫اس نِيَا ٌم‬ َّ َ ‫ام َو‬ َ َ‫الصي‬
ِ ‫ام‬ َ
َ َ‫ام َوأد‬ َّ ْ َ َ ْ
َ َ‫اب ال َكال َم َوأطعَ َم الطع‬ َ ‫أط‬َ َ
 “Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat terlihat dari dalamnya dan
dalamnya dapat terlihat dari luarnya.” Kemudian ada seorang badui berdiri lantas
bertanya, “Kepada siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi
orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya lewat zakat, pen), rajin
berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di saat manusia sedang terlelap tidur.”[12]
Setiap kita tentu saja ingin masuk surga.
 5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu kesatuan). Karena dengan
zakat, berarti yang kaya menolong yang miskin dan orang yang berkecukupan akan
menolong orang yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu saudara. Allah
Ta’ala berfirman,
َ‫َّللاُ إِلَيْك‬
َّ َ‫سن‬ َ ْ‫ َوأَحْ س ِْن َك َما أَح‬
 “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu” (QS. Al Qoshosh: 77)
 6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah
karena melihat orang kaya hidup mewah. Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia
suka (dengan berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau. Tidak ragu
lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen) pada hati orang miskin. Apabila orang
kaya berderma pada mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan
mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada dalam kesusahan”.
Maka orang miskin tersebut akan suka dan timbul rasa cinta kepada orang kaya yang
berderma tadi.
 7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan perampasan. Karena dengan
zakat, sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi,
sehingga hal ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya atau
berbuat jahat kepada mereka.
 8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫اس‬ ِ َّ‫ص َل َبيْنَ الن‬ َ ‫صدَقَتِ ِه َحتَّى يُ ْف‬ َ ‫ئ فِى ِظ ِل‬ ٍ ‫ ُك ُّل ا ْم ِر‬
 “Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan
keputusan di tengah-tengah manusia.”[13]
 9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah. Karena ia tidaklah
menunaikan zakat sampai ia mengetahui hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti
telah mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak menerimanya serta hal-hal
lain yang urgent diketahui.
 10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari harta yang dizakati.
Sebagaimana terdapat dalam hadits yang artinya,
‫صدَقَةٌ ِم ْن َما ٍل‬َ ‫ت‬ َ َ‫ َما نَق‬
ْ ‫ص‬
 “Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[14]
 11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫اء َولَ ْوالَ ْالبَ َهائِ ُم لَ ْم يُ ْم‬
‫ط ُروا‬ ِ ‫س َم‬
َّ ‫ط َر ِمنَ ال‬ ْ َ‫ َولَ ْم يَ ْمنَعُوا زَ كَاة َ أ َ ْم َوا ِل ِه ْم إِالَّ ُمنِعُوا ْالق‬
 “Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, melainkan
mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena
binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.”[15]
 12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
ِ ‫ب َوتَدْفَ ُع ِميتَةَ الس‬
‫ُّوء‬ ِ ‫الر‬
َّ ‫ب‬ َ ‫ض‬ َ ‫ئ َغ‬ ُ ‫ط ِف‬ْ ُ ‫صدَقَةَ لَت‬ َّ ‫ ِإ َّن ال‬
 “Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari keadaan mati yang
jelek.”[16]
 13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ار‬َ َّ‫ئ ْال َما ُء الن‬ ْ ‫َطيئَةَ َك َما ي‬
ُ ‫ُط ِف‬ ِ ‫ئ ْالخ‬ ُ ‫ط ِف‬ْ ُ ‫صدَقَةُ ت‬ َّ ‫ َوال‬
 “Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api.”[17]
[18]
 -bersambung insya Allah-

 Panduan Zakat (2): Hukum Orang yang Enggan Menunaikan Zakat

Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat.

Kita sudah pahami bahwa zakat adalah bagian dari rukun Islam. Para ulama bersepakat
(berijma’) bahwa siapa yang menentang dan mengingkari kewajiban zakat, maka ia telah kafir
dan murtad dari Islam. Karena ini adalah perkara ma’lum minad diini bid doruroh, yaitu sudah
diketahui akan wajibnya. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengingkari
kewajiban zakat di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan para ulama.”[1] Ibnu Hajar
berkata, “Adapun hukum asal zakat adalah wajib. Siapa yang menentang hukum zakat ini, ia
kafir.”[2]

Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil dan pelit.

Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, ia adalah orang fasik
dan akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫ب أ َ ِل ٍيم يَ ْو َم يُحْ َمى َعلَ ْي َها فِي ن‬


‫َار َج َهنَّ َم فَت ُ ْك َوى بِ َها ِجبَا ُه ُه ْم‬ ٍ ‫َّللاِ فَبَ ِش ْر ُه ْم ِبعَذَا‬
َّ ‫سبِي ِل‬ َّ ‫َب َو ْال ِف‬
َ ‫ضةَ َو َال يُ ْن ِفقُو َن َها فِي‬ َ ‫َوالَّذِينَ يَ ْكنِ ُزونَ الذَّه‬
َ
َ‫ور ُه ْم َهذَا َما َكن َْزت ُ ْم ِأل ْنفُ ِس ُك ْم فَذُوقُوا َما ُك ْنت ُ ْم تَ ْكنِ ُزون‬ ُ
ُ ‫َو ُجنُوبُ ُه ْم َوظ ُه‬

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu
yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).

Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang enggan menunaikan zakat.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ي َعلَ ْي َها ِفي ن‬


،‫َار َج َهنَّ َم‬ ُ ٍ ‫ص َفا ِئ ُح ِم ْن ن‬ َ ُ‫ت لَه‬ ُ ‫ض ٍة الَ ي َُؤ ِدي ِم ْن َها َح َّق َها ِإالَّ ِإذَا َكانَ َي ْو َم ال ِق َيا َم ِة‬
َّ ‫ب َوالَ ِف‬ ٍ ‫ب ذَ َه‬
َ ‫ َفأحْ ِم‬،‫َار‬ ْ ‫ص ِف َح‬ ِ ‫اح‬ ِ ‫ص‬َ ‫َما ِم ْن‬
َ َ
‫ َوإِ َّما‬،‫سبِ ْيلهُ إِ َّما إِلى ال َجنَّ ِة‬
َ ‫ فَيَ َرى‬،ٍ‫سنَة‬
َ ‫ف‬ ْ َ
َ ‫ارهُ َخ ْم ِسيْنَ أل‬ ْ َ
ُ َ‫ت إِل ْي ِه فِي يَ ْو ٍم كَان ِمقد‬ ُ
ْ َ‫ت أ ِع ْيد‬ َّ َ
ْ َ‫ ُكل َما بَ ُرد‬،ُ‫فَيُ ْك َوى بِ َها َج ْب َهتُهُ َو َج ْنبُهُ َوظ ْه ُره‬
‫ار‬ِ َّ‫ِإلَى الن‬

“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada
hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api
neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut.
Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang
ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah
ke surga atau ke neraka.”[3]

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku datang menemui Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau
bersabda, ‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik Ka’bah’. Beliau
mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu
berkata, ‘Ini merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya, Siapakah mereka?
Ayah dan ibuku menjadi tebusannya?’” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

‫ إِالَّ َم ْن قَا َل فِي ِعبَا ِد هللاِ َه َكذَا َو َه َكذَا َوقَ ِل ْي ٌل َما ُه ْم َما ِم ْن َر ُج ٍل يَ ُم ْوتُ فَ َيتْ ُركُ َغنَ ًما اَ ْو إِبِالً أ َ ْو بَقَ ًرا الَ ي َُؤ ِدي زَ كَاتَ َها‬،ً‫األ َ ْكثَ ُر ْونَ أ َ ْم َواال‬
‫اس ث ُ َّم تَعُ ْودُ أ ُ ْوالَهَا‬
ِ َّ‫ي هللاُ بَيْنَ الن‬
َ ‫ض‬ ْ َ ‫طأَهُ ِبأ‬
ِ ‫ َحتَّى يَ ْق‬،‫ َوت َ ْن ِط ُحهُ ِبقُ ُر ْونِ َها‬،‫ظالَ ِف َها‬ َ َ ‫ظ ُم َما ت َ ُك ْونُ َوأ َ ْس َمنُ َحتَّى ت‬
َ ‫ِإالَّ َجا َءتْهُ يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة أ َ ْع‬
ْ
‫لى أخ َراهَا‬ ُ
َ ‫َع‬

“Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang menyedekahkannya kepada hamba-hamba


Allah begini dan begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki mati lalu ia
meninggalkan kambing atau unta atau sapi yang tidak ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-
hewan itu akan datang kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar dan sangat
gemuk lalu menginjaknya dengan kukunya dan menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah
memutuskan perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan menginjaknya
kembali, begitu pula hewan yang paling belakang berlalu, begitulah seterusnya.”[4]

 Panduan Zakat (3): Syarat-Syarat Zakat

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut
berkaitan dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2) merdeka.[1]

Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih
tetap dikenai zakat yang nanti akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat
terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[2]

Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara
sempurna, (2) harta tersebut adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai
nishob, (4) telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut
merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok.[3]

Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.

(1) Dimiliki secara sempurna.

Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam
sebuah ayat,

ٌ ‫سو ِل ِه َوأ َ ْن ِفقُوا ِم َّما َجعَلَ ُك ْم ُم ْست َْخلَفِينَ فِي ِه فَالَّذِينَ آَ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َوأ َ ْنفَقُوا لَ ُه ْم أَجْ ٌر َك ِب‬
‫ير‬ َّ ِ‫آ َ ِمنُوا ب‬
ُ ‫اَّللِ َو َر‬

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu
dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7)
Al Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah milik
Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah ridhoi. Siapa saja yang
menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan
harta orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat
banyak.”[4]

Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi
harta saat ini dianggap sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta tersebut adalah milik di tangan
individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya
sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[5]

Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat dalam hal ini, piutang bisa
dirinci menjadi dua macam:

1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan pada orang yang mampu untuk
mengembalikan. Piutang seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta yang dimiliki
oleh orang yang member utangan dan dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena diutangkan pada orang yang sulit dalam
melunasinya. Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[6]

(2) Termasuk harta yang berkembang.


Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si
empunya atau harta itu sendiri berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama
membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki
(kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b) harta yang
berkembang secara takdiri (kualitas).

Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫صدَقَةٌ فِى َع ْب ِد ِه َوالَ فَ َر ِس ِه‬


َ ‫ْس َعلَى ْال ُم ْس ِل ِم‬
َ ‫لَي‬

“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan kudanya.”[7]

Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk kebutuhan pokok semisal
makanan yang disimpan, kendaraan, dan rumah.[8]

(3) Telah mencapai nishob.

Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat. Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٌ‫صدَقَة‬
َ ‫ق‬
ٍ ‫س‬ َ ‫ َولَي‬، ٌ‫صدَقَة‬
ُ ‫ْس فِي َما دُونَ َخ ْم ِس أَ ْو‬ َ ‫ َولَي‬، ٌ‫صدَقَة‬
َ ‫ْس فِي َما د ُونَ َخ ْم ِس ذَ ْو ٍد‬ ٍ ‫ْس فِي َما د ُونَ َخ ْم ِس أ َ َوا‬
َ ‫ق‬ َ ‫لَي‬

“Tidak zakat bagi perak di bawah 5 uqiyah[9], tidak ada zakat bagi unta di bawah 5 ekor dan
tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq[10].”[11]

Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan nishob masing-masing yang nanti
akan dijelaskan.

(4) Telah mencapai haul.

Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ْس فِى َما ٍل زَ كَاة ٌ َحتَّى يَ ُحو َل َعلَ ْي ِه ْال َح ْو ُل‬


َ ‫َولَي‬

“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[12]

Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil
pertanian tidak ada syarat haul. Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[13]

(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.

Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu
dianggap mampu atau berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka
seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian. [14]

Harta yang Dikenai Zakat

Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat adalah:

1. Atsman (emas, perak dan mata uang).


2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).

 Tuntunan Ibadah Haji (1)

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin kecuali hanya untuk menyembah-
Nya semata, sebagaimana firman-Nya:

‫وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.
Adz dzariyat:56)

kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut dibutuhkan suatu media yang dapat
menjelaskan makna dan hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka dengan
hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam rangka membawa dan menyampaikan
risalah dan syariat-Nya kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan petunjuk yang
jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha
Bijaksana menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah satu dari syiar-syiar
Islam yang agung. Bahkan ibadah haji merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan
merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin untuk bersatu, meningkatkan
ketaqwaan dan meraih surga yang telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena
itu Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu tatacara atau metode yang
lengkap dan terperinci sehingga tidak perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam
pelaksanaan ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan berusaha dan
bersemangat untuk mempelajarinya kemudian mengamalkannya setelah Allah memberikan
pertolongan, kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah yang mulia ini.

Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal
yang berhubungan dengan ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap dan
dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan agamanya, mudah-mudahan hal ini
bermanfaat bagi semua pihak dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi mereka yang
akan menunaikannya dan mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini
sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari yang tidak ada pertolongan dan
belas kasihan kecuali dari-Nya yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji

a. Secara Etimologi

Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan dapat dibaca dengan dua lafazh Al-
hajj dan Al-Hijj [1]

b. Secara terminologi syariat

Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik yang
telah ditetapkan dalam sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama
yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke tempat tertentu pada waktu yang
tertentu untuk melaksanakan suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang
pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini, karena seharusnya ditambah
dengan satu ikatan yaitu ibadah, maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan
menyeluruh.

2. Dalil Pensyari’atannya

Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan bagi seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan
ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Adapun dalil dari Al-Qur’an:

‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال ومن كفر فإن للا غني عن العـالمين‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS. Ali
Imran, 97)

dan firman Allah Ta’ala

‫وأتموا الحج والعمرة هلل فإن أحصرتم فما استيسر من الهدي وال تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدي محلُة فمن كان منكم مريضا أو‬
‫به أذى من رأسه ففديُة من صيام أو صدقُة أو نسك فإذا أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد‬
‫فصيام ثالثُة أيام فى الحج وسبعُة إذا رجعتم تلك عشرة كاملُة ذلك لمن لم يكن أهله حاضرى المسجد الحرام واتقوا للا واعلموا‬
‫أن للا شديد العقاب‬

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah
atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban. Apabila kamu telah
(merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian
itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekkah). Dan bertakwalah kepada
Allah dan ketauhilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)

Dalil dari As-Sunnah:

Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

‫فقال يأأيها الناس قد فرض للا عليكم الحج فحجوا‬‫خطبنا رسول للا‬

“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai
sekalian manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk berhaji, maka
berhajilah kalian.” (HR. Muslim)

Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫بني اإلسالم على خمس شهادة أن ال إله إال للا وأن محمدا رسول للا وإقام الصالة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان‬

“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,berhaji
ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’

Para ulama dan kaum muslimin dari zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang
telah bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]

3. Syarat-syarat haji

Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:

1. Islam

2. Berakal

3. Baligh

4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan

5. Merdeka

4. Miqat-miqat untuk haji


Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh syari’at untuk suatu ibadah baik
tempat atau waktu.[5] Dan haji memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani. Adapun
miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal menurut kosensus para ulama, akan
tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini terbagi
menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:

1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini merupakan pendapat Ibnu Abbas,
Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.

2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang dipilih madzhab Syafi’i.

3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab malikiyah

Dan yang rajih –wallahu’alam– bahwa bulan Dzul Hijjah seluruhnya termasuk bulan haji dengan
dalil firman Allah Ta’ala:

‫الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى الحج‬

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan, dan
berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS Al-Baqarah, 197)

dan firman Allah Ta’ala :

‫وأذان من للا ورسوله إلى الناس يوم الحج األكبر أن للا بريء من المشركين‬

“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari haji
akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.”
(QS At-Taubah 9:3)

Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (‫ )أشهر‬dan bukan dua bulan sepuluh hari atau
dua bulan sembilan hari. padahal (‫ )أشهر‬jamak dari (‫ )شهر‬dan hal itu menunjukkan paling sedikit
tiga bulan dan pada asalnya kata (‫ )شهر‬masuk padanya satu bulan penuh dan tidak dirubah asal
ini kecuali dengan dalil syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan tidak boleh
mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan Dzulhijjah.

Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan maka ihramnya tersebut tidak
dianggap sah untuk haji akan tetapi berubah menjadi ihram untuk Umrah.

Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya disesuaikan dengan negeri dan kota yang
akan menjadi tempat awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah dijelaskan
oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas
Radhiallahu’anhu:

‫وقت ألهل المدينُة ذا الحليفُة‬ ‫رسول للا وألهل الشام الجحفُة وألهل النجد قرن وألهل اليمن يلملم قال هن لهن لمن أتى عليهن‬
‫من غير أهلهن ممن كان يريد الحج و العمرة فمن كان دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكُة يهلون منها‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat bagi ahli Madinah Dzul
Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-Juhfah dan bagi ahli Najd Qarn dan bagi ahli Yamam
Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut adalah untuk mereka dan untuk
orang-orang yang mendatangi mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan
umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat tersebut, maka tempat mereka
dari ahlinya, dan demikian pula dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya Makkah.”
(H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839, Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)

Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menerangkan bahwa miqat ahli
Madinah adalah Dzul Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu sebuah
tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 52/3 mil kurang seratus hasta[7] yang setara
kurang lebih 11 km. dari Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang lebih
430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km. Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah
yaitu suatu tempat yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak antara Raabigh
(tempat yang sejajar dengannya) dengan makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan
berkata sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya wabah di al-Juhfah,
maka para jamaah haji dari Syam mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga
sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan seperti Somalia jika datang melalui
jalur laut atau darat dan berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang melalui
Yalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman yaitu Yalamlam. Yalamlam yang
dikenal sekarang dengan daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah dengan
As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari Makkah, dan berkata sebagian ulama
sekitar 92 km.

Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah
bukit yang ada di antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau sekitar 80 Km.
dan berkata sebagian ulama sekitar 75 Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta
sekitarnya.[8] Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat yang sejajar denagn
Qarnul Manazil yang terletak antara desa al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah
dua marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk Iraq. Akan tetapi terjadi
perselisihan dari para ulama tetang penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari
perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar bin Khaththab
Radhiallahu’anhu?

a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang menetapkannya sebagaimana dalan hadits
Abu Dawud dan An-Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:

‫أن رسول للا وقت ألهل العراق ذات العرق‬

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat ahli ‘Iraq


adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin Khaththab Radhiallahu’anhu yang


menetapkannya. Sebagaimana dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah
mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul Manazil, bekata Umar
Radhiallahu’anhu:
‫فانظروا حذوها من طريقكم‬

“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari jalan kalian.” Lalu Umar
menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary 1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.

Yang rajih –wallahu’alam– bahwa miqat tersebut telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan penetapan Umar tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya Ibnu Qudamah.

Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat tersebut dan orang-orang yang lewat
melaluinya dari selain ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan miqatnya
maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya: orang Indonesia yang melewati Madinah
dan tinggal disana satu atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib baginya
untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau ahli Yaman yang melewati Madinah tidak
perlu pergi ke Qarnul Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh Allah Ta’ala
untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam yang melewati madinah dan Al-Juhfah,
maka ada perselisihan para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya sampai ke Al-
Juhfah,

a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk mengakhirkan ihram mereka sampai Al-
Juhfah, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka berdalil bahwa
seorang yang melewati dua miqat wajib baginya berihram dari salah satu dari keduanya. Satu
dari keduanya adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal, yaitu Al-Juhfah
,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya. dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman
117.

b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib berihram dari Dzul Hulaifah karena
zhahir hadits dari Ibnu Abbas diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah
pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

‫ولمن أتى عليهن من غير أهلهن‬

“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits Ibnu Abbas).

Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah maka wajib berihram dari tempat
dia tetapkan niatnya untuk berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang
berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk ar-Rauha’, penduduk Badr dan
Abyar al-Maasy untuk berihram dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk
madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu atau dua hari kemudian ingin
berumrah atau berhaji maka miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya
adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal tujuannya sehingga dia ihram dari
miqatnya yaitu Dzul Hulaifah. contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan saya
akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli barang-barang yang saya butuhkan,
maka disini kepergiannya ke Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan tetapi
kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan ada kebutuhan yang sangat penting
kemudian berkata: “Kalau dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan
berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke Jeddah. Maka dia berihram di
Jeddah dan jika dia memilliki dua tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan
umrah sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram dari Makkah untuk
berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling
dekat. Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah ketika beliau berumrah
setelah haji maka Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman bin Abi
Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:

‫أن أردف عاِئشُة وأعمرها من التنعم‬(‫أمرني رسول للا )متفق عليه‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku untuk menemani Aisyah dan


(Aisyah) berihram untuk umrah dari Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)

Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli maupun pendatang berihram dari
rumah-rumah mereka jika akan berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram
Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi mereka yang tidak melewati miqat-
miqat tersebut, maka wajib bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat
yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas dari 3 keadaan:

1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-Harami atau al-Makki maka dia
berikhram untuk haji dari tempat tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram
dan berihram darinya.

2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka mereka berihram dari
tempatnya untuk berhaji dan berumrah.

3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:

a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat

b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram dari tempat yang sejajar atau
memilih miqat yang terdekat dengannya.

Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua keadaan:

1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya bersama-sama maka tidak boleh
dia masuk makkah kecuali dalam keadaan berihram.

2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka dalam hal ini para ulama terbagi
menjadi dua:

a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib berihram baik ingin haji dan
umrah ataupun yang lainnya, ini merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:

‫إنه ال يدخل إال من كان محرما‬

“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali dalam keadaan berihram”.

Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau melewati miqat dengan niat
masuk makkah maka tidak boleh memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah
telah mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan masuknya dengan cara
yang khusus dan kalau tidak maka sama saja dengan yang lainnya.”

b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau umrah untuk tidak berihram dan
ini adalah madzhab Syafi’i.

Mereka berdalil sebagai berikut:

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

(‫لمن أراد الحج و العمرة )متفق عليه‬

“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)

Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah berihram kepada orang yang
berniat melaksanakan haji dan umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak
berihram jika ingin masuk makkah

Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ke Makkah pada fathul


Makkah dalam keadaan memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)

Dan yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat kedua yang membolehkan karena asalnya
adalah tidak diwajibkan untuk berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah
pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-Maqdisy serta Muhammad bin
Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy.

Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari miqat-miqat yang telah
ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan
belum berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:

1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia melampaui miqat beberapa jauh, kemudian
kembali ke miqat untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak terkena apa-
apa, karena dia telah berihram dari tempat yang Allah perintahkan untuk berhram.

2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram dan dia tidak kembali ke miqat,
masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali, seperti takut kehilangan haji
kalau kembali dan lain sebagainya.

b.Tidak memiliki udzur syar’i.

maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib menyembelih sembelihan, karena dia telah
kehilangan kewajiban haji, yaitu berihram dari miqat.

3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah melampaui miqat, lalu
kembali dan berihram lagi untuk kedua kali dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat
ulama:

a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak kembali, ini pendapat malikiyah dan
hanabillah.

b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-amalan haji atau umrah, ini madzhab
Syafi’iyah

c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak ada dam (sembelihan) dan
kalau kembali tidak bertalbiyah maka wajib atasnya dam.

d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari miqat, ini pendapat Sa’id bin
Jubair.

e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan ats-Tsaury.

Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad al-
Mukhtar asy-Syanqithy dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.

5. Jenis-jenis Manasik Haji

Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada tiga,yaitu:

1. Ifrad

Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya berihram untuk haji tanpa
dibarengi dengan umroh,maka seorang yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji
saja, kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah ber-thawaf maka dia tetap
berpakaian ihram dan dalam keadaan muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak
dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali dan umrohnya dapat dilakukan
pada perjalanan yang lainnya.

Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:

a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang ketempat tinggalnya dan setelah itu
kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

2. Tamattu’

Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah itu berihram untuk haji pada
tahun itu juga. Dalam hal ini diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh
karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada tanggal 8 Dzul Hijjah berihram
untuk haji.

3. Qiran

Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan membawa hadyu (sembelhan)
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki
tiga bentuk:

a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan menyatakan “‫ ” لبيك عمرة وحجا‬dengan dalil
bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:

‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجُة‬

“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian memasukkan haji atasnya sebelum
memulai thawaf. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk
umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan beliau untuk berihlal (ihram)
untuk haji dan perintah tersebut bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:

‫سعيك طوافك لحجك وعمرتك‬

“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R Muslim no. 2925/132)

c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya. Tentang kebolehan hal ini para
ulama ada dua pendapat:

Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:

‫بالحج‬‫أهل رسول للا‬

“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.

dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:

‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجُة‬


“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi hajjatin” (H.R Bukhari)

‫دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامُة‬

“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.

Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah kedalam haji.

Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab hanbali. Berkata Syaikhul
Islam: “Dan seandainya dia berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke dalamnya,
maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan sebaliknya dengan kesepakatan para ulama”
[10]

Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik ini dan dapat kita simpulkan
menjadi tiga pendapat:

1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair,
‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad
bin Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab
hanbali dan satu daru dua pendapat Imam Syafi’i.

2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:

Hadits Anas, beliau berkata:

(‫ لبيك عمرة و حجا )متفق عليه‬،‫ لبيك عمرة و حجا‬:‫أهل بها جميعا‬‫سمعت رسول للا‬

“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik Umrotan wa hajjan’“


(Mutafaqun Alaih)

Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya, kemudian datang umar lalu dia
menanyakannya,maka beliau berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu
Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)

Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika menegurnya:

(‫سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول للا لقولك )رواه البيهقي‬

“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya sekalgus, maka aku tidak akan
meninggallkan ucapan Rasulullah karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)

Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama dari yang tidak membawa.

3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan yang terkenal dari Madzhab
Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman, Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:
 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan
haji ifrad
 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat, maka yang tidak membutuhkan
lebih utama dari yang membutuhkan.
 Amalan Khulafaur Rasyidin

Sedangkan yang rajih –wallahu’alam– adalah pendapat pertama dengan dalil:

a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di Dzi Thuwa dan menginap
disana , lalu setelah shalat subuh beliau berkata:

‫من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة‬

“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah dia sebagai umrah”
(Mutafaqun Alaihi)

b. Hadits Aisyah:

‫خرجنل وال أريد إال أنه‬‫ فلما قدما مكُة تطوفنا بالبيت فأمر ما لم يكن ساق الهديي‬،‫مع رسول للا الحج‬ ،‫رسول للا أن يحل‬
‫قالت فحل من لم يكن ساق الهدي و ناؤه لم يسقن اللهدي فاحللنا‬

“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami melihat kecuali itu adalah haji,
ketika kami tiba di makkah kami thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang
tidak membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah: maka bertahalullah
orang yang tidak membawa hadyu dan istri-istri beliatidak membawa hadyu maka mereka
bertahalul ” (Mutafaqun ‘Alaih)

c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah memerintahkan sahabat-
sahabatnya ketika selesai thawaf di ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.

Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’ menujukkan bahwa tamattu’ lebih
utama. Karena, tidaklah beliau memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.

d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam

‫لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة‬

“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari amalan saya maka saya tidak akan
membawa sembelihan dan menjadikannya Umrah”. (H.R Muslim Ahmad no. 6/175)

e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada para sahabatnya


yang masih bimbang dengan anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah
sebagaimana hadits Aisyah:

‫ من اغضبا يا رسول للا اخله للا النار؟ قال أوما شعرت أني أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون‬:‫فدخل علي و هو غضبان فقلت‬
“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku berkata: “Siapa yang
membuatmu marah wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku
memerintahkan orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu dalam
melaksanakannya) “(H.R Muslim)

Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan yang lebih dari yang lainnya,
Wallahu’alam.

Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa hukumnya disesuaikan dengan
keadaan, kalau dia membawa hadyu (sembelihan) maka qiran lebih utama, dan apabila dia telah
berumrah sebelum bulan-bulan haji maka ifrad lebih utama dan selainnya tama
Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata: “Dan yang rajih dalam hal ini adalah
hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia bepergian
dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum
bulan-bulan haji dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji, maka dalam
keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia
mengerjakan apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu mengabungkan antara umrah dan
haji dalam satu kali perjalanan dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan
ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan kalau dia tidak membawa hadyu
maka, ber-tahallul dari ihram untuk umrah lebih utama”[11]

 Tuntunan Ibadah Haji (2)

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji

1.Ihram dari Miqot

Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang bermakna terlarang atau tercegah,
dinamakan hal tersebut dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada
kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal dengan hal-hal tertentu seperti
jima’, menikah, berucap ucapan kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi
syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu haji dan umrah) atau kedua-
duanya secara bersamaan 1, dari sini jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah
dipahami sebagian kaum muslimin bahwa ihram adalah berpakaian dengan kain ihram karena
ihram adalah niat masuk kedalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain ihram
hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah berihram .

Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari hal-hal yang wajib dilakukan
oleh seorang yang ingin menunaikan haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat
berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti meninggalkan suatu kewajiban
dalam haji dan wajib atas mereka untuk menggantinya dengan Dam (denda).
Adapun cara berihram , maka seorang yang telah berketetapan untuk haji atau umrah maka
disunnahkan baginya untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan amalannya sebagaimana yang telah ditunjukkan
oleh hadits-hadits yang shahih .

Adapun cara-caranya adalah :

1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan perempuan baik dalam keadaaan
suci atau haidh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata:

‫ فخرجنا معه حتى أتينا ذا الحليفُة فولدت أسماء بنت عميس كيف أصنع؟ قال‬: ‫محمد بن أبي بكر فأرسلت الىرسول للا‬
(‫اغتسلي واستثفري بثوب واحرمي )رواه مسلم‬

“Lalu kami keluar bersamanya Shallallahu’alaihi Wasallam lalu tatkala sampai Dzul hulaifah
Asma binti ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang
untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku
kerjakan? maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Mandilah dan beristitsfarlah 2
dan berihramlah.” (Riwayat Muslim (2941) 8/404, Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu
Majah no.3074.)

Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena bersuci yang disunnahkan,
apabila tidak dapat menggunakan air maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan
tayamum dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:

‫يا أيها الذين ءامنوا اذا قمتم الى الصلوة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحو برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان‬
‫كنتم جنبا فاطهروا وان كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحدمنكم أو الغاِئط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعيدا طيبا‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al Maidah
:6)

maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang lainnya,dan juga tidak ada contoh atau
perintah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi kalau mandi
ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil perintah beliau kepada Asma bintu Umais
yang sedang haidh untuk mandi tersebut.

2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram sebagaimana yang dikatakan
Aisyah:

‫كنت أطيب النبي الحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت‬.

“Aku memakaikan nabi wangi-wangian untuk ihramnya sebelum berihram dan ketika halalnya
sebelum thawaf di Ka’bah” (HR, Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).
Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada pakaian ihramnya karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

‫ال تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و ال الورس‬

“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi za’faran dan
wars.”(Muttafaqun alaih).

Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:

1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat tidak ada permasalahan

2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak wangi tersebut tidak hilang,
maka ini dibolehkan oleh para ulama kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat
dengan pendapatnya.

Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:

‫اذا اراد أن يحرم يتطيب بأطيب ما يجد ثم أرى وبيص الدهن في رأسه و لحيته بعد ذلك رواه مسلم‬‫كان رسول للا‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram memakai wangi- wangian yang
paling wangi yang beliau dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan
jenggotnya setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).

Dan Aisyah berkata pula:

‫و هو محرم‬‫كأني أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول للا‬

“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di bagian kepala Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan beliau dan keadaan ihram “. (HR. Muslim no. 2831 dan
Bukhory no. 5923).

Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di badannya yaitu di kepala dan
jenggotnya, lalu minyak wangi tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini
mempengaruhi atau tidak?

Jawab: Tidak mempengaruhi , karena perpindahan minyak wangi tersebut dengan sendirinya dan
tidak dipindahkan, dan juga karena tampak pada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut menetes karena mereka
memakainya pada keadaan yang dibolehkan 3

Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu dan dia telah mamakai minyak
rambut yang wangi, maka tentu akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika
dia lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua telapak tangannya walaupun
hanya sedikit, maka apakah perlu memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dengan mengatakan:
“Tidak perlu, bahkan hal itu merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya
demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit, cukup dia mengusapnya
dengan telapak tangannya karena ini termaasuk yang dimaafkan:.4

3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai sarung (izar) dan selendang (rida’),
sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :

‫ليحرم أحدكم فى إزار و رداء و نعلين‬

“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan menggunakan sarung dan selendang
serta sepasang sandal.”(H. R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad
Syakir)

dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam:

‫حير ثيابكم البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم‬

“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah dia dan kafanilah mayat
kalian padanya” (H.R Ahmad lihat syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)

Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan disunnahkan untuk berihram
dengan dua kain yang bersih, maka kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di
bolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari katun shuf (bulu domba) dan lain
sebagainya. Dan dibolehkan berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-warna
yang diperbolehkan, walaupun berwarna-warni”.5

Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang menutup semua auratnya, kecuali
wajah dan telapak tangan.

4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar


Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:

‫ صل فى هذا الوادى المبارك وقل عمرة فى حجُة‬: ‫أتاني الليلُة آت من ربي فقال‬

“Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata: “Shalatlah di Wadi yang diberkahi
ini dan katakan: Umrotan fi hajjatin.”

Dan hadits Jabir:

‫في المسجد ثم ركب القصواء حتى اذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج‬‫فصلى رسول للا‬
“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid (Dzulhulaifah) kemudian
menunggangi Al Qaswa’ (nama onta beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’
berihram untuk haji”. (HR.Muslim).

Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna adalah berihram setelah shalat
fardhu. Akan tetapi apabila tidak mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat
dari para ulama:

a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur berdalil dengan keumuman
hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma:

‫صل في هذا الوادي‬

“Shalatlah di Wadi ini”

b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul islam Ibnu Taimyah.
Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’ Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah
shalat baik fardhu maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut salah satu dari
dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak
maka tidak ada bagi ihram shalat yang khusus dan ini yang rajih.”

Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram setelah shalat fardhu kalau ada atau
sunnah (nafilah) karena ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.

Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.

5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan disunnahkan untuk diucapkan dan
dibolehkan untuk memilih salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’ sebagaimana
yang dikatakan Aisyah:

‫عام حجُة الوداع فمنا‬ ‫خرجنا مع رسول للا من اهل بعمرة و منا من اهل بحج و عمرة و منا من اهل بحج و أهل رسول للا فا‬
(‫ما من أهل بعمرة فحل عنه قدوصه و اما من اهل بحج أو جمع بين الحج والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر )متفق عليه‬

“Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada tahun haji wada’
maka ada diantara kami yang berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan
umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam berihram dengan haji saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal
setelah datangnya(*) dan yang berihram dengan haji atau yang menyempurnakan haji dan
umrah tidak halal (lepas dari ihramnya) sampai dia berada dihari nahar(**) “ (Mutafaq alaih)

Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:

‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬

dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:


‫ لبيك عمرة‬atau ‫لبيك اللهم عمرة‬

dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:

‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬

dan sunnah yang ber-manasik Qiran menyatakan: ‫لبيك عمرة و حجا‬

6. Ber-talbiyah, yaitu membaca:

‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الحمد ونعمُة لك والملك ال شريك لك‬

Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik Innal hamda wani’mata laka
wal mulk laa syariikaa laka, dan yang sejenisnya.

6.1. Waktu Talbiyyah

Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan melakukan perjalanan, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata Jabir
Radhiallahu’anhu :

‫…… حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mulai membaca talbiyah ketika telah tegak ontanya di
al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma
labaik ……” (H.R Muslim)

6.2. Bacaan Talbiyah

Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam adalah:

a.‫ لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمُة لك والملك ال شريك لك‬6

b. (‫لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل )متفق عليه من تلبيُة ابن عمر‬

c. (‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمُة لك )عن عاِئشُة رواه البخارى‬

d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:

(‫لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل )حديث جابر رواه مسلم‬

6.3. Sebab dan maknanya

Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab panggilan Allah Ta’ala.
Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-Hajj ayat 27.
‫اااا اا ااااا ااااا اااااا ااااا اااا اا اااا ااااا اا اا‬
‫اا اااا‬

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka akan datang
kepadamudengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)

Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala ini : “Ketika
Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim ‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji,
dia berkata:

‫يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بيتا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو شجر أو أكمُة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك‬
(106\17 ‫اللهم لبيك )رواه ابن جرير‬

“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun satu rumah (ka’bah) dan
memerintahkan kalian untuk berhaji kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja
yang mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu atau apasaja yang ada, lalu
mereka berkata ‫( …… لبيك اللهم لبيك‬H.R Ibnu Jarir 17/106)

Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata sejumlah dari sebagian dari
Ulama’: “Makna Talbiyah adalah jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika
memberitahukan manusia untuk berhaji””, 7

Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :

(‫ )اللهم‬:Wahai Allah

(‫ )لبيك‬:Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka saya mengulang-ulang dan
menegaskan bahwa saya menjawab atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam
keta’atan kepada-Nya

(‫ )ال شريك لك‬:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan Engkau (Allah) dalam segala
sesuatu

(‫ )لبيك‬:Sebagagi penegas bahwa saya menerima panggilan haji tersebut karena Allah, bukan
karena pujian, ingin terkenal, ingin harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima
panggilan tersebut karena Engkau saja

(‫ )إن الحمد و النعمُة لك والملك‬:Sesungguhnya saya berikrar dan mengimani bahwa semua pujian dan
nikmat itu hanyalah milik-Mu demikikan juga kekuasaan

(‫ )ال شريك لك‬:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu

Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam talbiyah tersebut didapatkan adanya
penetapan tauhid dan jenis-jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (‫)أهل بالتوحيد‬
(Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau
kita mentelaah dan memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata ( ‫لبيك اللهم لبيك‬
‫ )لبيك ال شريك لك لبيك‬terdapat peniadaan kesyirikan dalam peribadatan, kemudian (‫)ال شريك لك لبيك‬
terdapat tauhid rububiyyah karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya kepada
Allah Ta’ala semata, dan hal itupun mengharuskan seorang hamba untuk mengakui terhadap
tauhid uluhiyyah, karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman kepada tauhid
uluhiyyah, dan dalam kata (‫ )إن الحمد و النعمُة لك‬terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan
perbuatan Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini adalah merupakan tauhid asma’ dan sifat Allah
Ta’ala.

Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiyah maka dia akan selalu merasakan keagungan
Allah dan akan selalu menyerahkan amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya
sekedar mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah tersebut.

6.4. Cara membacanya

Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki sebagaimana perintah
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

‫أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبيُة‬

“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk memerintahkan sahabat-
sahabatku agar mengangkat suara-suara mereka dalam bertalbiyah. “

Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi apabila terjadi kebersamaan
dalam talbiyah tanpa disengaja dan tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah dalam satu waktu padahal jumlah
mereka sangat banyak maka hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah dengan
suara yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara dalam talbiyah ini jangan sampai
mengganggu dan menyakiti dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.

Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara mereka bahkan mereka diharuskan
untuk merendahkan suara mereka dalam bertalbiyah.

6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan waktu berhenti talbiyah bagi orang
yang berumroh atau berhaji dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :

1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al Hasan serta mazdhab
maliki,mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang
lafadznya;

‫كان يفعل ذلك‬ ‫كان ابن عمر إذا دخل ادني الحرم أمسك عن التلبيُة ثم يبيت بذي طى ويصلى به الصبح ويغتسل ويحدث ان‬
‫النبي‬
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah kemudian menginap dzi
thuwa dan beliau sholat shubuh disana serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat
demikian”

2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini pendapat Said bin Al Musayyib

3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan menyentuh (Istilam) hajar aswad dan
ini pendapat Ibnu Abbas, Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-
Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan hadits Ibnu Abbas secara
marfu’:

‫كان يمسك عن التلبيُة في العمرة إذا اتلم الحجر‬

“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh (istilam) hajar aswad” (HR
Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297)
dan juga hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan lafazh:

‫ثالثا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر‬‫اعتمر رسول للا‬

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga kali umrah seluruhnya di bulan
dzul qa’dah dan terus bertalbiyah sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan
Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah bin Arthah dan dilemahkan
oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)

Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi panggilan untuk ibadah maka
dihentikan ketika memulai ibadah yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul
Islam8 dan Ibnu Qudamah 9 akan tetapi yang rajih adalah pendapat pertama karena penjelasan
dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa Ibnu
Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah melakukannya, dan ini yang dirajihkan
oleh Ibnu Khuzaimah 10 .

Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;

1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah tergelincirnya matahari dan ini pendapat
Aisyah, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab malikiyah.
Berdalil dengan hadits:

‫الحج عرفُة‬

“Haji itu adalah wuquf di Arafah”

Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan panggilan karena telah sampai
kepada inti dan rukun pokok ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan
dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini pendapat jumhur ,akan tetapi
mereka berselisih menjadi dua pendapat;

a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh aqobah dan ini pendapat kebanyakan
dari mereka, dengan dalil hadits Al fadl bin Al Abbas

(‫من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبُة )رواه الحماعُة‬‫كنت رديف النبي‬

”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru bertalbiyah sampi melempar
jumroh Aqobah “(HR jama’ah)

dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:

‫فما ترك التلبيُة حتى رمى جمرة العقبُة إال أن يخلطها بتكبير أو تهليل‬.‫خرجت مع رسول للا‬

“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak mmeninggalkan talbiyah sampai beliau
melempar jumrah Aqobah agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan
Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa’, /2966).

Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan beliau menyatakan: Dan secara
ma’na, maka seorang yang telah sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini-
maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang lainnya yaitu Muzdalifah dan
kalau dia telah wukuf di Muzdalifah maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau
telah mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai panggilannya (Majmu’ Fatawa
26/173)

b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan ini pendapat Ahmad dan
sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:

(‫من عرفُة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبُة يكبر مع كل حصاة ثم قطع التلبيُة مع آخر حصاة )رواه ابو خزيمُة‬ ‫أفضت مع‬
‫النبي‬

“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus bertalbiyah ampai melempar
jumroh Aqobah, Beliau bertakbir setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah
bersama akhir batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan beliau berkata
:” ini hadit hahih yang menafsirkan apa yang belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain).

Anda mungkin juga menyukai