Anda di halaman 1dari 90

AQIDAH

AGAMA ISLAM

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan
agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat
atas mereka. Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab
itu tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.

Allah ta’ala berfirman,

َ ‫َّما َكانَ ُم َح َّم ٌد أَبَا أَ َح ٍد ِّمن رِّ َجالِ ُك ْم َولَ ِكن َّرس‬
ً ‫ُول هَّللا ِ َوخَاتَ َم النَّبِيِّينَ َو َكانَ هَّللا ُ بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِيما‬

“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki diantara kalian, akan tetapi
dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)

Allah ta’ala juga berfirman,

ً ‫اإل ْسالَ َم ِدينا‬


ِ ‫يت لَ ُك ُم‬
ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوأَ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬ ُ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل‬

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah cukupkan nikmat-
Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman,

‫إِ َّن ال ِّدينَ ِعن َد هّللا ِ ا ِإل ْسالَ ُم‬


“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Allah ta’ala berfirman,

َ‫َو َمن يَ ْبت َِغ َغ ْي َر ا ِإل ْسالَ ِم ِدينا ً فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُ َوهُ َو فِي اآل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخَ ا ِس ِرين‬

“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima darinya
dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan
memeluk agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫وا بِاهّلل ِ َو َرسُولِ ِه النَّبِ ِّي‬ ْ ُ‫يت فَآ ِمن‬ُ ‫ض ال إِلَـهَ إِالَّ هُ َو يُحْ يِـي َويُ ِم‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ُ ‫قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي َرسُو ُل هّللا ِ إِلَ ْي ُك ْم َج ِميعا ً الَّ ِذي لَهُ ُم ْل‬
ِ ‫ك ال َّس َما َوا‬
َ‫األُ ِّم ِّي الَّ ِذي ي ُْؤ ِمنُ بِاهّلل ِ َو َكلِ َماتِ ِه َواتَّبِعُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُدون‬

“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi kalian
semua, Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq
selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah
dan Rasul-Nya seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta
kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)

Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang artinya,
“Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia dari umat
ini yang mendengar kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas dia
meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia pasti
termasuk salah seorang penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa dengan
disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka
Abu Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam walaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi
bahwasanya Islam adalah agama yang terbaik.

Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-
agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-
agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap
tempat dan di masyarakat manapun. Allah ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,

ِ ‫صدِّقا ً لِّ َما بَ ْينَ يَ َد ْي ِه ِمنَ ْال ِكتَا‬


ً ‫ب َو ُمهَ ْي ِمنا‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
َ ‫ق ُم‬ َ ‫َوأَن َز ْلنَا إِلَ ْيكَ ْال ِكت‬

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar kitab-kitab
yang terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)

Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap masa, tempat dan masyarakat
adalah dengan berpegang teguh dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan
umat tersebut di masa kapan pun dan di tempat manapun. Bahkan dengan Islamlah keadaan
umat itu akan menjadi baik. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu
cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam tunduk kepada kemauan setiap
masa, tempat dan masyarakat, sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.

Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan jaminan
pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,

ْ ‫ق لِي‬
َ‫ُظ ِه َرهُ َعلَى الدِّي ِن ُكلِّ ِه َولَوْ َك ِرهَ ْال ُم ْش ِر ُكون‬ ِّ ‫ين ْال َح‬
ِ ‫ه َُو الَّ ِذي أَرْ َس َل َرسُولَهُ بِ ْالهُدَى َو ِد‬
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama yang benar
untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik
tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)

Allah ta’ala berfirman,

‫ضى‬ ِ ْ‫ت لَيَ ْست َْخلِفَنَّهُم فِي اأْل َر‬


َ َ‫ض َك َما ا ْست َْخلَفَ الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ِه ْم َولَيُ َم ِّكن ََّن لَهُ ْم ِدينَهُ ُم الَّ ِذي ارْ ت‬ ِ ‫َو َع َد هَّللا ُ الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِمن ُك ْم َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا‬
ِ َ‫ك فَأُوْ لَئِكَ هُ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬ َ ِ‫لَهُ ْم َولَيُبَ ِّدلَنَّهُم ِّمن بَ ْع ِد َخوْ فِ ِه ْم أَ ْمنا ً يَ ْعبُدُونَنِي اَل يُ ْش ِر ُكونَ بِي َشيْئا ً َو َمن َكفَ َر بَ ْع َد َذل‬

“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman serta beramal salih
diantara kalian untuk menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-
orang sebelum mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah pasti akan meneguhkan
bagi mereka agama mereka, sebuah agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan
Allah pasti akan menggantikan rasa takut yang sebelumnya menghinggapi mereka dengan rasa
tenteram, mereka menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun.
Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An
Nuur: 55)

Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam adalah
ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:

Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.

Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.

Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.

Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.

Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.

Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan durhaka
kepada mereka.
Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus)
dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.

Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap buruk
kepada mereka.

Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan
melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan
melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,

َ‫إِ َّن هّللا َ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوا ِإلحْ َسا ِن َوإِيتَاء ِذي ْالقُرْ بَى َويَ ْنهَى ع َِن ْالفَحْ َشاء َو ْال ُمن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah kepada sanak
kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan
melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil pelajaran.” (QS. An
Nahl: 90)

***

Diterjemahkan dari Syarh Ushul Iman, hal. 5-8, Penerbit Darul Qasim

Penulis: Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah

Diterjemahkan oleh: Abu Muslih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

INILAH PILAR AGAMAMU (1): RUKUN DAN MAKNA ISLAM

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena
dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah
kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun
kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan
materi dunia sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari
Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun
bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu


Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan
kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau
juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada
kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah
sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita
kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

‫َّحي ٌم‬ ٌ ‫َزي ٌز َعلَ ْي ِه َما َعنِتُّ ْم َح ِريصٌ َعلَ ْي ُكم بِ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ َرؤ‬
ِ ‫ُوف ر‬ ِ ‫لَقَ ْد َجاء ُك ْم َرسُو ٌل ِّم ْن أَنفُ ِس ُك ْم ع‬

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau
bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2)
mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada
bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau,
“Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab,
“Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau
menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau
menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril,
“Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab,
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau
beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam
yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits
tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah
sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan
istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan
amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan
Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut
dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak
mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang
durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima
pilar:

Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah.

Menegakkan sholat.

Menunaikan zakat.

Berpuasa pada bulan Romadhon.

Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya
agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan
janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian
islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah
dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya
dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang
yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh
Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam,
Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam
dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga
agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri
pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan
sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari
kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama
pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman
beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah
Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ‫َما َكانَ إِ ْب َرا ِهي ُم يَهُو ِديّا ً َوالَ نَصْ َرانِيّا ً َولَ ِكن َكانَ َحنِيفا ً ُّم ْسلِما ً َو َما َكانَ ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah
seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,

‫هُ َو َس َّما ُك ُم ْال ُم ْسلِمينَ ِمن قَ ْب ُل‬

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya
syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa
embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah
agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-
orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim
yang beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang
berarti berserah diri.

***

Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)

Murojaah: Ust. Aris Munandar

Artikel www.muslim.or.id

INILAH PILAR AGAMAMU (2): RUKUN DAN MAKNA ISLAM

Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat

Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan sholat lima waktu.
Bahkan sholat ini adalah pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan
antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu seorang muslim haruslah memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal
yang sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang meremehkan masalah
sholat bahkan terkadang lalai dari mengerjakannya.

Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar, sholat Magrib, Sholat Isya dan
Sholat Subuh. Inilah sholat lima waktu yang wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita
simak sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau berkata, “Sholat lima waktu
diwajibkan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu,
kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau diseru, “Wahai Muhammad
sesungguhnya perkataan-Ku tidak akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50
waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

ً‫ق اللَّ ْي ِل َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر إِ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُودا‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬
ِ ُ‫صالَةَ لِ ُدل‬
ِ ‫وك ال َّش ْم‬
ِ ‫س إِلَى َغ َس‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)

Pada firman Allah,

‫ق اللَّي ِْل‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬


ِ ُ‫صالَةَ لِ ُدل‬
ِ ‫وك ال َّش ْم‬
ِ ‫س إِلَى َغ َس‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam.”

Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur sampai dengan Isya kemudian
pada firman-Nya,

ً‫َوقُرْ آنَ ْالفَجْ ِر إِ َّن قُرْ آنَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُودا‬

“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
terkandung di dalamnya perintah mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al
Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).

Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Adapun
seorang muslim yang hilang kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat
berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau
berkata, “Pena diangkat dari tiga golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak
kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan
4370 Lihat di Shohih Jami’us Shaghir 3513 ).

Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh anaknya untuk sholat agar
melatih sang anak menjaga sholat lima waktu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perintahkanlah anak kalian yang sudah berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan
pukullah mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka berumur 10 tahun dan
pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)

Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat

Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫صاَل ةَ َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاةَ َو َذلِكَ ِدينُ ْالقَيِّ َم ِة‬ ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُدُوا هَّللا َ ُم ْخل‬
َّ ‫صينَ لَهُ ال ِّدينَ حُ نَفَاء َويُقِي ُموا ال‬

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam orang-orang yang tidak mau
membayar zakatnya,

ُ ‫ير‬
‫اث‬ َ ‫وا بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َوهّلِل ِ ِم‬
ْ ُ‫َوالَ يَحْ َسبَ َّن الَّ ِذينَ يَبْخَ لُونَ بِ َما آتَاهُ ُم هّللا ُ ِمن فَضْ لِ ِه ه َُو َخيْراً لَّهُ ْم بَلْ ه َُو َش ٌّر لَّهُ ْم َسيُطَ َّوقُونَ َما بَ ِخل‬
‫ض َوهّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ال َّس َما َوا‬

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan
itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Abu Hurairoh dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh Allah
namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia akan menghadapi ular jantan yang
botak kepalanya karena banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan mengalunginya pada
hari kiamat. Kemudian ular tersebut menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta
simpananmu, aku adalah hartamu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca
ayat,

ُ ‫ير‬
‫اث‬ َ ‫وا بِ ِه يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َوهّلِل ِ ِم‬
ْ ُ‫َوالَ يَحْ َسبَ َّن الَّ ِذينَ يَبْخَ لُونَ بِ َما آتَاهُ ُم هّللا ُ ِمن فَضْ لِ ِه ه َُو َخيْراً لَّهُ ْم بَلْ ه َُو َش ٌّر لَّهُ ْم َسيُطَ َّوقُونَ َما بَ ِخل‬
‫ض َوهّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ٌر‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ِ ‫ال َّس َما َوا‬

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka
dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan
itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180)

Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan

Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yaitu berpuasa selama
satu bulan penuh pada bulan Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan
suami istri serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ت فَ َمن َكانَ ِمن ُكم َّم ِريضا ً أَوْ َعلَى‬ ٍ ‫ب َعلَى الَّ ِذينَ ِمن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُونَ أَيَّاما ً َّم ْعدُودَا‬ َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬ ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬
َ ِ‫وا ُكت‬
ْ ‫ين فَ َمن تَطَ َّو َع خَ يْراً فَه َُو خَ ْي ٌر لَّهُ َوأَن تَصُو ُم‬
َ‫وا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬ ٍ ‫َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر َو َعلَى الَّ ِذينَ ي ُِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬
ُ َ‫ان فَ َمن َش ِه َد ِمن ُك ُم ال َّشه َْر فَ ْلي‬
ِ َ‫ت ِّمنَ ْالهُدَى َو ْالفُرْ ق‬ ُ َ ‫ضانَ الَّ ِذ‬
ُ‫ص ْمه‬ ٍ ‫اس َوبَيِّنَا‬ ِ َّ‫نز َل فِي ِه ْالقُرْ آنُ هُدًى لِّلن‬ ِ ‫يأ‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan
kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman,
seluruh amal anak cucu Adam adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku
dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika kalian berpuasa, maka janganlah
kalian berbicara kotor atau dengan berteriak-teriak. Jika ada yang menghina kalian atau
memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa” sebanyak dua kali. Demi Zat yang
jiwa Muhammad berada di tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah
dibandingkan bau minyak kesturi pada hari kiamat nanti. Orang yang berpuasa mendapatkan
dua kebahagiaan, bahagia ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa ketika
bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam
surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya orang-orang yang
sering berpuasa yang akan memasuki pintu tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang
yang berpuasa?” kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain mereka tidak
bisa masuk. Jika mereka sudah masuk, maka tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang
masuk selain mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu

Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika mampu sekali seumur hidup.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬
‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع إِلَ ْي ِه َسبِي‬ ِ َّ‫َوهّلِل ِ َعلَى الن‬

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairoh, “Umroh yang satu dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara
keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun
‘alaihi)

Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada
kalian ibadah haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki yang berkata, “Apakah
pada setiap tahun wahai Rasulullah?” kemudian beliau terdiam sampai-sampai laki-laki itu
bertanya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Seandainya aku katakan Iya, niscaya
akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena
sesungguhnya sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi
nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka lakukan semampu kalian dan jika aku melarang
sesuatu maka jauhilah.” (HR. Muslim).

Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim bin
Badawi menjelaskan bahwa kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3 hal
yaitu:

Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa ada seorang wanita dari Ja’tsam
yang mengadu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah sesungguhnya
ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya sudah tua dan ia tidak mampu menaiki
tunggangannya, apakah aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan memiliki bekal untuk kebutuhan
orang-orang yang wajib dia beri nafkah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia menyia-nyiakan orang yang wajib
dia nafkahi.” (HR. Abu Daud)

Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena menunaikan haji padahal kondisi tidak
aman adalah sebuah bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang disyariatkan.

Rujukan:

Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz Alu Syaikh

Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul, Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al
Watr

Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul ‘azhim Badawi

Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin)

***

Penulis: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)

Murojaah: Ust. Aris Munandar

Artikel www.muslim.or.id

ISLAM, IMAN, DAN IHSAN

Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud
seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia
menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai
pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan
Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu
siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih
tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk
mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di
dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi
nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini
mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu
engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon
dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu
Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu
terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah
amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman
kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau
beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud
disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam
dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu
islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan
amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau
iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku
telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah
mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada
Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah)
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara
faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia
melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang
paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia
berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa
takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak
bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu
menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman
maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada
iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas
daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari
orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya
iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-
orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-
orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti
muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam
hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim
itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini
keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota
badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman
yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu
mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian
mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah
bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih
tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih
tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At
Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini
menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di
kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang
syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan
penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah
berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai
keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari
petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR.
Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan
mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah
mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

AGAMA ISLAM UNTUK SELURUH MANUSIA

Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya adalah beliau diutus oleh Allah
untuk seluruh manusia dan jin. Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk
umatnya masing-masing.

Allah Ta’ala berfirman:

‫يت فَئَا ِمنُوا بِاهللِ َو َرسُولِ ِه النَّبِ ِّي‬ ُ ‫ض آل إِلَهَ إِالَّ ه َُو يُحْ ِي َويُ ِم‬ ِ ْ‫ت َو ْاألَر‬ ُ ‫قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي َرسُو ُل هللاِ إِلَ ْي ُك ْم َج ِميعًا الَّ ِذي لَهُ ُم ْل‬
ِ ‫ك ال َّس َما َوا‬
ُ
َ‫ْاأل ِّم ِّي الَّ ِذي ي ُْؤ ِمنُ بِاهللِ َو َكلِ َماتِ ِه َواتَّبِعُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُدون‬

Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua, yaitu
Alloh yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain
Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Alloh dan
RosulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-
kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. [QS. Al-A’rof (7): 158]

Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua”, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh manusia,
sebagaimana firman Allah,
ِ َّ‫اس بَ ِشيرًا َونَ ِذيرًا َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬
َ‫اس الَ يَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫َو َمآ أَرْ َس ْلنَا‬
ِ َّ‫ك إِالَّ َكآفَّةً لِلن‬
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa
berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui.
[QS. Saba’ (34): 28]

Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar dakwah agama Islam, agama yang dibawa
oleh Nabi Muhammad , yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman, tidak
percaya dan tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan di akhirat menjadi penghuni neraka,
kekal selamanya. Allah Ta’ala berfirman,

ِ َّ‫ك َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬


َ‫اس الَ ي ُْؤ ِمنُون‬ ُّ ‫ك فِي ِمرْ يَ ٍة ِّم ْنهُ إِنَّهُ ْال َح‬
َ ِّ‫ق ِمن َّرب‬ ِ ‫َو َمن يَ ْكفُرْ بِ ِه ِمنَ ْاألَحْ زَا‬
ُ َ‫ب فَالنَّا ُر َموْ ِع ُدهُ فَالَ ت‬

Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir
kepada al-Qur’an, maka nerakalah tempat yang diancam-kan baginya, karena itu janganlah
kamu ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu benar-benar dari
Robbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. [QS. Hud (11): 17]

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ُ ‫وت َولَ ْم ي ُْؤ ِم ْن بِالَّ ِذي أُرْ ِس ْل‬


‫ت بِ ِه إِالَّ َكانَ ِم ْن‬ ٌّ ‫َوالَّ ِذي نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه الَ يَ ْس َم ُع بِي أَ َح ٌد ِم ْن هَ ِذ ِه ْاألُ َّم ِة يَهُو ِد‬
ُ ‫ي َوالَ نَصْ َرانِ ٌّي ثُ َّم يَ ُم‬
ِ ‫أَصْ َحا‬
ِ َّ‫ب الن‬
‫ار‬

Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah seorangpun di kalangan umat ini,
Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman kepada
apa yang aku diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk para peng-huni neraka. [Hadits Shohih
Riwayat Muslim, no: 153, dari Abu Huroiroh]

NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA


Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka semua di utus khusus kepada
umatnya masing-masing. Perkara ini merupakan perkara yang telah pasti di dalam agama Islam,
sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini,

‫ت‬ْ َ‫يرةَ َشه ٍْر َو ُج ِعل‬


َ ‫ب َم ِس‬ ِ ‫ت بِالرُّ ْع‬ ُ ْ‫صر‬ ِ ُ‫يت خَ ْمسًا لَ ْم يُ ْعطَه َُّن أَ َح ٌد قَ ْبلِي ن‬ ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل أُ ْع ِط‬
َ ‫ي‬ َّ ِ‫ع َْن َجابِ ِر ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ أَ َّن النَّب‬
ُ ‫ت لِي ْال َمغَانِ ُم َولَ ْم تَ ِح َّل أِل َ َح ٍد قَ ْبلِي َوأُ ْع ِط‬
َ‫يت ال َّشفَا َعة‬ ْ َّ‫ُصلِّ َوأُ ِحل‬ َّ ‫لِي اأْل َرْ ضُ َم ْس ِجدًا َوطَهُورًا فَأَيُّ َما َر ُج ٍل ِم ْن أُ َّمتِي أَ ْد َر َك ْتهُ ال‬
َ ‫صاَل ةُ فَ ْلي‬
ً‫اس عَا َّمة‬ ُ ‫صةً َوبُ ِع ْث‬
ِ َّ‫ت إِلَى الن‬ َّ ‫ث إِلَى قَوْ ِم ِه خَ ا‬ ُ ‫َو َكانَ النَّبِ ُّي يُ ْب َع‬

Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku diberi (oleh Allah) lima
perkara, yang itu semua tidak diberikan kepada seorang-pun sebelumku.

Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum kedata-nganku) sejauh
perjalanan sebulan;

Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat) dan alat bersuci (untuk
tayammum-pen). Maka siapa saja dari umatku yang (waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia
sholat.

Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu tidaklah halal untuk
seorangpun sebelumku.

Aku diberi syafa’at (oleh Allah).

Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada kaumnya, sedangkan aku diutus
kepada manusia semuanya.

[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]

Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama mereka ke berbagai pelosok
dunia. Mereka menisbatkan agama mereka kepada Nabi Isa bin Maryam , yang mereka
menyebutnya dengan Yesus. Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus kepada Bani Isroil.
Allah Ta’ala berfirman,

ُ‫ي ِمنَ التَّوْ َرا ِة َو ُمبَ ِّشرًا بِ َرسُو ٍل يَأْتِي ِمن بَ ْع ِدي ا ْس ُمه‬ َ ‫َوإِ ْذ قَا َل ِعي َسى ابْنُ َمرْ يَ َم يَا بَنِي إِ ْس َرا ِءي َل إِنِّي َرسُو ُل هللاِ إِلَ ْي ُكم ُّم‬
َّ ‫ص ِّدقًا لِّ َما بَ ْينَ يَ َد‬
‫أَحْ َم ُد‬

Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil, sesungguhnya aku adalah
utusan Alloh kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan
memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rosul yang akan datang sesudahku, yang
namanya Ahmad (Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff
(61): 6]

SYARAT SYAHADAT LAA ILAAHA ILLALLAH

Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha Illalloh memiliki delapan syarat:

1. Ilmu

Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk
mengucapkan kalimat syahadat ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh
berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Alloh tidak dapat memberi
syafa’at; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang hak
(tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86). Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk surga.”
(HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak
ada sesembahan yang haq melainkan Alloh Ta’ala.

2. Yakin

Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya sehingga tidak mudah terombang-
ambing oleh berbagai cobaan. Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang engkau jumpai dari balik dinding
ini dia bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira
untuknya bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)

3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak menerima dakwah Nabi
Muhammad dalam firman-Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Alloh) mereka
menyombongkan diri. Dan mereka berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (As Shoffat: 35-36)

Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia. Inilah sifat orang kafir, tidak
menerima kebenaran kalimat Laa ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak
disembah dan diibadahi.

4. Tunduk

Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin. Alloh berfirman, “Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Alloh-
lah kesudahan segala urusan.” (Luqman: 22)

Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti
ajaranku.” (HR. Thabrani)

5. Jujur

Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang
benar (jujur) dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan
Muhammad hamba Alloh dan rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan
neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah bagaimana syahadat orang munafik
ditolak oleh Alloh karena tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang munafik
datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar
Rasul Alloh.’ Dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan
Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.”
(Al Munafiqun: 1)

6. Ikhlas

Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak kepada selain-Nya. Alloh
berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan
mengikhlaskan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya
mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(Al Bayyinah: 5)

Apa yang dimaksud dengan ikhlas?

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh mengharamkan bagi neraka
menyentuh orang yang mengatakan Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah
Alloh.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

7. Cinta

Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang
berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan
itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka
menyesal).” (Al Baqoroh: 165)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal barangsiapa memilikinya pasti akan
merasakan kelezatan iman: Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya, dia
mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk kembali kafir sebagaimana
kebenciannya jika dilempar ke dalam api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)

8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.

Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho disembah/diibadahi. Alloh berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar
daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thoghut dan beriman
kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqoroh: 256)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh dan
mengingkari sesembahan selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang perhitungannya
adalah terserah kepada Alloh Azza Wa Jalla.” (HR. Muslim)

Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali jika sekedar dihafalkan, tanpa
diamalkan. apakah kita sudah mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat
ini dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum terlambat. Berbenahlah!
Semoga kita bertemu dengan Alloh sebagai seorang yang bertauhid, bukan sebagai seorang
musyrik. Wal ‘iyaadzu billah.

***

Penulis: Nurdin Abu Yazid

Artikel www.muslim.or.id

3 POKOK AJARAN ISLAM

Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al Ashr:
1-3)

Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu.” (Al Hujurot: 13)
Pokok Ajaran Islam

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling sempurna,
karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan
negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh berfirman, “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)

Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya


Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab
Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini menunjukkan sempurnanya agama
Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh
kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan
Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.

Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok ajarannya hanyalah kembali
pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul
yang diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa yang tidak melaksanakan
ketiga hal ini pada hakikatnya dia bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang
semacam ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh seorang penyair,

Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,

namun laila tidak mengakui perkataan mereka

Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid

Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid, yakni mengesakan Alloh dalam
setiap peribadahan kita. Tidak boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-
Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi. Dia lah yang telah menciptakan
kita, memberi rizki kita dan mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita
kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun pada diri kita?
Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan pertolongan bahkan terhadap diri
mereka sendiri sekali pun. Alloh berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan
berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang berhala-berhala itu sendiri
yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para
penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat
memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)

Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun kekuasaan di alam semesta ini.
Alloh berfirman, “Dan orang-orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan
kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada hari
kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberi
keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)

Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan

Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan kepatuhan yang mutlak kepada Alloh.
Dan inilah sebenarnya yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya. Penyerahan dan
perendahan semata tidak cukup apabila tidak disertai ketundukan terhadap perintah-perintah
Alloh dan Rosul-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya karena taat
kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya semata, berharap dengan balasan yang ada di
sisi-Nya serta takut akan adzab-Nya.

Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada ujian yang membuktikan
kebenaran pengakuan tersebut. Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya
Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang
yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)

Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh dan Rosul-Nya telah
menetapkan keputusan. Alloh berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan
tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.”
(Al Ahzab: 36)

Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan Rosul-Nya akan tetapi mereka
mentaatinya lahir maupun batin. Alloh berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang
beriman, bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul menghukum di antara
mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (An Nur: 51)

Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya

Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan larangan Alloh, maka
konsekuensi dari benarnya keimanannya maka ia juga harus berlepas diri dan membenci
perbuatan syirik dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan sebenar-benarnya
sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal
syirik adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa yang paling
besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh,
padahal Allohlah Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan kasih sayang-
Nya kepada kita semua.

Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis
salam agar berlepas diri dan memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh berfirman,
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Alloh, kami
mengingkari kamu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.'” (Al-Mumtahanah: 4)

Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada persatuan agama-agama
sebagaimana yang didakwakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah
memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang lurus! Demikian pula Nabi
Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala
bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga pokok ajaran Islam yang harus kita
ketahui dan pahami bersama untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang
yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan syari’ah ini dibangun. Maka kita
mohon kepada Alloh semoga Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami
agama ini, serta diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…

***

Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf bin Munasir

Artikel www.muslim.or.id

4 KAIDAH UTAMA DALAM MEMAHAMI TAUHID

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang agung semoga Dia melindungimu
di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di
manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di
antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa
cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal
itulah tonggak kebahagiaan.

Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya, Al Hanifiyah yaitu agama
yang diajarkan oleh Ibrahim ialah beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama
(amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada segenap umat manusia dan
hikmah penciptaan mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]: 56).
Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila
disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak bisa disebut shalat apabila tidak
disertai dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka apabila syirik
menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak. Sebagaimana apabila ada hadats
yang muncul pada diri orang yang sudah bersuci.
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan
menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya
menjadi tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara
terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan
dirimu dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah. Allah ta’ala berfirman
tentang syirik ini (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-
Nya.” (QS. An Nisaa’ [4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari
empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan.
Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki
kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan
penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta
mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka
pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau
bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)

Kaidah Kedua

Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka


(sesembahan selain Allah, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka
melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allah, pen) dan untuk
mendapatkan syafa’at.”

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allah
ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong
(sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena
bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’
Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang
mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang
yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39]: 3)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan
yang mereka perbuat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada
selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula
menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi
syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus [10]: 18)

Syafa’at ada dua macam:

Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.

Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah dalam urusan yang hanya
dikuasai oleh Allah. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-
orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum
tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan
orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]: 254)

Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allah. Orang yang diperkenankan
memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan syafa’at tersebut.
Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai
Allah, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah, pen). Hal ini sebagaimana
difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya
kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)

Kaidah Ketiga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki


peribadatan yang beraneka ragam. Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada
pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada juga di antara mereka yang
beribadah kepada pohon dan batu. Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan.
Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa
sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama
(amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya
(yang artinya), “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan
bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu
kepada Allah yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-
Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allah ta’ala
(yang artinya), “Dan Allah tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi
sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya yang artinya,
“Ingatlah ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada
manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allah’? Maka Isa
berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan
menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau
mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah
[5]: 116)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang salih adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb
mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan
curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)

Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang
Maha Tinggi (yang artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu
sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]: 19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits
Abu Waqid Al Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami berangkat bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan
baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon
yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-
senjata mereka. Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut.
Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Dzatu Anwath seperti
Dzatu Anwath yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218].
Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)

Kaidah Keempat

Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang
musyrik zaman dahulu. Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan
beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun orang-orang musyrik di masa kita
melakukan syirik secara terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apabila mereka sudah naik di
atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada
Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allah selamatkan
mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)

Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muhammad,
segenap pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.

***

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At Tamimi

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

AGAR IBADAH DI TERIMA DISISI ALLAH

Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu kecuali dengan hikmah yang
agung. Alloh berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah hafal tujuan tersebut karena
sering kita dengar, tapi pernahkah terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima
ataukah tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin hal ini, sehingga sudah
seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap
agar ia mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh dalam Al Qur’an dan
cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang
ia lakukan dan merasa bahwa ibadahnya pasti diterima.

Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang
yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
(Al Kahfi: 103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini? yang telah beramal
dengan susah payah sewaktu masih hidup di dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh
Alloh Ta’ala.

Apakah Makna Ibadah?

Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk. Sedang secara istilah, ulama
banyak memberikan makna. Namun makna yang paling lengkap adalah seperti yang
didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi segala
perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala.
Dengan demikian ibadah terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah
anggota badan.

Syarat Diterimanya Amal Ibadah

Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang diterima bila memenuhi dua
syarat, yaitu Ikhlash dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wassalam).
Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal
sholih maksudnya yaitu melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah diajarkan oleh
Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya
untuk Alloh semata.

Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Alloh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah
hanya kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti syari’at Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam.

Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat pertama (persaksian tiada
sesembahan yang benar kecuali Alloh semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk
mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja. Sedang syarat kedua (mutaba’ah)
adalah konsekuensi dari syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa
sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).

Ikhlash dalam Ibadah

Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh semata. Walaupun seseorang
beribadah siang dan malam, jika tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut.
Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al
Bayyinah: 5)

Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi hatinya, kemanakah maksud
hati tatkala ia beribadah, apakah untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis
amal-amal berikut:

Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya supaya dilihat makhluk atau
karena tujuan duniawi. Amalan seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya
pantas mendapat murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada Alloh dan disertai riya’ dari sejak
awalnya, maka nash-nash yang shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus.
Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’. Seperti jihad yang diniatkan
untuk Alloh dan karena menghendaki harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang
pahalanya dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.

Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian terbesit riya’ di tengah-tengah, maka
amalan ini terbagi menjadi dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau maka
riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun jika riya’ tersebut selalu menyertai
amalannya maka pendapat terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak
batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al Bashri. Namun dia tetap berdosa
karena riya’nya tersebut dan tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus.
Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat pujian sehingga dia senang dengan
pujian tersebut, maka hal ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.

Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam

Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu
yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah
Alloh kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Dan seluruh kebaikan
telah diajarkan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada
dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena menganggap ini baik, padahal
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya,
“Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik?
Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal dan
perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau merasa lebih taqwa dan sholih
ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah)
yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
beberapa hal:

Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut
adalah bid’ah dan tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam
dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj Rosululloh
shollallohu ‘alaihi wa sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi
karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab
tersebut hukumnya bid’ah.
Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya.
Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.

Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja menambah bilangan raka’at sholat
zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai
dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan
orang-orang yang berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan
tertentu, baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak
mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.

Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan cara membasuh tangan dan
muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.

Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan
Dzulhijjah, maka tidak sah, karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari
tasyriq saja.

Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya.
Sebab tempat i’tikaf hanyalah di Masjid.

Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita
menjadikan ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya
dengan syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam setiap
tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian kita semua menjadi
hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish showaab.

***

Penulis: Bambang Abu Abdirrohman Al Atsary Al Bayaty

Artikel www.muslim.or.id
AWAS SYIRIK !!!

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah,
keluarganya, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du,
sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan adalah jalan
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah
pasti sesat.

Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam kitabnya yang mulia,

‫إِ َّن هّللا َ الَ يَ ْغفِ ُر أَن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ َذلِكَ لِ َمن يَ َشا ُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan Dia akan
mengampuni dosa lainnya yang berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang dikehendaki
oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 116)

Pengertian dan Ruang lingkup Syirik

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah ta’ala dalam perkara yang termasuk
kategori kekhususan yang hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan Allah itu meliputi
tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta, mengatur alam, menguasainya,
mengabulkan do’a dan lain-lain. Kedua; hak uluhiyah, seperti berhak untuk diibadahi, menjadi
tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan perlindungan, tujuan dalam melaksanakan
persembahan atau sembelihan, menjadi tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai
dengan ketundukkan. Ketiga, hak kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-sifat, seperti
menyandang nama Allah, Ar Rabb dan Ar Rahman, atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib,
Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun yang
menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu bisa terjadi dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan
sifat-Nya.
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang bisa membersihkan diri dari
ketiga macam syirik ini dalam penghambaaan dan tauhidnya kepada Allah, dia mengesakan Zat-
Nya, beribadah hanya kepada-Nya dan mengesakan sifat-sifatNya, maka dialah muwahhid
sejati. Dialah pemilik berbagai keutamaan khusus yang dimiliki oleh kaum yang bertauhid. Dan
barangsiapa yang kehilangan salah satu bagian darinya maka kepadanyalah tertuju ancaman
yang terdapat dalam firman Allah ta’ala, semacam, “Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya
akan terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang yang merugi”.
Camkanlah perkara ini, sebab inilah perkara terpenting dalam masalah akidah…” (Al ‘Aqidah
Ath Thahawiyah, Syarh wa Ta’liq, hal. 17-18) Adapun yang sering disebut dengan syirik saja oleh
para ulama maka yang dimaksud adalah syirik dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang akan
kita bicarakan sekarang. Yaitu syirik dalam hal ibadah.

Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan

Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang hendaknya kita perhatikan
dengan seksama. Dalil-dalil itu akan menggambarkan kepada kita sebuah gambaran
mengerikan dan sangat menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan. Semoga Allah
menyelamatkan diri kita darinya.

Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,

‫إِ َّن هّللا َ الَ يَ ْغفِ ُر أَن يُ ْش َركَ بِ ِه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ َذلِكَ لِ َمن يَ َشا ُء‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan
mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehndaki
oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan 116)

Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang berbuat syirik. Allah ta’ala
berfirman,
‫ار‬ َ َ‫إِنَّهُ َمن يُ ْش ِر ْك بِاهّلل ِ فَقَ ْد َح َّر َم هّللا ُ َعلَي ِه ْال َجنَّةَ َو َمأْ َواهُ النَّا ُر َو َما لِلظَّالِ ِمينَ ِم ْن أ‬
ٍ ‫نص‬

“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sesungguhnya Allah telah


mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang
penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al Maa’idah: 72)

Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa neraka. Allah ta’ala berfirman,

‫َار َجهَنَّ َم خَالِ ِدينَ فِيهَا أُوْ لَئِكَ هُ ْم َشرُّ ْالبَ ِريَّ ِة‬
ِ ‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ فِي ن‬
ِ ‫إِ َّن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada
di dalam neraka Jahannam dan kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al
Bayyinah: 6)

Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala amal shalih, betapapun banyak
amal tersebut. Allah ta’ala berfirman,

َ‫ك لَئِ ْن أَ ْش َر ْكتَ لَيَحْ بَطَ َّن َع َملُكَ َولَتَ ُكون ََّن ِمنَ ْالخَ ا ِس ِرين‬
َ ِ‫ك َوإِلَى الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبل‬ ِ ُ‫َولَقَ ْد أ‬
َ ‫وح َي إِلَ ْي‬

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para Nabi sebelum engkau, ‘Jika kamu
berbuat syirik maka pastilah seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar akan
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)

Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala berfirman,

ِ ‫ك لَظُ ْل ٌم ع‬
‫َظي ٌم‬ َ ْ‫ي اَل تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ إِ َّن ال ِّشر‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
َّ َ‫ال لُ ْق َمانُ اِل ْبنِ ِه َوهُ َو يَ ِعظُهُ يَا بُن‬
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Allah ta’ala juga berfirman,

ِ ‫َاب َو ْال ِمي َزانَ لِيَقُو َم النَّاسُ بِ ْالقِس‬


‫ْط‬ َ ‫ت َوأَن َز ْلنَا َم َعهُ ُم ْال ِكت‬
ِ ‫لَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا رُ ُسلَنَا بِ ْالبَيِّنَا‬

“Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan keterangan-keterangan, dan Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al
Hadiid: 25)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para
Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitabNya agar manusia menegakkan yaitu keadilan. Salah satu di
antara keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia adalah pokok terbesar dan pilar penegak
keadilan. Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga syirik merupakan
kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’
wad Dawaa’, hal. 145)

Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya kepada para sahabatnya yang artinya, “Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa-
dosa yang paling besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka para sahabat menjawab,
“Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Berbuat syirik terhadap Allah dan durhaka kepada
kedua orang tua…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka menurut ketetapan syariat Islam dia
berhak dihukum bunuh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak
halal menumpahkan darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga penyebab:
seorang yang sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang membunuh saudaranya
(seagama) atau orang yang meninggalkan agamanya sengaja memisahkan diri dari jama’ah
(murtad dari Islam).” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barang siapa yang
mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan sirna sebagaimana debu-debu
yang beterbangan disapu oleh angin. Allah ta’ala berfirman,

ً‫َوقَ ِد ْمنَا إِلَى َما َع ِملُوا ِم ْن َع َم ٍل فَ َج َع ْلنَاهُ هَبَاء َّمنثُورا‬

“Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka amalkan (sewaktu di dunia) kemudian
Kami jadikan amal-amal itu sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)

Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia akan ditelantarkan oleh Allah.
Allah ta’ala berfirman dalam sebuah hadits qudsi yang artinya, “Aku adalah Zat yang Maha Kaya
dan paling tidak membutuhkan sekutu, oleh sebab itu barang siapa yang beramal dengan suatu
amalan yang dia mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di dalam amalnya itu maka pasti Aku
akan telantarkan dia bersama kesyirikannya itu.” (HR. Muslim)

Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada bahaya Dajjal. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Maukah kalian aku beritahukan tentang
sesuatu yang paling aku khawatirkan mengancam kalian dalam pandanganku dan lebih
menakutkan daripada Al Masih Ad Dajjal?” Maka para sahabat menjawab, “Mau (ya
Rasulullah).” Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang samar. Apabila seseorang mendirikan
shalat sambil membagus-baguskan shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang
memperhatikan shalatnya.” (HR. Ahmad)

Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan terjadi pada generasi terbaik yaitu
para sahabat radhiallahu ‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang
artinya, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah syirik kecil.” Maka beliau
pun ditanya tentangnya. Sehingga beliau menjawab, “Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji orang.”
(HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 951 dan Shahihul Jami’ no. 1551)

Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan oleh bapak para Nabi yaitu
Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa pada dirinya dan pada anak keturunannya. Allah ta’ala
mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim di dalam ayat-Nya,
‫ي أَن نَّ ْعبُ َد األَصْ نَا َم‬
َّ ِ‫َربِّ اجْ َعلْ هَـ َذا ْالبَلَ َد آ ِمنا ً َواجْ نُ ْبنِي َوبَن‬

“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan kepada arca-arca.” (QS.
Ibrahim: 35)

Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain Ibrahim yang bisa merasa aman dari
ancaman bencana (syirik)?!” Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Maka tidak
ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan kecuali orang yang bodoh tentangnya
dan juga tidak memahami sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu
tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-Nya serta larangan dari
perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul Majid, hal. 72).

Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan masih musyrik maka pasti masuk neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa yang menjumpai
Allah (mati) dalam keadaan mempersekutukan sesuatu dengan-Nya maka pasti masuk neraka.”
(HR. Muslim)

Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak akan diterima. Allah ta’ala
berfirman,

ً‫صالِحا ً َواَل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدا‬


َ ً‫فَ َمن َكانَ يَرْ جُو لِقَاء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َمال‬

“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya hendaklah dia beramal
shalih dan tidak mempersekutukan apapun dengan Allah dalam beribadah kepada tuhannya
itu.” (QS. Al Kahfi: 110)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan ayat, “[Maka barangsiapa yang
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya] artinya barangsiapa yang menginginkan pahala
dan balasan kebaikan dari-Nya, [maka hendaklah dia beramal shalih], yaitu amal yang sesuai
dengan syariat Allah. [dan dia tidak mempersekutukan apapun dalam beribadah kepada kepada
Tuhannya] Artinya dia adalah orang yang hanya mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada
sekutu bagi-Nya. Inilah dua buah rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus ikhlas untuk
Allah dan benar yaitu berada di atas tuntunan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 5/154). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya,
“Barang siapa yang mendatangi paranormal kemudian menanyakan sesuatu kepadanya maka
shalatnya tidak akan diterima selama 40 malam.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta dermawan yang terjangkiti
kesyirikan maka akan diadili pertama kali pada hari kiamat dan kemudian dibongkar
kedustaannya lalu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan wajahnya tertelungkup dan
diseret oleh Malaikat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang pertama
kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan
kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun
mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku
berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya
engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.”
Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya
hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan
anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang
diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat
dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan
harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau
dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan
engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian seorang yang
menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia didatangkan kemudian
ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya.
Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku
menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, “Engkau
dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran
supaya disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa kecanduan dengan sesembahannya dan
ditelantarkan oleh Allah. Abdullah bin ‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai kepada
Nabi) bahwasanya beliau bersabda, “Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (jimat dan
semacamnya, red) maka dia akan dibuat bersandar dan tergantung kepadanya.” (HR. Ahmad
dan Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth dalam Takhrij Jami’ul Ushul 7/575)

Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang paling sesat sejagad raya.
Allah ta’ala berfirman,

‫وم ْالقِيَا َم ِة َوهُ ْم عَن ُدعَائِ ِه ْم غَافِ ُل َوإِ َذا حُ ِش َر النَّاسُ َكانُوا لَهُ ْم أَ ْعدَاء‬ َ َ‫َو َم ْن أ‬
ِ َ‫ضلُّ ِم َّمن يَ ْدعُو ِمن دُو ِن هَّللا ِ َمن اَّل يَ ْستَ ِجيبُ لَهُ إِلَى ي‬
َ‫َو َكانُوا بِ ِعبَا َدتِ ِه ْم َكافِ ِرين‬

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru kepada sesembahan-sesembahan
selain Allah, sesuatu yang jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan
sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan apabila umat manusia nanti
dikumupulkan (pada hari kiamat) maka sesembahan-sesembahan itu justru akan menjadi
musuh serta mengingkari peribadatan yang dilakukan oleh para pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)

Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok manusia yang sangat dungu lagi
tidak mau mengambil pelajaran. Allah ta’ala berfirman,

َ‫ض ِمن بَ ْع ِد َموْ تِهَا لَيَقُولُ َّن هَّللا ُ قُ ِل ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ بَلْ أَ ْكثَ ُرهُ ْم اَل يَ ْعقِلُون‬
َ ْ‫َولَئِن َسأ َ ْلتَهُم َّمن نَّ َّز َل ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء فَأَحْ يَا بِ ِه اأْل َر‬

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan
menjawab, “Allah”, Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” tetapi kebanyakan mereka tidak
memahaminya.” (QS. Al ‘Ankabut: 63)
Allah juga berfirman,

ُ ‫ق َشيْئا ً َوهُ ْم ي ُْخلَقُونَ َوالَ يَ ْست َِطيعُونَ لَهُ ْم نَصْ راً َوالَ أَنفُ َسهُ ْم يَن‬
َ‫صرُون‬ ُ ُ‫أَيُ ْش ِر ُكونَ َما الَ يَ ْخل‬

“Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah) sesuatu yang tidak bisa
menciptakan apa-apa dan mereka sendiri pun sebenarnya diciptakan, mereka juga tidak
sanggup memberikan sedikitpun pertolongan dan tidak bisa pula menolong diri mereka
sendiri.” (QS. Al A’raaf: 191-192)

Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,

َ‫ير إِن تَ ْدعُوهُ ْم اَل يَ ْس َمعُوا ُدعَاء ُك ْم َولَوْ َس ِمعُوا َما ا ْستَ َجابُوا لَ ُك ْم َويَوْ َم ْالقِيَا َم ِة يَ ْكفُرُون‬ ْ ِ‫َوالَّ ِذينَ تَ ْد ُعونَ ِمن دُونِ ِه َما يَ ْملِ ُكونَ ِمن ق‬
ٍ ‫ط ِم‬
ٍ ِ‫ك ِم ْث ُل َخب‬
‫ير‬ ‫بِ ِشرْ ِك ُك ْم َواَل يُنَبِّئُ َـ‬

“Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu tidak bisa menguasai setipis kulit
ari sekalipun. Jika kalian menyeru mereka (berhala), maka mereka itu tidak bisa mendengar doa
kalian. Dan seandainya mereka itu bisa mendengar maka mereka juga tidak akan bisa
mengabulkan permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari
perbuatan syirik kalian, dan tiada yang bisa menyampaikan kepadamu tentang hakikat segala
hal sebagaimana (Allah) Zat yang maha mengetahui.” (QS Faathir: 13-14)

Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang berkepribadian rendah dan
tidak yakin dengan kemahakuasaan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Thiyarah (menganggap sial karena melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu)
adalah syirik. Thiyarah adalah syirik…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih, lihat
Al Jadid, hal. 259)

Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat thaghut (sesuatu yang
disembah, ditaati atau diikuti sehingga menjadi sosok tandingan bagi Allah) akan berubah
menjadi penyesalan abadi di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman,
ْ ‫ُوا لَوْ أَ َّن لَنَا َك َّرةً فَنَتَبَرَّأَ ِم ْنهُ ْم َك َما تَبَ َّرؤ‬
‫ُوا‬ ْ ‫ت بِ ِه ُم األَ ْسبَابُ َوقَا َل الَّ ِذينَ اتَّبَع‬ ْ ‫اب َوتَقَطَّ َع‬
َ ‫ُوا َو َرأَ ُو ْا ْال َع َذ‬
ْ ‫ُوا ِمنَ الَّ ِذينَ اتَّبَع‬
ْ ‫إِ ْذ تَبَرَّأَ الَّ ِذينَ اتُّبِع‬
ِ َّ‫َار ِجينَ ِمنَ الن‬
‫ار‬ ِ ‫ت َعلَ ْي ِه ْم َو َما هُم بِخ‬ ٍ ‫ِمنَّا َك َذلِكَ ي ُِري ِه ُم هّللا ُ أَ ْع َمالَهُ ْم َح َس َرا‬

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan
berkatalah orang-orang yang mengikuti; “Seandainya kami dapat kembali ke dunia, pasti kami
akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-
kali mereka tidak akan keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)

Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai sesembahan atau pujaannya
sebagai sekutu dalam hal cinta ibadah maka dia tidak akan bisa merasakan manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ada tiga ciri, barang siapa yang
memilikinya maka dia akan bisa merasakan manisnya iman: (1) Apabila Allah dan Rasul-Nya
lebih dicintai olehnya daripada segala sesuatu selain keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai
seseorang hanya karena Allah saja. (3) Apabila dia merasa begitu benci untuk kembali dalam
kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya sebagaimana orang yang tidak mau
dilemparkan ke dalam kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan diberikan kecukupan oleh Allah.
Allah ta’ala berfirman,

ً‫َو َمن يَت ََو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَهُ َو َح ْسبُهُ إِ َّن هَّللا َ بَالِ ُغ أَ ْم ِر ِه قَ ْد َج َع َل هَّللا ُ لِ ُكلِّ َش ْي ٍء قَ ْدرا‬

“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan tidak menyandarkan hatinya
kepada selain Allah) maka Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyelesaikan
urusannya, dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan waktu bagi segala sesuatu.” (QS.
Ath Thalaq: 3)
Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode busana. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba
Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang tapi kalau tidak diberi maka dia
murka. Binasalah dan rugilah dia…” (HR. Bukhari)

Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang bercorak, sedangkan Khamilah adalah
kain beludru (lihat Al Jadid, hal. 330 dan Fathul Majid, hal. 365).

Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Hadits itu menunjukkan
bahwasanya barang siapa yang menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan akhir kehidupan
serta puncak cita-citanya maka sesungguhnya dia telah menyembahnya dan mengangkatnya
sebagai sekutu selain Allah.” (Al Jadid, hal. 332).

Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa bencana atau siksa yang
sangat pedih dan menyakitkan. Allah ta’ala berfirman,

‫ُصيبَهُ ْم َع َذابٌ أَلِي ٌم‬


ِ ‫صيبَهُ ْم فِ ْتنَةٌ أَوْ ي‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُ َخالِفُونَ ع َْن أَ ْم ِر ِه أَن ت‬

“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan Rasul kalau-kalau mereka
itu akan tertimpa fitnah (bala/bencana) atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)

-bersambung, insya Allah-

***

Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id

IMAN KEPADA ALLAH

Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun ini sangat penting
kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya
membuahkan akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon pertolongan
Allah kami mencoba mengulas permasalah pokok tentang rukun iman yang pertama ini.
Semoga ulasan berikut dapat memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Makna Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan, yakni keyakinan yang pasti
bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur
segala sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Semua sesembahan selain Dia adalah sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya
adalah kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,

‫ق َوأَ َّن َمايَ ْد ُعونَ ِمن دُونِ ِه ه َُو ْالبَا ِط ُل َوأَ َّن هللاَ ه َُو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬
ُّ ‫ك بِأ َ َّن هللاَ هُ َو ْال َح‬
َ ِ‫َذل‬

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)

Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan mulia, tersucikan dari segala
kekurangan dan cacat. Ini merupakan perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah,
tauhid uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah mengandung tiga macam
tauhid ini, karena makna iman kepada Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan Allah
Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil
I’tiqaad, Syaikh Sholeh al Fauzan).

Cakupan Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah mencakup empat perkara :


Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.

Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah

Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah

Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.

Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas. Barangsiapa yang tidak beriman
kepada salah satu saja maka dia bukan seorang mukmin. (Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Dalil Tentang Keberadaan Allah

Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan
dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan dalil syariat.

Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk yang ada di alam ini, baik yang
sudah ada maupun yang akan datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu
mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan sendirinya tanpa ada yang
menciptakan.

Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah. Seluruh makhluk telah diciptakan
untuk beriman kepada penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk yang
berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh sesuatu yang dapat memalingkannya dari
fitrah itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap anak lahir dalam
keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan
Majusi” (HR. Bukhari dan Muslim).

Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang keberadaan Allah. Kita semua bisa
menyaksikan dikabulkannya permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-
orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti) akan adanya Allah. Demikian pula
ayat-ayat (tanda-tanda) para nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia atau
yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan adanya Dzat yang mengutus mereka,
yaitu Allah Ta’ala. Sebab, kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada
umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala untuk mengokohkan dan
memenangkan para rasul-Nya.

Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah. Sebab kitab-kitab samawi
seluruhnya menyatakan demikian. Apa saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa
hukum-hukum yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa hal itu datang
dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita
yang berkenaan dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan bukti bahwa
kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mencipta apa yang diberitakan itu.
(Simak pembahasan lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah dan Kitab
Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).

Iman terhadap Rububiyah

Maksudnya adalah beriman bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang tidak mempunyai
sekutu. Rabb adalah Dzat ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada yang
dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali Allah, serta tiada yang berhak
memerintahkan kecuali Allah. Allah Ta’ala berfirman,

‫س َو ْالقَ َم َر‬ ْ َ‫ار ي‬


َ ‫طلُبُهُ َحثِيثًا َوال َّش ْم‬ َ َ‫ش يُ ْغ ِشى الَّي َْل النَّه‬ ِ ْ‫ض فِي ِستَّ ِة أَي ٍَّام ثُ َّم ا ْست ََوى َعلَى ْال َعر‬
َ ْ‫ت َو ْاألَر‬ َ َ‫إِ َّن َربَّ ُك ُم هللاُ الَّ ِذي َخل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
َ‫ك هللاُ َربُّ ْال َعالَ ِمين‬ َ َ‫ق َو ْاألَ ْم ُر تَب‬
َ ‫ار‬ ْ ‫ت بِأ َ ْم ِر ِه أَالَلَهُ ْال‬
ُ ‫خَل‬ ٍ ‫َوالنُّجُو َم ُم َس َّخ َرا‬

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah Allah Ta’ala kecuali karena
sombong. Namun sebenarnya ia tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat
pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,

‫فَقَا َل أَنَا َربُّ ُك ُم ْاألَ ْعلَى‬

“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An Nazi’at: 24)

‫صرْ حًا لَّ َعلِّي أَطَّلِ ُع إِلَى إِلَ ِه ُمو َسى‬ ُ ‫َوقَا َل فِرْ عَوْ نُ يَآأَيُّهَا ْال َمألُ َما َعلِ ْم‬
َ ‫ت لَ ُكم ِّم ْن إِلَ ٍه َغي ِْري فَأَوْ قِ ْد لِي يَاهَا َمانُ َعلَى الطِّي ِن فَاجْ َعل لِّي‬
َ‫َوإِنِّي ألَظُنُّهُ ِمنَ ْال َكا ِذبِين‬

“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.
Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang
tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin
bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)

Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َو َج َحدُوا بِهَا َوا ْستَ ْيقَنَ ْتهَآ أَنفُ ُسهُ ْم ظُ ْل ًما َو ُعلُ ًّوا فَانظُرْ َك ْيفَ َكانَ عَاقِبَةُ ْال ُم ْف ِس ِدين‬

“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang
berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).

Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengakui rububiyah Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah. Allah Ta’ala
berfirman,
َ‫َولَئِن َسأ َ ْلتَهُم َّم ْن خَ لَقَهُ ْم لَيَقُولُ َّن هللاُ فَأَنَّى ي ُْؤفَ ُكون‬

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari
menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al
‘Utsaimin)

Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup. Buktinya kaum musyrikin tetap
diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka mengakui tentang
rububiyah Allah.

Iman Kepada Uluhiyah

Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Disebut tauhid uluhiyah
karena penisbatannya kepada Allah dan disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada
makhluk. Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah dalam ibadah karena
hanya Allah satu-satunya yang berhak diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,

ِ َ‫ق َوأَ َّن َمايَ ْد ُعونَ ِمن دُونِ ِه ْالب‬


‫اط ُل‬ ُّ ‫ك بِأ َ َّن هللاَ هُ َو ْال َح‬
َ ِ‫َذل‬

” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan sesungguhnya yang mereka
seru selain Alloh, itulah yang batil” (QS. Luqman: 30).

Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini. Karena itulah Allah mengutus para
rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,

‫ك ِمن َّرسُو ٍل إِالَّنُو ِحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ آل إِلَهَ إِآل أَنَا فَا ْعبُدُو ِن‬
َ ِ‫َو َمآأَرْ َس ْلنَا ِمن قَ ْبل‬
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin)

Antara Rububiyah dan Uluhiyah

Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai hubungan yang tidak dapat
dipisahkan. Tauhid rububiyah mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan
seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah.
Barangsiapa yang telah mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya dan
mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan baginya untuk beribadah hanya kepada
Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di dalamnya tauhid
rububiyah. Maksudnya, jika seseorang mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid
rububiya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Bya, pasti
ia akan meyakini bahwa Allahlah Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan
Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

‫} الَّ ِذي خَ لَقَنِي فَه َُو يَ ْه ِد ِـ‬77{ َ‫} فَإِنَّهُ ْم َع ُد ٌّو لِّي إِالَّ َربَّ ْال َعالَ ِمين‬76{ َ‫} أَنتُ ْم َو َءابَآ ُؤ ُك ُم ْاألَ ْق َد ُمون‬75{ َ‫ال أَفَ َر َء ْيتُم َّما ُكنتُ ْم تَ ْعبُ ُدون‬
{ ‫ين‬ َ َ‫ق‬
ْ َ ْ َ َّ ُ َّ
‫} َوال ِذي أط َم ُع أن يَغفِ َر لِي‬81{ ‫} َوال ِذي يُ ِميتُنِي ث َّم يُحْ يِي ِن‬80{ ‫ت فَه َُو يَشفِي ِن‬ ْ ُ ْ‫} َوإِ َذا َم ِرض‬79{ ‫ين‬ ْ َّ
ِ ِ‫} َوال ِذي هُ َو يُط ِع ُمنِي َويَ ْسق‬78
}82{ ‫ِّين‬ ِ ‫خَ ِطيئَتِي يَوْ َم الد‬

“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu
sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang
kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu Tuhan) Yang telah
menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi
makan dan minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkanku(80),
dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang
amat aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat(82).” (QS. Asy
Syu’aroo’:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah terkadang disebutkan bersamaan, maka ketika itu maknanya
berbeda. Karena pada asalnya ketika ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan
dengan kata sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini sebagaimana firman Allah,

ِ َّ‫} إِلَ ِه الن‬2{ ‫اس‬


}3{ ‫اس‬ ِ َّ‫ك الن‬ ِ َّ‫قُلْ أَعُو ُذ بِ َربِّ الن‬
ِ ِ‫} َمل‬1{ ‫اس‬

“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan menguasai) manusia(1). Raja
manusia(2). Sesembahan manusia(3).” (QS. An Naas :1-3). Makna Robb dalam ayat ini adalah
Raja yang mengatur manusia. Sedangkan makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang
berhak untuk disembah.

Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa bergandengan. Maka ketika
disebutkan salah satunya, maka sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana
ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?” Maka maknanya, “Siapakah
penciptamu dan sesembahanmu?” Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,

}40{ ُ‫ق إِآلَّ أَن يَقُولُوا َربُّنَا هللا‬ ُ


ِ َ‫الَّ ِذينَ أ ْخ ِرجُوا ِمن ِدي‬
ٍّ ‫ار ِهم بِ َغي ِْر َح‬

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)

}164{ ‫قُلْ أَ َغ ْي َر هللاِ أَب ِْغي َربًّا‬

“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS. Al An’am :164)

}30{ ‫إِ َّن الَّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا هللاُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا‬
“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-ayat di
atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al
Fauzan)

Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah

Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap tauhid asma’ wa shifat.
Maksudnya adalah pengesaan Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-
Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian. Artinya kita harus
menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya
dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah
dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya,

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِه َش ْى ُُء َوهُ َو ال َّس ِمي ُع ْالب‬


}11{ ‫صي ُر‬ َ ‫لَي‬

” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”(QS. Asy Syuuro: 11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad
bin Sholih al ’Utsaimin).

Cabang Keimanan yang Tertinggi

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri dari 70-an atau 60-an cabang.
Cabang yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah sebagian dari cabang
keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang
paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan
yang jujur dari hati disertai ilmu dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali
Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam dengan keutamaan dan ihsan.
Semua butuh kepada-Nya sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan Dia
Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah (peribadatan) dalam setiap keadaan dan
mengikhlaskan agama kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan adalah
cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa
Qurrotu ‘Uyuunil Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)

Faedah Iman yang Benar

Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang agung bagi orang-orang yang
beriman, di antaranya:

Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak ada tempat bergantung selain Allah
dalam rasa harap dan takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.

Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan
nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.

3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi


larangan-Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)

Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan kita kepada Allah dan
memberikan kita istiqomah di atas iman yang benar. Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa
sallaam.

Penulis:

‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

IMAN KEPADA MALAIKAT

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam. AllahTa`ala berfirman yang
artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya
oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir
yang baik dan buruk.” (Muttafaq `alaih)

Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah kafir, keluar dari Islam.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah
sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)

Batasan Minimal Iman kepada Malaikat

Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan: “Batas minimal (iman
kepada malaikat) adalah keimanan bahwasanya Allah menciptakan makhluk yang bernama
malaikat. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka
merupakan makhluk yang diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama sekali. Diantara mereka
ada malaikat yang ditugasi untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain
Syaikh Shalih Alu Syaikh)

Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu

Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian hal tersebut (malaikat), wajib
baginya mengimaninya. Dengan begitu, maka imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang
munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turannya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya,
dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

Hakikat malaikat
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari al-Qur`an, as-
Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal
sebagai berikut:

Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.

Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah menciptakan jin
dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.

Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.

Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di alam yang
mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena kedekatannya, dan untuk
melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah
mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah
hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan
mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan
mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan
kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.
Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain
daripada Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami
memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)

(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil
Malaikatil Muqarrabiin hal. 15)

Asal Penciptaan Malaikat

Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam
hadits dari Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim)
Jumlah Malaikat

Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu berapa banyak jumlah mereka. Allah
Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan
Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir: 31) Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallammelakukan
Isra` Mi`raj, berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau: “Ini adalah Baitul Ma`mur. Setiap hari
shalat di dalamnya 70 ribu malaikat. Jika mereka telah keluar, maka mereka tidak kembali lagi….
” (Muttafaqun `alaihi)

Sifat Fisik Malaikat

Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:

Kuatnya fisik mereka

Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang artinya), “Penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. Tahrim: 6)

Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh, tidak membahayakan
mereka.Demikian juga dengan Malakul jibal (Malaikat gunung), dimana dia menawarkan
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam untuk menabrakkan dua gunung kepada sebuah
kaum yang mendurhakai beliau. Kemudian beliau menolak tawaran tersebut. (Hadits yang
menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)

Mempunyai sayap

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang
menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada
ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Fathiir: 1)

Tidak membutuhkan makan dan minum


Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-
malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama kemudian
Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan
mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut
kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah
(malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” (QS. Huud: 69 – 70)As Suyuthi
rahimahullah berkata: “Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa para ulama sepakat
bahwasanya malaikat tidak makan, tidak minum, dan juga tidak menikah.”

Ke-ma`shum-an Malaikat

Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk yang ma`shum, dimana mereka tidak
akan pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang
Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah….” (lihat QS. Al-Anbiyaa`:
26 – 29 di atas)

Buah Iman kepada Malaikat

Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:

Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan makhluk-makhluk yang mulia,
yaitu malaikat.

Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang mereka lakukan. (lihat Syarh Tsalatsatul
Ushul Syaikh `Utsaimin)

Demikialah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih rinci
tentang Malaikat, silahkan merujuk ke kitabMu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara
wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin karya DR. Muhammad bin `Abdul
Wahhab al-`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.

Penulis :
Ka’ab Prasetyo

Artikel Muslim.Or.Id

IMAN KEPADA KITAB ALLAH

Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama kita. AllahTa`ala berfirman
yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan.
Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril
`alaihis salam tentang iman, beliau menjawab:“(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para
Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan
buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab (biasa disebut dengan Kitab suci)
adalah kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-Nya,
dan petunjuk bagi mereka, supaya mereka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat
kitab Rasaail fil `Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)

Cakupan Iman dengan Kitab Suci

Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman dengan kitab suci mencakup 4
perkara:

1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.

2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab tersebut, seperti al-Qur`an yang
Allah turunkan kepada Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa, Injil
kepada Isa, dan lain sebagainya.
3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-berita yang ada dalam al-
Qur`an dan kitab-kitab suci sebelumnya selama kitab-kitab tersebut belum diganti atau
diselewengkan.

4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari kitab-kitab tersebut, rida
terhadapnya, dan berserah diri dengannya, baik yang diketahui hikmahnya, maupun yang tidak
diketahui.” (Rasaail fil `Aqiidah)

Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci

Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari Allah Jalla wa `Alaa. Allah Ta`ala
berfirman yang artinya: “ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran)
kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan dia
menurunkan al-Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan
memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (QS. Ali
Imran: 2-4)

Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya peribadatan hanya kepada Allah
semata, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50.
(Untuk pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war Risaalaat karya `Umar bin Sulaiman al-
Asyqar, hal 231 – 235)

Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya

Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-kitab suci sebelumnya. Selain
itu, al-Qur`an juga merupakan hakim atas kitab-kitab suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…. ” (QS. Al-Maidah: 48)

Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas cakupannya. Rasulullah
shallallahu `alahi wa sallam bersabda: “Saya diberi ganti dari Taurat dengan as-sab`ut thiwaal
(tujuh surat dalam al-Qur`an yang panjang-panjang). Saya diberi ganti dari Zabur dengan al-
mi`iin (surat yang jumlah ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti dari Injil dengan al-
matsani (surat yang terulang-ulang pembacaannya dalam setiap rekaat shalat) dan saya diberi
tambahan dengan al-mufashshal (surat yang dimulai dari Qaf sampai surat an-Naas).” (HR.
Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani)

Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari kitab-kitab suci lainnya adalah
penjagaan Allah terhadapnya. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr:
9)

Sekilas Tentang Taurat

Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis salam. Taurat merupakan kitab
yang mulia yang tercakup didalamnya cahaya dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi)….” (QS. Al-Maidah: 44)

Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian lama – , setiap orang yang
berakal tentu mengetahui bahwa taurat tersebut bukanlah taurat yang dahulu diturunkan
kepada Musa `alaihis salam. Hal itu bisa diketahui dari beberapa bukti berikut:.

Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani) dalam menunjukkan sanad ilmiah
yang sampai kepada Musa `alaihis salam, bahkan mereka mengakui bahwa Taurat pernah
hilang selama beberapa kali.
Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan bahwa sudah banyak terjadi
campur tangan para ulama yahudi dalam merubah isi Taurat.

Banyak terdapat kesalahan ilmiah.

Dan masih banyak bukti lainnya.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang
menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan
yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)

Sekilas Tentang Injil

Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada Isa `alaihis salam sebagai
penyempurna dan penguat bagi Taurat, mencocoki dangannya dalam sebagian besar
syariatnya, petunjuk kepada jalan yang lurus, membedakan kebenaran dan kebatilan, dan
menyeru kepada peribadatan kepada Allah Ta`ala semata.

Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa,
demikian juga injil yang ada sekarang, juga bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas
salam. Di antara bukti dari penyataan tersebut:

Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah diangkatnya Isa`alaihis salam.

Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil tersebut kepada penulisnya.

Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di dalamnya

Dan masih banyak bukti lainnya.

(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan Taurat dan Injil yang ada
sekarang, silahkan merujuk ke kitab Izhaarul Haq karya Rahmatullah al-Hindy)
Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-Qur`an?

Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab tersebut (Taurat atau Injil yang
ada sekarang) adalah benar berasal dari para Nabi mereka, maka kita tetap tidak boleh
mengikutinya karena kitab-kitab tersebut diturunkan khusus kepada umat nabi tersebut dan
dalam tempo yang terbatas, dan kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-Qur`an. Allah
Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-
Maidah: 48)

Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti al-Qur`an. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya!
Tidaklah seorang pun dari Yahudi dan Nasrani yang mendengar akan diutusnya aku, kemudian
mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia
termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Demikianlah sedikit bahasan tentang Iman dengan kitab suci. “Wahai Rabb kami, tambahkan
kepada kami keimanan, keyakinan, kefakihan, dan ilmu.”

Rujukan utama:

Al-Iman bil Kutub, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo

Artikel Muslim.Or.Id

IMAN KEPADA UTUSAN ALLAH


Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin adalah beriman kepada para Nabi
dan Rasul utusan Allah. Diutusnya Rasul merupakan nikmat yang sangat agung. Kebutuhan
manusia terhadap diutusnya Rasul melebihi kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk
itu, kita tidak boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan Allah yang mulia ini.
Berikut adalah penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan iman kepada Nabi dan
Rasul.

Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para Rasul, di antaranya
adalah firman Allah Ta’ala,

ِ ‫َولَ ِك َّن ْالبِ َّر َم ْن َءا َمنَ باِهللِ َو ْاليَوْ ِم ْاألَ ِخ ِر َو ْال َملَئِ َك ِة َو ْال ِكتَا‬
َ‫ب َوالنَّبِيِّن‬

“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi” (QS. Al Baqarah: 177)

‫ق بَ ْينَ أَ َح ٍد ِّمن رُّ ُسلِ ِه َوقَالُوا َس ِم ْعنَا َوأَطَ ْعنَا‬


ُ ‫ُك ٌّل َءا َمنَ بِاهللِ َو َمالَئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُسلِ ِه الَ نُفَ ِّر‬

“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya


(mereka mengatakan):’ Kita tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain)
dan rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan “Kami dengar dan kami taat…” (QS. Al Baqarah:
285)

Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan kepada para Rasul dengan
keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi
kafir orang yang membedakan antara keimanan kepada Allah dan para Rasul. Mereka beriman
terhadap sebagian namun kafir tehadap sebagian yang lain (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqaad, hal
146)
Pokok-Pokok Keimanan Terhadap Para Rasul

Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah harus mengandung empat unsur pokok yaitu:

Beriman bahwasanya risalah yang mereka bawa benar-benar risalah yang berasal dari wahyu
Allah Ta’ala.

Beriman terhadap nama-nama mereka yang kita ketahui.

Membenarkan berita-berita yang shahih dari mereka.

Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita, yaitu penutup para Nabi, Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa sallaam. (Syarhu Ushuuill Iman, hal 34-35)

Antara Nabi dan Rasul

Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi sama dengan rasul. Namun pendapat yang benar
adalah nabi berbeda dengan rasul, walaupun terdapat beberapa persamaan. Nabi adalah
seseorang yang Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat untuk dirinya sendiri atau
diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid. Sedangkan rasul
adalah seorang yang Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat dan diperintahkan untuk
menyampaikan kepada kaum yang menyelisihnya. Nabi dan rasul memiliki beberapa persamaan
dan perbedaan.

Persamaan Nabi dan Rasul adalah :

Nabi dan Rasul sama-sama utusan Allah yang diberi wahyu oleh Allah, berdasarkan firman
Allah,

ٍ ‫َو َمآأَرْ َس ْلنَا ِمن قَ ْبلِكَ ِمن َّرس‬


‫ُول َوالَنَبِ ٍّي‬
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi…”
(QS. Al Hajj:52). Dalam ayat ini Allah membedakan antara nabi dan rasul, namun menjelasakan
kalau keduanya merupakan utusan Allah.

Nabi dan rasul sama-sama diutus untuk menyampaikan syariat.

Nabi dan rasul ada yang diturunkan kepadanya kitab, ada pula yang tidak.

Perbedaan Nabi dan Rasul :

Nabi diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaum yang sudah bertauhid atau untuk
diamalkan bagi dirinya sendiri, sebagaimana dalam sebuah hadist, ”Dan akan datang Nabi yang
tidak memiliki satu pun pengikut”. Sedangkan rasul diutus untuk menyampaikan syariat kepada
kaum yang menyelisihinya.

Nabi mengikuti syariat sebelumnya yang sudah ada, sedangkan Rasul terkadang mengikuti
syariat sebelumnya -seperti Yusuf yang diutus untuk kaumnya dengan syariat yang dibawa oleh
Ibrahim dan Ya’qub- dan terkadang membawa syariat baru. (Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah Ath
Thahawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal 227-234)

Para Nabi dan Rasul Mengajarkan Agama yang Satu

Seluruh Nabi mengajarkan agama yang satu, walaupun mereka memiliki syariat-syariat yang
berbeda. Allah Ta’ala berfirman,

‫ص ْينَا بِ ِه إِ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َسى َو ِعي َسى أَ ْن أَقِي ُموا ال ِّدينَ َوالَتَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬
َّ ‫اوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي أَوْ َح ْينَآ إِلَ ْيكَ َو َما َو‬
َ ‫َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ الدِّي ِن َم‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya…. ”(QS. Asy Syuuraa:13)

}52{ َ‫} َوإِ َّن هَ ِذ ِه أُ َّمتُ ُك ْم أُ َّمةً َوا ِح َدةً َوأَنَا َربُّ ُك ْم فَاتَّقُون‬51{ ‫صالِحًا إِنِّي بِ َماتَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬ ِ ‫يَآأَيُّهَا الرُّ ُس ُل ُكلُوا ِمنَ الطَّيِّبَا‬
َ ‫ت َوا ْع َملُوا‬
“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama tauhid)
ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah
kepada-Ku” (QS. Al Mu’minun:51-52)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Sesungguhnya seluruh nabi memiliki agama yang
satu, dan para nabi adalah saudara” (Muttafaqun ‘alaih).

Agama seluruh para Nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Allah tidak akan menerima agama
selain Islam. Yang dimaksud dengan islam adalah berserah diri kepada Allah dengan
mentauhidkan-Nya, tunduk kepada Allah dengan mentaatinya, dan menjauhkan diri dari
perbuatan syirik dan orang-orang musyrik. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 159-160).

Mendustakan Satu = Mendustakan Semuanya

Kewajiban seorang mukmin adalah beriman bahwa risalah para Rasul adalah benar-benar dari
Allah. Barangsiapa mendustakan risalah mereka, sekalipun hanya salah seorang di antara
mereka, berarti ia telah mendustakan seluruh para rasul. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
:

َ‫وح ْال ُمرْ َسلِين‬ ْ َ‫َك َّذب‬


ٍ ُ‫ت قَوْ ُم ن‬

“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul” (QS. Asy Syu’araa’:105)

Dalam ayat in Allah menilai tindakan kaum Nuh sebagai pendustaan kepada para rasul yang
diutus oleh Allah, padahal ketika diutusnya Nuh belum ada seorang Rasulpun selain Nabi Nuh
‘alaihis salaam. Berdasarkan hal ini maka orang-orang Nasrani yang mendustakan Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mau mengikuti beliau berarti mereka telah mendustakan
Al Masih bin Maryam (Nab Isa ‘alaihis salaam) dan tidak mengikuti ajarannya. (Syarhu Ushuulil
Iman hal 34-35)

Mengimani Nama Para Rasul

Termasuk pokok keimanan adalah kita beriman bahwa para Rasul Allah memiliki nama.
Sebagiannya diberitakan kepada kita dan sebagiannya tdak diberitakan kepada kita. Yang
diberikan kepada kita seperti Muhanmad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan Nuh ‘alahimus shalatu wa
salaam. Kelima nama tersebut adalah para Rasul ‘Ulul Azmi. Allah Ta’ala telah menyebut
mereka pada dua (tempat) surat di dalam Al Quran yakni surat Al Ahzaab dan As Syuraa,

ٍ ُّ‫ك َو ِمن ن‬
‫وح َوإِب َْرا ِهي َم َو ُمو َسى َو ِعي َسى اب ِْن َمرْ يَ َم‬ ‫َوإِ ْذ أَخ َْذنَا ِمنَ النَّبِي َـ‬
َ ‫ِّين ِميثَاقَهُ ْم َو ِمن‬

“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari
Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin Maryam…” (QS. Al Ahzab:7)

‫ص ْينَا بِ ِه إِ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َسى َو ِعي َسى أَ ْن أَقِي ُموا ال ِّدينَ َوالَتَتَفَ َّرقُوا فِي ِه‬
َّ ‫اوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي أَوْ َح ْينَآ إِلَ ْيكَ َو َما َو‬
َ ‫… َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ الدِّي ِن َم‬

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan
apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya” (QS.
Asy Syuraa:13)

Adapun terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-namanya, kita beriman secara global.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ك َو ِم ْنهُم َّمن لَّ ْم نَ ْقصُصْ َعلَ ْيك‬ َ ِ‫َولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسالً ِّمن قَ ْبل‬
َ َ‫ك ِم ْنهُم َّمن ق‬
َ ‫صصْ نَا َعلَ ْي‬
“Dan sesungguhnya telah Kami utus bebrapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada
yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu” (QS. Al Mukmin:78). (Syarhu Ushuulil Iman,hal 35)

Para Rasul Pemberi Kabar Gembira Sekaligus Pemberi Peringatan

Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira sekaligus memberikan
peringatan. Ini merupakan salah satu dari hikmah diutusnya para rasul kepada manusia.
Maksud menyampaikan kabar gembira adalah menyebutkan pahala bagi orang yang taat,
sekaligus memberikan peringatan kemudian mengancam orang yang durhaka dan orang kafir
dengan kemurkaan dan siksa Allah. Allah Ta’ala berfirman,

ُ
ِ ‫اس َعلَى هللاِ ُح َّجةُ بَ ْع َد الرُّ س ُِل َو َكانَ هللاُ ع‬
‫َزي ًزا َح ِكي ًما‬ ِ َّ‫رُّ ُسالً ُّمبَ ِّش ِرينَ َو ُمن ِذ ِرينَ لِئَالَّ يَ ُكونَ لِلن‬

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
tidak ada lagi alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS. An
Nisaa’ 165).

Ayat ini merupakan dalil bahwa tugas para Rasul ialah memberikan kabar gembira bagi siapa
saja yang mentaati Allah dan mengikuti keridhaan-Nya dengan melakukan kebaikan. Dan bagi
siapa yang menentang perintah-Nya dan mendustakan para rasul-Nya akan diancam dengan
hukum dan siksaan. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 195-196)

Nuh yang Pertama, Muhammad Penutupnya

Termasuk keyakinan Ahlus sunnah adalah beriman bahwasanya Rasul yang petama diutus
adalah Nuh ‘alaihis salaam dan yang terkhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil yang menunjukkan bahwa Nuh adalah Rasul pertama adalah firman Allah,
ٍ ُ‫ك َك َمآأَوْ َح ْينَآإِلَى ن‬
‫وح َوالنَّبِي َـ‬
‫ِّين ِمن بَ ْع ِد ِه‬ َ ‫إِنَّآأَوْ َح ْينَآإِلَ ْي‬

“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu sebagaman Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa’:163)

Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwa Nuh adalah rasul pertama. Sisi pendalilannya adalah
dari kalimat “dan nabi-nabi yang kemudiannya”. Jika ada rasul sebelum Nuh tentunya akan
dikatakan dalam ayat ini.

Adapun dalil dari sunnah adalah sebuah hadist shahih tentang syafa’at, ketika manusia
mendatangi Nabi Adam untuk meminta syafaat, beliau berkata kepada mereka, “Pergilah kalian
kepada Nuh, karena ia adalah rasul pertama yang diutus ke muka bumi”. Maka mereka pun
mendatangi Nuh dan berkata: “engkau adalah rasul pertama yang diutus ke bumi…”
(Muttafaqun ‘alaihi). Hadist ini merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan bahwa Nuh
adalah rasul pertama. Dan Nabi Adam sendiri menyebutkan bahwa Nuh sebagai Rasul pertama
di atas muka bumi. (Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 196-197)

Sedangkan Rasul yang terakhir adalah Muhammad sholallahu ‘alaihi wa salaam. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala.

‫َّما َكانَ ُم َح َّم ٌد أَبَآ أَ َح ٍد ِّمن ِّر َجالِ ُك ْم َولَ ِكن َّرسُو َل هللاِ َو َخاتَ َم النَّبِي َـ‬
‫ِّين َو َكانَ هللاُ بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِي ًما‬

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia
adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dia adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS. Al Ahzab:40).

Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Aku adalah penutup para Nabi, dan beliau
berkata :’ Tidak ada Nabi sesudahku”. Hal ini melazimkan berakhirnya diutusnya para Rasul,
karena berakhirnya yang lebih umum (yakni diutusnya Nabi) melazimkan berakhirnya yang
lebih khusus (yakni diutusnya Rasul). Makna berakhirnya kenabian dengan kenabian
Muhammad yakni tidak adanya pensyariatan baru setelah kenabian dan syariat yang dibawa
oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 173).

Buah Manis Iman yang Benar Terhadap Para Rasul

Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah akan memberikan faedah yang berharga, di
antaranya adalah:

Mengetahui akan rahmat Allah dan perhatian-Nya kepada manusia dengan mengutus kepada
mereka para Rasul untuk memberi petunjuk kepada merka kepada jalan Allah dan memberikan
penjelasan kepada mereka bagaimana beribadah kepada Allah karena akal manusia tidak dapat
menjangkau hal tersebut.

Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini.

Mencintai para Rasul,, mengagungkan mereka , serta memberikan pujian yang layak bagi
mereka. Karena mereka adalah utusan Allah Ta’ala dan senantiasa menegakkan ibadah kepada-
Nya serta menyampaikan risalah dan memberikan nasehat kepada para hamba. (Syarhu
Ushuuill Iman hal 36)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa menetapkan hati kita kepada keimanan yang benar.
Washolallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Sumber Rujukan:

Syarhu Ushuulil Iman. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim.
Cetakan pertama 1419 H

Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad. Syaikh Sholih Al Fauzan Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan
pertama tahun 2006.

Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul Ibnul Jauzi cetakan pertama tahun
2006.
Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul.Penerbit Maktabah ar Rusyd, Riyadh. Cetakan
pertama 1422H/2001M.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

IMAN KEPADA HARI AKHIR

Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya dalam agama merupakan salah
satu di antara rukun iman yang enam. Banyak sekali Allah Ta’ala menggandengkan antara iman
kepada Allah dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa yang tidak beriman kepada hari
akhir, tidak mungkin akan beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari akhir
tidak akan beramal, karena seseorang tidak akan beramal kecuali dia mengharapkan
kenikmatan di hari akhir dan takut terhadap adzab di hari akhir.[1]

Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi setelahnya, saat itu merupakan
tahapan yang terakhir[2]. Keimanan yang benar terhadap hari akhir mancakup tiga hal pokok
yaitu mengimani adanya hari kebangkitan, mengimani adanya hisaab (perhitungan) dan jazaa’
(balasan), serta mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan kepada hari
akhir adalah mengimani segala peristiwa yang akan terjadi setelah kematian seperti fitnah
kubur, adzab kubur, dan nikmat kubur.

Mengimani Adanya Hari Kebangkitan

Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang sudah mati ketika ditiupkannya
sangkakala yang kedua. Kemudian manusia akan berdiri menghadap Rabb semesta alam dalam
keadaan telanjang tanpa alas kaki, telanjang tanpa pakaian, dan dalam keadaan tidak disunat.
Allah Ta’ala berfirman,

ٍ ‫ب َك َما بَد َْأنَآ أَ َّو َل خَ ْل‬


ِ َ‫ق نُّ ِعي ُدهُ َو ْعدًا َعلَ ْينَآ إِنَّا ُكنَّا ف‬
}104{ َ‫اعلِين‬ ْ ‫يَوْ َم ن‬
ِ ُ‫َط ِوي ال َّس َمآ َء َكطَ ِّي ال ِّس ِجلِّ لِ ْل ُكت‬

“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran – lembaran kertas.
Sebagaimana Kami telah memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya.
Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.”
(QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti. Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah
dan Ijmaa’ (konsensus) kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,

}16{ َ‫} ثُ َّم إِنَّ ُك ْم يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة تُ ْب َعثُون‬15{ َ‫ثُ َّم إِنَّ ُكم بَ ْع َد َذلِكَ لَ َميِّتُون‬

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati(15). Kemudian,
sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al
Mukminun:15-16)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :

‫يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال‬

“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tanpa alas kaki,
telanjang, dan tidak disunat”[3]

Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya hari kebangkitan ini. [4]

Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan

Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari akhir adalah mengimani adanya
hari perhitungan dan pembalasan. Seluruh amal perbuatan setiap hamba akan dihisab dan
diberi balasan. Hal ini juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan ijmaa’ kaum
muslimin.

Allah Ta’ala berifrman,

}26{ ‫} ثُ َّم إِ َّن َعلَ ْينَا ِح َسابَهُم‬25{ ‫إِ َّن إِلَ ْينَآ إِيَّابَهُ ْم‬
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian sesungguhnya kewajiban
Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al Ghasiyah:25-26)

}47{ َ‫اسبِين‬
ِ ‫َاح‬ ْ ُ‫ازينَ ْالقِ ْسطَ لِيَوْ ِم ْالقِيَا َم ِة فَالَ ت‬
َ ‫ظلَ ُم نَ ْفسٌ َش ْيئًا َوإِن َكانَ ِم ْثقَا َل َحبَّ ٍة ِّم ْن خَ رْ د ٍَل أَتَ ْينَا بِهَا َو َكفَى بِن‬ ِ ‫َض ُع ْال َم َو‬
َ ‫َون‬

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al
Anbiyaa’:47)

Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau bersabda,

‫ومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له عشرا ومن هم بسيئة فلم يعملها لم تكتب شيئا فإن عملها كتبت سيئة‬
‫واحدة‬

“Barangsiapa yang berniat melakukam suatu kebaikan, lalu mengerjakannya, maka Allah telah
menulisnya sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan, bahkan sampai kelipatan yang lebih banyak
lagi. Sedangkan barangsiapa yang berniat melakukan keburukan, lalu mengerjakannya, maka
Allah hanya akan menulisnya satu keburukan saja“ [5].

Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari perhitungan dan pembalasan. Dan
ini sesuai dengan tuntutan hikmah Allah Ta’ala.[6]

Mengimani Adanya Surga dan Neraka

Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga dan neraka. Keduanya
merupakan tempat kembali yang abadi bagi makhluk. Surga adalah kampung kenikmatan yang
dipersiapkan oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Sedangkan neraka adalah hunian
yang penuh dengan adzab yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir. Allah
Ta’ala berfirman :

َ ‫} َوإِ َّن ْالفُج‬13{ ‫إِ َّن ْاألَ ْب َرا َر لَفِي نَ ِع ٍيم‬


}14{ ‫َّار لَفِي َج ِح ٍيم‬
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam syurga yang
penuh keni’matan. dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam
neraka” (Al Infithaar:13-14)

Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting yang merupakan keyakinan ahlus
sunnah yang membedakannya dengan ahlul bid’ah :

Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya

Keberadaan surga dan nereka adalah haq (benar adanya). Tidak ada keraguan di dalamnya.
Neraka disediakan bagi musuh-musuh Allah, sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah.
Penyebutan tentang surga dan neraka dalam Al Quran dan As Sunnah sangatlah banyak.
Terkadang disebutkan tentang kondisi penduduk surga dan neraka. Terkadang disebutkan
tentang janji kenikmatan surga dan adzab di neraka. Terkadang disebutkan dorongan agar
bersemangat meraih surga dan ancaman dari neraka. Demikian pula As Sunnah banyak
menyebutkan tentang surga dan neraka. Itu semua menunjukkan bahwa keberadaan surga dan
neraka adalah benar adanya. [7]

Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada

Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan makhluk Allah yang telah ada
sekarang. Hal ini bertentangan dengan keyakinan mu’tazilah dan qodariyah yang lebih
mengedepankan akal mereka. Adapun dalilnya adalah firman Allah,

ْ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ أُ ِع َّد‬


}133 { َ‫ت لِ ْل ُمتَّقِين‬ ُ ‫او‬ ُ ْ‫ارعُوا إِلَى َم ْغفِ َر ٍة ِّمن َّربِّ ُك ْم َو َجنَّ ٍة َعر‬
َ ‫ضهَا ال َّس َم‬ ِ ‫َو َس‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas
langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran:133)

Tentang neraka Allah berfirman,

ْ ‫ار الَّتِي أُ ِع َّد‬


}131{ َ‫ت لِ ْل َكافِ ِرين‬ َ َّ‫َواتَّقُوا الن‬
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir”
(QS. Ali Imran:131)

Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat Sidratul Muntaha,
kemudian melihat dan masuk ke dalam surga. Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]

Ketiga: Penciptaan Surga dan Neraka Sebelum Penciptaan Makhluk

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

}19{ َ‫ْث ِش ْئتُ َما َوالَتَ ْق َربَا هَ ِذ ِه ال َّش َج َرةَ فَتَ ُكونَا ِمنَ الظَّالِ ِمين‬
ُ ‫ك ْال َجنَّةَ فَ ُكالَ ِم ْن َحي‬
َ ‫َويَائَا َد ُم ا ْس ُك ْن أَنتَ َوزَ وْ ُج‬

“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta
makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu
berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim.””
(QS. Al A’raf: 19)

Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini menunjukkan surga sudah ada
sebelum penciptaan Adam. [9].

Keempat: Surga dan Neraka Sudah Ditentukan Siapakah Yang Akan Menjadi Penghuninya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

ْ
ِ ‫َولَقَ ْد َذ َرأنَا لِ َجهَنَّ َم َكثِيرًا ِمنَ ْال ِجنِّ َو ْا ِإل‬
‫نس‬

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia
… ”(QS. Al A’raf: 179)

Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,


‫إن هللا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم وخلق للنار أهال خلقهم لها وهم في أصالب آبائهم‬

“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk jannah. Allah telah
menentukan mereka sebagai penghuninya, sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-
bapak mereka. Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka. Allah telah
menentukan mereka sebagai penghuninya, padahal mereka masih dalam tulang sulbi bapak-
bapak mereka” [10].[11]

Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi

Allah Ta’ala berfirman,

}108{ ‫ات َو ْاألَرْ ضُ إِالَّ َما َشآ َء َربُّكَ َعطَآ ًء َغ ْي َر َمجْ ُذو ٍذ‬
ُ ‫او‬ ِ ‫َوأَ َّما الَّ ِذينَ س ُِعدُوا فَفِي ْال َجنَّ ِة خَالِ ِدينَ فِيهَا َمادَا َم‬
َ ‫ت ال َّس َم‬

“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga, mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (Huud:108)

Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ينادي مناد إن لكم أن تصحوا فال تسقموا أبدا وإن لكم أن تحيوا فال تموتوا أبدا وإن لكم أن تشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا‬
} ‫فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وجل { ونودوا أن تلكم الجنة أورثتموها بما كنتم تعملون‬

“Datanglah suara berkumandang :Wahai ahli surga, sesungguhnya kamu sekalian akan sehat
dan tak pernah sakit. Kamu sekalian akan menjadi muda belia dan tak pernah tua lagi. Dan
kalian pun akan hidup dan tak akan pernah mati.”[12].

Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam perkataan yang disampaikan
oleh Imam Abu Ja’far At Thahawy rahimahullah dalam kitab beliau al ‘Aqidah Ath Thahawiyah,
beliau menjelaskan,

ً‫ق لَهُ َما أَ ْهال‬ ِ ‫ق ال َجنَّةَ َوالنَّا َر قَب َْل الخَ ْل‬
َ َ‫ َوخَ ل‬،‫ق‬ ِ ‫ الَ تَ ْفنَيَا ِن أَبَدًا َوال تَبِ ْيد‬،‫ َوال َجنَّةُ َوالنَّا ُر َم ْخلُوْ قَتَا ِن‬،
َ َ‫ فَإ ِ َّن هللاَ تَ َعالَى خَ ل‬،‫َان‬
“Surga dan neraka merupakan dua makhluk yang tidak akan punah dan binasa. Sesungguhnya
Allah telah menciptakan keduanya sebelum penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga telah
menentukan siapakah penghuninya…”[13].

Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur

Dalil perkara ini sangat gamblang dan jelas. Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat
dalam Al Quran. Demikian pula penjabaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
masalah ini sangat banyak dan mencapai derajat mutawatir. Allah Ta’ala berfirman,

‫اب ْالهُو ِن بِ َما ُكنتُ ْم تَقُولُونَ َعلَى‬


َ ‫ت َو ْال َمالَئِ َكةُ بَا ِسطُوا أَ ْي ِدي ِه ْم أَ ْخ ِرجُوا أَنفُ َس ُك ُم ْاليَوْ َم تُجْ زَ وْ نَ َع َذ‬
ِ ْ‫ت ْال َمو‬
ِ ‫َولَوْ ت ََرى إِ ِذ الظَّالِ ُمونَ فِي َغ َم َرا‬
ِّ ‫هللاِ َغ ْي َر ْال َح‬
}93{ َ‫ق َو ُكنتُ ْم ع َْن َءايَاتِ ِه تَ ْستَ ْكبِرُون‬

“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam
tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
“Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan,
karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am: 93). [14]

Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah pertanyaan malaikat di alam
kubur kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu meneguhkan
orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap, sehingga dengan kemantapannya ia
menjawab, ”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi Muhammad”.
Sebaliknya Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab,
”Hah…hah!Aku tidak tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu menjawab :” Aku
tidak tahu. Aku dengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula
mengaatkannya”[15].

Faedah Iman yang Benar

Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang bermanfaat. Demikian pula keimanan
yang benar terhadap hari akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :
Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan dengan mengharapkan pahalanya
kelak di ahri akhir.

Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka kembali pada maksiat karena
khawatir mendapat siksa di hari akhir.

Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang tidak mereka dapatkan di dunia
dengan mengharapkan kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].

Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan kepada hari akhir. Terdapat
banyak perincian yang harus kita imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan
dijelaskan lebih rinci dalam kesempatan lain. Semoga Allah meneguhkan iman kita hingga ajal
menjemput kita. Wallahul muwafiq.

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Muroja’ah: M.A. Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

IMAN KEPADA TAKDIR

4 Macam Takdir

Para ulama menjelaskan ada empat macam takdir, yaitu:

1) Takdir Azali

2) Takdir ‘umri

3) Takdir Sanawi

4) Takdir Yaumi.
Berikut penjelasannya:

1) Takdir Azali

Yaitu takdir yang ditulis dalam lauhil mahfudz 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan
bumi. Takdir azali ini adalah takdir yang merupakan takdir utama yang pasti terjadi bagi semua
mahkluk.

Allah berfirman,

َ ِ‫ب ۚ إِ َّن ٰ َذل‬


‫ك َعلَى هَّللا ِ يَ ِسي ٌر‬ ٍ ‫ض ۗ إِ َّن ٰ َذلِكَ فِي ِكتَا‬
ِ ْ‫أَلَ ْم تَ ْعلَ ْم أَ َّن هَّللا َ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال َّس َما ِء َواأْل َر‬

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah”. (Al-Hajj/22 : 70)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َعرْ ُشهُ َعلَى ْال َما ِء‬:‫ال‬


َ َ‫ ق‬،‫ بِ َخ ْم ِس ْينَ أَ ْلفَ َسنَ ٍة‬،‫ض‬
َ ْ‫ت َو ْاألَر‬ َ ُ‫ قَ ْب َل أَ ْن يَ ْخل‬،‫ق‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ ِ ِ‫َب هللاُ َمقَا ِد ْي َر ْال َخالَئ‬
َ ‫َكت‬

“Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan
langit dan bumi. “Beliau bersabda, “Dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air.” (HR. Muslim)

2) Takdir ‘umri

Yaitu takdir yang ditulis malaikat ketika meniupkan roh ke dalam janin.

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


‫ ثُ َّم يُرْ َس ُل‬،َ‫ك ُمضْ َغةً ِم ْث َل َذلِك‬ َ ِ‫ ثُ َّم يَ ُكوْ نُ فِ ْي َذل‬،َ‫ك َعلَقَةً ِم ْث َل َذلِك‬ َ ِ‫ ثُ َّم يَ ُكوْ نُ فِي َذل‬،‫ط ِن أُ ِّم ِه أَرْ بَ ِع ْينَ يَوْ ًما‬
ْ َ‫إِ َّن أَ َح َد ُك ْم يُجْ َم ُع خَ ْلقُهُ فِ ْي ب‬
‫ َو َشقِ ٌّي أَوْ َس ِع ْي ٌد‬،‫ َو َع َملِ ِه‬،‫ َوأَ َجلِ ِه‬،‫ب ِر ْزقِ ِه‬ِ ‫ بِ َك ْت‬،‫ت‬ ٍ ‫ َوي ُْؤ َم ُر بِأَرْ بَ ِع َكلِ َما‬،‫ فَيَ ْنفُ ُخ فِ ْي ِه الرُّ وْ َح‬،ُ‫ْال َملَك‬

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya
selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari),
kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat
untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat:
untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya).” (HR. Bukhari Muslim)

3) Takdir Sanawi

Takdir yang berlaku tahunan dan ditulis kejadian setahun ke depan setiap malam lailatul qadar.

Allah berfirman,

‫ق ُكلُّ أَ ْم ٍر َح ِك ٍيم‬
ُ ‫فِيهَا يُ ْف َر‬

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan/44 : 4]

Allah juga berfirman,

ْ ‫تَنَ َّز ُل ْال َماَل ئِ َكةُ َوالرُّ و ُح فِيهَا بِإ ِ ْذ ِن َربِّ ِه ْم ِم ْن ُك ِّل أَ ْم ٍر َساَل ٌم ِه َي َحتَّ ٰى َم‬
‫طلَ ِع ْالفَجْ ِر‬

“Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadr/97 : 4-
5]
4) Takdir Yaumi

Yaitu takdir yang berlaku harian.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ُك َّل يَوْ ٍم ه َُو فِي َشأْ ٍن‬

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [Ar-Rahmaan/55 : 29]

Perlu diperhatikan bahwa di antara empat takdir ini, takdir utamanya adalah takdir azali yang
tertulis di lauhil mahfudz, sedangkan tiga takdir yang lainnya (‘umri, sanawi, dan yaumi) adalah
takdir yang bisa merubah. Perhatikan kalimat berikut:

“Perubahan takdir (‘umri, sanawi dan yaumi) ini tertulis dalam takdir azali di lauhil mahfudz.”

Contohnya: bisa saja dalam takdir ‘umri tertulis dia seorang yang celaka, tetapi karena dia
bersungguh-sungguh mencari hidayah, maka ia menjadi orang yang beruntung. Perubahan
takdir ‘umri ini tertulis dalam lauhil mahfudz.

Ini juga yang dimaksud dengan “takdir bisa dirubah dengan doa”.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﻻ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﻻ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ‬

“Tidaklah merubah suatu takdir melainkan doa.” [HR. Al Hakim, hasan]


Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan bahwa takdir yang berubah tersebut
berkaitan dengan doa, beliau berkata:

‫ فإذا كان قدرا معلقا‬، ‫ والقدر يكون معلقا ويكون مبتوتا‬، ‫الدعاء من أسباب رد القدر المعلق‬

“Doa termasuk sebab merubah takdir yang mu’allaq (bergantung pada sebabnya). Takdir itu
ada yang mu’allaq dan ada yg telah tetap, sama sekali tidak berubah.”
[https://binbaz.org.sa/old/38112]

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa perubahan takdir dan doa tersebut juga
tertulis dalam takdir azali lauhil mahfudz. Beliau berkata:

‫ هذا هو القدر األصلي الذي كتب‬،‫لكنه في الحقيقة ال يرد القضاء؛ ألن األصل أن الدعاء مكتوب وأن الشفاء سيكون بهذا الدعاء‬
‫في األزل‬

“Pada hakikatnya takdir (azali) tidak berubah, karena doa tersebut sudah tertulis (dilauhil
mahfudz) bahwa kesembuhan karena adanya doa, inilah takdir asli yang tertulis dalam takdir
azali.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail 2/93]

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

CINTA DAN BENCI DALAM ISLAM

Cinta dan Benci Dalam Islam

Pembahasan tentang cinta dan benci dalam Islam masuk dalam ranah pembahasan akidah yang
sering diistilahkan dengan al wala’ wal bara’. Al-Wala’ artinya mencintai kaum muslimin dan
membantu mereka serta memuliakan dan menghormati mereka dan berusaha dekat dengan
mereka. Al-Bara’ artinya membenci orang-orang kafir dan menjauhi serta memusuhi mereka.
Akidah al wala’ wal bara’ merupakan sesuatu yang penting karena:

Termasuk pokok akidah Islam

Termasuk tali keimanan yang paling kuat

Termasuk agama Ibrahim ‘alaihis salaam dan agama seluruh rasul, termasuk Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman :

‫َت لَ ُك ْم أُس َْوةٌ َح َسنَةٌ فِي إِ ْب َرا ِهي َم َوالَّ ِذينَ َم َعهُ إِ ْذ قَالُوا لِقَوْ ِم ِه ْم إِنَّا بُ َراء ِمن ُك ْم َو ِم َّما تَ ْعبُد َـ‬
‫ُون ِمن دُو ِن هَّللا ِ َكفَرْ نَا بِ ُك ْم َوبَدَا بَ ْينَنَا َوبَ ْينَ ُك ُم‬ ْ ‫قَ ْد َكان‬
‫ك ِمنَ هَّللا ِ ِمن َش ْي ٍء َّربَّنَا َعلَ ْيكَ ت ََو َّك ْلنَا‬ ُ ِ‫ضاء أَبَداً َحتَّى تُ ْؤ ِمنُوا بِاهَّلل ِ َوحْ َدهُ إِاَّل قَوْ َل إِ ْب َرا ِهي َم أِل َبِي ِه أَل َ ْستَ ْغفِ َر َّن لَكَ َو َما أَ ْمل‬
َ َ‫ك ل‬ َ ‫َاوةُ َو ْالبَ ْغ‬
َ ‫ْال َعد‬
‫صي ُر‬ ِ ‫ك أَنَ ْبنَا َوإِلَ ْيكَ ْال َم‬ َ ‫َوإِلَ ْي‬

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami
berlepas diri dari kamu dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja.’ Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, ‘Sesungguhnya
aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari
kamu (siksaan) Allah.’ (Ibrahim berkata), ‘Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami
bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami
kembali’” (Al-Mumtahanah: 4).

Jenis-jenis muwalah

Sikap wala’ (cinta dan loyal) terhadap orang kafir ada dua macam :

Sikap muwalah kubra (tawalli). Yaitu mencintai kesyirikan dan orang-orang musyrik serta
mencintai kekufuran dan orang-orang kafir. Sikap ini disertai membantu orang-orang kafir
dalam memerangi kaum muslimin. Hukum sikap seperti ini adalah kufur akbar dan
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Dalilnya adalah firman Allah:
ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَاء بَع‬
‫ْض َو َمن يَت ََولَّهُم ِّمن ُك ْم فَإِنَّهُ ِم ْنهُ ْم‬ ُ ‫صا َرى أَوْ لِيَاء بَ ْع‬
َ َّ‫وا ْاليَهُو َد َوالن‬
ْ ‫وا الَ تَتَّ ِخ ُذ‬
ْ ُ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمن‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang
itu termasuk golongan mereka“ (Al-Ma’idah: 51).

Sikap muwalah sughra. Yaitu sikap mencintai orang-orang kafir dan musyrik karena alasan dunia
dan tidak disertai pembelaan terhadap mereka. Hukum sikap seperti ini adalah haram dan
termasuk dosa besar, namun bukan merupakan kekufuran. Dalilnya adalah firman Allah:

‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَتَّ ِخ ُذوا َع ُد ِّوي َو َع ُد َّو ُك ْم أَوْ لِيَاء تُ ْلقُونَ إِلَ ْي ِهم بِ ْال َم َو َّد ِة‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena
rasa kasih sayang“ (Al-Mumtahanah: 1).

Di antara contoh-contoh perbuatan yang termasuk muwalah sughra adalah:

Menyerupai mereka dalam berpakaian dan berbicara.

Bepergian ke negeri mereka tanpa ada keperluan yang penting dan darurat.

Tinggal di negeri mereka dan tidak berusaha pindah ke negeri kaum muslimin.

Menggunakan sistem penanggalan mereka.

Bersekongkol dan membantu perayaan hari besar mereka serta hadir dalam acara tersebut.

Memberi nama dengan nama-nama yang khusus di kalangan mereka. (Lihat At-Tauhid Al-
Muyassar 38-40)

Tiga Golongan dalam Al Wala’ wal Bara’

Ada tiga golongan orang dalam al wala’ wal bara’ yang harus kita perhatikan:
Orang yang harus kita cintai secara total dan tidak disertai kebencian. Mereka adalah mukmin
yang sempurna keimanannya, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang shalih.
Tentu saja yang paling terdepan di antara mereka adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliaulah yang mendapat kecintaan paling besar dibandingkan cinta seseorang kepada
anaknya, orangtuanya, dan seluruh manusia. Kemudian setelah itu adalah para istri-istri Nabi
dan keluarga beliau, serta para sahabat Nabi radiyallahu ‘anhum. Kemudian orang-orang yang
mengkuti jalannya para sahabat, seperti imam yang empat. Allah Ta’ala berfirman :

َ‫ان َواَل تَجْ َعلْ فِي قُلُوبِنَا ِغاّل ً لِّلَّ ِذينَ آ َمنُوا َربَّنَا إِنَّك‬
ِ ‫َوالَّ ِذينَ َجاؤُوا ِمن بَ ْع ِد ِه ْم يَقُولُونَ َربَّنَا ا ْغفِرْ لَنَا وَإِل ِ ْخ َوانِنَا الَّ ِذينَ َسبَقُونَا بِاإْل ِ ي َم‬
‫َّحي ٌم‬
ِ ‫ُوف ر‬ ٌ ‫َرؤ‬

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya
Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”
(Al-Hasyr: 10).

Orang yang harus kita benci dan kita musuhi secara mutlak, serta tidak boleh mencintai dan
loyal terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang yang
murtad, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Mujadilah ayat 22.

Orang yang kita cintai dan sekaligus kita benci. Pada diri mereka terkumpul kecintaan sekaligus
kebencian, mereka adalah orang mukmin yang bermaksiat. Kita mencintai mereka karena
mereka adalah orang yang beriman, dan kita membenci mereka karena maksiat mereka yang
tidak termasuk kemusyrikan dan kekafiran. Kecintaan kepada mereka menuntut seseorang
untuk menasehati mereka dan mengingkarinya. Tidak boleh diam terhadap maksiat mereka,
bahkan harus mengingkarinya dan memerintahkan mereka untuk berbuat baik dan mencegah
kemungkaran. Namun tidak boleh seseorang membenci mereka secara mutlak dan berlepas diri
dari mereka seperti perbuatan khawarij (dalam masalah ini, khawarij berpendapat bahwa
pelaku dosa besar adalah kafir.) terhadap pelaku dosa besar yang bukan dosa kekafiran. Tidak
boleh pula mencintai dan loyal secara mutlak terhadap mereka seperti perbuatan murji’ah
(dalam masalah ini, murji’ah berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap seorang mukmin
yang sempurna imannya). Kita harus bersikap adil terhadap mereka, mencintai karena
keimanan mereka, dan membenci karena kemaksiatan yang mereka lakukan. Inilah madzhab
ahlussunnah wal jama’ah (Lihat Al-Wala’ wal Bara’ fil Islam 27-30).
Balasan Bagi yang Mengamalkan Al Wala’ wal Bara’

Allah Ta’ala berfirman:

‫ك‬َ ِ‫يرتَهُ ْم أُوْ لَئ‬


َ ‫اَل تَ ِج ُد قَوْ ما ً ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر يُ َوا ُّدونَ َم ْن َحا َّد هَّللا َ َو َرسُولَهُ َولَوْ َكانُوا آبَاءهُ ْم أَوْ أَ ْبنَاءهُ ْم أَوْ إِ ْخ َوانَهُ ْم أَوْ َع ِش‬
َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرضُوا َع ْنهُ أُوْ لَئِك‬ ِ ‫ت تَجْ ِري ِمن تَحْ تِهَا اأْل َ ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا َر‬ ٍ ‫َب فِي قُلُوبِ ِه ُم اإْل ِ ي َمانَ َوأَيَّ َدهُم بِر‬
ٍ ‫ُوح ِّم ْنهُ َويُ ْد ِخلُهُ ْم َجنَّا‬ َ ‫َكت‬
َ‫ب هَّللا ِ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬
َ ‫ِح ْزبُ هَّللا ِ أَاَل إِ َّن ِح ْز‬

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-
sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah
golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang
beruntung” (Al Mujadilah: 22).

Barangsiapa yang merealisasikan dan mengamalkan akidah al wala’ wal bara’ dengan benar
akan mendapat balasan kebaikan sebagai berikut:

Terkumpulnya iman di dalam hatinya dan iman akan teguh di dalam hatinya. Allah berfirman : (
َ‫َب فِي قُلُوبِ ِه ُم اإْل ِ ي َمان‬ َ ِ‫)أُوْ لَئ‬
َ ‫ك َكت‬

ٍ ‫) َوأَيَّ َدهُم بِر‬


Allah akan memberinya cahaya dan petunjuk. Allah berfirman: ( ُ‫ُوح ِّم ْنه‬

Mendapat janji akan masuk surga. Allah berfirman: (‫ت تَجْ ِري ِمن تَحْ تِهَا اأْل َ ْنهَا ُر خَالِ ِدينَ فِيهَا‬
ٍ ‫) َويُ ْد ِخلُهُ ْم َجنَّا‬

Allah akan ridha kepadanya. Allah berfirman: ( ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ْم‬


ِ ‫) َر‬

Keridhaan hamba di akherat dengan masuknya ke dalam surga. Allah berifman: ( ُ‫) َو َرضُوا َع ْنه‬

Mendapat kemuliaan dari Allah, Allah menjadikannya termauk golongan orang-orang khusus
dan termasuk golongan yang beruntung. Allah berfirman: ( َ‫ب هَّللا ِ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُون‬ َ ِ‫)أُوْ لَئ‬.
َ ‫ك ِح ْزبُ هَّللا ِ أَاَل إِ َّن ِح ْز‬
(Tasirul Wushul Syarh Tsalatsatil Ushul 37-38)
Semoga sajian ringkas ini bermanfaat.

***

Penulis: dr. Adika Mianoki

Artikel Muslim.or.id

Anda mungkin juga menyukai