Anda di halaman 1dari 487

AQIDAH

Agama Islam
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah
Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah
menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan
agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka.
Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka
peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima
selain Islam.
Allah ta’ala berfirman,
ً ‫ان هَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِيما‬ َ ‫ِّين َو َك‬ َ ‫ان م َُح َّم ٌد َأ َبا َأ َح ٍد مِّن رِّ َجالِ ُك ْم َو َلكِن رَّ سُو َل هَّللا ِ َو َخا َت َم ال َّن ِبي‬
َ ‫مَّا َك‬
“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki
diantara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup
para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah ta’ala juga berfirman,
ً ‫يت َل ُك ُم اِإلسْ الَ َم دِينا‬ ُ ِ‫مْت َع َل ْي ُك ْم ِنعْ َمتِي َو َرض‬ ُ ‫ت َل ُك ْم دِي َن ُك ْم َوَأ ْت َم‬
ُ ‫ْال َي ْو َم َأ ْك َم ْل‬
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian,
dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah
ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
‫ين عِ ن َد هّللا ِ اِإلسْ الَ ُم‬ َ ‫ِإنَّ ال ِّد‬
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah
Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Allah ta’ala berfirman,
‫ين‬َ ‫َو َمن َي ْب َت ِغ َغي َْر اِإلسْ الَ ِم دِينا ً َف َلن ُي ْق َب َل ِم ْن ُه َوه َُو فِي اآلخ َِر ِة م َِن ْال َخاسِ ِر‬
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak
akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk
beragama demi Allah dengan memeluk agama ini. Allah
berfirman kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫و‬bَ b‫ض ال ِإ َلـ َه ِإالَّ ُه‬ ِ ْ‫ت َواَألر‬ ِ ‫ َم َاوا‬b‫الس‬ َّ ‫ك‬ ُ b‫ ُه م ُْل‬b‫ا ً الَّذِي َل‬b‫و ُل هّللا ِ ِإ َل ْي ُك ْم َجمِيع‬b‫قُ ْل َيا َأ ُّي َها ال َّناسُ ِإ ِّني َر ُس‬
‫ون‬ َ ‫ِيت َفآ ِم ُنو ْا ِباهّلل ِ َو َرسُولِ ِه ال َّن ِبيِّ اُألمِّيِّ الَّذِي يُْؤ مِنُ ِباهّلل ِ َو َكلِ َما ِت ِه َوا َّت ِبعُوهُ َل َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُد‬ُ ‫يُحْ ِيـي َو ُيم‬
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah
utusan Allah bagi kalian semua, Dialah Dzat yang memiliki
kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq
selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka
berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya seorang Nabi
yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta
kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan
hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang
artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya.
Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar
kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas
dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran
yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang
penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan
apa yang beliau bawa dengan disertai sikap menerima dan patuh,
bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu
Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamwalaupun dia membenarkan
ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi bahwasanya
Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan
yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam
yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama
terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di
setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun. Allah
ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ‫ص ِّدقا ً لِّ َما َبي َْن َي َد ْي ِه م َِن ْال ِك َتا‬
ً ‫ب َو ُم َه ْيمِنا‬ َ ‫اب ِب ْال َح ِّق ُم‬
َ ‫ك ْال ِك َت‬ َ ‫َوَأ‬
َ ‫نز ْل َنا ِإ َل ْي‬
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar
sebagai pembenar kitab-kitab yang terdahulu serta batu ujian
atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)
Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap
masa, tempat dan masyarakat adalah dengan berpegang teguh
dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan
umat tersebut di masa kapan pun dan di tempat manapun.
Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi baik.
Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu
cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam
tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat,
sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang
telah mendapatkan jaminan pertolongan dan kemenangan dari
Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,
‫ون‬ ِ ‫ِين ْال َح ِّق لِي ُْظ ِه َرهُ َع َلى ال ِّد‬
َ ‫ين ُكلِّ ِه َو َل ْو َك ِر َه ْال ُم ْش ِر ُك‬ ِ ‫ه َُو الَّذِي َأرْ َس َل َرسُو َل ُه ِب ْالهُدَى َود‬
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
Petunjuk dan Agama yang benar untuk dimenangkan di atas
seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik
tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Allah ta’ala berfirman,
‫ِين مِن‬ َ ‫ف الَّذ‬ َ ‫ َت ْخ َل‬b ‫اس‬
ْ ‫ا‬bb‫ض َك َم‬ ِ ْ‫ َت ْخلِ َف َّنهُم فِي اَأْلر‬b ‫ت َل َي ْس‬
ِ ‫ال َِحا‬b ‫الص‬ َّ ‫وا‬bbُ‫وا مِن ُك ْم َو َع ِمل‬bb‫ِين آ َم ُن‬ َ ‫َو َعدَ هَّللا ُ الَّذ‬
‫ون‬ َ ‫ ِر ُك‬b ‫ ُدو َننِي اَل ي ُْش‬b ‫ا ً َيعْ ُب‬b ‫ضى َل ُه ْم َو َل ُي َب ِّد َل َّنهُم مِّن َبعْ ِد َخ ْوف ِِه ْم َأمْن‬َ ‫َق ْبل ِِه ْم َو َل ُي َم ِّك َننَّ َل ُه ْم دِي َن ُه ُم الَّذِي ارْ َت‬
‫ون‬َ ُ‫ِئك ُه ُم ْال َفاسِ ق‬ َ ‫ك َفُأ ْو َل‬
َ ِ‫ِبي َشيْئا ً َو َمن َك َف َر َبعْ َد َذل‬
“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman serta beramal salih diantara kalian untuk menjadikan
mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-orang
sebelum mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah
pasti akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, sebuah
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan Allah
pasti akan menggantikan rasa takut yang sebelumnya
menghinggapi mereka dengan rasa tenteram, mereka
menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu
apapun. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan
dan syariat/hukum. Islam adalah ajaran yang sempurna, baik
ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:
1. Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan
melarang kesyirikan.
2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang
dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang
aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan
melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang
pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua
dan melarang perbuatan durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan
kekerabatan yang terputus) dengan sanak famili dan Islam
melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan
tetangga dan melarang bersikap buruk kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam
memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak
yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal
salih dan melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,
ُ ‫ر َو ْال َب ْغي َيع‬bb‫اء َو ْالمُن َك‬b‫رْ َبى َو َي ْن َهى َع ِن ْال َفحْ َش‬bbُ‫اء ذِي ْالق‬bb‫ان َوِإي َت‬ ‫ْأ‬
‫ِظ ُك ْم‬ ِ ِ ِ b‫ ْد ِل َواِإلحْ َس‬b‫ِإنَّ هّللا َ َي ُم ُر ِب ْال َع‬
‫ُون‬ َ ‫َل َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر‬
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan
memberikan nafkah kepada sanak kerabat. Dan Allah melarang
semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan
melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau
mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)

Inilah Pilar Agamamu: Rukun dan Makna Islam (1)


Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui
dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa
meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan
yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah
hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat
mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia
sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita
untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang
menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.
Inilah Pilar Itu
Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh
perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang
hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau
juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat
menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang
abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan
bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah
kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih
sayang seorang ibu pada anaknya.
َ ‫َل َق ْد َجاء ُك ْم َرسُو ٌل مِّنْ َأنفُسِ ُك ْم َع ِزي ٌز َع َل ْي ِه َما َع ِن ُّت ْم َح ِريصٌ َع َل ْي ُكم ِب ْالمُْؤ ِمن‬
‫ِين َرُؤ وفٌ رَّ حِي ٌم‬
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At
Taubah: 128)
Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar
agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam
ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat,
(4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan
Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang
bertanya kepada beliau, “Wahai Muhammad! Beri tahukan
kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam
adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau
menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan
Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.”
Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril,
“Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?”
Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau
beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR.
Muslim)
Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya
tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan
bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut
dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara
agama yang lahiriah sedangkan iman adalah perkara-perkara
yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan istilah Iman
dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu
mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika
ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun
perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah
yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang
mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah
dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang
durhaka.
Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama
Islam ini dibangun di atas lima pilar:
1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada
yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah.
2. Menegakkan sholat.
3. Menunaikan zakat.
4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.
Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang
merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa
yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan
janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh
dengan kenikmatan.
Makna Islam
Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang
dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam
secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah
dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan
menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari
perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari
orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan
makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul
semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa
agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka
jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna
Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam
dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul
terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan
patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai
dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka
ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang
berbuat syirik. Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama
pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama
pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian
pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah
Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
َ ‫ان م َِن ْال ُم ْش ِرك‬
‫ِين‬ َ ‫ان َحنِيفا ً مُّسْ لِما ً َو َما َك‬
َ ‫ان ِإب َْراهِي ُم َيهُو ِد ّيا ً َوالَ َنصْ َرا ِن ّيا ً َو َلكِن َك‬
َ ‫َما َك‬
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang
Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah
diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)
Allah juga berfirman,
َ ‫ه َُو َسمَّا ُك ُم ْالمُسْ ل‬
‫ِمين مِن َق ْب ُل‬
“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim
dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)
Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara
khusus yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di
dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam
secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa
embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan
“Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh
nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-
orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau
ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim
yang beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam
secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan Ringkas Rukun Islam (2)

Pilar Islam Pertama: Dua Kalimat Syahadat


Inilah pilar Islam yang pertama dan utama yaitu persaksian
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah
subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah
utusan Allah. Tanpa adanya pilar ini, maka tidak ada bangunan
Islam dari diri seseorang. Demikian pula jika pilar ini hancur,
maka akan ikut hancur pula bangunan Islam dari diri seseorang.
Oleh karena itu sudah seharusnya seorang muslim
memperhatikan dan senantiasa memelihara hal yang satu ini
dalam seluruh waktu dan kehidupannya.
Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah
selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa
Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di
lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah
mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta
mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada
seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah
melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias
dia hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu.
Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua kalimat
syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak
meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta. Allah
subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai orang munafik ketika
mereka mengatakan bahwa mereka bersaksi bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah,
namun Allah mendustakan persaksian palsu mereka yang tidak
muncul keyakinan tersebut. Allah berfirman:
َ ‫افِق‬bb‫ َه ُد ِإنَّ ْال ُم َن‬b‫ولُ ُه َوهَّللا ُ َي ْش‬b‫ك َل َر ُس‬
‫ِين‬ َ ‫و ُل هَّللا ِ َوهَّللا ُ َيعْ َل ُم ِإ َّن‬b‫ك َل َر ُس‬ َ ُ‫اءك ْال ُم َنافِق‬
َ ‫ َه ُد ِإ َّن‬b‫ون َقالُوا َن ْش‬ َ ‫ِإ َذا َج‬
َ ‫َل َكا ِذب‬
‫ُون‬
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka
berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-
benar Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta.” (QS. Al Munafiquun: 1)
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu
kalimat Laa Ilaha Illallah bukanlah kalimat yang ringan dan
sepele. Ada makna yang sangat dalam dan konsekuensi yang
sangat besar di balik kedua kalimat ini. Bahkan Allah pun menjadi
saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
‫َش ِهدَ هّللا ُ َأ َّن ُه الَ ِإ َلـ َه ِإالَّ ه َُو َو ْال َمالَِئ َك ُة َوُأ ْولُو ْا ْالع ِْل ِم َقآِئ َما ً ِب ْالقِسْ طِ الَ ِإ َلـ َه ِإالَّ ه َُو ْال َع ِزي ُز ْال َحكِي ُم‬
“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para
Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Ali
Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama,
memiliki makna:
ُ‫اَل َمعْ ب ُْو َد َح ٌق ِإاَل هللا‬
“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain
Allah”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫ُون مِن ُدو ِن ِه ه َُو ْالبَاطِ ُل َوَأنَّ هَّللا َ ه َُو ْال َعلِيُّ ْال َك ِبي ُر‬
َ ‫ك ِبَأنَّ هَّللا َ ه َُو ْال َح ُّق َوَأنَّ َما َي ْدع‬
َ ِ‫َذل‬
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah
(Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka
seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah,
Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah
subhanahu wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti
kuburan, pohon, para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain
sebagainya. Namun sesembahan tersebut pada hakikatnya tidak
berhak sama sekali untuk disembah dan diibadahi karena yang
berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah subhanahu wa
ta’ala.
‫ر‬bَ b‫ا َزا ُدو ُه ْم َغ ْي‬bb‫ك َو َم‬ َ ‫ ُر َر ِّب‬b‫ اء َأ ْم‬b‫ون هّللا ِ مِن َشيْ ٍء لِّمَّا َج‬
ِ ‫ُون مِن ُد‬ ْ ‫َف َما َأ ْغ َن‬
َ ‫ت َع ْن ُه ْم آلِ َه ُت ُه ُم الَّتِي َي ْدع‬
‫ب‬ٍ ‫َت ْت ِبي‬
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu
azab Tuhanmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah
menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS.
Huud: 101)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik
memiliki sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama
sekali tidak dapat memberikan manfaat pada mereka ketika
datang azab Allah.
Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat
menyedihkan sekali ketika kita melihat ada seorang muslim yang
sudah mengucapkan kedua kalimat syahadat, namun dia masih
melakukan berbagai macam bentuk peribadatan kepada selain
Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada orang shalih, kuburan,
jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara penyebab terjadinya
hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam yang
menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak
tahu terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam kalimat ‫ه إال هللا‬bbb‫ ال ال‬terkandung dua aspek yang sangat
penting. Yang pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini
tercermin pada kata-kata ‫( ال اله‬Tidak ada sesembahan yang
berhak disembah) yang berarti meniadakan dan segala macam
bentuk peribadatan pada selain Allah, apapun bentuknya. Para
ulama mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah An
Nafyu (‫)النفي‬. Sedangkan aspek yang kedua yaitu aspek
penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata ‫( إال هللا‬kecuali Allah)
yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk
peribadatan hanyalah untuk Allah semata. Para ulama
mengistilahkan aspek pertama ini dengan istilah Al Itsbat (‫)اإلثبات‬.
Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar
oleh seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat
syahadat ini. Karena, jika seorang muslim salah dalam
memahaminya, maka ia akan salah pula dalam
merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang
yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal),
sebagian mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa
yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan
makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T
besar)”. Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan
seluruh Tuhan yang ada yang disembah manusia. Ujung
kesimpulan mereka, mereka mengatakan bahwa Tuhan seluruh
agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam penyebutannya.
Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan
menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi
Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang bertauhid,
bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika
menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,
ً b‫ا َكلِ َم‬bb‫ِين َو َج َع َل َه‬
‫ة‬b َ ‫َوِإ ْذ َقا َل ِإب َْراهِي ُم َأِل ِبي ِه َو َق ْو ِم ِه ِإ َّننِي َب َراء ِّممَّا َتعْ ُب ُد‬
ِ ‫ون ِإاَّل الَّذِي َف َط َرنِي َفِإ َّن ُه َس َي ْهد‬
َ ‫َباقِ َي ًة فِي َعق ِِب ِه َل َعلَّ ُه ْم َيرْ ِجع‬
‫ُون‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang
kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang
menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah
kepadaku.” Dan lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu kalimat
yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada
kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan yang
disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau
berlepas diri dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan
bahwa peribadatan beliau hanyalah kepada Tuhan yang telah
menciptakan beliau yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian
beliau menjadikan kalimat ‫ه إال هللا‬bbbb‫ ال ال‬tersebut kekal untuk
keturunannya.
Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu
persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah
subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa telah ada seorang
Rasul di antara manusia ini yang Allah utus, dan dialah Nabi kita,
teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza
wa jalla berfirman,
‫ِين َرُؤ وفٌ رَّ حِي ٌم‬ َ ‫َل َق ْد َجاء ُك ْم َرسُو ٌل مِّنْ َأنفُسِ ُك ْم َع ِزي ٌز َع َل ْي ِه َما َع ِن ُّت ْم َح ِريصٌ َع َل ْي ُكم ِب ْالمُْؤ ِمن‬
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At
Taubah: 128)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
‫ َة َوِإن‬b‫اب َو ْال ِح ْك َم‬b
َ b‫يه ْم َو ُي َعلِّ ُم ُه ُم ْال ِك َت‬ َ ‫ث فِي اُأْل ِّمي‬
ِ ‫ِّين َرسُوالً ِّم ْن ُه ْم َي ْتلُو َع َلي ِْه ْم آ َيا ِت ِه َوي َُز ِّك‬ َ ‫ه َُو الَّذِي َب َع‬
‫ين‬ َ ‫َكا ُنوا مِن َق ْب ُل َلفِي‬
ٍ ‫ضاَل ٍل م ُِّب‬
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka
Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”(QS. Al
Jumuah: 2)
Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah
dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta
beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An
Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits kedua). Oleh karena
itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau tidaklah diberi
wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya
tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada
orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan
bahwa Al Quran dan Hadits hanyalah konsep yang disusun oleh
Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan
oleh para sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk
menyampaikan sesuatu yang telah diperintahkan kepada beliau,
maka persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga barang siapa
yang menganggap adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi
kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
persaksiannya tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh
sebagian orang yang mengatakan bahwa ada di antara
kelompoknya yang menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad
(jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti
Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah
memiliki konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau,
membenarkan berita yang beliau bawa, dan menjauhi seluruh
larangan beliau dan kita beribadah kepada Allah hanya dengan
syariat yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin Abdul Kariim Al
Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat dengan perintah beliau
yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah taat
pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal
yang bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan
berita yang beliau bawa karena beliau adalah orang yang jujur
dan dibenarkan dan karena perkataan beliau tidak berasal dari
hawa nafsu dan merupakan konsekuensi beriman bahwa beliau
adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan perkataan
beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan beliau
tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari
hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Beribadah
kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena
orang yang beribadah pada Allah dengan syariat selain beliau
maka dia telah melakukan bid’ah. Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang beramal dengan
amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
-bersambung insya Allah-
Inilah Pilar Agamamu: Penjelasan Ringkas Rukun Islam (3)

Pilar Islam Kedua: Menegakkan Sholat


Pilar Islam yang kedua setelah dua kalimat syahadat adalah
menegakkan sholat lima waktu. Bahkan sholat ini adalah
pembeda antara seorang yang beriman dan yang tidak beriman,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Sesungguhnya yang memisahkan antara seseorang
dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan
sholat.” (HR. Muslim). Oleh karena itu seorang muslim haruslah
memperhatikan sholatnya. Namun sungguh suatu hal yang
sangat memprihatinkan, banyak kaum muslimin di zaman ini yang
meremehkan masalah sholat bahkan terkadang lalai dari
mengerjakannya.
Lima waktu sholat tersebut adalah sholat Zhuhur, sholat Ashar,
sholat Magrib, Sholat Isya dan Sholat Subuh. Inilah sholat lima
waktu yang wajib dilakukan oleh seorang muslim. Mari kita simak
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, beliau
berkata, “Sholat lima waktu diwajibkan pada Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam pada malam Isra Mi’raj sebanyak 50 waktu,
kemudian berkurang sampai menjadi 5 waktu kemudian beliau
diseru, “Wahai Muhammad sesungguhnya perkataan-Ku tidak
akan berubah dan pahala 5 waktu ini sama dengan pahala 50
waktu bagimu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
َ ‫آن ْال َفجْ ِر َك‬
ً‫ان َم ْشهُودا‬ َ ْ‫آن ْال َفجْ ِر ِإنَّ قُر‬ َّ ‫َأق ِِم ال‬
ِ ‫صالَ َة لِ ُدلُوكِ ال َّش‬
َ ْ‫مْس ِإ َلى َغ َس ِق اللَّي ِْل َوقُر‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat
subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra: 78)
Pada firman Allah,
‫ْس ِإ َلى َغ َس ِق اللَّي ِْل‬ ِ ‫صالَ َة لِ ُدلُوكِ ال َّشم‬ َّ ‫َأق ِِم ال‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam.”
Terkandung di dalamnya kewajiban mengerjakan sholat Zuhur
sampai dengan Isya kemudian pada firman-Nya,
ً‫ان َم ْشهُودا‬ َ ‫آن ْال َفجْ ِر َك‬ َ ْ‫آن ْال َفجْ ِر ِإنَّ قُر‬َ ْ‫َوقُر‬
“Dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh
itu disaksikan (oleh malaikat).” terkandung di dalamnya perintah
mengerjakan sholat subuh. (Lihat Syarah Aqidah al
Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin).
Mendirikan sholat adalah kewajiban setiap muslim yang sudah
baligh dan berakal. Adapun seorang muslim yang hilang
kesadarannya, maka ia tidak diwajibkan mengerjakan sholat
berdasarkan hadits dari Ali rodhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau berkata, “Pena diangkat dari tiga
golongan, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak
kecil sampai dia mimpi dan dari orang gila sampai dia
sembuh.” (HR. Abu Daud No 12,78 dan 4370 Lihat di Shohih
Jami’us Shaghir 3513 ).
Walaupun demikian, wali seorang anak kecil wajib menyuruh
anaknya untuk sholat agar melatih sang anak menjaga sholat
lima waktu. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Perintahkanlah anak kalian yang sudah
berumur tujuh tahun untuk mengerjakan sholat, dan pukullah
mereka agar mereka mau mengerjakan sholat saat mereka
berumur 10 tahun dan pisahkanlah tempat tidur
mereka.” (Hasan, Shahih Jami’us Shaghir 5868, HR. Abu Daud)
Pilar Islam Ketiga: Menunaikan Zakat
Inilah rukun Islam yang ketiga yaitu menunaikan zakat. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,
ُ‫ك دِين‬b َ bِ‫ا َة َو َذل‬bb‫الز َك‬
َّ ‫وا‬bb‫اَل َة َويُْؤ ُت‬b‫الص‬ َ ِ‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِ َيعْ ُب ُدوا هَّللا َ م ُْخلِص‬
َ ‫ ِّد‬b‫ين َل ُه ال‬
َّ ‫وا‬bb‫اء َو ُيقِي ُم‬bb‫ين حُ َن َف‬
‫ْال َق ِّي َم ِة‬
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. dan yang demikian itulah agama yang
lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman ketika mengancam
orang-orang yang tidak mau membayar zakatnya,
‫ا‬bb‫ون َم‬ َ ُ‫ي َُطوَّ ق‬b‫رٌّ لَّ ُه ْم َس‬b‫و َش‬bَ b‫ ْل ُه‬b‫راً لَّ ُه ْم َب‬bb‫و َخ ْي‬bَ b‫ون ِب َما آ َتا ُه ُم هّللا ُ مِن َفضْ لِ ِه ُه‬ َ ُ‫ِين َيب َْخل‬َ ‫َوالَ َيحْ َس َبنَّ الَّذ‬
‫ون َخ ِبي ٌر‬ َ ُ‫ض َوهّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬ ِ ْ‫ت َواَألر‬ ُ ‫ِير‬
ِ ‫اث ال َّس َم َاوا‬ َ ‫َب ِخلُو ْا ِب ِه َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوهّلِل ِ م‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan
itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali
Imran: 180)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits dari Abu Hurairoh dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda, “Barang siapa yang diberikan harta oleh
Allah namun dia tidak menunaikan zakatnya pada hari kiamat dia
akan menghadapi ular jantan yang botak kepalanya karena
banyak bisanya dan memiliki dua taring yang akan
mengalunginya pada hari kiamat. Kemudian ular tersebut
menggigit dua mulutnya dan berkata, aku adalah harta
simpananmu, aku adalah hartamu.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,
‫ا‬bb‫ون َم‬ َ ُ‫ي َُطوَّ ق‬b‫رٌّ لَّ ُه ْم َس‬b‫و َش‬bَ b‫ ْل ُه‬b‫راً لَّ ُه ْم َب‬bb‫و َخ ْي‬bَ b‫ون ِب َما آ َتا ُه ُم هّللا ُ مِن َفضْ لِ ِه ُه‬ َ ُ‫ِين َيب َْخل‬َ ‫َوالَ َيحْ َس َبنَّ الَّذ‬
‫ون َخ ِبي ٌر‬ َ ُ‫ض َوهّللا ُ ِب َما َتعْ َمل‬ ِ ْ‫ت َواَألر‬ ُ ‫ِير‬
ِ ‫اث ال َّس َم َاوا‬ َ ‫َب ِخلُو ْا ِب ِه َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َوهّلِل ِ م‬
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan
itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu
akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan
kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di
bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali
Imran: 180)
Pilar Islam Keempat: Berpuasa Pada Bulan Ramadhan
Inilah rukun Islam keempat yang wajib dilakukan oleh seorang
muslim yaitu berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan
Ramadhan dengan menahan makan, minum dan berhubungan
suami istri serta pembatal lain dari mulai terbit fajar sampai
tenggelamnya matahari. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫ت‬ ٍ ‫ون َأيَّاما ً مَّعْ ُدودَا‬ َ ُ‫ِين مِن َق ْبلِ ُك ْم َل َعلَّ ُك ْم َت َّتق‬ َ ‫ِب َع َلى الَّذ‬ َ ‫ص َيا ُم َك َما ُكت‬ ِّ ‫ِب َع َل ْي ُك ُم ال‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
َ ‫ِين آ َم ُنو ْا ُكت‬
ٍ ‫ك‬b‫ ا ُم م ِْس‬b‫ة َط َع‬b
‫ِين‬ ٌ b‫ِين يُطِ يقُو َن ُه ف ِْد َي‬ َ ‫َّام ُأ َخ َر َو َع َلى الَّذ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫ان مِن ُكم م َِّريضا ً ْو َع َلى َس َف ٍر َف ِع َّدةٌ مِّنْ ي‬ َ ‫َف َمن َك‬
‫ز َل‬b ‫ان الَّذ َ ُأ‬ َ ‫ُون َش ْه ُر َر َم‬ َ ‫َف َمن َت َطوَّ َع َخيْراً َفه َُو َخ ْي ٌر لَّ ُه َوَأن َتصُومُو ْا َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم ِإن ُكن ُت ْم َتعْ َلم‬
ِ b‫ِي ن‬ َ b‫ض‬
‫ص ْم ُه‬ُ ‫ان َف َمن َش ِه َد مِن ُك ُم ال َّشه َْر َف ْل َي‬ ِ ‫ت م َِّن ْالهُدَى َو ْالفُرْ َق‬ ٍ ‫اس َو َب ِّي َنا‬ِ ‫فِي ِه ْالقُرْ آنُ ُه ًدى لِّل َّن‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 183-185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Barang siapa yang
berpuasa pada bulan Ramadhan karena beriman dengan
kewajibannya dan mengharap pahala dari Allah maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Allah berfirman, seluruh amal anak cucu Adam
adalah untuknya sendiri kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku
dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jika
kalian berpuasa, maka janganlah kalian berbicara kotor atau
dengan berteriak-teriak. Jika ada yang menghina kalian atau
memukul kalian, maka katakanlah “aku sedang berpuasa”
sebanyak dua kali. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Allah dibandingkan bau minyak kesturi pada hari kiamat nanti.
Orang yang berpuasa mendapatkan dua kebahagiaan, bahagia
ketika berbuka berpuasa dan bahagia dengan sebab berpuasa
ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga terdapat
sebuah pintu yang disebut dengan pintu Ar Rayyan. Hanya
orang-orang yang sering berpuasa yang akan memasuki pintu
tersebut. Mereka dipanggil, “Mana orang-orang yang berpuasa?”
kemudian mereka masuk ke dalamnya dan orang-orang selain
mereka tidak bisa masuk. Jika mereka sudah masuk, maka
tertutup pintu tersebut dan tidak ada lagi yang masuk selain
mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pilar Islam Kelima: Menunaikan Haji ke Baitullah Jika Mampu
Rukun Islam yang kelima yaitu menunaikan haji ke Baitullah jika
mampu sekali seumur hidup. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
َ ‫ت َم ِن اسْ َت َط‬
‫اع ِإ َل ْي ِه َس ِبي‬ ِ ‫َوهّلِل ِ َع َلى ال َّن‬
ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh, “Umroh yang satu
dengan yang selanjutnya menjadi pelebur dosa di antara
keduanya dan tidak ada pahala yang pantas bagi haji yang
mabrur kecuali surga.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah beliau
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkhotbah, “Wahai manusia, Allah telah mewajibkan pada kalian
ibadah haji, maka berhajilah.” Kemudian ada seorang laki-laki
yang berkata, “Apakah pada setiap tahun wahai Rasulullah?”
kemudian beliau terdiam sampai-sampai laki-laki itu bertanya
sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Seandainya aku
katakan Iya, niscaya akan wajib bagi kalian padahal kalian tidak
mampu. Biarkan apa yang aku tinggalkan karena sesungguhnya
sebab kebinasaan orang setelah kalian adalah banyak bertanya
dan menyelisihi nabinya. Jika aku perintahkan satu hal maka
lakukan semampu kalian dan jika aku melarang sesuatu maka
jauhilah.” (HR. Muslim).
Apakah yang dimaksud dengan mampu pada pelaksanaan
ibadah haji? Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi menjelaskan bahwa
kemampuan dalam melaksanakan ibadah haji terkait dengan 3
hal yaitu:
Pertama, kesehatan berdasarkan hadits dari ibnu Abbas bahwa
ada seorang wanita dari Ja’tsam yang mengadu pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah
sesungguhnya ayahku terkena kewajiban haji ketika umurnya
sudah tua dan ia tidak mampu menaiki tunggangannya, apakah
aku boleh berhaji untuknya?” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Berhajilah untuknya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Kedua, memiliki bekal untuk perjalanan haji pulang-pergi dan
memiliki bekal untuk kebutuhan orang-orang yang wajib dia beri
nafkah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Cukuplah seorang disebut sebagai pendosa jika dia
menyia-nyiakan orang yang wajib dia nafkahi.”(HR. Abu Daud)
Ketiga, aman dari gangguan dalam perjalanan. Karena
menunaikan haji padahal kondisi tidak aman adalah sebuah
bahaya dan bahaya merupakan salah satu penghalang yang
disyariatkan.
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang lima pilar Islam yang kita
kenal dengan rukun Islam. Semoga apa yang kami sampaikan ini
bisa bermanfaat bagi kita semua. Amiin ya mujibbas Saailiin…
Rujukan:
1. Syarah Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziiz
Alu Syaikh
2. Taisir Wushul Ilaa Nailil Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul,
Syaikh Nu’man bin Abdil Kariim Al Watr
3. Al Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz Syaikh Abdul
‘azhim Badawi
4. Syarah Aqidah al Wasithiyyah (Syaikh Muhammad bin Shalih
Al Utsaimin)

Islam, Iman dan Ihsan

Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal


adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at,
Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia
tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang
dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di
seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal
di dalam Islam?
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah
didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak
dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia
menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun
telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan
Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai
Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka
Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi
pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang
kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).
Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam
(penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan
Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3
tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam
beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya
Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan
zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau
mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu
Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari
hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-
amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan
haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman
itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman
terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi
Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-
perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini
adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila
kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu
islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan
sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan
tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau
iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam
firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama
kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup
islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu
engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya,
maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-
Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini
adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia
menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap
dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun
sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan
yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi
semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu:
menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa
takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi
bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu
menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’inhlm. 21).
Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila
dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya
bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman
bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan.
Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari
substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari
orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan
sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang
yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang
mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa
dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil
awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan
bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah
merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam
hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir.
Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi
imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini
keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan
amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga
statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan
iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah
berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah
beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah
kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14).
Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang
memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi
daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian
tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang
lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil
awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)
Kesimpulan
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita
bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at,
Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di
kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik
ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana
disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan
penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula
kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam
itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan
Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru
menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi
yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu
amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu
tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat
muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak
sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan
orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at.Wallohu a’lam.
Agama Islam untuk Seluruh Manusia
Nabi Muhammad memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya
adalah beliau diutus oleh Allah untuk seluruh manusia dan jin.
Adapun seluruh Nabi sebelum beliau hanyalah diutus untuk
umatnya masing-masing.
Allah Ta’ala berfirman:
ِ‫و يُحْ ي‬bbُ َ ‫ض آل ِإ َل َه ِإالَّ ه‬ ِ ْ‫ت َو ْاَألر‬ ِ ‫ك ال َّس َم َاوا‬ ِ ‫قُ ْل َياَأ ُّي َها ال َّناسُ ِإ ِّني َرسُو ُل‬
ُ ‫هللا ِإ َل ْي ُك ْم َجمِيعًا الَّذِي َل ُه م ُْل‬
‫ون‬ ِ ‫هلل َو َرسُولِ ِه ال َّن ِبيِّ ْاُألمِّيِّ الَّذِي يُْؤ مِنُ ِبا‬
َ ‫هلل َو َكلِ َما ِت ِه َوا َّت ِبعُوهُ َل َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُد‬ ِ ‫ِيت فََئ ا ِم ُنوا ِبا‬
ُ ‫َو ُيم‬
Katakanlah: “Hai manusia, sesung-guhnya aku adalah utusan
Alloh kepadamu semua, yaitu Alloh yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain
Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah
kamu kepada Alloh dan RosulNya, Nabi yang ummi yang
beriman kepada Alloh dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-
kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. [QS.
Al-A’rof (7): 158]
Perintah Allah dalam ayat ini “Katakanlah: “Hai manusia,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”, ini
menunjukkan bahwa Nabi Muhammad diutus untuk seluruh
manusia, sebagaimana firman Allah,
‫ُون‬ َ ‫اس الَ َيعْ َلم‬ ِ ‫اس بَشِ يرً ا َو َن ِذيرً ا َو َلكِنَّ َأ ْك َث َر ال َّن‬ َ ‫َو َمآ َأرْ َس ْل َن‬
ِ ‫اك ِإالَّ َكآ َّف ًة لِل َّن‬
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-
tahui. [QS. Saba’ (34): 28]
Oleh karena itulah siapa saja yang telah mendengar
dakwah agama Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
, yang membawa kitab suci Al-Qur’an, kemudian tidak beriman,
tidak percaya dan tidak tunduk, maka dia adalah orang kafir dan
di akhirat menjadi penghuni neraka, kekal selamanya. Allah
Ta’ala berfirman,
َ b‫ك َو َلكِنَّ َأ ْك َث‬
‫ر‬b َ ‫ ُّق مِن رَّ ِّب‬b‫ ُه ِإ َّن ُه ْال َح‬b‫ ٍة ِّم ْن‬b‫ك فِي ِمرْ َي‬ ُ b‫ ُدهُ َفالَ َت‬bِ‫ب َفال َّنا ُر َم ْوع‬ ِ ‫َو َمن َي ْكفُرْ ِب ِه م َِن ْاَألحْ َزا‬
‫ون‬َ ‫اس الَ يُْؤ ِم ُن‬ ِ ‫ال َّن‬
Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan
sekutu-sekutunya yang kafir kepada al-Qur’an, maka nerakalah
tempat yang diancam-kan baginya, karena itu janganlah kamu
ragu-ragu terhadap al-Qur’an itu. Sesungguhnya (al-Qur’an) itu
benar-benar dari Robbmu, tetapi kebanyakan manusia tidak
beriman”. [QS. Hud (11): 17]
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ُ b‫َوالَّذِي َن ْفسُ م َُح َّم ٍد ِب َي ِد ِه الَ َيسْ َم ُع ِبي َأ َح ٌد ِمنْ َه ِذ ِه ْاُأل َّم ِة َيهُودِيٌّ َوالَ َنصْ َرانِيٌّ ُث َّم َي ُم‬
ْ‫ْؤ ِمن‬bb‫وت َو َل ْم ُي‬b
‫ار‬ِ ‫ب ال َّن‬ ِ ‫ان ِمنْ َأصْ َحا‬ َ ‫ت ِب ِه ِإالَّ َك‬ ُ ‫ِبالَّذِي ُأرْ سِ ْل‬
Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, tidaklah
seorangpun di kalangan umat ini, Yahudi atau Nashrani,
mendengar tentang aku, kemudian dia mati, dan tidak beriman
kepada apa yang aku diutus dengan-nya, kecuali dia termasuk
para peng-huni neraka. [Hadits Shohih Riwayat Muslim, no: 153,
dari Abu Huroiroh]
NABI-NABI DAHULU KHUSUS UNTUK KAUMNYA
Adapun seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad , maka mereka
semua di utus khusus kepada umatnya masing-masing. Perkara
ini merupakan perkara yang telah pasti di dalam agama Islam,
sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini,
‫ ٌد َق ْبلِي‬b‫ا َل ْم يُعْ َطهُنَّ َأ َح‬b‫يت َخ ْم ًس‬ ُ ِ‫ا َل ُأعْ ط‬bb‫لَّ َم َق‬b‫ ِه َو َس‬b‫لَّى هَّللا ُ َع َل ْي‬b‫ص‬َ َّ‫ ِد هَّللا ِ َأنَّ ال َّن ِبي‬b‫ْن َع ْب‬
ِ ‫ ِاب ِر ب‬b‫َعنْ َج‬
‫ ُه‬bb‫ت لِي اَأْلرْ ضُ َمسْ ِج ًدا َو َطهُورً ا َفَأ ُّي َما َرج ٍُل ِمنْ ُأ َّمتِي َأ ْد َر َك ْت‬ ْ ‫ير َة َشه ٍْر َو ُج ِع َل‬
َ ِ‫ب مَس‬ ِ ْ‫ت ِبالرُّ ع‬ ُ ْ‫ُنصِ ر‬
‫ث ِإ َلى‬ ُ ‫ان ال َّن ِبيُّ ُي ْب َع‬b
َ b‫ َفا َع َة َو َك‬b ‫الش‬ َّ ‫يت‬ ُ ِ‫ت لِي ْال َم َغا ِن ُم َو َل ْم َت ِح َّل َأِل َح ٍد َق ْبلِي َوُأعْ ط‬ْ َّ‫ص ِّل َوُأ ِحل‬ َ ‫صاَل ةُ َف ْل ُي‬
َّ ‫ال‬
‫اس َعام ًَّة‬ ِ ‫ت ِإ َلى ال َّن‬ ُ ‫َق ْو ِم ِه َخاص ًَّة َو ُبع ِْث‬
Dari Jabir bin Abdulloh, bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Aku
diberi (oleh Allah) lima perkara, yang itu semua tidak diberikan
kepada seorang-pun sebelumku.
Aku ditolong (oleh Allah) dengan kegentaran (musuh sebelum
kedata-nganku) sejauh perjalanan sebulan;
Bumi (tanah) dijadikan untukku sebagai masjid (tempat sholat)
dan alat bersuci (untuk tayammum-pen). Maka siapa saja dari
umatku yang (waktu) sholat menemuinya, hendaklah dia sholat.
Ghonimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku, dan itu
tidaklah halal untuk seorangpun sebelumku.
Aku diberi syafa’at (oleh Allah).
Dan Nabi-Nabi dahulu (sebelum-ku) diutus khusus kepada
kaumnya, sedangkan aku diutus kepada manusia semuanya.
[Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 335]
Di zaman ini banyak orang-orang Kristen menyebarkan agama
mereka ke berbagai pelosok dunia. Mereka menisbatkan agama
mereka kepada Nabi Isa bin Maryam , yang mereka menyebutnya
dengan Yesus. Padahal Nabi Isa bin Maryam hanya diutus
kepada Bani Isroil. Allah Ta’ala berfirman,
‫ دَيَّ م َِن ال َّت ْو َرا ِة‬b‫ا َبي َْن َي‬bb‫ ِّد ًقا لِّ َم‬b ‫ُّص‬
َ ‫هللا ِإ َل ْي ُكم م‬
ِ ‫يسى ابْنُ َمرْ َي َم َيا َبنِي ِإسْ َرا ِءي َل ِإ ِّني َرسُو ُل‬ َ ِ‫َوِإ ْذ َقا َل ع‬
‫ُول َيْأتِي مِن َبعْ دِي اسْ ُم ُه َأحْ َم ُد‬ ٍ ‫َو ُم َب ِّشرً ا ِب َرس‬
Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: “Hai bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu,
membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurot dan
memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rosul
yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)”. Maka tatkala Rosul itu datang kepada mereka
dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: “Ini
adalah sihir yang nyata”. [QS. Ash-Shoff (61): 6]
KESAKSIAN AYAT BIBEL
Dan ternyata kita masih menda-patkan di antara ayat-ayat Bibel
(Kitab yang dianggap suci oleh orang-orang Nashoro)
menjelaskan dengan tegas bahwa Nabi Isa (yang mereka sebut
Yesus) hanya diutus kepada Bani Isroil saja. Marilah kita
perhatikan ayat-ayat di dalam kitab mereka:
1-Disebutkan di dalam Bibel: “Jawab Yesus: “Aku diutus hanya
kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”. (Matius 15:
24)
2-Disebutkan di dalam Bibel: “Kedua belas murid itu diutus oleh
Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: “Janganlah kamu
menyim-pang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota
orang Samaria, melain-kan pergilah kepada domba-domba yang
hilang dari umat Israel”. (Matius 10: 6)
Walaupun ayat-ayat Bibel di atas begitu jelas menyatakan bahwa
ajaran Kristen hanya untuk Bani Israel, namun pengikut-pengikut
Kristen begitu giat menyebarkan agamanya kepada semua
bangsa, termasuk di Indonesia. Bahkan sampai ke ber-bagai
pelosok yang tidak ada orang Bani Israel di sana! Maka apakah
manfaat bangsa selain Bani Israel yang mengikuti agama Kristen,
yang pembawa agama itu telah mene-gaskan bahwa agamanya
hanya untuk umat Israel?!
Atau mungkin mereka berpegang ayat lain pada kitab mereka
yang memerintahkan untuk menyebarkan agama Kristen kepada
seluruh bangsa. Ayat itu berbunyi: “Karena itu pergi-lah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan baptiskan mereka dalam
nama Bapa dan anak dan Roh Kudus”. (Matius 28:19)
Ini berarti ayat ini bertentangan dengan ayat-ayat di atasnya!
Maka manakah yang benar? Yang pasti bahwa tidak ada jaminan
kebenaran terhadap semua isi kitab Bibel, bahkan bukti-bukti
menunjukkan banyak ayat yang dipalsukan. Maha benar
Allah Ta’ala yang telah berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an,
ُ‫وه‬bbُ‫ا َع َقل‬bb‫ ِد َم‬b ْ‫ ُه مِن َبع‬b‫ُون َكالَ َم هَّللا ِ ُث َّم ي َُحرِّ فُو َن‬
َ ‫يق ِم ْن ُه ْم َيسْ َمع‬
ٌ ‫ان َف ِر‬ َ ‫َأ َف َت ْط َمع‬
َ ‫ُون َأن يُْؤ ِم ُنوا َل ُك ْم َو َق ْد َك‬
َ ‫َو ُه ْم َيعْ َلم‬
‫ُون‬
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya
kepadamu, padahal segolongan dari mereka (Ahli Kitab)
mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahya setelah
mereka memahaminya, sedang mereka menge-tahui? [QS. Al-
Baqoroh (2): 75]
Dan Allah mengancam dengan keras terhadap orang-orang yang
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dengan firmanNya,
ِ ‫اب ِبَأ ْيد‬
َ ُ‫ِيه ْم ُث َّم َيقُول‬
‫ون َه َذا ِمنْ عِ ن ِد هَّللا ِ لِ َي ْش َترُوا ِب ِه َث َم ًنا َقلِيالً َف َو ْي ٌل لَّهُم ِّممَّا‬ َ ‫ُون ْال ِك َت‬ َ ‫َف َو ْي ٌل لِّلَّذ‬
َ ‫ِين َي ْك ُتب‬
َ ‫ِيه ْم َو َو ْيلُُلَّهُم ِّممَّا َي ْكسِ ب‬
‫ُون‬ ِ ‫ت َأ ْيد‬
ْ ‫َك َت َب‬
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis
Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: “Ini
dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan
yang sedikit (yakni kesenangan duniawi-pen) dengan perbuatan
itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang
telah mereka tulis dengan tangan-tangan mereka, dan
kecelakaan besarlah bagi mereka akibat dari apa yang mereka
kerjakan. [QS. Al-Baqoroh (2): 79]

Syarat Syahadat Laa Ilaaha Illallah

Setiap ibadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi


agar ibadah tersebut sah. Seseorang yang hendak sholat tentu
akan berwudhu terlebih dahulu, karena suci adalah syarat sah
sholat. Begitu pula ibadah yang lain seperti haji, puasa dan zakat
juga memiliki rukun-rukun dan syarat yang tidak boleh tidak harus
dipenuhi. Segala sesuatu yang harus dipenuhi sebelum
mengerjakan sesuatu yang lain disebut syarat. Lalu bagaimana
pula dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illalloh? Tidak
diragukan lagi bahwa syahadat adalah setinggi-tingginya derajat
keimanan dan rukun islam yang paling utama. Di sana ada
syarat-syarat yang harus dipenuhi agar kalimat Laa Ilaaha
Illalloh yang kita ucapkan dianggap sah.
Para ulama menjelaskan bahwa syahadat Laa Ilaaha
Illalloh memiliki delapan syarat:
1. Ilmu
Sebuah pengakuan tidak dianggap kecuali dengan ilmu. Oleh
karena itu, wajib bagi kita untuk mengucapkan kalimat syahadat
ini dengan mengilmui makna dari kalimat tersebut. Alloh
berfirman, “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Alloh tidak dapat memberi syafa’at; akan tetapi (orang
yang dapat memberi syafa’at ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya).” (Az Zukhruf: 86).
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mati
dalam keadaan mengilmui Laa Ilaaha Illalloh pasti masuk
surga.” (HR. Al Bukhori dan Muslim). Dan makna yang benar dari
kalimat Laa Ilaaha Illalloh yaitu tidak ada sesembahan yang haq
melainkan Alloh Ta’ala.
2. Yakin
Yakin adalah tidak ragu-ragu dengan kebenaran maknanya
sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai cobaan.
Alloh berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Alloh dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Alloh. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al Hujurat: 15)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
engkau jumpai dari balik dinding ini dia bersaksi Laa Ilaaha
Illalloh dengan keyakinan hatinya sampaikanlah kabar gembira
untuknya bahwa dia masuk surga.” (HR. Muslim)
3. Menerima
Alloh menceritakan keadaan orang kafir Quraisy yang tidak
menerima dakwah Nabi Muhammad dalam firman-
Nya, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka: ‘Laa ilaaha Illalloh’ (Tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Alloh) mereka menyombongkan diri. Dan mereka
berkata: ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (As
Shoffat: 35-36)
Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
Inilah sifat orang kafir, tidak menerima kebenaran kalimat Laa
ilaaha Illalloh. Sungguh hanya Alloh lah yang berhak disembah
dan diibadahi.
4. Tunduk
Maksudnya yaitu melaksanakan konsekuensinya lahir dan batin.
Alloh berfirman, “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya
kepada Alloh, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.
Dan hanya kepada Alloh-lah kesudahan segala
urusan.” (Luqman: 22)
Nabi bersabda, “Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa
nafsunya tunduk mengikuti ajaranku.” (HR. Thabrani)
5. Jujur
Alloh berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang
mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh
mengetahui orang-orang yang benar (jujur) dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabut: 2-3)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tak seorang pun
bersaksi Laa Ilaaha Illalloh dan Muhammad hamba Alloh dan
rasul-Nya dengan kejujuran hati kecuali Alloh mengharamkan
neraka untuk menyentuhnya.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
Betapa kejujuran menjadi syarat sahnya syahadat. Lihatlah
bagaimana syahadat orang munafik ditolak oleh Alloh karena
tidak jujur. Sebagaimana firman-Nya, “Apabila orang-orang
munafik datang kepadamu, mereka berkata: ‘Kami mengakui,
bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh.’ Dan Alloh
mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya;
dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta.” (Al Munafiqun: 1)
6. Ikhlas
Ikhlas hakikatnya mengharapkan balasan dari Alloh saja, tidak
kepada selain-Nya. Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan mengikhlaskan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,
dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Apa yang dimaksud dengan ikhlas?
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Alloh
mengharamkan bagi neraka menyentuh orang yang mengatakan
Laa Ilaaha Illalloh karena semata-mata mencari wajah
Alloh.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
7. Cinta
Alloh berfirman, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka
mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun
orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Alloh. Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan
itu kepunyaan Alloh semuanya dan bahwa Alloh amat berat
siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Al Baqoroh: 165)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal
barangsiapa memilikinya pasti akan merasakan kelezatan iman:
Alloh dan rasul-Nya lebih dia cintai dibanding selain keduanya,
dia mencintai seseorang karena Alloh, dan dia benci untuk
kembali kafir sebagaimana kebenciannya jika dilempar ke dalam
api.” (HR. Al Bukhori dan Muslim)
8. Mengingkari peribadatan kepada Thoghut.
Thoghut adalah segala sesuatu selain Alloh yang ridho
disembah/diibadahi. Alloh berfirman, “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang
ingkar kepada Thoghut dan beriman kepada Alloh, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”(Al Baqoroh: 256)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh dan mengingkari sesembahan
selain Alloh, haramlah harta dan darahnya sedang
perhitungannya adalah terserah kepada Alloh Azza Wa
Jalla.” (HR. Muslim)
Perlu diperhatikan, syarat-syarat ini tidak bermanfaat sama sekali
jika sekedar dihafalkan, tanpa diamalkan. apakah kita sudah
mengevaluasi syahadat kita? Sudahkah terpenuhi delapan syarat
ini dalam syahadat Laa Ilaaha Illalloh yang kita ikrarkan? Belum
terlambat. Berbenahlah! Semoga kita bertemu dengan Alloh
sebagai seorang yang bertauhid, bukan sebagai seorang
musyrik. Wal ‘iyaadzu billah.
3 Pokok Ajaran Islam

Sejauh Mana Pemahaman Kita?


Tak terasa, sudah sejak lama sekali (mungkin sudah 20-an tahun
atau bahkan lebih) kita menjadi sebagai seorang muslim. Nikmat
yang besar ini patutlah kita syukuri, karena banyak diantara
manusia yang tidak memperoleh nikmat ini. Dan nikmat inilah
yang sangat menentukan bahagia atau sengsaranya kita di hari
akhir nanti.
Pada kesempatan ini, tidaklah kami ingin menanyakan ‘Sejak
kapan kita masuk islam?’ atau ‘Bagaimana ceritanya kita masuk
islam?’ karena jawaban pertanyaan ini bukanlah suatu yang
paling mendasar dan paling penting. Namun pertanyaan paling
penting yang harus kita renungkan dan kita jawab pada setiap diri
kita adalah: ‘Sudah sejauh manakah kita telah memahami dan
mengamalkan ajaran kita ini?’ Pertanyaan inilah yang paling
penting yang harus direnungkan dan dijawab, karena jawaban
pertanyaan inilah yang nantinya sangat menentukan kualitas
keislaman dan ketakwaan seseorang.
Alloh berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-
benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati di dalam kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.” (Al Ashr: 1-3)
Alloh berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu.” (Al Hujurot: 13)
Pokok Ajaran Islam
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah
ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada
dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan
negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Alloh
berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan
telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-
orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan
kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab
Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Semua ini
menunjukkan sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk
yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh
kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau
lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.
Meskipun begitu luasnya petunjuk Islam, pada dasarnya pokok
ajarannya hanyalah kembali pada tiga hal yaitu tauhid, taat dan
baro’ah/berlepas diri. Inilah inti ajaran para Nabi dan Rosul yang
diutus oleh Alloh kepada ummat manusia. Maka barangsiapa
yang tidak melaksanakan ketiga hal ini pada hakikatnya dia
bukanlah pengikut dakwah para Nabi. Keadaan orang semacam
ini tidak ubahnya seperti orang yang digambarkan oleh seorang
penyair,
Semua orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila,
namun laila tidak mengakui perkataan mereka
Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Merealisasikan Tauhid
Yaitu kerendahan diri dan tunduk kepada Alloh dengan tauhid,
yakni mengesakan Alloh dalam setiap peribadahan kita. Tidak
boleh menujukan satu saja dari jenis ibadah kita kepada selain-
Nya. Karena memang hanya Dia yang berhak untuk diibadahi.
Dia lah yang telah menciptakan kita, memberi rizki kita dan
mengatur alam semesta ini, pantaskah kita tujukan ibadah kita
kepada selain-Nya, yang tidak berkuasa dan berperan sedikitpun
pada diri kita?
Semua yang disembah selain Alloh tidak mampu memberikan
pertolongan bahkan terhadap diri mereka sendiri sekali pun. Alloh
berfirman, “Apakah mereka mempersekutukan dengan berhala-
berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedang
berhala-berhala itu sendiri yang diciptakan. Dan berhala-berhala
itu tidak mampu memberi pertolongan kepada para
penyembahnya, bahkan kepada diri meraka sendiripun berhala-
berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al -A’rof: 191-192)
Semua yang disembah selain Alloh tidak memiliki sedikitpun
kekuasaan di alam semesta ini. Alloh berfirman, “Dan orang-
orang yang kamu seru selain Alloh tiada mempunyai apa-apa
walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka
tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar,
mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu, dan pada
hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak
ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13-14)
Tunduk dan Patuh Kepada Alloh Dengan Sepenuh Ketaatan
Pokok Islam yang kedua adalah adanya ketundukan dan
kepatuhan yang mutlak kepada Alloh. Dan inilah sebenarnya
yang merupakan bukti kebenaran pengakuan imannya.
Penyerahan dan perendahan semata tidak cukup apabila tidak
disertai ketundukan terhadap perintah-perintah Alloh dan Rosul-
Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang, semata-mata hanya
karena taat kepada Alloh dan hanya mengharap wajah-Nya
semata, berharap dengan balasan yang ada di sisi-Nya serta
takut akan adzab-Nya.
Kita tidak dibiarkan mengatakan sudah beriman lantas tidak ada
ujian yang membuktikan kebenaran pengakuan tersebut. Alloh
berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji
lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-
orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-
orang yang dusta.” ( Al-Ankabut: 2-3)
Orang yang beriman tidak boleh memiliki pilihan lain apabila Alloh
dan Rosul-Nya telah menetapkan keputusan. Alloh
berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang beriman dan
tidak pula perempuan yang beriman, apabila Alloh dan Rosul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan
Rosul-Nya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang
nyata.” (Al Ahzab: 36)
Orang yang beriman tidak membantah ketetapan Alloh dan
Rosul-Nya akan tetapi mereka mentaatinya lahir maupun batin.
Alloh berfirman,“Sesungguhnya jawaban orang-orang beriman,
bila mereka diseru kepada Alloh dan Rosul-Nya agar rosul
menghukum di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar,
dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (An Nur: 51)
Memusuhi dan Membenci Syirik dan Pelakunya
Seorang muslim yang tunduk dan patuh terhadap perintah dan
larangan Alloh, maka konsekuensi dari benarnya keimanannya
maka ia juga harus berlepas diri dan membenci perbuatan syirik
dan pelakunya. Karena ia belum dikatakan beriman dengan
sebenar-benarnya sebelum ia mencintai apa yang dicintai Alloh
dan membenci apa yang dibenci Alloh. Padahal syirik adalah
sesuatu yang paling dibenci oleh Alloh. Karena syirik adalah dosa
yang paling besar, kedzaliman yang paling dzalim dan sikap
kurang ajar yang paling bejat terhadap Alloh, padahal Allohlah
Robb yang telah menciptakan, memelihara dan mencurahkan
kasih sayang-Nya kepada kita semua.
Alloh telah memberikan teladan kepada bagi kita yakni pada diri
Nabiyulloh Ibrohim ‘alaihis salam agar berlepas diri dan
memusuhi para pelaku syirik dan kesyirikan. Alloh
berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan
dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya
kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Alloh, kami mengingkari kamu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Alloh saja.’”(Al-
Mumtahanah: 4)
Jadi ajaran Nabi Ibrohim ‘alaihis salam bukan mengajak kepada
persatuan agama-agama sebagaimana yang didakwakan oleh
tokoh-tokoh Islam Liberal, akan tetapi dakwah beliau ialah
memerangi syirik dan para pemujanya. Inilah millah Ibrohim yang
lurus! Demikian pula Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa
sallam senantiasa mengobarkan peperangan terhadap segala
bentuk kesyirikan dan memusuhi para pemujanya. Inilah tiga
pokok ajaran Islam yang harus kita ketahui dan pahami bersama
untuk dapat menjawab pertanyaan di atas dengan jawaban yang
yakin dan pasti. Dan di atas ketiga pokok inilah aqidah dan
syari’ah ini dibangun. Maka kita mohon kepada Alloh semoga
Alloh memberikan taufiq kepada kita untuk dapat memahami
agama ini, serta diteguhkan di atas meniti din ini. Wallohu a’lam…

Empat Kaidah Utama Dalam Memahami Tauhid

Aku memohon kepada Allah Al Karim Rabb pemilik Arsy yang


agung semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku
juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi
di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya
supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orang yang
bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa
cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam
perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.
Ketahuilah, semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-
Nya, Al Hanifiyah yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim ialah
beribadah kepada Allah semata dengan mengikhlaskan agama
(amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allah berikan kepada
segenap umat manusia dan hikmah penciptaan mereka.
Sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51]:
56). Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk
beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila
disertai dengan tauhid. Sebagaimana halnya shalat yang tidak
bisa disebut shalat apabila tidak disertai
dengan thaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen). Maka
apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi
rusak. Sebagaimana apabila ada hadats yang muncul pada diri
orang yang sudah bersuci.
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila
menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan
menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi
tergolong penghuni kekal neraka, maka kini kamu pun telah
mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami
seluk beluknya. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan dirimu
dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allah.
Allah ta’alaberfirman tentang syirik ini (yang
artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik
yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’
[4]: 48). Dan hal itu akan mudah kamu mengerti dengan
mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh
Allah ta’ala di dalam kitab-Nya:
Kaidah Pertama
Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang
diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala
urusan. Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat
mereka tergolong orang Islam. Dalilnya adalah firman
Allahta’ala (yang artinya), “Katakanlah, Siapakah yang
memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau
siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan
penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang
hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang
hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti
mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas
mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10]: 31)
Kaidah Kedua
Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah
berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allah, pen) dan
bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka
melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi
Allah, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari
kedekatan diri adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong
(sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada
mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa
mendekatkan diri kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’
Sesungguhnya Allah pasti akan memberikan keputusan di antara
mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada
orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.”(QS. Az
Zumar [39]: 3)
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga
mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat
adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan mereka beribadah
kepada selain Allah; sesuatu yang sama sekali tidak
mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai
manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah
para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah kelak.’.” (QS. Yunus
[10]: 18)
Syafa’at ada dua macam:
Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan.
1. Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada
selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah.
Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah
sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum
tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli,
persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir,
mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2]:
254)
2. Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta
kepada Allah. Orang yang diperkenankan memberikan
syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allah dengan
syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at
adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allah,
dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allah,
pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang
artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di
sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2]: 255)
Kaidah Ketiga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah
masyarakat yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam. Di
antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula
yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang saleh. Ada
juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu.
Dan ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan.
Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara
mereka. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi
fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan
kepada Allah.” (QS. Al Anfaal [8]: 39)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari
dan bulan adalah firman-Nya (yang artinya), “Di antara tanda-
tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan
bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun
bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allah yang
menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya
kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41]: 37)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para
malaikat adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan Allah
tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-
nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3]: 80)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi
adalah firman-Nya yang artinya, “Ingatlah ketika Allah berfirman,
‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada
manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok
sesembahan selain Allah’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau
ya Allah, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan
menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau
pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam
diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di
dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal
yang gaib.’.” (QS. Al Maa’idah [5]: 116)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang
salih adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang
artinya), “Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah
kepada Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih
dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-
Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Israa’ [17]: 57)
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan
batu adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang
artinya), “Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga
Manat yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53]:
19-20). Demikian juga ditunjukkan oleh hadits Abu Waqid Al
Laitsi radhiyallahu’anhu. Beliau menuturkan, “Ketika kami
berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar
dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki
sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan
tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka.
Pohon itu disebut Dzatu Anwath. Ketika itu, kami melewati pohon
tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk
kami sebatang Dzatu Anwath seperti Dzatu Anwath yang mereka
miliki.’.” (HR. Tirmidzi [2181], Ahmad dalam Musnadnya [5/218].
Tirmidzi mengatakan: hadits hasan sahih)
Kaidah Keempat
Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah
kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dahulu.
Sebab orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang
dan beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit. Adapun
orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara
terus menerus, baik ketika lapang ataupun ketika terjepit.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa
ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa)
kepada Allah dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya.
Namun setelah Allah selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba
mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabuut [29]: 65)
Selesai, semoga shalawat dan doa keselamatan senantiasa
tercurah kepada Muhammad, segenap pengikutnya, dan
terutama para sahabatnya.

Agar Ibadah Diterima di Sisi Alloh


Alloh yang Maha Bijaksana tentulah tidak menciptakan sesuatu
kecuali dengan hikmah yang agung. Alloh berfirman, “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56). Mungkin kita sudah
hafal tujuan tersebut karena sering kita dengar, tapi pernahkah
terlintas di benak kita apakah ibadah kita itu diterima ataukah
tidak? Maka, tidak ada seorang pun yang dapat menjamin hal ini,
sehingga sudah seharusnya bagi tiap mukmin untuk beramal
dengan senantiasa berharap dan cemas. Berharap agar ia
mendapat ridho Alloh serta janji-janji yang sudah ditetapkan Alloh
dalam Al Qur’an dan cemas kalau-kalau ibadahnya tidak diterima.
Dan janganlah ia berdecak kagum atas amal yang ia lakukan dan
merasa bahwa ibadahnya pasti diterima.
Ingatlah firman Alloh, “Katakanlah: ‘Maukah Kami beritahukan
kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi:
103, 104). Siapakah yang lebih rugi dari orang semacam ini?
yang telah beramal dengan susah payah sewaktu masih hidup di
dunia tapi ternyata sia-sia dan tidak diterima oleh Alloh Ta’ala.
Apakah Makna Ibadah?
Ibadah secara bahasa bermakna merendahkan diri dan tunduk.
Sedang secara istilah, ulama banyak memberikan makna. Namun
makna yang paling lengkap adalah seperti yang didefinisikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu: Suatu kata yang meliputi
segala perbuatan dan perkataan; zhohir maupun batin yang
dicintai dan diridhoi oleh Alloh Ta’ala. Dengan demikian ibadah
terbagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah
anggota badan.
Syarat Diterimanya Amal Ibadah
Ketahuilah, semua amalan dapat dikatakan sebagai ibadah yang
diterima bila memenuhi dua syarat, yaitu Ikhlash
dan mutaba’ah (mengikuti tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi
wassalam). Kedua syarat ini terangkum dalam firman Alloh, “…
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang sholih dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya.” (Al Kahfi: 110). Beramal sholih maksudnya yaitu
melaksanakan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah
diajarkan oleh Nabi, dan tidak mempersekutukan dalam ibadah
maksudnya mengikhlashkan ibadah hanya untuk Alloh semata.
Hal ini diisyaratkan pula dalam firmanNya, “(Tidak demikian) dan
bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Alloh,
sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Robbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqoroh: 112). Menyerahkan diri
kepada Alloh berarti mengikhlashkan seluruh ibadah hanya
kepada Alloh saja. Berbuat kebajikan (ihsan) berarti mengikuti
syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Syarat pertama (ikhlash) merupakan konsekuensi dari syahadat
pertama (persaksian tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh
semata). Sebab persaksian ini menuntut kita untuk
mengikhlashkan semua ibadah kita hanya untuk Alloh saja.
Sedang syarat kedua (mutaba’ah) adalah konsekuensi dari
syahadat kedua (persaksian Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi
wa sallam- sebagai hamba dan utusan-Nya).
Ikhlash dalam Ibadah
Seluruh ibadah yang kita lakukan harus ditujukan untuk Alloh
semata. Walaupun seseorang beribadah siang dan malam, jika
tidak ikhlash (dilandasi tauhid) maka sia-sialah amal tersebut.
Alloh berfirman, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali untuk
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan agar mereka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (Al Bayyinah: 5)
Maka sungguh beruntunglah seseorang yang selalu mengawasi
hatinya, kemanakah maksud hati tatkala ia beribadah, apakah
untuk Alloh, ataukah untuk selain Alloh. Perhatikanlah jenis amal-
amal berikut:
Amalan riya’ semata-mata, yaitu amalan itu dilakukan hanya
supaya dilihat makhluk atau karena tujuan duniawi. Amalan
seperti ini hangus, tidak bernilai sama sekali dan pelakunya
pantas mendapat murka Alloh. Amalan yang ditujukan kepada
Alloh dan disertai riya’ dari sejak awalnya, maka nash-nash yang
shohih menunjukkan amalan seperti ini bathil dan terhapus.
Amalan yang ditujukan bagi Alloh dan disertai niat lain selain riya’.
Seperti jihad yang diniatkan untuk Alloh dan karena menghendaki
harta rampasan perang. Amalan seperti ini berkurang pahalanya
dan tidak sampai batal dan tidak sampai terhapus amalnya.
Amalan yang awalnya ditujukan untuk Alloh kemudian
terbesit riya’ di tengah-tengah, maka amalan ini terbagi menjadi
dua, jika riya’ tersebut terbersit sebentar dan segera dihalau
maka riya’ tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Namun
jika riya’ tersebut selalu menyertai amalannya maka pendapat
terkuat diantara ulama salaf menyatakan bahwa amalannya tidak
batal dan dinilai niat awalnya sebagaimana pendapat Hasan Al
Bashri. Namun dia tetap berdosa karena riya’nya tersebut dan
tambahan amal (perpanjangan amal karena riya’) terhapus.
Sedang amal yang ikhlash karena Alloh kemudian mendapat
pujian sehingga dia senang dengan pujian tersebut, maka hal ini
tidak berpengaruh apa-apa terhadap amalnya.
Beribadah Hanya Dengan Syari’at Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam
Ketahuilah, ibadah bukanlah produk akal atau perasaan manusia.
Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan engkau tidak
akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh
kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam, tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam
kamus ibadah sesorang melaksanakan sesuatu karena
menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala
ditanya, “Mengapa engkau melakukan ini?” lalu ia
menjawab, “Bukankah ini sesuatu yang baik? Mengapa engkau
melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku, bukan akal
dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah
engkau merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?
Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah) yang
tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah, ibadah kita harus mencocoki tatacara
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal:
Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan sebab yang tidak
disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak
diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada
malam dua puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam
itu adalah malam Mi’roj Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajjud adalah ibadah
tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan
syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.
Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan syariat dalam
jenisnya, contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk
kurban adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam
jenisnya. Jenis binatang yang boleh dijadikan kurban adalah unta,
sapi dan kambing.
Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja
menambah bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at,
maka sholatnya bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai
dengan ketentuan syariat dalam jumlah bilangan roka’atnya. Dari
sini kita tahu kesalahan orang-orang yang berdzikir dengan
menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu,
baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan.
Mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka
Alloh.
Kaifiyah (caranya). Seandainya ada seseorang berwudhu dengan
cara membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak
sah, karena tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.
Waktunya. Apabila ada orang menyembelih binatang kurban Idul
Adha pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah, karena
syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari
tasyriq saja.
Tempatnya. Andaikan ada orang beri’tikaf di tempat selain
Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di
Masjid.
Wahai saudaraku… Marilah kita wujudkan tuntutan dua kalimat
syahadat ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang kita lakukan
semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan
syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa
sallam dalam setiap tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita,
semoga dengan demikian kita semua menjadi hamba-Nya yang
bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu a’lam bish
showaab.
Awas Syirik!!! (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa


terlimpah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabat dan
seluruh pengikut mereka yang setia. Amma ba’du, sesungguhnya
sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah. Sebaik-baik jalan
adalah jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-
jelek urusan adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.
Para pembaca yang budiman, Allah ta’ala berfirman di dalam
kitabnya yang mulia,
َ ِ‫ون َذل‬
‫ك لِ َمن َي َشا ُء‬ َ ‫ِإنَّ هّللا َ الَ َي ْغفِ ُر َأن ُي ْش َر‬
َ ‫ك ِب ِه َو َي ْغفِ ُر َما ُد‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
kepada-Nya dan Dia akan mengampuni dosa lainnya yang
berada di bawah tingkatannya bagi siapa saja yang dikehendaki
oleh-Nya.” (QS. An Nisaa’: 116)
Pengertian dan Ruang lingkup Syirik
Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah
ta’ala dalam perkara yang termasuk kategori kekhususan yang
hanya dimiliki oleh Allah ta’ala saja. Kekhususan Allah itu meliputi
tiga hal utama, Pertama; hak rububiyah, seperti mencipta,
mengatur alam, menguasainya, mengabulkan do’a dan lain-lain.
Kedua; hak uluhiyah, seperti berhak untuk diibadahi, menjadi
tujuan do’a, permintaan tolong, permintaan perlindungan, tujuan
dalam melaksanakan persembahan atau sembelihan, menjadi
tujuan harapan, rasa takut dan kecintaan yang disertai dengan
ketundukkan. Ketiga, hak kesempurnaan Nama-nama dan Sifat-
sifat, seperti menyandang nama Allah, Ar Rabb dan Ar Rahman,
atau memiliki sifat mengetahui yang Gaib, Maha Mendengar,
Maha Melihat, Maha Mengetahui, yang tidak ada sesuatupun
yang menyamai-Nya. Jadi kesyirikan itu bisa terjadi dalam hal
rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-Nya.
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang
bisa membersihkan diri dari ketiga macam syirik ini dalam
penghambaaan dan tauhidnya kepada Allah, dia mengesakan
Zat-Nya, beribadah hanya kepada-Nya dan mengesakan sifat-
sifatNya, maka dialah muwahhid sejati. Dialah pemilik berbagai
keutamaan khusus yang dimiliki oleh kaum yang bertauhid. Dan
barangsiapa yang kehilangan salah satu bagian darinya maka
kepadanyalah tertuju ancaman yang terdapat dalam firman Allah
ta’ala, semacam, “Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya akan
terhapus seluruh amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang
yang merugi”. Camkanlah perkara ini, sebab inilah perkara
terpenting dalam masalah akidah…” (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah,
Syarh wa Ta’liq, hal. 17-18) Adapun yang sering disebut dengan
syirik saja oleh para ulama maka yang dimaksud adalah syirik
dalam hal uluhiyah/ibadah, dan inilah yang akan kita bicarakan
sekarang. Yaitu syirik dalam hal ibadah.
Dahsyatnya Bahaya Kesyirikan
Berikut ini beberapa dalil dari Al Quran maupun As Sunnah yang
hendaknya kita perhatikan dengan seksama. Dalil-dalil itu akan
menggambarkan kepada kita sebuah gambaran mengerikan dan
sangat menakutkan tentang dahsyatnya bahaya kesyirikan.
Semoga Allah menyelamatkan diri kita darinya.
Pertama, Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Allah ta’ala
berfirman,
‫ك لِ َمن َي َشا ُء‬ َ ِ‫ون َذل‬
َ ‫ك ِب ِه َو َي ْغفِ ُر َما ُد‬َ ‫ِإنَّ هّللا َ الَ َي ْغفِ ُر َأن ُي ْش َر‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di
bawah tingkatan syirik bagi siapa saja yang dikehndaki oleh-
Nya.” (QS. An Nisaa’: 48 dan 116)
Kedua, Allah mengharamkan surga dimasuki oleh orang yang
berbuat syirik. Allah ta’ala berfirman,
‫ار‬ٍ ‫نص‬ َ ‫ِين ِمنْ َأ‬ َّ ‫ِإ َّن ُه َمن ُي ْش ِركْ ِباهّلل ِ َف َق ْد َحرَّ َم هّللا ُ َع َلي ِه ْال َج َّن َة َو َمْأ َواهُ ال َّنا ُر َو َما ل‬
َ ‫ِلظالِم‬
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka
sesungguhnya Allah telah mengharamkan surga baginya dan
tempat kembalinya adalah neraka, dan tiada seorang
penolongpun bagi orang-orang zhalim tersebut.” (QS. Al
Maa’idah: 72)
Ketiga, seorang musyrik akan kekal berada di dalam siksa
neraka. Allah ta’ala berfirman,
‫ك ُه ْم َشرُّ ْال َب ِر َّي ِة‬َ ‫ِين فِي َها ُأ ْو َلِئ‬
َ ‫ار َج َه َّن َم َخالِد‬ ِ ‫ِين فِي َن‬ َ ‫ب َو ْال ُم ْش ِرك‬ ِ ‫ِين َك َفرُوا ِمنْ َأهْ ِل ْال ِك َتا‬ َ ‫ِإنَّ الَّذ‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari kalangan ahli kitab
dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam dan
kekal di dalamnya, mereka itulah sejelek-jelek ciptaan.” (QS. Al
Bayyinah: 6)
Keempat, dosa kesyirikan akan menghapuskan semua pahala
amal shalih, betapapun banyak amal tersebut. Allah ta’ala
berfirman,
‫ين‬ َ ‫ك َو َل َت ُكو َننَّ م َِن ْال َخاسِ ِر‬َ ُ‫ت َل َيحْ َب َطنَّ َع َمل‬ َ ‫ِين ِمنْ َق ْبل َِك َلِئنْ َأ ْش َر ْك‬ َ ‫ْك َوِإ َلى الَّذ‬ َ ‫َو َل َق ْد ُأوح َِي ِإ َلي‬
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada para
Nabi sebelum engkau, ‘Jika kamu berbuat syirik maka pastilah
seluruh amalmu akan lenyap terhapus dan kamu benar-benar
akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65)
Kelima, syirik adalah kezhaliman yang paling zalim. Allah ta’ala
berfirman,
‫ظ ْل ٌم َعظِ ي ٌم‬ُ ‫ك َل‬َ ْ‫ِظ ُه َيا ُب َنيَّ اَل ُت ْش ِركْ ِباهَّلل ِ ِإنَّ ال ِّشر‬ ُ ‫َوِإ ْذ َقا َل لُ ْق َمانُ اِل ْب ِن ِه َوه َُو َيع‬
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang sangat
besar.” (QS. Luqman: 13)
Allah ta’ala juga berfirman,
ِ‫ان لِ َيقُو َم ال َّناسُ ِب ْالقِسْ ط‬ َ ‫اب َو ْالم‬
َ ‫ِيز‬ َ ‫ت َوَأ‬
َ ‫نز ْل َنا َم َع ُه ُم ْال ِك َت‬ ِ ‫َل َق ْد َأرْ َس ْل َنا ُر ُس َل َنا ِب ْال َب ِّي َنا‬
“Sungguh Kami telah mengutus para utusan Kami dengan
keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Al
Kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan.” (QS. Al
Hadiid: 25)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah
memberitakan bahwa Dia mengutus para Rasul-Nya,
menurunkan kitab-kitabNya agar manusia menegakkan yaitu
keadilan. Salah satu di antara keadilan yang paling agung adalah
tauhid. Ia adalah pokok terbesar dan pilar penegak keadilan.
Sedangkan syirik adalah kezaliman yang sangat besar. Sehingga
syirik merupakan kezaliman yang paling zalim, sedangkan tauhid
merupakan keadilan yang paling adil…” (Ad Daa’ wad Dawaa’,
hal. 145)
Keenam, syirik merupakan dosa terbesar. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabatnya yang
artinya, “Maukah kalian aku kabarkan tentang dosa-dosa yang
paling besar?” (beliau ulangi pertanyaan itu tiga kali) Maka para
sahabat menjawab, “Mau ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda,
“Berbuat syirik terhadap Allah dan durhaka kepada kedua orang
tua…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketujuh, orang yang berbuat syirik sehingga murtad maka
menurut ketetapan syariat Islam dia berhak dihukum bunuh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim
kecuali dengan satu di antara tiga penyebab: seorang yang
sudah menikah tapi berzina, seorang muslim yang membunuh
saudaranya (seagama) atau orang yang meninggalkan
agamanya sengaja memisahkan diri dari jama’ah (murtad dari
Islam).” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga bersabda, “Barang
siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR.
Ahmad dan Bukhari)
Kedelapan, amal yang tercampur dengan syirik akan sia-sia dan
sirna sebagaimana debu-debu yang beterbangan disapu oleh
angin. Allah ta’ala berfirman,
ُ ‫َو َق ِدمْ َنا ِإ َلى َما َع ِملُوا ِمنْ َع َم ٍل َف َج َع ْل َناهُ َه َباء م‬
ً‫َّنثورا‬
“Dan Kami akan hadapi semua amal yang pernah mereka
amalkan (sewaktu di dunia) kemudian Kami jadikan amal-amal itu
sia-sia seperti debu-debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)
Kesembilan, orang yang berbuat syirik dalam beramal maka dia
akan ditelantarkan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman dalam
sebuah hadits qudsi yang artinya, “Aku adalah Zat yang Maha
Kaya dan paling tidak membutuhkan sekutu, oleh sebab itu
barang siapa yang beramal dengan suatu amalan yang dia
mempersekutukan sesuatu dengan-Ku di dalam amalnya itu
maka pasti Aku akan telantarkan dia bersama kesyirikannya
itu.” (HR. Muslim)
Kesepuluh, bahaya syirik lebih dikhawatirkan oleh Nabi daripada
bahaya Dajjal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
yang artinya, “Maukah kalian aku beritahukan tentang sesuatu
yang paling aku khawatirkan mengancam kalian dalam
pandanganku dan lebih menakutkan daripada Al Masih Ad
Dajjal?” Maka para sahabat menjawab, “Mau (ya Rasulullah).”
Beliau pun bersabda, “Yaitu syirik yang samar. Apabila
seseorang mendirikan shalat sambil membagus-baguskan
shalatnya karena dia melihat ada orang lain yang memperhatikan
shalatnya.” (HR. Ahmad)
Kesebelas, syirik kecil adalah dosa yang sangat dikhawatirkan
terjadi pada generasi terbaik yaitu para sahabat radhiallahu
‘anhum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda
yang artinya, “Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa
kalian adalah syirik kecil.” Maka beliau pun ditanya tentangnya.
Sehingga beliau menjawab, “Yaitu riya’/ingin dilihat dan dipuji
orang.” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Ash
Shahihah no. 951 danShahihul Jami’ no. 1551)
Kedua belas, Syirik adalah bahaya yang sangat dikhawatirkan
oleh bapak para Nabi yaitu Ibrahim ‘alaihis salam akan menimpa
pada dirinya dan pada anak keturunannya. Allah ta’ala
mengisahkan doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim di dalam
ayat-Nya,
‫َربِّ اجْ َع ْل َه َـذا ْال َب َل َد آمِنا ً َواجْ ُن ْبنِي َو َبنِيَّ َأن َّنعْ ُب َد اَألصْ َنا َم‬
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan
kepada arca-arca.” (QS. Ibrahim: 35)
Ibrahim At Taimi mengatakan, “Lalu siapakah orang selain
Ibrahim yang bisa merasa aman dari ancaman bencana (syirik)?!”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Maka
tidak ada lagi yang merasa aman dari terjatuh dalam kesyirikan
kecuali orang yang bodoh tentangnya dan juga tidak memahami
sebab-sebab yang bisa menyelamatkan diri darinya; yaitu ilmu
tentang Allah, ilmu tentang ajaran Rasul-Nya yaitu mentauhidkan-
Nya serta larangan dari perbuatan syirik terhadapnya.” (Fathul
Majid, hal. 72).
Ketiga belas, orang yang mati dalam keadaan
masih musyrik maka pasti masuk neraka. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Barang siapa yang
menjumpai Allah (mati) dalam keadaan mempersekutukan
sesuatu dengan-Nya maka pasti masuk neraka.” (HR. Muslim)
Keempat belas, orang yang berbuat syirik maka amalnya tidak
akan diterima. Allah ta’ala berfirman,
ً‫صالِحا ً َواَل ُي ْش ِركْ ِب ِع َبا َد ِة َر ِّب ِه َأ َحدا‬
َ ً‫ان َيرْ جُو لِ َقاء َر ِّب ِه َف ْل َيعْ َم ْل َع َمال‬
َ ‫َف َمن َك‬
“Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya hendaklah dia beramal shalih dan tidak
mempersekutukan apapun dengan Allah dalam beribadah
kepada tuhannya itu.” (QS. Al Kahfi: 110)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata sembari menukilkan
ayat, “[Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan
dengan Tuhannya] artinya barangsiapa yang menginginkan
pahala dan balasan kebaikan dari-Nya, [maka hendaklah dia
beramal shalih], yaitu amal yang sesuai dengan syariat Allah.
[dan dia tidak mempersekutukan apapun dalam beribadah
kepada kepada Tuhannya] Artinya dia adalah orang yang hanya
mengharapkan wajah Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Inilah dua buah rukun diterimanya amalan. Suatu amal itu harus
ikhlas untuk Allah dan benar yaitu berada di atas tuntunan syariat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir,
5/154). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
yang artinya, “Barang siapa yang mendatangi paranormal
kemudian menanyakan sesuatu kepadanya maka shalatnya tidak
akan diterima selama 40 malam.”(HR. Muslim dan Ahmad)
Kelima belas, seorang mujahid, da’i atau ahli baca Quran serta
dermawan yang terjangkiti kesyirikan maka akan diadili pertama
kali pada hari kiamat dan kemudian dibongkar kedustaannya lalu
dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan wajahnya
tertelungkup dan diseret oleh Malaikat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Sesungguhnya orang pertama kali diadili pada hari
kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia
didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat
yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah
bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab,
“Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah
berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena
ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.”
Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya
tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam
neraka. Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan
anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun
mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat
dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu
kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku
telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta,
sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang
yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian
Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di
atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka. Kemudian
seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga
membaca Al Quran. Dia didatangkan kemudian ditunjukkan
kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun
mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat
dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu,
mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah
berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu
supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya
disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat
untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga
dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Keenam belas, orang yang berbuat syirik akan merasa
kecanduan dengan sesembahannya dan ditelantarkan oleh Allah.
Abdullah bin ‘Ukaim meriwayatkan secara marfu’ (sampai kepada
Nabi) bahwasanya beliau bersabda, “Barang siapa yang
menggantungkan sesuatu (jimat dan semacamnya, red) maka dia
akan dibuat bersandar dan tergantung kepadanya.” (HR. Ahmad
dan Tirmidzi, dinilai hasan Al Arna’uth dalam Takhrij Jami’ul
Ushul 7/575)
Ketujuh belas, orang yang menyembah selain Allah adalah orang
paling sesat sejagad raya. Allah ta’ala berfirman,
‫ ُل‬bِ‫اِئه ْم َغاف‬ ِ b‫ ِة َو ُه ْم َعن ُد َع‬b‫وم ْالقِ َيا َم‬b ِ b‫ ُه ِإ َلى َي‬b‫ َت ِجيبُ َل‬b‫ون ِ َمن اَّل َي ْس‬
‫ض ُّل ِممَّن َي ْدعُو مِن ُد ِ هَّللا‬ َ ‫َو َمنْ َأ‬
‫ين‬ َ ‫َوِإ َذا حُشِ َر ال َّناسُ َكا ُنوا َل ُه ْم َأعْ دَاء َو َكا ُنوا ِب ِع َبا َدت ِِه ْم َكاف ِِر‬
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyeru
kepada sesembahan-sesembahan selain Allah, sesuatu yang
jelas-jelas tidak dapat mengabulkan doa hingga hari kiamat, dan
sesembahan itu juga lalai dari doa yang mereka panjatkan. Dan
apabila umat manusia nanti dikumupulkan (pada hari kiamat)
maka sesembahan-sesembahan itu justru akan menjadi musuh
serta mengingkari peribadatan yang dilakukan oleh para
pemujanya.” (QS. Al Ahqaf: 5-6)
Kedelapan belas, orang yang berbuat syirik adalah sosok-sosok
manusia yang sangat dungu lagi tidak mau mengambil pelajaran.
Allah ta’ala berfirman,
‫ ْل‬b‫ض مِن َبعْ ِد َم ْو ِت َها َل َيقُولُنَّ هَّللا ُ قُ ِل ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ َب‬ َ ْ‫َو َلِئن َسَأ ْل َتهُم مَّن َّن َّز َل م َِن ال َّس َما ِء َما ًء َفَأحْ َيا ِب ِه اَأْلر‬
‫ون‬ َ ُ‫َأ ْك َث ُر ُه ْم اَل َيعْ قِل‬
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka;
Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan
dengan air itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan
menjawab, “Allah”, Katakanlah, “Segala puji bagi Allah.” tetapi
kebanyakan mereka tidak memahaminya.” (QS. Al ‘Ankabut: 63)
Allah juga berfirman,
‫ُون‬ َ ‫صر‬ ُ ‫ُون َل ُه ْم َنصْ راً َوالَ َأنفُ َس ُه ْم َين‬ َ ‫ون َوالَ َيسْ َتطِ يع‬ َ ُ‫ون َما الَ َي ْخلُ ُق َشيْئا ً َو ُه ْم ي ُْخ َلق‬َ ‫َأ ُي ْش ِر ُك‬
“Apakah mereka itu mau mempersekutukan (dengan Allah)
sesuatu yang tidak bisa menciptakan apa-apa dan mereka sendiri
pun sebenarnya diciptakan, mereka juga tidak sanggup
memberikan sedikitpun pertolongan dan tidak bisa pula menolong
diri mereka sendiri.” (QS. Al A’raaf: 191-192)
Allah jalla wa ‘ala juga berfirman,
‫ا‬bb‫ ِمعُوا َم‬b‫و َس‬bْ b‫ اء ُك ْم َو َل‬b‫ َمعُوا ُد َع‬b‫دعُو ُه ْم اَل َي ْس‬bْ b‫ِير ِإن َت‬ ٍ ‫ون مِن ق ِْطم‬ َ ‫ُون مِن ُدو ِن ِه َما َيمْ لِ ُك‬
َ ‫ِين َت ْدع‬ َ ‫َوالَّذ‬
‫ير‬ٍ ‫ك م ِْث ُل َخ ِب‬ َ ‫اسْ َت َجابُوا َل ُك ْم َو َي ْو َم ْال ِق َيا َم ِة َي ْكفُر‬
َ ‫ُون ِبشِ رْ ِك ُك ْم َواَل ُي َن ِّبُئ‬
“Dan sesembahan-sesembahan selain-Nya yang kalian seru itu
tidak bisa menguasai setipis kulit ari sekalipun. Jika kalian
menyeru mereka (berhala), maka mereka itu tidak bisa
mendengar doa kalian. Dan seandainya mereka itu bisa
mendengar maka mereka juga tidak akan bisa mengabulkan
permintaan kalian, dan pada hari kiamat nanti mereka akan
mengingkari perbuatan syirik kalian, dan tiada yang bisa
menyampaikan kepadamu tentang hakikat segala hal
sebagaimana (Allah) Zat yang maha mengetahui.” (QS Faathir:
13-14)
Kesembilan belas, orang yang berbuat syirik adalah orang yang
berkepribadian rendah dan tidak yakin dengan kemahakuasaan
Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Thiyarah (menganggap sial karena melihat, mendengar
atau mengetahui sesuatu) adalah syirik. Thiyarah adalah
syirik…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih,
lihat Al Jadid, hal. 259)
Kedua puluh, amalan orang yang berbuat syirik atau mengangkat
thaghut (sesuatu yang disembah, ditaati atau diikuti sehingga
menjadi sosok tandingan bagi Allah) akan berubah menjadi
penyesalan abadi di akhirat kelak. Allah ta’ala berfirman,
َ ‫ا َل الَّذ‬bb‫ت ِب ِه ُم اَألسْ َبابُ َو َق‬
‫و‬bْ b‫و ْا َل‬bb‫ِين ا َّت َب ُع‬ ْ ‫اب َو َت َق َّط َع‬ َ ‫ِين ا َّت َبعُو ْا َو َرَأوُ ْا ْال َع َذ‬َ ‫ِين ا ُّت ِبعُو ْا م َِن الَّذ‬ َ ‫ِإ ْذ َت َبرَّ َأ الَّذ‬
‫ين‬َ ‫ار ِج‬ ِ ‫ت َع َلي ِْه ْم َو َما هُم ِب َخ‬ ٍ ‫يه ُم هّللا ُ َأعْ َما َل ُه ْم َح َس َرا‬ ِ ‫ك ي ُِر‬ َ ِ‫َأنَّ َل َنا َكرَّ ًة َف َن َت َبرَّ َأ ِم ْن ُه ْم َك َما َت َبرَّ ُؤ و ْا ِم َّنا َك َذل‬
‫ار‬ِ ‫م َِن ال َّن‬
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari
orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan
ketika segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan
berkatalah orang-orang yang mengikuti; “Seandainya kami dapat
kembali ke dunia, pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi
sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan
keluardari api neraka.” (QS. Al Baqarah: 166-167)
Kedua puluh satu, orang yang berbuat syirik sehingga mencintai
sesembahan atau pujaannya sebagai sekutu dalam hal cinta
ibadah maka dia tidak akan bisa merasakan manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Ada tiga ciri, barang siapa yang memilikinya maka dia
akan bisa merasakan manisnya iman: (1) Apabila Allah dan
Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada segala sesuatu selain
keduanya. (2) Apabila dia bisa mencintai seseorang hanya
karena Allah saja. (3) Apabila dia merasa begitu benci untuk
kembali dalam kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya darinya
sebagaimana orang yang tidak mau dilemparkan ke dalam
kobaran api.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua puluh dua, orang yang berbuat syirik maka tidak akan
diberikan kecukupan oleh Allah. Allah ta’ala berfirman,
ً‫َو َمن َي َت َو َّك ْل َع َلى هَّللا ِ َفه َُو َحسْ ُب ُه ِإنَّ هَّللا َ َبالِ ُغ َأم ِْر ِه َق ْد َج َع َل هَّللا ُ لِ ُك ِّل َشيْ ٍء َق ْدرا‬
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah (bertauhid dan
tidak menyandarkan hatinya kepada selain Allah) maka Allah
akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyelesaikan
urusannya, dan Allah telah menentukan takdir dan ketentuan
waktu bagi segala sesuatu.” (QS. Ath Thalaq: 3)
Kedua puluh tiga, celakalah budak harta benda dan pemuja mode
busana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Binasalah hamba dinar, hamba dirham, hamba
Khamishah, hamba Khamilah. Jika dia diberi maka dia senang
tapi kalau tidak diberi maka dia murka. Binasalah dan rugilah
dia…” (HR. Bukhari)
Khamishah adalah kain dari bahan sutera atau wol yang
bercorak, sedangkan Khamilah adalah kain beludru (lihat Al
Jadid, hal. 330 dan Fathul Majid, hal. 365).
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi
mengatakan, “Hadits itu menunjukkan bahwasanya barang siapa
yang menjadikan (kesenangan) dunia sebagai tujuan akhir
kehidupan serta puncak cita-citanya maka sesungguhnya dia
telah menyembahnya dan mengangkatnya sebagai sekutu selain
Allah.” (Al Jadid, hal. 332).
Kedua puluh empat, orang yang berbuat syirik pasti akan tertimpa
bencana atau siksa yang sangat pedih dan menyakitkan. Allah
ta’ala berfirman,
‫ون َعنْ َأم ِْر ِه َأن ُتصِ ي َب ُه ْم فِ ْت َن ٌة َأ ْو يُصِ ي َب ُه ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬ َ ‫َف ْل َيحْ َذ ِر الَّذ‬
َ ُ‫ِين ي َُخالِف‬
“Maka hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi
urusan Rasul kalau-kalau mereka itu akan tertimpa fitnah
(bala/bencana) atau siksa yang sangat pedih.” (QS. An Nuur: 63)
Memperkokoh Keimanan pada Allah
Iman kepada Allah merupakan rukun iman yang pertama. Rukun
ini sangat penting kedudukannya dalam Islam. Sehingga wajib
bagi kita untuk mengilmuinya dengan benar supaya membuahkan
akidah yang benar pula tentang Allah Ta’ala. Dengan memohon
pertolongan Allah kami mencoba mengulas permasalah pokok
tentang rukun iman yang pertama ini. Semoga ulasan berikut
dapat memperkokoh iman kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Makna Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah merupakan asas dan pokok dari keimanan,
yakni keyakinan yang pasti bahwa Allah adalah Rabb dan pemilik
segala sesuatu, Dialah satu-satunya pencipta, pengatur segala
sesuatu, dan Dialah satu-satunya yang berhak disembah, tidak
ada sekutu bagi-Nya. Semua sesembahan selain Dia adalah
sesembahan yang batil, dan beribadah kepada selain-Nya adalah
kebatilan. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ِ ِ ‫َأن ماي ْدعو َن ِمن دونِِه هو الْب‬
َّ ‫اط ُل َو‬ َّ ِ‫ك ب‬ ِ
ُ‫َأن اهللَ ُه َو الْ َعل ُّي الْ َكبري‬ َ َُ ُ ُ َ َ َّ ‫َأن اهللَ ُه َو احْلَ ُّق َو‬ َ ‫ذَل‬
“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya
Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja
yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
(QS. Al Hajj: 62)
Dialah Allah yang disifati dengan sifat yang sempurna dan  mulia,
tersucikan dari segala kekurangan dan  cacat. Ini merupakan
perwujudan tauhid yang tiga, yatu tauhid rububiyah, tauhid
uluhiyah, dan tauhdi asma’ wa shifat. Keimanan kepada Allah
mengandung tiga macam tauhid ini, karena makna iman kepada
Allah adalah keyakinan yang pasti tentang keesaan
Allah Ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, dan seluruh nama dan
sifat-Nya. (Al Irysaad ilaa shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholeh al
Fauzan).
Cakupan Iman  Kepada Allah
Iman kepada Allah mencakup empat perkara :
1. Iman tentang keberadaan (wujud) Allah.
2. Iman tentang keesaan Allah dalam rubuiyah
3. Iman tentang keesaan Allah dalam uluhiyah
4. Iman terhadap asma’ (nama) dan sifat-Nya.
Keimanan yang benar harus mencakup empat hal di atas.
Barangsiapa yang tidak beriman kepada salah satu saja maka dia
bukan seorang mukmin.(Syarh al ‘Aqidah al Washitiyah,
Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dalil Tentang Keberadaan Allah
Keberadaan Allah adalah sesuatu yang sudah sangat jelas. Hal
ini dapat ditunjukkan dengan dalil akal, hissi (inderawi), fitrah, dan
dalil syariat.
Dalil akal menunjukkan adanya Allah, karena seluruh makhluk
yang ada di alam ini, baik yang sudah ada maupun yang akan
datang, sudah tentu ada penciptanya. Tidak mungkin makhluk itu
mengadakan dirinya sendiri atau ada begitu saja dengan
sendirinya tanpa ada yang menciptakan.
Adapun petunjuk fitrah juga menyatakan keberadaan Allah.
Seluruh makhluk telah diciptakan untuk beriman kepada
penciptanya tanpa harus diajari sebelumnya. Tidak ada makhluk
yang berpaling dari fitrah ini kecuali hatinya termasuki oleh
sesuatu yang dapat memalingkannya dari fitrah itu. Hal ini 
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap
anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam, ed), lalu orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Indera yang kita miliki juga bisa menunjukkan tentang
keberadaan Allah. Kita semua bisa menyaksikan dikabulkannya
permohonan orang-orang yang berdoa dan ditolongnya orang-
orang yang kesusahan. Ini menunjukkan secara qath’i (pasti)
akan adanya Allah. Demikian pula ayat-ayat (tanda-tanda) para
nabi yang dinamakan mukjizat yang disaksikan oleh manusia
atau yang mereka dengar merupakan bukti yang nyata akan
adanya Dzat yang mengutus mereka, yaitu Allah Ta’ala. Sebab,
kemukjizatan-kemukjizatan itu di luar jangkauan manusia pada
umumnya, yang memang sengaja diberlakukan oleh Allah Ta’ala
untuk mengokohkan dan memenangkan para rasul-Nya.
Sedangkan dari segi syariat juga menyatakan keberadaan Allah.
Sebab kitab-kitab samawi seluruhnya menyatakan demikian. Apa
saja yang dibawa oleh kitab-kitab samawi, berupa hukum-hukum
yang menjamin kemaslahatan makhluk merupakan bukti bahwa
hal itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu
akan kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita yang berkenaan
dengan alam yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut merupakan
bukti bahwa kitab-kitab itu berasal dari Rabb yang Maha Kuasa
untuk mencipta apa yang diberitakan itu. (Simak pembahasan
lengkap masalah ini pada kitab Syarh al ‘Aqidah al
Wasithiyah dan Kitab Syarh Ushuulil Iman, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin).
Iman terhadap Rububiyah
Maksudnya adalah beriman bahwa  Allah adalah satu-
satunya Rabb yang tidak mempunyai sekutu. Rabb adalah Dzat
ayang berwenang mencipta, memiliki, dan memerintah. Tiada
yang dapat mencipta selian Allah, tiada yang memiliki kecuali
Allah, serta tiada yang berhak memerintahkan kecuali Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
‫'ار يَطْلُبُ ''هُ َحثِيثً ''ا‬ ِ ٍ ِ ِ َ ‫ات واَْألر‬ ِ ِ
َ ‫ض يِف س' 'تَّة َأيَّام مُثَّ ا ْس' 'َت َوى َعلَى الْ َع' ْ'ر ِش يُ ْغش' 'ى الَّْي ' َ'ل الن‬
َ '‫َّه‬ ْ َ ‫ِإ َّن َربَّ ُك ُم اهللُ الَّذي َخلَ ' َ'ق ال َّس ' َم َاو‬
‫ني‬ ِ ُّ ‫ات بَِأم ِر ِه َأالَلَه اخْلَْلق واَْألمر َتبار َك اهلل ر‬ ٍ ‫والشَّمس والْ َقمر والنُّجوم مس َّخر‬
َ ‫ب الْ َعالَم‬ َ ُ َ َ ُْ َ ُ ُ ْ َ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ ْ َ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
‘Arsy . Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya
dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha
Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al A’rof: 54).
Tidak ada satupun dari makhluk yang mengingkari rububiyah
Allah Ta’ala kecuali  karena sombong. Namun sebenarnya ia
tidak meyakini apa yang diucapkannya. Sebagaimana terdapat
pada diri Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya,
‫َألعلَى‬ْ ْ‫َف َق َال َأنَا َربُّ ُك ُم ا‬
“(Seraya) berkata:”Akulah tuhanmu yang paling tinggi”.” (QS. An
Nazi’at: 24)
‫ص ْر ًحا لَّ َعلِّي َأطَّلِ ُ'ع ِإىَل‬
َ ‫اج َعل يِّل‬ ْ َ‫ني ف‬ ِ ِّ‫اه َاما ُن َعلَى الط‬ ِ ٍ
َ َ‫ت لَ ُكم ِّم ْن ِإلَه َغرْيِ ي فَ َْأوق ْد يِل ي‬
ِ ‫وقَ َال فِرعو ُن يآَأيُّها الْمُأل م‬
ُ ‫اعل ْم‬
َ َ َ َ َ َْ ْ َ
ِ ِ ِ ‫ِإ‬
َ ِ‫وسى َوِإيِّن َألظُنُّهُ م َن الْ َكاذب‬
‫ني‬ َ ‫لَه ُم‬
“Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak
mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman
untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang
tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-
orang pendusta”.” (QS. Al Qashash: 38)
Namun sebenarnya yang dia katakan itu bukan berasal dari
keyakinan. Allah Ta’ala berfirman,
‫ين‬ ِِ ِ ‫هِب‬
َ ‫ف َكا َن َعاقبَةُ الْ ُم ْفسد‬ َ ‫اسَتْي َقنَْت َهآ َأن ُف ُس ُه ْم ظُْل ًما َوعُلًُّوا فَانظُْر َكْي‬ ْ ‫َو َج َح ُدوا َا َو‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini
(kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-
orang yang berbuat kebinasaan.” (QS. An Naml: 14).
Bahkan kaum musyrikin yang diperangi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengakui rububiyah
Allah, namun mereka menyekutukan-Nya dalam uluhiyah.
Allah Ta’ala berfirman,
‫َولَِئن َسَألَْت ُهم َّم ْن َخلَ َق ُه ْم لََي ُقولُ َّن اهللُ فََأىَّن يُْؤ فَ ُكو َن‬
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah
yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”,
maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah)?” (QS. Az Zukhruf:87). (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin)
Dengan demikian beriman dengan rubiyah saja tidak cukup.
Buktinya kaum musyrikin tetap diperangi oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka
mengakui tentang rububiyah Allah.
Iman Kepada Uluhiyah
Kita wajib beriman terhadap tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah.
Disebut tauhid uluhiyah karena penisbatannya kepada Allah dan
disebut tauhid ibadah karena penisbatannya kepada makhluk.
Adapun yang dimaksud tauhid uluhiyah adalah pengesaan Allah
dalam ibadah karena hanya Allah satu-satunya yang berhak
diibadahi. Allah Ta’ala berfirman,
ِ ‫َأن ماي ْدعو َن ِمن دونِِه الْب‬ َّ ِ‫ك ب‬ ِ
‫اط ُل‬ َ ُ ُ َ َ َّ ‫َأن اهللَ ُه َو احْلَ ُّق َو‬ َ ‫َذل‬
” Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang hak dan
sesungguhnya yang mereka seru selain Alloh, itulah yang
batil” (QS. Luqman: 30).
Banyak manusia yang kufur dan ingkar dalam hal tauhid ini.
Karena itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-
kitab kepada mereka, sebagaimana Allah jelaskan,
ِ ‫اعب ُد‬ ‫ِإ ِإ‬ ِ ‫ٍ ِإ ِ ِإ‬ ِ َ ِ‫ومآَأرس ْلنَا ِمن َقبل‬
‫ون‬ ُ ْ َ‫ك من َّر ُسول الَّنُوحي لَْيه َأنَّهُ آل لَهَ آل َأنَا ف‬ ْ َ ْ ََ
” Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu
sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25) (Al Qoulul Mufiid bi
Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh Muhammad bin Sholih al
’Utsaimin)
Antara  Rububiyah dan Uluhiyah
Antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah mempunyai
hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Tauhid rububiyah
mengkonsekuensikan tauhid uluhiyah. Maksudnya pengakuan
seseorang terhadap tauhid rububiyah mengharuskan
pengakuannya terhadap tauhid uluhiyah. Barangsiapa yang telah
mengetahui bahwa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya
dan mengatur segala urusannya, maka ini mengharuskan
baginya untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. Sedangkan tauhid uluhiyah terkandung di
dalamnya tauhid rububiyah. Maksudnya, jika seseorang
mengimani tauhid uluhiyah pasti ia mengimani tauhid rububiya.
Barangsiapa yang beribadah kepada Allah semata dan tidak
menyekutukan-Bya, pasti ia akan meyakini bahwa Allahlah
Tuhannya dan penciptanya. Hal ini sebgaimana perkataan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salaam,
}77{ ‫ني‬ ِ َّ ‫} فَ' 'ِإن َُّه ْم َع ' ُ'د ٌّو يِّل ِإالََّر‬76{ ‫} َأنتُ ْم َوءَابَ ''آُؤ ُك ُم اَْألقْ ' َ'د ُمو َن‬75{ ‫'ال َأَف ' َ'رءَ ْيتُم َّما ُكنتُ ْم َت ْعبُ ' ُ'دو َن‬
َ ‫ب الْ َع ''الَم‬ َ ' َ‫ق‬
‫} َوالَّ ِذي‬80{ ‫ني‬ ِ ‫ت َف ُ'ه ''و يَ ْش ' ' ِف‬
َ ُ ''‫ض‬ ْ ‫} َوِإذَ َام ِر‬79{ ‫ني‬ ِ ‫} والَّ ِذي ُ'ه ''و يُطْعِميِن ويَس ' ' ِق‬78{ ‫الَّ ِذي َخلَ َقيِن َف ُ'ه ''و َي ْ'ه' ِ'دي ِن‬
ْ َ ُ َ َ َ
ِ ِ
}82{ ‫} َوالَّذي َأطْ َم ُع َأن َي ْغفَر يِل َخطيَئيِت َي ْو َم الدِّي ِن‬81{ ‫ني‬ ِ ِ
ِ ِ‫مُي يتُيِن مُثَّ حُيْي‬
“Ibrohim berkata : “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa
yang selalu kamu sembah(75), kamu dan nenek moyang kamu
yang dahulu?(76), karena sesungguhnya apa yang kamu sembah
itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam(77), (yaitu
Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang
menunjuki aku(78), dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan
minum kepadaku(79), dan apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkanku(80), dan Yang akan mematikan aku,
kemudian akan menghidupkan aku (kembali)(81), dan Yang amat
aku inginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari
kiamat(82).” (QS. Asy Syu’aroo’:75-82)
Tauhid rububyah dan uluhiyah  terkadang disebutkan bersamaan,
maka ketika itu maknanya berbeda. Karena pada asalnya ketika
ada dua kalimat yang disebutkan secara bersamaan dengan kata
sambung menunjukkan dua hal yang berbeda. Hal ini
sebagaimana firman Allah,
}3{ ‫َّاس‬ ِ ‫} ِإلَِه الن‬2{ ‫َّاس‬ ِ ‫ك الن‬ ِ ِ‫} مل‬1{ ‫َّاس‬ ِّ ‫قُ ْل َأعُوذُ بَِر‬
ِ ‫ب الن‬
َ
“Katakanlah ;” Aku berlindung kepada Robb (yang memlihara dan
menguasai) manusia(1). Raja manusia(2). Sesembahan
manusia(3).” (QS. An Naas :1-3).Makna Robb dalam ayat ini
adalah Raja yang mengatur manusia. Sedangkan
makna Ilaah adalah sesembahan satu-satunya yang berhak untuk
disembah.
Terkadang tauhid uluhiyah atau rububiyah disebut sendiri tanpa
bergandengan. Maka ketika disebutkan salah satunya, maka
sudah mencakup makna yang lainnya. Hal ini sebagaimana
ucapan malaikat maut kepada mayit di kubur, “Siapa Rabbmu?”
Maka maknanya, “Siapakah penciptamu dan sesembahanmu?”
Hal ini juga sebagaimanan firman Allah,
}40{ ُ‫ُأخ ِر ُجوا ِمن ِديَا ِر ِهم بِغَرْيِ َح ٍّق ِإآلَّ َأن َي ُقولُوا َربُّنَا اهلل‬ ْ ‫ين‬
ِ َّ
َ ‫الذ‬
“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata :”Tuhan kami hanyalah Alloh” (QS. Al Hajj:40)
}164{ ‫اهلل َأبْغِي َربًّا‬
ِ ‫قُل َأ َغير‬
َْ ْ
“Katakanlah:”Apakah aku akan mencari Tuhan selain Alloh” (QS.
Al An’am :164)
ِ َّ ‫ِإ‬
}30{ ‫اسَت َق ُاموا‬ َ ‫َّن الذ‬
ْ َّ‫ين قَالُوا َربُّنَا اهللُ مُث‬
“Sesungguhnya ornag-orang yang mengaatkan “Tuhan kami
ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka” (QS. Fushshilat :30). Penyebutan rububiyah dalam ayat-
ayat di atas mengandung makna uluhiyah. (Lihat Al irsyaad ilaa
shohiihili i’tiqood, Syaikh Sholeh al Fauzan)
Iman kepada Asma’ (Nama) dan Sifat Allah
Termasuk pokok keimanan kepada Allah adalah iman terhadap
tauhid asma’ wa shifat. Maksudnya adalah  pengesaan
Allah ‘Azza wa Jalla dengan asma’ dan shifat yang menjadi milik-
Nya. Tauhid ini mencakup dua hal yaitu penetapan dan penafian.
Artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan shifat bagi
Allah sebagaimana yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-
Nya dan sunnah nabi-Nya, dan tidak menjadikan sesuatu yang
semisal dengan Allah dalam asma’ dan shifat-Nya. Hal ini
ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
ِ ‫الس ِميع الْب‬
}11{ ُ‫صري‬ ِِ ِ
َ ُ َّ ‫س َكمثْله َش ْىءُُ َو ُه َو‬ َ ‫لَْي‬
” Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dialah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuuro:
11) . (Al Qoulul Mufiid bi Syarhi Kitaabit Tauhiid, Syaikh
Muhammad bin Sholih al ’Utsaimin).
Cabang Keimanan yang Tertinggi
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallaam bersabda, “ Iman terdiri
dari 70-an atau 60-an cabang. Cabang yang paling tinggi adalah
ucapan Laa ilaaha ilallah, sedangkan cabang yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah
sebagian dari cabang keimanan.” (HR. Muslim). Syaikh
Abdurrahman As Sa’di menjelaskan, “Cabang keimanan yang
paling tinggi dan merupakan pokok sekaligus asasnya adalah
ucapan Laa ilaaha ilallah. Ucapan yang jujur dari hati disertai ilmu
dan yakin bahwa tidak ada yang memiliki sifat uluhiyah kecuali
Allah semata. Dialah Tuhan yang memelihara seluruh alam
dengan keutamaan dan ihsan. Semua butuh kepada-Nya
sedangkan ia tidak butuh siapapun, semuanya lemah sedangkan
Dia Maha Perkasa. Ucapan ini harus dibarengi ubudiyah
(peribadatan) dalam setiap keadaan dan mengikhlaskan agama
kepada-Nya. Sesungguhnya seluruh cabang-cabang keimanan
adalah cabang dan buah dari asas ini (yakni iman kepada
uluhiyah Allah)” (Bahjatu Quluubil Abrar wa Qurrotu ‘Uyuunil
Akhyaar, Syaikh Abdurrahman As Sa’di)
Faedah Iman yang Benar
Iman kepada Allah dengan benar akan menghasilkan buah yang
agung bagi orang-orang yang beriman, di antaranya:
1. Terwujudnya ketauhidan kepada Allah Ta’ala, di mana tidak
ada tempat bergantung selain Allah dalam rasa harap dan
takut , serta tidak ada yang berhak disembah selain Allah.
2. Sempurnanya kecintaan kepada Allah Ta’ala dan
pengagungan terhadap-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya
yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia.
3. 3. Terwujudnya peribadahan kepada-Nya dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. (Syarh Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih
al ‘Utsaimin)
Semoga Allah Ta’ala meneguhkan dan memperkokoh keimanan
kita kepada Allah dan memberikan kita istiqomah di atas iman
yang benar.  Wa shalallahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wa  sallaam.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Iman Kepada Malaikat

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama


Islam. AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Rasul telah beriman
kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-
rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya
oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman
yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir
yang baik dan buruk.” (Muttafaq `alaih)
Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia
telah kafir, keluar dari Islam. Allah Ta`ala berfirman yang artinya:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka
sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-
Nisa`: 136)
Batasan Minimal Iman kepada Malaikat
Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu
Syaikh hafidzahullah mengatakan: “Batas minimal (iman kepada
malaikat) adalah keimanan bahwasanya Allah menciptakan
makhluk yang bernama malaikat. Mereka adalah hamba-hamba
Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka merupakan
makhluk yang diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama sekali.
Diantara mereka ada malaikat yang ditugasi untuk
menyampaikan wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain Syaikh
Shalih Alu Syaikh)
Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu
Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian
hal tersebut (malaikat), wajib baginya mengimaninya. Dengan
begitu, maka imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara
mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di
antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat
ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini
menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-
Taubah: 124)
Hakikat malaikat
Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan,
“Dalil-dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan)
kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal sebagai
berikut:
 Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-
makhluk ciptaan Allah.
 Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya,
sebagaimana Allah menciptakan jin dan manusia juga untuk
beribadah kepada-Nya semata.
 Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat
berbicara.
 Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan
manusia. Mereka hidup di alam yang mulia lagi suci, yang
Allah memilih tempat tersebut di dunia karena kedekatannya,
dan untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang
yang bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan
Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha
Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-
hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya
dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-
Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka
(malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada
memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah,
dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Dan
barangsiapa di antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku
adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu Kami beri
balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan
pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 –
29)
(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal
Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin hal. 15)
Asal Penciptaan Malaikat
Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut
sebagaimana terdapat dalam hadits dari Ummul Mu`minin
`Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat
diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim)
Jumlah Malaikat
Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu
berapa banyak jumlah mereka. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu
melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir: 31) Ketika
Rasulullah  shallallahu `alaihi wa sallammelakukan Isra` Mi`raj,
berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau: “Ini adalah Baitul
Ma`mur. Setiap hari shalat di dalamnya 70 ribu malaikat. Jika
mereka telah keluar, maka mereka tidak kembali lagi…. ”
(Muttafaqun `alaihi)
Sifat Fisik Malaikat
Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:
 Kuatnya fisik mereka
Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang
artinya), “Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. Tahrim: 6)
Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh,
tidak membahayakan mereka.Demikian juga dengan Malakul
jibal (Malaikat gunung), dimana dia menawarkan kepada
Rasulullah  shallallahu `alaihi wa sallam untuk menabrakkan
dua gunung kepada sebuah kaum yang mendurhakai beliau.
Kemudian beliau menolak tawaran tersebut. (Hadits yang
menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim)
 Mempunyai sayap
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah
Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai
utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan)
yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga
dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.” (QS. Fathiir: 1)
 Tidak membutuhkan makan dan minum
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya
utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada
lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,”
maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging
anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan
mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh
perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka.
Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya
kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum
Luth.’” (QS. Huud: 69 – 70)As Suyuthi rahimahullah berkata:
“Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa para ulama
sepakat bahwasanya malaikat tidak makan, tidak minum, dan
juga tidak menikah.”
Ke-ma`shum-an Malaikat
Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk
yang ma`shum, dimana  mereka tidak akan pernah bermaksiat
kepada-Nya. Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan
Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha
Suci Allah….” (lihat QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29 di atas)
Buah Iman kepada Malaikat
Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:
 Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan
makhluk-makhluk yang mulia, yaitu malaikat.
 Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang
mereka lakukan. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh
`Utsaimin)
Demikialah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk
mendapatkan pembahasan yang lebih rinci tentang Malaikat,
silahkan merujuk ke kitabMu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud
wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil
Muqarrabiin karya DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-
`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.
Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo
Iman Terhadap Kitab-kitab Suci

Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama


kita. AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah ketika ditanya oleh
Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab:“(Iman yaitu)
Engkau beriman dengan Allah, para Malaikat, kitab-kitab-Nya,
para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik
dan buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab
(biasa disebut dengan Kitab suci) adalah kitab yang Allah
turunkan kepada rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-
Nya, dan petunjuk bagi mereka, supaya mereka mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat kitab Rasaail fil
`Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)
Cakupan Iman dengan Kitab Suci
Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman
dengan kitab suci mencakup 4 perkara:
1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.
2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab
tersebut, seperti al-Qur`an yang Allah turunkan kepada
Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa,
Injil kepada Isa, dan lain sebagainya.
3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-
berita yang ada dalam al-Qur`an dan kitab-kitab suci sebelumnya
selama kitab-kitab tersebut belum diganti atau diselewengkan.
4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari
kitab-kitab tersebut, rida terhadapnya, dan berserah diri
dengannya, baik yang diketahui hikmahnya, maupun yang tidak
diketahui.” (Rasaail fil `Aqiidah)
Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci
Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari
Allah Jalla wa `Alaa. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “ Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.  Dia
menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya;
membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Quran), menjadi
petunjuk bagi manusia, dan dia menurunkan al-Furqaan.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi
mempunyai balasan (siksa).” (QS. Ali Imran: 2-4)
Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya
peribadatan hanya kepada Allah semata, sebagaimana terdapat
dalam firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50.
(Untuk pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war
Risaalaat karya `Umar bin Sulaiman al-Asyqar, hal 231 – 235)
Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya
Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-
kitab suci sebelumnya. Selain itu, al-Qur`an juga merupakan
hakim atas kitab-kitab suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman
yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an
dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…. ” (QS.
Al-Maidah: 48)
Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas
cakupannya. Rasulullah shallallahu `alahi wa
sallam bersabda: “Saya diberi ganti dari Taurat dengan as-sab`ut
thiwaal (tujuh surat dalam al-Qur`an yang panjang-panjang).
Saya diberi ganti dari Zabur dengan al-mi`iin (surat yang jumlah
ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti dari Injil dengan al-
matsani (surat yang terulang-ulang pembacaannya dalam setiap
rekaat shalat) dan saya diberi tambahan dengan al-mufashshal
(surat yang dimulai dari Qaf sampai surat an-Naas).” (HR.
Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani)
Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari
kitab-kitab suci lainnya adalah penjagaan Allah terhadapnya.
Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-
benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sekilas Tentang Taurat
Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis
salam. Taurat merupakan kitab yang mulia yang tercakup
didalamnya cahaya dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang
artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)….” (QS.
Al-Maidah: 44)
Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian
lama – , setiap orang yang berakal tentu mengetahui bahwa
taurat tersebut bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada
Musa `alaihis salam. Hal itu bisa diketahui dari beberapa bukti
berikut:.
 Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani)
dalam menunjukkan sanad ilmiah yang sampai kepada
Musa `alaihis salam, bahkan mereka mengakui bahwa Taurat
pernah hilang selama beberapa kali.
 Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan
bahwa sudah banyak terjadi campur tangan para ulama
yahudi dalam merubah isi Taurat.
 Banyak terdapat kesalahan ilmiah.
 Dan masih banyak bukti lainnya.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang
besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan
perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka,
akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan
Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka
kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Sekilas Tentang Injil
Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada
Isa `alaihis salam sebagai penyempurna dan penguat bagi
Taurat, mencocoki dangannya dalam sebagian besar syariatnya,
petunjuk kepada jalan yang lurus, membedakan kebenaran dan
kebatilan, dan menyeru kepada peribadatan kepada
Allah Ta`ala semata.
Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang
dahulu diturunkan kepada Musa, demikian juga injil yang ada
sekarang, juga bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas
salam. Di antara bukti dari penyataan tersebut:
 Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah
diangkatnya Isa`alaihis salam.
 Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil
tersebut kepada penulisnya.
 Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di
dalamnya
 Dan masih banyak bukti lainnya.
(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan
Taurat dan Injil yang ada sekarang, silahkan merujuk ke
kitab Izhaarul Haq karya Rahmatullah al-Hindy)
Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-
Qur`an?
Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab
tersebut (Taurat atau Injil yang ada sekarang) adalah benar
berasal dari para Nabi  mereka, maka kita tetap tidak boleh
mengikutinya karena kitab-kitab tersebut diturunkan khusus
kepada umat nabi tersebut dan dalam tempo yang terbatas, dan
kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-Qur`an.
Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan
kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang
diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap
kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-Maidah: 48)
Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti
al-Qur`an. Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya! Tidaklah seorang pun dari Yahudi dan Nasrani yang
mendengar akan diutusnya aku, kemudian mati dalam keadaan
tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali
dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)
Demikianlah sedikit bahasan tentang Iman dengan kitab suci.
“Wahai Rabb kami, tambahkan kepada kami keimanan,
keyakinan, kefakihan, dan ilmu.”
Rujukan utama:
Al-Iman bil Kutub, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.

Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo
Mengimani Para Utusan Allah

Rukun Iman keempat yang harus diimani oleh setiap mukmin


adalah beriman kepada para Nabi dan Rasul utusan Allah.
Diutusnya Rasul merupakan nikmat yang sangat agung.
Kebutuhan manusia  terhadap diutusnya Rasul melebihi
kebutuhan manusia terhadap hal-hal lain. Untuk itu, kita tidak
boleh salah dalam meyakini keimanan kita kepada utusan Allah
yang mulia ini. Berikut adalah penjelasan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan iman kepada Nabi dan Rasul.
Dalil-Dalil Kewajiban Beriman Kepada Para Rasul
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya beriman
kepada para Rasul, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
ِ ‫هلل َو ْال َي ْو ِم ْاَألخ ِِر َو ْال َم َلِئ َك ِة َو ْال ِك َتا‬
‫ب َوال َّن ِبي َِّن‬ ِ ‫َو َلكِنَّ ْال ِبرَّ َمنْ َءا َم َن ب ِا‬
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi”
(QS. Al Baqarah: 177)
‫هلل َو َمالَِئ َك ِت ِه َو ُك ُت ِب ِه َو ُر ُسلِ ِه الَ ُن َفرِّ ُق َبي َْن َأ َح ٍد مِّن رُّ ُسلِ ِه َو َقالُوا َس ِمعْ َنا َوَأ َطعْ َنا‬ ِ ‫ُك ٌّل َءا َم َن ِبا‬
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya (mereka mengatakan):’ Kita tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang  lain)
dan rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan “Kami dengar dan
kami taat…” (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat-ayat di atas Allah menggandengkan antara keimanan
kepada para Rasul dengan keimanan terhadap diri-Nya, malaikat-
malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya. Allah menghukumi kafir orang
yang membedakan antara keimanan kepada Allah dan para
Rasul. Mereka beriman terhadap sebagian namun kafir tehadap
sebagian yang lain  (Al Irsyaad ilaa shahiihil I’tiqaad, hal 146)
Pokok-Pokok Keimanan Terhadap Para Rasul
Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah harus
mengandung empat unsur pokok yaitu:
1. Beriman bahwasanya risalah yang mereka bawa benar-benar
risalah yang berasal dari wahyu Allah Ta’ala.
2. Beriman terhadap nama-nama mereka yang kita ketahui.
3. Membenarkan berita-berita yang shahih dari mereka.
4. Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita, yaitu
penutup para Nabi,  Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallaam. (Syarhu Ushuuill Iman, hal 34-35)
Antara Nabi dan Rasul
Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi sama dengan rasul.
Namun pendapat yang benar adalah nabi berbeda dengan rasul,
walaupun terdapat beberapa persamaan. Nabi adalah seseorang
yang Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat untuk dirinya
sendiri atau diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum
yang sudah bertauhid. Sedangkan rasul adalah seorang yang
Allah beri wahyu kepadanya dengan syariat dan diperintahkan
untuk menyampaikan kepada kaum yang menyelisihnya. Nabi
dan rasul memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.
Persamaan Nabi dan Rasul adalah :
 Nabi dan Rasul sama-sama utusan Allah  yang diberi wahyu
oleh Allah, berdasarkan firman Allah,
ٍ ‫َو َمآَأرْ َس ْل َنا مِن َق ْبل َِك مِن رَّ س‬
ٍّ‫ُول َوالَ َن ِبي‬
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan
tidak (pula) seorang nabi…” (QS. Al Hajj:52). Dalam ayat ini Allah
membedakan antara nabi dan rasul, namun menjelasakan kalau
keduanya merupakan utusan Allah.
 Nabi dan rasul sama-sama diutus untuk menyampaikan
syariat.
 Nabi dan rasul ada yang  diturunkan kepadanya kitab, ada
pula yang tidak.
Perbedaan Nabi dan Rasul :
 Nabi diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaum yang
sudah bertauhid atau untuk diamalkan bagi dirinya sendiri,
sebagaimana dalam sebuah hadist, ”Dan akan datang Nabi
yang tidak memiliki satu pun pengikut”. Sedangkan rasul
diutus untuk menyampaikan syariat kepada kaum yang
menyelisihinya.
 Nabi mengikuti syariat  sebelumnya yang sudah ada,
sedangkan Rasul terkadang mengikuti syariat sebelumnya -
seperti Yusuf yang diutus untuk  kaumnya dengan syariat
yang dibawa oleh Ibrahim dan Ya’qub- dan terkadang
membawa syariat baru. (Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah Ath
Thahawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, hal 227-234)
Para Nabi dan Rasul Mengajarkan Agama yang Satu
Seluruh Nabi mengajarkan agama yang satu, walaupun mereka
memiliki syariat-syariat yang berbeda. Allah Ta’ala berfirman,
‫ى‬bb‫يس‬ َ ِ‫ص ْي َنا ِب ِه ِإب َْراهِي َم َومُو َسى َوع‬ َّ ‫ك َو َم َاو‬ َ ‫ين َم َاوصَّى ِب ِه ُنوحً ا َوالَّذِي َأ ْو َح ْي َنآ ِإ َل ْي‬ ِ ‫َش َر َع َل ُكم م َِّن ال ِّد‬
‫ين َوالَ َت َت َفرَّ قُوا فِي ِه‬ َ ‫َأنْ َأقِيمُوا ال ِّد‬
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya…. ”(QS. Asy Syuuraa:13)
‫ ِذ ِه ُأ َّم ُت ُك ْم ُأم ًَّة‬b‫} َوِإنَّ َه‬51{ ‫ون َعلِي ٌم‬َ ُ‫ا َتعْ َمل‬bb‫الِحً ا ِإ ِّني ِب َم‬b‫ص‬ َ ‫وا‬bُ‫ت َواعْ َمل‬ َّ ‫َيآَأ ُّي َها الرُّ ُس ُل ُكلُوا م َِن‬
ِ ‫الط ِّي َبا‬
}52{ ‫ون‬ َ ُ‫َواحِدَ ًة َوَأ َنا َر ُّب ُك ْم َفا َّتق‬
“Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan
kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Sesungguhnya (agama
tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan
Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku” (QS. Al
Mu’minun:51-52)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda,  “Sesungguhnya
seluruh nabi memiliki agama yang satu, dan para nabi adalah
saudara” (Muttafaqun ‘alaih).
Agama seluruh para Nabi adalah satu, yaitu agama Islam. Allah
tidak akan menerima agama selain Islam. Yang dimaksud dengan
islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-
Nya, tunduk kepada Allah dengan mentaatinya, dan menjauhkan
diri dari perbuatan syirik dan orang-orang musyrik. (Al Irsyaad
ilaa Shahiihil I’tiqaad hal 159-160).
Mendustakan Satu = Mendustakan Semuanya
Kewajiban seorang mukmin adalah beriman bahwa risalah para
Rasul adalah benar-benar dari Allah. Barangsiapa mendustakan
risalah mereka, sekalipun hanya salah seorang di antara mereka,
berarti ia telah mendustakan seluruh para rasul. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala :
َ ‫وح ْالمُرْ َسل‬
‫ِين‬ ٍ ‫ت َق ْو ُم ُن‬ ْ ‫َك َّذ َب‬
“Kaum Nabi Nuh telah mendustakan para Rasul” (QS. Asy
Syu’araa’:105)
Dalam ayat in Allah menilai tindakan kaum Nuh sebagai
pendustaan kepada para rasul yang diutus oleh Allah, padahal
ketika diutusnya Nuh belum ada seorang Rasulpun selain Nabi
Nuh ‘alaihis salaam. Berdasarkan hal ini maka orang-orang
Nasrani yang mendustakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak mau mengikuti beliau berarti mereka telah
mendustakan Al Masih bin Maryam (Nab Isa ‘alaihis salaam) dan
tidak mengikuti ajarannya. (Syarhu Ushuulil Iman hal 34-35)
Mengimani Nama Para Rasul
Termasuk pokok keimanan adalah kita beriman bahwa para
Rasul Allah memiliki nama. Sebagiannya diberitakan kepada kita
dan sebagiannya tdak diberitakan kepada kita. Yang diberikan
kepada kita  seperti Muhanmad, Ibrahim, Musa, ‘Isa, dan
Nuh ‘alahimus shalatu wa salaam. Kelima nama tersebut adalah
para Rasul ‘Ulul Azmi. Allah Ta’ala telah menyebut mereka pada
dua (tempat) surat di dalam Al Quran yakni surat Al Ahzaab dan
As Syuraa,
‫ْن َمرْ َي َم‬ ِ ‫وح َوِإب َْراهِي َم َومُو َسى َوعِ ي َسى اب‬ ٍ ‫ك َومِن ُّن‬ َ ‫َوِإ ْذ َأ َخ ْذ َنا م َِن ال َّن ِبي‬
َ ‫ِّين مِي َثا َق ُه ْم َومِن‬
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi
dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa bin
Maryam…” (QS. Al Ahzab:7)
‫ى‬bb‫يس‬َ ِ‫ص ْي َنا ِب ِه ِإب َْراهِي َم َومُو َسى َوع‬ َّ ‫ك َو َم َاو‬ َ ‫ين َم َاوصَّى ِب ِه ُنوحً ا َوالَّذِي َأ ْو َح ْي َنآ ِإ َل ْي‬ ِ ‫َش َر َع َل ُكم م َِّن ال ِّد‬
…ِ‫ين َوالَ َت َت َفرَّ قُوا فِيه‬ َ ‫َأنْ َأقِيمُوا ال ِّد‬
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah-belah tentangnya” (QS. Asy Syuraa:13)
Adapun terhadap para Rasul yang tidak kita ketahui nama-
namanya, kita beriman secara global. Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ْك َو ِم ْنهُم مَّن لَّ ْم َن ْقصُصْ َع َلي‬
‫ْك‬ َ ‫صصْ َنا َع َلي‬ َ ‫ك ِم ْنهُم مَّن َق‬ َ ِ‫َو َل َق ْد َأرْ َس ْل َنا ُر ُسالً مِّن َق ْبل‬
“Dan sesungguhnya telah Kami utus bebrapa orang rasul
sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu” (QS. Al Mukmin:78). (Syarhu Ushuulil
Iman,hal 35)
Para Rasul Pemberi Kabar Gembira Sekaligus Pemberi
Peringatan
Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan kabar gembira
sekaligus memberikan peringatan. Ini merupakan salah satu dari
hikmah diutusnya para rasul kepada manusia. Maksud
menyampaikan kabar gembira adalah menyebutkan pahala bagi
orang yang taat, sekaligus memberikan peringatan kemudian
mengancam orang yang durhaka dan orang kafir dengan
kemurkaan dan siksa Allah. Allah Ta’ala berfirman,
ً ‫ان هللاُ َع ِز‬
‫يزا َحكِيمًا‬ َ ‫هللا حُجَّ ُُة َبعْ َد الرُّ س ُِل َو َك‬
ِ ‫اس َع َلى‬ َ ‫ين لَِئ الَّ َي ُك‬
ِ ‫ون لِل َّن‬ َ ‫ين َومُنذ ِِر‬ َ ‫رُّ ُسالً ُّم َب ِّش ِر‬
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar tidak ada lagi alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (QS. An
Nisaa’ 165).
Ayat ini merupakan dalil bahwa tugas para Rasul ialah
memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang mentaati Allah
dan mengikuti keridhaan-Nya dengan melakukan kebaikan. Dan
bagi siapa yang menentang perintah-Nya dan mendustakan para
rasul-Nya akan diancam dengan hukum dan siksaan. (Husuulul
Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 195-196)
Nuh yang Pertama, Muhammad Penutupnya
Termasuk keyakinan Ahlus sunnah adalah beriman bahwasanya
Rasul yang petama diutus adalah Nuh ‘alaihis salaam dan yang
terkhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil
yang menunjukkan bahwa Nuh adalah Rasul pertama adalah
firman Allah,
‫ِإ َّنآَأ ْو َح ْي َنآِإ َلي َ َأ‬
ٍ ‫ْك َك َمآ ْو َح ْي َنآِإ َلى ُن‬
َ ‫وح َوال َّن ِبي‬
‫ِّين مِن َبعْ ِد ِه‬
“Sesungguhnya Kami telah memberkan wahyu kepadamu
sebagaman Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan
nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa’:163)
Para ulama berdalil dengan ayat ini bahwa Nuh adalah rasul
pertama. Sisi pendalilannya adalah dari kalimat “dan nabi-nabi
yang kemudiannya”. Jika ada rasul sebelum Nuh tentunya akan
dikatakan dalam ayat ini.
Adapun dalil dari sunnah adalah sebuah hadist shahih tentang
syafa’at, ketika manusia mendatangi Nabi Adam untuk meminta
syafaat, beliau berkata kepada mereka, “Pergilah kalian kepada
Nuh, karena ia adalah rasul pertama yang diutus ke muka bumi”.
Maka mereka pun mendatangi Nuh dan berkata: “engkau adalah
rasul pertama yang diutus ke bumi…” (Muttafaqun ‘alaihi). Hadist
ini merupakan dalil yang paling kuat menunjukkan bahwa Nuh
adalah rasul pertama. Dan Nabi Adam sendiri menyebutkan
bahwa Nuh sebagai Rasul pertama di atas muka bumi. (Husuulul
Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuulhal 196-197)
Sedangkan Rasul yang terakhir adalah Muhammad sholallahu
‘alaihi wa salaam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala.
‫ان هللاُ ِب ُك ِّل َشىْ ٍء َعلِيمًا‬ ِ ‫ان م َُح َّم ٌد َأ َبآ َأ َح ٍد مِّن رِّ َجالِ ُك ْم َو َلكِن رَّ سُو َل‬
َ ‫هللا َو َخا َت َم ال َّن ِبي‬
َ ‫ِّين َو َك‬ َ ‫مَّا َك‬
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para
Nabi. Dia adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al
Ahzab:40).
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda, “Aku adalah
penutup para Nabi, dan beliau berkata :’ Tidak ada Nabi
sesudahku”. Hal ini melazimkan berakhirnya diutusnya para
Rasul, karena berakhirnya yang lebih umum (yakni diutusnya
Nabi) melazimkan berakhirnya yang lebih khusus (yakni
diutusnya Rasul). Makna berakhirnya kenabian dengan kenabian
Muhammad yakni tidak adanya pensyariatan baru setelah
kenabian dan syariat yang dibawa oleh
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al Irsyaad ilaa
Shahiihil I’tiqaad hal 173).
Buah Manis Iman yang Benar Terhadap Para Rasul
Keimanan yang benar terhadap para Rasul Allah akan
memberikan faedah yang berharga, di antaranya adalah:
1. Mengetahui akan rahmat Allah dan perhatian-Nya kepada
manusia dengan mengutus kepada mereka para Rasul untuk
memberi petunjuk kepada merka kepada jalan Allah dan
memberikan penjelasan kepada mereka bagaimana
beribadah kepada Allah  karena akal manusia tidak dapat
menjangkau hal tersebut.
2. Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang sangat agung ini.
3. Mencintai para Rasul,, mengagungkan mereka , serta
memberikan pujian yang layak bagi mereka. Karena mereka
adalah utusan Allah Ta’ala dan senantiasa menegakkan
ibadah kepada-Nya serta menyampaikan risalah dan
memberikan nasehat kepada para hamba. (Syarhu Ushuuill
Imanhal 36)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menetapkan hati kita kepada
keimanan yang benar. Washolallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
Sumber Rujukan:
1. Syarhu Ushuulil Iman. Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin. Penerbit Daarul Qasim. Cetakan pertama 1419 H
2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad. Syaikh Sholih Al Fauzan
Penerbit Maktabah Salsabiil Cetakan pertama tahun 2006.
3. Jaami’us Syuruuh al ‘Aqidah at Thahawiyah. Penerbit Daarul
Ibnul Jauzi cetakan pertama tahun 2006.
4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul.Penerbit
Maktabah ar Rusyd, Riyadh. Cetakan pertama
1422H/2001M.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Pokok-Pokok Keimanan Kepada Hari Akhir

Iman kepada hari akhir hukumnya wajib dan kedudukannya


dalam agama merupakan salah satu di antara rukun iman yang
enam. Banyak sekali AllahTa’ala menggandengkan antara iman
kepada Allah dan iman kepada hari akhir, karena barangsiapa
yang tidak beriman kepada hari akhir, tidak mungkin akan
beriman kepada Allah. Orang yang tidak beriman dengan hari
akhir tidak akan beramal, karena seseorang tidak akan beramal
kecuali dia mengharapkan kenikmatan di hari akhir dan takut
terhadap adzab di hari akhir.[1]
Disebut hari akhir karena pada hari itu tidak ada hari lagi
setelahnya, saat itu merupakan tahapan yang terakhir[2].
Keimanan yang benar  terhadap hari akhir mancakup tiga hal
pokok yaitu mengimani adanya hari kebangkitan, mengimani
adanya hisaab (perhitungan) dan jazaa’ (balasan), serta
mengimani tentang surga dan neraka. Termasuk juga keimanan
kepada hari akhir adalah mengimani segala peristiwa yang akan
terjadi setelah kematian seperti  fitnah kubur, adzab kubur, dan
nikmat kubur.
Mengimani Adanya Hari Kebangkitan
Hari kebangkitan adalah hari dihidupkannya kembali orang yang
sudah mati ketika ditiupkannya sangkakala yang kedua.
Kemudian manusia akan berdiri menghadap Rabb semesta alam
dalam keadaan telanjang tanpa alas kaki, telanjang tanpa
pakaian, dan dalam keadaan tidak disunat. Allah Ta’alaberfirman,

‫ْأ‬ ِ ‫َي ْو َم َن ْط ِوي ال َّس َمآ َء َك َطيِّ ال ِّس ِج ِّل ل ِْل ُك ُت‬
ٍ b‫دَ َنآ َأوَّ َل َخ ْل‬bb‫ا َب‬bb‫ب َك َم‬
َ ‫اعِ ل‬bb‫آ ِإ َّنا ُك َّنا َف‬bb‫ ًدا َع َل ْي َن‬bْ‫ ُدهُ َوع‬b‫ق ُّنعِي‬b
{ ‫ِين‬

}104
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung
lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah
suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang
akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti.
Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijmaa’ (konsensus)
kaum muslimin. Allah Ta’alaberfirman,

َ ‫} ُث َّم ِإ َّن ُك ْم َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة ُت ْب َع ُث‬15{ ‫ون‬


}16{ ‫ون‬ َ ِ‫ُث َّم ِإ َّن ُكم َبعْ دَ َذل‬
َ ‫ك َل َم ِّي ُت‬
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-
benar akan mati(15). Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian
akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.(16)” (QS. Al
Mukminun:15-16)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam bersabda :

‫يحشر الناس يوم القيامة حفاة عراة غرال‬


“Pada hari kiamat, seluruh manusia akan dikumpulkan dalam
keadaan tanpa alas kaki, telanjang, dan tidak disunat”[3]
Kaum muslimin juga telah sepakat mengenai kepastian adanya
hari kebangkitan ini. [4]
Mengimani Adanya Hari Perhitungan dan Pembalasan
Termasuk perkara yang harus diimani berkenaan dengan hari
akhir adalah mengimani adanya hari  perhitungan dan
pembalasan. Seluruh amal perbuatan setiap hamba akan dihisab
dan diberi balasan. Hal ini juga telah ditetapkan oleh Al Quran, As
Sunnah dan ijmaa’ kaum muslimin.
Allah Ta’ala berifrman,

}26{ ‫} ُث َّم ِإنَّ َع َل ْي َنا ِح َسا َبهُم‬25{ ‫ِإنَّ ِإ َل ْي َنآ ِإيَّا َب ُه ْم‬
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian
sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al
Ghasiyah:25-26)

‫ا‬bb‫ا ِب َه‬bb‫ان م ِْث َقا َل َح َّب ٍة مِّنْ َخرْ د ٍَل َأ َت ْي َن‬


َ ‫ين ْالقِسْ َط لِ َي ْو ِم ْالقِ َيا َم ِة َفالَ ُت ْظ َل ُم َن ْفسٌ َش ْيًئ ا َوِإن َك‬ ِ ‫ض ُع ْال َم َو‬
َ ‫از‬ َ ‫َو َن‬

}47{ ‫ين‬ َ ‫َو َك َفى ِب َن‬


َ ‫احاسِ ِب‬
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat,
maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika
(amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai
pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiyaa’:47)
Telah shahih dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam, beliau
bersabda,

‫ا‬bb‫يئة فلم يعمله‬bb‫را ومن هم بس‬bb‫ومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له عش‬

‫لم تكتب شيئا فإن عملها كتبت سيئة واحدة‬


“Barangsiapa yang berniat melakukam suatu kebaikan, lalu
mengerjakannya, maka Allah telah menulisnya sepuluh hingga
tujuh ratus kebaikan, bahkan sampai kelipatan yang lebih banyak
lagi. Sedangkan barangsiapa yang berniat melakukan keburukan,
lalu mengerjakannya, maka Allah hanya akan menulisnya satu
keburukan saja“ [5].
Kaum muslimin juga telah bersepakat tentang adanya hari
perhitungan dan pembalasan. Dan ini sesuai dengan  tuntutan
hikmah Allah Ta’ala.[6]
Mengimanai Adanya Surga dan Neraka
Hal lain yang harus diimani seorang muslim adalah tentang surga
dan neraka. Keduanya merupakan tempat kembali yang abadi
bagi makhluk. Surga adalah kampung kenikmatan yang
dipersiapkan oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang yang beriman.
Sedangkan neraka adalah hunian yang penuh dengan adzab
yang dipersiapkan oleh Allah Ta’ala untuk orang-orang kafir.
Allah Ta’ala berfirman :

َ َّ‫} َوِإنَّ ْالفُج‬13{ ‫ِيم‬


ٍ ‫ار َلفِي َجح‬
}14{ ‫ِيم‬ َ ‫ِإنَّ ْاَألب َْر‬
ٍ ‫ار َلفِي َنع‬
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar
berada dalam syurga yang penuh keni’matan. dan sesungguhnya
orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (Al
Infithaar:13-14)
Berkaitan dengan surga dan neraka, ada beberapa hal penting
yang merupakan keyakinan ahlus sunnah yang membedakannya
dengan ahlul bid’ah :
Pertama: Surga dan Neraka Benar Adanya
Keberadaan surga dan nereka adalah haq (benar adanya). Tidak
ada keraguan di dalamnya. Neraka disediakan bagi musuh-
musuh Allah, sedangkan surga dijanjikan bagi wali-wali Allah.
Penyebutan tentang surga dan neraka dalam Al Quran dan As
Sunnah sangatlah banyak. Terkadang disebutkan tentang kondisi
penduduk surga dan neraka. Terkadang disebutkan tentang janji
kenikmatan surga dan adzab di neraka. Terkadang disebutkan
dorongan agar bersemangat meraih surga dan ancaman dari
neraka. Demikian pula As Sunnah banyak menyebutkan tentang
surga dan neraka. Itu semua menunjukkan bahwa keberadaan
surga dan neraka adalah benar adanya. [7]
Kedua: Surga dan Neraka Sekarang Sudah Ada
Ahlus sunnah telah sepakat bahwa keduanya merupakan
makhluk Allah yang telah ada sekarang. Hal ini bertentangan
dengan keyakinan mu’tazilahdan qodariyah yang lebih
mengedepankan akal mereka. Adapun dalilnya adalah firman
Allah,

}133 { ‫ِين‬ ْ ‫ات َو ْاَألرْ ضُ ُأعِ َّد‬


َ ‫ت ل ِْل ُم َّتق‬ ُ ْ‫ارعُوا ِإ َلى َم ْغف َِر ٍة مِّن رَّ ِّب ُك ْم َو َج َّن ٍة َعر‬
ُ ‫ض َها ال َّس َم َاو‬ ِ ‫َو َس‬
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan
kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali
Imran:133)
Tentang neraka Allah berfirman,

}131{ ‫ين‬ ْ ‫ار الَّتِي ُأعِ َّد‬


َ ‫ت ل ِْل َكاف ِِر‬ َ ‫َوا َّتقُوا ال َّن‬
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka,
yang telah disediakan untuk orang-orang yang kafir” (QS. Ali
Imran:131)
Diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melihat Sidratul Muntaha, kemudian melihat dan
masuk ke dalam surga. Hal ini terjadi ketika beliau Isra’ Mi’raj.[8]
Ketiga: Penciptaan Surga  dan Neraka Sebelum Penciptaan
Makhluk
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫ِين‬ َّ ‫ْث شِ ْئ ُت َما َوالَ َت ْق َر َبا َه ِذ ِه ال َّش َج َر َة َف َت ُكو َنا م َِن‬


َ ‫الظالِم‬ ُ ‫ك ْال َج َّن َة َف ُكالَ ِمنْ َحي‬ َ ‫َو َياَئ ادَ ُم اسْ ُكنْ َأ‬
َ ‫نت َو َز ْو ُج‬

}19{
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan
isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan)
di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk
orang-orang yang zalim.”” (QS. Al A’raf: 19)
Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini
menunjukkan surga sudah ada sebelum penciptaan Adam. [9].
Keempat: Surga dan Neraka  Sudah Ditentukan Siapakah
Yang Akan Menjadi Penghuninya

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

‫ْأ‬
ِ ‫َو َل َق ْد َذ َر َنا ل َِج َه َّن َم َك ِثيرً ا م َِن ْال ِجنِّ َو ْاِإل‬
‫نس‬
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia … ”(QS. Al A’raf: 179)
Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,

‫ا وهم في‬bb‫ار أهال خلقهم له‬bb‫ق للن‬bb‫ائهم وخل‬bb‫الب آب‬bb‫إن هللا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أص‬

‫أصالب آبائهم‬
“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk
jannah. Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya,
sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak
mereka. Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka.
Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya, padahal
mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka” [10].[11]
Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi
Allah Ta’ala berfirman,
‫ آ ًء‬b‫ك َع َط‬ َ ‫ات َو ْاَألرْ ضُ ِإالَّ َم‬
َ ‫آ َء َر ُّب‬b‫اش‬ ُ ‫ َم َاو‬b‫الس‬
َّ ‫ت‬ِ ‫ادَا َم‬b‫ا َم‬b‫ِين فِي َه‬ َ ‫َوَأمَّا الَّذ‬
َ ‫د‬bِ‫ ِع ُدوا َففِي ْال َج َّن ِة َخال‬b‫ِين ُس‬

}108{ ‫َغي َْر َمجْ ُذو ٍذ‬


“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di
dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan
bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai
karunia yang tiada putus-putusnya.” (Huud:108)
Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫دا وإن لكم أن‬bb‫وا أب‬bb‫وا فال تموت‬bb‫دا وإن لكم أن تحي‬bb‫قموا أب‬bb‫حوا فال تس‬bb‫اد إن لكم أن تص‬bb‫ينادي من‬

‫ودوا أن تلكم‬bb‫ل { ون‬bb‫تشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وج‬

} ‫الجنة أورثتموها بما كنتم تعملون‬


“Datanglah suara berkumandang :Wahai ahli surga,
sesungguhnya kamu sekalian akan sehat dan tak pernah sakit.
Kamu sekalian akan menjadi muda belia dan tak pernah tua lagi.
Dan kalian pun akan hidup dan tak akan pernah mati.”[12].
Keyakinan tentang surga dan neraka di atas, terangkum dalam
perkataan yang disampaikan oleh Imam Abu Ja’far At
Thahawy rahimahullah dalam kitab beliau al ‘Aqidah Ath
Thahawiyah, beliau menjelaskan,

ِ b‫الخ ْل‬
،‫ق‬b َ ‫الج َّن َة َوال َّن‬
َ ‫ َل‬b‫ار َق ْب‬ َ ‫هللا َت َعا َلى َخ َل َق‬ ِ ‫ان َأ َب ًدا َوال َت ِبي‬
َ َّ‫ َفِإن‬،‫ْدَان‬ ِ ‫الج َّن ُة َوال َّنا ُر َم ْخلُ ْو َق َت‬
ِ ‫ الَ َت ْف َن َي‬،‫ان‬ َ ‫َو‬

،ً‫َو َخ َل َق َل ُه َما َأهْ ال‬


“Surga dan neraka merupakan dua makhluk yang tidak akan
punah dan binasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan
keduanya sebelum penciptaan makhluk lainnya dan Allah juga
telah menentukan siapakah penghuninya…”[13].
Mengimanai Fitnah, Adzab, dan Nikmat Kubur
Dalil perkara ini sangat gamblang dan jelas.
Allah Ta’ala menerangkannya di banyak tempat dalam Al Quran.
Demikian pula penjabaran dari Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang masalah ini sangat banyak dan mencapai
derajat mutawatir. Allah Ta’ala berfirman,
‫ِيه ْم َأ ْخ ِرجُوا َأنفُ َس ُك ُم ْال َي ْو َم ُتجْ َز ْو َن‬
ِ ‫طوا َأ ْيد‬
ُ ِ‫ت َو ْال َمالَِئ َك ُة بَاس‬
ِ ‫ت ْال َم ْو‬
ِ ‫ُون فِي َغ َم َرا‬ َّ ‫َو َل ْو َت َرى ِإ ِذ‬
َ ‫الظالِم‬

َ ‫هللا َغي َْر ْال َح ِّق َو ُكن ُت ْم َعنْ َءا َيا ِت ِه َتسْ َت ْك ِبر‬
}93{ ‫ُون‬ ِ ‫ون َع َلى‬ ِ ‫اب ْاله‬
َ ُ‫ُون ِب َما ُكن ُت ْم َتقُول‬ َ ‫َع َذ‬
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-
orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang
para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
“Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa
yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu
selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al
An’am: 93). [14]
Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah
pertanyaan malaikat di alam kubur kepada mayit
tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu
meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang
mantap, sehingga dengan kemantapannya ia menjawab,
”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi
Muhammad”. Sebaliknya Allah menyesatkan orang-orang yang
dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab, ”Hah…hah!Aku
tidak tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu
menjawab :” Aku tidak tahu. Aku dengar orang-orang
mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula mengaatkannya”[15].
Faedah Iman yang Benar
Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang
bermanfaat. Demikian pula keimanan yang benar terhadap hari
akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :
1. Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan
dengan mengharapkan pahalanya kelak di ahri akhir.
2. Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka
kembali pada maksiat karena khawatir mendapat siksa di hari
akhir.
3. Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang
tidak mereka dapatkan di dunia dengan mengharapkan
kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].
Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan
kepada hari akhir. Terdapat banyak perincian yang harus kita
imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan
dijelaskan lebih rinci dalam kesempatan lain. Semoga Allah
meneguhkan iman kita hingga ajal menjemput kita.Wallahul
muwafiq.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Memahami Takdir Ilahi

Beriman kepada Takdir


Kaum muslimin yang semoga dimuliakan oleh Allah ta’ala, salah
satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap muslim adalah
beriman kepada takdir baik maupun buruk.
Perlu diketahui bahwa beriman kepada takdir ada empat
tingkatan:
1. Beriman kepada ilmu Allah yang ajali sebelum segala
sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman
bahwa amal perbuatannya telah diketahui (diilmui) oleh Allah
sebelum dia melakukannya.
2. Mengimani bahwa Allah telah menulis takdir di Lauhul
Mahfuzh.
3. Mengimani masyi’ah (kehendak Allah) bahwa segala sesuatu
yang terjadi adalah karena kehendak-Nya.
4. Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu.
Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya adalah
makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas adalah firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah kamu tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allahmengetahui apa saja yang ada di
langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu  terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang
demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70).
Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah
(yang artinya), “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh
jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan
keempat, dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Allah
menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-
Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun’ (dan apa saja
yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan Allah.
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
[1] Takdir umum mencakup segala yang ada. Takdir ini dicatat
di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah telah mencatat takdir segala
sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini umum bagi seluruh
makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah qalam
(pena). Allah berfirman kepada qalam tersebut, “Tulislah”.
Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang akan aku
tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang
terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh
Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari takdir yang umum.
Takdir ini terdiri dari:
(a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana terdapat pada hadits
Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam
rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4 hal: (1) rizki, (2) ajal,
(3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang ditetapkan pada
malam lailatul qadar mengenai kejadian dalam setahun.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan
segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4).
Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis
pada ummul kitab segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal yang
terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan
terperinci ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari
keduanya, maka dia tidak beriman kepada takdir. Dan berarti dia
telah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah Dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang mengingkari takdir dan
ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya.
Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya
ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama adalah yang paling
ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu
dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul
Mahfuzh. Mereka mengatakan bahwa Allah memerintah dan
melarang, namun Allah tidak mengetahui siapa yang taat dan
berbuat maksiat. Perkara ini baru saja diketahui, tidak didahului
oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah
musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan ilmu Allah, namun
meniadakan masuknya perbuatan hamba pada takdir Allah.
Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk
yang berdiri sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula
menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kelompok yang berlebihan
dalam menetapkan takdir sehingga hamba seolah-olah dipaksa
tanpa mempunyai kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama sekali.
Mereka mengatakan bahwasanya hamba itu dipaksa untuk
menuruti takdir. Oleh karena itu, kelompok ini dikenal
dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas adalah keyakinan yang salah
sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya
adalah firman Allah (yang artinya), “(yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak
dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-
29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari
dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara
kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan
bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah
menetapkan adanya kehendak (pilihan) bagi hamba. Jadi
manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri.
Kemudian pada ayat selanjutnya, “Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan
untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu
berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung
pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah karena pada ayat
tersebut, Allah mengaitkan kehendak hamba dengan kehendak-
Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa semua bentuk ketaatan,
maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan
Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan
hamba yang baik maupun yang buruk adalah termasuk makhluk
Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang dia
kerjakan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny mengatakan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-
ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki adalah
meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan
perbuatan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan
yang dia lakukan secara hakiki. Dan Allah menjadikan hamba
sebagai pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81]: 29). Maka
dalam ayat ini Allah menetapkan kehendak hamba dan Allah
mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali
dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih oleh
Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam memahami takdir.
Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir
itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali.
Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-
hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak
meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan
anaknya. Lalu dia mengatakan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang
akan memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini adalah suatu
kesalahan dalam memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-
Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk
mengambil sebab dan melarang kita bermalas-malasan. Apabila
kita telah mengambil sebab, namun kita mendapatkan hasil yang
sebaliknya, maka kita tidak boleh berputus asa dan bersedih
karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh
karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta
tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kamu tertimpa
sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah:
‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh Allah
dan Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya) karena
ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman kepada takdir dan ketetapan Allah
adalah hati menjadi tenang dan tidak pernah risau dalam
menjalani hidup ini. Seseorang yang mengetahui bahwa musibah
itu adalah takdir Allah, maka dia yakin bahwa hal itu pasti terjadi
dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, beliau pernah mengatakan pada
anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman kepada Allah hingga
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk dan
engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang akan
menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput
darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu
demikian. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak beriman
seperti ini, maka dia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah
Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar,
tentu dia akan menyikapi segala musibah yang ada dengan
tenang. Hal ini pasti berbeda dengan orang yang tidak beriman
pada takdir dengan benar, yang sudah barang tentu akan merasa
sedih dan gelisah dalam menghadapi musibah. Semoga kita
dimudahkan oleh Allah untuk sabar dalam menghadapi segala
cobaan yang merupakan takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu surga serta perkataan dan
amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami
berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan
yang dapat mengantarkan kami kepadanya. Ya Allah, kami
memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau
tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
Sumber Rujukan Utama: 
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin
***
Akhlak
Lalai untuk Belajar Islam

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua
pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar
komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun
sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia
sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari,
kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit
dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan
ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
َ ُ‫ُون َظا ِهرً ا م َِن ْال َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا َو ُه ْم َع ِن اَآْلخ َِر ِة ُه ْم َغافِل‬
‫ون‬ َ ‫َيعْ َلم‬
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu
‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-
benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap
urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath
Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di
atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun
mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka
hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui
kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak
mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya
dunia dan tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang
hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui
kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka
mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan
dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari
penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, 
pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan
mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain,
hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat
di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja
seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian,
perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar
lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib
mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian
ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan
akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat
tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang
akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak
mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat.
Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan
mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut.
Kebanyakan manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti
mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan
perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka
terhadap dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak
mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari
kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat
membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita
berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat
kita lupa akan negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan
siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir,
4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan
mengenai kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun
menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar
pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama
menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita,
orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai
membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu
wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada ilmu dunia
sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan.
Bahaya Jahil akan Ilmu Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya,
maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu
pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama,
tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain
yang mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan
dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan
shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin
terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum
dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus
dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
‫ك‬َ ‫َفاعْ َل ْم َأ َّن ُه اَل ِإ َل َه ِإاَّل هَّللا ُ َواسْ َت ْغفِرْ لِ َذ ْن ِب‬
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai
dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah
yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu,
sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa
ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al Hilyahketika menjelaskan biografi Sufyan dari
jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini,
lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah
memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat
adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu.
Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-
harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini
bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen).
Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni
Baththol, 1/144)
Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-
buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata
cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula
mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan
baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-
sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau
mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun
mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta
diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan
malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam
transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum  beramal.
Mu’adz bin Jabal berkata,
‫الع َم ِل َوال َع َم ُل َت ِاب ُع ُه‬َ ‫الع ِْل ُم ِإ َما ُم‬
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang
setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil
Mungkar, hal. 15)
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari
tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu
jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ْس َع َل ْي ِه َأمْ ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬
َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َمالً َلي‬
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang
akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
‫ان َما ُي ْفسِ ُد َأ ْك َث َر ِممَّا يُصْ لِ ُح‬ َ ‫هللا ِب َغي ِْر عِ ْل ٍم َك‬
َ َ‫َمنْ َع َبد‬
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia
akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan
kebaikan.”  (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang Adil
Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu
kondisi mempelajari ilmu dunia bisa menjadi wajib jika memang
belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut.
Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent
sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada
kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk
mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan
masyarakat.
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua
hanya memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat
anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih
senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3,
menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama
anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung,
namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan
mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti
bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan
dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak
tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi
wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak
mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan
yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang
harus dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi
seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham
bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu,
tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak
itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat
baik  baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena
mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan
cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy
Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk
umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia,
jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia
pelajari.
Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah
kebaikan, terserah dia adalah dokter, engineer, pakar IT dan
lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫َمنْ ي ُِر ِد هَّللا ُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِى ال ِّد‬
‫ين‬
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh
kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang
agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta,
namun ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ِإنَّ اَأل ْن ِب َيا َء َل ْم ي َُورِّ ُثوا دِي َنارً ا َوالَ ِدرْ َهمًا ِإ َّن َما َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ َأ َخ َذ ِب ِه َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر‬
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang
banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682,
Shahih)
Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak
melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada anak-anak kita, jangan
lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal
amalan keseharian  mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam

Menuntut ilmu agama adalah amalan yang amat mulia. Lihatlah


keutamaan yang disebutkan oleh sahabat Mu’adz bin
Jabal radhiyallahu ‘anhu,  “Tuntutlah ilmu (belajarlah Islam)
karena mempelajarinya adalah suatu kebaikan untukmu. Mencari
ilmu adalah suatu ibadah. Saling mengingatkan akan ilmu adalah
tasbih. Membahas suatu ilmu adalah jihad. Mengajarkan ilmu
pada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah.
Mencurahkan tenaga untuk belajar dari ahlinya adalah suatu
qurbah (mendekatkan diri pada Allah).”
Imam yang telah sangat masyhur di tengah kita, Imam Asy
Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada setelah berbagai hal
yang wajib yang lebih utama dari menuntut ilmu.”
Namun ada yang merasa bahwa ia sudah terlalu tua, malu jika
harus duduk di majelis ilmu untuk mendengar para ulama
menyampaikan ilmu yang berharga dan akhirnya enggan untuk
belajar. Padahal ulama di masa silam, bahkan sejak masa
sahabat tidak pernah malu untuk belajar, mereka tidak pernah
putus asa untuk belajar meskipun sudah berada di usia senja.
Ada yang sudah berusia 26 tahun baru mengenal Islam, bahkan
ada yang sudah berusia senja -80 atau 90 tahun- baru mulai
belajar. Namun mereka-mereka inilah yang menjadi ulama besar
karena disertai ‘uluwwul himmah(semangat yang kuat dalam
belajar).
Berikut 10 contoh teladan dari ulama salaf di mana ketika berusia
senja, mereka masih semangat dalam mempelajari Islam.
Teladan 1 – Dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum
Imam Bukhari menyebutkan dalam kitab shahihnya, “Para
sahabat belajar pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru
ketika usia senja”.
Teladan 2 – Perkataan Ibnul Mubarok
Dari Na’im bin Hammad, ia berkata bahwa ada yang bertanya
pada Ibnul Mubarok, “Sampai kapan engkau menuntut ilmu?”
“Sampai mati insya Allah”, jawab Ibnul Mubarok.
Teladan 3 – Perkataan Abu ‘Amr ibnu Al ‘Alaa’
Dari Ibnu Mu’adz, ia berkata bahwa ia bertanya pada Abu ‘Amr
ibnu Al ‘Alaa’, “Sampai kapan waktu terbaik untuk belajar bagi
seorang muslim?” “Selama hayat masih dikandung badan”, jawab
beliau.
Teladan 4 – Teladan dari Imam Ibnu ‘Aqil
Imam Ibnu ‘Aqil berkata, “Aku tidak pernah menyia-nyiakan
waktuku dalam umurku walau sampai hilang lisanku untuk
berbicara atau hilang penglihatanku untuk banyak menelaah.
Pikiranku masih saja terus bekerja ketika aku beristirahat. Aku
tidaklah bangkit dari tempat dudukku kecuali jika ada yang
membahayakanku. Sungguh aku baru mendapati diriku begitu
semangat dalam belajar ketika aku berusia 80 tahun.
Semangatku ketika itu lebih dahsyat daripada ketika aku berusia
30 tahun”.
Teladan 5 – Teladan dari Hasan bin Ziyad
Az Zarnujiy berkata, “Hasan bin Ziyad pernah masuk di suatu
majelis ilmu untuk belajar ketika usianya 80 tahun. Dan selama
40 tahun ia tidak pernah tidur di kasur”.
Teladan 6 – Teladan dari Ibnul Jauzi
Kata Adz Dzahabiy, “Ibnul Jauzi pernah membaca Wasith di
hadapan Ibnul Baqilaniy dan kala itu ia berusia 80 tahun.”
Teladan 7 – Teladan dari Imam Al Qofal
Al Imam Al Qofal menuntut ilmu ketika ia berusia 40 tahun.
Teladan 8 – Teladan dari Ibnu Hazm
Ketika usia 26 tahun, Ibnu Hazm belum mengetahui bagaimana
cara shalat wajib yang benar. Asal dia mulai menimba ilmu diin
(agama) adalah ketika ia menghadiri jenazah seorang terpandang
dari saudara ayahnya. Ketika itu ia masuk masjid sebelum shalat
‘Ashar, lantas ia langsung duduk tidak mengerjakan shalat
sunnah tahiyatul masjid. Lalu ada gurunya yang berkata sambil
berisyarat, “Ayo berdiri, shalatlah tahiyatul masjid”. Namun Ibnu
Hazm tidak paham. Ia lantas diberitahu oleh orang-orang yang
bersamanya, “Kamu tidak tahu kalau shalat tahiyatul masjid itu
wajib?”(*) Ketika itu Ibnu Hazm berusia 26 tahun. Ia lantas
merenung dan baru memahami apa yang dimaksud oleh gurunya.
Kemudian Ibnu Hazm melakukan shalat jenazah di masjid. Lalu ia
berjumpa dengan kerabat si mayit. Setelah itu ia kembali
memasuki masjid. Ia segera melaksanakan shalat tahiyatul
masjid. Kemudian ada yang berkata pada Ibnu Hazm, “Ayo
duduk, ini bukan waktu untuk shalat”(**).
Setelah dinasehati seperti itu, Ibnu Hazm akhirnya mau belajar
agama lebih dalam. Ia lantas menanyakan di mana guru tempat
ia bisa menimba ilmu. Ia mulai belajar pada Abu ‘Abdillah bin
Dahun. Kitab yang ia pelajari adalah mulai dari kitab Al Muwatho’
karya Imam Malik bin Anas.
* Perlu diketahui bahwa hukum shalat tahiyatul masjid menurut
jumhur –mayoritas ulama- adalah sunnah. Sedangkan menurut
ulama Zhohiriyah, hukumnya wajib.
** Menurut sebagian ulama tidak boleh melakukan shalat tahiyatul
masjid di waktu terlarang untuk shalat seperti selepas shalat
Ashar. Namun yang tepat, masih boleh shalat tahiyatul masjid
meskipun di waktu terlarang shalat karena shalat tersebut adalah
shalat yang ada sebab.
Teladan 9 – Teladan dari Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam
Beliau adalah ulama yang sudah sangat tersohor dan memiliki
lautan ilmu. Pada awalnya, Imam Al ‘Izz sangat miskin ilmu dan
beliau baru sibuk belajar ketika sudah berada di usia senja.
Teladan 10 – Teladan dari Syaikh Yusuf bin Rozaqullah
Beliau diberi umur yang panjang hingga berada pada usia 90
tahun. Ia sudah sulit mendengar kala itu, namun panca indera
yang lain masih baik. Beliau masih semangat belajar di usia senja
seperti itu dan semangatnya seperti pemuda 30 tahun.
Jika kita telah mengetahui 10 teladan di atas dan masih banyak
bukti-bukti lainnya, maka seharusnya kita lebih semangat lagi
untuk belajar Islam. Dan belajar itu tidak pandang usia. Mau tua
atau pun muda sama-sama punya kewajiban untuk belajar. Inilah
yang penulis sendiri saksikan di tengah-tengah belajar di Saudi
Arabia, banyak yang sudah ubanan namun masih mau duduk
dengan ulama-ulama besar seperti Syaikh Sholeh Al Fauzan,
bahkan mereka-mereka ini yang duduk di shaf terdepan.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
‫َمنْ اَل ُيحِبُّ ْالع ِْل َم اَل َخي َْر فِي ِه‬
“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan
untuknya.”
Ya Allah berkahilah umur kami dalam ilmu, amal dan dakwah.
Wabillahit taufiq.
 
Referensi:
 ‘Uluwul Himmah, Muhammad bin Ahmad bin Isma’il Al
Muqoddam, terbitan Dar Ibnul Jauzi, hal. 202-206.
 Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaazhil Minhaaj,
Syamsuddin Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini, terbitan
Darul Ma’rifah, cetakan pertama, 1418 H, 1: 31.
Kemuliaan Ilmu dan Ulama

Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Abud


Darda’radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sungguh keutamaan seorang ahli ilmu di atas
ahli ibadah adalah laksana keutamaan bulan purnama di atas
seluruh bintang-gemintang. Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris nabi-nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan uang
dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambil ilmu itu niscaya dia memperoleh
jatah warisan yang sangat banyak.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal.
22)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Zur bin
Hubaisy. Dia berkata: Shofwan bin ‘Asal al-Muradi mengabarkan
kepada kami. Dia berkata: Aku pernah datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku
berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut
ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut
ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan
mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian
sebagian mereka menaiki sebagian yang lain sampai ke langit
dunia, karena kecintaan mereka terhadap apa yang mereka
lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37)
Ibnu Wahb meriwayatkan dari Imam Malik. Imam Malik berkata:
Aku mendengar Zaid bin Aslam -gurunya- menafsirkan firman
Allah ta’ala (yang artinya), “Kami akan mengangkat kedudukan
orang-orang yang Kami kehendaki.” (QS. Yusuf: 76). Beliau
berkata, “Yaitu dengan ilmu.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya
Ibnu Baththal [1/133], Umdat al-Qari [2/5], dan Fath al-
Bari [1/172])
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid
mengenai makna firman Allah (yang artinya), “Allah berikan
hikmah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”Mujahid
menafsirkan, “Yaitu ilmu dan fikih/pemahaman.” (lihat Akhlaq
al-’Ulama, hal. 19)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Mujahid
tentang maksud firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan
ulil amri di antara kalian.” Beliau menjelaskan,“Yaitu para fuqoha’
dan ulama.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 21)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Hasan,
bahwa Abud Darda’radhiyallahu’anhu berkata, “Perumpamaan
para ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-
bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi
manusia.” (lihatAkhlaq al-’Ulama, hal. 29)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari Sa’id bin
Jubair, dari Ibnu Abbasradhiyallahu’anhuma, beliau
mengatakan, “Seorang pengajar kebaikan dan orang yang
mempelajarinya dimintakan ampunan oleh segala sesuatu,
sampai ikan di dalam lautan sekalipun.” (lihat Akhlaq al-’Ulama,
hal. 43-44)
Petaka Lenyapnya Ilmu
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Sebagian di antara tanda dekatnya
hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela,
khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari
dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671])
Hancurnya alam dunia ini -dengan terjadinya kiamat- akan
didahului dengan hancurnya pilar-pilar penegak kemaslahatan
hidup manusia yang menopang urusan dunia dan akherat
mereka. Di antara pilar tersebut adalah; agama, akal, dan garis
keturunan/nasab. Rusaknya agama akibat hilangnya ilmu.
Rusaknya akal akibat khamr. Adapun rusaknya nasab adalah
karena praktek perzinaan yang merajalela di mana-mana
(lihat Fath al-Bari[1/218])
Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu
secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang
dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang
yang mengemban ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/237]).
Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-
Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan
mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan
tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para
ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka
orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan
orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu.
Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalam Kitab
al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673])
Di dalam riwayat Ahmad dan Thabrani dari jalan Abu
Umamah radhiyallahu’anhudisebutkan bahwa ketika Hajjatul
Wada’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ambillah ilmu
sebelum sebelum ia dicabut atau diangkat.” Maka ada seorang
Badui yang bertanya, “Bagaimana ia diangkat?”. Maka beliau
menjawab, “Ketahuilah, hilangnya ilmu adalah dengan perginya
(meninggalnya) orang-orang yang mengembannya.” (lihat Fath
al-Bari [1/237-238])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di
atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan
kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang
tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya.
Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati
dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya
sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan
mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan,
jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak
ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika
itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu
yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan
deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang
baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai
jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang
tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang
mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum
untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman.
Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan
air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian
itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi
manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya.
Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama
dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku
sampaikan.” (HR. Bukhari)
Imam al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan segi keserupaan
antara hujan dengan ilmu agama. Beliau berkata, “Sebagaimana
hujan akan menghidupkan tanah yang mati (gersang), demikian
pula ilmu-ilmu agama akan menghidupkan hati yang mati.”
(lihat Fath al-Bari [1/215]).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu menjadikan
ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana
tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan,
maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan
ilmu.” (lihatal-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227). Wallahu
a’lam.

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu

Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim


dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
‫يض ٌة َع َلى ُك ِّل مُسْ ل ٍِم‬
َ ‫َط َلبُ ْالع ِْل ِم َف ِر‬
Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR.
Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan
oleh Syeikh Al-Albani]
Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di
dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh
RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk
kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah
agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.
Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di
antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:
1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh
Allah.
Alloh Ta’ala berfirman:
ِ ‫ ِر ُكوا ِبا‬b ‫ ِّق َوَأن ُت ْش‬b‫ِش َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َو ْاِإل ْث َم َو ْال َب ْغ َى ِب َغي ِْر ْال َح‬
‫هلل‬ َ ‫قُ ْل ِإ َّن َما َحرَّ َم َرب َِّي ْال َف َواح‬
َ ‫هللا َما الَ َتعْ َلم‬
‫ُون‬ ِ ‫َما َل ْم ُي َن ِّز ْل ِب ِه س ُْل َطا ًنا َوَأنْ َتقُولُوا َع َلى‬
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan
dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu
ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata:
“Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar
yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih
tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut
Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang
paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa
ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya.
Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya,
yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang
syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-
Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34,
tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas
(nama) Allah.
Allah Ta’ala berfirman:
‫ِين‬َ ‫ِب ِإنَّ الَّذ‬َ ‫ ذ‬b‫هللا ْال َك‬
ِ ‫ رُوا َع َلى‬b‫ َرا ٌم لِّ َت ْف َت‬b‫ذا َح‬b َ ‫ذا َحالَ ٌل َو َه‬b َ ‫ ذ‬b‫ َن ُت ُك ُم ْال َك‬b‫فُ َأ ْل ِس‬b‫ص‬
َ ‫ِب َه‬ ِ ‫َوالَ َتقُولُوا لِ َما َت‬
َ ‫ِب الَ ُي ْفلِح‬
‫ُون‬ َ ‫هللا ْال َكذ‬
ِ ‫ُون َع َلى‬ َ ‫َي ْف َتر‬
Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-
sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)
3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan
dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:
ِ ‫ْض ْال ُع َل َما ِء َح َّتى ِإ َذا َل ْم ُيب‬
‫ْق‬ ِ ‫ِإنَّ هَّللا َ اَل َي ْق ِبضُ ْالع ِْل َم ا ْنت َِزاعًا َي ْن َت ِز ُع ُه م َِن ْال ِع َبا ِد َو َل ِكنْ َي ْق ِبضُ ْالع ِْل َم ِب َقب‬
‫ضلُّوا‬َ ‫ضلُّوا َوَأ‬ َ ‫َعالِمًا ا َّت َخ َذ ال َّناسُ ُرءُوسًا ُجهَّاالً َفسُِئلُوا َفَأ ْف َت ْوا ِب َغي ِْر عِ ْل ٍم َف‬
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-
hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan
mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan
seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-
pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian
mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan
menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan
lainnya)
Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa
ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga
mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia
ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya,
sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa
Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh
Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)
4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata:
“Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia
hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
ِ ‫َّن ا َّت َب َع َه َواهُ ِب َغي ِْر ُه ًدى م َِّن‬
‫هللا‬ ِ ‫ض ُّل ِمم‬ َ ‫َو َمنْ َأ‬
Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti
hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah
sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)
5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap
mendahului Allah dan RasulNya.
Allah berfirman:
ُ‫هللا َسمِي ٌع َعلِي ُم‬ َ ‫هللا َو َرسُولِ ِه َوا َّتقُوا‬
َ َّ‫هللا ِإن‬ ِ ِ‫ِين َءا َم ُنوا الَ ُت َق ِّدمُوا َبي َْن َيدَي‬ َ ‫َياَأ ُّي َها الَّذ‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat:
1)
Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata:
“Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga
pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh
telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman,
dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya,
yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi
larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan
mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh
perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan
RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh
berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh
memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)
6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu
menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang
sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia
menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan.
Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
ْ‫ ْيًئ ا َو َمن‬b‫ور ِه ْم َش‬b ‫ُأ‬ َ bِ‫ ُه الَ َي ْنقُصُ َذل‬b‫ُور َمنْ َت ِب َع‬ ‫ْ ُأ‬ ‫َأل‬
ِ b‫ك ِمنْ ُج‬ ِ ‫ان َل ُه م َِن ْا جْ ِر مِث ُل ج‬ َ ‫دَعا ِإ َلى ُه ًدى َك‬
َ ْ‫َمن‬
‫ان َع َل ْي ِه م َِن ْاِإل ْث ِم م ِْث ُل آ َث ِام َمنْ َت ِب َع ُه الَ َي ْنقُصُ َذل َِك ِمنْ آ َثام ِِه ْم َش ْيًئ ا‬
َ ‫ضالَ َل ٍة َك‬
َ ‫دَ َعا ِإ َلى‬
Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan
pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya,
hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan
dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu
tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim
no:2674, dari Abu Hurairah)
7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-
jawab.
Allah Ta’ala berfirman:
ً‫ان َع ْن ُه َمسْ ُئوال‬
َ ‫ك َك‬ َ ‫ص َر َو ْالفَُؤ ا َد ُك ُّل ُأ ْوالَِئ‬
َ ‫ك ِب ِه عِ ْل ٌم ِإنَّ السَّمْ َع َو ْال َب‬ َ ‫َوالَ َت ْقفُ َما َلي‬
َ ‫ْس َل‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam
Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang
mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara
tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang
merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim,
surat Al-Isra’:36)
8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk
tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.
Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal:
Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan
haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang
menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah
ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
َ ‫ك ُه ُم ْال َكافِر‬
‫ُون‬ َ ‫نز َل هللاُ َفُأ ْوالَِئ‬َ ‫َو َمن لَّ ْم َيحْ ُكم ِب َمآ َأ‬
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
(QS. 5:44)
9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam
aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata:
“Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-
perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii
Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]
10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.
Allah berfirman:
‫ُون‬ ِ ‫ِإ َّن َما َيْأ ُم ُر ُكم ِبالسُّو ِء َو ْال َفحْ َشآ ِء َوَأن َتقُولُوا َع َلى‬
َ ‫هللا َما الَ َتعْ َلم‬
Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu
ketahui. (QS. 2:169)
Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang
ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih
dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan
ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Tahapan Dalam Menuntut Ilmu

Fadhilatus Syaikh Zaid bin Hadi Al


Madkhali hafizhahullah ditanya pertanyaan berikut:
“Bagaimana metode yang benar dalam belajar agama secara
bertahap? Dan bagaimana metode yang benar dalam belajar ilmu
aqidah, tafsir, fiqih dan hadits. Dari mana kita memulainya?”
Beliau lalu menjawab:
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa penanya sedang mencari
metode yang benar untuk mendapatkan ilmu agama. Namun
yang benar, pertama-tama, seorang penuntut ilmu hendaknya
mencari dulu guru yang menguasai ilmu syar’i yang berjalan di
atas manhaj salafus shalih. Karena memilih guru dan memilih
kitab yang tepat adalah metode yang benar untuk menuntut ilmu
syar’i.
Memilih mata pelajaran dalam ilmu syar’i baik aqidah, tafsir,
hadits, fiqih, ilmu bahasa, sirah, semuanya ini tidak diragukan lagi
butuh tahapan dan butuh pula kebijaksanaan dalam berpindah
dari satu tahapan ke tahapan yang lain atau dari satu kitab ke
kitab yang lain.
Ketika belajar aqidah dan ingin melalui tahapan yang benar,
maka seorang penuntut ilmu hendaknya memulai dengan belajar
kitab Al Ushul Ats Tsalatsah milik Imam Mujaddid Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab (wafat 1206 H) rahimahullah.
Dalam kitab ini terdapat ilmu yang melimpah dalam
permasalahan aqidah yang tidak akan membuat penuntut ilmu
menyimpang dari manhaj salafus shalih dalam memahami
agama.
Setelah itu lanjutkan mempelajari Al Qawaid Al Arba’, Kasyfus
Syubhat dan Risalah Ushulil Iman. Tulisan-tulisan ini
merupakan panduan dalam bidang aqidah dan merupakan
pelajaran pokok dalam mempelajari ilmu-ilmu syariah yang lain.
Ketika seseorang telah mempelajari kitab-kitab ini, ia akan
memiliki akidah yang benar dan berjalan di atas manhaj salafiy,
serta mendapatkan pencerahan darinya. Kemudian setelah
mempelajari kitab-kitab ini, hendaknya berpindah ke tahapan
yang lebih tinggi semisal Kitab At Tauhid, lalu setelah
menyelesaikan kitab ini berpindah lagi ke kitab Al Aqidah Al
Washithiyyah milik Imam Mujaddin Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah (wafat 728H) rahimahullah. Lalu melanjutkan ke
kitab Al Hamawiyyahdan At Tadmuriyyah lalu Al Aqidah Ath
Thahawiyyah.
Setelah itu, dapat melanjutkan membaca kitab-kitab Sunan yang
berkaitan dengan pembahasan sunnah dan tahdzir terhadap
bid’ah. Yang terkenal diantaranya Ushul I’tiqad Ahlis
Sunnah milik Al Laalikaa-i (wafat 418H), Kitab As Sunnah milik
Al Khallal (wafat 311H), Kitab As Sunnah milik Abdullah bin
Ahmad bin Hambal (wafat 290H), Al Ibanah milik Ibnu Bathah
Al’Akbari (wafat 387H), dan Kitab At Tauhid milik Ibnu
Khuzaimah (wafat 311H) dan kitab-kitab lain yang termasuk
dalam bidang ini.
Adapun yang berkaitan dengan ilmu tafsir, yang aku pilih untuk
para penuntut ilmu adalah kitab Tafsir Ibni
Katsir (774H) rahimahullah, dan Kitab Tafsir As
Sa’di (1376H) rahimahullah. Lebih khusus lagi, aku
menyarankan Mukhtashar Tafsir Ibni Katsir milik Muhammad
Nasib Ar Rafi’i karena -sepengetahuan kami- beliau telah
meringkas Tafsir Ibni Katsir hingga sejalan dengan manhaj salaf.
Jika mampu menyelesaikan kitab-kitab tadi, maka
pelajarilah Tafsir Al Baghawi (516H) juga kitab-kitab tafsir selain
yang disebutkan yang bila seorang penuntut ilmu membacanya
lalu menelaahnya ia bisa menyadari jika menemukan ta’wil-ta’wil
yang tercela, semisal kitab Tafsir Al Qurthubi (wafat 671H). Dan
dapat juga mempelajari kitab tafsir lainnya seperti Tafsir Ibnul
Jauzi (wafat 597H), dan Tafsir Asy Syaukani (wafat 1250H).
Namun dengan catatan, dalam sebagian kitab-kitab tafsir yang
bagus dan mengandung limpahan ilmu tersebut, penulisnya -
rahimahullah ‘alaihim- terkadang men-ta’wil ayat-ayat tentang
sifat Allah. Tapi sedikit sekali ta’wil yang disepakati oleh mereka
yang men-ta’wil nash Qur’an dan Sunnah dengan ta’wilan yang
tercela. Penyebab terjadinya hal tersebut, -sepengatahuan kami-
ada tiga:
1. Pengaruh lingkungan tempat sang mufassir hidup
2. Pengaruh guru tempat sang mufassir menuntut ilmu
3. Pengaruh telaah kitab-kitab. Sebagian mufassir menelaah
kitab-kitab yang memuat berbagai pemikiran manusia, lalu ia
terpengaruh
Sedangkan dalam ilmu hadits, seorang penuntut ilmu hendaknya
memulai dari Al Arba’in An Nawawiyah untuk dihafal dan
dipahami, juga membaca penjelasan yang terkandung di
dalamnya. Lalu hendaknya secara bertahap
mempelajari Umdatul Ahkam kemudian Bulughul Maram, juga
dengansyarah-nya. Kemudian, setelah itu barulah ia mampu
untuk mempelajari Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim) dan Kutubus Sittah. Akal dan keilmuan manusia itu
senantiasa berkembang sejalan dengan kelurusan niatnya serta
keberlanjutannya dalam menuntut ilmu tanpa terputus.
Begitu juga dalam ilmu fiqih. Andai seorang penuntut ilmu
sekedar membaca hadits-hadits saja ia akan mendapat banyak
pemahaman dari apa yang ia baca. Namun hendaknya mereka
juga mempelajari kitab-kitab fiqih seperti Umdatul Fiqhi yang
merinci permasalahan-permasalahan furu’ atau juga kitab Zaadul
Mustaqni. Allah telah memuliakan umat ini dengan adanya
banyak kitab syarah dari Zaadul Mustaqni, baik dari ulama
terdahulu maupun ulama di masa ini. Di antara syarah yang
mudah dipelajari adalah yang ditulis oleh ulama masa ini, Syaikh
Al Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dalam
kitab As Syarh Al Mumthi’. Kitab ini memang benar-benar
memuaskan (mumthi’) karena di dalamnya terdapat bahasan-
bahasan yang bermanfaat dan penjelasan-penjelasan yang
langka. Semoga Allah memberikan ganjaran kepada beliau,
menjadikan manfaat yang besar dari ilmu beliau, dan menambah
keutamaan beliau.
Sedangkan dalam Sirah Nabawiyyah, mulailah dengan
mempelajari Mukhtashar Sirah Nabawiyyah karya Imam
Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab. Kemudian
setelah itu mempelajari Sirah Nabawiyyah miliki Ibnu Hisyam
(wafat 183H). Dan di zaman ini, walhamdulillah, kitab-kitab sirah
sudah banyak yang diringkas.
Namun juga, semua ilmu ini dalam mempelajarinya
membutuhkan ilmu-ilmu alat seperti ilmu ushul fiqih, qawa’id,
musthalah, serta butuh perhatian terhadap ilmu bahasa arab
dan qawaidul fiqhiyyah. Sehingga barulah seseorang memiliki
kemampuan untuk mengambil ilmu dari dalil-dalil Qur’an dan
Sunnah dengan pemahaman yang benar.
Semua ini, tidak cukup hanya dengan membaca kitab secara
otodidak, bahkan jika perlu seseorang menempuh perjalanan
untuk mencari guru ke daerah lain jika memang di daerahnya
tidak ada, sebagaimana yang dilakukan para salafus shalih dalam
menuntut ilmu. Ini jika memang mampu untuk menempuh
perjalanan tersebut. Jika tidak mampu menempuh perjalanan
tersebut, maka bacalah kitab-kitab lalu kumpulkan hal-hal yang
membingungkanmu, kemudian tempuhlah sekedar perjalanan
pendek (untuk menanyakanya kepada ulama, pent). Apalagi di
zaman ini berhubungan dengan ulama melalui telepon telah
mencukupi kebutuhan tersebut tanpa harus bersusah
payah. Walhamdulillah.
Wallahu’alam.
Sumber: http://www.ajurry.com/taseel.htm
Catatan:
Urutan dan jenis kitab dalam menuntut ilmu sebagaimana yang
disebutkan di atas bukanlah suatu yang saklek harus demikian.
Setiap orang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang
berbeda-beda sehingga sangat mungkin berbeda pula tahapan
belajarnya. Dan akan sangat mungkin berbeda jawabannya jika
ditanyakan kepada ulama yang lain. Namun yang pasti, seorang
penuntut ilmu hendaknya belajar kepada seorang guru yang
mapan ilmunya, sehingga sang guru dapat mengarahkan tahapan
belajar yang cocok baginya.

Penyusun: Yulian Purnama
Pengaruh Teman Bergaul

Islam sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh telah


mengatur bagaimana adab-adab serta batasan-batasan dalam
pergaulan. Pergaulan sangat mempengaruhi kehidupan
seseorang. Dampak buruk akan menimpa seseorang akibat
bergaul dengan teman-teman yang jelek, sebaliknya manfaat
yang besar akan didapatkan dengan bergaul dengan orang-orang
yang baik.
Pengaruh Teman Bagi Seseorang
Banyak orang yang terjerumus ke dalam lubang kemakisatan dan
kesesatan karena pengaruh teman bergaul yang jelek. Namun
juga tidak sedikit orang yang mendapatkan hidayah dan banyak
kebaikan disebabkan bergaul dengan teman-teman yang shalih.
Dalam sebuah hadits Rasululah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan tentang peran dan dampak seorang teman
dalam sabda beliau :
‫ َوِإمَّا‬، ‫ك‬ َ ‫ ِذ َي‬b ْ‫كِ ِإمَّا َأنْ يُح‬b ‫ ُل ْالم ِْس‬b‫ َف َحا ِم‬، ‫ِير‬ِ ‫ِيس الصَّال ِِح َوالس َّْو ِء َك َحام ِِل ْال ِمسْ كِ َو َناف ِِخ ْالك‬ ِ ‫َم َث ُل ْال َجل‬
‫ َد‬b‫ َوِإمَّا َأنْ َت ِج‬، ‫ك‬ َ b‫ ِر َق ِث َيا َب‬bْ‫ير ِإمَّا َأنْ يُح‬b ‫َأ‬ َ ‫َأنْ َت ْب َت‬
ِ b‫افِ ُخ ْال ِك‬bb‫ َو َن‬، ‫ َوِإمَّا نْ َت ِجدَ ِم ْن ُه ِريحً ا َط ِّي َب ًة‬، ‫اع ِم ْن ُه‬
‫ِريحً ا َخ ِبي َثة‬
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat
seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual
minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau
engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak,
engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan
pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu,
dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya
yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Perintah Untuk Mencari Teman yang Baik dan Menjauhi Teman
yang Jelek
Imam Muslim rahimahullah mencantumkan hadits di atas dalam
Bab : Anjuran Untuk Berteman dengan Orang Shalih dan
Menjauhi Teman yang Buruk”. Imam An Nawawi rahimahullah
menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat permisalan teman
yang shalih dengan seorang penjual minyak wangi dan teman
yang jelek dengan seorang pandai besi. Hadits ini juga
menunjukkan keutamaan bergaul dengan teman shalih dan orang
baik yang memiliki akhlak yang mulia, sikap wara’, ilmu, dan
adab. Sekaligus juga terdapat larangan bergaul dengan orang
yang buruk, ahli bid’ah, dan orang-orang yang mempunyai sikap
tercela lainnya.” (Syarh Shahih Muslim 4/227)
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan : “Hadits di ini
menunjukkan larangan berteman dengan orang-orang yang dapat
merusak agama maupun dunia kita. Hadits ini juga mendorong
seseorang agar bergaul dengan orang-orang yang dapat
memberikan manfaat dalam agama dan dunia.”( Fathul
Bari 4/324)
Manfaat Berteman dengan Orang yang Baik
Hadits di atas mengandung faedah bahwa bergaul dengan teman
yang baik akan mendapatkan dua kemungkinan yang kedua-
duanya baik. Kita akan menjadi baik atau minimal kita akan
memperoleh kebaikan dari yang dilakukan teman kita.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As
Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua
contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi).
Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan
banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan
memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa
jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau
minimal dengan duduk bersanding dengannya , engkau akan
mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut.
Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman
dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada
harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan
kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu.
Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan
dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa
memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua
orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan
kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik
dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya
seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam
tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain,
baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Jika kita tidak mendapatkan kebaikan-kebaikan di atas, masih
ada manfaat lain yang penting jika berteman dengan orang yang
shalih. Minimal diri kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatn
buruk dan maksiat. Teman yang shalih akan senantiasa menjaga
dari maksiat, dan mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan,
serta meninggalkan kejelekan. Dia juga akan senantiasa
menjagamu baik ketika bersamamu maupun tidak, dia juga akan
memberimu manfaat dengan kecintaanya dan doanya kepadamu,
baik ketika engkau masih hidup maupun setelah engkau tiada.
Dia juga akan membantu menghilangkan kesulitanmu karena
persahabatannya denganmu dan kecintaanya kepadamu.
(Bahjatu Quluubil Abrar, 148)
Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua
kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek
atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang
dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga
menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk
memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek
dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman
dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek
bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak
kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka,
dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat
mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak.
Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling
besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya
taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi
seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang
buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)
Kebaikan Seseorang Bisa Dilihat Dari Temannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan teman
sebagai patokan terhadapa baik dan buruknya agama seseorang.
Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada kita agar memilih teman dalam bergaul.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
‫المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬
“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya.
Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman
dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Jangan Sampai Menyesal di Akhirat
Memilih teman yang jelek akan menyebakan rusak agama
seseorang. Jangan sampai kita menyesal pada hari kiamat nanti
karena pengaruh teman yang jelek sehingga tergelincir dari jalan
kebenaran dan terjerumus dalam kemaksiatan. Renungkanlah
firman Allah berikut :
‫ذ‬bْ b‫ا َو ْي َل َتى َل ْي َتنِي َل ْم َأ َّت ِخ‬bb‫ ِبيالً َي‬b ‫ول َس‬
ِ b ‫ع الرَّ ُس‬b
َ b‫ت َم‬ ُ ‫ ْذ‬b‫الظالِ ُم َع َلى َيدَ ْي ِه َيقُو ُل َيا َل ْي َتنِي ا َّت َخ‬
َّ ُّ‫َو َي ْو َم َي َعض‬
ً‫ان َخ ُذوال‬ ِ ‫ان ال َّش ْي َطانُ لِِإْل ن َس‬ َ ‫الذ ْك ِر َبعْ دَ ِإ ْذ َجاءنِي َو َك‬
ِّ ‫ضلَّنِي َع ِن‬ َ ‫فُاَل نا ً َخلِيالً َل َق ْد َأ‬
“ Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua
tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil
jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku
tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya
dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu
datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia”
(Al Furqan:27-29)
Lihatlah bagiamana Allah menggambarkan seseorang yang teah
menjadikan orang-orang yang jelek sebagai teman-temannya di
dunia sehingga di akhirat menyebabkan penyesalan yang sudah
tidak berguna lagi.
Sifat Teman yang Baik
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata :
‫ق‬bb‫ن الخل‬bb‫اقالً حس‬bb‫ون ع‬bb‫ أن يك‬: ‫ال‬bb‫ فينبغى أن يكون فيمن تؤثر صحبته خمس خص‬،‫وفى جملة‬
‫غير فاسق وال مبتدع وال حريص على الدنيا‬
“ Secara umum, hendaknya orang yang engkau pilih menjadi
sahabat memiliki lima sifat berikut : orang yang berakal, memiliki
akhlak yang baik, bukan orang fasik, bukan ahli bid’ah, dan
bukan orang yang rakus dengan dunia” (Mukhtasar Minhajul
Qashidin 2/36).
Kemudian beliau menjelaskan : “Akal merupakan modal utama.
Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang bodoh. Karena
orang yang bodoh, dia ingin menolongmu tapi justru dia malah
mencelakakanmu. Yang dimaksud dengan orang yang berakal
adalah orang yang memamahai segala sesuatu sesuai dengan
hakekatnya, baik dirinya sendiri atau tatkala dia menjelaskan
kepada orang ain. Teman yang baik juga harus memiliki akhlak
yang mulia. Karena betapa banyak orang yang berakal dikuasai
oleh rasa marah dan tunduk pada hawa nafsunya, sehingga tidak
ada kebaikan berteman dengannya. Sedangkan orang yang fasik,
dia tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Orang yang tidak
mempunyai rasa takut kepada Allah, tidak dapat dipercaya dan
engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman
denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu
dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/
36-37)
Hendaknya Orang Tua Memantau Pergaulan Anaknya
Kewajiban bagi orang tua adalah mendidik anak-anaknya.
Termasuk dalam hal ini memantau pergaulan anak-anaknya.
Betapa banyak anak yang sudah mendapat pendidikan yang
bagus dari orang tuanya, namun dirusak oleh pergaulan yang
buruk dari teman-temannya. Hendaknya orangtua memperhatikan
lingkungan dan pergaulan anak-anaknya, karena setap orang tua
adalah pemimpin bagikeluarganya, dan setiap pemimpin kan
dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya.
Allah Ta’ala juga berfirman :
ٌ ‫ارةُ َع َل ْي َها َماَل ِئ َك ٌة غِ اَل‬
‫ظ شِ دَا ٌد اَل‬ َ ‫ِين آ َم ُنوا قُوا َأ ْنفُ َس ُك ْم َوَأهْ لِي ُك ْم َنارً ا َوقُو ُد َها ال َّناسُ َو ْالح َِج‬
َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
‫ون َما يُْؤ َمرُون‬ َ ُ‫ُون هَّللا َ َما َأ َم َر ُه ْم َو َي ْف َعل‬
َ ‫َيعْ ص‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan “ (At Tahrim:6).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga kita dan keluaraga kita
dari pengaruh teman-teman yang buruk dan mengumpulkan kita
bersama teman-teman yang baik. Wallahul musta’an.
Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.

Penulis: Adika Mianoki
Menebar Kasih Sayang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada :


‫ِإ َّن َما َيرْ َح ُم هللاُ ِمنْ عِ َبا ِد ِه الرُّ َح َما َء‬
Sesungguhnya Allah hanya menyayangi hamba-hambaNya yang
penyayang (HR At-Thobrooni dalam al-Mu’jam al-Kabiir, dan
dihasankan oleh Syaikh Albani dalam shahih Al-Jaami’ no 2377)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
‫ض َيرْ َح ْم ُك ْم َمنْ فِي ال َّس َما ِء‬ ِ ْ‫ ِارْ َحمُوا َمنْ فِي اَألر‬، ُ‫الرَّ ا ِحم ُْو َن َيرْ َح ُم ُه ُم الرَّ حْ َمان‬
“Para pengasih dan penyayang dikasihi dan di sayang oleh Ar-
Rahmaan (Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang-pen),
rahmatilah yang ada di bumi niscaya kalian akan dirahmati oleh
Dzat yagn ada di langit” (HR Abu Dawud no 4941 dan At-
Thirmidzi no 1924 dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam as-
Shahihah no 925)
Kata dalam ْ‫َمن‬ sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah isim maushuul, yang dalam kadiah ilmu ushuul fiqh
memberikan faedah keumuman. Oleh karenanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak hanya memerintahkan kita untuk
merahmati orang yang sholeh saja… bahkan Nabi
memerintahkan kita untuk merahmati seluruh manusia… dan
bukan hanya manusia.. bahkan hewan-hewanpun termasuk di
dalamnya.
Al-Munaawi rahimahullah berkata,
ُ‫وحْ ش‬bَ b‫وال ُم ْب َه ُم َو ْال‬
ْ ‫ا ِج ُر َوال َّناطِ ُق‬bb‫رّ َوال َف‬bb‫رْ َح ُم ال َب‬bb‫ِئق َف ُي‬
ِ َ‫الخال‬ ْ ‫ع َأ‬b
َ ِ‫ َناف‬b ‫ص‬ َ b‫ِبصِ ْي َغ ِة ْال ُعم ُْو ِم َي ْش َم ُل َج ِم ْي‬
َّ ‫َو‬
‫الط ْي ُر‬
“Sabda Nabi ((rahmatilah yang ada di bumi)) dengan konteks
keumuman, mencakup seluruh jenis makhluk, maka mencakup
rahmat kepada orang baik, orang fajir, orang yang berbicara,
orang yang bisu, hewan dan burung” (Faidhul Qodiir 1/605)
Perhatikanlah para pembaca yang budiman… kita diperintahkan
oleh Allah bukan hanya untuk merahmati manusia… bahkan kita
diperintahkan untuk merahmati hewan…!!!
”ُ‫ك هللا‬ َّ
َ b‫ َر ِح َم‬،‫ا‬bb‫اة ِإنْ َر ِح ْم َت َه‬b‫والش‬ ” :‫ال‬bb‫ ق‬،‫ا‬bb‫اة فأرحمُه‬bb‫ول هللا! إني ألذبح الش‬bb‫ يا رس‬: ‫قال رج ٌل‬
‫ْن‬ِ ‫َمرَّ َتي‬
“Seseorang berkata : “Wahai Rasulullah, aku menyembelih
seekor kambing lantas aku merahmatinya”, Rasulullah berkata,
“Bahkan seekor kambing jika engkau merahmatinya maka Allah
akan merahmati engkau”, Rasulullah mengucapkannya dua
kali (HR Al-Bukhari di Al-Adab Al-Mufrod dan dishahihkan oleh
Syaikh Albani di as-Shahihah no 26)
Orang yang menyembelih seekor kambing tanpa ada rasa rahmat
dengan mengasah parangnya di hadapan kambing tersebut
misalnya, atau menyembelihnya dengan parang yang tidak tajam
sehingga menyakiti kambing tersebut misalnya… tentu tidak
sama dengan seseorang yang menyembelih kambing namun
dengan rasa rahmat kepada sang kambing, sehingga ia berusaha
menyembelih kambing tersebut dengan sebaik-baiknya. Orang
yang merahmati kambing maka Allah akan merahmati orang
tersebut, bahkan Rasulullah menegaskan hal ini sebanyak dua
kali.
Bahkan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda
‫ َر ِح َم ُه هللاُ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة‬،‫َمنْ َر ِح َم َو َل ْو َذ ِبي َْح ًة‬
“Barangsiapa yang merahmati meskipun seekor sembelihan
maka Allah akan merahmatinya pada hari kiamat” (HR Al-Bukhari
di Al-Adab Al-Mufrod dan dihasankan oleh Syaikh Albani)
Seseorang yang merahamati seekor sembelihan bukan hanya
dirahmati oleh Allah di dunia, bahkan dirahmati oleh Allah pada
hari kiamat kelak, hari dimana setiap kita membutuhkan kasih
sayang Allah.
Bahkan jika seseorang merahmati seekor anjing… renungkanlah
hadits ini
‫ا‬bb‫ت مُو َق َه‬ ْ ‫ز َع‬b َ b‫ َراِئي َل َف َن‬b‫ا َبنِي ِإ ْس‬bb‫ ُه َبغِيٌّ ِمنْ َب َغا َي‬b‫ ُه ْال َع َطشُ ِإ ْذ َرَأ ْت‬bُ‫ادَ َي ْق ُتل‬bb‫َب ْي َن َما َك ْلبٌ يُطِ يفُ ِب َر ِك َّي ٍة َك‬
‫َف َس َق ْت ُه َف ُغف َِر َل َها ِب ِه‬
“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan
berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba
anjing tersebut dilihat oleh seorang wanita pezina dari kaum bani
Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya
untuk turun ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu
memberi minum kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun
mengampuni wanita tersebut karena amalannya itu” (HR Al-
Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245)
Jika merahamati seekor hewan maka mendatangkan rahmat
Allah dan kasih sayang Allah maka bagaimana lagi jika kita
merahmati sesama manusia ???
Merahmati seorang fajir
Perintah Allah untuk menebarkan kasih sayang berlaku umum
bahkan mencakup seorang pelaku kemaksiatan –sebagaimana
perkataan Al-Munaawi di atas-. Bukankah kita kasihan tatkala
melihat seseroang yang terjerumus dalam kemaksiatan… kasihan
kehidupannya yang pernuh dengan kegelapan di dunia, terlebih-
lebih lagi jika akhirnya masuk ke dalam neraka jahannam.
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk kasihan dan
merahmatinya…??
Bagaimana hati ini tidak tergerak untuk berdakwah
kepadanya…??
Bukankah sebagian kita dahulu juga seperti itu..?? bukankah
sering kita menanti-nanti ada yang mendakwahi kita tatkala itu..??
sungguh hati ini sangat bersedih jika ternyata orang-orang sholeh
malah menjauhi mereka para pelaku kemaksiatan… hanya bisa
mencemooh tanpa berusaha mendakwahi mereka…!!!
Saya jadi teringat dengan tentang pengakuan seorang remaja
yang saya dengar di Idzaa’atul Qur’aan Al-Kariim (Radio dakwah
Arab Saudi). Remaja tersebut bercerita bahwa ia dahulunya
adalah seorang pecandu morfin selama bertahun-tahun, dan
ibunya selalu melarangnya untuk mengkonsumsi morfin, akan
tetapi teguran sang ibu tidak pernah ia hiraukan. Hingga
bertahun-tahun berlalu sang ibu tidak bosan-bosannya
menasehati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang adapun
ia juga tidak bosan-bosannya tidak menghiraukan teguran sang
ibu. Hingga akhirnya pada suatu hari di hari jum’at setelah ashar
(yang merupakan waktu mustajab untuk berdoa sebagaimana
pendapat sebagian ulama) maka sang ibu pun berdoa : “Yaa
Allah sadarkanlah putraku atau cabutlah nyawanya agar ia
berhenti dari kemaksiatannya“. Ternyata Allah mengabulkan doa
sang ibu dan menyadarkannya dari kemaksiatan ini, hingga
akhirnya iapun meninggalkan heroin. Demikian tutur sang
pemuda.
Yang menjadi perhatian saya adalah di akhir tuturannya sang
pemuda berkata, “Saya sering lewat di depan mesjid tatkala
adzan dikumandangkan… dan saya tidak sholat, akan tetapi tidak
seorang pun dari jama’ah masjid yang menegurku…!!!, bertahun-
tahun lamanya.. tidak seorang pun dari mereka yang
menegurku..!!”
Oleh karenanya para pembaca yang budiman kita juga
semestinya berusaha untuk menebarkan rahmat dan kasih
sayang meskipun kepada pelaku kemaksiatan dengan
mendekatinya dan mendakwahinya semampu kita dengan cara
yang selembut-lembutnya.
Merahmati pelaku bid’ah
Para pembaca yang budiman, termasuk pelaku kemaksiatan
adalah pelaku bid’ah. Ketahuilah kebanyakan para pelaku bid’ah
di zaman kita –terutama di tanah air kita- adalah orang-orang
yang bodoh dan tidak paham dengan sunnah dan al-haq. Bahkan
banyak diantara mereka yang sama sekali tidak mengenal
dakwah sunnah, mereka mewarisi bid’ah yang mereka lakukan
secara turun temurun.
Saya tidak berbicara tentang gembong-gembong bid’ah yang
mengikuti hawa nafsu mereka sehingga nekad menolak atau
mempelintir dalil-dalil demi melarisakan bid’ah mereka. Akan
tetapi saya berbicara tentang mayoritas saudara-saudara kita
yang terjerumus ke dalam bid’ah karena kejahilan dan ketidak
tahuan mereka. Bukankah banyak diantara kita –bahkan
sebagian besar kita- tidak mengenal sunnah sejak kecil?, akan
tetapi mayoritas kita dahulu tenggelam di atas bid’ah
sebagaimana kebanyakan masyarakat yang terjerumus dalam
praktek-praktek bida’h. Bukankah kita mendapatkan hidayah
dengan adanya seseorang salafy yang kemudian mendekat
kepada kita sehingga kemudian menjelaskan sunnah kepada
kita…??.
Oleh karenanya marilah kita merahmati para pelaku bid’ah
dengan menyebarkan dakwah sunnah kepada mereka.
Syaikh Utsaimin berkata tentang para pelaku bid’ah:
،‫الَ َم َة‬b‫الس‬ َ ‫َأ ُل‬b‫ َو َن ْس‬،‫ر َّق َل ُه ْم‬b
َّ ‫هللا َل ُه ُم‬ َ b‫د ِر؛ َف َن‬bْ b‫ْن ْال َق‬
ِ ‫ا ِإ َلي ِْه ْم ِب َعي‬bb‫ ِإنْ َن َظرْ َن‬، ُ‫ا ِكيْن‬b‫َوهؤالء ْالم َُخرِّ فُ ْو َن َم َس‬
‫ْن ال َّشرْ ِع؛ َفِإ َّن َنا َي ِجبُ َأنْ ُن َن ِاب َذ ُه ْم ِب ْالحُجَّ ِة َحتىَّ َيع ُْو ُدوا ِإ َلى الص َِّراطِ ْالمُسْ َتقِي ِْم‬ ِ ‫َوِإنْ َن َظرْ َنا ِإ َلي ِْه ْم ِب َعي‬
“Para pelaku khurofat tersebut kasihan mereka, jika kita
memandang mereka dengan pandangan taqdir (bahwasanya
semua terjadi dengan taqdir Allah-pen) maka kita kasihan
mereka, dan kita memohon kepada Allah keselamatan bagi
mereka. Jika kita memandang mereka dengan pandangan
syari’at mak wajib bagi kita melawan mereka dengan hujjah agara
mereka kembali kepada jalan yang lurus” (Al-Qoul Al-Mufiid 1/65)
Bukankah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
‫الَ يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ َأل ِخ ْي ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْف ِس ِه‬
“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga ia menyukai
bagi saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya”
Bukankah kita senang jika kita berada di atas ketaatan kepada
Allah…??, maka hendaknya kita juga senang jika saudara kita
juga demikian dan meninggalkan kemaksiatan yang
dilakukannya. Bukankah seorang muslim yang terjerumus dalam
kemaksiatan atau bid’ah juga masih merupakan saudara kita
sesama muslim???
Praktek Ibnu Taimiyyah dalam merahmati pelaku bid’ah
Seseorang yang ikhlash adalah seseorang yang bersikap sesuai
dengan kehendak Allah, bukan bergerak dengan kehendak hawa
nafsunya. Inilah orang yang berjiwa besar. Tidak sebagaimana
praktek sebagian orang yang berjiwa kecil, sehingga jika mudah
marah karena mengikuti hawa nafsunya. Bahkan terkadang
menghembuskan kemarahannya tersebut di balik topeng
membela agama.. wallahul musta’aan.
Lihatlah bagaimana praktek Ibnu Taimiyyah terhadap musuh-
musuhnya para pelaku bid’ah.. sungguh pelajaran yang sangat
luar biasa.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berjihad dan
membantah berbagai macam model bid’ah. Oleh karenanya kita
dapati mayoritas kitab-kitab beliau adalah bantahan terhadap
bid’ah-bid’ah terutama bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan
aqidah. Sehingga banyak ahlul bid’ah yang memusuhi beliau…
bahkan mereka berfatwa akan kafirnya Syaikul Islam Ibnu
Taimiyyah. Bahkan mereka berfatwa kepada Raja untuk
membunuh Ibnu Taimiyyah. Akan tetapi… apakah Ibnu Taimiyyah
pernah berfikir untuk membalas dendam jika ia mendapatkan
kesempatan..??? perhatikanlah tiga kisah berikut ini:
Kisah pertama : Tentang Ibnu Taimiyyah dan sulthon Ibn
Qolawuun
Ibnu Katsiir rahimahullah dalam kitabnya Al-Bidaayah wa An-
Nihaayah bercerita tentang kisah Ibnu Taimiyyah.
Sulthon An-Nashir Ibn Qolawuun memiliki para petinggi dari
kalangan para ulama bid’ah yang memusuhi Ibnu Taimiyyah, dan
mereka berfatwa kepada sang Sulthoon agar membunuh Ibnu
Taimiyyah. Akan tetapi sang sulthoon hanya memenjarakan Ibnu
Taimiyyah dan tidak membunuhnya. Maka pada suatu saat
datanglah Al-Jaasyinkir kemudian menggulingkan dan merebut
kekuasaan sang Sulthoon. Akhirnya para petinggi tersebut
berkhianat dan membelot meninggalkan sang sulthoon dan
membai’at Al-Jaasyinkiir. Tentu hal ini membuat murka sang
sulthoon. Maka sang sulthoon akhirnya berusaha merebut
kembali kekuasaannya dan akhirnya ia berhasil. Ternyata para
petinggi tersebut kembali kepada sang sulthoon, yang hal ini
membuat sang sulthoon marah dan mengetahui bahwasanya
mereka adalah para penjilat. Akhirnya sang suthoonpun
mengeluarkan Ibnu Taimiyyah dari penjara dan menyambut Ibnu
Taimiyyah dengan pernuh penghormatan di hadapan para
petinggi tersebut yang pernah berfatwa untuk membunuh Ibnu
Taimiyyah. Lantas sang sulthoon mengeluarkan secarik kertas
dari kantongnya yang ternyata isi kertas tersebut adalah fatwa
para petinggi tersebut untuk membunuh Ibnu Taimiyyah.
Tentunya sang sulthoon sudah menyimpan dendam yang sangat
besar, dan berharap agar Ibnu Taimiyyah berfatwa sebaliknya
untuk membunuh para petinggi tersebut.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Akupun faham maksud sang Sulthoon,
dan aku tahu bahwasanya ia menyimpan dendam dan
kemarahan yang sangat dalam terhadap para ptinggi tersebut,
karena mereka telah membelot darinya dan membai’an Al-
Jasyinkir…, maka akupun mulai memuji para ulama, yaitu para
petinggi tersebut, dan menyebutkan jasa mereka, dan seandainya
mereka pergi maka sang sulthoon tidak akan mendapatkan
petinggi-petinggi yang seperti mereka”. Sang sulthoon berkata,
“Mereka (para ulama dan petinggi) tersebut telah menyakitimu
dan berulang-ulang ingin agar engkau dibunuh”. Ibnu Taimiyyah
berkata, “Barangsiapa yang menyakitiku maka aku telah
memafkannya, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan
RasulNya maka Allah akan membalasnya, aku tidak akan
membela diriku sendiri”. Akhirnya hilanglah kemarahan sang
sulthoon. (Lihat kisah ini Al-Bidaayha wa An-Nihaayah 18/93-95
(tahqiq At-Turki) dan juga Al-’Uquud Ad-Durriyyah hal 221)
Kisah kedua : Tatkala musuh beliau meninggal dunia
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Aku tidak pernah melihat
seorangpun yang lebih mengumpulkan sifat-sifat tersebut dari
pada Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah (yaitu memafkan dan berbuat
ihsan kepada orang lain). Sebagian sahabat senior Ibnu
Taimiyyah berkata,
‫ت َأ ِّني َألصْ َح ِابي م ِْثلُ ُه َألعْ دِاِئ ِه َو ُخص ُْو ِم ِه‬
ُ ‫َود ِْد‬
“Aku sangat berharap sikapku kepada sahabat-sahabatku
sebagaimana sikap Ibnu Taimiyyah kepada musuh-musuh beliau”
Aku tidak pernah melihatnya mendoakan kejelekan kepada
seorangpun dari musuh-musuhnya, bahkan beliau mendoakan
mereka. Suatu hari aku mendatangi beliau member kabar
gembira tentang meninggalnya musuh besarnya dan yang paling
keras menentang dan menyakiti Ibnu Taimiyyah, maka beliaupun
membentak aku dan mengingkari sikapku dan mengucapkan inaa
lillahi wa inaa ilaihi rooji’uun. Lalu beliapun segera pergi menuju
rumah keluarga musuhnya yang meninggal tersebut menyatkan
turut berduka cita dan menghibur mereka dan berkata :
“Sesungguhnya aku menggantikan posisinya bagi kalian.
Karenanya jika kalian membutuhkan sesuatu dan bantuan maka
aku akan membantu kalian” atau semisal perkataan ini, maka
merekapun gembira dan mendoakan Ibnu Taimiyyah dan mereka
menganggap ini perkara yang besar dari Ibnu Taimiyyah” (Lihat
perkataan Ibnul Qoyyim ini di kitab beliau Madaarij As-Saalikiin
3/139-140)
Lihatlah bagaimana lapangnya hati Ibnu Taimiyyah, musuh
besarnya yang sangat menentang dan paling menyakiti beliau
tatkala meninggal maka Ibnu Taimiyyah segera menghibur
keluarganya yang ditinggalkan. Bahkan Ibnu Taimiyyah
membentak Ibnul Qoyyim yang bergembira dengan kematian
musuhnya tersebut.
Kisah ketiga : Ibnu Taimiyyah dan Al-Bakri
Abul Hasan Nuurudiin Al-Bakri adalah salah seorang tokoh sufi
yang membolehkan beristighotsah kepada Nabi setelah wafatnya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang pemikirannya telah
dibantah oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Al-Istighootsah fi
Ar-Rod ‘alaa Al-Bakriy”. Al-Bakri telah menyatakan bahwa Ibnu
Taimiyyah adalah seorang zindiiq bahkan terkadang ia
mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Bahkan ia bersama pengikutnya
telah mengeroyok untuk memukul Ibnu Taimiyyah. Tatkala orang-
orang semakin banyak berkumpul melihat pengkeroyokan
tersebut maka Al-Bakry pun kabur karena ketakutan. Akhirnya
datanglah banyak orang dan juga tentara kepada Ibnu Taimiyyah
meminta izin kepada beliau untuk menghukumi Al-Bakri akibat
perbuatannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah berkata, “Aku tidak
mau membela diriku”. Akan tetapi mereka tetap ngotot agar
menghukumi perbuatan Al-Bakri. Akhirnya Ibnu Taimiyyah
berkata, “Kalau bukan hak menghukuminya merupakan hak saya,
atau merupakan hak kalian atau merupakan hak Allah. Jika hak
tersebut adalah hak saya maka Al-Bakriy telah saya maafkan,
dan jika hak menghukum adalah hak kalian maka jika kalian tidak
mendengar nsehatku maka jangan meminta fatwa kepadaku, dan
silahkan kalian melakukan apa yang kalian kehendaki. Dan jika
hak adalah milik Allah maka Allah akan mengambil hakNya
sesuai kehendakNya dan kapan saja Ia kehendaki”.
Maka tatkala kerajaan mencari-cari Al-Bakry untuk dihukum maka
Al-Bakriy pun lari dan bersembunyi di rumah Ibnu Taimiyyah –
tatkala beliau bermukim di Mesir- hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah
member syafaat agar Raja mengampuni Al-Bakriy, dan akhirnya
iapun dimaafkan” (Silahkan lihat kisah ini di Al-Bidaayah wa An-
Nihaayah 14/76 (tahqiq Ahmad Fatiih, cet pertama, daarul hadiits
Al-Qoohiroh) dan Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah 2/400)
Para pembaca yang budiman… sungguh akhlaq yang sangat
mulia dari Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah. Tatkala tiba kesempatan
baginya untuk membalas dendam justru ia malah memaafkan
musuh-musuhnya dari kalangan Ahlul Bid’ah. Hal ini bahkan telah
dipersaksikan dan diakui oleh musuh-musuhnya. Diantaranya ada
yang berkata,
‫اج َج َع َّنا‬
َ ‫ َو َح‬،‫ص َف َح َع َّنا‬ ِ ‫َما َرَأ ْي َنا م ِْث َل اب‬
َ ‫ و َقد َِر َع َلي َنا َف‬،ِ‫ حرَّ ض َنا َع َل ْي ِه َف َل ْم َن ْق ِدرْ َع َل ْيه‬،‫ْن َت ْي ِم َّي َة‬
“Kami tidak pernah melihat seorangpun seperti Ibnu Taimiyyah,
kami berusaha untuk mengganggunya namun kami tidak mampu
untuk menjatuhkannya, dan tatkala ia mampu untuk menjatuhkan
kami maka iapun memaafkan kami bahkan membela kami” (Ini
merupakan perkataan Ibnu Makhluuf, silahkan lihat Al-Bidaayah
wa An-Nihaayah 18/95 tahqiq At-Turki)
Itulah Ibnu Taimiyyah yang berjiwa besar, mengambil tindakan
bukan dengan hawa nafsunya, akan tetapi dengan dalil Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan kecuali oleh
seseorang yang telah mengumpulkan keyakinan yang tinggi akan
janji Allah dan kesabaran. Karena dengan dua sikap inilah (yakin
dan sabar) maka seseorang akan meraih kepemimpinan dalam
agama, sebagaimana yang telah diraih oleh Ibnu Taimiyyah. Beliu
berkata dalam kalimat emasnya;
‫ْن‬ ِ ‫صب ِْر َو ْال َيقِي‬
ِ ‫ْن ُت َنا ُل اِإل َما َم ُة فِي ال ِّدي‬ َّ ‫ِبال‬
“Dengan kesabaran dan keyakinan maka akan diraih
kepimimpinan dalam agama” (Al-Mustadrok ‘alaa Majmuu’ Al-
Fataawaa 1/145)
Allah telah berfirman
َ ‫ص َبرُوا َو َكا ُنوا ِبآ َيا ِت َنا يُوقِ ُن‬
‫ون‬ َ ‫ون ِبَأم ِْر َنا َلمَّا‬ َ ‫َو َج َع ْل َنا ِم ْن ُه ْم َأِئم ًَّة َي ْه ُد‬
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat kami (As-Sajdah ayat 24)
Para pembaca yang budiman… sungguh merupakan perkara
yang sangat menyedihkan tatkala kita melihat diri kita atau
sebagian kita yang sangat jauh dari akhlak orang yang kita
kagumi ini yaitu Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah, yang seluruh
hidupnya ia korbankan demi menegakkan aqidah dan manhaj
salaf. Sungguh hati ini merasa sedih dan tersayat tatkala melihat
sebagian kita mencela dan menghabisi sebagian yang lain
diantara ahlus sunnah… lihatlah sikap Ibnu Taimiyyah terhadap
Ahlul bid’ah yang memusuhi beliau… bahkan mengkafirkan
beliau… bahkan mengroyok beliau…, ini sikap beliau terhadap
Ahlul Bid’ah, bagaimana lagi sikap terhadap sesame ahlus
sunnah. Ya Allah Engkau Maha Tahu bahwasanya kami para dai
jauh dari sikap dan akhlaq tersebut, maka ampunilah kami Yaa
Gofuur Yaa Rohiim.
Apa yang saya tuliskan ini bukan berarti saya mengingkari
praktek hajr terhadap pelaku maksiat ataupun kepada ahlul
bid’ah… semuanya tetap berlaku dengan menimbang antara
maslahat dan mudhorot sebagaimana telah saya jelaskan dalam
tulisan-tulisan saya yang lalu. Allahul Musta’aan (Silahkan lihat
kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/manhaj/97-
salah-kaprah-tentang-hajr-boikot-terhadap-ahlul-bidah-seri-2-hajr-
bukan-merupakan-ghoyah-tujuan-akan-tetapi-merupakan-
wasilah)
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, MA

Tawakkal

Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada


Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah
bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertaqwa
kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan
memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan
barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia itu cukup
baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Makna Bertawakkal Kepada Allah
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna
Tawakkal, diantaranya adalah Al Allamah Al Munawi. Beliau
mengatakan, “Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta
penyandaran (diri) kepada yang diTawakkali.” (Faidhul Qadir,
5/311). Ibnu ‘Abbas radhiyAllahu’anhuma mengatakan bahwa
Tawakkal bermakna percaya sepenuhnya kepada Allah Ta’ala.
Imam Ahmad mengatakan, “Tawakkal berarti memutuskan
pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.” Al Hasan Al
Bashri pernah ditanya tentang Tawakkal, maka beliau
menjawab, “Ridho kepada Allah Ta’ala”, Ibnu Rojab Al Hanbali
mengatakan, “Tawakkal adalah bersandarnya hati dengan
sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam memperoleh
kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun
akhirat secara keseluruhan.” Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, “Tawakkal yaitu memalingkan pandangan dari
berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”
Mendapatkan Kebaikan dan Menghindari Kerusakan
Ibnul Qayyim berkata, “Tawakkal adalah faktor paling utama yang
bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan
dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta
memusuhinya. Tawakkal adalah sarana yang paling ampuh untuk
menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah
sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka
barang siapa yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya serta
yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa
mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, Imam Al Bukhori
telah mencatat dalam kitab shohih beliau, dari sahabat Ibnu
Abbas rodhiyAllahu anhuma, bahwa ketika Nabi Ibrahim
dilemparkan ke tengah-tengah api yang membara beliau
mengatakan, “HasbunAllahu wa ni’mal wakiil.” (Cukuplah Allah
menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung).
Perkataan ini pulalah yang diungkapkan oleh
Rosululloh ShollAllahu ‘alaihi wa sallam ketika dikatakan kepada
beliau, Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana
untuk memerangimu, maka waspadalah engkau terhadap
mereka.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir.
Lihat Fathul Bari VIII/77)
Ibnu Abbas berkata, “Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh
Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah:
‘Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik
pelindung’.” (HR. Bukhori)
Bertawakkal Kepada Allah Adalah Kunci Rizki
Rosululloh ShallAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh,
seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-
benarnya, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana burung-
burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan
pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, At-
Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim)
Dalam hadits yang mulia ini Rosululloh menjelaskan bahwa orang
yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya,
pastilah dia akan diberi rizki. Bagaimana tidak, karena dia telah
bertawakkal kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak pernah
mati. Abu Hatim Ar Razy berkata, “Hadist ini merupakan tonggak
tawakkal. Tawakkal kepada Allah itulah faktor terbesar dalam
mencari riqzi.” Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya,
niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mencukupinya. Allah
berfirman yang artinya, “Dan barangsiapa bertawakkal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 3). Ar Rabi’ bin
Khutsaim berkata mengenai ayat tersebut, “Yaitu mencukupinya
dari segala sesuatu yang membuat sempit manusia.”
Tawakkal Bukan Berarti Tidak Berusaha
Mewujudkan Tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Allah
memerintahkan hamba-hambaNya untuk berusaha sekaligus
bertawakkal. Berusaha dengan seluruh anggota badan dan
bertawakkal dengan hati merupakan perwujudan iman kepada
Allah Ta’ala.
Sebagian orang mungkin ada yang berkata, “Jika orang yang
bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita
harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita
cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang
dari langit?” Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan
orang itu tentang hakikat Tawakkal. Nabi kita yang mulia telah
menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan
burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang
pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran
apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan
tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Maha
Esa sebagai tempat bergantung.
Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik
kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya
adalah Imam Ahmad, beliau berkata: “Dalam hadits tersebut tidak
ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya
justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya
mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya
mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan
dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan
(rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali
dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat,
sebagaimana burung-burung tersebut.” (Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang
hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, “Aku tidak
mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri”. Maka
beliau berkomentar, “Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu.
Sungguh Nabi ShollAllahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku dalam bayang-
bayang tombak perangku (baca: ghonimah)’. Dan beliau juga
bersabda, ‘Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana
yang diberikanNya kepada burung-burung. Mereka berangkat
pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam
keadaan kenyang.’ (Hasan Shohih. HR.Tirmidzi). Selanjutnya
Imam Ahmad berkata, “Para sahabat juga berdagang dan bekerja
dengan mengelola pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan
kita.” (Fathul Bari, 11/305-306)
Kalau kita mau merenungi maka dapat kita katakan bahwa
pengaruh tawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha seseorang
ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya. Imam Abul
Qasim Al-Qusyairi mengatakan, “Ketahuilah sesungguhnya
tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak lahiriah maka
hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam
hati setelah seseorang meyakini bahwa rizki itu datangnya dari
Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-
Nya. Dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena
kemudahan dariNya.” (Murqatul Mafatih, 5/157)
Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah
tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah sebuah hadits.
Seseorang berkata kepada NabiShollAllahu ‘alaihi wa
sallam, “Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?” Nabi
bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakkallah kepada Allah.” (HR.
Tirmidzi dan dihasankan Al Albani dalam Shohih Jami’ush
Shoghir). Dalam riwayat Imam Al-Qudha’i disebutkan bahwa Amr
bin Umayah RadhiyAllahu ‘anhu berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai
Rosululloh!! Apakah aku ikat dahulu unta tungganganku lalu aku
berTawakkal kepada Allah, ataukah aku lepaskan begitu saja lalu
aku bertawakkal?’, Beliau menjawab, ‘Ikatlah untamu lalu
bertawakkallah kepada Allah.” (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha
wa Tawakkal, no. 633, 1/368)
Tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha. Hendaknya setiap
muslim bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkan
penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada
kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini
bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu
hanyalah dari Dia semata.
***
Sumber: Buletin At-Tauhid
Penulis: R. Indra Pratomo P.

Jangan Marah…

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ada seorang


lelaki berkata kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Berilah
saya nasihat.” Beliaushollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jangan marah.” Lelaki itu terus mengulang-
ulang permintaannya dan beliau tetap menjawab, “Jangan
marah.”(HR. Bukhari). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan,
“Makna jangan marah yaitu janganlah kamu tumpahkan
kemarahanmu. Larangan ini bukan tertuju kepada rasa marah itu
sendiri. Karena pada hakikatnya marah adalah tabi’at manusia,
yang tidak mungkin bisa dihilangkan dari perasaan manusia.”
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam juga pernah
menasihatkan, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam
kondisi berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya
belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring.” (HR. Ahmad,
Shohih)
Dahulu ada juga seorang lelaki yang datang menemui
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai
Rosululloh, ajarkanlah kepada saya sebuah ilmu yang bisa
mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka.” Maka
beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan tumpahkan
kemarahanmu. Niscaya surga akan kau dapatkan.” (HR.
Thobrani, Shohih)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga
mengatakan, “Bukanlah maksud beliau adalah melarang memiliki
rasa marah. Karena rasa marah itu bagian dari tabi’at manusia
yang pasti ada. Akan tetapi maksudnya ialah kuasailah dirimu
ketika muncul rasa marah. Supaya kemarahanmu itu tidak
menimbulkan dampak yang tidak baik. Sesungguhnya kemarahan
adalah bara api yang dilemparkan oleh syaithan ke dalam lubuk
hati bani Adam. Oleh sebab itulah anda bisa melihat kalau orang
sedang marah maka kedua matanya pun menjadi merah dan urat
lehernya menonjol dan menegang. Bahkan terkadang rambutnya
ikut rontok dan berjatuhan akibat luapan marah. Dan berbagai hal
lain yang tidak terpuji timbul di belakangnya. Sehingga terkadang
pelakunya merasa sangat menyesal atas perbuatan yang telah
dia lakukan.”
Tips Menanggulangi Kemarahan
Syaikh Wahiid Baali hafizhohulloh menyebutkan beberapa tips
untuk menanggulangi marah. Diantaranya ialah:
1. Membaca ta’awudz yaitu, “A’udzubillahi minasy syaithanir
rajiim”.
2. Mengingat besarnya pahala orang yang bisa menahan
luapan marahnya.
3. Mengambil sikap diam, tidak berbicara.
4. Duduk atau berbaring.
5. Memikirkan betapa jelek penampilannya apabila sedang
dalam keadaan marah.
6. Mengingat agungnya balasan bagi orang yang mau
memaafkan kesalahan orang yang bodoh.
7. Meninggalkan berbagai bentuk celaan, makian, tuduhan,
laknat dan cercaan karena itu semua termasuk perangai
orang-orang bodoh.
Syaikh As Sa’di rohimahulloh mengatakan, “Sebaik-baik orang
ialah yang keinginannya tunduk mengikuti ajaran
Rasul shollallohu ‘alaihi wa sallam, yang menjadikan murka dan
pembelaannya dilakukan demi mempertahankan kebenaran dari
rongrongan kebatilan. Sedangkan sejelek-jelek orang ialah yang
suka melampiaskan hawa nafsu dan kemarahannya. Laa haula
wa laa quwwata illa billaah” (lihat Durrah Salafiyah).
***
Sumber: Buletin At-Tauhid
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Bahaya Lisan

Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan


dalam keseharian kita. Oleh karena itu, sangat penting untuk
menjaga lisan kita. Apakah banyak kebaikannya dengan
menyampaikan yang haq ataupun malah terjerumus ke dalam
dosa dan maksiat.
Pada berbagai pertemuan, seringkali kita mendapati pembicaraan
berupa gunjingan (ghibah), mengadu domba (namimah) atau
maksiat lainnya. Padahal, Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang
hal tersebut. Alloh menggambarkan ghibah dengan suatu yang
amat kotor dan menjijikkan. Alloh berfirman yang artinya, “Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Apakah salah seorang di antara kamu suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
dengannya.” (Al-Hujurat: 12)
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan
makna ghibah (menggunjing) ini. Beliau bersabda, “Tahukah
kalian apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Alloh dan Rosul-
Nya yang lebih mengetahui” Beliau bersabda, “Engkau
mengabarkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang
dibencinya.” Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang aku katakan itu
memang terdapat pada saudaraku?” Beliau menjawab, “Jika apa
yang kamu katakan terdapat pada saudaramu, maka engkau
telah menggunjingnya (melakukan ghibah) dan jika ia tidak
terdapat padanya maka engkau telah berdusta atasnya.” (HR.
Muslim)
Jadi, ghibah adalah menyebutkan sesuatu yang terdapat pada diri
seorang muslim, baik tentang agama, kekayaan, akhlak, atau
bentuk lahiriyahnya, sedang ia tidak suka jika hal itu disebutkan,
dengan membeberkan aib, menirukan tingkah laku atau gerak
tertentu dari orang yang dipergunjingkan dengan maksud
mengolok-ngolok. Banyak orang meremehkan masalah ghibah,
padahal dalam pandangan Alloh ia adalah sesuatu yang keji dan
kotor. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Riba itu
ada tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan daripadanya sama
dengan seorang laki-laki yang menyetubuhi ibunya (sendiri), dan
riba yang paling berat adalah pergunjingan seorang laki-laki atas
kehormatan saudaranya.” (As-Silsilah As-Shahihah, 1871)
Wajib bagi orang yang hadir dalam majelis yang sedang
menggunjing orang lain, untuk mencegah kemunkaran dan
membela saudaranya yang dipergunjingkan. Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan hal itu, sebagaimana
dalam sabdanya, “Barangsiapa membela (ghibah atas)
kehormatan saudaranya, niscaya pada hari kiamat Alloh akan
menghindarkan api Neraka dari wajahnya.” (HR. Ahmad)
Demikian pula halnya dalam mengadu domba (namimah).
Mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan
merusak hubungan di antara keduanya adalah salah satu faktor
yang menyebabkan terputusnya ikatan, serta menyulut api
kebencian dan permusuhan antar manusia. Alloh mencela pelaku
perbuatan tersebut dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu ikuti
setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak
mencela, yang kesana kemari menghambur fitnah.” (Al-Qalam:
10-11). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak
akan masuk surga al-qattat (tukang adu domba).” (HR. Bukhari).
Ibnu Atsir menjelaskan, “Al-Qattat adalah orang yang menguping
(mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka,
lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain
dengan tujuan mengadu domba.” (An-Nihayah 4/11)
Oleh karena itu ada beberapa hal penting perlu kita perhatikan
dalam menjaga lisan. Pertama, hendaknya pembicaraan kita
selalu diarahkan ke dalam kebaikan. Alloh Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman, “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisik-bisikan
mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang menyuruh
(manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia.” (An-Nisa: 114)
Kedua, tidak membicarakan sesuatu yang tidak berguna bagi diri
kita maupun orang lain yang akan mendengarkan.
Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Termasuk
kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang
tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Ketiga, tidak membicarakan semua yang kita dengar. Abu
Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu berkata, Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam bersabda,“Cukuplah menjadi suatu dosa bagi
seseorang yaitu apabila ia membicarakan semua apa yang telah
ia dengar.” (HR. Muslim)
Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekali-
pun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan
dusta sekalipun bercanda. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku adalah penjamin sebuah istana di taman
surga bagi siapa saja yang menghindari pertikaian (perdebatan)
sekalipun ia benar; dan (penjamin) istana di tengah-tengah surga
bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda.”(HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani)
Kelima, Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa.
Aisyah rodhiallohu ‘anha berkata, “Sesungguhnya Nabi
shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila membicarakan suatu hal,
dan ada orang yang mau menghitungnya, niscaya ia dapat
menghitungnya” (HR. Bukhari-Muslim). Semoga Alloh Subhanahu
wa Ta’ala senantiasa menjaga diri kita, sehingga diri kita
senantiasa berada dalam kebaikan. Wallohu’alam.
Ucapan Lemah Lembut pada Orang Tua

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin
sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan anak dan istri. Atau
barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent,
namun ketika ortu memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama,
ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya) diganggu.”
Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan
lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah
jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al
Bukhari rahimahullah dalam kitab Al Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
‫َأ‬ َ ‫ َفَأ‬، ‫ت‬
‫ا‬b‫ َم‬:‫ا َ َل‬b‫ ق‬.‫ر‬b َ b‫ْن ُع َم‬ ِ ‫ك ِالب‬bِ َ ‫ت َذال‬ ِ b‫ا ِإالَّ م َِن ْال َك َب‬b‫ْت َذ ُن ْوبًا الَ َرا َه‬
ُ ْ‫ َذ َكر‬b‫ َف‬،‫اِئر‬b ُ ‫صب‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ ‫ت َم َع ال َّن َجدَا‬
‫را ُر‬b َ bِ‫ َو ْالف‬،ٍ‫ َو َق ْت ُل ِنسْ َمة‬،‫هلل‬ ِ ‫ك ِبا‬ ُ ‫ ْاِإل ْش َرا‬:ٌ‫ هُنَّ ِتسْ ع‬،‫اِئر‬ ِ ‫ت َه ِذ ِه م َِن ْال َك َب‬ َ ‫ َلي‬:‫ َقا َل‬.‫ُ َك َذا َو َك َذا‬:‫ت‬
ْ ‫ْس‬ ْ ُ‫ِى؟ قل‬َ ‫ه‬
ْ‫ َوالَّ ِذي‬،ِ‫ ِجد‬b ‫ ا ُد فِي ْال َم ْس‬b‫ َوِإ ْل َح‬،‫ال ْال َي ِتي ِْم‬b ‫َأ‬ ‫َأ‬
ِ b‫ ُل َم‬b‫ َو ْك‬،‫ا‬bb‫ ُل الرِّ َب‬b‫ َو ْك‬،ِ‫ َنة‬b ‫ص‬ ْ
َ ْ‫ذفُ ْالمُح‬bb‫ َو َق‬، ِ‫ ف‬b ْ‫الزح‬ َّ ‫م َِن‬
‫ َو ُتحِبُّ َأنْ َت ْد ُخ َل ْال َج َّن َة؟‬، ‫ار‬ َ ‫ َأ َت َفرَّ ُق ال َّن‬:‫ لِي ابْنُ ُع َم َر‬:‫ قا َ َل‬،‫ْن م َِن ْال ُعقُ ْو ِق‬ ِ ‫ َو ُب َكا ُء ْال َوالِدَ ي‬، ‫َيسْ َتسْ ِخ ُر‬
‫ا‬bb‫ َوَأ ْط َعمْ َت َه‬،‫ا ْال َكالَ َم‬bb‫ت َل َه‬ ِ ‫ َف َو‬:‫ َقا َل‬. ْ‫ عِ ْن ِديْ ُأمِّى‬:‫ت‬
َ ‫هللا! َل ْو َأ َل ْن‬ َ ‫ َأ َحيٌّ َوال‬:‫هللا! َقا َل‬
ُ ‫ِدَاك؟ ُق ْل‬ ِ ‫ َو‬، ْ‫ ِإي‬:‫ت‬ ُ ‫قُ ْل‬
َ ‫ْت ْال َك َب‬
‫اِئر‬ َّ
َ ‫ َل َت ْد ُخ َلنَّ ْال َج َّن َة َما اجْ َت َنب‬،‫الط َعا َم‬.
“Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan
dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya
ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya,
”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun
menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah
termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari
pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan
tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim,
berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan]
tangisnya kedua orang tua karena   durhaka [kepada keduanya].”
Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka
dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau
bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya
masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi
Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur
kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh
engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-
dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih.
Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah  akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap
lemah lembut pada orang tua yang mengandung dan
membesarkan kita bisa memasukkan dalam
surga! Subhanallah … Ternyata begitu ringan amalan tersebut
bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama,
dari Urwah, ia berkata mengucapkan firman Allah,
‫الذ ِّل م َِن الرَّ حْ َم ِة‬ ُّ ‫اح‬
َ ‫اخفِضْ َل ُه َما َج َن‬ ْ ‫َو‬
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
ُ‫أحبَّاه‬َ ‫ “الَ َت ْم َت ِنعْ ِمنْ َشيْ ٍء‬:‫قا َ َل‬
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang
diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod
no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada
ortu sungguh luar biasa. Amalan sederhana. Namun memang
butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang
mudah emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran.
Kalau kita mengingat balasan lemah lembut, sungguh itu akan
membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas
keburukan dengan kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh
untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
‫َاوةٌ َكَأ َّن ُه َولِيٌّ َحمِي ٌم‬ َ ‫ِي َأحْ َسنُ َفِإ َذا الَّذِي َب ْي َن‬
َ ‫ك َو َب ْي َن ُه َعد‬ َ ‫َواَل َتسْ َت ِوي ْال َح َس َن ُة َواَل ال َّس ِّيَئ ُة ْاد َفعْ ِبالَّتِي ه‬
)35( ‫ص َبرُوا َو َما ُي َل َّقا َها ِإاَّل ُذو َح ٍّظ َعظِ ٍيم‬ َ ‫ِين‬ َ ‫) َو َما ُي َل َّقا َها ِإاَّل الَّذ‬34(
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk
bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan
kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada
yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah
akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan
musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi
teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu
melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran.
Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan
adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
‫ر‬bِ b‫ َد ْال ِك َب‬b‫ ِه عِ ْن‬b‫ك َوالِ َد ْي‬ َ ‫ قِي َل َمنْ َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل « َمنْ َأ ْد َر‬.» ‫َرغِ َم َأ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم َأ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم َأ ْنفُ ُه‬
‫َأ َح َد ُه َما َأ ْو ِك َلي ِْه َما ُث َّم َل ْم َي ْد ُخ ِل ْال َج َّن َة‬
“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang
bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh
hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih
hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua,
namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka
sebagai jalan menuju surga yang penuh kenikmatan yang tiada
tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
‫ط الرَّ بِّ فِي َس َخطِ ْال َوالِ ِد‬ ُ ‫ضا ْال َوالِ ِد َو َس َخ‬
َ ‫ضا الرَّ بِّ فِي ِر‬َ ‫ِر‬
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah
tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul
Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al
Ahbar. Beliau pernah ditanyakan mengenai perkara yang
termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
‫إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله‬
“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara
(selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak
mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam
kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul
Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk
berlemah lembut dan berakhlak pada orang tua kita yang amat
kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Hakikat Sabar (1)

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. Dengan


kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan,
konsisten menjalankan ketaatan, dan tabah dalam menghadapi
berbagai macam cobaan. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kedudukan sabar dalam
iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah
terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” (Al
Fawa’id, hal. 95)
Pengertian Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sabar adalah meneguhkan diri dalam menjalankan ketaatan
kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah,
serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam
menghadapi takdir Allah….” (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Macam-Macam Sabar
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:
1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan
Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang
dialaminya, berupa berbagai hal yang menyakitkan dan
gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun
yang berasal dari orang lain (Syarh Tsalatsatul Ushul, hal.
24)
Sebab Meraih Kemuliaan
Di dalam Taisir Lathifil Mannaan Syaikh As
Sa’di rahimahullah menyebutkan sebab-sebab untuk menggapai
berbagai cita-cita yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa sebab
terbesar untuk bisa meraih itu semua adalah iman dan amal
shalih.
Di samping itu, ada sebab-sebab lain yang merupakan bagian
dari kedua perkara ini. Di antaranya adalah kesabaran. Sabar
adalah sebab untuk bisa mendapatkan berbagai kebaikan dan
menolak berbagai keburukan. Hal ini sebagaimana diisyaratkan
oleh firman Allah ta’ala, “Dan mintalah pertolongan dengan sabar
dan shalat.” (QS. Al Baqarah [2]: 45).
Yaitu mintalah pertolongan kepada Allah dengan bekal sabar dan
shalat dalam menangani semua urusan kalian. Begitu pula sabar
menjadi sebab hamba bisa meraih kenikmatan abadi yaitu surga.
Allah ta’ala berfirman kepada penduduk surga, “Keselamatan
atas kalian berkat kesabaran kalian.”(QS. Ar Ra’d [13] : 24).
Allah juga berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dibalas
dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab
kesabaran mereka.” (QS. Al Furqaan [25] : 75).
Selain itu Allah pun menjadikan sabar dan yakin sebagai sebab
untuk mencapai kedudukan tertinggi yaitu kepemimpinan dalam
hal agama. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan Kami
menjadikan di antara mereka (Bani Isra’il) para pemimpin yang
memberikan petunjuk dengan titah Kami, karena mereka mau
bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As Sajdah [32]: 24)
(Lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 375)
Sabar Dalam Ketaatan
Sabar Dalam Menuntut Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Betapa banyak gangguan yang
harus dihadapi oleh seseorang yang berusaha menuntut ilmu.
Maka dia harus bersabar untuk menahan rasa lapar, kekurangan
harta, jauh dari keluarga dan tanah airnya. Sehingga dia harus
bersabar dalam upaya menimba ilmu dengan cara menghadiri
pengajian-pengajian, mencatat dan memperhatikan penjelasan
serta mengulang-ulang pelajaran dan lain sebagainya.
Semoga Allah merahmati Yahya bin Abi Katsir yang pernah
mengatakan, “Ilmu itu tidak akan didapatkan dengan banyak
mengistirahatkan badan”, sebagaimana tercantum dalam shahih
Imam Muslim. Terkadang seseorang harus menerima gangguan
dari orang-orang yang terdekat darinya, apalagi orang lain yang
hubungannya jauh darinya, hanya karena kegiatannya menuntut
ilmu. Tidak ada yang bisa bertahan kecuali orang-orang yang
mendapatkan anugerah ketegaran dari Allah.” (Taisirul wushul,
hal. 12-13)
Sabar Dalam Mengamalkan Ilmu
Syaikh Nu’man mengatakan, “Dan orang yang ingin beramal
dengan ilmunya juga harus bersabar dalam menghadapi
gangguan yang ada di hadapannya. Apabila dia melaksanakan
ibadah kepada Allah menuruti syari’at yang diajarkan Rasulullah
niscaya akan ada ahlul bida’ wal ahwaa’ yang menghalangi di
hadapannya, demikian pula orang-orang bodoh yang tidak kenal
agama kecuali ajaran warisan nenek moyang mereka.
Sehingga gangguan berupa ucapan harus diterimanya, dan
terkadang berbentuk gangguan fisik, bahkan terkadang dengan
kedua-keduanya. Dan kita sekarang ini berada di zaman di mana
orang yang berpegang teguh dengan agamanya seperti orang
yang sedang menggenggam bara api, maka cukuplah Allah
sebagai penolong bagi kita, Dialah sebaik-baik penolong”
(Taisirul wushul, hal. 13)
Sabar Dalam Berdakwah
Syaikh Nu’man mengatakan, “Begitu pula orang yang berdakwah
mengajak kepada agama Allah harus bersabar menghadapi
gangguan yang timbul karena sebab dakwahnya, karena di saat
itu dia tengah menempati posisi sebagaimana para Rasul.
Waraqah bin Naufal mengatakan kepada Nabi kitashallallahu
‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang dengan
membawa ajaran sebagaimana yang kamu bawa melainkan pasti
akan disakiti orang.”
Sehingga jika dia mengajak kepada tauhid didapatinya para da’i
pengajak kesyirikan tegak di hadapannya, begitu pula para
pengikut dan orang-orang yang mengenyangkan perut mereka
dengan cara itu. Sedangkan apabila dia mengajak kepada ajaran
As Sunnah maka akan ditemuinya para pembela bid’ah dan hawa
nafsu. Begitu pula jika dia memerangi kemaksiatan dan berbagai
kemungkaran niscaya akan ditemuinya para pemuja syahwat,
kefasikan dan dosa besar serta orang-orang yang turut
bergabung dengan kelompok mereka.
Mereka semua akan berusaha menghalang-halangi dakwahnya
karena dia telah menghalangi mereka dari kesyirikan, bid’ah dan
kemaksiatan yang selama ini mereka tekuni.” (Taisirul wushul,
hal. 13-14)
Sabar dan Kemenangan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Dan sungguh telah
didustakan para Rasul sebelummu, maka mereka pun bersabar
menghadapi pendustaan terhadap mereka dan mereka juga
disakiti sampai tibalah pertolongan Kami.” (QS. Al An’aam [6]:
34).
Semakin besar gangguan yang diterima niscaya semakin dekat
pula datangnya kemenangan. Dan bukanlah
pertolongan/kemenangan itu terbatas hanya pada saat seseorang
(da’i) masih hidup saja sehingga dia bisa menyaksikan buah
dakwahnya terwujud. Akan tetapi yang dimaksud pertolongan itu
terkadang muncul di saat sesudah kematiannya. Yaitu ketika
Allah menundukkan hati-hati umat manusia sehingga menerima
dakwahnya serta berpegang teguh dengannya. Sesungguhnya
hal itu termasuk pertolongan yang didapatkan oleh da’i ini
meskipun dia sudah mati.
Maka wajib bagi para da’i untuk bersabar dalam melancarkan
dakwahnya dan tetap konsisten dalam menjalankannya.
Hendaknya dia bersabar dalam menjalani agama Allah yang
sedang didakwahkannya dan juga hendaknya dia bersabar dalam
menghadapi rintangan dan gangguan yang menghalangi
dakwahnya. Lihatlah para Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu
‘alaihim. Mereka juga disakiti dengan ucapan dan perbuatan
sekaligus.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Demikianlah, tidaklah ada
seorang Rasul pun yang datang sebelum mereka melainkan
mereka (kaumnya) mengatakan, ‘Dia adalah tukang sihir atau
orang gila’.” (QS. Adz Dzariyaat [51]: 52). Begitu juga Allah ‘azza
wa jalla berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan bagi
setiap Nabi ada musuh yang berasal dari kalangan orang-orang
pendosa.” (QS. Al Furqaan [25]: 31). Namun, hendaknya para da’i
tabah dan bersabar dalam menghadapi itu semua…” (Syarh
Tsalatsatul Ushul, hal. 24)
Sabar di atas Islam
Ingatlah bagaimana kisah Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu yang
tetap berpegang teguh dengan Islam meskipun harus merasakan
siksaan ditindih batu besar oleh majikannya di atas padang pasir
yang panas (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 122). Ingatlah
bagaimana siksaan tidak berperikemanusiaan yang dialami oleh
Ammar bin Yasir dan keluarganya. Ibunya Sumayyah disiksa
dengan cara yang sangat keji sehingga mati sebagai muslimah
pertama yang syahid di jalan Allah. (Lihat Tegar di Jalan
Kebenaran, hal. 122-123)
Lihatlah keteguhan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu
‘anhu yang dipaksa oleh ibunya untuk meninggalkan Islam
sampai-sampai ibunya bersumpahmogok makan dan minum
bahkan tidak mau mengajaknya bicara sampai mati. Namun
dengan tegas Sa’ad bin Abi Waqqash mengatakan, “Wahai Ibu,
demi Allah, andaikata ibu memiliki seratus nyawa kemudian satu
persatu keluar, sedetikpun ananda tidak akan meninggalkan
agama ini…” (Lihat Tegar di Jalan Kebenaran, hal. 133) Inilah
akidah, inilah kekuatan iman, yang sanggup bertahan dan kokoh
menjulang walaupun diterpa oleh berbagai badai dan topan
kehidupan.
Saudaraku, ketahuilah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita
pada hari ini, baik yang berupa kehilangan harta, kehilangan jiwa
dari saudara yang tercinta, kehilangan tempat tinggal atau
kekurangan bahan makanan, itu semua jauh lebih ringan
daripada cobaan yang dialami oleh salafush shalih dan para
ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Mereka disakiti, diperangi, didustakan, dituduh yang bukan-
bukan, bahkan ada juga yang dikucilkan. Ada yang tertimpa
kemiskinan harta, bahkan ada juga yang sampai meninggal di
dalam penjara, namun sama sekali itu semua tidaklah
menggoyahkan pilar keimanan mereka.
Ingatlah firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan janganlah sekali-
kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang
muslim.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 102).
Ingatlah juga janji Allah yang artinya, “Barang siapa yang
bertakwa kepada Allah niscaya akan Allah berikan jalan keluar
dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari jalan yang tidak
disangka-sangka.” (QS. Ath Thalaq [65] : 2-3).
Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya datangnya
kemenangan itu bersama dengan kesabaran. Bersama
kesempitan pasti akan ada jalan keluar. Bersama kesusahan
pasti akan ada kemudahan.” (HR. Abdu bin Humaid di dalam
Musnadnya [636] (Lihat Durrah Salafiyah, hal. 148) dan Al
Haakim dalam Mustadrak ‘ala Shahihain, III/624). (Syarh Arba’in
Ibnu ‘Utsaimin, hal. 200)
Sabar Menjauhi Maksiat
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Bersabar menahan diri dari kemaksiatan kepada Allah, sehingga
dia berusaha menjauhi kemaksiatan, karena bahaya dunia, alam
kubur dan akhirat siap menimpanya apabila dia melakukannya.
Dan tidaklah umat-umat terdahulu binasa kecuali karena
disebabkan kemaksiatan mereka, sebagaimana hal itu
dikabarkan oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam muhkam al-Qur’an.
Di antara mereka ada yang ditenggelamkan oleh Allah ke dalam
lautan, ada pula yang binasa karena disambar petir, ada pula
yang dimusnahkan dengan suara yang mengguntur, dan ada juga
di antara mereka yang dibenamkan oleh Allah ke dalam perut
bumi, dan ada juga di antara mereka yang di rubah bentuk
fisiknya (dikutuk).”
Pentahqiq kitab tersebut memberikan catatan, “Syaikh
memberikan isyarat terhadap sebuah ayat, “Maka masing-masing
(mereka itu) kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara
mereka ada yang kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil
dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang kami benamkan ke
dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan,
dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al
‘Ankabuut [29] : 40).
“Bukankah itu semua terjadi hanya karena satu sebab saja yaitu
maksiat kepada Allah tabaaraka wa ta’ala. Karena hak Allah
adalah untuk ditaati tidak boleh didurhakai, maka kemaksiatan
kepada Allah merupakan kejahatan yang sangat mungkar yang
akan menimbulkan kemurkaan, kemarahan serta mengakibatkan
turunnya siksa-Nya yang sangat pedih. Jadi, salah satu macam
kesabaran adalah bersabar untuk menahan diri dari perbuatan
maksiat kepada Allah. Janganlah mendekatinya.
Dan apabila seseorang sudah terlanjur terjatuh di dalamnya
hendaklah dia segera bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, meminta ampunan dan menyesalinya di
hadapan Allah. Dan hendaknya dia mengikuti kejelekan-
kejelekannya dengan berbuat kebaikan-kebaikan. Sebagaimana
difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya kebaikan-
kebaikan akan menghapuskan kejelekan-kejelekan.” (QS. Huud
[11] : 114). Dan juga sebagaimana disabdakan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan ikutilah kejelekan dengan
kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” (HR.
Ahmad, dll, dihasankan Al Albani dalam Misykatul
Mashaabih 5043)…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar Menerima Takdir
Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan,
“Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah Bersabar
dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya
yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu
gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian
atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka
bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang
menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan
lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut
ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17)
Sabar dan Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullahu ta’ala membuat sebuah bab di dalam
Kitab Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-
shabru ‘ala aqdarillah” (Bab Bersabar dalam menghadapi takdir
Allah termasuk cabang keimanan kepada Allah)
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy
Syaikh hafizhahullahu ta’ala mengatakan dalam penjelasannya
tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara
yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia
termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia
menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan
anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati
tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.
Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk
mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk
musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya
dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah
syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar
menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-hamba-
Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama
dan melalui sarana keputusan takdir.
Adapun ujian dengan dibebani ajaran-ajaran agama adalah
sebagaimana tercermin dalam firman Allah jalla wa ‘ala kepada
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits
qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin Hamaar. Dia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda“Allah
ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengutusmu dalam rangka
menguji dirimu. Dan Aku menguji (manusia) dengan dirimu’.”
Maka hakikat pengutusan Nabi ‘alaihish shalaatu was
salaam adalah menjadi ujian. Sedangkan adanya ujian jelas
membutuhkan sikap sabar dalam menghadapinya. Ujian yang
ada dengan diutusnya beliau sebagai rasul ialah dengan bentuk
perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan
bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan
dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan
bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama mengatakan,
“Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam berbuat taat,
sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar tatkala
menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar
tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan
dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang
harus ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar
menanggung ketentuan takdir Allah.
Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar itulah yang banyak
muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka mendapatkan ujian
berupa ditimpakannya musibah. Dengan alasan itulah beliau
membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa sabar adalah hal
yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang terasa
menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan
penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan
dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab mengatakan,
“Qutila fulan shabran” (artinya si polan dibunuh dalam keadaan
“shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan atau sedang
diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau peperangan. Dan
demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai dalam pengertian
syar’i.
Ia disebut sebagai sabar karena di dalamnya terkandung
penahanan lisan untuk tidak berkeluh kesah, menahan hati untuk
tidak merasa marah dan menahan anggota badan untuk tidak
mengekspresikan kemarahan dalam bentuk menampar-nampar
pipi, merobek-robek kain dan semacamnya. Maka menurut istilah
syari’at sabar artinya: Menahan lisan dari mengeluh, menahan
hati dari marah dan menahan anggota badan dari menampakkan
kemarahan dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan
lain semacamnya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam al-Qur’an kata
sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian
iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang
yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak
punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar
tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan
banyak sekali bagian keimanan”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala aqdaarillah”
artinya: salah satu ciri karakteristik iman kepada Allah adalah
bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah. Keimanan itu
mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana kekufuran juga
bercabang-cabang.
Maka dengan perkataan “Minal imaan ash shabru” beliau ingin
memberikan penegasan bahwa sabar termasuk salah satu
cabang keimanan. Beliau juga memberikan penegasan melalui
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan
bahwa niyaahah (meratapi mayit) itu juga termasuk salah satu
cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus
dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayit adalah
sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan
sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah
yang terasa menyakitkan” (At Tamhiid, hal.389-391)
-bersambung insya Allah-

Hakikat Sabar (2)

Hukum Merasa Ridha Terhadap Musibah


Syaikh Shalih Alusy Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan,
“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab
(sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang
kesulitan membedakan antara ridha dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar
menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam
sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima
terhadap ketetapan dan takdir Allah.
Adapun ridha memiliki dua sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama: terarah kepada perbuatan Allah jalla
wa ‘ala. Seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah
yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridha
dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan
hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridha terhadap
pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala.
Rasa ridha terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu
hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang
harus ada).
Sudut pandang kedua: terarah kepada kejadian yang
diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum
merasa ridha terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban
atas hamba untuk merasa ridha dengan sakit yang dideritanya.
Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa ridha dengan sebab
kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa
ridha dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini
hukumnya mustahab(disunnahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridha yang hukumnya
wajib) Alqamah mengatakan, “Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah
itu berasal dari sisi Allah maka diapun merasa ridha” yakni
merasa puas terhadap ketetapan Allah “dan ia bersikap pasrah”.
Karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi (perbuatan)
Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.” (At Tamhiid,
hal. 392-393)
Sabar dan Syukur
Dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinaan radhiyallahu ‘anhu, beliau
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Sungguh menakjubkan urusan orang yang beriman,
semua urusannya adalah baik. Tidaklah hal itu didapatkan
kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia tertimpa
kesenangan maka bersyukur. Maka itu baik baginya. Dan apabila
dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabar. Maka itu pun baik
baginya.”(HR. Muslim)
Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa manusia dalam
menghadapi takdir Allah yang berupa kesenangan dan kesulitan
terbagi menjadi dua, yaitu kaum beriman dan kaum yang tidak
beriman.
Adapun orang yang beriman bagaimanapun kondisinya selalu
baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia bersabar
dan tabah menunggu datangnya jalan keluar dari Allah serta
mengharapkan pahala dengan kesabarannya itu. Dengan
demikian dia memperoleh pahala orang-orang yang sabar. Maka
ini baik baginya.
Sedangkan apabila seorang mukmin menerima nikmat diniyah
maupun duniawiyah maka dia bersyukur yaitu dengan
melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena syukur bukan saja
mencakup ucapan syukur di mulut saja, akan tetapi harus
dilengkapi dengan melaksanakan berbagai ketaatan kepada
Allah. Sehingga orang yang beriman memiliki dua nikmat ketika
mengalami kesenangan yaitu nikmat dunia dengan merasa
senang dan nikmat diniyah dengan bersyukur. Sehingga inipun
baik bagi dirinya.
Adapun orang kafir, mereka berada dalam keadaan yang buruk
sekali, wal ‘iyaadzu billaah. Apabila tertimpa kesulitan mereka
tidak mau bersabar, bahkan tidak mau terima, memprotes takdir,
mendoakan kebinasaan, mencela masa dan caci maki lainnya.
Sedangkan apabila mendapatkan kesenangan dia tidak
bersyukur kepada Allah. Maka kesenangan yang dialami oleh
orang-orang kafir di dunia ini kelak di akhirat akan berubah
menjadi siksaan. Karena orang kafir itu tidaklah menyantap
makanan atau menikmati minuman kecuali dia pasti
mendapatkan dosa karenanya. Meskipun hal itu bagi orang
mukmin tidak dinilai dosa, akan tetapi lain halnya bagi orang kafir.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala yang
artinya, “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan
Allah dan rezeki yang baik-baik yang dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya. Katakanlah: itu semua adalah untuk orang-
orang yang beriman di dalam kehidupan dunia yang akan
diperuntukkan untuk mereka saja pada hari kiamat.” (QS.Al A’raaf
[7]: 32).
Sehingga semua rezeki tersebut diperuntukkan bagi kaum
beriman saja pada hari kiamat nanti. Adapun orang-orang yang
tidak beriman maka nikmat itu bukan menjadi hak mereka.
Mereka memakannya padahal itu haram bagi mereka dan pada
hari kiamat nanti mereka akan disiksa karenanya. Sehingga bagi
orang kafir kesenangan maupun kesulitan adalah sama-sama
buruknya, wal ‘iyaadzu billaah. (Lihat Syarh Riyadhush Shalihin,
I/107-108)
Hikmah di Balik Musibah
Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-
Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai
dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi
dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran
menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan
gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al Mustadrak
(1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash Shahihah karya
Al Albani dengan nomor 1220)
Syaikhul Islam mengatakan, “Datangnya musibah-musibah itu
adalah nikmat. Karena ia menjadi sebab dihapuskannya dosa-
dosa. Ia juga menuntut kesabaran sehingga orang yang
tertimpanya justru diberi pahala. Musibah itulah yang melahirkan
sikap kembali taat dan merendahkan diri di hadapan
Allah ta’ala serta memalingkan ketergantungan hatinya dari
sesama makhluk, dan berbagai maslahat agung lainnya yang
muncul karenanya. Musibah itu sendiri dijadikan oleh Allah
sebagai sebab penghapus dosa dan kesalahan. Bahkan ini
termasuk nikmat yang paling agung. Maka seluruh musibah pada
hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat bagi keseluruhan
makhluk, kecuali apabila musibah itu menyebabkan orang yang
tertimpa musibah menjadi terjerumus dalam kemaksiatan yang
lebih besar daripada maksiat yang dilakukannya sebelum
tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia menjadi keburukan
baginya, bila ditilik dari sudut pandang musibah yang menimpa
agamanya.”
“Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila
mendapat ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru
menyebabkan munculnya sikap munafik dan protes dalam
dirinya, atau bahkan penyakit hati, kekufuran yang jelas,
meninggalkan sebagian kewajiban yang dibebankan padanya dan
malah berkubang dengan berbagai hal yang diharamkan
sehingga berakibat semakin membahayakan agamanya. Maka
bagi orang semacam ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila
ditilik dari sisi dampak yang timbul setelah dia mengalami
musibah, bukan dari sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana
halnya orang yang dengan musibahnya bisa melahirkan sikap
sabar dan tunduk melaksanakan ketaatan, maka musibah yang
menimpa orang semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah.
Musibah itu sendiri terjadi dengan perbuatan Rabb ‘azza wa
jalla sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan
Allah ta’ala maha terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang
siapa yang diuji dengan suatu musibah lantas diberikan karunia
kesabaran oleh Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya.
Setelah dosanya terhapus karenanya maka muncullah
sesudahnya rahmat (kasih sayang dari Allah).
Dan apabila dia memuji Rabbnya atas musibah yang
menimpanya niscaya dia juga akan memperoleh pujian-
Nya. “Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat)
dari Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al
Baqarah [2]: 156) Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga
akan didapatkan, begitu pula derajatnya pun akan terangkat.
Barang siapa yang merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini
niscaya dia akan memperoleh balasan-balasan tersebut” Selesai
perkataan Syaikhul Islam, dengan ringkas. (Lihat Fathul Majiid,
hal. 353-354)
Doa Apabila Tertimpa Musibah
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, Allahumma’jurnii fii
mushiibatii wa ahklif lii khairan minhaa
Artinya: “Sesungguhnya kita adalah milik Allah. Dan kita pasti
akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berikanlah ganjaran pahala
atas musibah hamba. Dan gantikanlah ia dengan sesuatu yang
lebih baik darinya.” (HR. Muslim, 2/632. lihat Hishnul Muslim, hal.
96-97)
Pertanyaan: Apabila ada seseorang yang terkena suatu penyakit
atau tertimpa suatu bencana yang berakibat buruk bagi diri atau
hartanya, lalu bagaimanakah cara untuk mengetahui bahwa
bencana itu merupakan ujian ataukah kemurkaan dari sisi Allah ?
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,
“Allah ‘azza wa jalla menguji hamba-hamba-Nya dengan bentuk
kesenangan dan kesulitan, dengan kesempitan dan kelapangan.
Terkadang dengan hal itu Allah menguji mereka supaya bisa
menaikkan derajat mereka serta meninggikan sebutan mereka
dan juga demi melipatgandakan kebaikan-kebaikan mereka.
Yang demikian itu sebagaimana yang dialami oleh para Nabi dan
Rasul ‘alaihimush shalatu was salaam, dan juga para hamba
Allah yang shalih. Sebagaimana sudah disabdakan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling berat
cobaannya adalah para Nabi, kemudian diikuti oleh orang-orang
lain yang berada di bawah tingkatan mereka.”
Dan terkadang Allah juga menimpakan hal itu disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa (yang mereka
lakukan). Sehingga dengan demikian maka bencana itu
merupakan hukuman yang di segerakan, sebagaimana tercantum
dalam firman Allah Yang Mahasuci yang artinya, “Dan musibah
apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah
perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak
kesalahan orang.”(QS. Asy Syura [42]: 30).
Adapun kondisi sebagian besar umat manusia yang ada ialah
fenomena taqshir/meremehkan dan tidak menunaikan kewajiban
yang telah dibebankan. Oleh karena itu musibah yang menimpa
dirinya maka itu sesungguhnya timbul dikarenakan dosa-dosa
yang diperbuatnya serta kekurangannya sendiri dalam
menjalankan perintah Allah.
Sedangkan apabila yang mengalami musibah adalah termasuk
golongan hamba Allah yang shalih, entah berupa penyakit
tertentu ataupun musibah yang lainnya, maka sesungguhnya hal
ini termasuk kategori ujian yang diberikan kepada kalangan para
Nabi dan Rasul dalam rangka mengangkat derajat serta
membesarkan balasan pahalanya. Dan juga dia bisa menjadi
contoh untuk orang lain dalam hal kesabaran dan keyakinannya
untuk berharap pahala. Sehingga hasil yang ingin diraih dengan
sebab terjadinya musibah ialah terangkatnya derajat, peningkatan
pahala, sebagaimana halnya musibah yang ditetapkan oleh Allah
menimpa para Nabi dan sebagian orang yang baik/shalih.
Dan bisa juga hal itu terjadi demi menghapuskan dosa kesalahan-
kesalahan, sebagaimana tercantum dalam firman
Allah ta’ala yang artinya, “Barang siapa yang melakukan
kejelekan pasti akan dibalas.” (QS. An Nisaa’ [4] : 123).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada
sebuah kesusahan, kekalutan, keletihan, penyakit, kesedihan
maupun gangguan yang menimpa seorang mukmin melainkan
Allah pasti menghapuskan sebagian dosa kesalahan-
kesalahannnya, bahkan sampai duri yang menusuk bagian
tubuhnya.” Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Barang siapa yang diinginkan baik oleh Allah maka pasti
Dia timpakan musibah kepadanya.”
Namun terkadang bisa juga hal itu merupakan hukuman yang di
segerakan disebabkan perbuatan-perbuatan maksiat yang
dilakukan dan kelambatan diri dalam bertaubat. Hal itu
sebagaimana diceritakan di dalam sebuah hadits dari
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Apabila Allah
menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya maka Allah segerakan
hukuman baginya di alam dunia. Sedangkan apabila Allah
menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah menahan
hukuman atas dosa itu hingga terbayarkan kelak pada hari
kiamat.” (HR. Tirmidzi, dinilainya hasan). (Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawwi’ah juz 4, diterjemahkan dari website beliau)
Marah Saat Tertimpa Musibah ?
Pertanyaan: Apa hukumnya orang yang marah tatkala tertimpa
musibah ?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullah menjawab, “Orang ketika menghadapi
musibah terbagi dalam empat tingkatan :
Tingkatan Pertama: Marah
Tingkatan ini meliputi beberapa macam keadaan:
Kondisi pertama; ia menyimpan perasaan marah di dalam hati
kepada Allah. Sehingga dia pun menjadi marah terhadap apa
yang sudah diputuskan Allah. Hal ini adalah haram. Bahkan
terkadang bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Di antara manusia ada orang
yang menyembah Allah di pinggiran. Apabila dia tertimpa
kebaikan dia pun merasa tenang. Dan apabila dia tertimpa ujian
maka dia pun berbalik ke belakang, hingga rugilah dia dunia dan
akhirat.” (QS. Al Hajj [22]: 11).
Kondisi kedua; kemarahannya diekspresikan dengan ucapan.
Seperti dengan mendoakan kecelakaan dan kebinasaan atau
ucapan semacamnya, ini juga haram.
Kondisi ketiga; kemarahannya sampai meluap sehingga
terekspresikan dengan tindakan anggota badan. Seperti dengan
menampar-nampar pipi, merobek-robek kain pakaian, mencabuti
rambut dan perbuatan semacamnya. Perbuatan ini semua haram
hukumnya dan meniadakan sifat sabar yang wajib ada.
Tingkatan Kedua: Bersabar
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh seorang penyair dalam
syairnya,
Sabar itu memang seperti namanya
Pahit kalau baru dirasa
Tapi buahnya yang ditunggu-tunggu
Jauh lebih manis daripada madu
Dia melihat bahwa musibah ini adalah sesuatu yang sangat berat
akan tetapi dia tetap bisa tabah dalam menanggungnya. Dia
merasa tidak senang atas kejadiannya. Namun imannya masih
bisa menjaganya untuk tidak marah. Sehingga terjadi atau
tidaknya musibah itu masih terasa berbeda baginya. Dan hal ini
adalah tingkatan yang wajib. Sebab Allah ta’ala telah
memerintahkan untuk bersabar. Allah berfirman yang
artinya, “Bersabarlah kalian. Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar.” (QS. Al Alnfaal [8]: 46).
Tingkatan Ketiga: Merasa Ridha
Yaitu seseorang bisa merasa ridha dengan musibah yang
menimpanya. Sehingga ada dan tidaknya musibah adalah sama
saja baginya. Dia tidak merasakannya sebagai sebuah beban
yang sangat berat. Ini adalah tingkatan yang sangat
dianjurkan/mustahab, dan bukan hal yang wajib menurut
pendapat yang kuat. Perbedaan antara tingkatan ini dengan
tingkatan sebelumnya cukup jelas. Yaitu karena dalam tingkatan
ini ada tidaknya musibah itu terasa sama saja dalam hal
keridhaan terhadapnya. Adapun dalam tingkatan sebelumnya
terjadinya musibah itu masih dirasakan sebagai sesuatu yang
sukar baginya, namun dia masih tetap bersabar.
Tingkatan Keempat: Bersyukur
Inilah tingkatan yang tertinggi. Yaitu dengan justru bersyukur
kepada Allah atas musibah yang menimpanya. Dia sadar bahwa
pada hakikatnya musibah adalah faktor penyebab terhapusnya
dosa-dosanya, bahkan terkadang bisa menjadi sumber
penambahan amal kebaikannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tiada sebuah musibah pun yang menimpa
seorang muslim, kecuali pasti Allah hapuskan (dosanya) dengan
sebab musibah itu, bahkan sekalipun duri yang
menusuknya.” (HR. Bukhari (5640) dan Muslim (2572)).
(Diterjemahkan dengan penyesuaian redaksional dari Fatawa
Arkanil Islam, hal. 126-127)
Balasan Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Kami akan menguji
kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan serta kekurangan
harta benda, jiwa, dan buah-buahan. Maka berikanlah kabar
gembira bagi orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang
apabila tertimpa musibah mereka mengatakan, “Sesungguhnya
kami ini berasal dari Allah, dan kami juga akan kembali kepada-
Nya”. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan
ucapan shalawat (pujian) dari Tuhan mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang memperoleh hidayah.” (QS. Al Baqarah [2]:
155-157).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di
dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa
yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya,
berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian.
Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa
kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar
bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus
ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…”
(Taisir Karimir Rahman, hal. 76)
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya, “Sesungguhnya balasan
pahala bagi orang-orang yang sabar adalah tidak terbatas.” (QS.
Az Zumar [39]: 10).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di
dalam kitab tafsirnya,”Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis
kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa
menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar
dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang
di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-
Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk
mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu
tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya
keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi
Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allah lah penolong segala
urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721)
Surga Bagi Orang yang Sabar
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “(yaitu) Surga ‘Adn yang
mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang
yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya,
sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima
shabartum” (Keselamatan atas kalian sebagai balasan atas
kesabaran kalian). Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Ar Ra’d: 23-
24).
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam.
Tebarkan Salam

Syariat Islam yang sempurna mengajarkan kaum muslimin untuk


selalu meningkatkan kecintaan terhadap saudara semuslim,
merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk
mewujudkan hubungan persaudaraan dan kasih sayang ini, maka
syariat Islam memerintahkan untuk menyebarkan salam.
Syiar Islam yang satu ini adalah termasuk syiar Islam yang
sangat besar dan penting. Namun begitu, sekarang ini salam
sering sekali ditinggalkan dan diganti dengan salam salam yang
lain, entah itu dengan good morning, selamat pagi, selamat siang,
salam sejahtera atau sejenisnya. Tentunya seorang muslim tidak
akan rela apabila syariat yang penuh berkah lagi manfaat ini
kemudian diganti dengan ucapan-ucapan lain. Allah
berfirman, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah
sebagai pengganti yang lebih baik?” (Al Baqarah: 61). Dan
sungguh apa yang ditetapkan Allah untuk manusia, itulah yang
terbaik.
Perintah dari Allah
Allah berfirman, “Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah
dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada
(penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri,
salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi
baik.” (Qs. An Nur: 61)
Syaikh Nashir As Sa’di berkata, “Firman-Nya: Salam dari sisi
Allah, maksudnya Allah telah mensyari’atkan salam bagi kalian
dan menjadikannya sebagai penghormatan dan keberkahan yang
terus berkembang dan bertambah. Adapun firman-Nya: yang
diberi berkat lagi baik, maka hal tersebut karena salam termasuk
kalimat yang baik dan dicintai Allah. Dengan salam maka jiwa
akan menjadi baik serta dapat mendatangkan rasa cinta.”
(Lihat Taisir Karimir Rohman)
Perintah dari Nabi
Baro’ bin Azib berkata, “Rasulullah melarang dan memerintahkan
kami dalam tujuh perkara: Kami diperintah untuk mengiringi
jenazah, menjenguk orang sakit, memenuhi undangan menolong
orang yang dizholimi, memperbagus pembagian, menjawab
salam dan mendoakan orang yang bersin…”(HR. Bukhari dan
Muslim). Ibnu Hajar Al Asqolani berkata, “Perintah menjawab
salam maksudnya yaitu menyebarkan salam di antara manusia
agar mereka menghidupkan syariatnya.” (Lihat Fathul Bari 11/23)
Dari Abu Huroiroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian
beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai.
Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian
kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah
salam di antara kalian.” (HR. Muslim). Dari Abdulloh bin Salam,
Rasulullah bersabda, “Wahai sekalian manusia, tebarkanlah
salam di antara kalian, berilah makan sambunglah tali silaturahmi
dan shalatlah ketika manusia tidur malam, niscaya kalian akan
masuk surga dengan selamat.” (Shohih. Riwayat Tirmidzi, Ibnu
Majah, Ahmad)
Etika Salam
Imron bin Husain berkata, “Ada seorang laki-laki yang datang
kepada Nabi seraya mengucapkan Assalamu ‘alaikum. Maka nabi
menjawabnya dan orang itu kemudian duduk. Nabi berkata, “Dia
mendapat sepuluh pahala.” Kemudian datang orang yang lain
mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullah. Maka Nabi
menjawabnya dan berkata, “Dua puluh pahala
baginya.” Kemudian ada yang datang lagi seraya
mengucapkan Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Nabi pun menjawabnya dan berkata, “Dia mendapat tiga puluh
pahala.” (Shohih. Riwayat Abu dawud, Tirmidzi dan Ahmad)
Dari hadits tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Memulai salam hukumnya sunnah bagi setiap individu,
berdasar pendapat terkuat.
2. Menjawab salam hukumnya wajib, berdasarkan kesepakatan
para ulama.
3. Salam yang paling utama yaitu dengan
mengucapkan Assalamu’alaikum warahmatullahi wa
barakatuh, kemudian Assalamu’alaikum warahmatullah dan
yang terakhir Assalamu’alaikum.
4. Menjawab salam hendaknya dengan jawaban yang lebih
baik, atau minimal serupa dengan yang mengucapkan. Allah
berfirman “Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu
dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (Qs. An Nisa: 86)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda, “Hendaknya orang yang
berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan. Yang
berjalan kepada yang dduk yang sedikit kepada yang
banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam lafazh
Bukhari, “Hendaklah yang muda kepada yag lebih
tua.” Demikianlah pengajaran Rosul tentang salam. Namun orang
yang meninggalkan tatacara salam seperti pada hadits ini tidaklah
mendapat dosa, hanya saja dia telah meninggalkan sesuatu yang
utama.
Salam Kepada Orang yang Dikenal dan Tidak Dikenal
Termasuk mulianya syariat ini ialah diperintahkannya kaum
muslimin untuk member salam baik pada orang yang dikenal
maupun orang yang belum dikenal. Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat
apabila salam hanya ditujukan kepada orang yang telah
dikenal.”(Shohih. Riwayat Ahmad dan Thobroni)
(Disadur dari majalah Al Furqon edisi 9 th III)

Seberkas Cahaya di Tengah Gelapnya Musibah


Segala puji bagi Allah Zat yang telah menciptakan kematian dan
kehidupan dalam rangka menguji manusia siapakah di antara
mereka yang terbaik amalnya. Zat yang telah mengutus Rasul-
Nya dengan hidayah dan agama yang benar untuk dimenangkan
di atas seluruh agama yang ada. Sholawat beriring salam
semoga senantiasa terlimpah kepada Nabi pembawa rahmah
beserta keluarga dan sahabat juga seluruh pengikut mereka yang
setia hingga tegaknya kiamat di alam semesta. Amma ba’du.
Saudaraku. Semoga Allah melimpahkan taufik untuk menggapai
cinta dan ridho-Nya kepadaku dan dirimu. Perjalanan kehidupan
terkadang membawamu terperosok dan jatuh dalam berbagai
kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu terasa berat bagimu. Dadamu
seolah-olah menjadi sesak. Bumi yang begitu luas terhampar
seolah-olah menjadi sempit bagimu. Apakah keadaan ini akan
membawamu berputus asa wahai saudaraku, jangan. Akan tetapi
bersabarlah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ وأن مع العسر يسرا‬، ‫ وأن الفرج مع الكرب‬، ‫واعلم أن النصر مع الصبر‬
“Dan ketahuilah, sesungguhnya kemenangan itu beriringan
dengan kesabaran. Jalan keluar beriringan dengan kesukaran.
Dan sesudah kesulitan itu akan datang kemudahan.” (Hadits
riwayat Abdu bin Humaid di dalam Musnad-nya dengan nomor
636, Ad Durrah As Salafiyyah hal. 148)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggambarkan
kepada umatnya bahwa kesabaran itu bak sebuah cahaya yang
panas. Dia memberikan keterangan di sekelilingnya akan tetapi
memang terasa panas menyengat di dalam dada.
Sebuah Bab di Dalam Kitab Tauhid
Syaikh Al Imam Al Mujaddid Al Mushlih Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah ta’ala membuat sebuah bab di dalam Kitab
Tauhid beliau yang berjudul, “Bab Minal iman billah, ash-shabru
‘ala aqdarillah” (Bab: Bersabar dalam menghadapi takdir Allah
termasuk cabang keimanan kepada Allah).
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat
berfaedah ini:
“Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di
dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang
sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan
dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan
yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran. Hal ini
dikarenakan ibadah merupakan perintah syariat (untuk
mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syariat (untuk tidak
mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk
musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya
dia mau bersabar ketika menghadapinya.
Maka hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan
perintah syariat serta menjauhi larangan syariat dan bersabar
menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai
batu ujian oleh Allah jalla wa ‘ala untuk menempa hamba-
hambaNya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran
agama dan melalui sarana keputusan takdir. Adapun ujian
dengan ajaran agama sebagaimana tercermin dalam firman Allah
jalla wa ‘ala kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam sebuah hadits qudsi riwayat Muslim dari ‘Iyaadh bin
Hamaar. Dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda, ‘Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
Aku mengutusmu dalam rangka menguji dirimu. Dan Aku menguji
(manusia) dengan dirimu.’ Maka hakikat pengutusan
Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam adalah menjadi ujian.
Sedangkan adanya ujian jelas membutuhkan sikap sabar dalam
menghadapinya. Ujian yang ada dengan diutusnya beliau sebagai
rasul ialah dengan bentuk perintah dan larangan.
Untuk melaksanakan berbagai kewajiban tentu saja dibutuhkan
bekal kesabaran. Untuk meninggalkan berbagai larangan
dibutuhkan bekal kesabaran. Begitu pula saat menghadapi
keputusan takdir kauni (yang menyakitkan) tentu juga diperlukan
bekal kesabaran. Oleh sebab itulah sebagian ulama
mengatakan, “Sesungguhnya sabar terbagi tiga; sabar dalam
berbuat taat, sabar dalam menahan diri dari maksiat dan sabar
tatkala menerima takdir Allah yang terasa menyakitkan.”
Karena amat sedikitnya dijumpai orang yang sanggup bersabar
tatkala tertimpa musibah maka Syaikh pun membuat sebuah bab
tersendiri, semoga Allah merahmati beliau. Hal itu beliau lakukan
dalam rangka menjelaskan bahwasanya sabar termasuk bagian
dari kesempurnaan tauhid. Sabar termasuk kewajiban yang harus
ditunaikan oleh hamba, sehingga ia pun bersabar menanggung
ketentuan takdir Allah. Ungkapan rasa marah dan tak mau sabar
itulah yang banyak muncul dalam diri orang-orang tatkala mereka
mendapatkan ujian berupa ditimpakannya musibah. Dengan
alasan itulah beliau membuat bab ini, untuk menerangkan bahwa
sabar adalah hal yang wajib dilakukan tatkala tertimpa takdir yang
terasa menyakitkan. Dengan hal itu beliau juga ingin memberikan
penegasan bahwa bersabar dalam rangka menjalankan ketaatan
dan meninggalkan kemaksiatan hukumnya juga wajib.
Secara bahasa sabar artinya tertahan. Orang Arab
mengatakan, “Qutila fulan shabran” (artinya si Fulan dibunuh
dalam keadaan “shabr”) yaitu tatkala dia berada dalam tahanan
atau sedang diikat lalu dibunuh, tanpa ada perlawanan atau
peperangan. Dan demikianlah inti makna kesabaran yang dipakai
dalam pengertian syar’i. Ia disebut sebagai sabar karena di
dalamnya terkandung penahanan lisan untuk tidak berkeluh
kesah, menahan hati untuk tidak merasa marah dan menahan
anggota badan untuk tidak mengekspresikan kemarahan dalam
bentuk menampar-nampar pipi, merobek-robek kain dan
semacamnya. Maka menurut istilah syariat, sabar
artinya: “Menahan lisan dari mengeluh, menahan hati dari marah
dan menahan anggota badan dari menampakkan kemarahan
dengan cara merobek-robek sesuatu dan tindakan lain
semacamnya.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Di dalam Al Quran kata
sabar disebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian
iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang
yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan ketaatan, tidak
punya kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar
tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan
banyak sekali bagian keimanan.”
Perkataan beliau “Bab Minal imaan, ash shabru ‘ala
aqdaarillah” artinya: Salah satu ciri karakteristik iman kepada
Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah.
Keimanan itu mempunyai cabang-cabang. Sebagaimana
kekufuran juga bercabang-cabang. Maka dengan
perkataan“Minal imaan ash shabru” beliau ingin memberikan
penegasan bahwa sabar termasuk salah satu cabang keimanan.
Beliau juga memberikan penegasan melalui sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim yang menunjukkan
bahwa niyaahah (meratapi mayat) itu juga termasuk salah satu
cabang kekufuran. Sehingga setiap cabang kekafiran itu harus
dihadapi dengan cabang keimanan. Meratapi mayat adalah
sebuah cabang kekafiran maka dia harus dihadapi dengan
sebuah cabang keimanan yaitu bersabar terhadap takdir Allah
yang terasa menyakitkan.” (At Tamhiid, hal. 389-391).
Ridha Terhadap Musibah Melahirkan Hidayah
Allah ta’ala berfirman yang artinya,
ِ ‫اب مِن مُّصِ ي َب ٍة ِإاَّل بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ َو َمن يُْؤ مِن ِباهَّلل‬
َ ‫ص‬َ ‫ َما َأ‬‫َي ْه ِد َق ْل َب ُه َوهَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِي ٌم‬
“Tidaklah ada sebuah musibah yang menimpa kecuali dengan
izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah
(bersabar) niscaya Allah akan memberikan hidayah kepada
hatinya. Allahlah yang maha mengetahui segala sesuatu.” (QS At
Taghaabun: 11)
Syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Qar’awi mengatakan, “Di
dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menginformasikan
bahwa seluruh musibah yang menimpa seorang individu di antara
umat manusia, baik yang terkait dengan dirinya, hartanya atau
yang lainnya hanya bisa terjadi dengan sebab takdir dari Allah.
Sedangkan ketetapan takdir Allah itu pasti terlaksana tidak bisa
dielakkan. Allah juga menyinggung barang siapa yang tulus
mengakui bahwa musibah ini terjadi dengan ketetapan dan takdir
Allah niscaya Allah akan memberikan taufik kepadanya sehingga
mampu untuk merasa ridho dan bersikap tenang tatkala
menghadapinya karena yakin terhadap kebijaksanaan Allah.
Sebab Allah itu maha mengetahui segala hal yang dapat
membuat hamba-hambaNya menjadi baik. Dia juga maha lembut
lagi maha penyayang terhadap mereka.” (Al Jadiid, hal. 313).
Alqamah, salah seorang pembesar tabi’in, mengatakan, “Ayat ini
berbicara tentang seorang lelaki yang tertimpa musibah dan dia
menyadari bahwa musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia
pun merasa ridho dan bersikap pasrah kepada-Nya.”
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
ta’ala mengatakan dalam penjelasannya tentang perkataan
Alqamah ini:
“Ini merupakan tafsir dari Alqamah -salah seorang tabi’in (murid
sahabat)- terhadap ayat ini. Ini merupakan penafsiran yang benar
dan lurus. Hal itu disebabkan firman-Nya, ‘Barangsiapa yang
beriman kepada Allah niscaya Allah akan memberikan hidayah
ke dalam hatinya,’ disebutkan dalam konteks ditimpakannya
musibah sebagai ujian bagi hamba. ‘Barangsiapa yang beriman
kepada Allah,’ artinya ia mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dan
melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-
Nya. ‘Niscaya Allah akan memberikan hidayah ke dalam
hatinya,’ yakni supaya bersabar. ‘Allah akan memberikan hidayah
ke dalam hatinya’ supaya tidak merasa marah dan tidak
terima. ‘Allah akan memberikan hidayah ke dalam hatinya,’ yakni
untuk menunaikan berbagai macam ibadah. Oleh sebab itulah
beliau (Alqamah) berkata, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan karena dia menyadari bahwa
musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridho
dan bersikap pasrah kepada-Nya.’ Inilah kandungan iman kepada
Allah; ridho dan pasrah kepada Allah.” (At Tamhiid, hal. 391-392).
Dari ayat di atas kita dapat memetik banyak pelajaran berharga,
di antaranya adalah:
1. Keburukan itu juga termasuk perkara yang sudah ditakdirkan
ada oleh Allah, sebagaimana halnya kebaikan.
2. Penjelasan agungnya nikmat iman. Iman itulah yang menjadi
sebab hati dapat meraih hidayah dan merasakan
ketenteraman diri.
3. Penjelasan tentang ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu.
4. Balasan suatu kebaikan adalah kebaikan lain sesudahnya.
5. Hidayah taufik merupakan hak prerogatif Allah ta’ala.
(Al Jadiid, hal. 314).
Hukum Merasa Ridho Terhadap Musibah
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah ta’ala
menjelaskan:
“Hukum merasa ridha dengan adanya musibah adalah mustahab
(sunnah), bukan wajib. Oleh karenanya banyak orang yang
kesulitan membedakan antara ridho dengan sabar. Sedangkan
kesimpulan yang pas untuk itu adalah sebagai berikut. Bersabar
menghadapi musibah hukumnya wajib, dia adalah salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Hal itu dikarenakan di dalam
sabar terkandung meninggalkan sikap marah dan tidak terima
terhadap ketetapan dan takdir Allah. Adapun ridho memiliki dua
sudut pandang yang berlainan:
Sudut pandang pertama, terarah kepada perbuatan Allah jalla wa
‘ala. Seorang hamba merasa ridho terhadap perbuatan Allah
yang menetapkan terjadinya segala sesuatu. Dia merasa ridho
dan puas dengan perbuatan Allah. Dia merasa puas dengan
hikmah dan kebijaksanaan Allah. Dia merasa ridho terhadap
pembagian jatah yang didapatkannya dari Allah jalla wa ‘ala.
Rasa ridho terhadap perbuatan Allah ini termasuk salah satu
kewajiban yang harus ditunaikan. Meninggalkan perasaan itu
hukumnya haram dan menafikan kesempurnaan tauhid (yang
harus ada).
Sudut pandang kedua, terarah kepada kejadian yang diputuskan,
yaitu terhadap musibah itu sendiri. Maka hukum merasa ridho
terhadapnya adalah mustahab. Bukan kewajiban atas hamba
untuk merasa ridho dengan sakit yang dideritanya. Bukan
kewajiban atas hamba untuk merasa ridho dengan sebab
kehilangan anaknya. Bukan kewajiban atas hamba untuk merasa
ridho dengan sebab kehilangan hartanya. Namun hal ini
hukumnya mustahab (disunahkan).
Oleh sebab itu dalam konteks tersebut (ridho yang hukumnya
wajib) Alqamah mengatakan, ‘Ayat ini berbicara tentang seorang
lelaki yang tertimpa musibah dan dia menyadari bahwa musibah
itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha’ yakni
merasa puas terhadap ketetapan Allah ‘dan ia bersikap
pasrah’ karena ia mengetahui musibah itu datangnya dari sisi
(perbuatan) Allah jalla jalaaluhu. Inilah salah satu ciri keimanan.”
(At Tamhiid, hal. 392-393).
Hikmah yang Tersimpan di Balik Musibah yang Disegerakan
Dari Anas, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
hamba-Nya, maka Allah segerakan hukuman atas dosanya di
dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan pada hamba-
Nya maka Allah tahan hukuman atas dosanya itu sampai
dibayarkan di saat hari kiamat.” (Hadits riwayat At Tirmidzi
dengan nomor 2396 di dalam Az Zuhud. Bab tentang kesabaran
menghadapi musibah. Beliau mengatakan: hadits ini hasan
gharib. Ia juga diriwayatkan oleh Al Haakim dalam Al
Mustadrak (1/349, 4/376 dan 377). Ia tercantum dalam Ash
Shahihah karya Al Albani dengan nomor 1220).
Syaikhul Islam mengatakan:
“Datangnya musibah-musibah itu adalah nikmat, Karena ia
menjadi sebab dihapuskannya dosa-dosa. Ia juga menuntut
kesabaran sehingga orang yang tertimpanya justru diberi pahala.
Musibah itulah yang melahirkan sikap kembali taat dan
merendahkan diri di hadapan Allah ta’ala serta memalingkan
ketergantungan hatinya dari sesama makhluk, dan berbagai
maslahat agung lainnya yang muncul karenanya. Musibah itu
sendiri dijadikan oleh Allah sebagai sebab penghapus dosa dan
kesalahan. Bahkan ini termasuk nikmat yang paling agung. Maka
seluruh musibah pada hakikatnya merupakan rahmat dan nikmat
bagi keseluruhan makhluk, kecuali apabila musibah itu
menyebabkan orang yang tertimpa musibah menjadi terjerumus
dalam kemaksiatan yang lebih besar daripada maksiat yang
dilakukannya sebelum tertimpa. Apabila itu yang terjadi maka ia
menjadi keburukan baginya, bila ditilik dari sudut pandang
musibah yang menimpa agamanya.
Sesungguhnya ada di antara orang-orang yang apabila mendapat
ujian dengan kemiskinan, sakit atau terluka justru menyebabkan
munculnya sikap munafik dan protes dalam dirinya, atau bahkan
penyakit hati, kekufuran yang jelas, meninggalkan sebagian
kewajiban yang dibebankan padanya dan malah berkubang
dengan berbagai hal yang diharamkan sehingga berakibat
semakin membahayakan agamanya. Maka bagi orang semacam
ini kesehatan lebih baik baginya. Hal ini bila ditilik dari sisi
dampak yang timbul setelah dia mengalami musibah, bukan dari
sisi musibahnya itu sendiri. Sebagaimana halnya orang yang
dengan musibahnya bisa melahirkan sikap sabar dan tunduk
melaksanakan ketaatan, maka musibah yang menimpa orang
semacam ini sebenarnya adalah nikmat diniyah. Musibah itu
sendiri terjadi sesuai dengan ketetapan Robb ‘azza wa jalla
sekaligus sebagai rahmat untuk manusia, dan Allah ta’ala Maha
terpuji karena perbuatan-Nya tersebut. Barang siapa yang diuji
dengan suatu musibah lantas diberikan karunia kesabaran oleh
Allah maka sabar itulah nikmat bagi agamanya. Setelah dosanya
terhapus karenanya maka muncullah sesudahnya rahmat (kasih
sayang dari Allah). Dan apabila dia memuji Robbnya
atas musibah yang menimpanya niscaya dia juga akan
memperoleh pujian-Nya.
‫ون‬ َ ‫ات مِّن رَّ ب ِِّه ْم َو َرحْ َم ٌة َوُأو َل‬
َ ‫ـِئك ُه ُم ْال ُم ْه َت ُد‬ ٌ ‫ص َل َو‬ َ ‫ُأو َل‬
َ ‫ـِئك َع َلي ِْه ْم‬
“Mereka itulah orang-orang yang diberikan pujian (shalawat) dari
Rabb mereka dan memperoleh curahan rahmat.” (QS. Al
Baqoroh: 157)
Ampunan dari Allah atas dosa-dosanya juga akan didapatkan,
begitu pula derajatnya pun akan terangkat. Barang siapa yang
merealisasikan sabar yang hukumnya wajib ini niscaya dia akan
memperoleh balasan-balasan tersebut.” Selesai perkataan
Syaikhul Islam dengan ringkas (lihat Fathul Majiid, hal. 353-354).
Dari hadits di atas kita dapat memetik beberapa pelajaran
berharga, yaitu:
1. Penetapan bahwa Allah memiliki sifat Iradah (berkehendak),
tentunya yang sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-
Nya.
2. Kebaikan dan keburukan sama-sama telah ditakdirkan dari
Allah ta’ala.
3. Musibah yang menimpa orang mukmin termasuk tanda
kebaikan. Selama hal itu tidak menimbulkan dirinya
meninggalkan kewajiban atau melakukan yang diharamkan.
4. Hendaknya kita merasa takut dan waspada terhadap nikmat
dan kesehatan yang selama ini senantiasa kita rasakan.
5. Wajib berprasangka baik kepada Allah atas ketetapan takdir
tidak mengenakkan yang telah diputuskan-Nya terjadi pada
diri kita.
6. Pemberian Allah kepada seseorang bukanlah mesti berarti
Allah meridhoi orang tersebut.
(Al Jadiid, hal. 320 dengan sedikit penyesuaian redaksional).
Balasan Bagi Orang-Orang Yang Sabar
Allah ta’ala berfirman,
َّ ‫ت َو َب ِّش ِر‬ َّ ‫س َو‬ ‫ص م َِّن ْاَألم َْو ِ َأل‬ ٍ ‫ُوع َو َن ْق‬ ‫َو َل َن ْبلُ َو َّن ُك ْم ِب َشيْ ٍء م َِن ْال َخ ْوفِ َو ْالج‬
{ ‫ين‬ َ ‫ ِاب ِر‬b ‫الص‬ bِ ‫الث َم َرا‬ ِ ُ‫ال َو ْا نف‬ ِ
ُُ ‫ َل َو‬b‫ص‬
‫ات‬ َ ‫ك َع َلي ِْه ْم‬َ ‫} ُأ ْوآلِئ‬156{ ‫ون‬bُ َ ‫ ِه َرا ِجع‬bْ‫هلل َوِإ َّنآ ِإ َلي‬ َ ‫ِين ِإ َذآ َأ‬
ِ ‫صا َب ْتهُم مُّصِ ي َب ٌة َقالُوا ِإ َّنا‬ َ ‫} الَّذ‬155
‫ون‬ َ ‫مِّن رَّ ب ِِّه ْم َو َرحْ َم ٌة َوُأ ْو‬
َ ‫آلِئك ُه ُم ْال ُم ْه َت ُد‬
“Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut,
kelaparan serta kekurangan harta benda, jiwa, dan buah-buahan.
Maka berikanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.
Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka
mengatakan, ‘Sesungguhnya kami ini berasal dari Allah, dan
kami juga akan kembali kepada-Nya.’ Mereka itulah orang-orang
yang akan mendapatkan ucapan sholawat (pujian) dari Tuhan
mereka, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh
hidayah.” (QS Al Baqoroh: 155-157)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di
dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa
yang tidak bersabar maka dia berhak menerima lawan darinya,
berupa celaan dari Allah, siksaan, kesesatan serta kerugian.
Betapa jauhnya perbedaan antara kedua golongan ini. Betapa
kecilnya keletihan yang ditanggung oleh orang-orang yang sabar
bila dibandingkan dengan besarnya penderitaan yang harus
ditanggung oleh orang-orang yang protes dan tidak bersabar…”
(Taisir Karimir Rahman, hal. 76).
Allah ta’ala juga berfirman,
ٍ ‫ُون َأجْ َرهُم ِب َغي ِْر ح َِسا‬
‫ب‬ َ ‫َّابر‬ِ ‫ِإ َّن َما ي َُو َّفى الص‬
“Sesungguhnya balasan pahala bagi orang-orang yang sabar
adalah tidak terbatas.” (QS. Az Zumar: 10)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata di
dalam kitab tafsirnya, “Ayat ini berlaku umum untuk semua jenis
kesabaran. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa
menyakitkan, yaitu hamba tidak merasa marah karenanya. Sabar
dari kemaksiatan kepada-Nya, yaitu dengan cara tidak berkubang
di dalamnya. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada-
Nya, sehingga dia pun merasa lapang dalam melakukannya.
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang sabar pahala untuk
mereka yang tanpa hitungan, artinya tanpa batasan tertentu
maupun angka tertentu ataupun ukuran tertentu. Dan hal itu
tidaklah bisa diraih kecuali disebabkan karena begitu besarnya
keutamaan sifat sabar dan agungnya kedudukan sabar di sisi
Allah, dan menunjukkan pula bahwa Allahlah penolong segala
urusan.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 721).
Semoga Allah memasukkan kita di kalangan hamba-hambaNya
yang sabar.
Wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Muslih Ari Wahyudi (Staf Pengajar Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ustadz Abu Saad

Sombong vs Tawadhu

Sifat sombong adalah sesuatu yang sangat tercela. Karena Al


Qur’an dan As Sunah mencelanya dan mengajak kita untuk
meninggalkannya. Bahkan orang yang mempunyai sifat ini
diancam tidak masuk ke dalam surga. Sebaliknya, di dalam Al
Qur’an Allah memuji hamba-hamba-Nya yang rendah hati dan
tawadhu’ kepada sesama. Allah ta’ala berfirman,
ِ ْ‫ون َع َلى اَأْلر‬
َ ُ‫ض َه ْو ًنا َوِإ َذا َخا َط َب ُه ُم ْال َجا ِهل‬
‫ون َقالُوا َساَل مًا‬ َ ‫ش‬ َ ‫َوعِ َبا ُد الرَّ حْ َم ِن الَّذ‬
ُ ْ‫ِين َيم‬
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang
yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
yang baik.” (QS. Al Furqaan: 63)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اس‬ِ ‫ط ال َّن‬ ُ ْ‫ْال ِك ْب ُر َب َط ُر ْال َح ِّق َوغَم‬
“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
manusia.” (HR. Muslim)
Celaan Terhadap Kesombongan dan Pelakunya
Allah ta’ala berfirman,
َ ‫ِإ َّن ُه اَل ُيحِبُّ ْالمُسْ َت ْك ِب ِر‬
‫ين‬
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Allah ta’ala juga berfirman,
‫ض َواَل َف َسا ًدا‬ ِ ْ‫ون ُعلُ ًّوا فِي اَأْلر‬ َ ‫ك ال َّدا ُر اَآْلخ َِرةُ َنجْ َعلُ َها لِلَّذ‬
َ ‫ِين اَل ي ُِري ُد‬ َ ‫ت ِْل‬
“Itulah negeri akhirat yang Kami sediakan bagi orang-orang yang
tidak berambisi untuk menyombongkan diri di atas muka bumi
dan menebarkan kerusakan.” (QS. Al Qashash: 83)
Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling
buruk adalah orang yang menyombongkan diri kepada manusia
dengan ilmunya, dia merasa hebat dengan kemuliaan yang dia
miliki. Orang semacam ini tidaklah bermanfaat ilmunya untuk
dirinya. Karena barang siapa yang menuntut ilmu demi akhirat
maka ilmunya itu akan membuatnya rendah hati dan
menumbuhkan kehusyu’an hati serta ketenangan jiwa. Dia akan
terus mengawasi dirinya dan tidak bosan untuk terus
memperhatikannya. Bahkan di setiap saat dia selalu
berintrospeksi diri dan meluruskannya. Apabila dia lalai dari hal
itu, dia pasti akan terlempar keluar dari jalan yang lurus dan
binasa. Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga-
banggaan dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum
muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan
merendahkan mereka, sungguh ini tergolongkesombongan yang
paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya
sekecil dzarrah (anak semut), la haula wa la quwwata illa billah.”
(lihat Al Kaba’ir ma’a Syarh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 75-76 cet. Darul
Kutub ‘Ilmiyah. Sayangnya di dalam kitab ini saya menemukan
kesalahan cetak, seperti ketika menyebutkan ayat dalam surat An
Nahl di atas, di sana tertulis An Nahl ayat 27 padahal yang benar
ayat 23. Wallahul muwaffiq)
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda
kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba
semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap
tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya
maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya.
Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah
ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka
bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu
sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan
posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan
berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta
bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin
bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan
kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka
bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan
manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri.
Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah
ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia
semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali
meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah
kesombongan dan kecongkakan dirinya. Ini semua adalah ujian
dan cobaan dari Allah untuk menguji hamba-hamba-Nya.
Sehingga akan berbahagialah sebagian kelompok, dan sebagian
kelompok yang lain akan binasa. Begitu pula halnya dengan
kemuliaan-kemuliaan yang ada seperti kekuasaan, pemerintahan,
dan harta benda. Allah ta’ala meceritakan ucapan Sulaiman
tatkala melihat singgasana Ratu Balqis sudah berada di sisinya,
‫َه َذا ِمنْ َفضْ ِل َربِّي لِ َي ْبلُ َونِي َأَأ ْش ُك ُر َأ ْم َأ ْكفُ ُر‬
“Ini adalah karunia dari Rabb-ku untuk menguji diriku. Apakah
aku bisa bersyukur ataukah justru kufur.” (QS. An Naml: 40).”
Kembali beliau memaparkan, “Maka pada hakikatnya berbagai
kenikmatan itu adalah cobaan dan ujian dari Allah yang dengan
hal itu akan tampak bukti syukur orang yang pandai berterima
kasih dengan bukti kekufuran dari orang yang suka mengingkari
nikmat. Sebagaimana halnya berbagai bentuk musibah juga
menjadi cobaan yang ditimpakan dari-Nya Yang Maha Suci. Itu
artinya Allah menguji dengan berbagai bentuk kenikmatan,
sebagaimana Allah juga menguji manusia dengan berbagai
musibah yang menimpanya. Allah ta’ala berfirman,
‫ ِه‬bْ‫د ََر َع َلي‬b‫ا ا ْب َتاَل هُ َف َق‬b‫ َوَأمَّا ِإ َذا َم‬. ‫ر َم ِن‬b
َ ‫َفَأمَّا اِإْل ْن َسانُ ِإ َذا َما ا ْب َتاَل هُ َر ُّب ُه َفَأ ْك َر َم ُه َو َن َّع َم ُه َف َيقُو ُل َربِّي َأ ْك‬
‫ َكاَّل‬. ‫… ِر ْز َق ُه َف َيقُو ُل َربِّي َأ َها َن ِن‬
“Adapun manusia, apabila Rabbnya mengujinya dengan
memuliakan kedudukannya dan mencurahkan nikmat (dunia)
kepadanya maka dia pun mengatakan, ‘Rabbku telah
memuliakan diriku.’ Dan apabila Rabbnya mengujinya dengan
menyempitkan rezkinya ia pun berkata, ‘Rabbku telah
menghinakan aku.’ Sekali-kali bukanlah demikian…” (QS. Al Fajr :
15-17)
Artinya tidaklah setiap orang yang Aku lapangkan (rezekinya) dan
Aku muliakan kedudukan (dunia)-nya serta Kucurahkan nikmat
(duniawi) kepadanya adalah pasti orang yang Aku muliakan di
sisi-Ku. Dan tidaklah setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya
dan Aku timpakan musibah kepadanya itu berarti Aku
menghinakan dirinya.” (Al Fawa’id, hal. 149)
Ketawadhu’an ‘Umar bin Al Khaththab radhiyallahu’anhu
Disebutkan di dalam Al Mudawwanah Al Kubra, “Ibnul Qasim
mengatakan, Aku pernah mendengar Malik membawakan sebuah
kisah bahwa pada suatu ketika di masa kekhalifahan Abu Bakar
ada seorang lelaki yang bermimpi bahwa ketika itu hari kiamat
telah terjadi dan seluruh umat manusia dikumpulkan. Di dalam
mimpi itu dia menyaksikan Umar mendapatkan ketinggian dan
kemuliaan derajat yang lebih di antara manusia yang lain. Dia
mengatakan: Kemudian aku berkata di dalam mimpiku, ‘Karena
faktor apakah Umar bin Al Khaththab bisa mengungguli orang-
orang yang lain?” Dia berkata: Lantas ada yang berujar
kepadaku, ‘Dengan sebab kedudukannya sebagai khalifah dan
orang yang mati syahid, dan dia juga tidak pernah merasa takut
kepada celaan siapapun selama dirinya tegak berada di atas
jalan Allah.’ Pada keesokan harinya, laki-laki itu datang dan
ternyata di situ ada Abu Bakar dan Umar sedang duduk bersama.
Maka dia pun mengisahkan isi mimpinya itu kepada mereka
berdua. Ketika dia selesai bercerita maka Umar pun menghardik
orang itu seraya berkata kepadanya, “Pergilah kamu, itu hanyalah
mimpi orang tidur!” Lelaki itupun bangkit meninggalkan tempat
tersebut. Ketika Abu Bakar telah wafat dan Umar memegang
urusan pemerintahan, maka beliau pun mengutus orang untuk
memanggil si lelaki itu. Kemudian Umar berkata kepadanya,
“Ulangi kisah mimpi yang pernah kamu ceritakan dahulu.” Lelaki
itu menjawab, “Bukankah anda telah menolak cerita saya
dahulu?!” Umar mengatakan, “Tidakkah kamu merasa malu
menyebutkan keutamaan diriku di tengah-tengah majelis Abu
Bakar sementara pada saat itu dia sedang duduk di tempat itu?!”
Syaikh Abdul Aziz As Sadhan mengatakan, “Umar radhiyallahu
‘anhu tidak merasa ridha keutamaan dirinya disebutkan
sementara di saat itu Ash Shiddiq (Abu Bakar) -dan Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu jelas lebih utama dari beliau- hadir
mendengarkan kisah itu. walaupun sebenarnya dia tidak perlu
merasa berat ataupun bersalah mendengarkan hal itu, akan tetapi
inilah salah satu bukti kerendahan hati beliau radhiyallahu ‘anhu.”
(lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 103-104)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi wa sallam.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh

Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala


alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup
foya-foya, masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka
mengatakan, “Kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan
mati masuk surga.” Inilah guyonan sebagian pemuda. Bagaimana
mungkin waktu muda foya-foya, tanpa amalan sholeh, lalu mati
bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita katakan sangatlah
mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan tidak
mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui
risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka
dapat memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya.
Hanya pada Allah-lah tempat kami bersandar dan berserah diri.

Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati
seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar
12 tahun) yaitu Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in
An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu
bersabda,
‫ َأ ْو َع ِاب ُر َس ِبي ٍْل‬, ٌ‫ك َغ ِريْب‬ َ ‫ُكنْ فِي ال ُّد ْن َيا َكَأ َّن‬
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing
atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang
asing (al ghorib) yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat
tinggal. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan lebih lagi yaitu memisalkan dengan
pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri asing. Hal ini
berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju
negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan
ditemui tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang
pasir yang menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang
seperti ini tidaklah tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap
mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan
dalam hadits ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah
akhirat. Jadi, hadits ini mengingatkan kita dengan kematian
sehingga kita jangan berpanjang angan-angan. Hadits ini juga
mengingatkan kita supaya mempersiapkan diri untuk negeri
akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫اح َو َت َر َك َها‬َ ‫ت َش َج َر ٍة ُث َّم َر‬
َ ْ‫ب اسْ َت َظ َّل َتح‬ ٍ ‫َما لِى َو َما لِل ُّد ْن َيا َما َأ َنا فِى ال ُّد ْن َيا ِإالَّ َك َرا ِك‬
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia
melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan
beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR.
Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah
kepada kita,
‫ا ِء‬bb‫وا ِمنْ َأ ْب َن‬bb‫ َف ُكو ُن‬، ‫ون‬b ً b‫ت اآلخ َِرةُ ُم ْق ِب َل‬
َ b‫ا َب ُن‬bb‫ َد ٍة ِم ْن ُه َم‬b‫ ِّل َوا ِح‬b‫ َولِ ُك‬، ‫ة‬b ِ ‫ َوارْ َت َح َل‬، ‫ت ال ُّد ْن َيا م ُْد ِب َر ًة‬
ِ ‫ارْ َت َح َل‬
‫ َو َغ ًدا ِح َسابٌ َوالَ َع َم َل‬، ‫اب‬ َ ‫ َفِإنَّ ْال َي ْو َم َع َم ٌل َوالَ ِح َس‬، ‫ َوالَ َت ُكو ُنوا ِمنْ َأ ْب َنا ِء ال ُّد ْن َيا‬، ‫اآلخ َِر ِة‬
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan
mendekat. Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah
anak-anak akhirat dan janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari
ini (di dunia) adalah hari beramal dan bukanlah hari perhitungan
(hisab), sedangkan besok (di akhirat) adalah hari perhitungan
(hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq
–tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari
Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ك‬b َ b‫اغ‬َ ‫ك َو َف َر‬ َ ‫ر‬bِ b‫ َل َف ْق‬b‫ك َق ْب‬َ ‫ك َو غِ َنا‬ َ ‫ك َق ْب َل َس َق ِم‬
َ ‫ِك َو صِ حَّ َت‬ َ ‫ك َق ْب َل َه َرم‬ ٍ ‫ا ِْغ َت ِن ْم َخمْ سًا َق ْب َل َخ‬
َ ‫ َش َبا َب‬: ‫مْس‬
‫ك‬ َ ‫ك َق ْب َل َم ْو ِت‬
َ ‫ك َو َح َيا َت‬ َ ِ‫َق ْب َل َش ْغل‬
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu
mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu
sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum
datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang
masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.”(HR.
Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy
dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini
dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash
Shogir)
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya:
“Lakukanlah ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal
(yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya:
“Beramallah di waktu sehat, sebelum datang waktu yang
menghalangi untuk beramal seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya:
“Manfaatklah kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum
datang waktu sibukmu di akhirat nanti. Dan awal kehidupan
akhirat adalah di alam kubur.”
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya:
“Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang
bencana yang dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya
engkau menjadi fakir di dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah
sesuatu yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena
siapa pun yang mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan,
‫الخ ْم َس ُة اَل َيعْ ِرفُ َق ْد َر َها ِإالَّ َبعْ َد َز َوالِ َها‬
َ ‫َف ِه ِذ ِه‬
“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya
dan waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul
mengetahui nilainya setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir
Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)
Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi
nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi
kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu
semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada
di usia senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya
jika seseorang hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk
Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat
diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang
terdapat buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis
salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung
dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman,
tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun
berfirman,
‫وا‬bbُ‫وا َو َع ِمل‬bb‫ِين َآ َم ُن‬َ ‫) ِإاَّل الَّذ‬5( ‫ِين‬ َ ‫افِل‬b‫ َف َل َس‬b‫اهُ َأ ْس‬bb‫) ُث َّم َردَ ْد َن‬4( ‫و ٍيم‬b
ِ b‫ ِن َت ْق‬b‫ان فِي َأحْ َس‬
َ b‫ا اِإْل ْن َس‬bb‫َل َق ْد َخ َل ْق َن‬
ٍ ‫ت َف َل ُه ْم َأجْ ٌر َغ ْي ُر َممْ ُن‬
‫ون‬ ِ ‫الصَّال َِحا‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya,” ada empat pendapat. Di
antara pendapat tersebut adalah “Kami telah menciptakan
manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda
yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini
dipilh oleh ‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-
rendahnya.” Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah,
juga Adh Dhohak, yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini
adalah “dikembalikan ke masa tua renta setelah berada di usia
muda, atau dikembalikan di masa-masa tidak semangat untuk
beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat untuk
beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal.
Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua.
Masa kecil dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal,
berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia
senja dan pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan
dicatat untuknya pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan
pada saat muda. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah
(yang artinya): bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya),
“Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang
yang beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat)
untuk beramal, maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah
berkurang amalan mereka, walaupun mereka tidak mampu
melakukan amalan ketaatan di saat usia senja. Karena Allah
Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih diberi
kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak
akan berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar
beramal di waktu mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi
ganjaran sebagaimana di waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir,
9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
‫ق‬b َ ‫ف قُ َّو ًة ُث َّم َج َع َل مِن َبعْ ِد قُوَّ ٍة‬
ُ bُ‫ ْي َب ًة َي ْخل‬b‫ضعْ فا ً َو َش‬ َ ‫ف ُث َّم َج َع َل مِن َبعْ ِد‬
ٍ ْ‫ضع‬ َ ‫هَّللا ُ الَّذِي َخ َل َق ُكم مِّن‬
ٍ ْ‫ضع‬
‫َما َي َشا ُء َوه َُو ْال َعلِي ُم ْال َقدِي ُر‬
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,
kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu
menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu
lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala
menceritakan mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap.
Awalnya adalah dari tanah, lalu berpindah ke fase nutfah, beralih
ke fase ‘alaqoh (segumpal darah), lalu ke fase mudh-goh
(segumpal daging), lalu berubah menjadi tulang yang dibalut
daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia keluar dari
perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu kuat.
Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga
menjadi seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi
seorang pemuda, remaja. Inilah fase kekuatan setelah
sebelumnya berada dalam keadaan lemah. Lalu setelah itu, dia
menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun). Setelah itu dia akan
melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh uban. Inilah fase
lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada fase
inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini
berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan
(kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir
Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh
karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah
disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah
katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
، ‫فرهم‬bb‫ر س‬bb‫ك بهم إلى آخ‬bb‫تى ينتهي ذل‬bb‫إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة ح‬
‫ريب‬bb‫فر عن ق‬bb‫اع الس‬bb‫ فإن انقط‬، ‫فإن استطعت أن تـُـق ِّدم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها فافعل‬
‫ك‬bb‫ فكأن‬، ‫رك‬bb‫اض من أم‬bb‫ا أنت ق‬bb‫ واقض م‬، ‫فرك‬bb‫تزوّ د لس‬bb‫ ف‬، ‫ك‬bb‫ل من ذل‬bb‫ر أعج‬bb‫ واألم‬، ‫ما هو‬
‫باألمر قد َب َغـتـَـك‬
Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan
manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika
engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat
persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar boleh jadi
dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada
itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat).
Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian itu
datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh
Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan
Nabi Syu’aib,
ُ‫ت َوِإ َل ْي ِه ُأنِيب‬ ُ ْ‫ِإنْ ُأ ِري ُد ِإاَّل اِإْلصْ اَل َح َما اسْ َت َطع‬
ُ ‫ت َو َما َت ْوفِيقِي ِإاَّل ِباهَّلل ِ َع َل ْي ِه َت َو َّك ْل‬
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama
aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku
melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud
[11]: 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang
membaca risalah ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah
kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa
shohbihi wa sallam.
Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
Adab Bertamu dan Memuliakan Tamu

Pembaca muslim yang dimuliakan oleh Allah ta’ala, seorang


muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir akan
mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan
menempatkannya sesuai dengan kedudukannya. Hal ini
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
َ ‫هلل َو ْال َي ْو ِم ْاألخ ِِر َف ْل ُي ْك ِر ْم‬
‫ض ْي َف ُه‬ َ ‫َمنْ َك‬
ِ ‫ان يُْؤ مِنُ ِبا‬
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka
hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)

Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan


bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu
adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab Bagi Tuan Rumah
1. Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang
orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-
mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ٌّ‫والَ َيْأ ُك ُل َط َعا َمك َِإالَّ َتقِي‬,‫ا‬ َ ‫صا ِحبْ ِإالَّ مُْؤ ِم ًن‬ َ ‫الَ ُت‬
“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang
mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang
yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2. Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja,
tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ك ْالفُ َق َرا ُء‬ ُ ‫ َو ُي ْت َر‬، ‫الط َع ِام َط َعا ُم ْال َولِي َم ِة ي ُْد َعى َل َها اَأل ْغ ِن َيا ُء‬
َّ ُّ‫َشر‬
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-
orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya
ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan
memberatkannya kalau diundang.
4. Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu
sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda,
‫ِين َجاءُوا َغي َْر َخ َزا َيا َوالَ َندَا َمى‬ َ ‫َمرْ َحبًا ِب ْال َو ْف ِد الَّذ‬
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa
terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5. Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu
makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik
mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala
telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam bersama tamu-tamunya:
‫ َف َقرَّ َب ُه ِإ َلي ِْه ْم َقا َل آالَ َتْأ ُكلُ ْو َن‬. ‫ْن‬
ٍ ‫لى َأهْ لِ ِه َف َجا َء ِب ِعجْ ٍل َس ِمي‬ َ ‫َف َر‬
َ ‫اغ ِإ‬
“Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging
anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut
pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah
kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah
dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum
beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar
“Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau
dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk
memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang
sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan
tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih
muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ْس ِم َّنا‬َ ‫ص ِغي َْر َنا َو ُي ِج َّل َك ِبي َْر َنا َف َلي‬
َ ‫َمنْ َل ْم َيرْ َح ْم‬
“Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami
serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah
golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits
ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih
tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum
tamu selesai menikmatinya.
11. Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah
mengajak mereka berbincang-bincang dengan pembicaraan yang
menyenangkan, tidak tidur sebelum mereka tidur, tidak
mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis ketika mereka
datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12. Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan
makanan tersebut kepadanya sebagaimana Allah ceritakan
tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
‫َف َقرَّ َب ُه ِإ َلي ِْه ْم‬
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada
mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu
sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
14. Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah
melayani para tamunya dan menampakkan kepada mereka
kebahagiaan serta menghadapi mereka dengan wajah yang ceria
dan berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫اَلُ ْوا‬b ‫ ُه ق‬b‫ ِه َح َّتى يُْؤ ِث َم‬b‫اِئز ُت ُه َي ْو ٌم َو َل َْي َل ٌة َوالَ َي ِح ُّل ل َِرج ٍُل مُسْ ل ٍِم َأنْ يُق ْي َم عِ ْن َد َأ ِخ ْي‬ ‫َأ‬
ٍ ‫ض َيا َف ُة َثالَ َث ُة ي‬
َ ‫َّام َو َج‬ ِّ ‫ال‬
‫ ُيقِ ْي ُم عِ ْن َدهُ َوالَ َش ْيَئ َل ُه ي ْق ِر ْي ِه ِب ِه‬: ‫ْف يُْؤ ِث َمهُ؟ َقا َل‬َ ‫هللا َو َكي‬
ِ ‫ارس ُْو َل‬ َ ‫َي‬
“Menjamu tamu adalah tiga hari, adapun memuliakannya sehari
semalam dan tidak halal bagi seorang muslim tinggal pada
tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat
berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal
bersamanya sedangkan ia tidak mempunyai apa-apa untuk
menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke
depan rumah.
Adab Bagi Tamu
1. Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai
waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang
menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ْ‫َمنْ ُدعِ َى َف ْل ُي ِجب‬
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud
dan Ahmad)
‫هللا َو َرس ُْو َل ُه‬ َ ‫صى‬ َ ‫ك الدَّعْ َـو َة َف َق ْد َع‬ َ ‫َو َمنْ َت َر‬
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan
syarat-syarat berikut:
 Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari
dan dijauhi.
 Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
 Orang yang mengundang adalah muslim.
 Penghasilan orang yang mengundang bukan dari
penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama
menyatakan boleh menghadiri undangan yang
pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang
yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
 Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika
menghadiri undangan tersebut.
 Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang,
baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
3. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada
sesama muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan
bahwa, “Semua amal tergantung niatnya, karena setiap orang
tergantung niatnya.” (HR. Bukhari Muslim)
4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang
setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah
menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana
dijelaskan Allah ta’ala dalam firman-Nya:
‫ ُه َولِكنْ ِإ َذا‬b ‫ـري َْن ِإن‬ ‫َأ‬
ِ ِ‫ت ال َّن ِبي ِِّإالَّ نْ يُْؤ َذ َن َل ُك ْم ِإ َلى َطـ َع ٍام َغي َْر َناظ‬ َ ‫َياََأ ُّي َها الَّ ِذي َْن آ َم ُن ْوا الَ َت ْد ُخـلُ ْوا ُبي ُْـو‬
َ b‫ث َإنَّ ذلِ ُك ْم َك‬
‫ َتحِي‬b ‫ْؤ ذِى ال َّن ِبيَّ َف َي ْس‬bb‫ان ُي‬b ٍ ‫ ِد ْي‬b‫ي َْن ل َِح‬b ‫ُدعِ ْي ُت ْم َف ْاد ُخلُ ْوا َفِإ َذا َط ِعمْ ُت ْم َفا ْن َتشِ ـر ُْوا َوالَ مُسْ َتْئ ن ِِس‬
‫لح ِّق‬َ ‫ِم ْن ُك ْم َوهللاُ الَ َيسْ َتحِي م َِن ْا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan
dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya!
Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai
makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan!
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu,
Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah
tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
5. Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan
untuk menghadiri undangan karena menampakkan kebahagiaan
kepada muslim termasuk bagian ibadah. Puasa tidak
menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ان ُم ْفـطِ رً ا َف ْلي ُْط ِع ْم‬
َ ‫ص ِّل ِوِإنْ َك‬َ ِ ‫صاِئمًا َف ْل ُي‬
َ ‫ان‬ َ ‫إ َذا ُدعِ َى َأ َح ُد ُك ْم َف ْل ُي ِجبْ َفِإنْ َك‬
“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila
ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa,
makanlah!” (HR. Muslim)
6. Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap,
tidak melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak
menolak tempat duduk yang telah disediakan.
7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik
kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
8. Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar
tidak memberatkan tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala
dalam ayat di atas: “Bila kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al
Ahzab: 53)
9. Sebagai tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan
rumah karena hal ini dapat mempererat kasih sayang antara
sesama muslim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah
di antara kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR.
Bukhari)
10. Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak
diundang, ia harus meminta izin kepada tuan rumah dahulu,
sebagaimana hadits riwayat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
‫ا ا ُ ْد ُع‬bb‫ َنعْ لِي َط َعا ًم‬b‫ِص‬ ْ ‫ا َل ا‬bb‫ ا ٌم َف َق‬b‫ ُه ُغالَ ٌم ل َِح‬b‫ان َل‬b َ b‫ َعيْبُ َو َك‬b‫ش‬ ُ ‫و‬bْ b‫ ُه َأ ُب‬bُ‫ا ُل ل‬bb‫ار َرجـ ُ ٌل ُي َق‬ِ ‫ص‬َ ‫ان م َِن ْاَأل ْن‬
َ ‫َك‬
‫ِس‬ َ ‫ ام‬b‫لَّ َم َخ‬b‫ ِه َو َس‬b‫لىَّ هللاُ َع َل ْي‬b‫ص‬ َ ‫هللا‬ِ ‫ ْو َل‬b‫دَ َعا َر ُس‬bb‫ ٍة َف‬b‫ِس َخمْ َس‬ َ ‫ ام‬b‫صلىَّ هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َخ‬
َ ‫هللا‬ِ ‫َرس ُْو َل‬
‫ ٌل‬b‫ذا َر ُج‬bَ b‫ ٍة َوه‬b ‫ِس َخمْ َس‬ َ ‫ك َد َع ْو َت َنا َخام‬ َ ‫صلىَّ هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ َّن‬ ِ ‫َخمْ َس ٍة َف َت ِب َع ُه ْم َر ُج ٌل َف َقا َل َرس ُْو َل‬
َ ‫هللا‬
‫ت َل ُه‬ ُ ‫ت َت َر ْك ُت ُه َقا َل َب ْل َأ ْذ ْن‬
َ ‫ت ْا َذنْ َل ُه َوِإنْ شِ ْئ‬ َ ‫َق ْد َت ِب َع َنا َفِإنْ شِ ْئ‬
“Ada seorang laki-laki di kalangan Anshor yang biasa dipanggil
Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang anak tukang daging.
Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan yang
dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengundang empat orang yang orang
kelimanya adalah beliau. Kemudian, ada seseorang yang
mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang ini
mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana
tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib
berkata, “Aku telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)
11. Seorang tamu hendaknya mendoakan orang yang memberi
hidangan kepadanya setelah selesai mencicipi makanan tersebut
dengan doa:
‫ت َع َل ْي ُك ُم ْال َمالَِئ َك ُة‬
ْ َّ‫صل‬ َ ‫و‬,َ ‫ار‬َ ‫ َوَأ َك َل َط َعا َم ُك ُم ْاَألب َْر‬,‫َأ ْف َط َر عِ ْندَ ُك ُم الصَّاِئم ُْو َن‬
“Orang-orang yang puasa telah berbuka di samping kalian.
Orang-orang yang baik telah memakan makanan kalian. semoga
malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR Abu Daud,
dishahihkan oleh Al Albani)
‫سق َمنْ َس َقانِي‬ ِ ‫ َو ْا‬,‫اَللّهُـ َّم َأ ْط ِع ْم َمنْ َأ ْط َع َمنِي‬
“Ya Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang
memberikan makanan kepadaku dan berikanlah minuman
kepada orang yang telah memberiku minuman.” (HR. Muslim)
‫اركْ َل ُه ْم فِ ْي َما َر َز ْق َت ُه ْم‬ ْ ‫اَللّهُـ َّم‬
ِ ‫اغـفِرْ َل ُه ْم َوارْ َح ْم ُه ْم َو َب‬
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta
berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)
12. Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang
dengan lapang dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia,
dan memaafkan segala kekurangan tuan rumah.
***
Penulis: Abu Sa’id Satria Buana

Miskin Tapi Kaya

Imam As-Syafii rahimahullah berkata :


‫ َوا ُء‬bbbbbbbbbbb‫ ُّد ْن َيا َس‬bbbbbbbbbbb‫ك ال‬ َ ‫َأ ْن‬bbbbbbbbbbb‫ َف‬..… ‫و ٍع‬bbbbbbbbbbb
ُ bbbbbbbbbbbِ‫ت َو َمال‬ ْ ٍ ‫ت َذا َق ْل‬
‫ب َق ُن‬ َ ‫ا ُك ْن‬bbbbbbbbbbb‫ِإ َذا َم‬

Jika engkau memiliki hati yang selalu qona’ah …


maka sesungguhnya engkau sama seperti raja dunia
Sekitar tujuh tahun yang lalu saya berkunjung di kamar seorang
teman saya di Universitas Madinah yang berasal dari negara
Libia, dan kamar tersebut dihuni oleh tiga mahasiswa yang saling
dibatasi dengan sitar (kain) sehingga membagi kamar tersebut
menjadi tiga petak ruangan kecil berukuran sekitar dua kali tiga
meter. Ternyata… ia sekamar dengan seorang mahasiswa yang
berasal dari negeri China yang bernama Ahmad. Beberapa kali
aku dapati ternyata Ahmad sering dikunjungi teman-temannya
para mahasiswa yang lain yang juga berasal dari China. Rupanya
mereka sering makan bersama di kamar Ahmad, sementara
Ahmad tetap setia memasakkan makanan buat mereka. Akupun
tertarik melihat sikap Ahmad yang penuh rendah diri melayani
teman-temannya dengan wajah yang penuh senyum semerbak.
Ahmad adalah seorang mahasiswa yang telah berkeluarga dan
telah dianugerahi seorang anak. Akan tetapi jauhnya ia dari istri
dan anaknya tidaklah menjadikan ia selalu dipenuhi kesedihan…,
hal ini berbeda dengan kondisi sebagian mahasiswa yang selalu
bersedih hati karena memikirkan anak dan istrinya yang jauh ia
tinggalkan.
Suatu saat akupun menginap di kamar temanku tersebut, maka
aku dapati ternyata Ahmad bangun sebelum sholat subuh dan
melaksanakan sholat witir, entah berapa rakaat ia sholat. Tatkala
ia hendak berangkat ke mesjid maka akupun menghampirinya
dan bertanya kepadanya, “Wahai akhi Ahmad, aku lihat engkau
senantiasa ceria dan tersenyum, ada apakah gerangan”, Maka
Ahmadpun dengan serta merta berkata dengan polos, “Wahai
akhi… sesungguhnya Imam As-Syafi’i pernah berkata bahwa
jika hatimu penuh dengan rasa qonaa’h maka sesungguhnya
engkau dan seorang raja di dunia ini sama saja”.
Aku pun tercengang… sungguh perkataan yang indah dari Imam
As-Syafii… rupanya inilah rahasia kenapa Ahmad senantiasa
tersenyum.
Para pembaca yang budiman Qona’ah dalam bahasa kita adalah
“nerimo” dengan apa yang ada. Yaitu sifat menerima semua
keputusan Allah. Jika kita senantiasa merasa nerima dengan apa
yang Allah tentukan buat kita, bahkan kita senantiasa merasa
cukup, maka sesungguhnya apa bedanya kita dengan raja dunia.
Kepuasan yang diperoleh sang raja dengan banyaknya harta juga
kita peroleh dengan harta yang sedikit akan tetapi dengan hati
yang qona’ah.
Bahkan bagitu banyak raja yang kaya raya ternyata tidak
menemukan kepuasan dengan harta yang berlimpah ruah… oleh
karenanya sebenarnya kita katakan “Jika Anda memiliki hati yang
senantiasa qona’ah maka sesungguhnya Anda lebih baik dari
seorang raja di dunia”.
Kalimat qona’ah merupakan perkataan yang ringan di lisan akan
tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Sungguh Imam
As-Syafi’i tatkala mengucapkan bait sya’ir diatas sungguh-
sungguh dibangun di atas ilmu yang kokoh dan dalam.
Seseorang yang qona’ah dan senantiasa menerima dengan
semua keputusan Allah menunjukkan bahwa ia benar-benar
mengimani taqdir Allah yang merupakan salah satu dari enam
rukun Iman.
Ibnu Batthool berkata
‫َأل‬ ِ ‫ َعلِ َم َأنَّ َما عِ ْن َد‬،ِ‫مْره‬ ‫الى َوال َّتسْ لِيْم َأل‬
،‫ار‬ِ ‫هللا َخ ْي ٌر ل ب َْر‬ ِ َ ‫هللا َت َع‬
ِ ‫ضا ِء‬ َ ‫ضا ِب َق‬ َ ِّ‫س ه َُو َبابُ الر‬ ِ ‫َوغِ َنى ال َّن ْف‬
‫َأل‬
ِ ‫ألولِيَاِئ ِه ا ْخ َي‬
‫ار‬ ْ ‫ضاِئ ِه‬ َ ‫َوفِى َق‬
“Dan kaya jiwa (qona’ah) merupakan pintu keridhoan atas
keputusan Allah dan menerima (pasrah) terhadap ketetapanNya,
ia mengetahui bahwasanya apa yang di sisi Allah lebih baik bagi
orang-orang yang baik, dan pada ketetapan Allah lebih baik bagi
wali-wali Allah yang baik” (Syarh shahih Al-Bukhari)
Orang yang qona’ah benar-benar telah mengumpulkan banyak
amalan-amalan hati yang sangat tinggi nilainya. Ia senantiasa
berhusnudzon kepada Allah, bahwasanya apa yang Allah
tetapkan baginya itulah yang terbaik baginya. Ia bertawakkal
kepada Allah dengan menyerahkan segala urusannya kepada
Allah, sedikitnya harta di tangannya tetap menjadikannya
bertawakkal kepada Allah, ia lebih percaya dengan janji Allah
daripada kemolekan dunia yang menyala di hadapan matanya.
Al-Hasan Al-Bashri pernah berkata ;
‫هللا‬
ِ ‫ك ِب َما فِي َي ِد‬ َ ‫ك َأ ْو َث ُق ِم ْن‬ َ ‫ِك َأنْ َت ُك ْو َن ِب َما فِي َي ِد‬ َ ‫ضعْ فِ َيقِ ْين‬ َ ْ‫ِإنَّ ِمن‬
“Sesungguhnya di antara lemahnya imanmu engkau lebih
percaya kepada harta yang ada di tanganmu dari pada apa yang
ada di sisi Allah” (Jami’ul ‘Uluum wal hikam 2/147)
Orang yang qona’ah tidak terpedaya dengan harta dunia yang
mengkilau, dan ia tidak hasad kepada orang-orang yang telah
diberikan Allah harta yang berlimpah. Ia qona’ah… ia menerima
semua keputusan dan ketetapan Allah. Bagaimana orang yang
sifatnya seperti ini tidak akan bahagia..???!!!
Allah berfirman,
‫ا‬bb‫ ِن َم‬b‫ َر ُه ْم ِبَأحْ َس‬bْ‫صالِحً ا ِمنْ َذ َك ٍر َأ ْو ُأ ْن َثى َوه َُو مُْؤ ِمنٌ َف َل ُنحْ ِي َي َّن ُه َح َيا ًة َط ِّي َب ًة َو َل َنجْ ِز َي َّن ُه ْم َأج‬َ ‫َمنْ َع ِم َل‬
َ ُ‫َكا ُنوا َيعْ َمل‬
‫ون‬
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (An-
Nahl : 97)
Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullah berkata :‫ ُة‬bb‫اع‬ َّ ُ‫اة‬bb‫الح َي‬ Kehidupan
َ ‫ ُة ْال َق َن‬bb‫الط ِّي َب‬ َ yang baik
adalah qona’ah (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thobari dalam
tafsirnya 17/290)
Renungkanlah bagaimana kehidupan orang yang paling bahagia
yaitu Nabi kita shallallahu ‘alahi wa sallam…sebagaimana
dituturkan oleh Aisyah radhiallahu ‘anhaa,
‫ َة‬bb‫ظ ُر ِإ َلى ْال ِهاَل ِل ُث َّم ْال ِهاَل ِل َثاَل َث‬ ُ ‫ت لِعُرْ َو َة اب َْن ُأ ْختِي ِإنْ ُك َّنا َل َن ْن‬ ْ ‫َعنْ عَاِئ َش َة َرضِ َي هَّللا ُ َع ْن َها َأ َّن َها َقا َل‬
َ ‫ا َك‬b‫ت َيا َخا َل ُة َم‬
‫ان‬b ُ ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َنا ٌر َفقُ ْل‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ت َرس‬ ِ ‫ِدَت فِي َأ ْب َيا‬ ْ ‫ْن َو َما ُأوق‬ ِ ‫َأ ِهلَّ ٍة فِي َشه َْري‬
ْ‫يرانٌ ِمن‬b َ b‫لَّ َم ِج‬b ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫دَان ال َّت ْم ُر َو ْال َما ُء ِإاَّل َأ َّن ُه َق ْد َك‬ ‫ش ُك ْم َقا َل ْ َأْل‬ُ ‫ُيعِي‬
ِ ‫ان ل َِرس‬ ِ ‫ت ا سْ َو‬
‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم ِمنْ َأ ْل َبان ِِه ْم َف َيسْ قِي َنا‬ َ ِ ‫ُون َرسُو َل هَّللا‬ َ ‫ت َل ُه ْم َم َناِئ ُح َو َكا ُنوا َي ْم َنح‬ ْ ‫ار َكا َن‬
ِ ‫ص‬ َ ‫اَأْل ْن‬
Aisyah berkata kepada ‘Urwah, “Wahai putra saudariku, sungguh
kita dahulu melihat hilal kemudian kita melihat hilal (berikutnya)
hingga tiga hilal selama dua bulan, akan tetapi sama sekali tidak
dinyalakan api di rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam”. Maka aku (Urwah) berkata, “Wahai bibiku, apakah
makanan kalian?”, Aisyah berkata, “Kurma dan air”, hanya saja
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tetangga dari
kaum Anshoor, mereka memiliki onta-onta (atau kambing-
kambing) betina yang mereka pinjamkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diperah susunya, maka
Rasulullahpun memberi susu kepada kami dari onta-onta
tersebut” (HR Al-Bukhari no 2567 dan Muslim no 2972)
Dua bulan berlalu di rumah Rasulullah akan tetapi tidak ada yang
bisa dimasak sama sekali di rumah beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Makanan beliau hanyalah kurma dan air.
Rumah beliau sangatlah sempit sekitar 3,5 kali 5 meter dan
sangat sederhana. ‘Athoo’ Al-Khurosaani rahimahullah berkata :
“Aku melihat rumah-rumah istri-istri Nabi terbuat dari pelepah
korma, dan di pintu-pintunya ada tenunan serabut-serabut hitam.
Aku menghadiri tulisan (keputusan) Al-Waliid bin Abdil Malik
(khalifah tatkala itu) dibaca yang memerintahkan agar rumah istri-
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasukan dalam areal
mesjid Rasululullah. Maka aku tidak pernah melihat orang-orang
menangis sebagaimana tangisan mereka tatkala itu (karena
rumah-rumah tersebut akan dipugar dan dimasukan dalam areal
mesjid-pen). Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib berkata pada
hari itu,
‫ُأل‬ ‫ُأ‬
‫رى‬b ِ bُ‫ا ِد ُم م َِن ا ف‬bb‫ت َأ َّن ُه ْم َت َر ُك ْو َها َع َلى َحالِ َها َي ْن َش َناشِ ي ٌء ِمنْ َأهْ ِل ْال َم ِد ْي َن ِة َو َي ْق ُد ُم ْال َق‬
َ b‫ق َف َي‬b ُ ‫هللا َل َود ِْد‬
ِ ‫و‬
ُ
‫اس فِي ال َّت َكاث ِر َوال َّت َفا ُخ ِر‬ َ ‫هللا فِي َح َيا ِت ِه َف َي ُك ْونُ َذل َِك ِممَّا ي َُز ِّه ُد ال َّن‬ ِ ‫اك َت َفى ِب ِه َرس ُْو ُل‬ ْ ‫َما‬
“Sungguh demi Allah aku sangat berharap mereka membiarkan
rumah-rumah Rasulullah sebagaimana kondisinya, agar jika
muncul generasi baru dari penduduk Madinah dan jika datang
orang-orang dari jauh ke kota Madinah maka mereka akan
melihat bagaimana kehidupan Rasulullah. Hal ini akan
menjadikan orang-orang mengurangi sikap saling berlomba-
lomba dalam mengumpulkan harta dan sikap saling bangga-
banggaan” (At-Tobaqoot Al-Kubroo li Ibn Sa’ad 1/499)
Orang-orang mungkin mencibirkan mulut tatkala memandang
seorang yang qona’ah yang berpenampilan orang miskin..,
karena memang ia adalah seorang yang miskin harta. Akan tetapi
sungguh kebahagiaan telah memenuhi hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫س‬ِ ‫ض َو َلكِنَّ ْال ِغ َنى غِ َنى ال َّن ْف‬ ِ ‫ْس ْال ِغ َنى َعنْ َك ْث َر ِة ْال َع َر‬
َ ‫َلي‬
“Bukanlah kekayaan dengan banyaknya harta benda, akan tetapi
kekayaan yang haqiqi adalah kaya jiwa (hati)” (HR Al-Bukhari no
6446 dan Muslim no 1050)
Ibnu Battool rahimahullah berkata, “Karena banyak orang yang
dilapangkan hartanya oleh Allah ternyata jiwanya miskin, ia tidak
nerimo dengan apa yang Allah berikan kepadanya, maka ia
senantiasa berusaha untuk mencari tambahan harta, ia tidak
perduli dari mana harta tersebut, maka seakan-akan ia adalah
orang yang kekurangan harta karena semangatnya dan tamaknya
untuk mengumpul-ngumpul harta. Sesungguhnya hakekat
kekayaan adalah kayanya jiwa, yaitu jiwa seseorang yang merasa
cukup (nerimo) dengan sedikit harta dan tidak bersemangat untuk
menambah-nambah hartanya, dan nafsu dalam mencari harta,
maka seakan-akan ia adalah seorang yang kaya dan selalu
mendapatkan harta” (Syarh Ibnu Batthool terhadap Shahih Al-
Bukhari)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya,
‫و‬bَُ ‫ال ه‬b ِ ‫رى ِقلَّ ِة ْال َم‬b َ ‫ َأ َف َت‬: ‫ا َل‬b‫ َق‬،‫هللا‬
ِ ‫ ْو َل‬b‫ا َر ُس‬b‫ َن َع ْم َي‬: ‫ت‬ ُ ‫و ْال ِغ َنى؟ ُق ْل‬bَُ ‫ال ه‬b
ِ ‫ر َة ْال َم‬b َ ‫ َأ َت َرى َك ْث‬،‫َيا َأ َبا َذر‬
ِ ‫ب َو ْال َف ْق ُر َف ْق ُر ْال َق ْل‬
‫ب‬ ِ ‫ ِإ َّن َما ْال ِغ َنى غِ َنى ْال َق ْل‬: ‫ قال‬.‫هللا‬
ِ ‫ َن َع ْم َيا َرس ُْو َل‬: ‫ت‬ ُ ‫ْال َف ْقرُ؟ قُ ْل‬
“Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang banyaknya harta
merupakan kekayaan?”. Aku (Abu Dzar) berkata : “Iya
Rasulullah”. Rasulullah berkata : “Apakah engkau memandang
bahwa sedikitnya harta merupakan kemiskinan?”, Aku (Abu
Dzar ) berkata, “Benar Rasulullah”. Rasulullahpun berkata :
“Sesungguhnya kekayaan (yang hakiki-pen) adalah kayanya hati,
dan kemisikinan (yang hakiki-pen) adalah miskinnya hati” (HR
Ibnu Hibbaan dan dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam shahih
At-Targiib wa At-Tarhiib no 827)
Maka orang yang qona’ah meskipun miskin namun pada
hakikatnya sesungguhnya ialah orang yang kaya.
Madinah, 10 04 1432 H / 15 03 2011 M
Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA
MANHAJ
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (1)

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu


terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para
sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik hingga akhir masa. Amma ba’du.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah
orang-orang yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-
orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka
paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri.
Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna
menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk
menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak
mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya
mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam
keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti
Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa
dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya,
berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan
termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi
atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin
Ummi Maktumradhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut
sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal.
149-151)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata,
“Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai
mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai
kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para
sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi
melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka mengatakan; Wahai Rabb kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan
ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang
beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)
Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah
As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-
nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela
mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di
antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama,
panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia
beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah
perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang
apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap
mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi
mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi
kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141).
Barang siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka
sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah,
Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah
utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah
bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling
menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’
dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan
keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)
2. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir
dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka
dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan
keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong
agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang
benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri
tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga
mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh
terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih
mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri
walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS.
Al Hasyr [59]: 8-9)
3. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah
ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi)
ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon
(Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam
hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan
yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18)
4. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang
terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah telah
mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat
besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)
5. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah
tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman
bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di
sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al
Is’aad, hal. 77-78)
Dalil-dalil Dari As Sunnah Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku.
Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di
antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud
maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di
antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau
bahkan setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
2. Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah
generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
3. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-
bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-
bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan
akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi
para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa
yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku.
Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku.
Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan
datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang
sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR.
Muslim)
4. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa
yang mencela para sahabatku maka dia berhak
mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan
laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka
diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Ijma’ Tentang Keutamaan Para Sahabat
1. Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab
Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat
untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para
sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat
dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah
ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama
yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
2. Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya,
“Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat
dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan
kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
3. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus
Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua
sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam
hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari
kalangan ahli bid’ah.”
4. Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya,
“Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali
Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik
yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia
ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya.
Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al
Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini.
Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk
diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat
sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.”
(lihat Al Is’aad, hal. 78)
Dalil Akal tentang keutamaan para Sahabat
Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum
Rafidhah (Syi’ah) menganggap bahwasanya semua sahabat
adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan
kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat
yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan
apa yang mereka perbuat !!
Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang
artinya, “Maka Allah telah menurunkan ketenangan dari-Nya
kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para
sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada
mereka. Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang
yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah
Maha mengetahui atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)
(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat)
sebagai orang-orang yang berhak dan pantas mendapatkan
predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah)
justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada
suatu saat Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’
dalam rangka memintakan ampunan bagi para sahabat yang
sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan
mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah
meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian
orang-orang itu justru mencela mereka !!
Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu
banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga
pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang
perbuatan mereka serta apa yang akan muncul dari mereka
sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani
mencela mereka dengan seenaknya ….
Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan
mereka sebagai para da’i yang menyampaikan agama-Nya serta
menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru
umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini
justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah,
ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)
-bersambung insya Allah-
Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (2)

Jasa Besar Para Sahabat Terhadap Umat Islam


Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para
sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada umat Islam adalah
sebagai berikut.
1. Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan
sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
seorang yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau
memilih beberapa orang sahabatnya untuk mencatat wahyu,
di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu
Sufyan, Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Sehingga
apabila wahyu turun merekalah yang diperintahkan untuk
mencatat dan di samping juga untuk dihafalkan di dalam
ingatan mereka. Di antara para sahabat ada pula yang
berinisiatif untuk menulisnya untuk mereka pribadi tanpa
perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan hafalan
Qur’annya kepada malaikat Jibril setiap tahun pada setiap
malam bulan Ramadhan, maka para sahabat pun
menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang mereka miliki
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga
tatkala Rasul wafat al-Qur’an itu sudah terpelihara di dalam
dada-dada para sahabat serta tertulis di dalam shuhuf, kayu,
dan lain sebagainya. Kemudian tibalah masa kekhalifahan
Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika itu tahun 12 hijriyah terjadi
perang Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-
orang yang murtad. Dalam peperangan ini 70 orang sahabat
penghafal al-Qur’an gugur. Karena itulah Umar bin Khaththab
datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya
mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga
akhirnya Abu Bakar pun menerima saran tersebut. Maka Abu
Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya
dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga
berkat jasa Abu Bakar dan para sahabat lainnya inilah
terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah
berbentuk mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya
dilakukan di masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 118-134)
2. Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang
pada awalnya hadits-hadits Nabi belum boleh dicatat karena
ketika itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya al-
Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat.
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka
untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian
larangan itu beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal
dan dicatat dengan baik oleh para sahabat sehingga tidak
dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits tercampur
dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan
bahwasanya pencatatan hadits itu memang sudah terjadi di
jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang memerintahkannya.
Di antara dalilnya ialah sabda beliau pada saat khutbah di
tahun pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta
kepada beliau untuk dituliskan ceramah yang beliau
sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan
Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau menceritakan,
“Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencatat
(hadits) sedangkan aku tidak mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu
pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar sabdamu dan
akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya,
(silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun
ridha?” Beliau menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku
tidak berkata kecuali haq.”(HR. Ahmad, sanadnya shahih
kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi,
Mushthalahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)
Dan cukuplah kiranya dua buah jasa besar ini menjadi
sumbangan paling berharga yang mereka berikan bagi
pemeliharaan ajaran Islam yang murni. Sehingga Islam yang
diturunkan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi dan
kemudian diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada para sahabat bisa sampai di tangan kita melalui
ribuan ayat al-Qur’an dan puluhan ribu hadits Nabi yang tertulis
dengan sanad-sanad yang bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah di dalam kitab-kitab hadits. Yang dari ayat-ayat dan hadits-
hadits itulah umat manusia bisa mengetahui apa yang harus
mereka yakini, apa yang harus mereka ucapkan dan apa yang
harus mereka perbuat. Dari ayat dan hadits itulah para ulama
menarik berbagai prinsip dan kesimpulan hukum dalam bidang
akidah, akhlak, muamalah, ibadah dan lain sebagainya. Sehingga
seorang muslim yang hidup di abad 15 Hijriyah bisa mengetahui
secara gamblang dengan tangan yang manakah seharusnya dia
makan, dan dengan tangan yang manakah seharusnya dia
mencuci duburnya..!! Sebagaimana kaum muslimin pada masa
sahabat pun mengetahuinya.
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai
muslim akan tetapi rela menghinakan dirinya dengan
mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan
mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat,
dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi
hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka
tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau
segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin selamat !!
Hukum Mencela Sahabat
Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para
sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan:
1. Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya
itu melahirkan konsekuensi kafirnya semua sahabat atau
sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan
mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik,
maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang
kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah,
Rasul-Nya dan berdusta atas nama agama.
2. Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan
mereka. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama tentang
status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan
adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat
yang muncul karena kemarahan temporal dengan laknat
yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber
dari keyakinan hati
3. Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak
sampai merusak citra keadilan dan agama mereka, seperti
dengan menyebut mereka sebagai orang yang pengecut,
pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang
melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir
(hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi
aktifitasnya oleh pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)
Urutan Keutamaan Para Sahabat
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu
memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
1. Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin
yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu
‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan
oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk
mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang
berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham
kalian.”
2. Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang
diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu:
Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash,
Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah
dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
3. Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
4. Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang
beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah
mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian
Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan
membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al
Fath [48] : 18)
5. Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad
sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada
sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al
Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama
antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian
dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih
tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan
turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan
kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10)
Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah
perdamaian Hudaibiyah.
6. Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
7. Kemudian kaum Anshar.
Sebab Allah telah mendahulukan kaum Muhajirin sebelum Anshar
di dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang
artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang
diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta
mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr [59]: 8)
Mereka itulah kaum Muhajirin. Kemudian Allah berfirman tantang
kaum Anshar, “Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri
tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai
orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di
dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang
mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya
daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang
berada dalam kesulitan. Dan barang siapa yang dijaga dari rasa
bakhil dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. Al Hasyr [59] : 9)
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum
kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya
kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan
negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka
dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman
mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak
bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-
494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya
martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman,
ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam.
Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling
utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman
yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu
disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah
meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan
pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah
Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian
‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis
Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya
sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali
dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan
‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih
mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula
sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang
pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih
utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang
ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat
demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)
Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus
Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik
yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang
muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali
dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang
buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka
dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata
dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal
dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud
membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para
sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu.
Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling
kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran.
Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku
(sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka
jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu
sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka
dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah
sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa
permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara
mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum
dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh
dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang
selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang
paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai
berikut:
1. Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
2. Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat
hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi
(sebaik-baik umat manusia, red)
3. Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan
oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang
Badar dan Bai’atur Ridhwan
4. Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat
dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
5. Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal
kejelekan
6. Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang
tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan
musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas
dosa.
7. Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
8. Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan
mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk
memperolehnya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah maka perbuatan
sebagian mereka yang diingkari (karena salah) adalah sangat
sedikit dan tenggelam dalam (lautan) kebaikan mereka. Itu
dikarenakan mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para
Nabi dan juga orang-orang terpilih di antara umat ini, yang
menjadi umat paling baik. Belum pernah ada dan tidak akan
pernah ada suatu kaum yang serupa dengan mereka.”
(Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 83-84)
-bersambung insya Allah-

Kedudukan Sahabat Nabi di Mata Umat Islam (3)


Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa
dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan
fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak
untuk diambil daripada pendapat-pendapat
ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena
sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu
tergantung dengan kedekatan masa mereka dengan masa
Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi.
Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti
daripada fatwa para tabi’in.
Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada
fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu
setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun
juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila
ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan
perindividu…” (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna
Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal.
11)
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan
menjadi 4:
1. Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum
ucapan mereka adalah marfu’ (bersumber dari Nabi). Ucapan
itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan
hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang
marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamnamun dari sisi
periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika
sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh
disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu
adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang
lain. Maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan
sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk
mengikutinya. Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh
taklid kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang harus
dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat
yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
3. Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan
dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk
sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para
ulama.
4. Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita
maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada
perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang
menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah
ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang
disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal
maka para imam yang empat dan mayoritas umat Islam
menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan
pendapat kaum filsafat yang menyimpang.
Para ulama memberikan syarat agar ucapan sahabat bisa dipakai
untuk berhujjah dengan beberapa syarat yaitu:
1. Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam
hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’
(bersumber dari Nabi)
2. Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi
pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi
oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu
menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi
adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya.
Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat
lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk
menguatkan salah satu pendapat mereka.
3. Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan
nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua
dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash
maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang
pendapatnya itu.
4. Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para
sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang
menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini
maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti
menurut pendapat jumhur ulama.
5. Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar.
Perlu dicatat bahwasanya ucapan sahabat yang telah
disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah
tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika
(seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang
bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama
memilih untuk tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang
sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya
sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan
sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus
didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat
adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus
didahulukan daripada analogi !! (lihatMa’alim Ushul Fiqih
‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein
Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
Lihatlah sikap para ulama, mereka lebih mendahulukan ucapan
seorang sahabat yang bertentangan dengan analogi daripada
pendapat yang dibangun di atas analogi semata !! Itu adalah bukti
bahwa mereka benar-benar menghormati dan memuliakan para
sahabat.
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang
berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum
muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para
sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata
illa billaah.
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku
maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para
malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah:
234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila
disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash
Shahihah: 24) Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut
kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang
akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!
Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia,
wajib bagi kalian untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat.
Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama.
Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat
ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib
mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para
sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala
macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah
kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi
pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk
generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian
kepada Allah wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para
sahabat yang mendahului kalian.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang
siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah
meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik
hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta
paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu
kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-
Nyashallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-
Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-
jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan
yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena
sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian
mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat
manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama
mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).”
Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-
orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan
sesat selama kamu tetap konsisten dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama
itu dibangun di atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari
terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya.
Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka
itulah ajaran yang harus diikuti).”
Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al
Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad
berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar
batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat.
Seandainya bukan karena aku melihat bahwa
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku
tidak akan menciummu.”
Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata,
“Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Karena
mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka
menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam.
Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang paling mampu
untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka
jauh lebih dahulu melakukannya jika hal itu memang sesuatu
yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang berkata:
ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak
ada yang menciptakannya kecuali orang yang menentang
petunjuk mereka serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya
mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan
jalan pemecahan. Dan apa yang mereka bicarakan sebenarnya
sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang
melampaui mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar
batasan. Dan siapapun yang sengaja mengurang-ngurangi ajaran
mereka maka dia adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah
ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk
mereka sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula
yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun
menjadi ekstrem. Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan
tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di atas
petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti
jejak para ulama salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi
menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang,
meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-
ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini
sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”
Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang
ahli bid’ah semakin menambah kesungguhannya melainkan dia
pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum
menciptakan kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang
sepadan dengannya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu
mengatakan: Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia
masih berada di atas jalan yang benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih
disenangi oleh iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa
diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan
taubatnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya
pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh
saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal
menafsirkan hadits.”
Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada
Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara
yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan
tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah
itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun menjawabnya, “Itu
adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan
atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua
yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah
bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya niscaya akan
selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan
tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu
kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah
membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka
telah berbicara dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu
itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam
kebatilan.”
Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar
Malik berkata: Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan
di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan.
Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah
telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka
sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia
juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok
ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan
apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan
(kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat
seseorang yang termasuk sebagai kaum Ash-habul hadits
(pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah
seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar
Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada
seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id,
Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin
Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain.
“Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang
siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa dia
adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”
Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah
yang sangat agung dan merangkum wasiat para imam di atas.
Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki
generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah
berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran
apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga
bukan termasuk agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat
para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish
shalih, hal. 197-206)
Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far
Ath Thahawi rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam
kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui
batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami
juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami
membenci orang yang membenci mereka dan kami juga
membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang
tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan
kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan
ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta
Islam. Dan membenci Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu
ta’ala a’lam bish shawaab.
Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah
Meneladani Sahabat Nabi, Jalan Kebenaran

Di tengah maraknya pemikiran dan pemahaman dalam agama


Islam, klaim kebenaran begitu larisnya bak kacang goreng. Setiap
kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai yang
lebih benar pemahamannya terhadap Islam, menurut
keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu
hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan
kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan
Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini
bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah
memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling
memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah
RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al
Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu
sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Yang menjadi masalah sekarang, mengapa ketika semua
kelompok dan jama’ah mengaku telah berpedoman pada Al
Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-
belah dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya?
Setidaknya ini menunjukkan Al Qur’an dan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ternyata dapat ditafsirkan
secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh masing-masing
individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah
sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta
sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya,
merekalah para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi
Yang dimaksud dengan istilah ‘sahabat Nabi’ adalah:
‫ وإن‬،‫ه‬bb‫حبته ل‬bb‫ وإن لم تطل ص‬،‫من رأى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في حال إسالم الراوي‬
ً ‫لم يرو عنه شيئا‬
“Orang yang melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan sabda Nabi.
Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama,
atau Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
Empat sahabat Nabi yang paling utama adalah Abu Bakar Ash
Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi
Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang
tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan:
‫الم‬bb‫ وقبض عليه الصالة والس‬،ً‫ وكان معه بتبوك سبعون ألفا‬،ً‫شهد معه حجة الوداع أربعون ألفا‬
‫عن مائة ألف وأربعة عشر ألفا ً من الصحابة‬
“Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut berhaji wada bersama
Rasulullah. Pada masa sebelumnya 70.000 orang sahabat Nabi
ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah
wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu
Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi:
‫ا‬bb‫ وبم‬،‫ز‬bb‫ه العزي‬bb‫نى هللا عليهم في كتاب‬bb‫ا أث‬bb‫ لم‬،‫ة‬bb‫نة والجماع‬bb‫والصحابة كلهم عدول عند أهل الس‬
‫وال‬bb‫ذلوه من األم‬bb‫ا ب‬bb‫ وم‬،‫الهم‬bb‫ع أخالقهم وأفع‬bb‫دح لهم في جمي‬bb‫ة في الم‬bb‫نة النبوي‬bb‫ه الس‬bb‫نطقت ب‬
‫واألرواح بين يدي رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, seluruh para
sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala telah memuji
mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian
yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak
dan amal perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah
mereka korbankan, baik berupa harta maupun nyawa, untuk
membela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
‫وا‬b‫ض‬ ُ ‫ َي هَّللا ُ َع ْن ُه ْم َو َر‬b‫ض‬ ِ ‫ان َر‬ ٍ َ ‫ار َوالَّذ‬
‫ِين ا َّت َبعُو ُه ْم بِِإحْ َس‬ ِ َ ‫ين َواَأْل ْن‬
‫ص‬ َ ‫ون م َِن ْال ُم َها ِج ِر‬ َ ُ‫ون اَأْلوَّ ل‬
َ ُ‫َّابق‬
ِ ‫َوالس‬
ٰ َ ‫ت َتجْ ِري َتحْ َت َها اَأْل ْن َها ُر َخالِد‬
‫ۚ َذل َِك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ي ُم‬ ‫ِين فِي َها َأ َب ًدا‬ ٍ ‫َع ْن ُه َوَأ َع َّد َل ُه ْم َج َّنا‬
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk
Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar” (QS. At Taubah: 100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan
memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda:
‫احبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من‬bb‫ا دام فيكم من رآني وص‬bb‫ير م‬bb‫ون بخ‬bb‫ال تزال‬
‫رآني‬
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara kalian ada orang yang
pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang yang pernah
melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah melihat
orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
‫ ثم الذين يلونه‬، ‫ ثم الذين يلونهم‬، ‫قرني‬ ‫الناس‬ ‫خير‬
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian
setelah mereka, kemudian setelah mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya
yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah
umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat
Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha
Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat
telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap
mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka,
meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu
Hanifah berkata:
‫ف عن‬bb‫ ثم نك‬, ‫ أبوبكر وعمر وعثمان وعلي‬: ‫أفضل الناس بعد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫جميع أصحاب رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إال بذكر جميل‬
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman lalu Ali.
Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap
seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak
boleh menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang
indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ ما بلغ مد أحدهم وال نصيف‬، ‫ فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا‬، ‫أصحابي‬ ‫تسبوا‬ ‫ال‬
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada diantara kalian yang
berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan bisa
menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat
Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang
yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para
sahabat Nabi,  maka tentu pemahaman yang paling benar
terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang
mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada
kita,walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam
dengan Nabinya.
Oleh karena ini sungguh aneh jika seseorang berkeyakinan atau
beramal ibadah yang sama sekali tidak diyakini dan tidak
diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia mendapatkan
keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak
ada lagi Nabi sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Dari sini kita perlu menyadari bahwa mengambil metode
beragama Islam yang selain metode beragama para sahabat,
akan menjerumuskan kita kepada jalan yang menyimpang dan
semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan yang lurus
adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap hari
kita membaca ayat:
‫ين‬ َ ِّ‫ب َع َلي ِْه ْم َواَل الضَّال‬ ِ ‫مْت َع َلي ِْه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬ َ ‫ِين َأ ْن َع‬ َ ‫اط ْالمُسْ َتقِي َم صِ َرا َط الَّذ‬
َ ‫اهْ ِد َنا الص َِّر‬
“Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan
‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang
disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman:
ُّ ‫ِين َو‬
‫ َهدَا ِء‬bbb‫الش‬ َ ‫ ِّديق‬bbb‫الص‬ َ ‫ِين َأ ْن َع َم هَّللا ُ َع َلي ِْه ْم م َِن ال َّن ِبي‬
ِّ ‫ِّين َو‬ َ ‫ع الَّذ‬bbb
َ ‫ك َم‬َ ‫و َل َفُأو َلِئ‬bbb‫ ِع هَّللا َ َوالرَّ ُس‬bbbِ‫َو َمنْ يُط‬
‫ك َرفِي ًقا‬ َ ‫ِين َو َحس َُن ُأو َلِئ‬َ ‫َوالصَّالِح‬
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka
itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi
nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.”[8]
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin
Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat
ini adalah NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan para
sahabatnya[9].
Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
‫ذ ِه‬bb‫رَّ ه‬bb‫انوا أب‬bb‫إنهم ك‬bb‫ ف‬,‫ل َم‬bb‫ ِه وس‬b ‫لى هللاُ علي‬bb‫هللا ص‬ ِ ِ ‫رسول‬ ‫ب‬ ِ ‫مُتأسيا ً فليتأسَّ بأصحا‬ ‫منكم‬ ‫كان‬ َ ‫من‬
‫حب ِة‬b ‫ِص‬ َ b‫ اخت‬،ً‫اال‬bb‫ وأحسنـُها ح‬،‫ وأقومُها َهد َيا‬،‫ وأقلـ ُّ َها تكلـ ُّ َفا‬،ً‫ وأعمقـُها عِ لما‬،ً‫األم ِة قلوبا‬
ُ ‫ار ُه ُم هللاُ ل‬b
‫انوا‬bb‫ فإنهم ك‬،‫آثارهِم‬ ِ ‫ واتـَّبـِعُوهم في‬،‫ فاعرفوا لهم فضلـَهُم‬،ِ‫نب ِّي ِه صلى هللاُ علي ِه وسل َم وإقا َم ِة دي ِنه‬
‫على الهُدى المُستقيم‬
“Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang
yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu
agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan,
paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah
memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan
mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada
pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)”[10]
Beliau juga berkata:
‫ ُه‬b‫ َوا ْن َت َخ َب‬،ِ‫ا َل ِته‬b‫ ُه ِب ِر َس‬b‫لَّ َم َف َب َع َث‬b‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس‬ ِ ‫ِإنَّ هَّللا َ َت َعا َلى َن َظ َر فِي قُلُو‬
ْ ‫ب ْال ِع َبا ِد َف‬
َ ‫اخ َت‬
َ ‫ار م َُح َّم ًدا‬
،‫لَّ َم‬b ‫ ِه َو َس‬b‫لَّى هَّللا ُ َع َل ْي‬b ‫ص‬
َ ‫ َحا َب ُه َف َج َع َل ُه ْم وُ َز َرا َء َن ِب ِّي ِه‬b ‫ص‬ ْ ‫ار َأ‬b ْ ‫اس َف‬
َ b‫اخ َت‬ ِ ‫ب ال َّن‬ ِ ‫و‬bbُ‫ر فِي قُل‬b َ b‫ ُث َّم َن َظ‬،ِ‫ ه‬b‫ِبع ِْل ِم‬
ِ ‫ َد هَّللا‬bb‫ون َق ِبيحً ا َفه َُو عِ ْن‬ َ ‫ َو َما َرآهُ ْالمُْؤ ِم ُن‬، ٌ‫ون َح َس ًنا َفه َُو عِ ْندَ هَّللا ِ َح َسن‬ َ ‫ َف َما َرآهُ ْالمُْؤ ِم ُن‬،ِ‫ار دِي ِنه‬ َ ‫ص‬َ ‫َوَأ ْن‬
‫َق ِبي ٌح‬
“Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengutusnya
dengan risalah. Allah Ta’alamemperhatikan hati-hati manusia, lalu
Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka
sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka
segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu
Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah.
Maka segala sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum Mu’minin,
itulah yang buruk di sisi Allah”[11]
Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah berkata:
‫داء‬bb‫لم واالقت‬bb‫ه و س‬bb‫لى هللا علي‬bb‫ول هللا ص‬bb‫أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رس‬
‫…بهم‬
“Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut kami adalah
berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka…
dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari
mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan
mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫ة كلهم‬bb‫بعين مل‬bb‫تي على ثالث وس‬bb‫ترق أم‬bb‫ وتف‬، ‫ة‬bb‫إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين مل‬
‫وأصحابي‬ ‫عليه‬ ‫أنا‬ ‫ما‬ : ‫ قال من هي يا رسول هللا ؟ قال‬، ‫في النار إال ملة واحدة‬
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku
akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka,
kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya
Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”[12]
Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:
‫ا‬bb‫ وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم فسيرى اختالف‬، ‫أوصيكم بتقوى هللا والسمع والطاعة‬
، ‫ذ‬bb‫ فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواج‬، ‫ فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين‬، ‫كثيرا‬
‫) وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬
“Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa kepada Allah. Lalu
mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia dari
kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup
sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka
wajib bagi kalian untuk mengikuti sunnnahku dan sunnah khulafa
ar raasyidin yang mereka telah diberi petunjuk. Berpegang
teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta jauhilah
perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu
Hibban no.5)
Jika Sahabat Berselisih Pendapat
Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu
permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu
seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka
kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh.
Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa
pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah
satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati
kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
: ‫قد سمعت قولك في اإلجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب هللا وسنة رسوله أرأيت أقاويل‬
‫أصحاب رسول هللا إذا تفرقوا فيها ؟‬
[ ‫ نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو اإلجماع أو كان أص َّح في القياس‬: ‫فقلت‬
“Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam Syafi'i, aku dengar
engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur'an dan Sunnah, ijma
dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan
perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi
perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan
mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau
Sunnah atau Ijma' atau Qiyas yang paling shahih”[13]
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus,
yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam serta para sahabatnya

Penulis: Yulian Purnama

Hadits Shahih Sumber Hukum Syari’at, Bukan Hadits Dha’if


Selain bertopang pada al-Quran, hukum yang ditetapkan dalam
agama Islam haruslah berlandaskan hadits shahih, bukan hadits
dha’if. Allah ta’ala telah mengistimewakan agama ini dengan
adanya sanad (jalur periwayatan) hadits. Sanad merupakan
penopang agama. Oleh karena itu, hadits shahih wajib diamalkan,
adapun hadits dha’if, wajib ditinggalkan. Seorang muslim tidak
diperkenankan untuk menetapkan suatu hukum dari sebuah
hadits, kecuali sebelumnya dia telah meneliti, apakah sanad
hadits tersebut shahih ataukah tidak?
Abdullah bin Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
– ‫لم‬bb‫ه و س‬bb‫سالت ابي عن الرجل يكون عنده الكتب المصنفة فيها قول رسول هللا صلى هللا علي‬
‫وي من‬b‫ناد الق‬b‫تروك وال االس‬b‫عيف الم‬b‫ديث الض‬b‫ر بالح‬b‫ل بص‬b‫ابعين وليس للرج‬b‫والصحابة والت‬
‫ا‬bb‫أل م‬bb‫تى يس‬bb‫الضعيف فيجور ان يعمل بما شاء ويتخير منها فيفتى به ويعمل به قال ال يعمل ح‬
‫يؤخذ به منها فيكون يعمل على امر صحيح يسال عن ذلك اهل العلم‬
“Saya bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad) mengenai
seorang yang memiliki berbagai kitab yang memuat sabda nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat, dan tabi’in.
Namun, dia tidak mampu untuk mengetahui hadits yang lemah,
tidak pula mampu membedakan sanad hadits yang shahih
dengan sanad yang lemah. Apakah dia boleh mengamalkan dan
memilih hadits dalam kitab-kitab tersebut semaunya, dan
berfatwa dengannya? Ayahku menjawab, “Dia tidak boleh
mengamalkannya sampai dia bertanya hadits mana saja yang
boleh diamalkan dari kitab-kitab tersebut, sehingga dia beramal
dengan landasan yang tepat, dan (hendaknya) dia bertanya
kepada ulama mengenai hal tersebut.“ (I’lam a-Muwaqqi’in
4/206).
Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah, -semoga Allah
melimpahkan rahmat kepadamu-, bahwa seluk beluk hadits dan
pengetahuan terhadap hadits yang shahih dan cacat hanya
menjadi spesialisasi bagi para ahli hadits. Hal itu dikarenakan
mereka adalah pribadi yang menghafal seluruh periwayatan para
rawi yang sangat mengilmui jalur periwayatan. Sehingga, pondasi
yang menjadi landasan beragama mereka adalah hadits dan
atsar yang dinukil (secara turun temurun) dari masa nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga masa kita sekarang.” (At-
Tamyiz hal. 218).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata,
‫فأما األئمة وفقهاء أهل الحديث فإنهم يتبعون الحديث الصحيح حيث كان‬
“Para imam dan ulama hadits hanya mengikuti hadits yang
shahih saja.” (Fadl Ilmi as-Salaf hal. 57) .
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
‫ال يجوز أن يعتمد فى الشريعة على األحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة وال حسنة‬
“Syari’at ini tidak boleh bertopang pada hadits-hadits lemah yang
tidak berkategori shahih (valid berasal dari nabi) dan
hasan.” (Majmu’ al-Fatawa1/250).
Al-Anshari rahimahullah berkata, “Seorang yang ingin berdalil
dengan suatu hadits yang terdapat dalam kitab Sunan dan
Musnad, (maka dia berada dalam dua kondisi). Jika dia seorang
yang mampu untuk mengetahui (kandungan) hadits yang akan
dijadikan dalil, maka dia tidak boleh berdalil dengannya hingga
dia meneliti ketersambungan sanad hadits tersebut (hingga nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan kapabilitas para perawinya. Jika
dia tidak mampu, maka dia boleh berdalil dengannya apabila
menemui salah seorang imam yang menilai hadits tersebut
berderajat shahih atau hasan. Jika tidak menemui seorang imam
yang menshahihkan hadits tersebut, maka dia tidak boleh berdalil
dengan hadits tersebut.” (Fath al-Baqi fi Syarh Alfiyah al-’Iraqi).
Diterjemahkan dari Ushul Fiqh ‘ala Manhaj Ahli al-Hadits hal. 9-
10, karya Zakariya bin Ghulam Qadir al-Bakistani.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 5 Rabi’ ats Tsani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Hadits Dho’if Menjadi Sandaran Hukum

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Saat ini telah


tersebar berbagai macam perkara baru dalam agama ini
(baca: bid’ah). Seperti contohnya adalah acara tahlilan/yasinan
yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan tidak pernah pula dilakukan oleh para sahabatnya.
Dan kebanyakan bid’ah saat ini terjadi dikarenakan tersebarnya
hadits dho’if/lemah di tengah-tengah umat. Contoh dari hadits
dho’if tersebut adalah tentang keutamaan surat yasin sehingga
orang-orang membolehkan adanya yasinan. Hadits tersebut
adalah, “Bacakanlah surat yasin untuk orang mati di antara
kalian“. (Hadits ini dho’if (lemah) diriwayatkan oleh Abu Daud,
Ibnu Majah, dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa dalam
hadits ini terdapat 2 perawi majhul (tidak dikenal)).
Selain itu juga, hadits dho’if digunakan oleh sebagian orang untuk
menjelaskan fadh’ail a’mal yaitu mendorong umat untuk
melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka agar tidak
melakukan kejelekaan. Hadits dho’if (bahkan palsu) ini semakin
tersebar -di zaman yang penuh kebodohan mengenai derajat
hadits saat ini- baik melalui tulisan atau pun melalui lisan para
da’i. Namun menjadi suatu pertanyaan penting, apakah hadits
dho’if (atau bahkan palsu) boleh dijadikan sandaran hukum?!
Simaklah pembahasan berikut ini.
Larangan Berdusta Atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kaum muslimin yang semoga selalu ditunjuki oleh Allah menuju
kebenaran. Perlu diketahui, bahwa berdusta atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar
karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang
yang demikian dengan neraka. Sebagaimana sabda
beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya
dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari &
Muslim). Dari hadits ini terlihat jelas bahwasanya seseorang yang
menyandarkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tanpa mengetahui keshohihannya, dia terancam masuk
neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang
artinya, “Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia
menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR. Muslim). Imam Malik
-semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Ketahuilah,
sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia
menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak
menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan
dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil
dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits
Al Albani).
Dari perkataan Imam Malik ini terlihat bahwasanya walaupun
seseorang tidak dikatakan berdusta secara langsung namun dia
dapat dikatakan mendukung kedustaan karena menukil banyak
hadits lalu mendiamkannya, padahal bisa saja hadits yang
disampaikan dho’if atau dusta. (LihatMuntahal Amani)
Hukum Memakai Hadits Dho’if
Setelah penjelasan larangan berdusta atas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu seseorang tidak boleh menyampaikan
suatu hadits tanpa tahu terlebih dahulu keshohihannya, maka
perlu kita ketahui pula hukum menggunakan hadits dho’if dengan
melihat perkataan Imam Muslim -semoga Allah merahmati beliau-
berikut ini.
Imam Muslim -rahimahullah- berkata, “Ketahuilah -semoga Allah
memberikan taufiq padamu- bahwasaya wajib atas setiap orang
yang mengerti pemilahan antara riwayat yang shohih dari riwayat
yang lemah dan antara perowi yang tsiqoh (terpercaya, pen) dari
perowi yang tertuduh (berdusta, pen); agar tidak meriwayatkan
dari riwayat-riwayat tersebut melainkan yang dia ketahui
keshohihan periwatnya dan terpercayanya para penukilnya, dan
hendaknya dia menjauhi riwayat-riwayat yang berasal dari orang-
orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah (yang sengit
permusuhannya terhadap ahlus sunnah). Dalil dari perkataan
kami ini adalah firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasikmembawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (Q.S. Al Hujurat: 6)
Ayat yang kami sebutkan ini menunjukkan bahwa berita orang
yang fasik gugur dan tidak diterima dan persaksian orang yang
tidak adil adalah tertolak.” (Muqoddimah Shohih Muslim, dinukil
dari Majalah Al Furqon). Maka dapat disimpulkan bahwa
hadits dho’if tidak boleh dijadikan sandaran hukum karena
periwayat hadits dho’if termasuk orang yang fasik.
Bolehkah Hadits Dho’if Digunakan Dalam Fadho’il A’mal?!
Ada sebagian kaum muslimin yang sering membawakan
hadits dho’if (bahkan sangat dho’if/lemah) tentang fadha’il
a’amal (keutamaan berbagai amal) dalam dakwah mereka.
Mereka beralasan bahwa para ulama telah sepakat bolehnya
menggunakan hadits dho’if dalam fadha’il a’mal. Padahala di
pihak lain, banyak ulama yang menyatakan hadits dho’if tidak
boleh diamalkan secara mutlak meskipun di dalam
masalah fadha’il a’mal.
Perlu kaum muslimin ketahui, bahwa maksud sebagian ulama
yang membolehkan menggunakan hadits dho’if bukanlah yang
dimaksudkan mereka menggunakan hadits dho’if serampangan
begitu saja. Namun, maksud mereka adalah bahwasanya
dibolehkan menggunakan hadits dho’if untuk menjelaskan fadha’il
a’mal (keutamana amalan) dalam amalan yang telah disyari’atkan
dalam syari’at dengan dalil-dalil yang shohih seperti dzikir, puasa,
dan shalat. Hal ini dimaksudkan agar jiwa manusia selalu
mengharapkan pahala dari amalan-amalan tersebut atau
menjadi takut untuk melaksanakan suatu kejelekan. Para
ulama tidak menghendaki penetapan hukum syar’i dengan hadits-
hadits yang dho’if/lemah yang tidak memiliki landasan pokok dari
hadits yang shohih. Seperti yasinan/tahlilan tidak memiliki dalil
dari hadits yang shohih sama sekali yang menjadi landasan
pokok dalam penetapan hukum.
Para ulama yang membolehkan beramal dengan hadits dho’if di
dalam fadho’il a’mal juga memberikan persyaratan bagi hadits
yang boleh diamalkan dalam hal tersebut. Syarat-syarat tersebut
adalah: (1) Hendaknya hadits tersebut bukanlah hadits yang
sangat dho’if/lemah, (2). Hendaknya hadits tersebut masuk di
bawah hadits shohih (atau hasan, pen) yang umum, (3) Di dalam
mengamalkannya tidak diyakini keshohihannya, (4) Hadits ini
tidak boleh dipopulerkan.
Syarat-syarat di atas di dalam prakteknya sulit sekali
diterapkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Kebanyakan dari
mereka tidak bisa memilah antara hadits dho’if dengan hadits
yang dho’if jiddan (lemah sekali) dan antara hadits yang di
dalamnya memiliki landasan dari hadits yang shohih dengan yang
tidak. (Lihat Majalah Al Furqon, thn.6, ed.2 dan Ilmu Ushul Bida’)
Maka pendapat terkuat dalam hal ini adalah bahwa hadits dho’if
tidak boleh digunakan secara mutlak termasuk juga
dalam fadha’il a’mal. Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah


kami jalan yang lurus” (QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang
lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat
berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat
lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para
shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’:
69)

Siapakah Salaf Itu?
Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang
dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para
sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di
atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi
nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para
sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi
Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para
syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al
Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang
saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah
salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama
itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah
maupun dakwah.
Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas petunjuk baginya. dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)
Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud
adalah para sahabat Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka
dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka serta
menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100).
Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari
pengaruh-pengaruh peradaban lama dan warisan berbagai
kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan
pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah
Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan
Rasulullah telah menegaskan saat beliau sakit mendekati
wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya,
Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan
sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salaf bagimu” (HR.
Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak
menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab mereka.
Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka
mengatakan, “Dan setiap kebaikan itu dengan mengikuti
kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari bid’ahnya
kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang
menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya, bahkan
wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah
kebenaran.
Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat
Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut
dengan kembalinya umat pada agama Islam yang murni, yaitu
dengan meniti manhajsalaf. Di tengah maraknya perpecahan
umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-
beda dan saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang
benar yaitu jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah yang kemudian disebut dengan kembali
kepada pemahaman yang benar, pemahamannya Rasulullah dan
tiga generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’
tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para
imam dan ulama. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebenaran
dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali
kepada pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat terakhir ini kecuali
dengan apa yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”
Wallahu a’lam.
Mari Mengenal Manhaj Salaf

Segala puji bagi Allah yeng telah mengutus Nabi


Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membangkitkan
para sahabat sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir masa. Amma ba’du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah
melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali
masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang belum mereka
mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas kebingungan inilah
kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan
bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat
bersama bahwa cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan
ajaran Islam yang harus kita jaga. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang
kepada kalian membawa berita maka telitilah
kebenarannya…” (QS. Al Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan
ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn
X/1427 H/2006 M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah
yang cukup populer namun sering disalahpahami oleh sebagian
orang. Istilah yang dimaksud adalah
kata salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya
hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan maka
kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala untuk turut
berpartisipasi mengurai “benang kusut” ini. Semoga Allah
menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-
Nya semata. Wallahu waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits abad
ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah membeberkan perkara ini
dengan gamblang dalam buku beliau Limadza Ikhtartul Manhaj
Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,
Lc. hafizhahullah dengan judulMengapa Memilih Manhaj
Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat
menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk memiliki
atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, “Tak kenal
maka tak sayang…”
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan
berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum
muslimin sekalian agar menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu
kesalah pahaman dan niat yang buruk. Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang benar dan
niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang
dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang
hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat
ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan
Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah
hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang
yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki
niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang
pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat
(an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman
dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…”
(I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal.
44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua
berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang
kita hadapi ini sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik
yaitu untuk mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal
ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan orang-
orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa
mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh
dalam kekeliruan, sungguh betapa banyak orang semacam ini…
Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat dari sisi
taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah didapatkannya
(meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah
termasuk golongan orang yang ‘mengerti’, namun amat
disayangkan ilmu yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan
terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui adanya
sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj
salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah
Saudi Arabia (Ini sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah
seseorang bukanlah ukuran kebenaran). Bahkan ada di antara
mereka yang berhasil mendapatkan predikat cum laude di sana,
namun tatkala pulang ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan
hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi,
ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan
jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan mereka
kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan
menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara
kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan
maka kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika
kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang
demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan lebih bagus
hasilnya.” (QS. An Nisaa’: 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul
amri adalah mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan
juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan bahwa
makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al Qur’an).
Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran
(Sunnah) beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri
adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal
maksiat. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya ketaatan itu
hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan kemungkaran).” (HR.
Bukhari dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam
suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.
Kalimat tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid
dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan perintah dari
Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan
oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok
agama maupun cabang-cabangnya hendaknya perselisihan
tentang hal itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As
Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya kembali
kepada Allah.” (QS. Asy Syuura: 10). Maka segala keputusan
yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta dipersaksikan
keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan
tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…”
(lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari sisi
ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar
bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan, “Kata salaf juga berarti
orang yang mendahului kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak
kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan keutamaan.
Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para
sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).”
(Lisanul ‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30). Makna
semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam
ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala mereka membuat Kami
murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan
mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf
(pelajaran) dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az
Zukhruf: 55-56). Artinya adalah: Kami menjadikan mereka
sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang melakukan
perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang
sesudah mereka mau mengambil pelajaran dan mengambil
nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini
dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita.
Dalam kamus Islam kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada
jaman Nabi kata ini sudah dikenal. Seperti terdapat dalam sebuah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada puterinya
Fathimah radhiyallahu ‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya
sebaik-baik salafmu adalah aku.” (HR. Muslim). Artinya sebaik-
baik pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul
Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh sebab itu secara bahasa,
semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat seperti
Fir’aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi,
para syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll.
Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah makna
bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini supaya jelas bagi
kita semuanya dan tidak muncul komentar, “Lho kalau begitu JIL
juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu”. Maaf,
Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan “Kenapa harus disebutkan
pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya
menyelisihi pengertian bahasanya?”. Maka kami akan
menjawabnya sebagaimana jawaban Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah
supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek
penamaan syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut
bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya
istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total dari sumber
pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu
sama lain. Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha’ (ahli fikih
atau ahli agama) rahimahumullah setiap kali hendak
mendefinisikan sesuatu maka mereka pun menjelaskan bahwa
pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini
diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan
antara makna lughawi dengan makna ishthilahi.” (lihat Syarh
Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata
salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3
kemungkinan berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in).
Ketiga: Shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah diakui
kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa
menghidupkan sunnah dan berjuang membasmi bid’ah (lihat Al
Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan, “Adapun
secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang
melekat secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Adapun para ulama sesudah mereka juga tercakup
dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama mereka yang
meneladani para sahabat.” (Limadza, hal. 30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql mengatakan, “Salaf
adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi’in dan
para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang
mendapatkan keutamaan (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, -
red). Dan setiap orang yang meneladani dan berjalan di atas
manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai
bentuk penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah min
Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah
generasi awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan senantiasa menjaga
Sunnah beliau. Allah ta’ala telah memilih mereka untuk
menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam
umat ini pun merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad
di jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka kerahkan
daya upaya mereka untuk menasihati umat dan memberikan
kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi
menggapai keridhaan Allah…” ( lihat Limadza, hal. 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
orang adalah di jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah
mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (tabi’ut
tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini.
Demikian pula setiap orang yang menyerukan dakwah
sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang
menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan
istilah salafi, artinya pengikut Salaf. Adapun pembatasan istilah
salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun
sudah muncul tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan
tetapi kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan
perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah serta
pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun
orangnya asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As
Sunnah maka berarti dia adalah pengikut salaf. Meskipun jarak
dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang
yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak
beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk
golongan mereka, meskipun orang-orang itu sesuku atau bahkan
saudara Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Al Wajiz, hal.
22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata “Salaf”
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab
Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Rasyid bin
Sa’ad berkata: Para salaf menyukai kuda jantan. Karena ia lebih
lincah dan lebih berani.” Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, “Maksudnya
adalah para sahabat dan orang sesudah mereka.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud (oleh Rasyid) adalah para
sahabat radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah
seorang tabi’in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut
salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya.”
Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri mengatakan
mengenai tulang bangkai semacam gajah dan selainnya: Aku
menemui sebagian para ulama salaf yang bersisir dengannya
(tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut.
Mereka memandangnya tidaklah mengapa.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para
sahabat radhiyallahu’anhum, karena Az Zuhri adalah seorang
tabi’in.” (lihatLimadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab
Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim
mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin ‘Abdullah. Ia
(Muhammad) mengatakan: Aku mendengar ‘Ali bin Syaqiq
mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak
mengatakan di hadapan orang banyak, “Tinggalkanlah hadits
(yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum
salaf.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah para
sahabat radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di dalam
kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang
dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang
berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i pernah berpesan,
“Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah sebagaimana
kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka
katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan
diri dari sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena
sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka
cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang dimaksud adalah
sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini
karena Al Auza’i adalah seorang tabi’in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah
penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna
salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian orang sebagai
aliran pesantren yang menggunakan metode pengajaran yang
kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa
salafiyah bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi
sebagai sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami
modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka ketika
mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan
memakai sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab
kuning. Sebagaimana itulah kenyataan yang ada pada sebagian
kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai pondok
salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum
salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah adalah
penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan penisbatan
terpuji yang disandarkan kepada manhaj yang lurus dan bukanlah
menciptakan sebuah madzhab yang baru ada.” (lihat Limadza,
hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dan
tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai
pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan
merasa mulia dengannya. Bahkan wajib menerima
pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama).
Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah
kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal.
33). Maka sungguh aneh apabila ada orang zaman sekarang ini
yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah
adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahumallah yang ‘memberontak’ dari tatanan yang
sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran
yang membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah
salafiyah maka yang tergambar di benak mereka adalah kaum
Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat dengan
berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan.
Atau ada lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan
reformasi dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani
bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris di
Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu
sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan
pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah
orang yang tidak mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan
makna, asal-usul dan perjalanan waktu yang hakikatnya
tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah
menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk
mensifati setiap orang yang mengikuti pemahaman
sahabat radhiyallahu ‘anhumdalam hal akidah dan manhaj
sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang
ahli sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam
kitabnya Siyar A’laamin Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan
ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci
selain menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun
mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad
Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali
begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan
(yang tercela) dan beliau juga tidak ikut meramaikan
perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah seorang
salafi.” (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang
disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup
pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada
tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan
sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu
Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu lahir
sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut
sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan
semacam ini kita akan menafsirkan bahwa Imam Ad
Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad
bin Abdul Wahhab?? Jawablah wahai kaum yang berakal…
Anak kelas 5 SD pun (bukan bermaksud meremehkan, red) tahu
kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah keberadaan
yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid’ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah adalah
istilah bid’ah karena ia tidak digunakan pada masa
sahabat radhiyallahu’anhum. Maka jawabannya ialah: Kata
salafiyah memang belum digunakan oleh Rasul dan para sahabat
karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum
muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam
yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti
ini. Mereka bisa memahami Islam dengan murni tanpa perlu
khawatir akan adanya penyimpangan karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di antara
mereka. Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan
bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu Nahwu,
Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama yang
membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada
di zaman Nabi ?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai
kekeliruan dan penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab
maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi
meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa
Arab. Maka demikian pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan
pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat
dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi
mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang
masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang
menyerukan pemahaman yang menyimpang itu juga mengaku
sebagai pengikut Al Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita
inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-
pemahaman lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan
salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari istilah
ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen
dengan pengingkaran ini maka dia pun harus menolak penamaan
lainnya yang tidak ada di zaman Nabi seperti istilah Hanbali
(pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu
Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia
mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka kami katakan:
Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu,
namun kami tetap mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih
layak untuk dipakai daripada istilah Hanbali, Hanafi atau
Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah
penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh
Allah dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat
dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan Nahdhiyyiin
adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak
terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin
dari kesalahan mereka secara kelompok. Maka bagaimana
mungkin kita bisa menerima penisbatan kepada pribadi dan
kelompok yang tidak ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan
justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang
ma’shum…?? Laa haula wa laa quwwata illa
billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal.
66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah,
silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang
teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik Fatwa, Majalah Al
Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427 H/April 2006 M hal.
51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah
ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah?
Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru kepada partai,
kelompok atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan
sebuah firqah (kelompok) baru di dalam Islam? Maka
beliaurahimahullah menjawab, “Sesungguhnya kata Salaf sudah
sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita
pahami pada kesempatan ini adalah pengertiannya menurut
pandangan syari’at. Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau berkata
kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat beliau
menderita sakit menjelang kematiannya, “Bertakwalah kepada
Allah dan bersabarlah. Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf
(pendahulu)mu adalah aku.” Begitu pula para ulama banyak
sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini
terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya
kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan
yang digunakan para ulama dalam rangka memerangi berbagai
macam bid’ah. Mereka mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam
sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan bersumber
dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan).” …”
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan tetapi
ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli
ilmu; ia mengingkari penisbatan ini dengan sangkaan bahwa
istilah ini tidak ada dasarnya di dalam agama, sehingga ia
mengatakan, “Tidak boleh bagi seorang muslim untuk
mengatakan saya adalah seorang salafi.” Seolah-olah dia ini
mengatakan, “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: Saya
adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan
perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti
ini -meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan
konsekuensi untuk berlepas diri dari Islam yang shahih yang
diamalkan oleh para salafush shalih yang mendahului kita yang
ditokohi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan
selainnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat),
kemudian diikuti orang sesudah mereka, dan kemudian sesudah
mereka.” Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi
seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya
kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan
(salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri dari penisbatan
(kepada kaum atau kelompok) yang lainnya niscaya tidak ada
seorang pun di antara para ulama yang akan menyandarkannya
kepada kekafiran atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda
Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As
Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat
adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita
mencintai Nabi maka kita pun harus mencintai orang-orang
pertama yang telah mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka
untuk membela dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan
Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum
Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di atas kebencian
kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja’far Ath
Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab ‘Aqidahnya
yang menjadi rujukan umat Islam di sepanjang zaman, “Kami
mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara
mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di
antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka
dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka
dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali
dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama,
iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini
adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-dalil syari’at, bukan
sekedar omong kosong dan bualan belaka sebagaimana
akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa mencintai
kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari
rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab
Shahihnya dengan judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai
kaum Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits
dari Anas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar, dan
tanda kemunafikan adalah membenci kaum Anshar.” (Bukhari no.
17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam Kitabul
Iman dengan lafazh,“Tanda orang munafik adalah membenci
Anshar. Dan tanda orang beriman adalah mencintai
Anshar.” (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha’il
Anshar(Keutamaan kaum Anshar). Imam bukhari juga
membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum Anshar,
tidak ada orang yang mencintai mereka kecuali orang
beriman.” Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab
shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang beriman kepada
Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar.”(Muslim no.
77). Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai mereka
kecuali orang beriman dan tidaklah membenci mereka kecuali
orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah
mencintainya. Dan barangsiapa yang membenci mereka maka
Allah juga membencinya.”(Muslim no. 75). Begitu pula Imam
Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu Sa’id di dalam Musnadnya,
bahwa Nabi bersabda, “Mencintai kaum Anshar adalah keimanan
dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari,
1/80, Syarah Muslim, 2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits
di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini adalah
barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum Anshar,
keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap agama Islam,
upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat
Islam (dari serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka
dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam yang
dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada
mereka, kesungguhan mereka dalam mengerahkan harta dan
jiwa di hadapan beliau, peperangan dan permusuhan mereka
terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi,
red) demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi
salah satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam
memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi
menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah
bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al
Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para sahabat adalah
generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu was
salam, “Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian
orang-orang yang mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian
generasi berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu
adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam
bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam. Sehingga
mencintai mereka adalah keimanan dan membenci mereka
adalah kemunafikan. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “…
Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya
mereka (para sahabat).” (QS. Al Fath: 29). Maka kewajiban
seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat
dengan dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah
mencintai mereka dan juga kecintaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad di
jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai belahan timur
dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada
beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang
diturunkan bersamanya. Inilah akidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah, hal. 489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh Shalih
Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, “Sebaik-baik kurun
(masa) adalah masaku dst” dengan lafazh khairul quruun….
Syaikh Salim Al Hilaly mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam
banyak kitab dengan lafazh khairul quruun(sebaik-baik masa).
Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara
keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami
sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia, red).”
(lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi, hal. 87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu adalah
utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam
Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman
yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-
orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar.” (QS. Al Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa
salah satu ciri para sahabat yaitu membuat jengkel dan marah
orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat
yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat inilah Imam
Malik rahimahullah menarik sebuah kesimpulan hukum
sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat darinya untuk
mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi’ah) yang membenci
para sahabat radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik)
mengatakan, “Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat
benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang
membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia telah kafir
berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok
ulamaradhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau ini…”
(lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir ini
teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum
Syi’ah (yang dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada
sekarang ini) dengan Ahlus Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik
atau perebutan kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama
sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah
wawancaranya dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan
syubhat kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara
Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang
dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu
muncul peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali
bin Abi Thalib dan anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut
Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung
atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî’ah. Selanjutnya
kata syî’ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali
yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam
Islam. Sedangkan pihak yang menindas Ali dan pengikutnya
dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu
itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik.
Namun doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan
Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah
kedustaan… !!! (silakan baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat
dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66, hal 42-72 yang membongkar
kedok kaum Syi’ah dengan menyertakan fatwa-fatwa para ulama
tentang Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6
Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah Semoga
Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz
kita karena jasa mereka ini. Bacalah!!).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu memiliki
keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat
Islam) dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara
umat ini yang mampu menyamai kehebatan mereka, semoga
Allah meridhai mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah
telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal
mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu. (Imam) Muslim
mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya menceritakan
kepada kami, Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al
A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya ada
salah seorang di antara kalian yang berinfak emas sebesar
Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai (pahala) satu mud
sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak.” (HR. Muslim
dalam Fadha’il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam
kitab Al Manaaqib no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang
artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-
orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100). Di dalam
ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia yaitu: kaum
Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar
itulah generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi.
Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan, “Ayat
yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang menjelaskan
kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para
Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah ‘azza wa jalla telah
ridha kepada para Shahabat dan mereka pun ridha kepada Allah
‘azza wa jalla. Dan Allah ‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang
yang mengikuti perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur
dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka yang
tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai
mengkafirkannya, maka mereka tidak akan mendapatkan
keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al Masaa’il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat ini,
“Allah ta’ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada
orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik. Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka
adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh dengan
kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…” (Tafsir
Ibnu Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang
dimaksud dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin
dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah). Imam
Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan, “Orang-
orang yang mengikuti” di dalam ayat ini adalah orang-orang
sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-
kata, “dengan baik” merupakan ciri pembatas yang menunjukkan
jati diri mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang
mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang teguh
dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan
sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal
Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan oleh Syaikh As Sa’di
di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir dan Taisir Karimir
Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud
dengan “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” di
dalam ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka
dalam beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari
negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari keridhaan
Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini
merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan
bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat) dan
membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat dan
menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah berani membenci
suatu kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi
bahwa kebencian kepada orang yang sudah diridhai Allah
merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla wa ‘ala,
tindakan congkak dan melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul
Bayaan, Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran
ayat ini Imam Ibnu Katsir rahimahullah memberikan sebuah
komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul bid’ah
pencela shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka
orang yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat),
sungguh celaka orang yang membenci atau mencela sebagian
mereka…” Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah
yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik
sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam Ibnu
Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan
celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah) menunjukkan bahwa akal
mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah terbalik. Lalu
dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga
berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah
diridhai oleh Allah?…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah
telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka yang membenci dan
mencaci maki para shahabat; generasi terbaik yang pernah hidup
di permukaan bumi ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah
ridha kepada mereka dan saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih ‘Irbadh bin
Saariyah radhiyallahu’anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memberikan sebuah nasihat kepada
kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata
bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau, “Wahai
Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari orang yang
hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat
kepada kami”. Beliau pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada
kalian supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah
mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Karena sesungguhnya
barangsiapa yang hidup sesudahku niscaya akan menyaksikan
banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan Sunnahku, dan
Sunnah para khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah
sunnah itu dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-
perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena semua
bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat.”
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi) menilainya ‘Hadits hasan
shahih’. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah menyebutkan bahwa
derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad
(4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174),
Ibnu Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah As
Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet. Markaz Fajr lith
Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala
menyaksikan sekian banyak perselisihan yang ada sesudah
beliau wafat: yaitu berpegang teguh dengan Sunnah Nabi dan
Sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan bahwa
yang dimaksud Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang
empat yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 201).
Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa mereka adalah
keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma’ (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
mengatakan, “Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan,
sebagaimana disebutkan di dalam hadits) supaya berpegang
teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan ‘alaikum bi
sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah
Nabi)…”. Beliau rahimahullah juga berkata, “Sedangkan makna
kata Sunnah beliau ‘alaihish shalaatu was salaam adalah: jalan
yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal,
ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan
Sunnah (ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya.
Sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka
demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65). Dengan
demikian Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-
satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki Allah
untuk selamat dari berbagai perselisihan dan berbagai macam
kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “…
Kemudian beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan
beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan
jalan Khulafa’ur Rasyidin Al Mahdiyyin. Dan juga termasuk di
dalamnya (Khulafa’ur Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan
dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka ialah empat
orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam
Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu
umum berlaku bagi setiap khalifah yang lurus dan tidak
dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja.
Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa
seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk
menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/50-51,
dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’ Fatawa,
1/282), “Adapun yang dimaksud
dengan Sunnah (ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya
mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali
berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia
termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari Limadza, hal.
73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan 7/420) Al Mubarakfuri
juga mengatakan, “Bukanlah yang dimaksud
dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali jalan hidup mereka
yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam…” (dinukil dariLimadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau
mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua keterangan
ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur Rasyidin adalah
pemahaman para Shahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap
agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana
jalan pemahaman dan penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi
mereka…” (Limadza, hal. 75) Maka kita juga mengatakan
bahwasanya jalan keluar bagi umat Islam dari sekian banyak
perselisihan yang dapat kita saksikan dengan mata kepala kita
pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan
aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti
pemahaman para Shahabat radhiyallahu’anhum. Atau dengan
kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan mengikuti manhaj
salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Barangsiapa tidak mengikuti pemahaman para Shahabat maka
dia telah menentang Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah
As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya, baik berupa keyakinan,
perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini Sunnah
menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih.
Karena sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan
ibadah yang bila dikerjakan berpahala akan tetapi bila
ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang dimaksud dalam
istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para
sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan
bacaLau Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17
baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka Ibnu Katsir
hal. 36-40).
Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang
bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah
syar’i, al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu di atas
kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta orang-orang
sesudah mereka hingga hari kiamat yang meniti jejak mereka
dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir
maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia
Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al
Jama’ah adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun
engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih,
hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas jama’ah
bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia
berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang
dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum.
Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan oleh Rasul ketika
menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73
golongan, semuanya di neraka kecuali satu yaitu al jama’ah.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-
orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat.
Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama
ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’
Fatawa (3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits
yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab sunan dan
musnad.” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath
Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204
karya Al Imam Al Albani rahimahullah, baca keterangan tentang
status dan faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam
buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196).
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang
yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang
mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam
berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan, demikian pula
orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti
Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka
senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah)
hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu maka mengikuti
mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi mereka adalah
kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah ‘salaf’
(lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah
Lengkap hal. 40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di
dalam Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal.
17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al
Jizani hafizhahullah).
Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah yaitu
orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah sesudah ditegakkan
hujjah atas mereka, baik bid’ah i’tiqadiyyah (keyakinan) maupun
bid’ah amaliyah (amalan), tetapi kemudian mereka tetap
istiqamah dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170).
Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang
atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani berkata,
“Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah tidaklah secara
otomatis menjadikannya sebagai seorang ahli bid’ah….” “…Ada
dua persyaratan agar seseorang dikatakan sebagai ahli bid’ah:
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa
nafsu.
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa
Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini)
berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah secara
otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan ahli bid’ah bagi
orang yang telah jelas dan dikenal dengan bid’ahnya. Sebagian
orang sangat berani dalam pembid’ahan sampai-sampai
mentabdi’ orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat
yang banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap
orang yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari
Ringkasan buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya
Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah
yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah? Beliau
menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama’ah
hanyalah orang-orang yang benar-benar berpegang teguh
dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya.
Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik
dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal
praktik hukum. Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus
Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas
Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah niscaya
anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah
dan amaliah, ini menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari
petunjuk As Sunnah, tergantung dengan kadar kebid’ahan yang
mereka ciptakan.” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di kalangan
para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut
dan pembela hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul
Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi), Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang
terasing dari berbagai keburukan), Ath Thaa’ifah Al
Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah)
dan Al Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada
saat sekarang ini ketika banyak kelompok dalam tubuh umat
Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih
maka bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah
pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al Firqah
An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14).
Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang
sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah maka kami
sarankan untuk membaca Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang
diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah
menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-
baiknya kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin
membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al Firqatun
Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga sama
dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah
Teroris cet. I hal. 77-95. Semoga Allah merahmati para ustadz
kita dan menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah
dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid’ah, …
Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang
terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau wafat. Kami
sangat mengharapkan keterangan dari yang mulia tentang hal
itu? Beliau menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud
di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi
di Kitabul Iman bab Iftiraqu Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah
di Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu
menceritakan bahwa kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71
kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara berpecah menjadi
72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh
firqah ini terancam berada di neraka kecuali
satu firqah. Firqah tersebut terdiri dari orang-orang yang
berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama
sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beserta para sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut
dengan Al Firqah An Najiyah(kelompok yang selamat). Mereka
selamat dari kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka
terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath
Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan
dan dimenangkan) yang akan tetap eksis hingga datangnya hari
kiamat. Mereka senantiasa menang dan mendapatkan ketegaran
dalam menegakkan agama Allah ‘azza wa jalla.”
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas
kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan.
Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu dan
menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul bida’ (kaum
pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi lagi menjadi
beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut
yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa dalam hal ini
sikap yang lebih baik ialah menahan diri untuk tidak merincinya.
Mereka beralasan karena bukan hanyafirqah-firqah yang sudah
ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang
yang tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa
sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang muncul setelah
tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang. Mereka berpendapat
bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak mungkin
bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir
zaman ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih
baik ialah kita sebutkan secara global saja bilangan yang sudah
disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan berpecah belah
menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu.
Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang
dari petunjuk dan pemahaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya adalah termasuk dalamfirqah-
firqah ini. Dan bisa juga Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat
yang belum bisa kita ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali
hanya sebatas sepuluh aliran saja yang baru bisa kita lihat. Atau
bisa juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengisyaratkan
beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh
sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah
‘azza wa jalla.” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya jalan
yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di atas Al Qur’an dan As
Sunnah dengan pemahaman salafush shalih. Maka tidak kalah
pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai kelompok
Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali
perkataan Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita
cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman yang
benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling agung
yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah
seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan
lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua
nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama
Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua
nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak di
jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang
yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia
selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-
orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia
akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi nikmat
(an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman
dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..”
(I’laamul Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal.
44) Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan
berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia dari jalan
yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat.
Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam
maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini
pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-penyimpangan yang
ada pada para pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di
antara mereka yang murni mengikuti sebuah aliran masa silam
tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari
berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok mereka.
Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai nama
lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang
indah dan mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak
puas dengan referensi-referensi Islam dan mencoba menggali
‘tambahan pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di
antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran Islam.
Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan dengan
manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan ajaran
Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-
orang yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran
agama Islam. Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun
mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide mereka dalam
bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi
mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni
pikiran para generasi muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan
tidak jarang ada di antara mereka yang nekat turun ke jalan dan
mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang berani
mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa
hak. Subhaanallaah…!!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
“Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain
identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti
contohnya: Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah,
Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-
kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah
sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi
kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad, dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi
Lum’atil I’tiqad hal 90. Namun di sana tidak disebutkan nama
Khawarij, dugaan saya ini adalah salah cetak, sebagaimana
tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij.
Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Al
‘Utsaimin, hal. 161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu
Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri
Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki
beberapa ciri, di antara cirinya adalah:
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah
sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik
yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun
keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan
mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada
kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi
mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin
agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu
gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari
penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain.
Mereka itu adalah:
1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas
dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga
mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari
kalangan para Shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di
antara mereka yang menuduh para Shahabat telah menjadi
fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ini pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka
ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali
bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih
rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh
mereka di zaman ini adalah Khomeini beserta begundal-
begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun
V/Muharram 1427 hal. 49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah
penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya
sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah
menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam
masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham
Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang
terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan
kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan
madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang
menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati
tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga
konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar
adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul
musta’aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak
kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena
alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka
ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa
muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga
terbagi menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang
Pemberontakan, silakan baca Majalah Al Furqon Edisi 6
Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang
berpendapat menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka
meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan
kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari
kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan
pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode
kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada yang
ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan
karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun
sama sesatnya.
5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati
saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa
besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun
dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan
ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan
dari madzhab Khawarij.
6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’
yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al
Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa
besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di
antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi
juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang
mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka
dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak
(ta’thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam
masalah takdir mereka ini menganut paham Qadariyah.
Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka
menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan
dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan
dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham
Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan
keimanan. Inilah anehnya bid’ah, dua prinsip aliran sesat
yang bertentangan bisa bertemu dalam satu
tubuh. Tahsabuhum jamii’an wa quluubuhum syattaa. Kalian
lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati
mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin
Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih
(penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti
pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id
bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan
statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan
dengan akal. Kemudian kaum Asya’irah (yang mengaku
mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun
mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita
ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al Asy’ari pada awalnya
menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun.
Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan
membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah
perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau
sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau
mengakui sifat-sifat Allah kecuali tujuh saja yaitu: hidup,
mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak, mendengar
dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total
dan berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah,
semoga Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad,
hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan
firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang
sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di
antara firqah sesat lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan
berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-
sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam
kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar ber-
tahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai
macam alirannya, seperti contohnya: Jama’ah Hijrah wa
Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah
mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya
pengeboman dan pemberontakan kepada penguasa,
red),Jama’ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi,
Jama’ah-jama’ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung
paham Khawarij tulen, kelompok Al Jaz’arah, begitu juga
(gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di tingkat internasional
maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap
Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz
Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di antara
mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang
menjadi beberapa Jama’ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan
orang). Dan kelompok-kelompok sesat selain mereka masih
banyak lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-92,
bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan
bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada silakan membaca
buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama’ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras
tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan mengkotak-kotakkan
umat Islam dalam sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan.
Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai
oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah
ditanya, “Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di
dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas
kepadanya ?” Komite tersebut menjawab: “Tidak diperbolehkan
kaum muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi
berbagai kelompok dan golongan… Karena sesungguhnya
perpecahan ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita.
Allah mencela orang yang menciptakan dan juga orang yang
mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah telah
mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian dengan
tali Allah dan janganlah berpecah belah..” (QS. Ali ‘Imran : 103)
sampai firman Allah ta’ala, “Dan janganlah kalian seperti orang-
orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih sesudah
datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi
mereka itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran: 105).
Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang
memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi
bergolong-golongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
kepada mereka.” (QS. Al An’am : 159). Adapun apabila
pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah, red) yang
melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-
milah mereka dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan
(bukan untuk memecah belah, red) maka tindakan semacam ini
disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H,
lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, “Tidak
terdapat dalil baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah
yang membolehkan munculnya berbagai macam jama’ah
dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As
Sunnah justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu)
menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa
pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang
ada pada sisi mereka (masing-masing).” (QS. Al Mu’minuun: 53).
Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini
bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak
belakang dengan anjuran yang disinggung di dalam firman Allah
ta’ala, “Sesungguhnya (agama Tauhid) Ini adalah agama kamu
semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, Maka
sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiyaa’: 92)” (lihat Silsilah Abhats
Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah
membolehkan orang untuk khuruj (keluar daerah untuk
berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama
Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan,
“Jama’ah Tabligh tidak memiliki bashirah (ilmu dan keterangan)
dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak
diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang
yang sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman
yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh Ahlus
Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan dan
menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No. 1438
tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam Majmu’
Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan
dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam
permasalahan ini para ulama lainnya juga memberikan fatwa
yang melarang terbentuknya
berbagai jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah
Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar
kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
(mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan
ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan
negeri lain, semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh
dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam
yang menyerukan persatuan dan mengajak untuk mempererat
jalinan ukhuwah di antara sesama muslim namun di saat yang
sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan
partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya,
mengenakan kaos dan beraneka atribut partai, merentangkan
spanduk kebanggaannya serta memobilisasi massa untuk
mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang
lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan
Islam) abad 21 yang berusaha ‘menegakkan benang
basah’ dan rela untuk merengek-rengek kepadaDemokrasi demi
mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah orang
yang mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf
artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan baik,>Salaf bukanlah pabrik atau partai atau
organisasi atau yayasan atau perkumpulan atau perusahaan…
jangan salah paham. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah
bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari
perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa disebut
dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat)
atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang mendapat
pertolongan) atau Al Jama’ah atau Al Ghurabaa’ (orang-orang
yang asing), beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang
beragama sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada
hari ini.” (HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih
Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama
kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita,
ibadah kita, dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras
dengan petunjuk Rasul dan para sahabat ataukah belum?
Pikirkanlah baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang:
Benarkah apa yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan
Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan pemahaman
sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita
ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama
Salaf dari zaman ke zaman. Ukurlah keadaan kita dengan
timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf.
Ingat, jangan ta’ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan
manhaj yang benar, baru saudara akan bisa menilai apakah
manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan
pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-paksa
biar kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: ‘Kenalilah
kebenaran maka engkau akan mengenal siapa yang benar!’
Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa
individu, sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau
pergerakan, atau perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun
namanya kalau ternyata itu semua menyimpang dari jalan Rasul
dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda
bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah
kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala dari
atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, “Dan janganlah
kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu
tentangnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati semua itu pasti akan dimintai
pertanggungjawaban.” (QS. Al Israa’ : 36). Peganglah akidah ini
kuat-kuat!!
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: “Inilah jalan
(agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah,
dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf:
108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,
“Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam: [katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan
yang kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu
suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan negeri
kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap
kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran
serta mengikhlashkan ketaatan beragama hanya untuk Allah,
tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak kamu kepada Allah]
artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar
menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa
mendorong mereka untuk itu, dan aku memperingatkan mereka
dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu. Bersama itu
akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku,
(dakwahku) tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada
keraguan, kebimbangan dan ketidakpastian. [dan] begitu pula
[orang-orang yang mengikutiku], mereka mengajakmu kepada
Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari
agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang
disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya
atau mengurangi kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk
orang-orang musyrik] dalam segala urusanku, tetapi aku
menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama untuk-Nya.”
(Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Demikianlah yang dimudahkan bagi kami untuk menyusun tulisan
ini. Tulisan ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Yang
benar bersumber dari Allah. Sedangkan yang salah berasal dari
kami dan dari syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
kesalahan kami. Dan kami memohon ampun kepada Allah
atasnya. Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang
budiman sangat kami harapkan demi tegaknya kebenaran dan
untuk mengharapkan limpahan ridha, rahmat dan barakah dari
Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah menerima amal-amal
kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada
teladan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia.
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah
Catatan:
Mohon kepada ikhwah sekalian untuk menyebarluaskan risalah
ini secara utuh tanpa merubah content dan memenggal tulisan di
dalamnya, serta jangan lupa untuk tetap mencantumkan
sumbernya (muslim.or.id). Jazaakumullahu khoiron…
Mengenal Salaf dan Salafi

Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita


kepada kebenaran-. Salaf dan salafi mungkin merupakan kata
yang masih asing bagi sebagian orang atau kalau toh sudah
dikenal namun masih banyak yang beranggapan bahwa istilah ini
adalah sebutan bagi suatu kelompok baru dalam Islam. Lalu apa
itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga tulisan berikut
ini dapat memberikan jawabannya.
Pengertian Salaf
Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah yang artinya, “Maka tatkala
mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu
kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). Dan Kami
jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang
yang kemudian.” (QS. Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan
mereka sebagai SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-
orang sesudah mereka dapat mengambil pelajaran dari mereka
(salaf). Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al
Muhith mengatakan, “Salaf juga berarti orang-orang yang
mendahului kamu dari nenek moyang dan orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al Manhajus
Salaf ‘inda Syaikh al-Albani, ‘Amr Abdul Mun’im Salim dan Al
Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih, Abdullah bin Abdul Hamid Al
Atsary)
Kata ‘Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama
Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata
salaf, namun kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam
Bukhari -ahli hadits terkemuka- menuturkan, “Rasyid bin Sa’ad
mengatakan, ‘Dulu para SALAF menyukai kuda jantan, karena
kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.” Kemudian Ibnu
Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut adalah
para sahabat dan orang setelah mereka.
Imam Nawawi -ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam
kitab beliau Al Adzkar, “Sangat bagus sekali doa para SALAF
sebagaimana dikatakan Al Auza’i rahimahullah Ta’ala, ‘Orang-
orang keluar untuk melaksanakan shalat istisqo’ (minta hujan),
kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah …’.” Salaf
yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad,
dan Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ‘inda
Syaikh al-Albani)
Siapakah Salaf?
Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang
yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang
mengikuti tabi’in). Tiga generasi awal inilah yang disebut
dengan salafush sholih (orang-orang terdahulu yang sholih).
Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi
sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi.” (HR. Ahmad,
Ibnu Abi ‘Ashim, Bukhari dan Tirmidzi). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mempersaksikan ‘kebaikan’ tiga generasi awal umat
ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan mereka,
semangat mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu
mereka tentang syari’at Allah, semangat mereka berpegang
teguh pada sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Al
Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan Mu’taqod Ahlis Sunnah wal
Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)
Wajib Mengikuti Jalan Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik
umat ini, maka apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?
Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin
dan anshor serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Allah ta’alaberfirman yang artinya, “Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS.
At-Taubah: 100). Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini,
tidak ada jalan lain kecuali dengan mengikuti salafush sholih.
Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan
selain orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa:
115). Yang dimaksudkan dengan orang-orang mukmin ketika ayat
ini turun adalah para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang
menyelisihi jalan mereka akan terancam kesesatan dan
jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan salaf adalah wajib.
Menyandarkan Diri Pada Salafush Sholih
Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush
sholih adalah wajib, maka bolehkan kita menyandarkan diri pada
salaf sehingga disebutsalafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini
termasuk golongan/kelompok baru dalam Islam?
Jawabannya kami ringkas sebagai berikut: [1] Istilah salaf
bukanlah suatu yang asing di kalangan para ulama, [2]
Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas
diri dari Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih, [3]
Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan
pribadi tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari
(pengikut Abul Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu
adalah penyandaran kepada orang yang tidak luput dari
kesalahan dan dosa!! [4] Salafi adalah penyandaran kepada
kema’shuman secara umum (keterbebasan dari kesalahan)
sehingga memuliakan seseorang, [5] Penyandaran kepada salaf
bertujuan untuk membedakan dengan kelompok lainnya yang
semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah,
namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush
sholih yaitu para sahabat dan pengikutnya. (Lihat Al Manhajus
Salafi ‘inda Syaikh al-Albani).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali,
“Penamaan salafi adalah bentuk penyandaran kepada
salaf. Penyandaran seperti ini adalah penyandaran yang
terpuji dan cara beragama (bermanhaj) yang tepat. Dan
bukan penyandaran yang diada-adakan sebagai madzhab
baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf)
Solusi Perpecahan Umat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan solusi
mengenai perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh
pada sunnah Nabi dan sunnah khulafa’ur rasyidin -yang
merupakan salaf umat ini-. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang yang
hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak,
maka berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah
khulafa’rosyidinyang mendapat petunjuk. Maka berpegang teguh
dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih,
HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Jalan Salaf Adalah Jalan yang Selamat
Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari
neraka. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan; satu
golongan masuk surga, 70 golongan masuk neraka. Nashrani
terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71
golongan masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73
golongan; satu golongan masuk surga dan 72 golongan masuk
neraka. Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa
mereka yang masuk surga itu?’ Beliau menjawab, ‘Mereka
adalah Al-Jama’ah‘.” (HR. Ibnu Majah, Abu Daud, dishahihkan
Syaikh Al Albani). Dalam riwayat lain para sahabat
bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?‘ Beliau
menjawab,‘Orang yang mengikuti jalan hidupku dan para
sahabatku.‘ (HR. Tirmidzi)
Sebagai nasihat terakhir, ‘Ingatlah, kata salafi -yaitu
pengikut salafush sholih- bukanlah sekedar pengakuan (kleim)
semata, tetapi harus dibuktikan dengan beraqidah, berakhlak,
beragama (bermanhaj), dan beribadah sebagaimana yang
dilakukan salafush sholih.’
Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari
jalan-jalan yang menyimpang dan teguhkan kami di
atasnya. Alhamdulillahillazi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi
wa sallam.
Beginilah Seharusnya Seorang Salafy

Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah


atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri kita ini terkesan
sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak
pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka
saling menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan
mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-
sama mengaku Salafi (pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku
mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga
sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan.
Anggapan ini tidaklah seratus persen benar. Akan tetapi itulah
sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.
Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan
kepada Salaf adalah penisbatan yang sangat mulia. Salaf
bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak
atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan
(suka ngotot dan membantah). Oleh sebab itulah pada
kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah
seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah sebagai
pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah
memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa yang
dicintai dan diridhai-Nya.
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan
Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya
kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di
antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari
Golongan Yang Selamat?”
Jawaban:
Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang
dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh
dengan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah
(keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah
(interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda
dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri
mereka:
Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa
berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid
yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta
Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.
Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak
istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan
berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-
jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan
sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya
perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara
mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat
beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului
Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah
yang tidak diijinkan oleh Allah.
Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri
mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan
selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya:
mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka
ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain
yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.
Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin
hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka
menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual
dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum
berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan
menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli
mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan
(cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka
berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas
mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai
bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan
orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka
perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa
mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti
contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah
bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya
membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari
Golongan Yang Selamat.
Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah
seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-
mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini,
meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.
Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah
satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan
bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala
kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah
mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga
diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu
dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar
kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di
dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)
Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-
orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka
menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang
artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas
mereka.” (QS. Al An’am: 159). Sehingga kesatuan kata dan
keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol
yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal
Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara
mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara
ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki,
permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi
mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara
meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-
sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang
imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si
imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.
Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat
bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta.
Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu.
Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan
wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum
kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia
sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan
seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka
memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad
dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya
bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing
individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah
berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak
boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka
melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu
perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya
saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka
mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga
apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai
dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada
hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia
sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu
keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah
seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di
kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada
seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang
lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari
perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau
agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang
telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat
‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim),
maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah
namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah
hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat
‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu.
Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani
Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan
shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah
agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud
agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka
inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap
salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah
membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain
semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil
ini.
Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban
kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya
menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah
terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini
membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela
kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga
dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-
gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan,
saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam
masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di
dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap
kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti
bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.
Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal
Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda
pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal
itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut
pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan
pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah
perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka
yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan
kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu
diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang
apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah
mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang
secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum
muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal
sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk
menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi
ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di
atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal.
22-26)
Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui
kedalaman ilmu dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya
sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau gambarkan…
Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik
isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku
hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para
sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala
menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti
tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam
di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam
menerima dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-
sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh
dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan.
Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar
kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan
kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah
barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata
karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas
kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan
orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-
kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang
cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman
yang bungkam dari ketergelinciran kita.
Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali
bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri
justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam
saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih
menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’?
Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk
memperbaiki akhlak demi terjalinnya persatuan dan keterkaitan
hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon
kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima
kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-
dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan
kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang
mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan para ulama yang
Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha
Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan keselamatan
senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi Muhammad,
keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum
Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari
kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.
Cinta Sejati Kepada Sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Hukum Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam


Pada suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu
kecuali dari diriku sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun menjawab, “Tidak, demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai
daripada dirimu sendiri.” Maka berkatalah Umar, “Demi Allah,
sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR. Al-
Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [XI/523] no: 6632)
Di lain kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menegaskan, “Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak
akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada
orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [I/58] no: 15, dan Muslim
dalam Shahih-nya [I/67 no: 69])
Banyak sekali hadits-hadits yang senada dengan dua hadits di
atas, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama,
hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia
merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak
mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi dia dituntut
untuk mengedepankan kecintaannya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -tentunya setelah
kecintaan kepada Allah- atas kecintaan dia kepada dirinya
sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.
Potret Kecintaan Para Sahabat Kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam
Bicara masalah cinta Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa diragukan lagi
adalah orang terdepan dalam perealisasian kecintaan mereka
kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa? Sebab
cinta dan kasih sayang merupakan buah dari perkenalan, dan
para sahabat merupakan orang yang paling mengenal dan paling
mengetahui kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka tidak mengherankan jika cinta mereka kepada Beliau jauh
lebih besar dan lebih dalam dibandingkan kecintaan orang-orang
yang datang sesudah mereka.
Di antara bukti perkataan di atas, adalah suatu kejadian yang
terekam dalam sejarah yaitu: Perbincangan yang terjadi antara
Abu Sufyan bin Harb -sebelum ia masuk Islam- dengan sahabat
Zaid bin ad-Datsinah rodhiallahu ‘anhu ketika beliau tertawan oleh
kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari
tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid,
maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan
kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan
kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi
Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang
berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku
berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun
berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai
orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada
Muhammad!” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, karya Ibnu Katsir
[V/505], dan kisah ini diriwayatkan pula oleh al-Baihaqy
dalam Dalail an-Nubuwwah [III/326]).
Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud,
tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan
tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita
dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah
jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan
saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang.
Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati
beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya
perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”,
jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera
menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka
perempuan itu bergegas menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai
Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang
menimpa diriku) selama engkau selamat!” (Disebutkan oleh al-
Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid [VI/115], dan dia
berkata, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dari
syaikhnya Muhammad bin Su’aib dan aku tidak mengenalnya,
sedangkan perawi yang lain adalah terpercaya.” Diriwayatkan
pula oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [II/72, 332]).
Demikianlah sebagian dari potret kepatriotan para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengungkapkan rasa
cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pahala Bagi Orang yang Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam
Tentunya cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
suatu ibadah yang amat besar pahalanya. Banyak ayat-ayat Al
Quran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menjelaskan ganjaran yang akan diperoleh seorang
hamba dari kecintaan dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di antara dalil-dalil tersebut:
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Ada seseorang
yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
hari kiamat, “Kapankah kiamat datang?” Nabi pun shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Apa yang telah engkau persiapkan
untuk menghadapinya?” Orang itu menjawab, “Wahai Rasulullah,
aku belum mempersiapkan shalat dan puasa yang banyak, hanya
saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Maka Rasulullah pun shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Seseorang (di hari kiamat) akan bersama orang yang
dicintainya, dan engkau akan bersama yang engkau cintai.” Anas
pun berkata, “Kami tidak lebih bahagia daripada mendengarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Engkau akan bersama
orang yang engkau cintai.’” Anas kembali berkata, “Aku mencintai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar, maka
aku berharap akan bisa bersama mereka (di hari kiamat), dengan
cintaku ini kepada mereka, meskipun aku sendiri belum (bisa)
beramal sebanyak amalan mereka.” (HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [X/557 no: 6171] dan at-
Tirmidzi dalam Sunan-nya [2385])
Adakah keberuntungan yang lebih besar dari tinggal bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya di surga
kelak??
Hakikat Cinta Pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan
Ragam Manusia di Dalamnya
Setelah kita sedikit membahas tentang hukum mencintai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa potret cinta para
sahabat kepada Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, serta
ganjaran yang akan diraih oleh orang yang mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada perkara yang amat
penting untuk kita ketahui berkenaan dengan masalah ini, yaitu:
bagaimanakah sebenarnya hakikat cinta kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?, bagaimanakah seorang
muslim mengungkapkan rasa cintanya kepada al-Habib al-
Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apa saja yang harus
direalisasikan oleh seorang muslim agar dia dikatakan telah
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Masalah ini perlu
kita angkat, karena di zaman ini banyak orang yang menisbatkan
diri mereka ke agama Islam mengaku bahwa mereka telah
mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah
mengagungkannya. Akan tetapi apakah setiap orang yang
mengaku telah merealisasikan sesuatu, dapat diterima
pengakuannya? Ataukah kita harus melihat dan menuntut darinya
bukti-bukti bagi pengakuannya? Tentunya alternatif yang kedua-
lah yang seyogyanya kita ambil.
Manusia telah terbagi menjadi tiga golongan dalam memahami
makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Golongan yang berlebih-lebihan.
2. Golongan yang meremehkan.
3. Golongan tengah.
Kita mulai dari golongan tengah, yakni yang benar dalam
memahami makna cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Golongan ini senantiasa menjadikan Al Quran dan As
Sunnah sebagai landasan mereka dalam mengungkapkan rasa
cinta mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
pun meneladani para generasi awal umat ini (baca: salafush
shalih) dalam mengungkapkan rasa cinta kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena salafush shalih adalah
generasi terbaik umat ini, sebagaimana yang telah ditegaskan
oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu hadits
yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, “Sebaik-baik manusia
adalah generasiku (para sahabat), kemudian generasi sesudah
mereka (para tabi’in), kemudian generasi sesudah mereka (para
tabi’it tabi’in).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, lihat Fath al-
Bari [V/258-259, no: 2651], dan Muslim dalam Shahih-nya
[IV/1962, no: 2533])
Di antara bukti kecintaan mereka yang hakiki kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain:
a. Meyakini bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-
benar utusan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Beliau adalah Rasul
yang jujur dan terpercaya, tidak berdusta maupun didustakan.
Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah Nabi yang paling akhir, penutup para nabi. Setiap
ada yang mengaku-aku sebagai nabi sesudah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam pengakuannya adalah dusta, palsu dan batil.
(Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin hal: 137, Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-
Arba’in an-Nawawiyah, hal 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syeikh Shalih Alu Syaikh, hal 56).
b. Menaati perintah dan menjauhi larangannya. Allah
menegaskan,
‫َو َما آ َتا ُك ُم الرَّ سُو ُل َف ُخ ُذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َع ْن ُه َفان َتهُوا‬
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia,
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-
Hasyr: 7)
c. Membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik itu
berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang belum terjadi,
karena berita-berita itu adalah wahyu yang datang dari Allah
subhanahu wa ta’ala.
‫ُوحى‬ َ ‫َو َما يَنطِ ُق َع ِن ْال َه َوى ِإنْ ه َُو ِإاَّل َوحْ ٌي ي‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu, menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
d. Beribadah kepada Allah dengan tata-cara yang telah diajarkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa ditambah-
tambah ataupun dikurangi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
‫ُول هَّللا ِ ُأسْ َوةٌ َح َس َن ٌة‬
ِ ‫ان َل ُك ْم فِي َرس‬ َ ‫َل َق ْد َك‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang
tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan
ditolak.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya (III/1344 no 1718).
e. Meyakini bahwa syariat yang berasal dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam setingkat dengan syari’at yang datang dari Allah
subhanahu wa ta’ala dari segi keharusan untuk
mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam As
Sunnah, serupa dengan apa yang disebutkan di dalam Al Quran
(Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syeikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin hal: 138). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
(yang artinya):
َ ‫اع هّللا‬َ ‫مَّنْ يُطِ ِع الرَّ سُو َل َف َق ْد َأ َط‬
“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah
menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
f. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau
masih hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat.
Dengan cara menghafal, memahami dan mengamalkan hadits-
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga menghidupkan
sunnahnya dan menyebarkannya di masyarakat.
g. Mendahulukan cinta kepadanya dari cinta kepada selainnya.
Sebagaimana kisah yang dialami oleh Umar di atas, akan tetapi
jangan sampai dipahami bahwa cinta kita kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membawa kita untuk
bersikap ghuluw (berlebih-lebihan), sehingga mengangkat
kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah subhanahu wa
ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya
perbuatan sebagian orang yang membersembahkan ibadah-
ibadah yang seharusnya dipersembahkan hanya kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, dia persembahkan untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya: ber-
istighatsah (meminta pertolongan) dan memohon kepadanya,
meyakini bahwa beliau mengetahui semua perkara-perkara yang
ghaib, dan lain sebagainya. Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya agar tidak
terjerumus ke dalam sikap ekstrem ini, “Janganlah kalian
berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang
Nashrani berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam,
sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah
(bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.”(HR. Al-Bukhari
dalam Shahih-nya, lihat Fath al-Bari [VI/478 no: 3445])
h. Termasuk tanda mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, adalah mencintai orang-orang yang dicintainya. Mereka
antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait), para
sahabatnya (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-
Qadli ‘Iyadl [II/573], Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah [III/407], untuk
pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala
Ummatihi fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr.
Muhammad bin Khalifah at-Tamimi [I/344-358]), serta setiap
orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga
masih dalam kerangka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, adalah kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang
memusuhinya serta menjauhi orang yang menyelisihi sunnahnya
dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa,
[2/575], untuk pembahasan lebih lanjut silahkan lihat: Huquq an-
Nabi ‘Ala Ummatihi [I/359-361]).
Adapun golongan yang meremehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, adalah orang-orang yang lalai dalam merealisasikan
kecintaan kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka
tidak memperhatikan hak-hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang telah disebutkan di atas.
Di antara potret peremehan mereka adalah: Sangkaan mereka
bahwa hanya dengan meyakini kerasulan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah cukup untuk
merealisasikan cinta kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tanpa harus “capek-capek” mengikuti tuntunannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Bahkan di antara mereka ada yang belum bisa menerima dengan
hati legowo tentang ke-ma’shum-an (dilindunginya)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallamdari kesalahan-kesalahan
dalam menyampaikan wahyu, sehingga perlu untuk dikritisi.
Sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh koordinator JIL,
Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya: Rasul Muhammad Saw
adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga
tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa
memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga
banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti
(qudwah hasanah).” (Islam Liberal & Fundamental, Sebuah
Pertarungan Wacana, Ulil Abshar Abdalla dkk, hal 9-10).
Ada juga yang merasa berat untuk meyakini bahwa tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa diterapkan di segala
zaman, sehingga harus “bergotong royong” untuk menyusun fikih
gaya baru, yang digelari Fikih Lintas Agama. Dengan alasan “fiqih
klasik tidak mampu lagi menampung perkembangan kebutuhan
manusia modern, termasuk soal dimensi hubungan agama-
agama.” (Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-
Pluralis, Nurcholis Madjid dkk, hal: ix).
Di antara bentuk peremehan terhadap Beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah ulah Koran Denmark “Jyllands-Posten”, pada
hari Sabtu, 26 Sya’ban 1426/30 September 2005, dengan
memuat karikatur penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akhzahumullah wa qatha’a aidiyahum, amien.
Dan masih banyak contoh-contoh nyata lainnya yang
menggambarkan beraneka ragamnya kekurangan banyak orang
yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam dalam
merealisasikan cinta mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Yang itu semua bermuara pada penyakit tidak
dijadikannya Al Quran dan As Sunnah dan pemahaman salaf
sebagai barometer dalam mengukur kecintaan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang ghuluw, yaitu mereka
yang berlebih-lebihan dalam mengungkapkan cinta mereka
kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga
mereka mengada-adakan amalan-amalan yang sama sekali tidak
disyari’atkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah dilakukan
oleh salafush shalih yang mana mereka adalah orang-orang yang
paling tinggi kecintaannya kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Golongan ketiga ini mengira bahwa amalan-amalan
tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara sikap ekstrem yang mereka tampakkan; berlebihan
dalam mengagung-agungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
hingga menyifatinya dengan sifat-sifat yang merupakan hak
prerogatif Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara bukti sikap ini
adalah apa yang ada dalam “Qashidah al-Burdah” yang sering
disenandungkan dalam acara peringatan maulid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
‫ث ال َعم ِِم‬ ِ ‫ك عِ ْن َد ُحلُ ْو ِل ْال َحا ِد‬ َ ‫… َيا َأ ْك َر َم ْال َخ ْل ِق َما لِي َمنْ َألُ ْو ُذ ِب ِه سِ َوا‬
‫ك عِ ْل ُم اللَّ ْو ِح َو ْال َق َل ِم‬
َ ‫ضرَّ َت َها َو ِمنْ ُعلُ ْو ِم‬
َ ‫ِك ال ُّد ْن َيا َو‬
َ ‫َفِإنَّ ِمنْ ج ُْود‬
“Wahai insan yang paling mulia (Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam)!
Tiada seseorang yang dapat kujadikan perlindungan selain
dirimu, ketika datang musibah yang besar…
Karena kebaikan dunia dan akhirat adalah sebagian
kedermawananmu,
dan sebagian dari ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudz) dan qalam”
(Tabrid al-Buldah fi Tarjamati Matn al-Burdah, M. Atiq Nur
Rabbani, hal: 56).
La haula wa la quwwata illa billah… Bukankah kita diperintahkan
untuk memohon perlindungan hanya kepada Allah subhanahu wa
ta’ala ketika tertimpa musibah?? (Lihat: QS. Al An’am: 17 dan At
Taghabun: 11). Bukankah kebaikan dunia dan akhirat bersumber
dari Allah semata?! Kalau bukan kenapa kita selalu
berdo’a: “Rabbana atina fid dun-ya hasanah wa fil akhirati
hasanah…” ?? Terus kalau ilmu lauh mahfudz dan ilmu
qalam adalah sebagian dari ilmu Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, lantas apa yang tersisa untuk Robb kita Allah
subhanahu wa ta’ala??!! Inaa lillahi wa inna ilaihi raji’un…
Di antara amalan yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa cinta mereka kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah merayakan peringatan maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai-sampai sudah menjadi
budaya, hingga timbul semacam ketakutan moral diasingkan dari
arena sosial jika tidak mengikutinya. Bahkan ada yang merasa
berdosa jika tidak turut menyukseskannya.
Pernahkah terbetik pertanyaan dalam benak mereka: Apakah
perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pernah
diperintahkan oleh Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah
para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya? Atau mungkin salah seorang dari generasi
Tabi’in atau Tabi’it Tabi’in pernah merayakannya? Kenapa
pertanyaan-pertanyaan ini perlu untuk diajukan? Karena
merekalah generasi yang telah dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini, dan
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah kabarkan bahwa
perpecahan serta bid’ah akan menjamur setelah masa mereka
berlalu. Ditambah lagi merekalah orang-orang yang paling
sempurna dalam merealisasikan kecintaan kepada
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Merujuk kepada literatur sejarah, kita akan dapatkan bahwa acara
maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sekalipun
dirayakan pada masa tiga generasi awal umat ini, banyak sekali
para ulama kita yang menegaskan hal ini.
Di antara para ulama yang menjelaskan bahwa Maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah dikerjakan pada
masa-masa itu:
1. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalany, sebagaimana yang dinukil
oleh as-Suyuthi dalam Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-
Maulid lihat al-Hawi lil Fatawa(I/302).
2. Al-Hafidz Abul Khair as-Sakhawy, sebagaimana yang dinukil
oleh Muhammad bin Yusuf ash-Shalihy dalam Subul al-Huda
wa ar-Rasyad fi Sirati Khairi al-’Ibad (I/439).
3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Iqtidha ash-Shirath al-
Mustaqim (I/123).
4. Ibnul Qayyim, dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (II/390-
391).
5. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam
risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
6. Al-Imam Abu Zur’ah al-Waqi, sebagaimana yang dinukil oleh
Ahmad bin Muhammad bin ash-Shiddiq dalam
kitabnya Tasynif al-Adzan, hal: 136.
7. Ibnu al-Haj, dalam kitabnya al-Madkhal (II/11-12, IV/278).
8. Abu Abdillah Muhammad al-Hafar, sebagaimana yang dinukil
oleh Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam kitabnya al-
Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ulama
Ifriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib (VII/99-100).
9. Muhammad Abdussalam asy-Syuqairi, dalam kitabnya as-
Sunan wa al-Mubtada’at al-Muta’alliqah bi al-Adzkar wa ash-
Shalawat, hal: 139.
10. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
Lantas siapakah dan kapankah maulid pertama kali diadakan?
Maulid pertama kali dirayakan pada abad ke empat hijriah
(kurang lebih empat ratus tahun sesudah wafatnya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh seorang yang
bernama al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, salah seorang raja Kerajaan
al-Ubaidiyah al-Fathimiyah yang mengikuti paham sekte sesat
Bathiniyah (Lihat kesesatan-kesesatan mereka dalam
kitab Fadhaih al-Bathiniyah, karya Abu Hamid al-Ghazali,
dan Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar, karya al-Qadhi Abu Bakr al-
Baqillani). Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.
Di antara para ulama yang mengungkapkan fakta ini:
1. Al-Imam al-Muarrikh Ahmad bin Ali al-Maqrizi asy-Syafi’i (w
766 H), dalam kitabnya al-Mawa’idz wa al-I’tibar fi Dzikri al-
Khuthathi wa al-Atsar(I/490).
2. Al-Imam Tajuddin Umar bin Lakhmi al-Fakihani, di dalam
risalahnya: Al-Maurid fi al-Kalami ‘ala al-Maulid, hal: 8.
3. Ahmad bin Ali Al-Qalqasyandi asy-Syafi’i (w 821), dalam
kitabnya Shubh al-A’sya fi Shiyaghat al-Insya’ (3/502).
4. Hasan As-Sandubi dalam kitabnya Tarikh al-Ihtifal bi al-
Maulid an-Nabawi, hal: 69.
5. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (mufti Mesir di zamannya)
dalam kitabnya Ahsan al-Kalam fima Yata’allaqu bi as-
Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam, hal: 59.
6. Ismail bin Muhammad al-Anshari, dalam kitabnya al-Qaul al-
Fashl fi Hukm al-Ihtifal bi Maulid Khair ar-Rusul shallallahu
‘alaihi wa sallam, hal: 64.
7. Ali Mahfudz, dalam kitabnya al-Ibda’ fi Madhar al-Ibtida’, hal:
126.
8. Ali Fikri, dalam kitabnya al-Muhadharat al-Fikriyah, hal: 128.
9. Ali al-Jundi, dalam kitabnya Nafh al-Azhar fi Maulid al-
Mukhtar, hal: 185-186.
Apa yang melatarbelakanginya untuk mengadakan perayaan ini?
Berhubung mereka telah melakukan pemberontakan terhadap
Khilafah Abbasiyah, dan mendirikan negara sendiri di Mesir dan
Syam yang mereka namai Al Fathimiyah, maka kaum muslimin di
Mesir dan Syam tidak suka melihat tingkah laku mereka, serta
cara mereka dalam menjalankan tali pemerintahan, hingga
pemerintah kerajaan itu (Bani Ubaid) merasa khawatir akan
digulingkan oleh rakyatnya. Maka dalam rangka mengambil hati
rakyatnya, al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi mengadakan acara maulid
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ditambah dengan maulid-
maulid lain seperti maulid Fatimah, maulid Ali, maulid Hasan,
maulid Husain dan maulid-maulid lainnya. Termasuk perayaan
Isra Mi’raj dan perayaan tahun Hijriah. Hingga para ulama zaman
itu berjibaku untuk mengingkari bid’ah-bid’ah itu, begitu pula para
ulama abad kelima dan abad keenam. Pada awal abad ketujuh
kebiasaan buruk itu mulai menular ke Irak, lewat tangan seorang
sufi yang dijuluki al-Mula Umar bin Muhamad, kemudian
kebiasaan itu mulai menyebar ke penjuru dunia, akibat kejahilan
terhadap agama dan taqlid buta.
Jadi, sebenarnya tujuan utama pengadaan maulid-maulid itu
adalah rekayasa politis untuk melanggengkan kekuasaan bani
Ubaid, dan bukan sama sekali dalam rangka merealisasikan
kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataupun
kepada ahlul bait!! (Al-Ihtifal bi al-Maulid an-Nabawi, Nasy’atuhu-
Tarikhuh-Haqiqatuh-Man Ahdatsuh, Ibrahim bin Muhammad al-
Huqail, hal: 5).
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah hakikat akidah orang-
orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid ini. Dan
itu bisa kita ketahui dengan mempelajari hakikat kerajaan Bani
Ubaid. Bani Ubaid adalah keturunan Abdullah bin Maimun al-
Qaddah yang telah terkenal di mata para ulama dengan
kekufuran, kemunafikan, kesesatan dan kebenciannya kepada
kaum mukminin. Lebih dari itu dia kerap membantu musuh-
musuh Islam untuk membantai kaum muslimin, banyak di antara
para ulama muslimin dari kalangan ahli hadits, ahli fikih maupun
orang-orang shalih yang ia bunuh. Hingga keturunannya pun
tumbuh berkembang dengan membawa pemikirannya, di mana
ada kesempatan mereka akan menampakkan permusuhan itu,
jika tidak memungkinkan maka mereka akan menyembunyikan
hakikat kepercayaannya (Lihat: Ar-Raudhatain fi Akhbar ad-
Daulatain, Abu Syamah asy-Syafi’i, (I/198), Mukhtashar al-
Fatawa lil Ba’li, hal: 488).
Adapun hakikat orang yang pertama kali mengadakan maulid
yaitu al-Mu’iz lidinillah al-’Ubaidi, maka dia adalah orang yang
gemar merangkul orang-orang Yahudi dan Nasrani, kebalikannya
kaum muslimin dia kucilkan, dialah yang mengubah lafadz azan
menjadi “Hayya ‘ala khairil ‘amal”. Yang lebih parah lagi, dia turut
merangkul paranormal dan memakai ramalan-ramalan mereka
(Lihat: Tarikh al-Islam karya adz-Dzahabi XXVI/350, an-Nujum
az-Zahirah fi Muluk al-Mishr wa al-Qahirah karya Ibnu Taghribardi
IV/75). Inilah hakikat asal sejarah maulid Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Dan perlu diketahui, bahwa kecintaan kita kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidaklah diukur dengan
merayakan hari kelahiran beliau atau tidak merayakannya.
Bukankah kita juga mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan
puluhan ribu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya?
Apakah kita juga harus merayakan hari kelahiran mereka semua,
untuk membuktikan kecintaan kita kepada mereka? Kalau begitu
berapa miliar dana yang harus dikeluarkan? Bukankah lebih baik
dana itu untuk membangun masjid, madrasah, shadaqah fakir
miskin dan maslahat-maslahat agama lainnya?
Saking berlebihannya sebagian orang dalam masalah ini, sampai-
sampai orang yang senantiasa berusaha menegakkan akidah
yang benar, rajin sholat lima waktu di masjid, dan terus berusaha
untuk mengamalkan tuntunan-tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lainnya, tidak dikatakan mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, hanya karena dia tidak mau ikut maulid. Sebaliknya
setiap orang yang mau ikut maulid, entah dia sholatnya hanya
setahun dua kali (idul adha dan idul fitri), atau dia masih gemar
maksiat, dikatakan cinta kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Bukankah ini salah satu bentuk ketidakadilan dalam
bersikap?
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang merealisasikan
kecintaan yang hakiki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mohon maaf atas segala kekurangan.
Wallahu ta’ala a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyyina muhammadin
wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Mana Bukti Cintamu pada Nabi?

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan
usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu
pula kecintaan pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap
orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun
tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang
keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga
Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ير ُت ُك ْم َوَأم َْوا ٌل ا ْق َت َر ْف ُتمُو َها َوت َِج‬
‫ ْو َن‬b ‫ارةٌ َت ْخ َش‬ َ ِ‫ان َآ َباُؤ ُك ْم َوَأ ْب َناُؤ ُك ْم َوِإ ْخ َوا ُن ُك ْم َوَأ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش‬
َ ‫قُ ْل ِإنْ َك‬
ُ ‫ض ْو َن َها َأ َحبَّ ِإ َل ْي ُك ْم م َِن هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َو ِج َها ٍد فِي َس ِبيلِ ِه َف َت َر َّبصُوا َح َّتى َيْأت َِي هَّللا‬ َ ْ‫َك َسادَ َها َو َم َساكِنُ َتر‬
َ ‫ِبَأم ِْر ِه َوهَّللا ُ اَل َي ْهدِي ْال َق ْو َم ْال َفاسِ ق‬
‫ِين‬
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan,  “Jika semua hal-hal tadi lebih
dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan
Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan
menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan
bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi
kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,
‫ِين ِمنْ َأ ْنفُسِ ِه ْم َوَأ ْز َوا ُج ُه ُأ َّم َها ُت ُه ْم‬ َ ‫ال َّن ِبيُّ َأ ْو َلى ِب ْالمُْؤ ِمن‬
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al
Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada
umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan
keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri.
Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena
itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan
pada diri sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar
bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Lalu Umar berkata,
”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian
Nabishallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
‫ك‬َ ِ‫ْك ِمنْ َن ْفس‬َ ‫ون َأ َحبَّ ِإ َلي‬َ ‫الَ َوالَّذِى َن ْفسِ ى ِب َي ِد ِه َح َّتى َأ ُك‬
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum
sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah.
Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini
pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam?
Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat
tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna
dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat
beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan
kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati
beliau dalam firman-Nya,
‫ِين َرءُوفٌ َرحِي ٌم‬ َ ‫َل َق ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِمنْ َأ ْنفُسِ ُك ْم َع ِزي ٌز َع َل ْي ِه َما َع ِن ُّت ْم َح ِريصٌ َع َل ْي ُك ْم ِب ْالمُْؤ ِمن‬
”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At
Taubah: 128)
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika
seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antara faedah tersebut adalah:
[1] Mendapatkan manisnya iman
Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:
َّ‫ َوا ُه َما َوَأنْ ُيحِب‬b‫ ِه ِممَّا ِس‬bْ‫ولُ ُه َأ َحبَّ ِإ َلي‬b‫ون هَّللا ُ َو َر ُس‬b
َ ‫ان َأنْ َي ُك‬b ِ ‫ دَ َحاَل َو َة اِإْلي َم‬b‫ث َمنْ ُكنَّ فِي ِه َو َج‬ ٌ ‫َثاَل‬
ِ ‫ف فِي ال َّن‬
‫ار‬ َ ‫ْال َمرْ َء اَل ُي ِح ُّب ُه ِإاَّل هَّلِل ِ َوَأنْ َي ْك َر َه َأنْ َيعُودَ فِي ْال ُك ْف ِر َك َما َي ْك َرهُ َأنْ ُي ْق َذ‬
“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan
manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari
selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan
benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan
dalam api.”[4]
[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang
bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi
hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah
mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak
shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku
persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata,
َ ‫ت َم َع َمنْ َأحْ َبب‬
‫ْت‬ َ ‫َأ ْن‬
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang
engkau cintai.”[5]
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah
merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika
mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a
man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku
berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada
mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan
mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫اس َأجْ َمع‬
‫ِين‬ ِ ‫ون َأ َحبَّ ِإ َل ْي ِه ِمنْ َو َل ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوال َّن‬
َ ‫اَل يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى َأ ُك‬
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku
lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia
seluruhnya.”[7]
Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk
tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa
pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ْش َبنِى‬ ٍ ‫ري‬bَ bُ‫ َط َفى ِمنْ ق‬b‫اص‬
ْ ‫ َة َو‬b‫ا ِمنْ ِك َنا َن‬b‫ْش‬ ً ‫ َط َفى قُ َري‬b‫اص‬ ْ ‫مَاعِ ي َل َو‬b‫ ِد ِإ ْس‬b‫ِإنَّ هَّللا َ اصْ َط َفى ِك َنا َن َة ِمنْ َو َل‬
‫هَاشِ ٍم َواصْ َط َفانِى ِمنْ َبنِى هَاشِ ٍم‬
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari
keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari
Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari
Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani
Hasyim.”[9]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila
pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya
bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah
sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya
untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah
mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari
dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang
dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang,
dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
‫و ِإاَّل‬bَ b‫) ِإنْ ُه‬3( ‫وى‬bَ b‫ ُق َع ِن ْال َه‬b ِ‫ا َي ْنط‬bb‫) َو َم‬2( ‫وى‬b َ b‫ا َغ‬bb‫صا ِح ُب ُك ْم َو َم‬
َ ‫ض َّل‬ َ ‫) َما‬1( ‫َوال َّنجْ ِم ِإ َذا َه َوى‬
)4( ‫ُوحى‬ َ ‫َوحْ يٌ ي‬
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak
sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya.
Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh
Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang
paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْ‫ْال َبخِي ُل الَّذِي َمنْ ُذ ِكر‬
َ ‫ت عِ ْندَ هُ َف َل ْم ي‬
َّ‫ُص ِّل َع َلي‬
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku
disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ َل ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم‬
َ ‫قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب‬
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ضال َل ٌة‬َ ‫ ُك ُّل ِب ْد َع ٍة‬،‫ َوال َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم‬،‫ا َّت ِبعُوا‬
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah
membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi
kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah)
adalah sesat .”[12]
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta)
dan ittiba’ (mengikuti Nabishallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada
iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan
sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ي‬b‫ض‬
‫ْت‬ َ ‫ ا ِممَّا َق‬bً‫ ِه ْم َح َرج‬b‫ُوك فِي َما َش َج َر َب ْي َن ُه ْم ُث َّم اَل َي ِج ُدوا فِي َأ ْنفُ ِس‬ َ ‫ون َح َّتى ي َُح ِّكم‬ َ ‫ك اَل يُْؤ ِم ُن‬ َ ‫َفاَل َو َر ِّب‬
‫َوي َُسلِّمُوا َتسْ لِيمًا‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang
keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang
disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan
hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang
diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan
dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap
hukumnya.”[13]
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan.
Allah Ta’ala berfirman,
ْ ‫اًل م َِن هَّللا ِ َو ِر‬bb‫ض‬
‫ َوا ًنا‬bb‫ض‬ َ ‫ار ِه ْم َوَأم‬bb ‫ين الَّذ َ ُأ‬ َ ‫ا ِج ِر‬bb‫را ِء ْال ُم َه‬bb َ ‫ل ِْلفُ َق‬
َ ‫م َي ْب َت ُغ‬bْ ‫وال ِِه‬bbْ
ْ ‫ون َف‬bb ِ ‫وا ِمنْ ِد َي‬bbُ‫ِين ْخ ِرج‬
‫ون‬َ ُ‫ِئك ُه ُم الصَّا ِدق‬ َ ‫ُون هَّللا َ َو َرسُو َل ُه ُأو َل‬
َ ‫صر‬ ُ ‫َو َي ْن‬
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung
halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia
dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan
RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr:
8)
Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam
mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud
mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu
dari perbuatan kaum musyrik.”  Kemudian ia maju lalu Sa’ad
menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga.
Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga
dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat
sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik
berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang,
tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah
gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak
ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara
perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫اَل َت ُسبُّوا َأ َح ًدا ِمنْ َأصْ َح ِابي َفِإنَّ َأ َحدَ ُك ْم َل ْو َأ ْن َف َق م ِْث َل ُأ ُح ٍد َذ َهبًا َما َأ ْد َر‬
‫ك ُم َّد َأ َح ِد ِه ْم َواَل َنصِ ي َف ُه‬
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh,
seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas
sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang
diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula
separuhnya.”[15]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi
mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ِ b‫ َبقُو َنا ِباِإْلي َم‬b ‫ِين َس‬
‫ ْل فِي‬b‫ان َواَل َتجْ َع‬b َ ‫ا الَّذ‬bb‫ا َوِإِل ْخ َوا ِن َن‬bb‫اغفِرْ َل َن‬
ْ ‫ون َر َّب َنا‬ َ ُ‫ِين َجاءُوا ِمنْ َبعْ ِد ِه ْم َيقُول‬ َ ‫َوالَّذ‬
‫ك َرءُوفٌ َرحِي ٌم‬ َ ‫وب َنا غِ اًّل لِلَّذ‬
َ ‫ِين َآ َم ُنوا َر َّب َنا ِإ َّن‬ ِ ُ‫قُل‬
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana
yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja
mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan
selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya
Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang
mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-
sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang
itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka
merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan
perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka
adalah mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –
radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela
Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang
mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang
menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau
menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah
mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi
menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
َ ‫ِظ ُك َم هَّللا ُ َأنْ َتعُو ُدوا لِم ِْثلِ ِه َأ َب ًدا ِإنْ ُك ْن ُت ْم مُْؤ ِمن‬
‫ِين‬ ُ ‫َيع‬
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat
yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang
beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari
ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan
dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan
membantah syubhat kaum zindiq  dan pengecam sunnahnya,
serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan
keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini
dengan sabdanya,
‫َنض ََّر هَّللا ُ ام َْرًأ َسم َِع ِم َّنا َش ْيًئ ا َف َبلَّ َغ ُه َك َما َسم َِع ُه َفرُبَّ ُم َبلِّ ٍغ َأ ْو َعى ِمنْ َسام ٍِع‬
“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang
mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana
ia mendengarnya.Betapa banyak orang yang diberi berita lebih
paham daripada orang yang mendengar.”[19]
Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk
menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َبلِّ ُغوا َع ِّني َو َل ْو آ َي ًة‬
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan
pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah
dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti
cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya,
konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah,
kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan)
dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang
sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh
karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫مْر َنا َه َذا َما َلي‬
‫ْس ِم ْن ُه َفه َُو َر ٌّد‬ ‫َأ‬ َ ْ‫َمنْ َأح‬
ِ ‫دَث فِى‬
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti
jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta
bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan
dalam ajarannya.[23]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah
dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu
selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul
Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari
bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan
orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini
semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka
juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]
Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy
membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”.
Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan
Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan
yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-
kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. …
Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya
beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari
kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran
beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang
bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam
akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini
dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat
lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak
disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah
kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan,
orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia
dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam,
“Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa
diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]
[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali
–yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa
maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau
memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil
Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan
Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa
maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali.
Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah
(teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu
bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang
senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula
disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau
dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat
perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang
dianjurkan (sunnah).  Karena yang namanya sesuatu yang
dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya.
Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan
ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap
hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah
karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut
mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau
haram.”[26]
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan
merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan
mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia
juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf
mengatakan:
ُ ‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ْم هَّللا‬ ُ ‫لهذا لما َك ُث َر األدعياء‬
َ ‫قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب‬, ‫طولبوا بالبرهان‬
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka
dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan
dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak
ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas
kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang
menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung
acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.
Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-
Sleman.
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti


segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau,
memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena
Allah Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai penjelas dan penjabar dari Al Qur’an yang mulia,
yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu,
tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan
agama Islam dengan benar.

Allah Ta’ala berfirman,


َ ‫اس َما ُن ِّز َل ِإ َلي ِْه ْم َو َل َعلَّ ُه ْم َي َت َف َّكر‬
‫ُون‬ ِّ ‫ْك‬
ِ ‫الذ ْك َر لِ ُت َبي َِّن لِل َّن‬ َ ‫َوَأ ْن َز ْل َنا ِإ َلي‬
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka (dari Allah Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. An
Nahl: 44)
Ketika Ummul mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya
tentang ahlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau menjawab,“Sungguh akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Al Qur’an.” (HSR Muslim no. 746). Ini
berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang
paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-
Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri
dengan adab-adabnya. (Lihat keterangan imam an-Nawawi
dalam kitab Syarh Shahih Muslim 6/26). Maka orang yang paling
sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling
sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan Al Qur’an
dan agama Islam secara keseluruhan.
Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya–
berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam)
menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah:
bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”
(Ushuulus Sunnah, hal. 3)
Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara
keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.
(Lihat Jaami’ul Uluumi wal Hikam, hal. 321)
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “Ketahuilah, bahwa
Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang
masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang
lainnya.” (Syarhus Sunnah, hal. 59)
Arti Mencintai dan Mengagungkan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Sebenarnya
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
‫ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ َل ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم َوهَّللا ُ َغفُو ٌر َرحِي ٌم‬
َ ‫قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب‬
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka
ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31)
Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang
mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang
yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti
jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia
adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam
masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang
dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam
semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.” (Tafsir Ibnu Katsir,
1/477)
Imam Al Qadhi ‘Iyadh Al Yahshubi berkata, “Ketahuilah bahwa
barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan
mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak
demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam
kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka
orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda
(bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama
adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan
perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi
larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang
beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan
lapang maupun sempit.” (Asy Syifa bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafa,
2/24)
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan
mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha
mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah
mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah
(yaitu setiap perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen) dengan
mengatasnamakan cinta kepada beliau, atau memuji dan
mensifati beliau  secara berlebihan, dengan menempatkan beliau 
melebihi kedudukan yang telah Allah Ta’ala tempatkan beliau
padanya. (Mahabbatur Rasul  bainal Ittibaa’ wal Ibtidaa’, hal. 65-
71)
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara
berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang
Nashrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam,
karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka
katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HSR Al Bukhari no.
3261)
Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat
ini, para sahabatradhiyallahu ‘anhum.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorang
pun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan
tersebut.” (HR At Tirmidzi 5/90 dan Ahmad 3/132, dinyatakan
shahih oleh At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)
Bagaimana Menyempurnakan Cinta kepada Sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Diri Kita?
Imam Ibnu Rajab Al Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua
tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan
ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini
merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.
Dua tingkatan tersebut adalah:
1. Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung
konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang
dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah
dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta
tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah)
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian
mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan
semua berita yang beliau sampaikan, mantaati semua
kewajiban yang beliau perintahkan, meninggalkan semua
perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan
berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan
unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya.
Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan
tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.
2. Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan
(kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang
mengandung konsekuensi meneladani beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam
tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran),
makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan
keluarga, serta semua adab beliaushallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian
juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah
dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa
senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan
memuliakan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, senang
mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliaushallallahu
‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk
yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani
beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap zuhud
terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya
(sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat
(kelak)”  (Istinyaaqu Nasiimil Unsi min Nafahaati Riyaadhil
Qudsi, hal. 34-35)
Keutamaan Mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ُول هَّللا ِ ُأسْ َوةٌ َح َس َن ٌة لِ َمنْ َك‬
‫ان َيرْ جُو هَّللا َ َو ْال َي ْو َم اَآْلخ َِر َو َذ َك َر هَّللا َ َك ِثيرً ا‬ ِ ‫ان َل ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫َل َق ْد َك‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (Qs. Al Ahzaab: 21)
Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan
besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena Allah Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai  “teladan yang
baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah
menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan
membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah Ta’ala.
(Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di ketika
menafsirkan ayat di atas, hal. 481)
Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang
mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan,
perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 3/626)
Kemudian firman Allah Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan
satu faidah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan
antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir,
yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang
muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di
atas, beliau berkata, “Teladan yang baik (pada diri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan
mendapatkan taufik (dari Allah Ta’ala) untuk mengikutinya
hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan
(balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman,
ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan
ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasi seseorang
untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”
Penutup
Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya,
dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti
sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang
mengaku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah, adalah orang yang
paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah
lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang
diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena
seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia
akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu
keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan
menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah
melupakannya.
Syaikh Muhammad bih Sholeh Al ‘Utsaimin berkata,
“Sesungguhnya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan)
mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang
mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan
(sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan
(menghidupkan) sunnah di kalangan manusia.” (Manaasikul Hajji
wal ‘Umrah, hal. 92)
Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasehat imam Al
Khatiib Al Baghdadi dalam kitab beliau Al Jaami’ li Akhlaaqir
Raawi wa Aadaabis Saami’(1/215) berikut ini:
“Seyogyanya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama’ah), berusaha untuk membedakan dirinya dari
kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan tingkah laku
dan sikapnya, dengan berusaha mengamalkan petunjuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsemaksimal mungkin, dan
membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah
Ta’ala berfirman,
‫ُول هَّللا ِ ُأسْ َوةٌ َح َس َن ٌة‬
ِ ‫ان َل ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫َل َق ْد َك‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu.” (Qs. Al Ahzaab: 21)”
‫د هلل رب‬bb‫ وآخر دعوانا أن الحم‬،‫وصلى هللا وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬
‫العالمين‬
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, Lc.
Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:
 Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah
manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan
tersebut.
 Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga
dijuluki karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan
tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini merupakan
penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat
(ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak
(ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak
dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang
dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah
apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap
kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat,
nama, pakaian, maupun cara-cara buatan.
 Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
 Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
 Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
 Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha
Allah”.
 Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

ِ ‫ ا ٌل ال ُت ْل ِه‬b‫ال ِر َج‬
‫يه ْم‬ ِ b‫ص‬ َ ‫ ُدوِّ َواآْل‬b‫ا ِب ْال ُغ‬bb‫ ُه فِي َه‬b‫ت َأذ َِن هَّللا ُ َأنْ ُترْ َف َع َوي ُْذ َك َر فِي َها اسْ ُم ُه ي َُس ِّب ُح َل‬
ٍ ‫﴿ فِي ُبيُو‬
ُ‫وب‬bbُ‫ ِه ْالقُل‬b ‫ا ً َت َت َقلَّبُ فِي‬b ‫ون َي ْوم‬
َ ُ‫ اف‬b‫ا ِة َي َخ‬bb‫الز َك‬ َّ ‫ا ِء‬bb‫ال ِة َوِإي َت‬b ‫الص‬ ‫ ِ هَّللا‬b‫ ٌع َعنْ ِذ ْك‬b‫ارةٌ َوال َب ْي‬
َّ ‫ام‬b ِ b‫ر ِ َوِإ َق‬b َ b‫ت َِج‬
)37_36b:‫صارُ﴾(النور‬ َ ‫َواَأْل ْب‬
Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan
dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih
dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati
yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat
memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).
 Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan
Islam”.
 Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya
(sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):
.‫ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها‬،‫ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها‬
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat
minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri,
sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”
 (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Artikel www.muslim.or.id

Walau Engkau Seorang Diri dalam Kebenaran

Wahai saudaraku … yang namanya kebenaran tidaklah mesti


dianut oleh orang banyak. Meskipun seseorang bersendirian
dalam menggenggam ajaran kebenaran, dialah yang berada di
jalan yang benar. Jadi tidak perlu berkecil hati ketika kita hanya
bersendirian di kampung atau di negeri, sedangkan yang lainnya
berada dalam kegelapan syirik dan bid’ah. Karena sebenarnya
kita bersama dengan Rasul dan para sahabat yang terlebih
dahulu berpegang pada kebenaran.
Ibnu Mas’ud berkata,
‫الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك‬
“Yang disebut jama’ah adalah jika mengikuti kebenaran, walau ia
seorang diri.” (Dikeluarkan oleh Al Lalikai dalam Syarh I’tiqod
Ahlis Sunnah wal Jama’ah160 dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh
Dimasyq 2/ 322/ 13).
Sebagian salaf mengatakan,
‫عليك بطريق الحق وال تستوحش لقلة السالكين وإياك وطريق الباطل وال تغتر بكثرة الهالكين‬
“Hendaklah engkau menempuh jalan kebenaran. Jangan engkau
berkecil hati dengan sedikitnya orang yang mengikuti jalan
kebenaran tersebut. Hati-hatilah dengan jalan kebatilan. Jangan
engkau tertipu dengan banyaknya orang yang mengikuti yang kan
binasa” (Madarijus Salikin, 1: 22).
Orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni,
itulah yang selalu teranggap asing. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
‫ا ً ُث َّم‬b‫الَ ُم َغ ِريب‬b‫ َدَأ اِإل ْس‬b‫و ُل « َب‬bbُ‫ َيق‬-‫لم‬bb‫صلى هللا عليه وس‬- َّ‫َعنْ َع ْب ِد الرَّ حْ َم ِن ب َْن َس َّن َة َأ َّن ُه َسم َِع ال َّن ِبى‬
‫ُون ِإ َذا‬َ ‫ِين يُصْ لِح‬ ُ ‫َيعُو ُد َغريبا ً َك َما َبدَ َأ َف‬
َ ‫ قِي َل َيا َرسُو َل هَّللا ِ َو َم ِن ْال ُغ َر َبا ُء َقا َل « الَّذ‬.» ‫طو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء‬ ِ
ُ‫َف َسدَ ال َّناس‬
Dari ‘Abdurrahman bin Sannah. Ia berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad, “Islam itu akan
datang dalam keadaan asing dan kembali dalam keadaan asing
seperti awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing.” Lalu ada
yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallammengenai ghuroba’, “Mereka memperbaiki manusia ketika
rusak.” (HR. Ahmad 4: 74. Berdasarkan jalur ini, hadits
ini dho’if. Namun ada hadits semisal itu riwayat Ahmad 1: 184
dari Sa’ad bin Abi Waqqosh dengan sanad jayyid)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ُأ‬ َ ٌ‫ َفقِي َل َم ِن ْال ُغ َر َبا ُء َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل « ُأ َناس‬.» ‫طو َبى ل ِْل ُغ َر َبا ِء‬ ُ «
‫ير‬bٍ b‫ ْو ٍء َك ِث‬b ‫اس َس‬ِ ‫ُون فِى َن‬ َ ‫صالِح‬
» ‫يه ْم َأ ْك َث ُر ِممَّنْ يُطِ ي ُع ُه ْم‬ ِ ِ‫َمنْ َيعْ ص‬
“Beruntunglah orang-orang yang asing.” “Lalu siapa orang yang
asing wahai Rasulullah”, tanya sahabat. Jawab beliau, “Orang-
orang yang sholih yang berada di tengah banyaknya orang-orang
yang jelek, lalu orang yang mendurhakainya lebih banyak
daripada yang mentaatinya” (HR. Ahmad 2: 177. Hadits ini hasan
lighoirihi, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)
Walau terasa asing, namun begitu indahnya bisa berada di atas
kebenaran yang dianut sebelumnya oleh Rasul dan para sahabat,
yang jauh dari syirik dan bid’ah.
Hanya Allah yang memberikan petunjuk pada al haq, kebenaran.

Terorisme dan Pengeboman

“DR Azahari telah tewas!” Demikian salah satu berita hangat di


media massa beberapa waktu yang lalu. Nama DR. Azahari tidak
dapat dipisahkan dengan terorisme dan pengeboman, dia diyakini
sebagai ahlinya merakit bom. Begitu pula dunia internasional
sebelumnya dikejutkan dengan munculnya seseorang bernama
Usamah bin Laden. Namun disini kita tidak akan membahas
tentang sepak terjang DR Azahari atau Usamah bin Laden. Dan
yang menjadi pertanyaan sekarang ialah: “Apakah aksi-aksi
pengeboman ini memiliki dasar syari’at ataukah semata-mata
salah penafsiran terhadap dalil-dalil syar’i, yang tentunya akan
berdampak buruk baik bagi kaum muslimin dan manusia secara
umum?” Insya Allah di sini akan sedikit dibahas mengenai
terorisme dalam Islam dan bagaimanakah pemahaman salah
yang mendasari tindakan ini. Masalah ini sangat urgen dan harus
diketahui umat, agar tidak tertipu dengan pemahaman mereka
atau bahkan merasa simpati dan ikut tertarik dengan pemikiran
mereka.
Awas Bahaya Laten Khowarij !!!
Jika kita tilik ke belakang, maka akan kita dapati bahwa
pemahaman mereka ini bukanlah pemahaman baru yang
dipelopori oleh Azahari cs, namun pemahaman ini telah ada sejak
dulu dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Kemudian diikuti
pula oleh orang-orang jahil yang sebetulnya punya semangat
tinggi, tapi salah jalan.
Pemikiran ini sudah ada sejak di masa Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wa
sallammembagi ghonimah (harta rampasan perang). Dalam
pembagian tersebut ada yang mendapat bagian banyak adapula
yang sedikit, tentunya dengan kebijakan Nabi. Kemudian
muncullah seseorang yang bernama Dzulkhuwaishiroh, tidak
terima dengan pembagian yang dilakukan oleh Nabi dan
mengatakan, “Berbuat adillah wahai Muhammad, karena
sesungguhnya ini adalah pembagian yang tidak ikhlas!” Maka
Nabi bersabda, “Celaka engkau, siapa lagi yang bisa berbuat adil
jika saya saja sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh celaka dan
rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.” Tatkala itu
Umar rodhiyallahu ‘anhu meminta izin pada Nabi untuk
memenggal leher orang tersebut. Maka Nabi bersabda, “Biarkan
dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut yang menganggap
kecil sholat kalian dibanding sholat mereka, puasa kalian
dibanding puasa mereka (Mereka adalah ahli ibadah, -ed).
Mereka membaca Alqur’an tetapi tidak sampai tenggorokan
mereka. Mereka telah keluar dari batas-batas agama seperti
keluarnya anak panah dari busurnya.” (HR. Bukhori 3610 dan
Muslim 1064)
Kemudian paham ini muncul dengan terang di masa kekholifahan
Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhuma,
yang berbuntut pada terbunuhnya kedua kholifah tersebut. Pada
masa Kekholifahan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhu terjadi
suatu peristiwa yang sangat besar berkaitan dengan kelompok
Khowarij ini. Ketika terjadi perselisihan antara Ali bin Abi Tholib
dengan Mu’awiyah, maka mereka berdua mengirim utusan
masing-masing. Dan pasca Shulh (perdamaian antara Khalifah Ali
dan Mu’awiyah), sekelompok orang tidak setuju dengan sikap
beliau dan memisahkan diri, dan menetap di Haruro’ sehingga
mereka dikenal dengan Haruriyah. Mereka menganggap bahwa
Kholifah Ali telah berhukum dengan selain hukum Allah.
Setelah itu Ali mengutus Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhuma untuk
berdialog dengan mereka. Diantara isi dialognya adalah
penentangan mereka terhadap Ali karena berhukum dengan
hukum manusia dimana beliau mengutus Abu Musa Al Asy’ari
dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash untuk
menyelesaikan perselisihan mereka. Para penentang ini berdalil
dengan firman Allah, “Sesungguhnya hukum hanya milik
Allah.” (QS. Al-An’am: 57). Maka Ibnu Abbas mengatakan, “Jika
aku bacakan ayat dalam kitab Allah yang membantah pendapat
kalian, maukah kalian kembali?” Mereka menjawab, “Ya”. Lantas
Ibnu Abbas menyebutkan ayat, “Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam
dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan.” (QS. Annisa’: 35). Akhirnya dua ribu orang sadar
dan kembali ke pangkuan kekholifahan Ali bin Abi
Tholib rodhiyallahu ‘anhu.
Khowarij ini akan tetap ada sampai akhir zaman.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Akan muncul
satu generasi yang membaca Al Quran namun tidak
memahaminya. Setiap kali berlalu satu kurun pasti
tertumpas.” Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar beliau
mengulangi kalimat: ‘Setiap kali berlalu satu kurun pasti
tertumpas’ sampai lebih dari dua puluh kali. Kemudin beliau
bersabda, ‘Hingga muncullah Dajjal dalam barisan
mereka’.”(Shohih, riwayat Ibnu Majah)
Kelompok ini dalam Islam kemudian lebih dikenal dengan istilah
Khowarij. Bisa saja mereka bisa saja mengatakan, “Kami bukan
Khowarij.” Namun perlu diketahui bahwa perubahan nama tidak
merubah hakekat dan wajah asli.
Waspadailah Ciri-Ciri Pemikiran Khowarij!!
Pemikiran Khowarij memiliki ciri-ciri yang selalu ada di setiap
zaman, diantara ciri-ciri itu adalah:
1. Mengkafirkan pelaku dosa besar
Seperti tersebut dalam kisah di atas bahwa khowarij generasi
awal begitu mudahnya mengkafirkan Ali dan
Mu’awiyah rodhiyallahu ‘anhuma. Syailkhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “… Disebabkan karena kesalahpahaman mereka
(khowarij) terhadap Al Quran meski mereka tidak bermaksud
menentang Al Quran, mereka memahami wajibnya mengkafirkan
pelaku dosa besar. Hal ini beralasan bahwa orang mukmin itu
hanyalah orang yang baik lagi bertaqwa saja. Maka barang siapa
tidak baik lagi bertaqwa dia kafir dan kekal di neraka.” (Majmu’
Fatawa XIII/20)
Perlu diketahui bahwa masalah pengkafiran adalah hukum syar’i
yang harus dikembalikan kepada pada Allah dan Rosul-Nya,
sebagaimana penghalalan, pengharaman. Kita tidak boleh
mengkafirkan kecuali orang yang telah ditunjuk oleh kitab dan
sunnah atas kekafirannya dengan jelas. Pengkafiran tidaklah
cukup dengan semata-mata didasari prasangka, karena akan
menimbulkan akibat-akibat yang berbahaya, seperti penghalalan
darah, harta benda, dan tidak boleh saling mewarisi,
pernikahannya menjadi batal dan lain-lainnya yang ditimbulkan
akibat murtadnya seseorang. Karena itulah Nabi memperingatkan
dari hukum pengkafiran terhadap seseorang yang bukan kafir,
beliau bersabda: “Apabila seseorang mengatakan kepada
saudaranya: ‘Wahai kafir! Maka sungguh akan kembali kalimat itu
pada salah satu diantara keduanya. Jika memang benar ucapan
itu (maka kalimat itu tidak akan mengenainya) dan jika tidak,
maka akan kembali kepadanya’.” (Muttafaqun’alaih)
Pemahaman mereka ini tentunya berlawanan dengan
pemahaman ahlus sunnah yang didasari firman
Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan
mengampuni dosa lain di bawah syirik bagi siapa yang Dia
kehendaki.” Intinya, bila seseorang berbuat kesyirikan dan belum
bertaubat sampai ia meninggal maka Allah tidak akan
mengampuninya. Akan tetapi dosa lain di bawah syirik seperti
judi, minum khomr dan sebagainya maka boleh jadi Allah
mengadzabnya dan boleh jadi mengampuninya.
Adapun pengkafiran secara khusus (baca: tunjuk hidung) maka
itu adalah wewenang ulama, bukan orang-orang jahil. Tidak boleh
bagi seseorang ketika melihat ada orang lain yang melakukan
perbuatan kekufuran atau syirik akbar langsung mengarahkan
meriam takfir kepadanya. Sebab pengkafiran seperti ini harus
melihat apakah syaratnya terpenuhi dan tidak adanya penghalang
(seperti dipaksa atau karena ketidaktahuan). Dari sini kita dapat
mengerti, mengapa dengan mudahnya mereka membom dan
menewaskan korban dari kaum muslimin sendiri. Yah, karena
mereka anggap kaum muslimin telah kafir maka darah mereka
halal untuk ditumpahkan.
2. Suka mencela dan memberontak kepada penguasa yang
sah
Khowarij amat gemar dan menganjurkan untuk memberontak
pada pemerintah yang sah seperti kita lihat pada kisah di atas.
Mereka telah memberontak kepada Ali bin Abi Tholib dan kholifah
selanjutnya. Kalau Ali bin Abu Tholib saja yang menegakan
hukum Islam namun karena satu kesalahan dalam berhukum -
menurut paham mereka- mereka berontak, apalagi apalagi
penguasa yang jelas-jelas menerapkan hukum thogut.
Memberontak kepada penguasa yang sah ini berseberangan
dengan pemahaman Ahlus Sunnah yang mengharuskan untuk
tetap mendengar dan taat kepada mereka selama tidak
bertentangan dengan syariat Allah, sekalipun mereka berbuat
zholim kepada rakyatnya. Bahkan Nabi melarang untuk
menentang kepada para penguasa kecuali bila melihat ada
kekufuran yang sangat jelas dengan sabdanya, “Kecuali engkau
melihat kufur yang nyata, yang padanya di sisimu ada bukti dari
Allah.” (Mutafaqun’alaih). Maksud dari “Kecuali Engkau
melihat!” yaitu tidaklah cukup berdasar pada persangkaan dan
kabar angin semata. Maksud dari “… kekufuran” yaitu tidak cukup
adanya kefasikan meskipun besar seperti kezholiman,
minum khomr, berjudi, berzina dan melakukan monopoli yang
diharamkan. “yang nyata” maksudnya yaitu tidaklah cukup
kekufuran yang tidak nyata, tidak jelas, lagi tidak tampak.
Dan “Padanya di sisimu ada bukti dari Allah”, maksudnya yaitu
harus ada dalil yang jelas, yaitu dalil yang benar penetapannya
dan gamblang penunjukannya. Maka tidak cukup jika dalil itu
sanadnya lemah dan samar penunjukannya. Serta sabda
Nabi “Dari Allah”, maksudnya yaitu didukung oleh dalil yang benar
dari Al Quran dan As Sunnah.
3. Menghalalkan darah kaum muslimin
Dalam satu riwayat, Rasulullah bersabda tentang
Khowarij, “Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan
penyembah berhala.” (HR. Bukhori, Muslim). Sehingga pada
kenyataannya kita saksikan mereka tidak merasa berdosa telah
membunuh kaum muslimin akibat bomnya, bahkan justru merasa
bangga dengan aksinya itu.
Syari’at Islam menjaga lima pokok yang amat mendasar dan
haram untuk diterjang, yaitu: agama, jiwa, harta, kehormatan dan
akal. Tidak ada perselisihan diantara kaum muslimin tentang
haramnya menganiaya jiwa orang tidak boleh dibunuh tanpa
alasan yang benar. Barangsiapa melanggarnya, niscaya dia
memikul dosa yang besar.
Allah berfirman, “Dan barangsiapa membunuh seorang mu’min
dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93).
Begitu juga sabda Nabi dalam sunan Nasa’i dari Abdulloh bin
Amr, “Sungguh hancurnya dunia itu lebih ringan di sisi Allah
daripada terbunuhnya seorang muslim.”
Termasuk jiwa yang dilindungi adalah orang yang terikat
perjanjian dan Ahli dzimmah (orang bukan islam yang berada di
bawah perlindungan pemerintahan Islam). Nabi
bersabda: “Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (orang kafir
yang ada ikatan perjanjian) maka ia tidak akan mencium bau
surga, padahal baunya bisa dirasakan dari jarak sejauh 40 tahun
perjalanan.” (HR. Bukhori)
4. Mereka selalu berdalil dengan, “Barangsiapa yang tidak
berhukum berdasarkan apa yang telah Allah turunkan, maka
mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44)
Telah kita lihat tentang awal kemunculan mereka, dan ayat di
ataslah alasannya. Dan demikianlah syiar khowarij dari masa ke
masa. Kebodohan mereka yang berdalil dengan ayat di atas
minimalnya mereka tidak memperhatikan makna lafazh kufur ini.
Mereka memahami makna kafir secara tekstual dan tanpa
perincian. Mereka menganggap bahwa sekedar berhukum
dengan selain hukum Allah merupakan kekufuran yang
mengeluarkan keluar dari Islam sebagaimana kekafirannya orang
musyrik, Nasrani dan yahudi. Kata kufur tidak menunjukkan satu
makna saja seperti juga dzolim dan fasik. Kata dzolim dan fasik
tidak mesti pelakunya keluar dari Islam.
Sang penafsir Al Quran, Abdulloh bin Abbas mengatakan,
“Kekufuran ini tidak seperti pendapat mereka, ini bukan kufur
yang mengeluarkan dari Islam, tetapi kufur yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari islam.” (Diriwayatkan dalam
mustadrok 2/212, shohih menurut syarat Bukhori dan Muslim.
Syaikh Albani memuat riwayat ini dalam As-shohihah 6/109-116
no 2552). Inilah pemahaman Ahlus Sunnah, yaitu bahwa
seseorang tidak kafir hanya karena tidak berhukum dengan
hukum Allah, terkecuali apabila ia meyakini dalam hatinya bahwa
hukum Allah tidaklah wajib dilaksanakan atau meyakini bahwa
hukum buatan manusia itu lebih baik ketimbang hukum Allah.
5. Meninggalkan Ulama dan su’udzon terhadap mereka
Dzul khuwaisroh demikian beraninya menuduh
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wassalam tidak ikhlas dalam
pembagiannya, demikian juga khowarj dimasa Ali bin Abi Tholib
dengan beraninya mereka menyelisihi paham para sahabat yang
notabene adalah ulama umat ketika itu. Dan tentunya para
sahabat lebih paham tentang maksud ayat daripada mereka.
Demikian pula keadaan khowarij masa kini. Mereka menutup
telinga terhadap nasehat para ulama bahkan menuduh para
ulama sebagai ulama “piring” atau ulama pemerintah. Mereka
maksudkan dengan tuduhan tersebut bahwa para ulama berfatwa
demi kepentingan piring atau pemerintah semata.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat
ilmu sekaligus dari umat manusia. Namun Allah mengangkatnya
dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi
tersisa seorangpun ulama, manusia mengangkat orang-orang
jahil sebagai tokoh. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa
tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan.”
Dapat dipahami dari hadits di atas bahwa di antara sumber
kesesatan adalah meninggalkn fatwa ulama. Imam Ath Thurhusi
berkata, “Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya musibah
menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah
wafat lalu orang-orang jahil mengerluarkan fatwa atass dasar
kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia.”
Aksi Bom Bunuh Diri, Jihadkah?
Jihad fisik adalah termasuk amal sholih yang diperintahkan Allah,
bahkan jihad fisik adalah salah satu dari dua penopang Islam
selain tiang bayan (ilmu), yang merupakan jihad lisan.
Penyebaran ilmu syar’i merupakan jihad yang lebih utama dari
jihad fisik, apalagi ketika meratanya kebodohan terhadap ilmu
syar’i pada masyarakat. Dengan jihad maka tegaklah kemuliaan
kaum muslimin. Sebaliknya jika kaum muslimin melalaikan jihad
maka mereka akan ditimpa kehinaan. Jihad termasuk ibadah, dan
ibadah tidak diterima kecuali terpenuhi dua syarat yaitu, amal itu
ikhlash dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shollallahu
‘alaihi wa sallam.
Karena jihad menyangkut kepentingan rakyat banyak, maka
harus diserahkan kepada ulama senior. Merekalah yang berhak
mengeluarkan fatwa. Bukan menjadi wewenang orang bodoh lagi
masih ingusan. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi
wassalam bersabda, “Akan tiba nanti atas umat manusia masa-
masa penuh tipu daya. Para pembohong dianggap orang jujur
sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat
dianggap amanah dan orang yang amanah dianggap khianat.
Dan para ruwaibidhoh mulai angkat bicara.” Kemudian ada yang
bertanya, “Apa itu ruwaibidhoh wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Orang bodoh berkomentar tentang urusan rakyat
banyak.” (Shohih, riwayat Ibnu Majah)
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan
membawa bahan peledak di tubuhnya lalu meledakkan dirinya,
maka perbuatan ini termasuk bunuh diri, merupakan perbuatan
yang diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana sabda
Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang membunuh
dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan ditangannya,
ditusukkan keperutnya di neraka jahannam dia kekal di
dalamnya.”(Bukhori: 5778 dan Muslim: 109). Hal ini disebabkan
orang ini membunuh dirinya sendiri bukan untuk kemaslahatan
Islam, bahkan malah sebaliknya. Mungkin mereka dapat
membunuh sepuluh orang kafir akan tetapi orang kafir
membalasnya dengan membantai ratusan kaum muslimin dengan
cara-cara yang biadab.
Dan bahkan, tindakan tersebut bisa membunuh kaum muslim
sendiri, padahal Allah telah berfirman, “Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang
besar baginya.” (An Nisa: 93) Di sisi lain perbuatan ini semakin
membuat ruang gerak kaum muslimin makin sempit dan
menyebabkan nama Islam tercoreng. Akibatnya dakwah Islam
menjadi lebih sulit tersampaikan.
Penutup
Para pembaca sekalian, ulama tidak bosan-bosannya untuk
memperingatkan ummat dari bahaya pemahaman khowarij. Hal
ini mengingat bahwa pemahaman khowarij akan selalu ada
sampai hari kiamat dan tidak bisa dimusnahkan begitu saja hanya
dengan menangkapi tokoh-tokohnya. Sehingga jalan paling baik
ialah membekali kaum muslimin dengan pemahaman Islam yang
benar dan memperingatkan mereka dari setiap jalan kesesatan.
Dan merupakan keharusan untuk selalu mengembalikan urusan
besar yang berkaitan dengan darah kaum muslimin seperti jihad
dan pengkafiran, kepada para ahlinya yaitu ulama. Tidakkah kita
lihat bahwa kesesatan khowarij timbul karena mereka tidak
mengembalikan pemahaman mereka kepada orang yang lebih
alim dalam agama ketimbang mereka, yaitu para sahabat.
Kami juga menghimbau kepada kaum muslimin secara umum,
agar tidak tergesa-gesa dan dengan mudahnya menghukumi
setiap orang yang berpenampilan fisik sama dengan para pelaku
teroris kemudian langsung menghukuminya sebagai teroris!
Karena hal itu merupakan tindakan yang tidak didasari dengan
ilmu, serta berasal dari rasa emosi belaka.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari tipu daya musuh,
dan kita bisa istiqomah dijaman yang penuh dengan fitnah ini.
Marilah kita bertaqwa kepada Allah, dan bertaubat dengan jujur
terhadap segala dosa-dosa yang kita lakukan.

Pengeboman = Jihad???

Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan


oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya
adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-
mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).
Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-
Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di
Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan
negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang
ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan
fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan
penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.
Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i
Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka
penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan
Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang
disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya)
dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan
kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan
kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup
berdasarkan dugaan saja.
Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai
mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang
artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada
saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah
satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar).
Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri
orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-
syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila
orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang
diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak
terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang
dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai
pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin
lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para
penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi.
Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap
penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan,
menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah
masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa
sallam melarang pemberontakan kepada penguasa.
Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallambersabda: “….kecuali bila
kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki
bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)
Dampak Mudah Mengkafirkan
Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain,
merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum,
peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan
umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini
dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at
berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan
dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan
dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada
dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya
sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)
Tidak Semua Pendapat Dalam Khilafiyah Ditoleransi

Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi sebuah


kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk
meninggalkan sesuatu yang salah mereka menghadapi
pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah biarkan saja, ini khan
khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih
membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini
khan khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan
tersebut datang dari orang-orang yang enggan menerima nasehat
tapi tidak bisa membantah karena tidak memiliki ilmu, akhirnya
dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap ‘khilafiyah’ itu
ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah.
Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang
dibahas adalah perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa
tidak semua perkara khilafiyah itu bisa ditoleransi, sehingga
semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib Berhukum Kepada Dalil
Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita
untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi
perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:
‫ ٌر‬b‫ك َخ ْي‬b َ bِ‫ر َذل‬b ِ b‫و ِم اآْل ِخ‬bْ b‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي‬b
َ b‫ول ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُتْؤ ِم ُن‬ ِ b‫ ُر ُّدوهُ ِإ َلى هَّللا ِ َوالرَّ ُس‬b‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف‬
َ ‫َفِإنْ َت َن‬
‫َوَأحْ َسنُ َتْأ ِوياًل‬
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Allah Ta’ala berfirman:
ِ ‫اخ َت َل ْف ُت ْم فِي ِه ِمنْ َشيْ ٍء َف ُح ْك ُم ُه ِإ َلى هَّللا‬ ْ ‫َو َما‬
“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan
putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
،‫ِين‬َ ‫ِّين الرَّ اشِ د‬ َ ‫ َف َع َل ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِي َو ُس َّن ِة ْال ُخ َل َفا ِء ْال َم ْه ِدي‬،‫اخ ِتاَل ًفا َك ِثيرً ا‬
ْ ‫َفِإ َّن ُه َمنْ َي ِعشْ ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َف َس َي َرى‬
‫َت َم َّس ُكوا ِب َها َو َعضُّوا َع َل ْي َها ِبال َّن َوا ِج ِذ‬
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan.
Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah
khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi
geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah
dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
‫ة كلهم‬bb‫بعين مل‬bb‫تي على ثالث وس‬bb‫ترق أم‬bb‫ وتف‬، ‫ة‬bb‫إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين مل‬
‫ ما أنا عليه وأصحابي‬: ‫ قال من هي يا رسول هللا ؟ قال‬، ‫في النار إال ملة واحدة‬
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku
akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka,
kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang
satu golongan itu, ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-
orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no.
2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua
sanadnya jayyid”)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah
kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman
generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut
tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada
perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat,
seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal,
hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.
 
Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata:
‫أقوال أهل العلم فيحتج لها وال يحتج بها‬
“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia bukanlah dalil”
Imam Abu Hanifah berkata:
‫ال يحل ألحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه‬
“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami, selama ia
tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Diriwayatkan
Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al Intiqa 145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293.
Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 24)
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
‫ وخذ من حيث أخذوا‬،‫ وال الثوري‬،‫ وال األوزاعي‬،‫ وال الشافعي‬،ً‫ وال تقلد مالكا‬،‫ال تقلدني‬
“Jangan taqlid kepada pendapatku, juga pendapat Malik, Asy
Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri. Ambilah darimana mereka
mengambil (dalil)” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al
I’lam 2/302. Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 32)
Imam Asy Syafi’i berkata:
‫دعها‬b‫ه أن ي‬b‫لم لم يكن ل‬b‫ه وس‬b‫لى هللا علي‬b‫أجمع الناس على أن من استبانت له سنة رسول هللا ص‬
‫لقول أحد من الناس‬
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah dijelaskan
padanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak
boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat
siapapun” (Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al I’lam 2/361.
Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 28 )
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan tidak
pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang  masing-masing dari
mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena
bertentangan dengan dalil. Mereka kadang tergelincir dalam
kesalahan. Imam Malik berkata:
‫ا‬bb‫ل م‬bb‫ وك‬،‫ فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه‬،‫إنما أنا بشر أخطئ وأصيب‬
‫لم يوافق الكتاب والسنة؛ فاتركوه‬
“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan kadang
benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah, ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an
dan Sunnah, tinggalkanlah..” (Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil Barr
dalam Al Jami 2/32, Ibnu Hazm dalam Ushul Al Ahkam6/149.
Dinukil dari Ashl Sifah Shalatin Nabi, 27)
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat
salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Sulaiman At Taimi berkata,
َ ‫ اجْ َت َم َع فِي‬، ‫ َأ ْو َزلَّ ِة ُك ِّل َعال ٍِم‬، ‫ص ِة ُك ِّل َعال ٍِم‬
‫ك ال َّشرُّ ُكلُّ ُه‬ َ ‫َل ْو َأ َخ ْذ‬
َ ‫ت ِبر ُْخ‬
“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah saja
dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari
pendapat para ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh
keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul
Auliya, 3172)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al Adawi hafizhahullah berkata: “Ada banyak
permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi
perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama
di sana. Setiap pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau
pada kaidah asal yang umum, atau kepada qiyas jaliy. Maka
dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita
menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai
musuh, tidak boleh menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau
menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan menyimpang. Bahkan
selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama bersandar
pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita
pegang itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata: “Ucapan sebagian orang
bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah benar.
Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa,
atau perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu
pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah dikenal
kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut wajib untuk
diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak
secara langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya
pendapat tersebut dan penjelasan bahwa pendapat tersebut
bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk
pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika
perbuatan tersebut menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib
diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih
mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada
masalah khilafiyyah, padahal ulama dari semua golongan telah
sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan hakim jika
menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun
keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama.
Sedangkan jika dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas
dari As-Sunnah atau ijma’ dan memang ada ruang bagi ulama
untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid
maupun muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)
 
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Ditoleransi
1. Qunut Subuh
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
 Hadits Bara’ bin ‘Adzib:
‫ب‬ ِ ‫ َو ْال َم ْغ ِر‬،‫ْح‬ِ ‫صب‬ُّ ‫ت فِي ال‬ َ ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َك‬
ُ ‫ان َي ْق ُن‬ ِ ‫َأنَّ َرسُو َل‬
َ ‫هللا‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa membaca
qunut di waktu subuh dan maghrib” (HR. Muslim 678)
 Hadits dari Muhammad bin Sirin:
:ُ‫ه‬b‫ َل َل‬b‫ َفقِي‬،‫ َن َع ْم‬:‫ا َل‬bb‫ْح؟ َق‬ ِ ‫ب‬b‫الص‬ ُّ ‫لَّ َم فِي‬b‫ ِه َو َس‬b‫لَّى هللاُ َع َل ْي‬b‫ص‬ َ ‫ َأ َق َن‬: ٍ‫ك‬bbِ‫ِئ َل َأ َنسُ بْنُ َمال‬b‫ُس‬
َ ُّ‫ت ال َّن ِبي‬
‫وع يَسِ يرً ا‬ ِ ‫ « َبعْ َد الرُّ ُك‬:‫وع؟ َقا َل‬ ِ ‫ت َق ْب َل الرُّ ُك‬ َ ‫»َأ َو َق َن‬
“Anas Radhiallahu’anhu ditanya: apakah Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam membaca Qunut ketika shalat
subuh? Ia berkata: Iya. Kemudian ditanya lagi: apakah
membacanya sebelum ruku’? Ia berkata: setelah ruku’
sebentar saja” (HR. Bukhari 1001)
 Hadits Anas bin Maalik:
َّ َّ َ ‫هللا‬
‫دعُو َع َلى‬bْ ‫ْح َي‬ ُّ ‫اَل ِة‬b‫ص‬
ِ ‫ب‬b‫الص‬ َ ‫وع فِي‬b ِ ‫ دَ الرُّ ُك‬bْ‫هْرً ا َبع‬b‫ل َم َش‬b‫ ِه َو َس‬bْ‫لى هللاُ َع َلي‬b‫ص‬ ِ ‫ت َرسُو ُل‬ َ ‫َق َن‬
‫هللا َو َرسُو َل ُه‬َ ‫ت‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ص َّي ُة َع‬
َ ‫ ُع‬:ُ‫ َو َيقُول‬،‫ان‬ َ ‫ َو َذ ْك َو‬،‫ِرعْ ٍل‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut
selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan
terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003,
Muslim 677)
 Atsar Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu dalam Mushannaf
Abdirrazzaq (3/109) dengan sanad yang shahih bahwa beliau
ketika shalat subuh, selesai membaca surat beliau membaca
doa qunut lalu setelah itu takbir kemudian ruku’ (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 103)
 Atsar Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma dalam Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah (2/312-313) dengan sanad shahih dari Abi
Raja’ ia berkata: “Aku shalat shubuh bersama Ibnu Abbas di
Masjid Bashrah. Ia membaca doa Qunut sebelum ruku’”
(Dinukil dari Mafatihul Fiqh, 103)
Dan beberapa hadits shahih dan atsar lainnya. Pendapat ini
dipegang oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Malik, Ibnu Abdil Barr,
Ibnu Abi Ya’la, salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan
Daud Rahimahumullah.
Pendapat kedua: hukumnya sunnah ketika ada musibah, dan
bid’ah bila mengkhususkannya pada shalat shubuh
Dalil ulama yang berpendapat demikian diantaranya:
 Hadits Anas bin Maalik:
َّ َّ َ ‫هللا‬
‫دعُو َع َلى‬bْ ‫ْح َي‬ ُّ ‫اَل ِة‬b‫ص‬
ِ ‫ب‬b‫الص‬ َ ‫وع فِي‬b ِ ‫ دَ الرُّ ُك‬bْ‫هْرً ا َبع‬b‫ل َم َش‬b‫ ِه َو َس‬bْ‫لى هللاُ َع َلي‬b‫ص‬ ِ ‫ت َرسُو ُل‬ َ ‫َق َن‬
‫هللا َو َرسُو َل ُه‬ َ ‫ت‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ص َّي ُة َع‬ َ ‫ ُع‬:ُ‫ َو َيقُول‬،‫ان‬ َ ‫ َو َذ ْك َو‬،‫ِرعْ ٍل‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berdoa Qunut
selama sebulan penuh, beliau mendoakan keburukan
terhadap Ri’lan dan Dzakwan serta ‘Ushayyah yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari 1003,
Muslim 677)
Dalam riwayat Bukhari diceritakan, ketika itu terjadi
pengkhianatan dari suku Ri’lan, Dzakwan dan Ushayyah.
Mereka membantai 70 sahabat Nabi dari kaum Anshar.
 Hadits Abu Hurairah:
“Selama sebulan penuh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam setelah membaca ُ‫دَ ه‬bbbِ‫مع هَّللا ُ لِ َمنْ َحم‬bbb‫ س‬pada raka’at
terakhir dari shalat Isya beliau membaca doa Qunut:
‫يع َة اللَّ ُه َّم َأ ْن ِج ْال َولِيدَ ب َْن ْال َولِي ِد اللَّ ُه َّم َأ ْن ِج َس َل َم َة ب َْن ِه َش ٍام اللَّ ُه َّم َأ ْن ِج‬ َ ‫َّاش ب َْن َأ ِبي َر ِب‬ َ ‫اللَّ ُه َّم َأ ْن ِج َعي‬
‫نِي‬bb‫ِين َك ِس‬ َ ‫ُض َر اللَّ ُه َّم اجْ َع ْل َها َع َلي ِْه ْم سِ ن‬ َ ‫ك َع َلى م‬ َ ‫ِين اللَّ ُه َّم ا ْش ُد ْد َو ْطَأ َت‬َ ‫ِين م َِن ْالمُْؤ ِمن‬ َ ‫ْالمُسْ َتضْ َعف‬
‫ُف‬ َ ‫يُوس‬
Ya Allah, tolonglah ‘Ayyash bin Abi Rabi’ah. Ya Allah,
tolonglah Walid bin Al Walid. Ya Allah, tolonglah Salamah bin
Hisyam. Ya Allah, tolonglah orang-orang lemah dari kaum
mu’minin. Ya, Allah sempitkanlah jalan-Mu atas orang-orang
yang durhaka. Ya Allah, jadikanlah tahun-tahun yang mereka
lewati seperti tahun-tahun paceklik yang dilewati Yusuf “ (HR.
Bukhari 1006, 2932, 3386)
 Hadits Abu Malik Al Asyja-’i

ٍ b‫ف َأ ِبي َب ْك‬b


‫ر َف َل ْم‬b َ b‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫لَّي‬b ‫ص‬ َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ‫لَّ َم َف َل ْم َي ْق ُن‬b ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َس‬ َ ‫ْت َخ ْل‬
َ ِّ‫ف ال َّن ِبي‬ ُ ‫صلَّي‬َ ‫َعنْ َأ ِبي ِه‬
‫ف‬b َ b‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫لَّي‬b‫ص‬َ ‫ت َو‬ َ b‫ف ع ُْث َم‬b
ْ ‫ان َف َل ْم َي ْق ُن‬b َ b‫ْت َخ ْل‬ ُ ‫لَّي‬b‫ص‬ َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ‫ر َف َل ْم َي ْق ُن‬b َ b‫ْت َخ ْل‬
َ b‫ف ُع َم‬b ُ ‫صلَّي‬َ ‫ َو‬، ‫ت‬ ْ ‫َي ْق ُن‬
َ ‫اِئيّ َوابْنُ َم‬b ‫ ٌة } َر َواهُ ال َّن َس‬b‫ا ِب ْد َع‬bb‫ا ُب َنيَّ إ َّن َه‬bb‫ا َل َي‬bb‫ ُث َّم َق‬، ‫ت‬
‫ا َل‬bb‫ ذِيُّ َو َق‬b‫ هْ َوال ِّترْ ِم‬b‫اج‬ ْ ‫َعلِيٍّ َف َل ْم َي ْق ُن‬
‫صحِي ٌح‬ َ ٌ‫ِيث َح َسن‬ ٌ ‫َحد‬
“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi
makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu
Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat
menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut,
Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak
membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali
namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu
perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At
Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
 Atsar Ibnu Umar dari Abul Sya’sya’, dalam Mushannaf
Abdirrazzaq(4954) dengan sanad shahih:
‫ ما شعرت ان احدا يفعله‬: ‫سألت ابن عمر عن القنوت في الفجر فقال‬
“Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang qunut di waktu
subuh. Ia berkata: Saya rasa tidak ada seorang pun
(sahabat) yang melakukannya” (Dinukil dari Mafatihul
Fiqh, 106)
 Atsar dari Ibnu Mas’ud dalam Mushannaf Abdirrazzaq (4949)
dengan sanad shahih yang menyatakan bahwa beliau tidak
pernah membaca qunut ketika shalat subuh (Dinukil
dari Mafatihul Fiqh, 106).
 Jika ditelaah hadits-hadits praktek Nabi membaca qunut,
umumnya berkaitan dengan musibah. Ibnul Qayyim berkata:
“Petunjuk RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam
berdoa Qunut adalah mengkhususkannya hanya pada saat
terjadi musibah dan tidak melakukannya jika tidak ada
musibah. Selain itu tidak mengkhususkan pada shalat
Shubuh saja, walaupun memang beliau paling sering
melakukan pada shalat Shubuh” (Zaadul Ma’ad 273/1).
Pendapat ini dipegang oleh Sufyan Ats Tsauri, Imam Abu
Hanifah, Al Laits, pendapat terakhir Imam Ahmad, Ibnu
Syabramah, Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah.
Pendapat ketiga: melakukannya boleh, meninggalkannya
juga boleh
Ulama yang berpendapat mencermati dalil-dalil yang ada dan
berkesimpulan bahwa terkadang Nabi membaca doa Qunut dan
terkadang beliau meninggalkannya. Yang berpegang pada
pendapat ini diantaranya Imam Sufyan Ats Tsauri, Ath Thabari,
dan Ibnu Hazm.
Faidah:
Dari ketiga pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap
pendapat berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan
pemahaman para salaf (sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in),
dan sisi pendalilan yang tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i.
Maka setiap pendapat dalam permasalahan ini selayaknya
ditoleransi oleh setiap muslim.
2. Menyemir Rambut Dengan Warna Hitam
Pendapat pertama: haram
Dalil ulama yang berpendapat demikian adalah 2 hadits:
 Hadits Jabir bin Abdillah:

ُ‫لَّى هللا‬b‫ص‬ ِ ‫و ُل‬b‫ا َل َر ُس‬bb‫ َف َق‬،‫ا‬b‫اض‬


َ ‫هللا‬ َّ ‫ُأت َِي ِبَأ ِبي قُ َحا َف َة َي ْو َم َف ْتح َم َّك َة َو َرْأ ُس ُه َولِحْ َي ُت ُه َك‬
ً ‫ ِة َب َي‬b‫الث َغا َم‬ ِ
َ َ َ َ َّ
‫ َواجْ ت ِنبُوا الس ََّوا َد‬،‫ «غ ِّيرُوا َهذا ِبشيْ ٍء‬:‫» َعل ْي ِه َو َسل َم‬َ
“Aku datang bersama Abu Quhafah ketika Fathul Makkah.
Rambut dan jenggot beliau putih seperti tsaghamah. Lalu
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Ubahlah warna
rambutmu ini dengan warna lain, namun jangan hitam’” (HR.
Muslim, 2102)
 Hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
‫اِئح َة ْال َج َّن ِة‬
َ ‫ُون َر‬َ ‫ اَل َي ِريح‬،‫ َك َح َواصِ ِل ْال َح َم ِام‬،ِ‫ان ِبالس ََّواد‬ َّ ‫ُون فِي آخ ِِر‬
ِ ‫الز َم‬ َ ‫َي ُكونُ َق ْو ٌم َي ْخضِ ب‬
“Akan ada sebuah kaum di akhir zaman yang menyemir
rambut dengan warna hitam bagaikan tembolok burung dara.
Mereka tidak dapat mencium wanginya surga” (HR. Abu
Daud 4212, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)
Pendapat ini dipegang oleh ulama Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: makruh
Ulama yang berpendapat demikian berargumen dengan:
 Larangan pada hadits Jabir dimaksudkan untuk Abu Quhafah
dan orang-orang yang semisalnya dalam usia. Ini didukung
oleh riwayat dari Ibnu Syihab yang dinukil oleh Ibnu Hajar
dalam Fathul Baari (1/367)
 Orang-orang yang dimaksud dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak
bisa mencium wangi surga bukan karena sebab perbuatan
menyemir rambut namun karena perbuatan lain yang
termasuk maksiat. Adapun menyemir rambut dengan hitam
hanyalah ciri kebanyakan mereka.
 Atsar dari Mujahid dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (5081)
dengan sanad shahih bahwa beliau memakruhkan menyemir
rambut dengan warna hitam
Atsar dari Sa’id bin Jubair dalam Mushannaf Ibnu Abi
Syaibah (5082) dengan sanad shahih bahwa beliau
memakruhkan  menyemir rambut dengan warna hitam
Dan beberapa atsar shahih lain dari para tabi’in bahwa mereka
memakruhkan hal ini. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan
Ibnu Abdil Barr.
Namun perlu menjadi catatan, bahwa makruh dalam perkataan
salaf sering bermakna haram sebagaimana penjelasan Ibnul
Qayyim dalam I’lam Al Muwaqi’in.
Faidah:
Dari tiap pendapat diatas dapat kita lihat bahwa setiap pendapat
berpegang pada dalil yang shahih, didukung dengan pemahaman
para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan sisi pendalilan yang
tidak keluar dari kaidah-kaidah syar’i. Maka setiap pendapat
dalam permasalahan ini selayaknya ditoleransi oleh setiap
muslim.
Contoh Perkara Khilafiyah Yang Tidak Bisa Ditoleransi
1. Bolehnya Seorang Wanita Menikah Tanpa Wali
Imam Abu Hanifah memandang bahwa seorang wanita boleh
menikahkan dirinya sendiri tanpa wali (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf
Ulama 2/247, Ikhtilaf Ulama A-immah 2/122). Pendapat beliau ini
sama sekali tidak didukung oleh dalil, tidak juga didukung oleh
pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Tentunya
pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil
diantaranya:
 Hadits Abu Musa Al Asy’ari dan Ibnu Abbas bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
ٍّ‫الَ ِن َكا َح ِإالَّ ِب َولِي‬
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Daud 2/568,
Ahmad 4/394. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami‘
7555)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
‫ ل‬bb‫ َفِإنْ د ََخ‬،ٌ‫ َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬،ٌ‫ َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬،ٌ‫ت ِب َغي ِْر ِإ ْذ ِن َولِ ِّي َها َف ِن َكا ُح َها بَاطِ ل‬
ْ ‫َأ ُّي َما ام َْرَأ ٍة َن َك َح‬
‫اجرُوا َفالس ُّْل َطانُ َولِيُّ َمنْ الَ َولِيَّ َل ُه‬َ ‫ َفِإنْ َت َش‬،‫ِب َها َف َل َها ْال َم ْه ُر ِب َما اسْ َت َحل ِمنْ َفرْ ِج َها‬
“Wanita mana saja yang menikah tanpa walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal! Jika
mempelai pria sudah menjima’i-nya, maka mempelai wanita
berhak atas maharnya sebagai kompensasi atas
persetubuhan yang telah terjadi. Jika wanita ini tidak memiliki
wali, maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak
memiliki wali” (HR. Abu Daud 2/568. Dishahihkan Al Albani
dalam Al Irwa 1840)
 Hadits ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
‫ َوالَ ُت ْن ِك ُح ْال َمرْ َأةُ َن ْف َس َها‬،‫الَ ُت ْن ِك ُح ْال َمرْ َأةُ ْال َمرْ َأ َة‬
“Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya.
Seorang wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri” (HR.
Ibnu Majah 1/606. Dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam At
Talkhis 3/157)
Dan dalil-dalil yang lain. Sehingga jelas bahwa pendapat Imam
Abu Hanifah adalah pendapat yang bertentangan dengan dalil
syar’i dan tidak boleh ditoleransi. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar hadits-hadits di atas tidak sampai kepada
Imam Abu Hanifah. Walhasil, kita tidak boleh mentoleransi wanita
yang menikah tanpa wali, walaupun ini termasuk
perkara khilafiyah.
2. Bid’ahnya Doa Istiftah
Imam Malik berpendapat bahwa do’a istiftah tidak disyari’atkan,
atau dengan kata lain: bid’ah (Lihat Ikhtilaf A-immatil Ulama,
1/107). Pendapat beliau ini sama sekali tidak didukung oleh dalil
ataupun pemahaman para salaf, selain kaidah umum bahwa
hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalilnya. Dan
pendapat ini sangat bertentangan dengan banyak dalil
diantaranya:
 Hadist dari Abu Hurairah:
:‫ فقلت‬.‫رأ‬b‫ل أن يق‬bb‫كت ُه َنيَّة قب‬b‫س‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم إذا كبَّر في الصالة؛‬
َ ‫كان رسول هللا‬
” :‫ال‬bb‫ول؟ ق‬bb‫ا تق‬bb‫راءة؛ م‬bb‫ير والق‬bb‫كوتك بين التكب‬bb‫أبي أنت وأمي؛ أرأيت س‬bb‫يا رسول هللا! ب‬
‫ … ” فذكره‬:‫أقول‬
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah
bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca
ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai
Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku
melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang
engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa
istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)
 Hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:
‫ ُر‬b‫ هللاُ َأ ْك َب‬:‫وم‬bb‫ل من الق‬bb‫ال رج‬bb‫لَّ َم؛ إذ ق‬b‫ ِه َو َس‬b‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي‬ َ ‫بينما نحن نصلي مع رسول هللا‬
:‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫ فقال رسول هللا‬. ‫هللا ُب ْك َر ًة َوَأصِ ياًل‬ ِ ‫ان‬ َ ‫ َو ُسب َْح‬،‫ َو ْال َحمْ ُد هَّلِل ِ َك ِثيرً ا‬،‫َك ِبيرً ا‬
‫ول‬bb‫معت رس‬bb‫ذ س‬bb‫ركتهن من‬bb‫ فما ت‬:‫ قال ابن عمر‬.“ ‫” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء‬
‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم يقول ذلك‬ َ ‫هللا‬
“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah:  ‫هللاُ َأ ْك َب ُر‬
‫هللا ُب ْك َر ًة َوَأصِ ياًل‬ ِ َ ‫ َو ُسب َْح‬،‫ َو ْال َحمْ ُد هَّلِل ِ َك ِثيرً ا‬،‫ َك ِبيرً ا‬. Rasulullah
‫ان‬
Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran,
dibukakan baginya pintu-pintu langit’. Ibnu Umar pun
berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau
berkata demikian’”. (HR. Muslim 2/99)
Dan masih banyak lagi hadits shahih yang menyebutkan macam-
macam doa istiftah yang dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat Imam
Malik tersebut sama sekali tidak benar karena bertentangan
dengan banyak dalil syar’i. Para ulama mengatakan bahwa
kemungkinan besar dalil-dalil tersebut tidak sampai kepada Imam
Malik. Walhasil, kita tidak boleh membiarkan orang yang
berkeyakinan bahwa doa istiftah adalah bid’ah, walaupun ini
termasuk perkara khilafiyah.
3. Bolehnya Merayakan Maulid Nabi
As Suyuthi, Ibnu Hajar Al Haitsami, Ibnu Hajar Al Asqalani,
adalah beberapa ulama yang memfatwakan bolehnya merayakan
Maulid Nabi MuhammadShallallahu’alaihi Wasallam. Namun
pendapat mereka sama sekali tidak didasari oleh dalil shahih atau
pemahaman para salaf, kecuali hadits-hadits
dha’if, istihsan atau qiyas. Pendapat ini bertentangan dengan
kaidah-kaidah syar’i yang fundamental, diantaranya:
 Ibadah itu tauqifiyyah, hanya bisa disyari’atkan atau
ditetapkan berdasarkan dalil. Mensyariatkan ibadah tanpa
dalil akan termasuk yang disebut dalam firman Allah:
ِ ُ‫ ِل َلق‬b‫ص‬
َّ‫ َي َب ْي َن ُه ْم َوِإن‬b‫ض‬ ْ ‫ ُة ْال َف‬b‫ ِه هَّللا ُ َكلِ َم‬b‫ ْأ َذنْ ِب‬b‫ا َل ْم َي‬bb‫ين َم‬ ُ ‫َأ ْم َل ُه ْم‬
ِ ‫ ِّد‬b‫ َرعُوا َل ُه ْم م َِن ال‬b‫ َر َكا ُء َش‬b‫ش‬
‫ِين َل ُه ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬ َ ‫الظالِم‬ َّ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan
Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari
Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya
orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang
amat pedih” (QS. Asy Syura: 21)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫ْس َع َل ْي ِه َأ ْم ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َماًل َلي‬
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan
berasal dari urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”
(Muttafaq ‘alaihi)
 Hadist dha’if tidak bisa menjadi hujjah dalam mensyariatkan
sebuah ibadah dan
 Para ulama bersepakat atas kaidah:
‫ إثبات العبادة‬ ‫ال قياس ف‬
“Tidak ada qiyas dalam menetapkan ibadah”.
Sebagaimana juga mereka bersepakat tidak boleh
menggunakan qiyas dalam masalah aqidah. Dan masalah
pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Istihsan (anggapan baik) bukanlah hujjah untuk
mensyari’atkan sebuah ibadah
 Para ulama bersepakat tidak ada ijtihad dalam masalah
aqidah. Dengan kata lain, ini bukan ranah ijtihad. Dan
masalah pensyariatan sebuah ibadah adalah ranah aqidah.
 Para sahabat hidup sampai 100 tahun sepeninggal
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun dalam kurun waktu
selama itu tidak ada di antara mereka yang merayakan
Maulid Nabi. Andai Maulid Nabi itu baik, maka para
sahabatlah yang paling dahulu memulainya. Karena
merekalah yang paling bersemangat dalam kebaikan dan
paling cinta terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
 Tidak ada riwayat shahih bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in
merayakan Maulid Nabi
 Tidak ada riwayat shahih bahwa seorang pun dari Imam
Madzhab yang empat merayakan Maulid Nabi
Dengan demikian jelaslah bahwa pendapat ini adalah pendapat
yang tidak bisa ditoleransi walaupun memang khilafiyah.
Wabillahi At Taufiq Was Sadaad

Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an
[1] al-Qur’an adalah Cahaya
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba
dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur’an
dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di dalam
firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak
mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi
kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya
Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-
hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua
hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala
kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah
ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada
hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya
selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 38)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia,
sungguh telah datang kepada kalian keterangan yang jelas dari
Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang
terang-benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi
orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir
itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka
dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.”(QS. al-Baqarah: 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang
sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang
membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak,
sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia
tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah
bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.
al-An’aam: 122)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat
ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah
dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah
menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya
keimanan yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah-tengah
orang banyak.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
[2] al-Qur’an adalah Petunjuk
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab
yang tidak ada sedikit pun keraguan padanya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 1-2).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’an ini
menunjukkan kepada urusan yang lurus dan memberikan kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal
salih bahwasanya mereka akan mendapatkan pahala yang
sangat besar.” (QS. al-Israa’: 9).
Oleh sebab itu merenungkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan
pintu gerbang hidayah bagi kaum yang beriman.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ini adalah sebuah kitab
yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar
mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak
merenungi al-Qur’an, ataukah pada hati mereka itu ada gembok-
gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya
ia datang bukan dari sisi Allah pastilah mereka akan menemukan
di dalamnya banyak sekali perselisihan.” (QS. an-Nisaa’: 82)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak
pula celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan
jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan
mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia
tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di
akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-
Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul
Muhsin al-Badr, hal. 49).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti
petunjuk Allah ialah:
1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,
2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk
syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah,
4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan
kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.
515 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
[3] al-Qur’an Rahmat dan Obat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia!
Sungguh telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian
(yaitu al-Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada,
hidayah, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Yunus: 57). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami
turunkan dari al-Qur’an itu obat dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman. Akan tetapi ia tidaklah menambah bagi orang-
orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Israa’: 82)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-
Qur’an itu mengandung ilmu yang sangat meyakinkan yang
dengannya akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia
juga mengandung nasehat dan peringatan yang dengannya akan
lenyap segala keinginan untuk menyelisihi perintah Allah. Ia juga
mengandung obat bagi tubuh atas derita dan penyakit yang
menimpanya.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet.
Mu’assasah ar-Risalah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam
salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan turun
kepada mereka ketenangan, kasih sayang akan meliputi mereka,
para malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun akan
menyebut nama-nama mereka diantara para malaikat yang ada
di sisi-Nya.” (HR. Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa
at-Taubah wa al-Istighfar [2699])
[4] al-Qur’an dan Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang
yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat serta
menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka
berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya
Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan
keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang
beriman maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan
yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang sangat
pedih. Yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
kalian pun berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian.
Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Maka
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan
memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan tempat tinggal yang baik di surga-
surga ‘and. Itulah kemenangan yang sangat besar. Dan juga
balasan lain yang kalian cintai berupa pertolongan dari Allah dan
kemenangan yang dekat. Maka berikanlah kabar gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. ash-Shaff: 10-13)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa dan harta mereka,
bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan surga. Mereka
berperang di jalan Allah sehingga mereka berhasil membunuh
(musuh) atau justru dibunuh. Itulah janji atas-Nya yang telah
ditetapkan di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah
yang lebih memenuhi janji selain daripada Allah, maka
bergembiralah dengan perjanjian jual-beli yang kalian terikat
dengannya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-
Taubah: 111)
[5] al-Qur’an dan Kemuliaan Sebuah Umat
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’
bin Abdul Harits bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah
diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu ‘Umar
mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun
bertanya kepadanya, “Siapakah yang kamu angkat sebagai
pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu
Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia
menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama
kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang
bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’
menjawab, “Dia adalah seorang yang menghafal Kitab Allah
‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.” ‘Umar pun
berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam
memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat
dengan Kitab ini sebagian kaum dan dengannya pula Dia akan
menghinakan sebagian kaum yang lain.”.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang
mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5027])
[6] al-Qur’an dan Hasad Yang Diperbolehkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali dalam dua
perkara: seorang lelaki yang diberikan ilmu oleh Allah tentang al-
Qur’an sehingga dia pun membacanya sepanjang malam dan
siang maka ada tetangganya yang mendengar hal itu lalu dia
berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang
diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal
sebagaimana apa yang dia lakukan.” Dan seorang lelaki yang
Allah berikan harta kepadanya maka dia pun menghabiskan harta
itu di jalan yang benar kemudian ada orang yang berkata,
“Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan
kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa
yang dia lakukan.”.”(HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-
Qur’an [5026])
[7] al-Qur’an dan Syafa’at
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah al-
Qur’an! Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat
untuk memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [804])
[8] al-Qur’an dan Pahala Yang Berlipat-Lipat
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang membaca satu huruf dalam Kitabullah maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas
dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif
Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf,
dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Tsawab al-
Qur’an [2910], disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
[9] al-Qur’an Menentramkan Hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman
dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah,
ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan
merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih
mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah
mengingat/merenungkan al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati
manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan
iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara
iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
[10] al-Qur’an dan as-Sunnah Rujukan Umat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan juga ulil amri di
antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu
maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-
benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Maimun bin Mihran berkata, “Kembali kepada Allah adalah
kembali kepada Kitab-Nya. Adapun kembali kepada rasul adalah
kembali kepada beliau di saat beliau masih hidup, atau kembali
kepada Sunnahnya setelah beliau wafat.” (lihat ad-Difa’ ‘anis
Sunnah, hal. 14)
[11] al-Qur’an Dijelaskan oleh as-Sunnah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan
kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an supaya kamu menjelaskan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan
mudah-mudahan mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul
itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’:
80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada
bagi kalian teladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi
orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. al-Ahzab:
21)
Mak-hul berkata, “al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-
Sunnah dibandingkan kebutuhan as-Sunnah kepada al-
Qur’an.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13). Imam Ahmad
berkata, “Sesungguhnya as-Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an
dan menjelaskannya.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13)
Wallahu a’lam bish showab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Adab Membaca Al-Quran

Al Qur’anul Karim adalah firman Alloh yang tidak mengandung


kebatilan sedikitpun. Al Qur’an memberi petunjuk jalan yang lurus
dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam
menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di
akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang
mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu
yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi
keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik kamu adalah
orang yg mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR.
Bukhari)
Ketika membaca Al-Qur’an, maka seorang muslim perlu
memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan
kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur’an:
1. Membaca dalam keadaan suci, dengan duduk yang sopan
dan tenang.
Dalam membaca Al-Qur’an seseorang dianjurkan dalam keadaan
suci. Namun, diperbolehkan apabila dia membaca dalam
keadaan terkena najis. Imam Haromain berkata, “Orang yang
membaca Al-Qur’an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan
mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan
sesuatu yang utama.” (At-Tibyan, hal. 58-59)
2. Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar
dapat menghayati ayat yang dibaca.
Rosululloh bersabda, “Siapa saja yang membaca Al-Qur’an
(khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR.
Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan)
Sebagian sahabat membenci pengkhataman Al-Qur’an sehari
semalam, dengan dasar hadits di atas. Rosululloh telah
memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatam kan Al-
Qur’an setiap satu minggu (7 hari) (HR. Bukhori, Muslim).
Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin
Affan, Zaid bin Tsabit, mereka mengkhatamkan Al-Qur’an sekali
dalam seminggu.
3. Membaca Al-Qur’an dengan khusyu’, dengan menangis,
karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh
jiwa dan perasaan.
Alloh Ta’ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hamba-Nya
yang shalih, “Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil
menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. Al-Isra’: 109).
Namun demikian tidaklah disyariatkan bagi seseorang untuk
pura-pura menangis dengan tangisan yang dibuat-buat.
4. Membaguskan suara ketika membacanya.
Sebagaimana sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa
sallam, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Al-Hakim). Di dalam hadits lain dijelaskan, “Tidak
termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur’an.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Maksud hadits ini adalah membaca Al-
Qur’an dengan susunan bacaan yang jelas dan
terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak
sampai keluar dari ketentuan kaidah tajwid. Dan seseorang tidak
perlu melenggok-lenggokkan suara di luar kemampuannya.
5. Membaca Al-Qur’an dimulai dengan isti’adzah.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan bila
kamu akan membaca Al-Qur’an, maka mintalah perlindungan
kepada Alloh dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk.” (QS.
An-Nahl: 98)
Membaca Al-Qur’an dengan tidak mengganggu orang yang
sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang
terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan
suara yang lirih secara khusyu’.
Rosululloh shollallohu ‘alaihiwasallam bersabda, “Ingatlah
bahwasanya setiap dari kalian bermunajat kepada Rabbnya,
maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain,
dan salah satu dari kamu tidak boleh bersuara lebih keras
daripada yang lain pada saat membaca (Al-Qur’an).” (HR. Abu
Dawud, Nasa’i, Baihaqi dan Hakim). Wallohu a’lam.
***
Penulis: Abu Hudzaifah Yusuf
Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu,


karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu,
mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang
satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan
dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama
mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh
kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman,
َّ‫ض َعن ذ ِْك ِرى َفِإن‬ َ ‫} َو َمنْ َأعْ َر‬123{ ‫ُدَاي َفالَ يَضِ ُّل َوالَ َي ْش َقى‬ َ ‫َفِإمَّا َيْأ ِت َي َّن ُكم ِّم ِّني ُه ًدى َف َم ِن ا َّت َب َع ه‬
‫ش ُرهُ َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َأعْ َمى‬
ُ ْ‫ضن ًكا َو َنح‬ َ ‫َل ُه َمعِي َش ًة‬
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa
yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan
celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan
buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata,
“Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan
mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan
sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath
Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫هللا َو ُس َّن َة َرس ُْولِ ِه‬
ِ ‫اب‬ َ ‫ ِك َت‬: ‫ْن َلنْ َتضِ لُّ ْوا َما َت َم َّس ْك ُت ْم ِب ِه َما‬ َ ‫ت فِ ْي ُك ْم َأ‬
ِ ‫مْري‬ ُ ‫َت َر ْك‬
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan
sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah
dan Sunnah Rasul-Nya.(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-
Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh
Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis
Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi
banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-
prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling
bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran
nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah
(perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah
terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk
mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat
telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat
harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab
dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata,
“Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang
yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka
meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi
kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga
yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum
mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan
tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami
jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam
pemahaman, pemikiran dan pendapat, merupakan penyebab
utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju
jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar
menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu
wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut
mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh
Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im
Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al
‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam
memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab
kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah.
Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-
Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga
pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti
jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak
dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna)
bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm.
7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama
sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul,
cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-
nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling
mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan
tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan
menafsirkan Alquran sebagai berikut:
 Menafsirkan Alquran dengan Alquran
 Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para
sahabat
 Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para
tabi’in
 Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-
Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam
menafsirkan Al Quran ialah:
 Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang
disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat,
terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di
tempat yang lain.
 Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan
penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib
me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas
bagi Alquran.
 Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-
Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para
sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena
mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan
yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu
hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu
dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga
Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat
menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun
generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti
di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki
pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal
yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar
mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para
imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk,
Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-
bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
 Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan
as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para
sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-
ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin
Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah)
dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah
maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri,
Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’
bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya
dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut
tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in
bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka
sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu
merupakan hujjah.
 Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka
bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan
bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam
masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa
Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau
perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun
menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran
(akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim,
Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman
Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang
mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara
lain:
Firman Allah Ta’ala,
َ ‫يل ْالمُْؤ ِمن‬
ْ ‫ولَّى َو ُن‬bَ b‫ِين ُن َولِّ ِه َما َت‬
‫لِ ِه‬b ‫ص‬ ِ ‫َو َمن ُي َشاق ِِق الرَّ سُو َل مِن َبعْ ِد َما َت َبي ََّن َل ُه ْالهُدَى َو َي َّت ِبعْ َغي َْر َس ِب‬
‫ت مَصِ يرً ا‬ ْ ‫َج َه َّن َم َو َسآ َء‬
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` :
115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan
semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ِين َيلُو َن ُه ْم ُث َّم الَّذ‬
‫ِين َيلُو َن ُه ْم‬ َ ‫اس َقرْ نِي ُث َّم الَّذ‬
ِ ‫َخ ْي ُر ال َّن‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat),
kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi
tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu
generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652,
3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ِين ِملَّ ًة ُكلُّ ُه ْم فِي‬ َ ‫ث َو َس ْبع‬ ٍ ‫ِين ِملَّ ًة َو َت ْف َت ِر ُق ُأ َّمتِي َع َلى َثاَل‬َ ‫ْن َو َس ْبع‬ ِ ‫ت َع َلى ِث ْن َتي‬ ْ ‫َوِإنَّ َبنِي ِإسْ َراِئي َل َت َفرَّ َق‬
‫ِي َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل َما َأ َنا َع َل ْي ِه َوَأصْ َح ِابي‬ َ ‫ار ِإاَّل ِملَّ ًة َواحِدَ ًة َقالُوا َو َمنْ ه‬ ِ ‫ال َّن‬
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72
agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah
menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu
agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka,
wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R
Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari
Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di
dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan
para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan,
tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ا‬bb‫اخ ِتاَل ًف‬ْ ‫ َي َرى‬b ‫ِش ِم ْن ُك ْم َبعْ دِي َف َس‬ ْ ‫اع ِة َوِإنْ َع ْب ًدا َحبَشِ ًّيا َفِإ َّن ُه َمنْ َيع‬ َّ ‫ُأوصِ ي ُك ْم ِب َت ْق َوى هَّللا ِ َوالسَّمْ ع َو‬
َ ‫الط‬ ِ
‫ ِذ َوِإيَّا ُك ْم‬b‫ا ِبال َّن َوا ِج‬bb‫ِين َت َم َّس ُكوا ِب َها َو َعضُّوا َع َل ْي َه‬ َ ‫د‬ ِ‫اش‬ َّ‫الر‬ ‫ِّين‬
َ ‫ي‬ ‫د‬
ِ ْ
‫ه‬ ‫م‬
َ ِْ
‫ال‬ ‫ء‬ ‫ا‬ َ
‫ف‬ َ
‫ل‬ ُ
‫خ‬ ْ
‫ال‬ ‫ت َو ُس َّن ِة‬ ِ ‫َك ِثيرً ا َف َع َل ْي ُك ْم ِب ُس َّن‬
‫ضاَل َل ٌة‬ َ ‫ُور َفِإنَّ ُك َّل مُحْ َد َث ٍة ِب ْد َع ٌة َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬ ‫َومُحْ دَ َثا ِ ُأْل‬
ِ ‫تا م‬
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah,
mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin),
walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya,
barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang
banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan
sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus.
Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua
perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam
agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (H.R Abu
Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya
dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-
Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah
terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya
dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang
diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan
as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah
seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan
diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang
kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-
Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila
Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki
anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap
diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah,
karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus.
Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan
[penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari
Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul.
Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan
orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan
kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya
mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ‫ق‬
‫]ر ب‬. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-
Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah
binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10
Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada
Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh
Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th.
1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti
qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan
mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun
sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang
optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini
adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham
Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah
agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa.
Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita
tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai
dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut
melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz
yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta
amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat
secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan,
kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
Tafsir Surat Al-Fatihah

Keutamaan Surat Al-Fatihah


Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak
ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al
Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin
Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang
artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an
(surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR.
Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini
dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama
berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat
adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al
Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau
mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung
dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka
beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala
kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai
Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu
sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau
bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin
(surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang
sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang
dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush
Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
‫ان الرَّ ِجي ِْم‬ ِ ‫ْط‬َ ‫َأع ُْو ُذ ِباهِلل م َِن ال ََّشي‬
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang
terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan
syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam
urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan
dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka
jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah
di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah
menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
‫ك ِم ْن ُه ُم ْال ُم‬ َ ‫ِك ُأَل ْغ ِو َي َّن ُه ْم َأجْ َمع‬
َ ‫ِين ِإاَّل عِ َبا َد‬ َ ‫َقا َل َف ِبع َِّزت‬
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka
semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi
anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat
syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh
sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena
menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang
yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-
kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-
sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً ‫َواجْ ُن ْبنِي َو َبنِيَّ َأن َّنعْ ُب َد اَألصْ َنا َم‬
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan
berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan
menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang
bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-
benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat
manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu
sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
‫و ِل‬bْ b‫ُف ْال َق‬ َ ‫ ر‬b‫ض ُز ْخ‬ ٍ ْ‫ ُه ْم ِإ َلى َبع‬b ‫ض‬ُ ْ‫وحِي َبع‬bb‫نس َو ْال ِجنِّ ُي‬ َ ِ‫يَاط‬b ‫ ُدوّ اً َش‬b‫ ِّل ن ِِبيٍّ َع‬b‫ك َج َع ْل َنا لِ ُك‬
ِ ‫ين اِإل‬ َ ِ‫َو َك َذل‬
ً‫ُغرُورا‬
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu
(musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin.
Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain
ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS.
Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah,
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
‫ِيم‬
ِ ‫من الرَّ ح‬ ِ ْ‫هللا الرَّ ح‬ ِ ‫ِبسْ ِم‬
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah
dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada
Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan
dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah
milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang
mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih
bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi
dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah
hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-
Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul
Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih
sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi
segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-
Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan
mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang
yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang
akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun
orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka
dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini
(lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
‫ْال َح ْم ُد هّلل ِ َربِّ ْال َعا َل ِم‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat
kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya
yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau
menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung
hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang
hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi
dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah.
Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan
ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah;
pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara
seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah
yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka,
memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun
batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh
makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang
khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-
pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga
memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan
membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain
itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala
macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan
mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah
memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga
mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta
ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai
itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan
Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang
ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua
meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun
dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan
meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami
(lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
‫ِيم‬ ِ ْ‫الرَّ ح‬
ِ ‫مـن الرَّ ح‬
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana
diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki
nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada
Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman
kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani
nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi
menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan
(3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat
Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi
penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian
keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan).
Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama
atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian
sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah
berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang
menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang
menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan
tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah
tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama
dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah
akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamdan para sahabatnya serta para imam dan pengikut
mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan
dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan
baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi
pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan
pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama
akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang
Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh
dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan
penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang
diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu
sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna.
Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki
nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani
melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak
mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu
adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan
menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun
menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah
menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di
dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi
kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang
makhluk.
Makna Ayat Ketiga
ِ ‫َمالِكِ َي ْو ِم ال ِّد‬
‫ين‬
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa.
Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-
orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang
berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman
kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala
sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut
kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh
dibaca Maalik (dengan memanjangkanmim) atau Malik (dengan
memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik.
Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan
karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima
balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu
di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi
manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya.
Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil
dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan
penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun
dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada
saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak
maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah
kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan
pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat
mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh
sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan
dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari
pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah
penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah
penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa
atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir
Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
ُ‫ك َنسْ َتعِين‬
َ ‫ك َنعْ ُب ُد وِإيَّا‬
َ ‫ِإيَّا‬
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya
kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah
(permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat
yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya
adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan
mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang
menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya
ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh
menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat
ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah
selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak
meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh
Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah
itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan
dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan
larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka
sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah
melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha
kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di
antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah,
meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya.
Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga
termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau
hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya
kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata,
“Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode
penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang
lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak
Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada
Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan
mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah
sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan.
Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan
perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar
apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah
(ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan
ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah
padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya
adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari
Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya.
Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka
keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang
diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak
akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
‫اه ِد َنــــا الص َِّرا َط المُس َتقِي َم‬
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada
kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang
lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta
mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai
kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan
lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan
mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami
menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang
dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah
supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan
seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus
ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-
rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah
satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam
kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah
setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat
shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena
memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir
Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
َ ‫ِين َأن َع‬
ِ ‫مت َع َل‬
‫يه ْم‬ َ ‫صِ َرا َط الَّذ‬
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat
atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam
ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi,
orang-orang yangshiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam
yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam
cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ialah setiap orang
yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-
Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya,
mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga
mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai
tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka.
Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai
keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di
atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi
perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan
ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama
ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa
menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan
sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir,
hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
َ ِّ‫يه ْم َوالَ الضَّال‬
‫ين‬ ِ ‫ب َع َل‬ ِ ‫َغ‬
ِ ‫ير ال َمغضُو‬
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan
pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui
kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya
adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang
tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-
gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah
orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat
ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya
menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan
kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-
orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13
dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum
berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam
surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung
intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil
‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah
adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya
seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam
kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid
uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam
bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam
penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa
sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal
nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat
kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula
Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah
mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat
kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani
ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah
sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun
menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu
tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang
lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada
bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga
menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada
balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena
pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini
juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu
berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah
balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung
penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir,
bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala
sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang
takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-
benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah
dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di
dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari
bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat.
Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun
penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus;
yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga
mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan
dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun
isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini
tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak
aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al
Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat.
Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat.
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan
do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
Tafsir Ayat Kursi

Keutamaan Ayat Kursi


Semua surat dalam al-Qur’an adalah surat yang agung dan mulia.
Demikian juga seluruh ayat yang dikandungnya. Namun, Allah
ta’ala dengan kehendak dan kebijaksanaanNya menjadikan
sebagian surat dan ayat lebih agung dari sebagian yang lain.
Surat yang paling agung adalah surat al-Fatihah, sedangkan ayat
yang paling agung adalah ayat kursi, yaitu di surat Al-Baqarah,
ayat 255. Yang akan kita pelajari bersama dalam kesempatan ini
adalah ayat kursi.
Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda:
“Wahai Abul Mundzir (gelar kunyah Ubay), tahukah engkau ayat
mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Beliau berkata, “Wahai Abul Mundzir, Tahukah engkau ayat
mana di kitab Allah yang paling agung?”
Aku pun menjawab,
‫هَّللا ُ الَ ِإ َل َه ِإالَّ ه َُو ْال َحيُّ ْال َقيُّو ُم‬
Maka beliau memukul dadaku dan berkata, “Demi Allah, selamat
atas ilmu (yang diberikan Allah kepadamu) wahai Abul
Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)
Dalam kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan setan yang
mencuri harta zakat, disebutkan bahwa setan tersebut berkata,
“Biarkan aku mengajarimu beberapa kalimat yang Allah
memberimu manfaat dengannya. Jika engkau berangkat tidur,
bacalah ayat kursi. Dengan demikian, akan selalu ada penjaga
dari Allah untukmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai
pagi.”
Ketika Abu Hurairah menceritakannya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, beliau berkata,
“Sungguh ia telah jujur, padahal ia banyak berdusta.” (HR. al-
Bukhari no. 2187)
Dalam kisah lain yang mirip dengan kisah di atas dan
diriwayatkan Ubay bin Ka’b radhiallahu ‘anhu, disebutkan bahwa
si jin mengatakan:
‫ير ِم َّنا َح َّتى ُي ْمسِ َي‬ َ ‫ِين يُصْ ِب ُح ُأ ِج‬ َ ‫ِين ُي ْمسِ ي ُأ ِج‬
َ ‫ َو َمنْ َقا َل َها ح‬، ‫ير ِم َّنا َح َّتى يُصْ ِب َح‬ َ ‫َمنْ َقا َل َها ح‬
“Barangsiapa membacanya ketika sore, ia akan dilindungi dari
kami sampai pagi. Barangsiapa membacanya ketika pagi, ia akan
dilindungi sampai sore.”(HR. ath-Thabrani no. 541, dan al-Albani
mengatakan bahwa sanadnya bagus)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
‫ت‬ ُ ‫ ِإال ْال َم ْو‬،ِ‫ول ْال َج َّنة‬ َ ‫َمنْ َق َرَأ آ َي َة ْال ُكرْ سِ يِّ ُدب َُر ُك ِّل‬
ِ ‫صال ٍة َم ْك ُتو َب ٍة َل ْم َيمْ َنعْ ُه ِمنْ ُد ُخ‬
“Barangsiapa membaca ayat kursi setelah setiap shalat wajib,
tidak ada yang menghalanginya dari masuk surga selain
kematian.” (HR. ath-Thabrani no. 7532, dihukumi shahih oleh al-
Albani)
Disunnahkan membaca ayat ini setiap (1) selesai shalat wajib, (2)
pada dzikir pagi dan sore, (3) juga sebelum tidur.
Tafsir Ayat Kursi
‫هَّللا ُ الَ ِإ َل َه ِإالَّ ه َُو ْال َحيُّ ْال َقيُّو ُم‬
“Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia
Yang hidup kekal serta terus menerus mengurus (makhluk).”
Allah adalah nama yang paling agung milik Allah ta’ala. Allah
mengawali ayat ini dengan menegaskan kalimat tauhid yang
merupakan intisari ajaran Islam dan seluruh syariat sebelumnya.
Maknanya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah
selain Allah. Konsekuensinya tidak boleh memberikan ibadah
apapun kepada selain Allah.
Al-Hayyu dan al-Qayyum adalah dua di antara al-Asma’ al-Husna
yang Allah miliki. Al-Hayyu artinya Yang hidup dengan sendirinya
dan selamanya. Al-Qayyum berarti bahwa semua membutuhkan-
Nya dan semua tidak bisa berdiri tanpa Dia. Oleh karena itu,
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di mengatakan bahwa kedua nama
ini menunjukkan seluruh al-Asma’ al-Husna yang lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Hayyul Qayyum adalah
nama yang paling agung. Pendapat ini dan yang sebelumnya
adalah yang terkuat dalam masalah apakah nama Allah yang
paling agung, dan semua nama ini ada di ayat kursi.
‫الَ َتْأ ُخ ُذهُ سِ َن ٌة َوالَ َن ْو ٌم‬
“Dia Tidak mengantuk dan tidak tidur.”
Maha Suci Allah dari segala kekurangan. Dia selalu menyaksikan
dan mengawasi segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi
darinya, dan Dia tidak lalai terhadap hamba-hamba-Nya.
Allah mendahulukan penyebutan kantuk, karena biasanya kantuk
terjadi sebelum tidur.
Barangkali ada yang mengatakan, “Menafikan kantuk saja sudah
cukup sehingga tidak perlu menyebut tidak tidur; karena jika
mengantuk saja tidak, apalagi tidur.”
Akan tetapi, Allah menyebut keduanya, karena bisa jadi (1) orang
tidur tanpa mengantuk terlebih dahulu, dan (2) orang bisa
menahan kantuk, tetapi tidak bisa menahan tidur. Jadi, menafikan
kantuk tidak berarti otomatis menafikan tidur.
‫ض‬ ِ ْ‫ت َو َما فِي ْاَألر‬ ِ ‫َل ُه َما فِي ال َّس َم َاوا‬
“Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi.”
Semesta alam ini adalah hamba dan kepunyaan Allah, serta di
bawah kekuasaan-Nya. Tidak ada yang bisa menjalankan suatu
kehendak kecuali dengan kehendak Allah.
‫َمنْ َذا الَّذِي َي ْش َف ُع عِ ْن َدهُ ِإالَّ بِِإ ْذ ِن ِه‬
“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya.”
Memberi syafaat maksudnya menjadi perantara bagi orang lain
dalam mendatangkan manfaat atau mencegah bahaya. Inti
syafaat di sisi Allah adalah doa. Orang yang mengharapkan
syafaat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berarti mengharapkan
agar Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mendoakannya di sisi
Allah. Ada syafaat yang khusus untuk Nabi Muhammad, seperti
syafaat untuk dimulainya hisab di akhirat, dan syafaat bagi
penghuni surga agar pintu surga dibukakan untuk mereka. Ada
yang tidak khusus untuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, seperti
syafaat bagi orang yang berhak masuk neraka agar tidak
dimasukkan ke dalamnya, dan syafaat agar terangkat ke derajat
yang lebih tinggi di surga.
Jadi, seorang muslim bisa memberikan syafaat untuk orang tua,
anak, saudara atau sahabatnya di akhirat. Akan tetapi, syafaat
hanya diberikan kepada orang yang beriman dan meninggal
dalam keadaan iman. Disyaratkan dua hal untuk
mendapatkannya, yaitu:
1. Izin Allah untuk orang yang memberi syafaat.
2. Ridha Allah untuk orang yang diberi syafaat.
Oleh karena itu, seseorang tidak boleh meminta syafaat kecuali
kepada Allah. Selain berdoa, hendaknya kita mewujudkan syarat
mendapat syafaat; dengan meraih ridha Allah. Tentunya dengan
menaatiNya menjalankan perintahNya semampu kita, dan
meninggalkan semua laranganNya.
ِ ‫َيعْ َل ُم َما َبي َْن َأ ْيد‬
‫ِيه ْم َو َما َخ ْل َف ُه ْم‬
“Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang
mereka.”
Ini adalah dalil bahwa ilmu Allah meliputi seluruh makhluk, baik
yang ada pada masa lampau, sekarang maupun yang akan
datang. Allah mengetahui apa yang telah, sedang, dan yang akan
terjadi, bahkan hal yang ditakdirkan tidak ada, bagaimana
wujudnya seandainya ada. Ilmu Allah sangat sempurna.
‫ون ِب َشيْ ٍء ِمنْ عِ ْل ِم ِه ِإالَّ ِب َما َشا َء‬ ُ ‫َوالَ ُيح‬
َ ‫ِيط‬
“Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah kecuali
dengan apa yang dikehendaki-Nya.”
Tidak ada yang mengetahui ilmu Allah, kecuali yang Allah
ajarkan. Demikian pula ilmu tentang dzat dan sifat-sifat Allah. Kita
tidak punya jalan untuk menetapkan suatu nama atau sifat,
kecuali yang Dia kehendaki untuk ditetapkan dalam al-Quran dan
al-Hadits.
‫ض‬ َ ْ‫ت َو ْاَألر‬ ِ ‫َوسِ َع ُكرْ سِ ُّي ُه ال َّس َم َاوا‬
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi.”
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu menafsirkan kursi dengan berkata:
‫ال ُكرْ سيُّ َم ْوضِ ُع َق َد َم ْي ِه‬
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah.” (HR. al-Hakim no.
3116, di hukumi shahih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi)
Ahlussunnah menetapkan sifat-sifat seperti ini sebagaimana
ditetapkan Allah dan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, sesuai
dengan kegungan dan kemuliaan Allah tanpa menyerupakannya
dengan sifat makhluk.
Ayat ini menunjukkan besarnya kursi Allah dan besarnya Allah.
Dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
‫ات ال َّسبْع َم َع ال ُكرْ سِ يِّ ِإالَّ َك َح ْل َق ٍة م ُْل َقا ٍة ِبَأرْ ض َفالَ ٍة‬
ُ ‫َما ال َّس َم َاو‬
“Tidaklah langit yang tujuh dibanding kursi kecuali laksana
lingkaran anting yang diletakkan di tanah lapang.” (HR. Ibnu
Hibban no.361, dihukumi shahih oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
‫ظ ُه َما‬ ُ ‫َوالَ َيُئو ُدهُ ِح ْف‬
“Dan Allah tidak terberati  pemeliharaan keduanya.”
Seorang ibu, tentu merasakan betapa lelahnya mengurus rumah
sendirian. Demikian juga seorang kepala desa, camat, bupati,
gubernur atau presiden dalam mengurus wilayah yang mereka
pimpin. Namun, tidak demikian dengan Allah yang Maha Kuat.
Pemeliharaan langit dan bumi beserta isinya sangat ringan bagi-
Nya. Segala sesuatu menjadi kerdil dan sederhana di depan
Allah.
‫َوه َُو ْال َعلِيُّ ْال َعظِ ي ُم‬
“Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Allah memiliki kedudukan yang tinggi, dan dzat-Nya berada di
ketinggian, yaitu di atas langit (di atas singgasana). Dalam
sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada
seorang budak perempuan: “Di mana Allah?”
Ia menjawab, “Di langit.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapa saya?”
Ia menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.”
Maka, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata kepada
majikannya (majikan budak perempuan tersebut -
ed), “Bebaskanlah ia, karena sungguh dia beriman!” (HR. Muslim
no. 537)
Jelaslah bahwa keyakinan sebagian orang bahwa Allah ada
dimana-mana bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits.
Demikian pula Allah memiliki kedudukan yang agung dan dzatnya
juga agung sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan kursiNya
dalam ayat ini.
Kesimpulan:
1. Semua ayat al-Qur’an agung. Adapun ayat yang paling
agung adalah ayat kursi.
2. Disunnahkan untuk membaca ayat ini setiap selesai shalat
wajib, pada dzikir pagi dan sore, dan sebelum tidur.
3. Penegasan kalimat tauhid.
4. Arti al-Hayyu dan al-Qayyum yang menunjukkan seluruh
nama Allah yang lain.
5. Semua bentuk  kekurangan harus dinafikan dari Allah.
6. Arti syafaat dan syarat memperolehnya.
7. Ilmu Allah sangat sempurna.
8. Kita hanya menetapkan untuk Allah nama dan sifat  yang
ditetapkan oleh Allah dan RasulNya sesuai dengan
keagungan dan kemuliaanNya, tanpa menyerupakannya
dengan nama dan sifat makhluk.
9. Arti dan keagungan kursi Allah.
10. Ketinggian dan keagungan Allah dalam dzat dan kedudukan.
11. Kesalahan orang yang mengatakan Allah ada di mana-
mana.
12. Penetapan banyak nama dan sifat Allah yang menunjukkan
kemuliaan dan kesempurnaan-Nya.
Wallahu a’lam.
Referensi:
1. Al-Quran dan  Terjemahnya
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Fathul Qadir, asy-Syaukani
4. Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di
5. Shahih al-Bukhari
6. Shahih Muslim
7. Al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabrani
8. al-Mustadrak, al-Hakim.
9. Shahih Ibnu Hibban
10. Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani
11. Silsilah Ahadits Shahihah, al-Albani
12. Fathul Majid, Abdurrahman bin Hasan
13. Fiqhul Asma’il Husna, Abdurrazzaq al-Badr
14. Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi
Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi berkata: “…tiada kehidupan untuk hati,
tidak ada kesenangan dan ketenangan baginya, kecuali dengan
mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan
Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu
mencintai-Nya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan
diri kepada-Nya tanpa yang lain…” (Syarah al-Aqidah ath-
Thahawiyyah)

Fiqih dan Muamalah


Macam-Macam Najis

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, sehingga Dia-lah


yang patut diibadahi. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hinga akhir zaman.
Pengertian Najis
Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang
memiliki tabi’at yang selamat (baik) dan selalu menjaga diri
darinya. Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia
dan kencing- maka harus dibersihkan.[1]
Perlu dibedakan antara najis dan hadats. Najis kadang kita
temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats
terkhusus kita temukan pada badan. Najis bentuknya konkrit,
sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan
seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan
istri (baca: jima’), ia dalam keadaan hadats besar. Ketika ia
kentut, ia dalam keadaan hadats kecil. Sedangkan apabila
pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis.
Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar
dengan mandi. Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang,
maka sudah membuat benda tersebut suci. Mudah-mudahan kita
bisa membedakan antara hadats dan najis ini.[2]
Hukum Asal Segala Sesuatu adalah Suci
Terdapat suatu kaedah penting yang harus diperhatikan
yaitu segala sesuatu hukum asalnya adalah mubah dan suci.
Barangsiapa mengklaim bahwa sesuatu itu najis maka dia harus
mendatangkan dalil. Namun, apabila dia tidak mampu
mendatangkan dalil atau mendatangkan dalil namun kurang
tepat, maka wajib bagi kita berpegang dengan hukum asal yaitu
segala sesuatu itu pada asalnya suci. [3] Menyatakan sesuatu itu
najis berarti menjadi beban taklif, sehingga hal ini membutuhkan
butuh dalil.[4]
Macam-Macam Najis
1,2 – Kencing dan kotoran (tinja) manusia
Mengenai najisnya kotoran manusia ditunjukkan dalam hadits
Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ ‫ِإ َذا َوطِ َئ َأ َح ُد ُك ْم ِب َنعْ َل ْي ِه اَأل َذى َفِإنَّ ال ُّت َر‬
‫اب َل ُه َطهُو ٌر‬
“Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (al adza)
dengan alas kakinya, maka tanahlah yang nanti akan
menyucikannya.”[5]
Al adza (kotoran) adalah segala sesuatu yang mengganggu yaitu
benda najis, kotoran, batu, duri, dsb.[6] Yang dimaksud al
adza dalam hadits ini adalah benda najis, termasuk pula kotoran
manusia.[7] Selain dalil di atas terdapat juga beberapa dalil
tentang perintah untuk istinja’ yang menunjukkan najisnya kotoran
manusia.[8]
Sedangkan najisnya kencing manusia dapat dilihat pada hadits
Anas,
ُ‫ « َدعُوه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َأنَّ َأعْ َر ِاب ًّيا َبا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َقا َم ِإ َل ْي ِه َبعْ ضُ ْال َق ْو ِم َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
.ِ‫ص َّب ُه َع َل ْيه‬ ْ ‫دَعا ِب‬
َ ‫دَل ٍو ِمنْ َما ٍء َف‬ َ ‫ َقا َل َف َلمَّا َف َر َغ‬.» ُ‫َوالَ ُت ْز ِرمُوه‬
“(Suatu saat) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu
sebagian orang (yakni sahabat) berdiri. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan
hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut
menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[9]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Kotoran dan
kencing manusia sudah tidak samar lagi mengenai kenajisannya,
lebih-lebih lagi pada orang yang sering menelaah berbagai dalil
syari’ah.”[10]
3,4 -  Madzi dan Wadi
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada
umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda
kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket,
keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu
keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi.[11]
Hukum madzi adalah najis sebagaimana terdapat perintah untuk
membersihkan kemaluan ketika madzi tersebut keluar. Dari ‘Ali
bin Abi Thalib, beliauradhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ت‬ ُ ْ‫َأ َمر‬b‫ ِه َف‬b‫ان ا ْب َن ِت‬b
ِ b‫ لِ َم َك‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫لى هللا علي‬bb‫ص‬- َّ‫َأ َل ال َّن ِبى‬b‫ َتحْ ِيى َأنْ َأ ْس‬b‫ت َأ ْس‬ َّ b‫ت َر ُجالً َم‬
ُ ‫ذا ًء َو ُك ْن‬b ُ ‫ُك ْن‬
‫ضُأ‬َّ ‫» ْال ِم ْقدَادَ ب َْن اَألسْ َو ِد َف َسَأ َل ُه َف َقا َل « َي ْغسِ ُل َذ َك َرهُ َو َي َت َو‬.
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu
menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu
aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk
bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau
memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk
mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.”[12]
Hukum wadi juga najis. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan,
‫ ْل‬b‫اغ ِس‬ ْ : ‫ا َل‬bb‫ى َف َق‬ ُ ‫ذ‬bْ b‫ى َو ْال َم‬
ُ ‫و ْد‬bَ b‫ َوَأمَّا ْال‬، ‫ ُل‬b‫ ُه ْال ُغ ْس‬b‫و الَّذِى ِم ْن‬bَ b‫ َأمَّا ْال َمنِىُّ َف ُه‬، ُ‫ْال َمنِىُّ َو ْال َم ْذىُ َو ْال َو ْدى‬
.ِ‫صالَة‬
َّ ‫ك لِل‬ َ ‫ضْأ وُ ضُو َء‬ َّ ‫ك َو َت َو‬ َ ‫ك َأ ْو َم َذاك‬
َ ‫ِير‬ َ ‫َذ َك َر‬
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka
diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu
‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah
sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[13]
5 – Kotoran hewan yang dagingnya tidak halal dimakan
Contohnya adalah kotoran keledai jinak[14], kotoran
anjing[15] dan kotoran babi[16]. Abdullah  bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
‫ْن َو َر ْو َث ِة‬ِ ‫ت َل ُه َحجْ َري‬ ٍ ‫ ِإْئ ِتنِي ِب َثالَ َث ِة َأحْ َج‬: ‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َأنْ َي َت َبرَّ َز َف َقا َل‬
ُ ‫ار َف َو َج ْد‬ َ ُّ‫َأ َرادَ ال َّن ِبي‬
ٌ‫ِي ِرجْ س‬ َ ‫ ه‬: ‫الحجْ َري َْن َو َط َر َح الرَّ ْو َث َة َو َقا َل‬ َ ‫ك‬ َ ‫ار َفأ ْم َس‬
ٍ ‫ِح َم‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud bersuci setelah
buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Kemudian aku
mendapatkan  dua batu dan kotoran keledai. Lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang
kotoran tadi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda, “Kotoran ini termasuk najis”.” [17]
Hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan
dagingnya semacam kotoran keledai jinak adalah najis.
6 – Darah haidh
Dalil yang menunjukkan hal ini, dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau
berkata, “Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamkemudian berkata,
‫ْف َتصْ َن ُع ِب ِه‬َ ‫ض ِة َكي‬ َ ‫ِإحْ دَا َنا يُصِ يبُ َث ْو َب َها ِمنْ دَ ِم ْال َح ْي‬
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang
harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫صلِّى فِي ِه‬َ ‫ض ُح ُه ُث َّم ُت‬ َ ‫ص ُه ِب ْال َما ِء ُث َّم َت ْن‬ُ ‫َت ُح ُّت ُه ُث َّم َت ْق ُر‬
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah.
Kemudian shalatlah dengannya.” [18]
Shidiq Hasan Khon rahimahullah mengatakan, “Perintah untuk
menggosok dan mengerik darah haidh tersebut menunjukkan
akan kenajisannya.”[19]
7 – Jilatan anjing
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ت ُأوالَهُنَّ ِبال ُّت َرا‬
‫ب‬ ٍ ‫طهُو ُر ِإ َنا ِء َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َو َل َغ فِي ِه ْال َك ْلبُ َأنْ َي ْغسِ َل ُه َسب َْع َمرَّ ا‬ ُ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing
adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan
tanah.”[20] Yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bagian
anjing yang termasuk najis adalah jilatannya saja. Sedangkan
bulu dan anggota tubuh lainnya tetap dianggap suci sebagaimana
hukum asalnya.[21]
8 – Bangkai
Bangkai adalah hewan yang mati begitu saja tanpa melalui
penyembelihan yang syar’i.[22] Najisnya bangkai adalah
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
Abdullah bin ‘Abbas,
‫ِإ َذا ُد ِب َغ اِإل َهابُ َف َق ْد َطه َُر‬
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.”
Bangkai yang dikecualikan adalah :
a – Bangkai ikan dan belalang
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِّ ‫ان َف ْال َك ِب ُد َو‬
‫الط َحا ُل‬ ِ ‫ُوت َو ْال َج َرا ُد َوَأمَّا ال َّد َم‬ ُ ‫ان َف ْالح‬ ِ ‫ان َفَأمَّا ْال َم ْي َت َت‬ ِ ‫ان َودَ َم‬ ْ َّ‫ُأ ِحل‬
ِ ‫ت َل َنا َم ْي َت َت‬
“Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai
tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah
tersebut adalah hati dan limpa.”[23]
b – Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir
Contohnya adalah bangkai lalat, semut, lebah, dan kutu. Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ َفا ًء َوفِى‬b‫ ِه ِش‬bْ‫احي‬ َ ‫ ِد َج َن‬b‫ِإنَّ فِى َأ َح‬b‫ َف‬، ‫ ُه‬bْ‫ ُث َّم ْل َي ْط َرح‬، ‫ ُه ُكلَّ ُه‬b‫ َف ْل َي ْغم ِْس‬، ‫ ِد ُك ْم‬b‫الذ َبابُ فِى ِإ َنا ِء َأ َح‬ ُّ ‫ِإ َذا َو َق َع‬
َ
‫اآلخ ِر دَا ًء‬
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian,
maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah.
Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan
sayap lainnya terdapat penawarnya.”[24]
c – Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu dari bangkai
Semua ini termasuk bagian dari bangkai yang suci karena kita
kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci.
Mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Bukhari
secara mu’allaq (tanpa sanad), beliau rahimahullah berkata,
‫ت‬ُ ‫ر ِه َأ ْد َر ْك‬b ِ b‫ َو ْالفِي‬bْ‫و َتى َنح‬bْ b‫ ِام ْال َم‬b‫ ِرىُّ فِى عِ َظ‬bْ‫الزه‬
ِ b‫ل َو َغ ْي‬b ُّ ‫ َو َقا َل‬. ‫يش ْال َم ْي َت ِة‬ ِ ‫س ِب ِر‬ َ ‫َو َقا َل َحمَّا ٌد الَ َبْأ‬
‫ الَ َي َر ْو َن ِب ِه َبْأسًا‬، ‫ون فِي َها‬َ ‫ َو َي َّد ِه ُن‬، ‫ون ِب َها‬ َ ‫ط‬ ُ ِ‫َناسًا ِمنْ َس َلفِ ْال ُع َل َما ِء َيمْ َتش‬
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa
(yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai
dari gajah dan semacamnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama
salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan
tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya najis hal
ini’.” [25]
Tersisa pembahasan beberapa hal yang sebenarnya tidak
termasuk najis -menurut pendapat ulama yang lebih kuat- yaitu
mani, darah (selain darah haidh), muntah, dan khomr. Dan juga
masih tersisa pembahasan bagaimana cara membersihkan najis.
Semoga Allah memudahkan kami membahasnya dalam rubrik
fiqih selanjutnya.
Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang
bermanfaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Selesai disusun di Panggang-Gunung Kidul, 19 Shofar 1431 H
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Shidiq


Hasan Khon, 1/22, Darul ‘Aqidah,cetakan pertama, 1422 H
[2] Faedah dari pembahasan di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu
Malik Kamal bin Sayid Saalim, 1/71, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Lihat As Sailul Jaror, Asy Syaukani, 1/31, Darul Kutub Al
‘Ilmiyyah, cetakan pertama, tahun 1405 H
[4] Lihat Rhoudhotun Nadiyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, 1/24.
[5] HR. Abu Daud no. 385. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim
Abadi Abu Ath Thoyib, 2/32, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut,
cetakan kedua, 1415 H.
[7] Lihat ‘Aunul Ma’bud, 2/34.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/71.
[9] HR. Muslim no. 284
[10] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 1/22.
[11] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal
Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[12] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[13] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih
Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[14] Keledai jinak termasuk hewan yang diharamkan untuk
dimakan. Inilah pendapat mayoritas ulama. Di antara dalilnya
adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan,
ُ ‫َأ‬ ‫ َأل‬b‫وم ْال ُح ُم‬bb‫ر َعنْ لُ ُح‬b
َ b‫و َم َخ ْي َب‬bْ b‫ َن َهى َي‬-‫لم‬bb‫صلى هللا عليه وس‬- ِ ‫َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬
ِ b‫ر ا هْ لِ َّي ِة َو ذ َِن فِى ل ُح‬b
‫وم‬b ِ ِ
‫ْال َخي ِْل‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pada perang
Khoibar memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan
memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no.
1941)
[15] Anjing termasuk hewan yang haram dimakan karena ia
termasuk hewan buas (yang dapat menyerang manusia) dan
bertaring. Padahal Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اع َفَأ ْكلُ ُه َح َرا ٌم‬ ٍ ‫ُك ُّل ذِى َنا‬
ِ ‫ب م َِن ال ِّس َب‬
“Setiap hewan buas yang bertaring haram untuk dimakan.” (HR.
Muslim no. 1933, dari Abu Hurairah).
Cara Membersihkan Najis

Berikut beberapa penjelasan mengenai cara membersihkan najis


sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam
najis dalam tulisan sebelumnya. Semoga bermanfaat.
1 – Menyucikan kulit bangkai[1] dengan disamak
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata bahwa
beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ٍ ‫َأ ُّي َما ِإ َها‬


‫ب ُد ِب َغ َف َق ْد َطه َُر‬
“Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka dia telah
suci.”[2]
Namun hadits di atas tidak berlaku umum. Perlu dibedakan
antara:
[1] kulit bangkai yang sebenarnya jika hewannya mati dengan
jalan disembelih menjadi halal, maka kulit bangkai tersebut bisa
suci dengan disamak.
[2] kulit bangkai yang jika hewannya disembelih tidak membuat
hewan tersebut halal (artinya: hewan tersebut haram dimakan),
maka kulitnya tetap tidak bisa suci dengan disamak.[3] Inilah
pendapat yang lebih kuat dari pendapat ulama yang ada.
Contoh pertama: Kulit kambing yang mati dalam keadaan
bangkai, misalnya kambingnya mati ditabrak dan tidak sempat
disembelih, maka bisa menjadi suci dengan disamak.
Contoh kedua: Serigala[4] mati, lalu kulitnya diambil, walaupun
kulit tadi disamak, tetap kulit tersebut tidak suci
(najis). Alasannya, jika serigala tersebut disembelih tidak bisa
membuat hewan tersebut jadi halal, maka jika kulit hewan
tersebut disamak lebih-lebih lagi tidak membuat jadi suci. Kulit
serigala ini masih tetap najis berbeda dengan kulit kambing tadi.
Namun kulit ini boleh digunakan untuk keadaan kering saja.
Karena dalam keadaan kering, najisnya tidak menyebar luas.
Demikian penjelasan dari Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin rahimahullah dengan perubahan redaksi.[5]
2 – Menyucikan bejana yang dijilat anjing[6]
Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ت ُأوالَهُنَّ ِبال ُّت َرا‬


‫ب‬ ٍ ‫طهُو ُر ِإ َنا ِء َأ َح ِد ُك ْم ِإ َذا َو َل َغ فِي ِه ْال َك ْلبُ َأنْ َي ْغسِ َل ُه َسب َْع َمرَّ ا‬
ُ
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing
adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.” [7]
Sebagaiman diterangkan oleh An Nawawi rahimahullah,
mengenai cara membersihkan jilatan anjing ada beberapa
riwayat. Ada riwayat yang menyebut “‫”سبْع َمرَّ ات‬, َ yaitu tujuh kali.
Ada riwayat lain menyebut “ ‫ب‬ ِ ‫”سبْع َمرَّ ات ُأواَل هُنَّ ِبال ُّت َرا‬, َ yaitu tujuh kali
dan awalnya dengan tanah. Ada lagi yang menyebut “ ‫ َراهُنَّ َأ ْو‬b‫ُأ ْخ‬
َّ‫”ُأواَل هُن‬, yaitu yang terakhir atau pertamanya.  Ada riwayat
menyebut, “‫ب‬ ِ ‫َّاب َعة ِبال ُّت َرا‬
ِ ‫” َسبْع َمرَّ ات الس‬, yaitu tujuh kali dan yang ketujuh
dengan tanah.Ada yang menyebut, “ ‫ب‬ َّ ُ‫رَّ ات َو َع ِّفرُوه‬b‫بْع َم‬b‫”س‬,
ِ ‫ال ُّت َرا‬b‫ة ِب‬b‫الثا ِم َن‬ َ
yaitu tujuh kali dan yang kedelapan dilumuri dengan tanah.”
Selanjutnya An Nawawi mengatakan, “Al Baihaqi dan selainnya
telah mengeluarkan seluruh riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa
penggunaan kata “yang pertama” dan penyebutan urutan lainnya
bukanlah syarat, namun yang dimaksudkan adalah “salah
satunya dengan tanah”. Adapun riwayat terakhir yang
menyatakan “yang terakhir dilumuri tanah, maka menurut
madzhab Syafi’iyah dan madzhab mayoritas ulama bahwa yang
dimaksud adalah cucilah tujuh kali, salah satu dari yang tujuh itu
dengan tanah bersama air. Maka seakan-akan tanah tadi
mengganti cara mencuci sehingga disebut kedelapan. Wallahu
a’lam. ”[8]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud
“pertamanya dengan tanah” ada tiga pilihan: [1] Awalnya disiram
air, lalu dilumuri tanah, [2] Dilumuri tanah terlebih dahulu, lalu
disiram air, atau [3] Mencampuri tanah dan air, lalu dilumuri pada
bejana yang dijilat anjing.[9]
3 – Menyucikan pakaian yang terkena darah haidh
Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia
berkata,

‫ْف َتصْ َن ُع ِب ِه‬ َ ‫ِإحْ دَا َنا يُصِ يبُ َث ْو َب َها ِمنْ دَ ِم ْال َح ْي‬
َ ‫ض ِة َكي‬
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang
harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

َ ‫ض ُح ُه ُث َّم ُت‬
‫صلِّى فِي ِه‬ َ ‫ص ُه ِب ْال َما ِء ُث َّم َت ْن‬
ُ ‫َت ُح ُّت ُه ُث َّم َت ْق ُر‬
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut
kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air,
lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah
dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah
binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫اغسِ لِى َم ْوضِ َع ال َّد ِم ُث َّم‬ ِ ْ‫ َقا َل « َفِإ َذا َطهُر‬.ِ‫ْس لِى ِإالَّ َث ْوبٌ َوا ِح ٌد َوَأ َنا َأحِيضُ فِيه‬
ْ ‫ت َف‬ َ ‫َيا َرسُو َل هَّللا ِ َلي‬

» ُ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ ِإنْ َل ْم َي ْخرُجْ َأ َث ُرهُ َقا َل « َي ْكفِيكِ ْال َما ُء َوالَ َيضُرُّ كِ َأ َث ُره‬
ْ ‫ َقا َل‬.» ‫صلِّى فِي ِه‬
َ
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana
ketika haidh saya memakai  pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau
telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu
shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau
masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah
menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah
membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan
menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan
menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk
menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya
adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,

ْ ‫ب َقا َل « ُح ِّكي ِه ِبضِ ْل ٍع َو‬


‫اغسِ لِي ِه‬ َّ ‫ْض َي ُكونُ فِى‬
ِ ‫الث ْو‬ ُ ‫َسَأ ْل‬
ِ ‫ َعنْ دَ ِم ْال َحي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ت ال َّن ِبى‬

.» ‫ِب َما ٍء َوسِ ْد ٍر‬


“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
darah haidh yang mengenai pakaian. Beliau menjawab,
“Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air dan sidr
(sejenis tanaman)”.”[14]
4 – Menyucikan ujung pakaian wanita
Dari ibunya Ibrohim bin Abdur Rahman bin ‘Auf bahwasanya
beliau bertanya pada Ummu Salamah –salah satu istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Beliau berkata,

‫ُأ‬
ِ ‫ِإ ِّنى ام َْرَأةٌ طِ ي ُل َذ ْيلِى َوَأمْ شِ ى فِى ْال َم َك‬.
‫ان ْال َقذ ِِر‬
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau
aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ي َُط ِّه ُرهُ َما َبعْ دَ ُه‬


“Tanah yang berikutnya akan menyucikan najis sebelumnya.”[15]
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dimaksud najis dalam
hadits di atas adalah najis yang sifatnya kering, seperti Imam
Ahmad[16] dan Imam Malik. Menurut mereka, jika ujung pakaian
wanita terkena najis yang sifatnya basah, maka tidak bisa
disucikan dengan tanah berikutnya, namun harus dengan cara
dicuci.
Al Baghowi rahimahullah mengatakan, “Ada yang memahami
bahwa najis yang dimaksud dalam hadits ini adalah najis yang
sifatnya kering saja. Ini pendapat yang sebenarnya perlu dikritisi.
Karena najis yang mengenai pakaian wanita pada umumnya
didapat ketika berjalan di tempat yang kotor dan di sana
umumnya ditemukan kotoran yang sifatnya basah. Inilah yang
biasa kita perhatikan dalam keseharian. Jadi, jika seseorang
mengeluarkan maksud kotoran yang sifatnya basah ini dari
maksud hadits tersebut –padahal ini umumnya atau seringnya
kita temui-, maka ini adalah anggapan yang teramat jauh.”[17]
Al Imam Muhammad rahimahullah mengatakan, “Tidak mengapa
jika ujung pakaian wanita terkena kotoran (najis) selama kotoran
tersebut tidak seukuran dirham yang besar (artinya: kotorannya
banyak, pen). Jika kotoran tersebut banyak, maka tidak boleh
shalat dengan menggunakan pakaian tersebut sampai
dibersihkan (dicuci).” Demikian pula pendapat dari Imam Abu
Hanifah rahimahullah.[18]
5 – Membersihkan pakaian dari kencing bayi yang belum
mengonsumsi makanan
Dari Abus Samhi –pembantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-,
beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ار َي ِة َوي َُرشُّ ِمنْ َب ْو ِل ْال ُغالَ ِم‬


ِ ‫ي ُْغ َس ُل ِمنْ َب ْو ِل ْال َج‬
“Membersihkan kencing bayi perempuan adalah dengan dicuci,
sedangkan bayi laki-laki cukup dengan diperciki.”[19]
Yang dimaksudkan di sini adalah bayi yang masih menyusui dan
belum mengonsumsi makanan. Kencing bayi laki-laki dan
perempuan sama-sama najis, namun cara menyucikannya saja
yang berbeda.[20]
Dalil kenapa yang dimaksud di sini adalah bayi yang belum
mengonsumsi makanan adalah hadits berikut.

‫لى‬bb‫ص‬- ِ ‫ول هَّللا‬


ِ b ‫ْن لِى َع َلى َر ُس‬ ُ ‫ت دَ َخ ْل‬
ٍ ‫ت ِباب‬ ْ ‫ص ٍن َقا َل‬ ِ ‫ص ٍن ُأ ْخ‬
ِ ‫ت ُع َّكا َش َة ب‬
َ ْ‫ْن ِمح‬ ِ ‫ْس ِب ْن‬
َ ْ‫ت ِمح‬ ‫ُأ‬
ٍ ‫َعنْ ِّم َقي‬
َّ ‫ َل ْم َيْأ ُك ِل‬-‫هللا عليه وسلم‬
.ُ‫الط َعا َم َف َبا َل َع َل ْي ِه َفدَ َعا ِب َما ٍء َف َر َّشه‬
“Dari Ummu Qois binti Mihshon (saudara dari ‘Ukkasyah bin
Mihshon), ia berkata, “Aku pernah masuk menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa puteraku –yang
belum mengonsumsi makanan-. Kemudian anakku tadi
mengencingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun
meminta air untuk diperciki (pada bekas kencing tadi, pen).”[21]
Apa yang dimaksud dengan bayi yang belum mengonsumsi
makanan? Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Bukanlah yang dimaksud
bahwa bayi tersebut tidak mengonsumsi makanan sama sekali.
Karena seandainya kita katakan  demikian, bayi ketika awal-awal
lahir, ia pun sudah mencicipi sedikit makanan. Akan tetapi yang
dimaksudkan tidak mengonsumsi makanan adalah makanan
sudah menjadi pengganti dari ASI atau ia mengonsumsi makanan
sudah lebih banyak dari ASI. Namun jika ASI masih jadi konsumsi
utamanya, maka sudah jelas. Adapun jika makanan sudah
menjadi mayoritas yang ia konsumsi, maka kita menangkan
mayoritasnya (yaitu dianggap dia sudah mengonsumsi makanan,
pen).”[22]
6 – Membersihkan pakaian yang terkena madzi
Dari Sahl bin Hunaif, beliau berkata,

ُ ‫َأ ْل‬b‫ت ُأ ْك ِث ُر ِم ْن ُه االِ ْغ ِت َسا َل َف َس‬


-‫لم‬b‫ه وس‬b‫لى هللا علي‬b‫ص‬- ِ ‫و َل هَّللا‬b‫ت َر ُس‬ ِ ‫ت َأ ْل َقى م َِن ْال َم ْذ‬
ُ ‫ى شِ َّد ًة َو ُك ْن‬ ُ ‫ُك ْن‬

َ ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ َف َكي‬


‫ْف ِب َما يُصِ يبُ َث ْو ِبى ِم ْن ُه‬ ُ ‫ قُ ْل‬.» ‫يك ِمنْ َذل َِك ْالوُ ضُو ُء‬
َ ‫َعنْ َذل َِك َف َقا َل « ِإ َّن َما يُجْ ِز‬

َ ‫ْث ُت َرى َأ َّن ُه َأ‬


‫صا َب ُه‬ ُ ‫ك َحي‬ َ ‫ك ِبَأنْ َتْأ ُخ َذ َك ًّفا ِمنْ َما ٍء َف َت ْن‬
َ ‫ض َح ِب َها ِمنْ َث ْو ِب‬ َ ‫» َقا َل « َي ْكفِي‬.
“Dulu aku sering terkena madzi sehingga aku sering mandi. Lalu
aku menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengenai kejadian yang menimpaku ini. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda, ‘Cukup bagimu berwudhu
ketika mendapati seperti ini.’ Aku lantas berkata lagi, ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana jika ada sebagian madzi yang mengenai
pakaianku?’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘Cukup bagimu mengambil air seukuran telapak tangan, lalu
engkau perciki pada pakaianmu ketika engkau terkena
madzi’.” [23]
Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menjelaskan
bahwa jika madzi cuma diperciki saja, maka itu sudah cukup
untuk menghilangkan najisnya. … Ini menunjukkan bahwa
memercikinya termasuk kewajiban. Madzi adalah najis yang
ringan, sehingga diberi keringanan cara menyucikannya.”[24]
Ini adalah perilaku terhadap pakaian yang terkena madzi, yaitu
cukup diperciki. Sedangkan kemaluannya cukup dibersihkan dan
bersucinya adalah dengan berwudhu, tanpa perlu mandi besar.
7 – Menyucikan bagian bawah alas kaki (sandal)
Dari Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama para sahabatnya. Ketika
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya dan
meletakkannya di sebelah kirinya, tatkala para sahabat melihat
hal itu, mereka pun ikut mencopot sandal mereka. Ketika selesai
shalat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Kenapa
kalian melepas sandal kalian?”. Mereka menjawab, “Kami melihat
engkau mencopot sandalmu, maka kami juga ikut mencopot
sandal kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
memberitahu mereka, “Sesungguhnya Jibril shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatangiku dan memberitahu aku bahwa di sandalku
itu terdapat kotoran.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas
bersabda,

» ‫ِيه َما‬ َ ‫ظرْ َفِإنْ َرَأى فِى َنعْ َل ْي ِه َق َذرً ا َأ ْو َأ ًذى َف ْل َي ْم َسحْ ُه َو ْلي‬
ِ ‫ُص ِّل ف‬ ُ ‫« ِإ َذا َجا َء َأ َح ُد ُك ْم ِإ َلى ْال َمسْ ِج ِد َف ْل َي ْن‬
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka
lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di
sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan
shalatlah dengan keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[26]. Hadits
ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis
(ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang
dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang kering.
Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau
terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot
sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika
seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia
ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di
pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut.
Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
ُ‫وه‬bb‫لم – « َد ُع‬bb‫ َف َقا َل َل ُه ُم ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وس‬، ُ‫َقا َم َأعْ َر ِابىٌّ َف َبا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َت َن َاو َل ُه ال َّناس‬

َ ‫ ِر‬bb‫ا ُبع ِْث ُت ْم ُم َي ِّس‬bb‫ َفِإ َّن َم‬، ‫ا ٍء‬bb‫ا ِمنْ َم‬bbً‫ َأ ْو َذ ُنوب‬، ‫ا ٍء‬bb‫جْ الً ِمنْ َم‬bb‫ ِه َس‬bbِ‫وا َع َلى َب ْول‬bbُ‫َو َه ِريق‬
‫وا‬bb‫ َو َل ْم ُت ْب َع ُث‬، ‫ين‬

» ‫ين‬
َ ‫م َُعس ِِّر‬
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat
ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah
dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air.
Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan
bukan untuk mempersulit”.” [28]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan
maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya
tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya,
maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang
keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan
begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau
berkata,

‫لم – َف َل ْم‬bb‫ه وس‬bb‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا علي‬ ِ ‫ت ْال ِكالَبُ َتبُو ُل َو ُت ْق ِب ُل َو ُت ْد ِب ُر فِى ْال َمسْ ِج ِد فِى َز َم‬
ِ ‫ان َرس‬ ِ ‫َكا َن‬

‫ون َش ْيًئ ا ِمنْ َذل َِك‬


َ ‫َي ُكو ُنوا َي ُر ُّش‬
“Beberapa ekor anjing sering kencing dan keluar-masuk masjid
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun
mereka (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya) tidak memerciki kencing anjing tersebut.”[29]
Apakah Menghilangkan Najis Harus dengan Menggunakan
Air?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Yang
masyhur dalam madzhab Imam Malik, Imam Ahmad dan
pendapat baru dari Imam Asy Syafi’i, juga Asy Syaukani bahwa
untuk menghilangkan najis disyaratkan dengan menggunakan air,
tidak boleh berpaling pada yang lainnya kecuali jika ada dalil.
Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah, pendapat lain
dari Imam Malik dan Imam Ahmad, pendapat yang lama dari
Imam Asy Syafi’i[30], pendapat Ibnu Hazm[31], Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah[32] dan pendapat Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin[33] bahwa diperbolehkan menghilangkan najis dengan
cara apa pun dan tidak dipersyaratkan menggunakan
air. Pendapat kedua inilah yang lebih tepat.
Alasan-alasan yang mendukung pendapat kedua ini:
Pertama: Jika air boleh digunakan untuk menyucikan yang lain,
maka demikian pula setiap benda atau cairan yang bisa
menyucikan dan menghilangkan najis benda lain juga berlaku
demikian.
Kedua: Syari’at memerintahkan menghilangkan najis dengan air
pada beberapa perkara tertentu, namun syariat tidak
memaksudkan bahwa setiap najis harus dihilangkan dengan air.
Ketiga: Syari’at membolehkan menghilangkan najis dengan
selain air. Seperti ketika istijmar yaitu membersihkan kotoran
ketika buang air dengan menggunakan batu. Contoh lainnya
adalah menyucikan sendal yang terkena najis dengan tanah.
Begitu pula membersihkan ujung pakaian wanita yang panjang
dengan tanah berikutnya. Sebagaimana dalil tentang hal ini telah
kami sebutkan.
Keempat: Membersihkan najis bukanlah bagian perintah, namun
menghindarkan diri dari sesuatu yang mesti dijauhi. Jika najis
tersebut telah hilang dengan berbagai cara, maka berarti najis
tersebut sudah dianggap hilang.
Terakhir, yang menguatkan hal ini lagi: khomr (menurut ulama
yang menganggapnya najis) jika telah berubah menjadi cuka,
maka ia dihukumi suci dan ini berdasarkan kesepakatan para
ulama.[34]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Pendapat yang terkuat dalam masalah ini bahwasanya najis
kapan saja ia hilang dengan cara apa pun, maka hilang pula
hukum najisnya. Karena hukum terhadap sesuatu jika  illah
(sebab)-nya telah hilang, maka hilang pula hukumnya. Akan
tetapi tidak boleh menggunakan makanan dan minuman untuk
menghilangkan najis tanpa ada keperluan karena dalam hal ini
menimbulkan mafsadat terhadap harta dan juga tidak boleh
beristinja’ dengan menggunakan keduanya.”[35]
Demikian penjelasan kami mengenai cara membersihkan najis
sebagai kelanjutan dari pembahasan macam-macam najis.
Dalam tulisan selanjutnya kita akan mengupas beberapa hal yang
dianggap najis padahal bukan. Semoga Allah memudahkan.
Panduan Praktis Tata Cara Wudhu

Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabaroka wa


Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita
kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari
hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada Rasulullah, Muhammad bin AbdillahShollallahu ‘alaihi wa
Sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau radhiyallahu
‘anhum.
Kedudukan wudhu dalam sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim,
sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah
mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita
lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun
itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang
telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa
ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur
bagi kita bahwa wudhu merupakansyarat sah sholat[1], yang
mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan
teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu
‘alaihi was sallam,
« ‫ضَأ‬ َّ ‫ث َحىَّت َيَت َو‬ َ ‫َأح َد‬
ْ ‫صالَةُ َم ْن‬ َ ‫» الَ ُت ْقبَ ُل‬
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia
berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa
Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل الْ َمَرافِ' ِ'ق َو ْام َس' ُحوا بُِرءُو ِس' ُك ْم َو َْأر ُجلَ ُك ْم ِإىَل‬ ِ ِ
َ ‫ين آَ َمنُوا ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
ِ َّ
َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
ِ ‫الْ َك ْعَبنْي‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk
mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam.
Pengertian wudhu
Secara bahasa wudhu
berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu
untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan
anggota wudhu dan memperindahnya[3]. Sedangkan pengertian
menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada
Allah ‘azza wa jalladengan mencuci empat anggota
wudhu[4] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah
dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-
hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.
Tata Cara Wudhu secara Global
Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat
Utsman bin Affanrodhiyallahu ‘anhu[5],
ٍ ' ' '‫عن ' ''را َن م' ''وىَل عثْم' ''ا َن ب ِن عفَّا َن َأنَّه رَأى عثْم' ''ا َن دع' ''ا بِوض‬
‫ث‬َ َ‫ َفغَ َس ' 'لَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ' ' ِ'ه ِم ْن ِإنَاِئِه‬ َ ‫ فَ' ' 'َأ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ‫َ ْ مُح‬
ِ ‫ مُثَّ َغس'ل و ْج َه'هُ ثَالَثً'ا ويَ َديْ ِ'ه ِإىَل الْ ِم'ر َف َقنْي‬، ‫ وا ْس'َتْن َثر‬، ‫اسَتْن َش' َق‬ ِ ‫ مُثَّ َأدخ'ل مَيِين'ه ىِف الْو‬، ‫ات‬ ٍ ‫مَّر‬
ْ َ َََ َ َ ْ ‫ َو‬، ‫ض‬ َ ‫ض' َم‬ ْ َ‫ مُثَّ مَت‬، ‫ض'وء‬ ُ َ َُ َ َ ْ َ
َّ ‫ت النَّىِب َّ – ص ''لى اهلل علي ''ه وس ''لم – َيَت َو‬
‫ض 'ُأ حَنْ ' َ'و‬ ُ ْ‫'ال َرَأي‬ َّ '‫ مُثَّ َغ َس' ' َل ُك‬، ‫ مُثَّ َم َس' ' َح بَِرْأ ِس' ' ِه‬، ‫ثَالَثً ''ا‬
َ ' َ‫ مُثَّ ق‬، ‫'ل ِر ْج' ٍ'ل ثَالَثً ''ا‬
ِ ُ ‫ الَ حُي 'د‬، ِ ‫ض'َأ حَن 'و وض'وِئى 'ه َذا مُثَّ ص'لَّى ر ْكعت‬ َ َ‫ض'وِئى َ'ه َذا َوق‬
َ ‫ َغ َف' َ'ر اللَّهُ لَ''هُ َم''ا َت َق'د‬، ُ‫ِّث في ِه َم'ا َن ْف َس'ه‬
‫َّم‬ َ ‫َ َ ََ نْي‬ َ ُ ُ َ ْ َّ ‫'ال « َم ْن َت َو‬ ُ ‫ُو‬
‫ِم ْن َذنْبِ ِه‬
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu
ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu
(dengan wadahpent.), kemudian iatuangkan air dari wadah tersebut
ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya
sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke
dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq
dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga
kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku
sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.)
kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali,
kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan
beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Barangsiapa
yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2
roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu
dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang
telah lalu”[7].
Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat
kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam secara ringkas sebagai berikut[8],
1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian
memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk
berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam
hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari
hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot
sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan
menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan
dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan
ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan
sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam
telinga sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan
menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan
dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al
Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada
tujuh[10], yaitu
 Islam,
 Berakal,
 Tamyiz[11],
 Berniat[12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan
ibadah tersebut[13],pent.)
 Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air
yang diperoleh dengan cara yang haram,
 Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya
memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
 Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami
menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
 Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana
sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫اس َم اللَّ ِه َت َعاىَل َعلَْي ِه‬ ِ ‫» الَ صالََة لِمن الَ وضوء لَه والَ و‬
ْ ‫ضوءَ ل َم ْن مَلْ يَ ْذ ُك ِر‬
ُ ُ َُ َ ُ ُ َْ َ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada
wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala
(bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
 Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah
adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar[17]. Para
‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh
adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya
rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan
adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana
yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah,
“Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke
ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil
tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah‘azza wa jalla,
ِ ِ ِ َّ
َ ‫ين آَ َمنُوا ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
‫وه ُك ْم‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah [5] :
6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20] perintah dalam perkara
ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah
dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan
wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di
atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah,
sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah.
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫َأح ُد ُك ْم َف ْليَ ْسَتْن ِش ْق مِب َْن ِخَريِْه ِم َن الْ َم ِاء مُثَّ لَْيْنتَثِْر‬ َّ ‫» ِإ َذا َت َو‬
َ ‫ضَأ‬
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka
beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian
beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
«‫ض‬ ِ ْ ‫ضْأت فَم‬ ‫ِإ‬
ْ ‫ضم‬ َ َ َّ ‫» َذا َت َو‬
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur,
istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan),
maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya
untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
 Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin
Malik rodhiyallahu ‘anhu,
‫ِ حِل‬ ِِ ٍ ِ
ُ‫ت َحنَكه فَ َخلَّ َل بِه ْيَتَه‬ َ ْ‫َأخ َذ َكفًّا م ْن َماء فَ َْأد َخلَهُ حَت‬ َ ‫ضَأ‬ َّ ‫َكا َن ِإذَا َت َو‬
‫» َوقَ َال « َه َك َذا ََأمَرىِن َرىِّب َعَّز َو َج َّل‬
“Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam pent. )
jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air
kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai
ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”.
Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu
yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-
nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[25].
 Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah
firman Allah ‘azza wa jalla,
‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل الْ َمَراف ِق‬
ِ ِ ِ
َ ‫ِإذَا قُ ْمتُ ْم ِإىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al Maidah
[5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫ مُثَّ َغ َس َل يَ َدهُ الْيُ ْسَرى ِإىَل الْ َم ْرفِ ِق ثَالَثًا‬، ‫» مُثَّ َغ َس َل يَ َدهُ الْيُمْىَن ِإىَل الْ َم ْرفِ ِق ثَالَثًا‬
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku
sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri
sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
 Menyapu[27] kepala dengan air, kedua telinga termasuk
dalam bagian kepala[28]. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza
wa jalla,
ِ
‫َو ْام َس ُحوا بُِرءُوس ُك ْم‬
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala
adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy
Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
« ‫'ان‬ ِ ‫ مُثَّ ر َّدمُه ''ا ِإىَل الْم َ'ك‬، ‫ حىَّت َذهب هِبِم''ا ِإىَل َق َف''اه‬، ‫ ب ' َ'دَأ مِب َُق''دَِّم رْأ ِس ' ِه‬، ‫ فََأ ْقب''ل هِبِ 'م'ا و َْأدب''ر‬، ‫مُثَّ مس 'ح رْأس 'ه بِي َدي ' ِ'ه‬
َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ ََ َ َ َ َ ْ َ َُ َ َ ََ
ِ ِ
ُ‫» الَّذى بَ َدَأ مْنه‬
“Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan
tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke
belakang. Beliau memulainya dari bagian depan
kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian
mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap
kepala[31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6
di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian
kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh
kepala/rambut[32] dan inilah pendapat Al Imam
Malikrohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al
Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab
shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian
(hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam
menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,
« ‫الرْأ ِس‬ َّ ‫ان ِم َن‬ ِ َ‫» اُألذُن‬
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫اه ِرمِه َا بِِإ ْب َه َامْي ِه‬
ِ َ‫السبَّاحت ِ وظ‬ ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ
َ ‫» مُثَّ َم َس َح بَرْأسه َوُأذَُنْيه بَاطنه َما ب َّ َ َ نْي‬
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan
dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua
telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-
laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy
Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat
Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al
Bukhorirohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin
Musayyib rohimahullah [35].
 Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ِ ‫و َْأر ُجلَ ُكم ِإىَل الْ َك ْعَبنْي‬
ْ َ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.
(QS Al Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ِ ‫» مُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْي ِه ِإىَل الْ َك ْعَبنْي‬
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata
kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah
sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal
perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara
membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan
beliau alaihish sholatu was salam,
ِ‫ِ خِب‬
« ‫ص ِر ِه‬ َ ‫َأصابِ َع ِر ْجلَْيه ْن‬ َ ‫ك‬ َّ ‫» ِإذَا َت َو‬
َ َ‫ضَأ َدل‬
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau
menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari
kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun
beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang
dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’anirohimahullah[38].
 Muwalah
Muwalah[39] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-
anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya
sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.)
mengering dalam kondisi/waktu normal[40].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
‫وه ُك ْم َوَأيْ ِديَ ُك ْم ِإىَل الْ َمَرافِ ِق‬ ِ ِ
َ ‫ين آَ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإىَل الصَّاَل ة فَا ْغسلُوا ُو ُج‬
ِ َّ
َ ‫يَا َُّأي َها الذ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat
syarat yang ada dalam ayat ini pent.) merupakan suatu yang
berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari
Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu
dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu
dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin
Khottob rodhiyallahu ‘anhu
ِ َ‫'ال « ار ِ'ج ع ف‬ ِِ ِ
‫ض'وءَ َك‬ ُ ‫َأحس' ْن ُو‬ ْ ْ ْ َ '‫ َف َق‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ُّ ‫صَرهُ النَّىِب‬ َ ْ‫ضَأ َفَتَر َك َم ْوض َع ظُُف ٍر َعلَى قَ َدمه فََأب‬ َّ
َّ ‫َأن َر ُجالً َت َو‬
‫صلَّى‬ َ َّ‫ َفَر َج َع مُث‬.»
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan
bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah
(berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya
yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang
masyhur dar beliau[43].
Sunnah Wudhu
 Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫صالٍَة‬ ِ ِ ِّ ِ‫َأش َّق علَى َُّأمىِت َألمر ُتهم ب‬
َ ‫الس َواك عْن َد ُك ِّل‬ ْ ُ َْ َ ُ ‫» لَ ْوالَ َأ ْن‬
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku
perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak
berwudhu”[45].
 Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu,
sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau
dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan
bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah
adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
ٍ ' ' '‫عن ' ''را َن م' ''وىَل عثْم' ''ا َن ب ِن عفَّا َن َأنَّه رَأى عثْم' ''ا َن دع' ''ا بِوض‬
‫ث‬َ َ‫ َفغَ َس ' 'لَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ' ' ِ'ه ِم ْن ِإنَاِئِه‬
َ ‫ فَ' ' 'َأ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ‫َ ْ مُح‬
‫ضوِئى َه َذا‬ َّ ‫ت النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َيَت َو‬ ٍ
ُ ‫ضُأ حَنْ َو ُو‬ ُ ْ‫ مُثَّ قَ َال َرَأي‬..…‫َمَّرات‬
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi
budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk
membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka
ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau
berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab
Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallammelakukannya. Semata-mata
perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para
sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian
dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun
dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
ْ َ‫َأح َد ُك ْم الَ يَ ْد ِرى َأيْ َن بَات‬ ‫ظ َأح ُد ُكم ِمن َنو ِم ِه َف ْلي ْغ ِسل ي َدهُ َقْبل َأ ْن ي ْد ِخلَ َها ىِف و ُ ِئِ ِإ‬ ْ ‫» َوِإذَا‬
«ُ‫ت يَ ُده‬ َ ‫ فَ َّن‬، ‫ضو ه‬ َ ُ َ َ ْ َ ْ ْ ْ َ َ ‫اسَتْي َق‬
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka
hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan
tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana
tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di
malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah
sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak
tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah
pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy
Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama[48].
 Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-
kumur ketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah
sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫صاِئ ًما‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫» بَال ْغ ىِف اال ْستْن َشاق ِإالَّ َأ ْن تَ ُكو َن‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian
sedang berpuasa”[50].
 Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan.
Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫ب التَّيَ ُّم َن ىِف طُ ُهو ِر ِه ِإ َذا تَطَ َّهَر‬ ُّ ‫ لَيُ ِح‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫» َكا َن َر ُس‬
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat
menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh
pent.
(berwudhu )”[51].
 Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali.
Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh
anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan
dari sahabat Abdullah bin Zaid,
ِ ‫ضَأ َمَّر َتنْي ِ َمَّر َتنْي‬
َّ ‫َأن النَّىِب َّ – صلى اهلل عليه وسلم – َت َو‬ َّ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
pent.
berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyak ) dua
kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali
adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu
Utsman bin Affanrodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
ٍ ' ' '‫عن ' ''را َن م' ''وىَل عثْم' ''ا َن ب ِن عفَّا َن َأنَّه رَأى عثْم' ''ا َن دع' ''ا بِوض‬
‫ث‬َ َ‫ َفغَ َس ' 'لَ ُه َما ثَال‬، ‫غ َعلَى يَ َديْ ' ' ِ'ه ِم ْن ِإنَاِئِه‬
َ ‫ فَ' ' 'َأ ْفَر‬، ‫وء‬ ُ َ ََ َ ُ َ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ‫َ ْ مُح‬
‫ مُثَّ َغ َس َل َو ْج َههُ ثَالَثًا‬.…‫ات‬ ٍ ‫…مَّر‬
َ
Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi
budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk
membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku
tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia
membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian
diamembasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada
mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits
Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga
dalam shohihain,
ً‫اح َدة‬ ِ ‫ فََأ ْقبل هِبِما و َْأدبر مَّرةً و‬، ‫مُثَّ َْأدخل ي َده فَمسح رْأسه‬
َ َ ََ َ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ ُ َ َ َ
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air
lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1
kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga
kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan
terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang
diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin
Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
‫ضَأ َه َك َذا‬ َّ ‫ َت َو‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬ َ ‫ت َر ُس‬ ِ
ُ ْ‫َو َم َس َح َرْأ َسهُ ثَالَثًا مُثَّ َغ َس َل ِر ْجلَْيه ثَالَثًا مُثَّ قَ َال َرَأي‬
Beliau (Utsman bin Affan  pent.)menyapu kepalanya tiga kali
kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata,
“Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu
dengan wudhu seperti ini”[56].
 Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh
anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam
ayat wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai
sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan
hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,
ٍ ‫ بِوض‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
ُ‫اسَتْن َش َق ثَالَثًا َو َغ َس َل َو ْج َ'ه'ه‬
ْ ‫ض َو‬ َ ‫ض َم‬ ْ َ‫ضَأ َفغَ َس َل َكفَّْي ِه ثَالَثًا مُثَّ مَت‬َّ ‫وء َفَت َو‬ ُ َ ُ ‫ُأتِ َى َر ُس‬
‫اطنِ ِه َما‬ ِ ‫اه ِرمِه ا وب‬
ِ ِ ِِ ِ ِ ‫ثَالَثًا مُثَّ َغسل ِذر‬
َ َ َ َ‫اعْيه ثَالَثًا ثَالَثًا مُثَّ َم َس َح بَرْأسه َوُأذُنَْيه ظ‬ َ َ ََ
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu
dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-
kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga
kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu
kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[58].
 Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫َأن حُمَ َّم ًدا َعْب' ُ'د اللَّ ِه‬
َّ ‫'ول َأ ْش ' َه ُد َأ ْن الَ ِإلَ ''هَ ِإالَّ اللَّهُ َو‬ ِ َّ ‫م''ا ِمْن ُكم ِمن َأح' ٍ'د يتو‬
ُ '‫ض 'وءَ مُثَّ َي ُق‬ُ ‫ض 'ُأ َفيُْبل ' ُ'غ – َْأو َفيُ ْس 'بِ ُغ – الْ ُو‬ َ ََ َ ْ ْ َ
ِ ِ ِ ِ
َ‫اب اجْلَنَّة الث ََّمانيَةُ يَ ْد ُخ ُل م ْن َِّأي َها َشاء‬ ُ ‫ت لَهُ َْأب َو‬ ْ ‫» َو َر ُسولُهُ ِإالَّ فُت َح‬.
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia
menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan
dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan,
dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
ِ ِ
َ ‫اج َع ْلىِن م َن الْ ُمتَطَ ِّه ِر‬
‫ين‬ ْ ‫ني َو‬ َ ِ‫اج َع ْلىِن م َن الت ََّّواب‬
ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat
dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan
diri”[60].
 Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« ‫َّم ِم ْن ذَنْبِه‬
ِ ِ ُ ‫ الَ حُي د‬، ِ ‫ضَأ حَن و وضوِئى ه َذا مُثَّ صلَّى ر ْكعت‬
َ ‫ َغ َفَر اللَّهُ لَهُ َما َت َقد‬، ُ‫ِّث في ِه َما نَ ْف َسه‬ َ ‫َ َ ََ نْي‬ َ ُ ُ َ ْ َّ ‫» َم ْن َت َو‬
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian
sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak
berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh
dosanya yang telah lalu”[62].
Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi
kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi
pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu
a’lam bish showab
Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah
1430 H
Penulis: Aditya Budiman
 
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An


Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih
Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul
Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun
Syihaa]

[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225.


[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An
Nawawi rohimahullah hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan
oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al
Asqolaniyrohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.
[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota
wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan
sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota
wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I,
terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan
sebagai majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.
[5] Hadits ini merupakan salah satu hadits pokok dalam masalah
tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
[6] Akan datang penjelasannya insya Allah.
[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin
Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.
[9] Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana
perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak ingin
meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal
kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang
sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2
hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allahu
A’lam.
[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 24 oleh Syaikh DR.
Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al
Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7
tahun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495
dan dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam
takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[12] Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan
yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin
melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu
‘alaihi was sallam, Ibnu Taimiyah rohimahullah mengatakan,
“Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan
dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin,
semisal dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji,
membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada
seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda dengan niat
yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala
atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan
yang ada di lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu
Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal.
87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga
dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy
Syafi’i rohimahullah lihat Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An
Nawawiyah oleh Syaikh Nadzim Muhammad Shulthon hal. 30
cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau
isyaratkan dalam Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil
Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh Abu Abdillah Ahmad
bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo,
Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca
bisa memahami defenisi niat yang benar.
[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 127/I
[14] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan
dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal.
69/I ]
[15] Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan
dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manjaahus
Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As
Sa’diy rohimahullah hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh,
KSA].
[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no.
101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232. Hadits ini
dinilai shohih oleh Al Albanirohimahullah dalam Shohihul Jami’
no. 7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu
juz (kitab yang khusus membahas satu hadits) dan beliau
menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status hadits ini
diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali
bin Abu Bakr Al Haitsamirohimahullah dalam Majmu’ Az
Zawaid hal. 780/IX terbitan Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih
Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadits ini.
[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR.
Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar
Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 131-132/I,
dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.
[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.
[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih oleh Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103
cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.
[21] HR. Muslim no. 237.
[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits ini dinyatakan shohih oleh Al
Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal
Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al Baihaqi no. 250
dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.
[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan ini.
[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim no. 226.
[27] Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh
adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan
air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan
membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut
ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal.
116/I.]
[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR.
Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 38 Dar
Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An
Nawawi rohimahullah hal. 102/III.
[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.
[31] Namun merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan.
Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok
bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3
kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.
[32] Lihat penjelasan masalah ini di Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 117/I.
[33] HR. Abu Dawud no.134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no.
478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Al
Albani rahmatullah ‘alaihi dalamAsh Shohihah no. 36. Lihat juga
penjelasan tentang takhrij hadits ini dalam Subulus Salaam Al
Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash
Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan tahqiq dari Syaikh
Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy,
Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang
lebar tentang hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.
[34] HR. An Nasa’i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al
Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.
[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi rohimahullah hal. 409/I Asy
Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman
hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama
tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari
keduanya, [lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al
Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy,
Riyadh, KSA].
[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235.
[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadits ini
dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk
Sunan At Tirmidzi.
[38] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil
Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 196/I
dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan
Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[40] Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada
angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas
(sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat
dingin. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]
[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 119/I.
[42] HR. Mulsim no. 243.
[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 121/I.
[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah mengatakan, “Siwak
yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan
potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan
kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al
Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I].
[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh
Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At Tirmidzi.
[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no. 226.
[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal
Jama’ah hal. 124.
[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min Bulughil
Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal.
215/I cetakan Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.
[49] Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai
wajib di Taudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom hal. 218/I.
[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim no. 525 dinyatakan
shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu
Dawud demikian juga Adz Dzahabi.
[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.
[52] HR. Bukhori 158.
[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.
[54] HR. Bukhori 186.
[55] Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul Mustathob
fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabhal.11/I, demikian juga Syaikh DR.
Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah Al Wajiz fi
Fiqhil Kitab was Sunnah hal. 41.
[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh
Al Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu
Dawud.
[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 118/I.
[58] HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al
Albani rohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu
Dawud.
[59] HR. Muslim no. 234.
[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al Albani
dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.
[61] An Nawawi rohimahullah mengatakan, “yang dimaksud
dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara
dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan
sholat”. [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]
[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226.
Fiqih Wudhu

Tanya: Niat apakah yang dimaksudkan dalam berwudhu dan


mandi (wajib)? Apa hukum perbuatan yang dilakukan tanpa niat
dan apa dalilnya?
Jawab: Niat yang dimaksud dalam berwudhu dan mandi (wajib)
adalah niat untuk menghilangkan hadats atau untuk menjadikan
boleh suatu perbuatan yang diwajibkan bersuci, oleh karenanya
amalan-amalan yang dilakukan tanpa niat tidak diterima. Dalilnya
adalah firman Allah, “Dan mereka tidaklah diperintahkan
melainkan agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus.”(QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan hadits dari Umar bin al-Khaththab, bahwa Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya segala amalan itu tidak lain tergantung
pada niat; dan sesungguhnya tiap-tiap orang tidak lain (akan
memperoleh balasan dari) apa yang diniatkannya. Barangsiapa
hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan rasul-Nya, maka
hijrahnya itu ke arah (keridhaan) Allah dan rasul-Nya.
Barangsiapa hijrahnya karena (harta atau kemegahan) dunia
yang dia harapkan, atau karena seorang wanita yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujunya.”
Tanya: Apakah wudhu itu? Apa dalil yang menunjukkan wajibnya
wudhu? Dan apa (serta berapa macam) yang mewajibkan
wudhu?
Jawab: Yang dimaksud wudhu adalah menggunakan air yang
suci dan mensucikan dengan cara yang khusus di empat anggota
badan yaitu, wajah, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki.
Adapun sebab yang mewajibkan wudhu adalah hadats, yaitu apa
saja yang mewajibkan wudhu atau mandi [terbagi menjadi dua
macam, (Hadats Besar) yaitu segala yang mewajibkan mandi dan
(Hadats Kecil) yaitu semua yang mewajibkan wudhu].
Adapun dalil wajibnya wudhu adalah firman Allah, “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Tanya: Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam
berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak
tahu?
Jawab: Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau
bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan
tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas
wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau
lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku,
kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan
mengucapkan bismillah.
Tanya: Apa sajakah syarat-syarat wudhu itu?
Jawab: Syarat-syarat (sahnya) wudhu adalah sebagai berikut:
(1). Islam, (2). Berakal, (3). Tamyiz (dapat membedakan antara
baik dan buruk), (4). Niat, (5). Istishab hukum niat, (6). Tidak
adanya yang mewajibkan wudhu, (7). Istinja dan istijmar
sebelumnya (bila setelah buang hajat), (8). Air yang thahur (suci
lagi mensucikan), (9). Air yang mubah (bukan hasil curian -
misalnya-), (10). Menghilangkan sesuatu yang menghalangi air
meresap dalam pori-pori.
Tanya: Ada berapakah fardhu (rukun) wudhu itu? Dan apa saja?
Jawab: Fardhu (rukun) wudhu ada 6 (enam), yaitu:
1. Membasuh muka (temasuk berkumur dan memasukkan
sebagian air ke dalam hidung lalu dikeluarkan).
2. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku.
3. Mengusap (menyapu) seluruh kepala (termasuk mengusap
kedua daun telinga).
4. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki.
5. Tertib (berurutan).
6. Muwalah (tidak diselingi dengan perkara-perkara yang lain).
Tanya: Sampai dimana batasan wajah (muka) itu? Bagaimana
hukum membasuh rambut/bulu yang tumbuh di (daerah) muka
ketika berwudhu?
Jawab: Batasan-batasan wajah (muka) adalah mulai dari tempat
tumbuhnya rambut kepala yang normal sampai jenggot yang
turun dari dua cambang dan dagu (janggut) memanjang (atas ke
bawah), dan dari telinga kanan sampai telinga kiri melebar. Wajib
membasuh semua bagian muka bagi yang tidak lebat rambut
jenggotnya (atau bagi yang tidak tumbuh rambut jenggotnya)
beserta kulit yang ada di balik rambut jenggot yang jarang (tidak
lebat). Karena anda lihat sendiri, kalau rambut jenggotnya lebat
maka wajib membasuh bagian luarnya dan di sunnahkan
menyela-nyelanya. Karena masing-masing bagian luar jenggot
yang lebat dan bagian bawah jenggot yang jarang bisa terlihat
dari depan sebagai bagian muka, maka wajib membasuhnya.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan tertib (urut)? Apa dalil yang
mewajibkannya dari al-Qur’an dan As-Sunnah?
Jawab: Yang dimaksud dengan tertib (urut) adalah sebagaimana
yang tertera dalam ayat yang mulia. Yaitu membasuh wajah,
kemudian kedua tangan (sampai siku), kemudian mengusap
kepala, kemudian membasuh kedua kaki.
Adapun dalilnya adalah sebagaimana tersebut dalam ayat di atas
(ayat 6 surat al-Maidah). Di dalam ayat tersebut telah dimasukkan
kata mengusap diantara dua kata membasuh. Orang Arab tidak
melakukan hal ini melainkan untuk suatu faedah tertentu yang
tidak lain adalah tertib (urut).
Kedua, sabda Rasulullah, “Mulailah dengan apa yang Allah telah
memulai dengannya.”
Ketiga, hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin ‘Abasah. Dia
berkata, “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku tentang
wudhu?” Rasulullah berkata, “Tidaklah salah seorang dari kalian
mendekati air wudhunya, kemudian berkumur-kumur,
memasukkan air ke hidungnya lalu mengeluarkannya kembali,
melainkan gugurlah dosa-dosa di (rongga) mulut dan rongga
hidungnya bersama air wudhunya, kemudian (tidaklah) ia
membasuh mukanya sebagaimana yang Allah perintahkan,
melainkan gugurlah dosa-dosa wajahnya melalui ujung-ujung
janggutnya bersama tetesan air wudhu, kemudian (tidaklah) ia
membasuh kedua tangannya sampai ke siku, melainkan gugurlah
dasa-dosa tangannya bersama air wudhu melalui jari-jari
tangannya, kemudian (tidaklah) ia mengusap kepalanya,
melainkan gugur dosa-dasa kepalanya bersama air melalui
ujung-ujung rambutnya, kemudian (tidaklah) ia membasuh kedua
kakinya, melainkan gugur dosa-dasa kakinya bersama air melalui
ujung-ujung jari kakinya.” (HR. Muslim)
Dan dalam riwayat Ahmad terdapat ungkapan, “Kemudian
mengusap kepalanya (sebagaimana yang Allah perintahkan),…
kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki
sebagaimana yang Allah perintahkan.”
Dan di dalam riwayat Abdullah bin Shanaji terdapat apa yang
menunjukkan akan hal itu. Wallahu A’lam.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan muwalah dan apa dalilnya?
Jawab: Maksudnya adalah jangan mengakhirkan membasuh
anggota wudhu sampai mengering anggota sebelumnya setelah
beberapa saat.
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud dari
Nabi, bahwa beliau melihat seorang laki-laki di kakinya ada
bagian sebesar mata uang logam yang tidak terkena air wudhu,
maka beliau memerintahkan untuk mengulangi wudhunya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Umar bin al-Khathab bahwa
seorang laki-laki berwudhu, tetapi meninggalkan satu bagian
sebesar kuku di kakinya (tidak membasahinya dengan air
wudhu). Rasulullah melihatnya maka beliau
berkata, “Berwudhulah kembali, kemudian shalatlah.” Sedangkan
dalam riwayat Muslim tidak menyebutkan lafal, “Berwudhulah
kembali.”
Tanya: Bagaimana tata cara wudhu yang sempurna? Dan apa
yang dibasuh oleh orang yang buntung ketika berwudhu?
Jawab: Hendaknya berniat kemudian membaca basmalah dan
membasuh tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-
kumur dan memasukkan air ke dalam hidung (lalu
mengeluarkannya) sebanyak tiga kali dengan tiga kali cidukan.
Kemudian, membasuh mukanya sebanyak tiga kali, kemudian
membasuh kedua tangannya beserta kedua sikunya sebanyak
tiga kali, kemudian mengusap kepalanya sekali, dari mulai tempat
tumbuh rambut bagian depan sampai akhir tumbuhnya rambut
dekat tengkuknya, kemudian mengembalikan usapan itu
(membalik) sampai kembali ketempat semula memulai, kemudian
memasukkan masing-masing jari telunjuknya ke telinga dan
menyapu bagian daun telinga dengan kedua jempolnya,
kemudian membasuh kedua kakinya beserta mata kakinya tiga
kali, dan bagi yang cacat membasuh bagian-bagian yang wajib
(dari anggota tubuhnya) yang tersisa. Jika yang buntung adalah
persendiannya maka memulainya dari bagian lengan yang
terputus. Demikian pula jika yang buntung adalah dari persendian
tumit kaki, maka membasuh ujung betisnya.
Tanya: Apa dalil dari tata cara wudhu yang sempurna? Sebutkan
dalil-dalil tersebut secara lengkap?
Jawab: Adapun niat dan membaca basmalah, telah disebutkan
dalilnya di atas. Dan dalam riwayat Abdullah bin Zaid tentang
tatacara wudhu (terdapat lafal), “Kemudian Rasulullah
memasukkan tangannya, kemudian berkumur dan memasukkan
air ke dalam hidung dengan satu tangan sebanyak tiga
kali.” (Mutafaq ‘alaih)
“Dan dari Humran bahwa Utsman pernah meminta dibawakan air
wudhu, maka ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, …
kemudian membasuh tangan kanannya sampai ke siku tiga kali,
kemudian tangan kirinya seperti itu pula, kemudian mengusap
kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata
kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti itu pula, kemudian
berkata, ‘Aku melihat Rasulullah berwudhu seperti wudhuku
ini.’” (Mutafaq alaih)
Dan dari Abdullah bin Zaid bin Ashim dalam tatacara wudhu, ia
berkata, “Dan Rasulullah mengusap kepalanya, menyapukannya
ke belakang dan ke depan.” (Mutafaq alaih)
Dan lafal yang lain, “(Beliau) memulai dari bagian depan
kepalanya sampai ke tengkuk, kemudian menariknya lagi ke
bagian depan tempat semula memulai.”
Dan dalam riwayat Ibnu Amr tentang tata cara berwudhu,
katanya, “Kemudian (Rasulullah) mengusap kepalanya, dan
memasukkan dua jari telunjuknya ke masing-masing telinganya,
dan mengusapkan kedua jari jempolnya ke permukaan daun
telinganya.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Ibnu
Khuzaimah)
Tanya: Apa saja yang termasuk sunnah-sunnah wudhu beserta
dalilnya?
Jawab: Yang termasuk sunnah-sunnah wudhu adalah:
1. Menyempurnakan wudhu.
2. Menyela-nyela antara jari jemari.
3. Melebihkan dalam memasukkan air ke dalam hidung kecuali
bagi yang berpuasa.
4. Mendahulukan anggota wudhu yang kanan.
5. Bersiwak.
6. Membasuh dua telapak tangan sebanyak tiga kali.
7. Mengulangi setiap basuhan dua kali atau tiga kali.
8. Menyela-nyela jenggot yang lebat.
Dalil tentang siwak telah lalu penjelasannya. Adapun tentang
membasuh dua telapak tangan sebelum berwudhu, yaitu apa
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Nasa’i dari Aus bin Aus ats-
Tsaqafi ia berkata, “Aku melihat Nabi berwudhu, maka beliau
mencuci dua telapak tangannya sebanyak tiga kali.”
Adapun tentang menyempurnakan wudhu, menyela-nyela jari
jemari dan melebihkan (dalam memasukkan air ke hidung)
kecuali bagi yang berpuasa, sebagaimana dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Laqith bin Shabrah, katanya, “Aku berkata:
‘Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentang wudhu?’” Nabi
berkata, “Sempurnakan wudhu-mu, dan sela-selalah antara jari-
jemarimu, dan bersungguh sungguhlah dalam memasukkan air
ke dalam hidung kecuali jika kamu dalam keadaan
berpuasa.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dishahihkan oleh
Tirmidzi)
Dan dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi suka mengawali sesuatu
dengan yang kanan, dalam memakai terompah, bersisir, bersuci
dan dalam segala sesuatu.”(Mutafaq alaih)
Adapun menyela-nyala jenggot, yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh Utsman, “Bahwa Nabi ada menyela-nyala jenggotnya.” (HR.
Ibnu Majah dan Turmudzi dan ia menshahihkannya). Cara
menyela-nyela jenggot ini dengan mengambil seraup air dan
meletakkannya dari bawahnya dengan jari-jemarinya atau dari
dua sisinya dan menggosokkan keduanya. Dan dalam riwayat
Abu Dawud dari Anas, “Bahwa Nabi jika berwudhu mengambil
seraup air, kemudian meletakkannya di bawah dagunya dan
berkata, ‘Demikianlah yang diperintahkan oleh Tuhan kepadaku.’”
Tanya: Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau
mandi (junub)?
Jawab: Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud
sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz dan 2 liter
menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400).
Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas,
katanya, “Adalah Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air
sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu
sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih). Dan makruh
(dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam
berwudhu.
Tanya: Bacaan apa yang disunnahkan ketika selesai berwudhu?
Jawab: Bacaan yang disunnahkan adalah mengucapkan
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Umar, katanya, “Berkata
Rasulullah, ‘Tidaklah salah seorang diantara kalian berwudhu
dan menyempurnakan wudhunya, kemudian mengucapkan:
asyhadu anlaa ilaaha illalloohu wahdahu laa syariikalahu wa
asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rosuuluh (Aku
bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah
semata; yang tidak ada sekutu baginya. Dan aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya), melainkan
dibukakan untuknya delapan pintu syurga, ia dapat masuk dari
mana saja yang ia kehendaki.’” (HR. Muslim)
Dan Tirmidzi menambahkan: “Alloohummaj’alni minat tawwabiina
waj’alnii minl mutathohhiriin (Ya Allah jadikan aku termasuk
orang-orang yang bertaubat dan jadikan aku termasuk orang-
orang yang suka mensucikan diri).”
Nawaqidul Wudhu

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?


Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu,
seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak),
makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan
syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan,
obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari
Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak
akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah
berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132.
Muslim, hadits no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang
bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?”
Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang
temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air
besar, buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu
termasuk yang membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah,
Bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada
Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging
kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu
lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu
karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu
bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau
bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits
no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang
wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda,
‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu
karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah
berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud
hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau
makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan,
lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara
pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di
sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada
dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara
keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian
pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini
adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu
‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak
membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau
berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat
dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu
Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud
Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi
(yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar,
buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak
membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka
berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat
tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah
dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku
bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri
untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping
kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila
aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan
sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang
menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur.
Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal
karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak
sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur,
dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang
akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan
para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau
lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap
membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama.
Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas
wajibnya wudhu bagi orang yang pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan
baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya
shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku
telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh
kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan
Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa
menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat
hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang
paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh
kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i
dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi
bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka
hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya
maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi
ditanya tentang menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau
bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata
tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni
I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat
hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan
wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota
tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan
anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika
menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh
daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits
tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inilah
yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah
as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh
wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat
membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil
dari firman Allah, “Atau kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa:
43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman
itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil
yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal
wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa
syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada
satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas
yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai
dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah,
bahwa Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian
shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan
Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari
tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku
menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang
ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi
telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat
atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang
benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa
dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang
menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan,
keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk
Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan
berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah:
5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua,
hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan
dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak
menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats
hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554.
Muslim hadits no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan
mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu
Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa
mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang
memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari
Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang
yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak
mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi
pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh
kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang
memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan,
sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats
(karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia perbuat,
termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang
memandikan mayit.” Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan
inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum
wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash)
dalam hal ini dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana
yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu
kerena memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah
sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang
memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang
berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak sampai kepada
wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa memandikan mayat maka
hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan
hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga
ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi
wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya
kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang
lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu
merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang
kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah.

Nawaqidul Wudhu

Tanya: Apa arti nawaqidul wudhu?


Jawab: Nawaqidul wudhu artinya yang membatalkan wudhu,
seperti sesuatu yang keluar dari dua jalan (kencing dan berak),
makan daging unta, tidur lama, menyentuh kemaluan dengan
syahwat, semua yang mewajibkan mandi, gila, mabuk, pingsan,
obat-obat yang menghilangkan kesadaran, dan murtad/keluar dari
Islam -semoga Allah melindungi kita darinya-.
Tanya: Apa dalilnya bahwa kencing dan berak membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah. Dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Allah tidak
akan menerima shalat salah seorang dari kamu apabila telah
berhadats hingga dia berwudhu.” (Bukhari, hadits no. 132.
Muslim, hadits no. 225)
Lalu ada seorang laki-laki dari penduduk Hadhramaut yang
bertanya, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?”
Beliau menjawab, “Yaitu kentut.” (Mutafaq alaih)
Demikian pula hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi yang
temasuk perkara yang membatalkan wudhu adalah buang air
besar, buang air kecil, dan tidur.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa makan daging unta itu
termasuk yang membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah hadits riwayat dari Jabir bin Samurah,
Bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada
Nabi, “Apakah kami harus wudhu karena makan daging
kambing?” Beliau bersabda, “Kalau kamu mau (silakan berwudhu
lagi).” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah kami (harus) wudhu
karena makan daging onta?” Beliau bersabda, “Ya.” Laki-laki itu
bertanya, “Bolehkah shalat di kandang kambing?” Beliau
bersabda, “Ya boleh.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Bolehkah shalat
di kandang onta?” Nabi bersabda, “Tidak boleh.” (Ahmad, hadits
no. 20287 dan Muslim, hadits no. 360)
Dari al-Barra’ bin ‘Azib berkata, “Rasulullah telah ditanya tentang
wudhu karena makan daging unta, maka beliau bersabda,
‘Berwudhulah karenanya.’” Dan ketika ditanya tentang wudhu
karena makan daging kambing, beliau bersabda, “Janganlah
berwudhu karenanya.” (Ahmad Hadits no. 18067 dan Abu Dawud
hadits no. 184)
Ada yang berpendapat bahwa tidak membatalkan wudhu kalau
makan unta selain dagingnya seperti, makan hati, limpa, jeroan,
lemak, lidah, kepala, punuk, kikil, usus, kuah. Sementara
pendapat yang kedua menyatakan tetap batal, karena daging di
sini sebagai ungkapan yang menunjukan seluruh apa yang ada
dalam binatang. Sesungguhnya pengaharaman babi itu secara
keseluruhan (tidak hanya dagingnya saja), maka demikian
pulalah halnya mengenai hukum memakan daging onta ini,
dagingnya saja atau selain dagingnya tetap membatalkan, dan ini
adalah pendapat yang paling kuat dan paling berkah. Wallahu
‘alam.
Tanya: Apa dalil yang menunjukan bahwa tidur sebentar tidak
membatalkan wudhu sementara tidur lama (pulas) membatalkan
wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat dari Ali bin Abi Thalib beliau
berkata, “Telah bersabda Rasulullah, ‘Mata adalah tali pengikat
dubur, maka barangsiapa telah tidur hendaklah berwudhu.’” (Ibnu
Majah Hadits no. 477, Ahmad Hadits no. 16437. Abu Dawud
Hadits no. 203)
Demikian pula dalam hadits Shafwan bin Assal, “Akan tetapi
(yang termasuk membatalkan wudhu) adalah buang air besar,
buang air kecil dan tidur.”
Adapun dalilnya, yang menyatakan bahwa tidur sebentar tidak
membatalkan wudhu adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Anas bin Malik,“Adalah para sahabat Rasulullah menunggu-
nunggu waktu isya hingga larut malam, hingga kepala mereka
berkulaian (terantuk-antuk). Kemudian mereka melakukan shalat
tanpa wudhu lagi.” (Abu Dawud, hadits no. 200 dan telah
dishahihkan Daruqutni dan asalnya dalam riwayat Muslim)
Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku
bermalam di tempat bibiku, Maimunah. Tatkala Rasulullah berdiri
untuk shalat, maka aku pun berdiri di samping kirinya. Lalu beliau
memegang tanganku dan menarikku supaya berada di samping
kanannya. Lalu aku pun berada di samping kanannya. Apabila
aku mengantuk, beliau memegang daun telingaku.” Ibnu Abbas
berkata, “Dan Rasulullah shalat dengan sebelas rakaat.”
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa hilang ingatan dengan
sebab pingsan, gila, mabuk, atau memakai obat-obatan yang
menghilangkan akal itu termasuk membatalkan wudhu?
Jawab: Hilang ingatan itu ada dua jenis, pertama karena tidur.
Mengenai dalilnya telah lalu penjelasannya. Kedua hilang akal
karena gila, pingsan, mabuk atau yang sejenisnya. Pembatalan
wudhunya karena orang yang memiliki sifat semacam ini ketidak
sadarannya lebih parah kalau dibandingkan dengan orang tidur,
dengan dalil (bukti) dia tidak akan bangun apabila dibangunkan.
Karenanya hukum wajibnya berwudhu bagi orang yang hilang
akal lebih layak jika tidur lama saja membatalkan wudhu. Dan
para ulama telah menjelaskan bahwasannya sebentar atau
lamanya gila, mabuk, pingsan atau yang sejenisnya tetap
membatalkan wudhu. Ini berdasarkan ijma (kesepakatan) ulama.
Telah berkata Ibnu Mundzir, para ulama telah sepakat atas
wajibnya wudhu bagi orang yang pingsan.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa menyentuh-kemaluan
baru membatalkan jika diiringi dengan syahwat?
Jawab: Dalam hal ini ada dua periwayatan yang kedua-duanya
shahih:
Riwayat pertama, hadits dari Ummu Habibah. Dia berkata, “Aku
telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menyentuh
kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu.’” (Ibnu Majah,
hadits no. 481, 482 dan Atsram. Dishahihkan oleh Ahmad dan
Abu Zur’ah)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda, “Barangsiapa
menyentuh kemaluannya, maka janganlah melaksanakan shalat
hingga berwudhu.” (HR. Khamsah dan telah dishahihkan oleh
Tirmidzi, hadits no. 82 Bukhari berkata dalam bab ini, inilah yang
paling shahih)
“Apabila salah seorang di antara kalian tangannya menyetuh
kemaluannya, maka wajib atasnya untuk berwudhu.” (HR. Syafi’i
dan Ahmad Hadits no. 8199)
Dalam riwayat lain, “Kalau tanpa kain pembatas.”
Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi
bersabda, “Setiap laki-laki yang menyentuh kemaluannya, maka
hendaknya dia berwudhu dan setiap wanita yang menyentuhnya
maka berwudhulah.” (HR. Ahmad)
Riwayat kedua, hadits dari Talq bin Ali, bahwasannya Nabi
ditanya tentang menyentuh kamaluan ketika shalat? Maka beliau
bersabda, “Bukankah kemaluan itu bagian dari anggata
tubuhmu!?” (HR. Ibnu Hibban III/403, Sunan Daruqutni
I/149, Majmu Zawaid I/244)
Maka dibutuhkan penggabungan (penyatuan) antara dua riwayat
hadits di atas, bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan
wudhu jika menyentuhnya sebagaimana menyentuh anggota
tubuhnya yang lain (seperti menyentuh daun telinga, hidung dan
anggota tubuh lainnya) yang terjadi tanpa syahwat. Artinya ketika
menyentuh kemaluan tanpa syahwat itu sama seperti menyentuh
daun telinga, hidung dan lainnya. Dengan cara inilah kedua hadits
tersebut di atas diamalkan. Dan dengan cara penyatuan inilah
yang paling baik dan ini pulalah yang telah dipilih oleh jama’ah
as-Habu Malik dan sebagian ulama hadits.
Tanya: Apa dalil yang menjelaskan bahwa laki-laki menyentuh
wanita atau sebaliknya tanpa pembatas dengan syahwat
membatalkan wudhu?
Jawab: Mereka yang berpendapat demikian itu mengambil dalil
dari firman Allah, “Atau kalian menyentuh wanita.” (QS. an-Nissa:
43)
Telah berkata Ibnu Mas’ud, “Ciuman termasuk lams dan ciuman
itu mengharuskan wudhu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud) (Dalil
yang dijadikan pegangan bagi mereka yang berpendapat batal
wudhu bila menyentuh wanita dengan syahwat atau tanpa
syahwat hanya pada ayat ini saja, adapun hadits tidak ada
satupun yang shahih). Maka jawaban atas mereka yang
berpendapat seperti ini sebagai berikut:
Bahwa tafsir kata ‘al-lamsu’ dalam surat an-Nissa ayat 43 di atas
yang benar adalah bermakna jima (senggama), dan sesuai
dengan dalil yang shahih dari Ibrahim at-Taimiy dari ‘Aisyah,
bahwa Rasulullah:
“Adalah Rasulullah mencium salah satu dari istrinya kemudian
shalat dan tanpa mengulangi wudhu.” (HR. Abu Dawud dan
Nasa’i. Hadits no. 170)
Demikian pula hadits dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
katanya, “Pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah dari
tempat tidur, (tatkala meraba-raba mencarinya) maka aku
menyentuhnya, aku letakan tanganku pada telapak kakinya yang
ketika itu beliau berada di masjid dalam posisi sujud dengan
menegakkan kedua telapak kakinya.” (HR. Muslim dan Tirmidzi
telah menshahihkan)
Hadits di atas adalah dalil bahwa menyentuh istri dengan syahwat
atau tidak dengan syahwat itu tidak membatalkan wudhu dan ini
adalah pendapat Imam Abu Hanifah, dan inilah pendapat yang
benar.
Tanya: Apa yang dimaksud dengan riddah (murtad)? Dan apa
dalil yang menunjukan bahwa riddah itu membatalkan wudhu?
Tanya: Riddah adalah melakukan perkara-perkara yang
menyebabkan seseorang keluar dari Islam, baik dengan ucapan,
keyakinan atau dengan keragu-raguan. Jika dia kembali masuk
Islam (sementara ketika sebelum murtad dia masih dalam kadaan
berwudhu) dia tidak boleh shalat sebelum berwudhu lagi.
Dalilnya adalah firman Allah, “Dan sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
‘Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.’” (QS. az-Zumar: 65)
Firman Allah, “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah:
5)
Dan berdasarkan keterangan dari Ibnu Abbas, “Hadats ada dua,
hadats lisan dan hadats kemaluan. Hadits lisan lebih berat; dan
dari keduanya mengharuskan wudhu.”
Juga berdasarkan keumuman hadits Rasulullah, “Allah tidak
menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila hadats
hingga berwudhu.”(Muttafaq alaih; Bukhari hadits no. 135, 6554.
Muslim hadits no. 225)
Tanya: Apa dalil orang yang berpendapat bahwa memandikan
mayat membatalkan wudhu?
Jawab: Dalilnya adalah riwayat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu
Hurairah. Adapun riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa
mereka berdua telah memerintahkan kepada orang yang
memandikan mayat supaya berwudhu. Sedangkan riwayat dari
Abu Hurairah dia menjadikan minimal yang mesti dilakukan orang
yang memandikan mayat adalah berwudhu, dan kami tidak
mengetahui ada dari kalangan sahabat yang menyelisihi
pendapat mereka. karena kebanyakan orang yang memandikan
mayat itu tangannya tidak bisa menghindari dari menyentuh
kemaluan, maka berdasarkan keumuman inilah mereka yang
memandikan jenazah dianggap telah meyentuh kemaluan,
sebagaimana orang yang tidur lama telah dianggap berhadats
(karena ketidak sadarannya akan apa yang telah ia perbuat,
termasuk jika ia berhadats).
Abu Hasan at-Taimi berkata, “Tidak ada wudhu bagi orang yang
memandikan mayit.” Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan
inilah yang benar insyaAllah. Adapun dalilnya karena hukum
wajib harus dari syari’at sementara tidak ada riwayat (nash)
dalam hal ini dan tidak pula nash yang bermakna sebagaimana
yang dinaskan atasnya. Maka hukumnya kembali pada asal, yaitu
kerena memandikan mayat mirip memandikan orang hidup inilah
sebenarnya sebab diperintahkan wudhu bagi orang yang
memandian mayit. Adapun riwayat dari imam Ahmad yang
berpendapat istihbab (disukai) berwudhu tidak sampai kepada
wajib, sesungguhnya perkataannya itu menunjukan tidak
wajibnya wudhu. Beliau tidak mengamalkan hadits yang
diriwayatkan dari Nabi, “Barang siapa memandikan mayat maka
hendaknya ia mandi.” (Tarikh al-Kabir I/1398), dengan alasan
hadits di atas hanya sampai Abu Hurairah (mauquf) sehingga
ucapan Abu Hurairah tidak menjadikan hukum tersebut menjadi
wajib meskipun peng-istihbaban beliau dengan alasan adanya
kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah, padahal yang
lebih utama dan tepat semestinya tidak mewajibkannya karena itu
merupakan ucapan Abu Hurairah dengan tidak membuka peluang
kemungkinan bahwa itu adalah sabda Rasulullah.

Bersuci Dengan Debu

Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah


ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang
dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai jalan
hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya
penerang serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman,
Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada Allah dalam
keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci.
Dan sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci
itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada kesempatan
yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah
tayamum. Semoga Allah ta’ala mengaruniakan ilmu yang
bermanfaat kepada kita.
Pengertian Tayamum
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah mendefinisikan tayamum sebagai
berikut. Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau
menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang Arab tayyamamtu
asy-syai’a yang maknanya qashadtuhu (saya menginginkannya).
Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan
tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak tangan
dengan menggunakan ash-sha’id yang suci sebagai pengganti
bersuci dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air. Bahkan
syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang
dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi
menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti
kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul
Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)
Dalil Pensyari’atannya
Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat
berjamaah bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya
kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk
shalat bersama orang-orang ?” Lelaki itu menjawab, “Wahai
Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak
ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id,
itu saja sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-
Tayamum) Yang dimaksud dengan ash-
sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang
berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum
dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian
permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu
Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahumullah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/198)
Hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka
diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan
pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci
dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup
memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal.
113-114)
Sebab-Sebab Dilakukan Tayamum
Tayamum boleh dilakukan karena: (1) Ketika tidak sanggup
memakai air, atau (2) Karena tidak ada air, atau (3) Karena
khawatir akan bahaya yang timbul bila tersentuh air gara-gara
badan sedang menderita sakit atau karena hawa dingin yang
sangat menusuk. Bahkan mayoritas ulama berpendapat bahwa
seseorang yang khawatir mati disebabkan hawa dingin yang
sangat menusuk diperbolehkan untuk bertayamum, karena
kondisinya serupa dengan keadaan orang yang sakit
(Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/196) Dalil-dalilnya adalah:
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan (apabila) kemudian
kalian tidak berhasil menemukan air maka bertayamumlah
dengan tanah yang suci.” (QS. An-Nisaa’: 43) Diriwayatkan dari
Jabirradhiyallahu’anhu bahwa dia berkata; Pada suatu saat kami
bepergian dalam sebuah rombongan perjalanan. Tiba-tiba ada
seorang lelaki diantara kami yang tertimpa batu sehingga
menyisakan luka di kepalanya. Beberapa waktu sesudah itu dia
mengalami mimpi basah. Maka dia pun bertanya kepada
sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian dalam kondisi ini
saya diberi keringanan untuk bertayamum saja?” Menanggapi
pertanyaan itu mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak
diberikan keringanan untuk melakukan hal itu, sedangkan engkau
sanggup memakai air.” Maka orang itu pun mandi dan akhirnya
meninggal. Tatkala kami berjumpa dengan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka beliau mendapat laporan tentang peristiwa
itu. Beliau bersabda, “Mereka telah menyebabkan dia mati !
Semoga Allah membinasakan mereka. Kenapa mereka tidak mau
bertanya ketika tidak mengetahui. Karena sesungguhnya obat
ketidaktahuan adalah dengan bertanya. Sebenarnya dia cukup
bertayamum saja.” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Hakim. Dinilai
shahih oleh Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi. Lihat Al Wajiz hal. 55.
Namun hadits ini dinilai lemah oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu
Hazm karena sanadnya lemah. Lihat Shahih Fiqih Sunnah, I/195)
Tata Caranya
Diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhu bahwa dia
berkata; ‘Saya pernah mengalami junub dan ketika itu saya tidak
mendapatkan air (untuk mandi, pen). Oleh karena itu saya pun
bergulung-gulung di tanah (untuk bersuci, pen) dan kemudian
saya menjalankan shalat. Maka hal itu pun saya ceritakan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda, “Sebenarnya
sudah cukup bagimu bersuci dengan cara seperti
ini.” Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak
tangannya di atas tanah dan meniup keduanya. Kemudian
dengan kedua telapak tangan itu beliau membasuh wajah dan
telapak tangannya.’ (HR. Bukhari dan Muslim) Berdasarkan
hadits ini dan juga hadits lainnya maka tata cara tayamum yang
benar adalah cukup dengan menepukkan kedua telapak tangan
(1X) ke tanah atau permukaan bumi yang lainnya, kemudian
meniupnya, lalu membasuh dengan kedua telapak tangannya itu
wajah dan telapak tangannya (dari ujung jari sampai pergelangan,
bagian luar dan dalam telapak tangan) (lihat Shahih Fiqih
Sunnah, I/202-203)
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa tata cara tayamum
karena junub sama halnya dengan tayamum karena hadats kecil
yaitu dengan cara menepuk tanah dengan kedua telapak
tangannya sekali dan kemudian membasuh telapak tangan
kirinya dengan bagian dalam telapak tangan kanannya dan juga
bagian luar kedua telapak tangannya serta wajahnya.
Demikianlah penjelasan beliau tatkala menerangkan hadits
‘Ammar bin Yasir di atas. Syaikh Ibnu
Bassam hafizhahullah menerangkan bahwa tayamum itu cukup
dengan satu kali tepukan saja. Inilah pendapat yang dipilih oleh
mayoritas ulama, di antara mereka adalah Imam Ahmad, Al-
Auza’i, Ishaq serta para ulama ahli hadits berdasarkan hadits-
hadits shahih (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1
hal. 116 dan 117)
Bertayamum Dengan Dinding
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa dia
berkata; Saya datang bersama dengan ‘Abdullah bin Yasar bekas
budak Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala
kami bertemu dengan Abu Jahim bin Al-Harits bin Ash-Shamah
Al-Anshari maka Abu Jahim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah datang dari arah sumur Jamal. Kemudian ada
seorang lelaki yang menemuinya dan mengucapkan salam
kepada beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menjawab salamnya hingga beliau menyentuh dinding (dengan
tangannya, pen) kemudian membasuh wajah dan kedua telapak
tangannya. Baru setelah itu beliau mau menjawab
salamnya.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits ini menunjukkan bahwa
bertayamum dengan mengusap dinding diperbolehkan (lihat Al-
Wajiz, hal. 57)
Pembatal Tayamum
Tayamum menjadi batal karena hal-hal yang bisa membatalkan
wudhu. Selain itu tayamum juga dinilai batal apabila air berhasil
ditemukan oleh orang yang berusaha mencari namun belum
menemukannya. Dan tayamum juga dinilai batal apabila
seseorang yang pada awalnya tidak sanggup memakai air karena
sakit atau alasan lainnya ternyata pada saat itu dia sudah kembali
sanggup menggunakannya. Sedangkan shalat yang sudah
dilakukan sebelumnya dengan bekal tayamum tersebut tetap
dinilai sah dan tidak perlu diulangi. Diriwayatkan dari Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata; ‘Ada dua
orang lelaki yang menempuh suatu perjalanan. Maka tibalah
waktu shalat sementara mereka berdua tidak mendapati air sama
sekali. Oleh sebab itu mereka pun bertayamum dengan tanah
yang suci lalu melakukan shalat. Kemudian pada suatu saat
ternyata mereka menemukan air. Maka salah seorang dari
keduanya mengulangi wudhu dan shalat, sedangkan kawannya
yang satu tidak. Kemudian mereka berdua menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan
kejadian tersebut kepada beliau. Maka beliau berkata kepada
orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah sesuai
dengan tuntunan. Dan shalatmu pun dinilai sah.” Dan beliau
berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulangi
shalatnya, “Engkau memperoleh pahala dua kali.” (HR. Abu
Dawud dan An-Nasa’i, Shahih Sunan Abu Dawud : 327. lihat Al-
Wajiz hal. 56-57)
Haruskah Mengusap Perban Jika Terluka?
Seseorang yang terluka atau patah salah satu bagian tubuhnya
(anggota badan yang dikenai usapan wudhu atau tayamum, pen)
maka dia tidak berkewajiban mengusapnya (ataupun
perbannya, pen) tatkala berwudhu maupun tayamum. Dalilnya
adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “Allah tidak akan
membebankan kepada seseorang melainkan menurut
kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286) Begitu pula sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila aku memerintahkan
kalian untuk menjalankan sesuatu maka laksanakanlah menurut
kemampuan kalian.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i) Berdasarkan
ayat al-Qur’an dan As-Sunnah ini maka gugurlah kewajiban dari
setiap orang yang tidak berkesanggupan menjalankannya.
Menentukan adanya pengganti tata cara tersebut (mengusap
anggota badan, pen) dengan mengusap yang lain (seperti perban
dan semacamnya, pen) adalah tindakan pensyari’atan.
Sedangkan syariat tidak bisa digariskan kecuali dengan al-Qur’an
atau as-Sunnah. Padahal tidak ada satu pun dalil dari al-Qur’an
maupun as-Sunnah yang menyebutkan adanya pengganti
tindakan mengusap anggota badan yang terluka dengan
mengusap perban atau pembalut lukanya. Oleh karena itu
pendapat yang menyatakan dituntunkan untuk mengusap perban
adalah pendapat yang tertolak (lihat Al-Wajiz, hal. 57)
Demikianlah sekelumit pembahasan tentang tayamum. Semoga
kaum muslimin bisa memetik faedah darinya, begitu pula
penyusunnya serta orang-orang yang turut menyebarkannya. Ya
Allah terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar lagi Mengetahui. Dan terimalah taubat kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.
5 Hal Yang Menyebabkan Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, pujian yang terbaik untuk-Nya. Shalawat


dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.
Saat ini kami akan menjelaskan beberapa hal yang berkenaan
dengan mandi (al ghuslu). Insya Allah, pembahasan ini akan
dikaji secara lebih lengkap dalam tiga artikel. Pada kesempatan
kali ini kita akan mengkaji beberapa hal yang mewajibkan
seseorang untuk mandi (al ghuslu).
Yang dimaksud dengan al ghuslu secara bahasa adalah
mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud
dengan al ghuslu secara syari’at adalah menuangkan air ke
seluruh badan dengan tata cara yang khusus. Ibnu Malik
mengatakan bahwa al ghuslu (dengan ghoin-nya didhommah)
bisa dimaksudkan untuk perbuatan mandi dan air yang digunakan
untuk mandi. [1]
Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):
Pertama: Keluarnya mani dengan syahwat.
Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa
dibedakan dari madzi dan wadi[2] dengan melihat ciri-ciri mani
yaitu: [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan
seperti bau telur ketika kering, [2] birnya memancar, [3] keluarnya
terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas). Jika salah satu
syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani.
Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk
wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar
sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh
Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.[3]
Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah
firman Allah Ta’ala,
‫اط َّهرُوا‬ َّ ‫َوِإنْ ُك ْن ُت ْم ُج ُنبًا َف‬
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)
‫ ِاب ِري‬b‫ا ِإاَّل َع‬bb‫ون َواَل ُج ُن ًب‬b َ bُ‫ا َتقُول‬bb‫ارى َح َّتى َتعْ َلمُوا َم‬ َ ‫صاَل َة َوَأ ْن ُت ْم ُس َك‬
َّ ‫ِين َآ َم ُنوا اَل َت ْق َربُوا ال‬ َ ‫َيا َأ ُّي َها الَّذ‬
‫يل َح َّتى َت ْغ َتسِ لُوا‬ ٍ ‫َس ِب‬
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam
keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ِإ َّن َما ْال َما ُء م َِن ْال َما ِء‬
“Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya
air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, yang menyebabkan
seseorang mandi wajib adalah karena keluarnya mani dengan
memancar dan terasa nikmat ketika mani itu keluar. Jadi, jika
mani tersebut keluar tanpa syahwat seperti ketika sakit atau
kedinginan, maka tidak ada kewajiban untuk mandi. Berbeda
halnya dengan ulama Syafi’iyah yang menganggap bahwa jika
mani tersebut keluar memancar dengan terasa nikmat atau pun
tidak, maka tetap menyebabkan mandi wajib. Namun pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.[4]
Lalu bagaimana dengan orang yang mimpi basah?
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’
(kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi
ketika ihtilam (mimpi), sedangkan yang menyelisihi hal ini
hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi yang menyebabkan mandi
wajib di sini ialah  jika orang yang bermimpi mendapatkan
sesuatu yang basah.”[5]
Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
.» ‫ َع ِن الرَّ ج ُِل َي ِج ُد ْال َب َل َل َوالَ َي ْذ ُك ُر احْ ِتالَمًا َقا َل « َي ْغ َتسِ ُل‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سُِئ َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫رى‬b َ ‫ت ُأ ُّم ُس َلي ٍْم ْال َمرْ َأةُ َت‬
ْ ‫ َف َقا َل‬.» ‫َو َع ِن الرَّ ج ُِل َي َرى َأ َّن ُه َق ِد احْ َت َل َم َوالَ َي ِج ُد ْال َب َل َل َقا َل « الَ ُغسْ َل َع َل ْي ِه‬
.» ‫ال‬ ُ ‫َذل َِك َأ َع َل ْي َها ُغسْ ٌل َقا َل « َن َع ْم ِإ َّن َما ال ِّن َسا ُء َش َق‬
ِ ‫اِئق الرِّ َج‬
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah sementara dia
tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia wajib mandi”. Dan
beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki yang bermimpi tetapi
tidak mendapatkan dirinya basah, beliau menjawab: “Dia tidak
wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At Tirmidzi no. 113,
Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua perowinya shahih kecuali
Abdullah Al Umari yang mendapat kritikan[6]. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
، ِ ‫و َل هَّللا‬b ‫ا َر ُس‬bb‫ت َي‬ ْ ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َف َقا َل‬ َ ‫ت ُأ ُّم ُس َلي ٍْم‬
ِ ‫امْرَأةُ َأ ِبى َط ْل َح َة ِإ َلى َرس‬ ْ ‫َجا َء‬
– ِ ‫و ُل هَّللا‬b ‫ا َل َر ُس‬bb‫ت َف َق‬ َ ‫ ٍل ِإ َذا ه‬b ‫رْ َأ ِة ِمنْ ُغ ْس‬bb‫ ْل َع َلى ْال َم‬b‫ َه‬، ‫ ِّق‬b‫ َتحْ ِيى م َِن ْال َح‬b ‫ِإنَّ هَّللا َ الَ َي ْس‬
ْ ‫ِى احْ َت َل َم‬
‫ت ْال َما َء‬ ِ ‫» صلى هللا عليه وسلم – « َن َع ْم ِإ َذا َرَأ‬
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran.
Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.”
(HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas
adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu
baru ada jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani
tersebut keluar (dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”[7]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika
menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan
mandi ketika melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari
itu.  Hal ini menunjukkan  bahwa mandi itu wajib jika seseorang
bangun lalu mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika
keluar atau ia tidak merasakannya sama sekali. Begitu pula ia
tetap wajib mandi baik ia merasakan mimpi atau tidak karena
orang yang tidur boleh jadi lupa (apa yang terjadi ketika ia tidur).
Yang dimaksud dengan air di sini adalah mani.”[8]
Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ب ْال َغسْ ُل‬ َ ‫ َف َق ْد َو َج‬، ‫ش َع ِب َها اَألرْ َب ِع ُث َّم َج َه َد َها‬
ُ ‫س َبي َْن‬َ ‫ِإ َذا َج َل‬
“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya
(maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-
sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari
no. 291 dan Muslim no. 348)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,
‫َوِإنْ َل ْم ُي ْن ِز ْل‬
“Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
‫ا‬bb‫ ْل َع َلي ِْه َم‬b‫ ُل َه‬b ‫ ُه ُث َّم ُي ْك ِس‬b‫ ا ِم ُع َأهْ َل‬b‫ َع ِن الرَّ ج ُِل ي َُج‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ِإنَّ َر ُجالً َسَأ َل َرسُو َل هَّللا‬
َ bِ‫ ُل َذل‬b‫ « ِإ ِّنى َأل ْف َع‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫صلى هللا علي‬- ِ ‫ َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬.‫ْال ُغسْ ُل َو َعاِئ َش ُة َجالِ َس ٌة‬
‫ ِذ ِه ُث َّم‬b‫ا َو َه‬bb‫ك َأ َن‬
.» ‫َن ْغ َتسِ ُل‬
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya
namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib
mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping,
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud
adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami
pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara
hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani.
Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan
badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani
dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al
Asqolani dalam Fathul Bari.[9]
Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut
adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya
mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada
dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah
diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat
perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah
pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian
setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun
tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi)
sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”[10]
Ketiga: Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi
Hubaisy,
‫صلِّى‬ َ ‫اغسِ لِى َع ْنكِ ال َّد َم َو‬ ْ ‫صالَ َة َوِإ َذا َأ ْد َب َر‬
ْ ‫ت َف‬ َ ‫ت ْال َح ْي‬
َّ ‫ض ُة َفدَعِ ى ال‬ ِ ‫َفِإ َذا َأ ْق َب َل‬
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan
shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan
mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’
(kesepakatan) para ulama. Asy
Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi
karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara
para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan
haditsmutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula
terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi
ketika berhenti dari darah nifas.”[11]
Keempat: Ketika orang kafir masuk Islam.
Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin
‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,
‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم َأنْ َي ْغ َتسِ َل ِب َما ٍء َوسِ ْد ٍر‬
َ ُّ‫َأ َّن ُه َأسْ َل َم َفَأ َم َرهُ ال َّن ِبي‬
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun
bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang
lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.
[12] Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk
Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari
ulama Hanabilah[13], Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan
Al Khottobi[14].
Kelima: Karena kematian.
Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang
hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang
yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa
memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya
jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur
kewajibannya.[15] Penjelasan lebih lengkap mengenai
memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang
lebar dalamKitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.
Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya
adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu
‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk
memandikan anaknya,
‫اغسِ ْل َن َها َثالَ ًثا َأ ْو َخ ْمسًا َأ ْو َأ ْك َث َر َمنْ َذل َِك ِإنْ َرَأ ْي ُتنَّ َذل َِك ِب َما ٍء َوسِ ْد ٍر‬ ْ
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan
daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian
anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus
(wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.
Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang
memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin
pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati,
baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang
merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah
orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang
kafir.[16]
Lalu bagaimana dengan bayi karena keguguran, wajibkah
dimandikan?
Jawabannya, dapat kita lihat dari penjelasan Syaikh Muhammad
bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Jika bayi
karena keguguran tersebut sudah memiliki ruh, maka ia
dimandikan, dikafani dan disholati. Namun jika ia belum memiliki
ruh, maka tidak dilakukan demikian. Waktu ditiupkannya ruh
adalah jika kandungannya telah mencapai empat bulan,
sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu….”[17]
Demikian pembahasan singkat ini. Insya Allah selanjutnya kita
akan melanjutkan pada pembahasan tata cara mandi (al ghuslu).
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi
wa sallam.
Selesai disusun di Pangukan-Sleman, Kamis, 15 Jumadal Awwal
1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 1/392, Mawqi’ Al Islam

[2] Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada


umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda
kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket,
keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu
keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan
sama-sama bisa memiliki madzi. (Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-
imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari
fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’)
[3] Lihat Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor, Taqiyuddin
Abu Bakr Asy Syafi’i, hal. 64, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, tahun
1422 H.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As
Sayid Salim, 1/163, Al Maktabah At Taufiqiyah. Juga lihat
penjelasan dalam kitab Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, hal. 49, Darul ‘Aqidah, tahun
1428 H.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Muhammad
bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 57, Darul ‘Aqidah, tahun 1425 H.
[6] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[7] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 58.
[8] Fiqh Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 50.
[9] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani 1/398, Darul Ma’rifah,
Beirut, 1379.
[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf
An Nawawi, 4/40-41, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
[11] Ad Daroril Mudhiyah, hal. 57.
[12] Faedah dari Shahih Fiqh Sunnah, 1/167.
[13] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 59.
[14] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/166.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/617.
[16] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/618. Catatan: Adapun orang
yang mati selain di medan pertempuran dan disebut syahid
(seperti orang yang mati karena tenggelam dan sakit perut), maka
mereka dimandikan dan disholatkan sebagaimana orang yang
mati pada umumnya. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas
ulama. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/619)
[17] Fiqh Al Mar’ah  Al Muslimah, hal. 51.
Tata Cara Mandi Wajib

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya
mengenai lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami
akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara
keseluruhan tentang tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga
pembahasan kali ini bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk
membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah
ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan
mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar
bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ِإ َّن َما اَألعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا‬
‫ت‬
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu
mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
‫ُث َّم ُيفِيضُ ْال َما َء َع َلى َج َس ِد ِه ُكلِّ ِه‬
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR.
An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam
hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air
ke seluruh tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan
tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau bersabda,
‫اِئر َج َسدِى‬ ِ ‫ض ُه َبعْ ُد َع َلى َس‬ ُ ‫َأمَّا َأ َنا َفآ ُخ ُذ ِم ْل َء َك ِّفى َثالَثا ً َفَأصُبُّ َع َلى َرْأسِ ى ُث َّم ُأفِي‬
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan
pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua
tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan
dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan
selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah.
Ia mengatakan,
ْ‫كِ َأن‬b‫ا َي ْكفِي‬b‫ا َل « الَ ِإ َّن َم‬b‫ ِة َق‬b‫ ِل ْال َج َنا َب‬b‫ ُه لِ ُغ ْس‬b‫ض‬ ُ ُ‫ى َفَأ ْنق‬b‫ض ْف َر َرْأ ِس‬ َ ‫ش ُّد‬ ُ ‫ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ ِإ ِّنى ام َْرَأةٌ َأ‬ ُ ‫قُ ْل‬
.» ‫ين‬ َ ‫ين َع َل ْيكِ ْال َما َء َف َت ْطه ُِر‬َ ِ‫ت ُث َّم ُتفِيض‬ ٍ ‫ث َح َث َيا‬ َ َ‫َتحْ ثِى َع َلى َرْأسِ كِ َثال‬
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka
kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali,
kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah
suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya
dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu).
Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap
sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam
hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah
perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan.
Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih
sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
‫ان ِإ َذا‬b َ b‫لم – َك‬bb‫ه وس‬bb‫لى هللا علي‬bb‫لم – َأنَّ ال َّن ِبىَّ – ص‬bb‫َعنْ عَاِئ َش َة َز ْو ِج ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وس‬
، ‫ص ِاب َع ُه فِى ْال َما ِء‬ َ ‫ ُث َّم ي ُْد ِخ ُل َأ‬، ‫صالَ ِة‬َّ ‫ضُأ لِل‬ َّ ‫ضُأ َك َما َي َت َو‬ َّ ‫ ُث َّم َي َت َو‬، ‫اغ َت َس َل م َِن ْال َج َنا َب ِة َبدَ َأ َف َغ َس َل َيدَ ْي ِه‬
ْ
‫ ُث َّم ُيفِيضُ ْال َما َء َع َلى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه‬، ‫ف ِب َي َد ْي ِه‬
ٍ ‫ث ُغ َر‬ َ َ‫َفي َُخلِّ ُل ِب َها ُأصُو َل َش َع ِر ِه ُث َّم َيصُبُّ َع َلى َرْأسِ ِه َثال‬
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya
dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke
kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya
dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali,
kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR.
Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
، ‫ ِه‬b ‫ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغ َتسِ ُل ِب‬ ِ ‫ت ل َِرس‬ ُ ْ‫ضع‬ َ ‫ت َم ْيمُو َن ُة َو‬ ْ ‫َّاس َقا َل َقا َل‬ٍ ‫ْن َعب‬ ِ ‫َع ِن اب‬
َ ‫ َف َغ َس َل َم َذاك‬، ‫ ُث َّم َأ ْف َر َغ ِب َيمِي ِن ِه َع َلى شِ َمالِ ِه‬، ‫ْن َأ ْو َثالَ ًثا‬
ُ‫ِيره‬ ِ ‫ْن َمرَّ َتي‬ ِ ‫ َف َغ َس َل ُه َما َمرَّ َتي‬، ‫َفَأ ْف َر َغ َع َلى َيدَ ْي ِه‬
‫ ُث َّم‬، ‫ا‬bb‫ ُث َّم َغ َس َل َوجْ َه ُه َو َي َد ْي ِه ُث َّم َغ َس َل َرْأ َس ُه َثالَ ًث‬، ‫ض َواسْ َت ْن َش َق‬ َ ‫ ُث َّم َمضْ َم‬، ‫ض‬ ِ ْ‫ك َيدَ هُ ِباَألر‬ َ ‫ ُث َّم دَ َل‬،
‫ ُث َّم َت َنحَّ ى ِمنْ َم َقا ِم ِه َف َغ َس َل َقدَ َم ْي ِه‬، ‫َأ ْف َر َغ َع َلى َج َس ِد ِه‬
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku
pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua
tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali.
Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada
telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.
Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh
badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu
mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR.
Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang
disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali
sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum
mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi
tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk
membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya
adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan
tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan
menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang
yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika
selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau
semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke
tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika
hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan
mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup
dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa
didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al
ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh
anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu
mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir.
Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci
kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat
kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua
cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa
sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan
berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita
mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam
riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan
mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci
wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi
(apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini
ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga
sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala
bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
ُ‫و َءه‬b ‫ض‬ ُ ُ‫َأ و‬b ‫ض‬ ْ ‫ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ِإ َذا‬
َّ ‫ َو َت َو‬، ‫ ِه‬b‫اغ َت َس َل م َِن ْال َج َنا َب ِة َغ َس َل َي َد ْي‬ َ ‫َك‬
‫ا َء‬bb‫ ِه ْال َم‬b‫اض َع َل ْي‬َ ‫ َأ َف‬، ‫ َح َّتى ِإ َذا َظنَّ َأنْ َق ْد َأرْ َوى َب َش َر َت ُه‬، ُ‫ ُث َّم ي َُخلِّ ُل ِب َي ِد ِه َش َع َره‬، ‫اغ َت َس َل‬
ْ ‫صالَ ِة ُث َّم‬َّ ‫لِل‬
َ ‫ ُث َّم َغ َس َل َس‬، ‫ت‬
‫اِئر َج َس ِد ِه‬ ٍ ‫ث َمرَّ ا‬ َ َ‫َثال‬
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau
mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan
tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata
mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke
atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR.
Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
، ‫ ُث َّم َتْأ ُخ ُذ ِب َي ِد َها َع َلى شِ ِّق َها اَأل ْي َم ِن‬، ‫ت ِب َيدَ ْي َها َثالَ ًثا َف ْو َق َرْأسِ َها‬ ْ ‫ َأ َخ َذ‬، ‫ت ِإحْ دَا َنا َج َنا َب ٌة‬ ْ ‫صا َب‬ َ ‫ُك َّنا ِإ َذا َأ‬
‫َو ِب َي ِد َها اُأل ْخ َرى َع َلى شِ ِّق َها اَأل ْي َس ِر‬
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia
mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas
kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke
bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan
tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh
sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi
yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
‫ُور ِه َوفِى َشْأ ِن ِه ُكلِّ ِه‬ ُ
ِ ‫ان ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – يُعْ ِج ُب ُه ال َّت َيمُّنُ فِى َت َن ُّعلِ ِه َو َت َرجُّ لِ ِه َوطه‬ َ ‫َك‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang
kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan
dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan
Muslim no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja
sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang
mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad
dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi
yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam
hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku
seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda,
“Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air,
maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan
mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut
ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta
air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
‫ا‬b‫ دَا ُكنَّ َما َء َه‬bْ‫ذ ِإح‬b ُ b‫ا َل « َتْأ ُخ‬bb‫ِيض َف َق‬ ِ ‫ ِل ْال َمح‬b‫ َعنْ ُغ ْس‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫ت ال َّن ِبى‬ ِ ‫َأنَّ َأسْ َما َء َسَأ َل‬
‫ون َرْأسِ َها‬ َ ‫ُور ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه د َْل ًكا َشدِي ًدا َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ‬ َ ‫الطه‬ ُّ ُ‫َوسِ ْد َر َت َها َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ سِ ن‬
‫ا َل‬bb‫ْف َت َط َّه ُر ِب َها َف َق‬ َ ‫ت َأسْ َما ُء َو َكي‬ْ ‫ َف َقا َل‬.» ‫ص ًة ُم َم َّس َك ًة َف َت َط َّه ُر ِب َها‬َ ْ‫ ُث َّم َتْأ ُخ ُذ فِر‬.‫ُث َّم َتصُبُّ َع َل ْي َها ْال َما َء‬
‫ ِل‬b ‫َأ َل ْت ُه َعنْ ُغ ْس‬b ‫ َو َس‬.‫ِين َأ َث َر ال َّد ِم‬
َ ‫ت َعاِئ َش ُة َكَأ َّن َها ُت ْخفِى َذل َِك َت َت َّبع‬ ْ ‫ َف َقا َل‬.» ‫ين ِب َها‬ َ ‫ان هَّللا ِ َت َطه َِّر‬
َ ‫« ُسب َْح‬
‫ َها‬b‫بُّ َع َلى َرْأ ِس‬b ‫ص‬ ُ ‫ور – ُث َّم َت‬b َ b‫الط ُه‬ ُّ ‫ ُغ‬b ِ‫ور – َأ ْو ُت ْبل‬b
َ b‫الط ُه‬ ُّ ُ‫ن‬b ‫ْال َج َنا َب ِة َف َقا َل « َتْأ ُخ ُذ َما ًء َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ ِس‬
» ‫ون َرْأسِ َها ُث َّم ُتفِيضُ َع َل ْي َها ْال َما َء‬ َ ‫َف َت ْدلُ ُك ُه َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ‬
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah
seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara,
lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar
rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas
bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata,
“Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda,
“Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata
-seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-
bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia
bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau
bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya
hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air
padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal
rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
‫ون َرْأسِ َها‬َ ‫ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه د َْل ًكا َشدِي ًدا َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ‬
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya,
lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar
rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan
hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan
mengenai mandi junub disebutkan,
‫ون َرْأسِ َها ُث َّم ُتفِيضُ َع َل ْي َها ْال َما َء‬ َ ‫ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ‬
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya
hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air
padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan
keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi
karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita
disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk
mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-
sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada
kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang
tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
‫ضُأ َبعْ َد ْال ُغسْ ِل‬
َّ ‫ان الَ َي َت َو‬ َ ‫ َك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- َّ‫َعنْ عَاِئ َش َة َأنَّ ال َّن ِبى‬
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai
no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
‫وَأيُّ وُ ضُو ٍء َأ َع ُّم م َِن ْال ُغسْ ِل؟‬:َ ‫سُِئ َل َع ِن ْالوُ ضُو ِء َبعْ دَ ْال ُغسْ ِل؟ َف َقا َل‬
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau
menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari
mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih
pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol
juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam
masalah ini.[9]
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika
seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur
seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu
berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah
Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi,
lalu diakhir hadits disebutkan,
‫ َفا ْن َط َل َق َوهْ َو َي ْنفُضُ َيدَ ْي ِه‬، ُ‫َف َن َاو ْل ُت ُه َث ْوبًا َف َل ْم َيْأ ُخ ْذه‬
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak
mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari
badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276).
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan
mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits
tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan
beberapa alasan:
1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih
mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak
mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya
yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan
badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau
beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan
badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau,
maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa
mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena
keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah
mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu).
Tata cara di atas juga berlaku untuk mandi yang sunnah yang
akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau
terakhir).
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H
(20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

[1] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah,


1379.

[2] Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh


Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[3] Fathul Bari, 1/360.
[4] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi,
3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.
[5] Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad
bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425
H.
[6] Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.
[7] Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah,
‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al
Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.
[8] Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61
[9] Idem.
[10] Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.
Waktu-Waktu Shalat

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya


milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang
serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul
‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi kita Muhammadshallallahu ‘alaihi was sallam.
Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus
dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
َ ‫ت َع َلى ْالمُْؤ ِمن‬
‫ِين ِك َتابًا َم ْوقُو ًتا‬ ْ ‫صاَل َة َكا َن‬
َّ ‫ِإنَّ ال‬
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS. An Nisa’ (4) :
103]
Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.
[Sholat Zhuhur]
Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu
tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-
tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).
Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu zhuhur
telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al Uulaa (‫)اُأل ْو َلى‬
karena sholat yang pertama kali dikerjakan Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam. Disebut juga
sholat Al Hijriyah (ُ‫[)الح ِْج ِر َية‬1].
Awal Waktu Sholat Zhuhur
Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari
tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini
merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah
hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah
bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
‫ص ُر‬ ُ ‫الر ُج ِل َك ُطولِ ِه َما َل ْم َي ْح‬
ْ ‫ض ِر ا ْل َع‬ َّ ُّ ‫س َو َكانَ ظِ ل‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ت ال ُّظ ْه ِر ِإ َذا َزا َل‬
ُ ‫……و ْق‬..
َ
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari
(menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang
sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu
‘Ashar……….”[2].
Akhir Waktu Sholat Zhuhur
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur
namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat
jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang
seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar).
Dalil pendapat ini adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was
sallam dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.
Catatan :
Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung waktu
yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya matahari hingga
tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat diketahui dengan
membagi duanya.
Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di Awal
Waktunya
Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu ‘anhu,
ُ‫ت ال َّشمْس‬ ِ ‫ض‬َ ‫الظه َْر ِإ َذا َد َح‬ ُّ ‫صلِّى‬ َ ‫ ُي‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫ان ال َّن ِبى‬ َ ‫َك‬
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat
zhuhur ketika matahari telah tergelincir”[3].
Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat Zhuhur Jika
Sangat Panas
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,
‫صالَ ِة‬َّ ‫ َوِإ َذا ا ْش َت َّد ْال َحرُّ َأب َْر َد ِبال‬، ‫صالَ ِة‬
َّ ‫ان ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – ِإ َذا ا ْش َت َّد ْال َبرْ ُد َب َّك َر ِبال‬
َ ‫َك‬
“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan sangat
dingin beliau menyegerakan sholat dan jika keadaan sangat
panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].
Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak
terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir sholat.
[Sholat ‘Ashar]
‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga
matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.
Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar,
sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (‫)الو ْس َطى‬. ُ
Awal Waktu Sholat ‘Ashar
Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan tingginya
(menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah hadits
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
‫ا‬b‫ ِر َم‬b‫ص‬ ْ ‫ت ْال َع‬ ْ ‫طولِ ِه َما َل ْم َيحْ ض ُِر ْال َع‬
ُ ‫ ُر َو َو ْق‬b‫ص‬ ُ ‫ان ظِ ُّل الرَّ ج ُِل َك‬ َ ‫ت ال َّشمْسُ َو َك‬ ُّ ‫ت‬
ِ ‫الظه ِْر ِإ َذا َزا َل‬ ُ ‫َو ْق‬
ُ‫…… َل ْم َتصْ َفرَّ ال َّشمْس‬.
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari
(menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang
sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu ‘ashar dan
waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum
menguning………”[5].
Akhir Waktu Sholat ‘Ashar
Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah
terlihat saling bertentangan.
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril ‘alihissalam menjadi
imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
‫ا م َُح َّم ُد‬bb‫ا َل قُ ْم َي‬bb‫مْ سُ َف َق‬b‫الش‬
َّ ‫ت‬ ْ ‫ِين َزا َل‬ َ ‫لَّ َم ح‬b‫ ِه َو َس‬b‫لَّى هَّللا ُ َع َل ْي‬b‫ص‬َ ِّ‫اَل م ِإ َلى ال َّن ِبي‬b‫الس‬
َّ ‫َجا َء ِجب ِْري ُل َع َل ْي ِه‬
‫ا‬bb‫ان َفيْ ُء الرَّ ج ُِل م ِْث َل ُه َجا َءهُ ل ِْل َعصْ ِر َف َقا َل قُ ْم َي‬َ ‫ث َح َّتى ِإ َذا َك‬ َ ‫ت ال َّشمْسُ ُث َّم َم َك‬ ْ ‫ِين َما َل‬َ ‫الظه َْر ح‬ ُّ ‫ص ِّل‬ َ ‫َف‬
‫ت ُكلُّ ُه‬ ٌ ‫ْن َو ْق‬ِ ‫ت ال َّشمْسُ …… َما َبي َْن َه َذي‬ ْ ‫ث َح َّتى ِإ َذا َغا َب‬ َ ‫ص ِّل ْال َعصْ َر ُث َّم َم َك‬َ ‫م َُح َّم ُد َف‬
“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika
matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia
mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola
zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian
mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar lah”.
Kemudian ia diam hingga matahari tenggelam………….diantara
dua waktu ini adalah dua waktu sholat seluruhnya”[6].
 Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
ُ‫ت ْال َعصْ ِر َما َل ْم َتصْ َفرَّ ال َّشمْس‬ ُ ‫َو َو ْق‬
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum
menguning………”[7].
 Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan
dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
‫ك ْال َعصْ َر‬ َ ‫ُب ال َّشمْسُ َف َق ْد َأ ْد َر‬
َ ‫ك َر ْك َع ًة م َِن ْال َعصْ ِر َق ْب َل َأنْ َت ْغر‬ َ ‫َمنْ َأ ْد َر‬
“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar sebelum
matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan sholat ‘ashar”[8].
Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah
saling bertentangan ini adalah :
Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan
Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir
waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun hadits
‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh. Sedangkan waktu
hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan tentang waktu
pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya makruh
mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali bagi orang yang
memiliki udzur maka mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu itu
hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.
Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was
sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin
Malik rodhiyallahu ‘anhu,
‫صلِّى ْال َعصْ َر َوال َّشمْ سُ مُرْ َتفِ َع ٌة َحي ٌَّة‬ َ ‫ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ُي‬ َ ‫َك‬
“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan
sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”[9].
Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini berdasarkah
hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul Mulaih rodhiyallahu
‘anhu. Dia mengatakan,
‫ه‬bb‫صالَ ِة ْال َعصْ ِر َفِإنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا علي‬ َ ‫ُك َّنا َم َع ب َُريْدَ َة فِى َغ ْز َو ٍة فِى َي ْو ٍم ذِى َغي ٍْم َف َقا َل َب ِّكرُوا ِب‬
‫صالَ َة ْال َعصْ ِر َف َق ْد َح ِب َط َع َملُ ُه‬ َ ‫ك‬ َ ‫وسلم – َقا َل « َمنْ َت َر‬
“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang
mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat ‘ashar
karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya
telah batal”[10].
Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya meninggalkan
sholat ‘ashar.
[Sholat Maghrib]
Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat
tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang
dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib
Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah ketika
matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar
tenggelam sempurna.
Akhir Waktu Sholat Maghrib
Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu maghrib.
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya
merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang diperlukan
orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup aurot, melakukan
adzan, iqomah dan melaksanakan sholat maghrib. Pendapat ini
adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i dan Imam Syafi’i. Dalil
pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ketika
Jibril mengajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,
‫ب‬ َ ‫صلَّى ْال َم ْغ ِر‬ َ ‫ص ِّل َف‬ َ ‫ت ال َّشمْسُ َو ْق ًتا َوا ِح ًدا َل ْم َي ُز ْل َع ْن ُه َف َقا َل قُ ْم َف‬
ْ ‫ِين َغا َب‬
َ ‫بح‬ ُ
ِ ‫…ث َّم َجا َءهُ ل ِْل َم ْغ ِر‬..
“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam
ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu ketika Jibril
mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari sebelumnya)
kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah
laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib adalah
ketika telah hilang sinar merah ketika matahari tenggelam.
Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri, Imam
Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta sebahagian
mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai tepat oleh An
Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
….‫ب ال َّش َف ُق‬ ِ ‫صالَ ِة ْال َم ْغ ِر‬
ِ ‫ب َما َل ْم َي ِغ‬ َ ‫ت‬ ُ ‫…و ْق‬..
َ
“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar merah
ketika matahari tenggelam”[12].
Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.
Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari
Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,
‫ك ال ُّنجُو ُم‬ َ ‫ب ِإ َلى َأنْ َت ْش َت ِب‬ َ ‫الَ َت َزا ُل ُأ َّمتِى ِب َخي ٍْر – َأ ْو َقا َل َع َلى ْالف ِْط َر ِة – َما َل ْم ُيَؤ ِّخرُوا ْال َم ْغ ِر‬
“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh) selama
mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib hingga
munculnya bintang (di langit)”[13].
[Sholat ‘Isya’]
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap
(setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat
‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Awal Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika
telah hilang sinar merah di langit.
Akhir Waktu Sholat ‘Isya’
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat
‘isya’.
Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’
adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam Syafi’i
dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur
dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika Jibril
mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
….ُ‫ث اللَّي ِْل اَأْل َّول‬ُ ُ‫ب ُثل‬ ُ
َ ‫…ث َّم َجا َءهُ ل ِْل ِع َشا ِء ح‬..
َ ‫ِين َذ َه‬
“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was
sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga malam
yang pertama………..”[14].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’
adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats Tsauri,
Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan Ibnu
Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,
… ِ‫صالَ ِة ْال ِع َشا ِء ِإ َلى ِنصْ فِ اللَّي ِْل اَأل ْو َسط‬ َ ‫ت‬ ُ ‫…و ْق‬.
َ
“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’
adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’,
‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu Abbas,
Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah. Dalilnya
adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Qotadahrodhiyallahu
‘anhu,
…‫صالَ ِة اُأل ْخ َرى‬ َّ ‫ت ال‬ ُ ‫صالَ َة َح َّتى َي ِجى َء َو ْق‬ َّ ‫ُص ِّل ال‬ ُ ‫…ِإ َّن َما ال َّت ْفر‬.
َ ‫يط َع َلى َمنْ َل ْم ي‬ ِ
“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh agama
adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga tiba waktu
sholat lain”[16].
Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini adalah
akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga setengah
malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr sedangkan batas
waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah hingga terbit
fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah. Sedangkan pendapat
yang dinilai lebih kuat menurut Penulis Shahih Fiqh Sunnah
adalah setengah malam jika hadits Anas adalah hadits yang tidak
shohih.
Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
‫ث اللَّي ِْل َأ ْو ِنصْ فِ ِه‬ ِ ُ‫ش َّق َع َلى ُأ َّمتِى َأل َمرْ ُت ُه ْم َأنْ ُيَؤ ِّخرُوا ْال ِع َشا َء ِإ َلى ُثل‬
ُ ‫َل ْوالَ َأنْ َأ‬
“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku
perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga sepertiga
atau setengah malam”[17].
Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi
was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,
‫ َوِإ َذا َرآ ُه ْم َأ ْب َطُئوا َأ َّخ َر‬، ‫ َإذا َرآ ُه ْم اجْ َت َمعُوا َعجَّ َل‬: ‫ َوَأحْ َيا ًنا ُيَؤ ِّخ ُر َها‬، ‫َو ْال ِع َشا ُء َأحْ َيا ًنا ُي َق ِّد ُم َها‬
“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang juga
mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul maa
segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke masjid)”[18].
Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang
Tidak Perlu Setelahnya
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
‫ِيث َبعْ َد َها‬َ ‫ان َي ْك َرهُ ال َّن ْو َم َق ْب َل َها َو ْال َحد‬
َ ‫َك‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum
sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna
setelahnya[19]”.
[Sholat Shubuh/Fajar]
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut
juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.
Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang
merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas kemudian
hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih
yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus
menjadi lebih terang hingga terbit matahari.
Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai sejak
terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.
Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar
Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar dimulai
sejak terbitnya matahari.
Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar Pada
Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat
fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika ishfar
(cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama yang
berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah. Diantara dalil
mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
‫س‬ ٍ ‫صالَ َة ْال َغدَا ِة ِب َغ َل‬َ ‫صلَّ ْي َنا عِ ْن َد َها‬َ ‫ َف‬، ‫َأنَّ َرسُو َل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َغ َزا َخ ْي َب َر‬
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was
sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat
ghodah (fajar) di Khoibar pada saatgholas”[20].
Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan
bermanfaat. Amin
Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu Malik
Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I Cet. Maktabah Tauqifiyah,
Kairo, Mesir
Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.
Penulis: Aditya Budiman bin Usman
Artikel www.muslim.or.id

[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541.


[2] HR. Muslim No. 612.
[3] HR. Muslim No. 618.
[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.
[5] HR. Muslim No. 612.
[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[7] HR. Muslim No. 612.
[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.
[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.
[10] HR. Bukhori No. 553.
[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[12] HR. Muslim No. 612.
[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al Albani
dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah.
[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.
[15] HR. Muslim No. 612.
[16] HR. Muslim No. 681.
[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan shohih
oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi.
[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.
[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.
[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.
Rukun-Rukun Shalat

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan


atau perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah
satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara
syar’i dan juga tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.
Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.
Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi
seperti ini shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan
para ulama.
Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada
tiga rincian,
1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib
untuk melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan
kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal
menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama
(mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang
ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka
shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia tidak
memasuki shalat dengan benar.
Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ب‬ ٍ ‫ َفِإنْ َل ْم َتسْ َتطِ عْ َف َع َلى َج ْن‬، ‫ َفِإنْ َل ْم َتسْ َتطِ عْ َف َقاعِ ًدا‬، ‫ص ِّل َقاِئمًا‬ َ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah
dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah
dengan tidur menyamping.”[1]
Rukun kedua: Takbiratul ihram
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيلُ َها ال َّتسْ لِي ُم‬ ُّ ‫صالَ ِة‬ َّ ‫ِم ْف َتا ُح ال‬
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang
mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir.
Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan
salam. ”[2]
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu
Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan
selainnya walaupun semakna.
Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ب‬ ِ ‫صالَ َة لِ َمنْ َل ْم َي ْق َرْأ ِب َفات َِح ِة ْال ِك َتا‬
َ َ‫ال‬
“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca
Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang
yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya
beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),
‫ُث َّم ارْ َكعْ َح َّتى َت ْط َمِئنَّ َرا ِكعًا‬
“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]
Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan
dan tangan berada di lutut.
Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan
tenang di mana  setiap persendian juga ikut tenang.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengatakan pada orang yang jelek shalatnya sehingga ia pun
disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,
َّ‫ ِه َح َّتى َت ْط َمِئن‬bbْ‫ ِه َع َلى ُر ْك َب َتي‬bbْ‫ ُع َك َّفي‬bb‫ض‬ َ ‫ ُع َف َي‬bb‫… ُث َّم ُي َك ِّب ُر َف َيرْ َك‬  ‫ ِب َغ‬bb‫ ِد ُك ْم َح َّتى ي ُْس‬bb‫الَةُ َأ َح‬bb‫ص‬
َ ‫الَ َت ِت ُّم‬
‫َم َفاصِ لُ ُه َو َتسْ َترْ خ َِى‬
“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian
menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan
ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai
persendian yang ada dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah
sekadar membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.
Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang
jelek shalatnya,
‫ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى َتعْ َت ِد َل َقاِئمًا‬
“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]
Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang
jelek shalatnya,
‫ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمِئنَّ َسا ِج ًدا‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]
Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan:
[1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri,
[5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan
hidung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ْن‬ ِ ‫ َدي‬b‫ ِه – َو ْال َي‬bِ‫ ِد ِه َع َلى َأ ْنف‬b‫ار ِب َي‬
ِ ‫رُّ ْك َب َتي‬b‫ َوال‬، ‫ْن‬ َ ‫ظ ٍم َع َلى ْال َج ْب َه ِة – َوَأ َش‬ُ ْ‫ت َأنْ َأسْ جُدَ َع َلى َسب َْع ِة َأع‬ ُ ْ‫ُأ ِمر‬
‫ْن‬ِ ‫َوَأ ْط َرافِ ْال َق َد َمي‬
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan:
[1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan
tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan
dan kiri, dan [6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”
Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan
thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمِئنَّ َسا ِج ًدا‬، ‫ ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى َت ْط َمِئنَّ َجالِسًا‬، ‫ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى َت ْط َمِئنَّ َسا ِج ًدا‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu
bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian
sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk
tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫َّات هَّلِل‬ َّ ‫… َفِإ َذا َق َع َد َأ َح ُد ُك ْم فِى ال‬
ُ ‫صالَ ِة َف ْل َيقُ ِل ال َّت ِحي‬
“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat,
maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[9]
Bacaan tasyahud:
َّ ، ‫ ُه‬b‫ ُة هَّللا ِ َو َب َر َكا ُت‬b‫ْك َأ ُّي َها ال َّن ِبىُّ َو َرحْ َم‬
‫ا‬b‫الَ ُم َع َل ْي َن‬b‫الس‬ َ ‫ ال َّسالَ ُم َع َلي‬، ‫ات‬ َّ ‫ات َو‬
ُ ‫الط ِّي َب‬ َّ ‫َّات هَّلِل ِ َوال‬
bُ ‫ص َل َو‬ ُ ‫ال َّت ِحي‬
‫ َأ ْش َه ُد َأنْ الَ ِإ َل َه ِإالَّ هَّللا ُ َوَأ ْش َه ُد َأنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرسُولُ ُه‬، ‫ِين‬َ ‫َو َع َلى عِ َبا ِد هَّللا ِ الصَّالِح‬
“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu
‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh.
Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa
ilaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan ‘abduhu wa
rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah,
begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan
tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah dengan
segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan
kepada kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan
benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya) [10]
Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu
diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah
ditanya,
“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan
“assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau  bacaan “assalamu ‘alan
nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para
sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan
nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun
mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.
Jawab:
Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud
dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa
rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar
yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat Ibnu Mas’ud
mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar 
riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud
dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada.
Seandainya ada perbedaan hukum bacaan antara sebelum
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat,
maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan
menjelaskannya pada para sahabat.
(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil
Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah  bin Ghodyan
sebagai anggota)[11]
Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah
mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar
seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung
Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu
berkata padanya dan lainnya,
‫إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد هللا والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى هللا عليه وسلم ثم يدعو‬
‫بعد بما شاء‬
“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka
mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah, lalu
bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
berdo’a setelah itu semau kalian.”[13]
Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.
‫ اللَّ ُه َّم‬، ‫ ٌد‬b‫ ٌد َم ِجي‬b‫ك َحمِي‬ َ ‫ ِإ َّن‬، ‫راهِي َم‬bْ
َ ‫آل ِإب‬ ِ ‫ْت َع َلى‬ َ ‫لَّي‬b‫ص‬
َ ‫ َك َما‬، ‫آل م َُح َّم ٍد‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َع َلى م َُح َّم ٍد َو َع َلى‬
‫ك َحمِي ٌد َم ِجي ٌد‬ َ ‫ ِإ َّن‬، ‫آل ِإب َْراهِي َم‬ ِ ‫ت َع َلى‬ َ ‫ار ْك‬ ِ ‫اركْ َع َلى م َُح َّم ٍد َو َع َلى‬
َ ‫ َك َما َب‬، ‫آل م َُح َّم ٍد‬ ِ ‫َب‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad
kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka
hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali
Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm
innaka hamidun majiid.”[14]
Rukun kelimabelas: Salam
Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,
ُّ ‫صالَ ِة‬
‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيلُ َها ال َّتسْ لِي ُم‬ َّ ‫ِم ْف َتا ُح ال‬
“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan
takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah
ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama.
Inilah pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.
Model salam ada empat:
1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam
ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa
barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam
ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]
Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya,
digunakan kata “tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma”
bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Syarat dan Rukun Puasa

Syarat Wajib Puasa[1]


Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah
baligh[2], dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu
tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini
adalah firman Allah Ta’ala,
‫َّام ُأ َخ َر‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
ٍ ‫ان َم ِريضًا ْو َع َلى َس َف ٍر َف ِع َّدةٌ ِمنْ ي‬
َ ‫َو َمنْ َك‬
“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”
(QS. Al Baqarah: 185). Kedua syarat ini termasuk dalam syarat
wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan
bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib
penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang
yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah
mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika
mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka
tetap sah.
(3) Suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah hadits dari
Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Hadits tersebut adalah,
‫ت‬ ْ ‫ا َل‬bb‫الَ َة َف َق‬b‫الص‬
َّ ‫ى‬b‫ض‬ ِ ‫ ْو َم َوالَ َت ْق‬b‫الص‬
َّ ‫ى‬b‫ض‬ ِ ‫اِئض َت ْق‬ ِ b‫ت َما َبا ُل ْال َح‬ ُ ‫ت َعاِئ َش َة َفقُ ْل‬ ُ ‫ت َسَأ ْل‬ ْ ‫َعنْ ُم َع َاذ َة َقا َل‬
‫ ْو ِم‬b‫الص‬ َّ ‫ا ِء‬b‫ض‬ َ ‫ي ُب َنا َذل‬b‫ُص‬
َ ‫ْؤ َم ُر ِب َق‬b‫ك َف ُن‬bِ ِ ‫ان ي‬ َ ‫ت َك‬ ْ ‫ َقا َل‬.ُ‫ُور َّي ٍة َو َل ِك ِّنى َأسْ َأل‬
ِ ‫ت ِب َحر‬ ُ ْ‫ت َلس‬ ُ ‫ت ُق ْل‬ِ ‫ُوري ٌَّة َأ ْن‬
ِ ‫َحر‬
‫َأ‬
‫صالَ ِة‬ َّ ‫ضا ِء ال‬ َ ‫والَ ُنْؤ َم ُر ِب َق‬.َ
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya
berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa
dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah
kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan
Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.”[5] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita
yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya.[6]
Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah
syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya
puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa
adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat
sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ت‬ ِ ‫ِإ َّن َما اَألعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا‬
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]
Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan
menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar
kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus
dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat
tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang
dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan
niat letaknya di hati[9]. Semoga Allah merahmati An
Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang
mengatakan,
‫ف‬ ٍ ‫ط ال ُّن ْط ُق ِبالَ ِخاَل‬ ُ ‫اَل يَصِ ُّح الص َّْو َم ِإاَّل ِبال ِّن َّي ِة َو َم َحلُّ َها ال َق ْلبُ َواَل ُي ْش َت َر‬
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat
adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini
tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]
Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,
‫ض ِة‬ َ ‫ظ ِب َها َق ْطعًا َك َما َقا َل ُه فِي الرَّ ْو‬ ُ ‫ َواَل ُي ْش َت َر‬، ‫ان َق ْطعًا‬
ُ ‫ط ال َّت َل ُّف‬ ِ ‫ َواَل َت ْكفِي ِباللِّ َس‬، ُ‫َو َم َحلُّ َها ْال َق ْلب‬
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan.
Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan
sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar
Roudhoh.”[11]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
‫اق ْال ُع َل َما ِء ؛ َفِإنْ َن َوى ِب َق ْل ِب ِه َو َل ْم َي َت َكلَّ ْم ِبل َِسا ِن ِه َأجْ َزَأ ْت ُه ال ِّن َّي ُة ِبا ِّت َفاق ِِه ْم‬
ِ ‫َوال ِّن َّي ُة َم َحلُّ َها ْال َق ْلبُ ِبا ِّت َف‬
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika
seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya,
maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan
para ulama.”[12]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang
menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah
berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia
punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia
telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau
melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani
suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini
adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap
orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan
atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam
hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]
Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]
Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari
Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,
‫ص َيا َم َق ْب َل ْال َفجْ ِر َفالَ صِ َيا َم َل ُه‬ ِّ ‫َمنْ َل ْم يُجْ م ِِع ال‬
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka
puasanya tidak sah.”[15]
Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap
malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.
[16]
Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar
menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits
‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,
« ‫ا َل‬bb‫ َق‬.َ‫ا ال‬b‫ َفقُ ْل َن‬.» ‫ىْ ٌء‬b‫ َد ُك ْم َش‬b‫ ْل عِ ْن‬b‫ا َل « َه‬b‫ات َي ْو ٍم َف َق‬ َ ‫ َذ‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫دَ َخ َل َع َلىَّ ال َّن ِبى‬
َ ‫ د‬bْ‫و َل هَّللا ِ ُأه‬b‫ا َر ُس‬b‫ا َي‬bb‫ َر َفقُ ْل َن‬b‫آخ‬
‫د‬bْ ‫ ِه َف َل َق‬b‫ا َل « َأ ِرينِي‬b‫ َف َق‬. ٌ‫ا َحيْس‬bb‫ِى َل َن‬ َ ‫ا‬bb‫ ُث َّم َأ َتا َنا َي ْو ًم‬.» ‫صاِئ ٌم‬ َ ‫َفِإ ِّنى ِإ ًذا‬
‫ َفَأ َك َل‬.» ‫صاِئمًا‬ َ ‫ت‬ ُ ْ‫َأصْ َبح‬.
“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku
dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami
menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan
berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan
kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa
Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka
beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi
pagi tadi aku berpuasa.”[17] An
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi
mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum
waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa
sunnah.”[18] Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu
sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah
melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya
tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]
Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap
hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak
berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari
merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at
dalam shalat.[20]
Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan
berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat
dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok
tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika
bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam
ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.
[21] Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa
Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]
Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah
menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar
(yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
‫ َيا َم ِإ َلى‬b‫الص‬ ِّ ‫ ِر ُث َّم َأ ِتمُّوا‬bْ‫ْط اَأْل ْب َيضُ م َِن ْال َخ ْيطِ اَأْلسْ َو ِد م َِن ْال َفج‬ ُ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َح َّتى َي َت َبي ََّن َل ُك ُم ْال َخي‬
‫اللَّي ِْل‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud
dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan
bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
‫ار ِمنْ َس َوا ِد اللَّي ِْل‬ َ ‫ِإ َّن َما َذا‬
ِ ‫ك َب َياضُ ال َّن َه‬
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya
malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti
itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua
benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang
putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak.
Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi
bin Hatim.[25]

Pembatal-Pembatal Puasa

 
Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan
para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah
dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut,
baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti
roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau
diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak
ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3].
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
‫ َيا َم ِإ َلى‬b‫الص‬ ِّ ‫ ِر ُث َّم َأ ِتمُّوا‬bْ‫ْط اَأْل ْب َيضُ م َِن ْال َخ ْيطِ اَأْلسْ َو ِد م َِن ْال َفج‬ ُ ‫َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َح َّتى َي َت َبي ََّن َل ُك ُم ْال َخي‬
‫اللَّي ِْل‬
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya
tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ُ‫ َفِإ َّن َما َأ ْط َع َم ُه هَّللا ُ َو َس َقاه‬، ‫ص ْو َم ُه‬ َ ‫ِإ َذا َنسِ َى َفَأ َك َل َو َش ِر‬
َ ‫ب َف ْل ُي ِت َّم‬
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa,
hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah
telah memberi dia makan dan minum.”[4]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
‫ان َو َما اسْ ُت ْك ِرهُوا َع َل ْي ِه‬ َ ‫ض َع َعنْ ُأ َّمتِى ْال َخ َطَأ َوال ِّنسْ َي‬ َ ‫ِإنَّ هَّللا َ َو‬
“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena
keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan
melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa,
batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama
dengan makan dan minum.[6]
Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum
dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’
puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.
[7]
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ض‬ ِ ‫ضا ٌء َوِإ ِن اسْ َت َقا َء َف ْل َي ْق‬ َ ‫ْس َع َل ْي ِه َق‬
َ ‫صاِئ ٌم َف َلي‬ َ ‫َمنْ َذ َر َع ُه َقىْ ٌء َوه َُو‬
“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam
keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila
dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar
qodho’.”[8]
3. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-
tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya
batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas
membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ان دِي ِن َها‬ ِ ‫ص‬ َ ‫ َقا َل « َف َذل َِك ِمنْ ُن ْق‬. ‫ قُ ْل َن َب َلى‬. » ‫ص ْم‬ َ ‫ت َل ْم ُت‬
ُ ‫ص ِّل َو َل ْم َت‬ ْ ‫اض‬ َ ‫» َأ َلي‬
َ ‫ْس ِإ َذا َح‬
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga
tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan
agama wanita.”[10]
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’
puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita
yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’
puasanya ketika ia suci.[12]
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa
hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan,
dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau
paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan
puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan
kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫ك َط َعا َم ُه َو َش َرا َب ُه َو َشه َْو َت ُه ِمنْ َأجْ لِى‬ ُ ‫َي ْت ُر‬
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan
makan, minum dan syahwat karena-Ku”[13]. Mengeluarkan mani
dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal
puasa sebagaimana makan dan minum.[14]
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal.
Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika
sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal.
Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal.[15]
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal
(berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.
[16] Alasannya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ‫ِإنَّ هَّللا َ َت َج َاو َز َعنْ ُأ َّمتِى َما َح َّد َث‬
‫ َما َل ْم َتعْ َم ْل َأ ْو َت َت َكلَّ ْم‬، ‫ت ِب ِه َأ ْنفُ َس َها‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang
dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun
mengungkapnya”[17]
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam
keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja
untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang
berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak
makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َوِإ َّن َما لِ ُك ِّل ام ِْرٍئ َما َن َوى‬
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia
niatkan.”[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan
berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam
keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya.[20]
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan
Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan
menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua
syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban
untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat
keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang
yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang
yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap
nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka
ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
‫ت‬ ُ ‫و َل هَّللا ِ َه َل ْك‬b‫ َف َقا َل َيا َر ُس‬، ‫َب ْي َن َما َنحْ نُ جُ لُوسٌ عِ ْندَ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – ِإ ْذ َجا َءهُ َر ُج ٌل‬
‫ َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم‬. ‫صاِئ ٌم‬ َ ‫امْرَأتِى َوَأ َنا‬ َ ‫ت َع َلى‬ ُ ْ‫ َقا َل َو َقع‬. » ‫ك‬ َ ‫ َقا َل « َما َل‬.
‫ا َل‬bb‫ َق‬. » ‫ْن‬ ِ ‫ َقا َل « َف َه ْل َتسْ َتطِ ي ُع َأنْ َتصُو َم َشه َْري‬. َ‫ َقا َل ال‬. » ‫– « َه ْل َت ِج ُد َر َق َب ًة ُتعْ ِتقُ َها‬
ِ ‫ْن ُم َت َت ِاب َعي‬
‫لم‬bb‫ث ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وس‬ َ ‫ َقا َل َف َم َك‬. َ‫ َقا َل ال‬. » ‫ين ِمسْ كِي ًنا‬ َ ‫ َف َقا َل « َف َه ْل َت ِج ُد ِإ ْط َعا َم سِ ِّت‬. َ‫ال‬
‫ ُل‬bb‫ َف َب ْي َنا َنحْ نُ َع َلى َذل َِك ُأت َِى ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – ِب َع َر ٍق فِي َها َت ْم ٌر – َو ْال َع َر ُق ْالم ِْك َت‬، –
‫ا‬bb‫ر ِم ِّنى َي‬b َ b‫ َف َقا َل الرَّ ُج ُل َأ َع َلى َأ ْف َق‬. » ‫ص َّد ْق ِب ِه‬ َ ‫ َقا َل « ُخ ْذ َها َف َت‬. ‫ َف َقا َل َأ َنا‬. » ‫– َقا َل « َأي َْن السَّاِئ ُل‬
ُّ‫ك ال َّن ِبى‬
َ ‫ ِح‬b ‫ض‬ َ ‫ َف‬، ‫ ِل َب ْيتِى‬b ْ‫ت َأ ْف َق ُر ِمنْ َأه‬ ٍ ‫ْن – َأهْ ُل َب ْي‬ ِ ‫َرسُو َل هَّللا ِ َف َوهَّللا ِ َما َبي َْن الَ َب َت ْي َها – ي ُِري ُد ْال َحرَّ َتي‬
‫ك‬ َ ‫َت َأ ْن َيا ُب ُه ُث َّم َقا َل « َأ ْط ِعمْ ُه َأهْ َل‬
ْ ‫» – صلى هللا عليه وسلم – َح َّتى َبد‬
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
“Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas
menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang
puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang
dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau
mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
“Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang
miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang
bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi
mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih
miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih
miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa
sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada
keluargamu.”[22]
Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan
bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di
kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari
bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas
kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya
batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan
kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita
yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa),
puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama
mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-
laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai
kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama
Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, 
bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak
punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si
pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari
untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini
menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban
kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan
mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh
adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-
laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai
berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan
Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh
tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia
mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-
piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An
Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)

Bagi hamba yang masih memiliki tabi’at baik pasti mengetahui


bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan bukan
menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa,
Allah Ta’ala juga menginginkan demikian dan ingin
menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya. Berikut ini adalah
beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak
membatalkan puasa :
1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka
berkata,
‫ ُل‬b‫ ُث َّم َي ْغ َت ِس‬، ‫ ِه‬bِ‫و ُج ُنبٌ ِمنْ َأهْ ل‬bَُ ‫ ُر َوه‬bْ‫ ُه ْال َفج‬b‫ان ي ُْد ِر ُك‬b
َ b‫لم – َك‬b‫ه وس‬bb‫لى هللا علي‬bb‫َأنَّ َرسُو َل هَّللا ِ – ص‬
‫َو َيصُو ُم‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu
fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh
dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mandi dan tetap berpuasa.”[1]
Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
‫ر ُحلُ ٍم‬bِ b‫و ُج ُنبٌ ِمنْ َغ ْي‬bَ b‫ان َو ُه‬ َ ‫ ُر فِى َر َم‬b ْ‫ ُه ْال َفج‬b‫ ي ُْد ِر ُك‬-‫لم‬bb‫صلى هللا عليه وس‬- ِ ‫ان َرسُو ُل هَّللا‬
َ b‫ض‬ َ ‫َق ْد َك‬
‫ َف َي ْغ َتسِ ُل َو َيصُو ُم‬.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu
fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena
mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi
dan tetap berpuasa.”[2]
2. Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫ش َّق َع َلى ُأ َّمتِى َأل َمرْ ُت ُه ْم ِبالس َِّواكِ عِ ْن َد ُك ِّل وُ ضُو ٍء‬ ُ ‫َل ْوالَ َأنْ َأ‬
“Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan
kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali
berwudhu.”[3]
Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad)
dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang
berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari
ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan
Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa
dengan siwak basah.[4]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa)
maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya
hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke
barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam
masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang
mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal
terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”[5]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang
semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan
bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak
dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang
benar adalah siwak  dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai
dari awal hingga akhir siang.”[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah
hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ِّ‫ضاةٌ لِلرَّ ب‬َ ْ‫ك َم ْط َه َرةٌ ل ِْل َف ِم َمر‬ َ ‫الس َِّوا‬
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh
Allah.”[8]
Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak
digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh
sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan
kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat
gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan
untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah
menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.[9]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air
ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫صاِئ ًم‬ َ ‫ون‬ َ ‫اق ِإالَّ َأنْ َت ُك‬ ِ ‫َو َبال ِْغ فِى االِسْ ِت ْن َش‬
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air
dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”[10]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan
beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi
orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga
berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan
tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”[11]
Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur
meski tidak karena wudhu dan mandi.[12]
Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah
berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa sengaja,
seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari. Ibnu
Hajar rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis
bersiwak terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti
sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah
di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun
sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”[13]
4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya
mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya
selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus
pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar
mani.[14] An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada
perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau
mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar
mani”.[15]
Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri
ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
‫ان َأ ْم َل َك ُك ْم ِإلرْ ِب ِه‬ َ ‫ َوه َُو‬، ‫ان ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – ُي َق ِّب ُل َو ُيبَاشِ ُر‬
َ ‫ َو َك‬، ‫صاِئ ٌم‬ َ ‫ َك‬.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu
istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat
menahan syahwatnya.”[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau
berkata,
ً‫را‬bb‫و َم َأ ْم‬bْ b‫ت ْال َي‬ ُ ْ‫ َنع‬b‫ص‬
َ ‫ت‬ ُ ‫ َفقُ ْل‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫لى هللا علي‬bb‫ص‬- َّ‫ْت ال َّن ِبى‬ ُ ‫َأ َتي‬b‫اِئ ٌم َف‬b‫ص‬
َ ‫ت َوَأ َنا‬ ُ ‫ت َي ْوما َف َقب َّْل‬ ُ ‫َه َش ْش‬
bَ b‫ض‬
‫ا ٍء‬bb‫ت ِب َم‬ ْ ‫و َت َمضْ َم‬bْ b‫ْت َل‬ َ ‫ « َأ َرَأي‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫صلى هللا علي‬- ِ ‫صاِئ ٌم َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ت َوَأ َنا‬ ُ ‫َعظِ يما ً َقب َّْل‬
‫ « َففِي َم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫س ِب َذل َِك َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ َ ‫ت الَ َبْأ‬ُ ‫ قُ ْل‬.» ‫صاِئ ٌم‬ َ ‫ت‬ َ ‫» َوَأ ْن‬
“Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku
mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang
kepada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari
ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium
istriku padahal sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa
kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak
mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah,
َ ‫ت ُك ُّل َشيْ ء ِإاَّل ْال ِج َم‬
‫اع‬ َ ‫َما َي ِح ُّل لِلرَّ ج ُِل ِمنْ ِام َْرَأته‬
ْ ‫صاِئمًا ؟ َقا َل‬
“Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika
puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’
(bersetubuh)’.”[18]
– Bersambung insya Allah -

Yang Dibolehkan Ketika Puasa (2)

5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang
yang berpuasa.
‫ ِر ٌم‬bْ‫ َو مُح‬bْ‫ َوه‬، ‫لم – احْ َت َج َم‬bb‫َّاس – رضى هللا عنهما – َأنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا عليه وس‬ ٍ ‫ْن َعب‬ِ ‫َع ِن اب‬
َ ‫ َواحْ َت َج َم َوهْ َو‬.
‫صاِئ ٌم‬
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan
berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
‫ ِل‬bْ‫ ِإالَّ ِمنْ َأج‬. َ‫ا َل ال‬b‫اِئم َق‬ َ b‫س ب َْن َمالِكٍ – رضى هللا عنه – َأ ُك ْن ُت ْم َت ْك َر ُه‬
َّ ‫ َة ل‬b‫ون ْالح َِجا َم‬b
ِ b‫ِلص‬ َ ‫يُسْ َأ ُل َأ َن‬
ِ‫الضَّعْ ف‬
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak
menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata,
“Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no.
1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah,
Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa.
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama
salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang
meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian,
maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam,
aku tidak menganggap puasanya batal.”[1]
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya
orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang
telah di mansukh(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan
oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:
‫َّاِئم َو ْالح َِجا َم ِة‬ ْ
ِ ‫ فِى القُ ْب َل ِة لِلص‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ُّ‫ص ال َّن ِبى‬ َ ‫َر َّخ‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh)
bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan
berbekam.”[2]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa
batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama
sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu
Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan
(rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad
hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang
namanyarukhsoh (keringanan) pasti ada setelah
adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini
menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa
dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang
yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[3]
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al
Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur
adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan
batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus
(dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di
atas.”[4]
Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang
dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka
hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal
puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut
adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa
terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang
menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur
Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫ ِة َو ْالم َُو‬b‫ َن َهى َع ِن ْالح َِجا َم‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫لى هللا علي‬bb‫ص‬- ِ ‫َأنَّ َرسُو َل هَّللا‬
‫ا ًء َع َلى‬bb‫ا ِإ ْب َق‬bb‫ َل ِة َو َل ْم ي َُحرِّ ْم ُه َم‬b‫اص‬
‫َأصْ َح ِاب ِه‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan
puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih
berlaku bagi sahabatnya.”[5]
Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat
jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah.
Anas ditanya,
ِ‫ ِإالَّ ِمنْ َأجْ ِل الضَّعْ ف‬. َ‫َّاِئم َقا َل ال‬ ِ ‫ُون الح َِجا َم َة لِلص‬
ْ َ ‫َأ ُك ْن ُت ْم َت ْك َره‬
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa
menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama
kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa.
Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi
lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah
hukum donor darah karena keduanya sama-sama
mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]
6.
Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,
َ ‫الخ َّل َأ ْو ال َّشيْ َء َما َل ْم َي ْد ُخ ْل َح ْل َق ُه َوه َُو‬
‫صاِئ ٌم‬ َ ‫الَ َبْأ‬
َ ‫س َأنْ َي ُذ ْو َق‬
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi
cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke
kerongkongan.”[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan
dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan
puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”[8]
Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah
makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah
makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang
wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia
dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘.
‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari
Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,
‫ض َع ُه فِي َف ِم الص َِّبي‬ َ ‫مْض ُغ ُه ُث َّم ي ُْخ ِر ُج ُه ِمنْ فِ ْي ِه َي‬
َ ‫صاِئ ٌم َي‬ َ ‫َرَأ ْي ُت ُه َي‬
َ ‫مْض ُغ لِلص َِّبي َط َعامًا َوه َُو‬
“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -
sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah
kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[9]
7. Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal
ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian
dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan
dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah
haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada
kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita
sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada
satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung
sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus),
dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal).
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak
membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if(lemah). Hadits
tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun
selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut
juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi
lainnya.”[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ْ ‫ْأ‬
ِ ‫اَل َب س ِبال ُكحْ ِل لِلص‬
‫َّاِئم‬
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.”[12]
8. Mandi dan menyiramkan air di kepala
untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk
orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya adalah
dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat
mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mandi
yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan
tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai
larangan orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi.
Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan sanad
dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka
melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”[13]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin
‘Abdirrahman, beliau berkata,
‫اِئ ٌم م َِن‬b‫ص‬ َ ‫و‬bَ b‫ا َء َو ُه‬bb‫ ِه ْال َم‬b‫بُّ َع َلى َرْأ ِس‬b‫ص‬ ُ ‫َل َق ْد َرَأي‬
ْ b‫ ِب‬-‫لم‬bb‫ه وس‬bb‫صلى هللا علي‬- ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬
ُ ‫ال َعرْ ِج َي‬b
ِّ‫ش َأ ْو م َِن ْال َحر‬ ْ
ِ ‫ال َع َط‬.
“Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat
haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam
keadaan berpuasa. ”[14]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil
bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari
cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian
atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan
mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau
mubah.” [15]
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan
dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama
seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]
10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu
jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada
gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka
seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau
makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah,
puasanya jadi batal.[18]
11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam
keadaan lupa.
12. Muntah yang tidak sengaja.
Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal
puasa, namun masih dibolehkan ketika berpuasa. Semoga
bermanfaat.

Panduan Zakat (1): Keutamaan Menunaikan Zakat

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. 
Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa
mendapat penjagaan Allah-, insya Allah dalam beberapa serial ke
depan, kami dari pihak redaksi akan mengetengahkan bahasan
yang cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun
Islam, yaitu mengenai zakat. Seluk beluk zakat akan dipaparkan
satu per satu dimulai dari keutamaan zakat, syarat zakat, harta-
harta yang dizakati dan siapakah yang berhak menerima zakat,
juga beberapa perincian lainnya yang dianggap penting untuk
dibahas. Semoga para pembaca bisa bersabar menantikan serial
ini hingga tuntas dan moga bermanfaat.
Pengertian Zakat
ّ
Zakat –secara bahasa- berarti “‫والزيادة‬ ‫ ”ال ّنماء والرّ يع‬berarti bertambah
atau tumbuh. Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali bin
Abi Tholib,
‫العلم يزكو باإلنفاق‬
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
Zakat secara bahasa juga berarti “‫الح‬bbb‫”الص‬, ّ yang lebih baik.
Sebagaimana dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala,
‫َفَأ َر ْد َنا َأنْ ُي ْب ِد َل ُه َما َر ُّب ُه َما َخيْرً ا ِم ْن ُه َز َكا ًة‬
“Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi
mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]
Secara bahasa, zakat juga berarti “‫ير‬bbbbb‫ ”تطه‬mensucikan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
‫َق ْد َأ ْف َل َح َمنْ َز َّكا َها‬
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”
(QS. Asy Syams: 9). Zakat mensucikan seseorang dari sikap
bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
‫يه ْم ِب َها‬ِ ‫صدَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّك‬
َ ‫مْوال ِِه ْم‬ َ ‫ُخ ْذ ِمنْ َأ‬
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah:
103).[2]
Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada
harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan
ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun)
dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun
kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan.
Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki
harta dan mengeluarkan zakatnya.[3]
Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat
dapat disebut zakat karena pokok harta itu akan tumbuh dengan
bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang
mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang
yang berhak menerima zakat tersebut. Harta lain yang tersisa
juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]
Hukum Zakat
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan
waktu disyari’atkannya puasa Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan
suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa
diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an,
As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat ulama).
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat
dalam ayat,
َّ ‫صاَل َة َوَآ ُتوا‬
‫الز َكا َة‬ َّ ‫َوَأقِيمُوا ال‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini
berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai
berulang hingga 32 kali.[6]
Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui
haditsd dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫هَّللا‬ ‫هَّللا َأ‬ ‫َأ‬
‫ا ِء‬bb‫ َوِإي َت‬، ‫الَ ِة‬b‫الص‬
َّ ‫ام‬b ِ b‫ َوِإ َق‬، ِ ‫ْس َش َهادَ ِة نْ الَ ِإ َل َه ِإالَّ ُ َو نَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل‬ ٍ ‫ُبن َِى اِإلسْ الَ ُم َع َلى َخم‬
‫ان‬
َ ‫ض‬ َ ‫ص ْو ِم َر َم‬ َ ‫ َو‬، ‫ َو ْال َح ِّج‬، ‫الز َكا ِة‬ َّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan
Ramadhan.”[7]
Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,
ِ b‫ ُذ ِمنْ َأ ْغ ِن َي‬b‫ ُتْؤ َخ‬، ‫وال ِِه ْم‬b
‫اِئه ْم‬b َ b‫ َد َق ًة فِى َأ ْم‬b‫ص‬
َ ‫ض َع َلي ِْه ْم‬
َ ‫ر‬b َ b‫َأعْ لِ ْم ُه ْم َأنَّ هَّللا َ ا ْف َت‬b‫ك َف‬ َ ِ‫ذل‬bَ bِ‫ اعُوا ل‬b‫َفِإنْ ُه ْم َأ َط‬
ِ ‫َو ُت َر ُّد َع َلى ُف َق َر‬
‫اِئه ْم‬
“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan
Allah dan menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah
(zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian
disebar kembali oleh orang miskin di antara mereka.”[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu
kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita
bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya.
Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya.
Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib,
sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at
Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua:
(1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian
masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan
sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang
tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk
istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban
dan pemaafan.”[10]
Keutamaan Menunaikan Zakat
1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat
merupakan bagian dari rukun Islam yang lima. Apabila seseorang
melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal
ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang
amat agung dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar
keislamannya menjadi sempurna.
2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta
adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang
dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap
balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan.
Oleh karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari
kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan
menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang
mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan
zakatnya tersebut.
3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
‫ال يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ َألخِي ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه‬
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri.”[11] Sebagaimana kita mencintai jika ada saudara kita
meringankan kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka
untuk meringankan kesusahan saudara kita yang lain. Maka
pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman kita.
4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫ُور َها َف َقا َم َأعْ َر ِابىٌّ َف َقا َل لِ َمنْ ه‬
‫ِى َيا‬ ُ ُ ُ ُ
ِ ‫ِإنَّ فِى ْال َج َّن ِة ُغ َر ًفا ُت َرى ظهُو ُر َها ِمنْ بُطو ِن َها َوبُطو ُن َها ِمنْ ظه‬
‫صلَّى هَّلِل ِ ِباللَّي ِْل َوال َّناسُ ِن َيا ٌم‬ ِّ ‫الط َعا َم َوَأدَا َم ال‬
َ ‫ص َيا َم َو‬ َّ ‫اب ْال َكالَ َم َوَأ ْط َع َم‬َ ‫َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل لِ َمنْ َأ َط‬
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat
terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari luarnya.”
Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya, “Kepada
siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi
orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya lewat
zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di
saat manusia sedang terlelap tidur.”[12] Setiap kita tentu saja
ingin masuk surga.
5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu
kesatuan). Karena dengan zakat, berarti yang kaya menolong
yang miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang
yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu
saudara. Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫َوَأحْ سِ نْ َك َما َأحْ َس َن هَّللا ُ ِإ َلي‬
‫ْك‬
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu” (QS. Al Qoshosh: 77)
6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang
miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup mewah.
Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan
berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau.
Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen)
pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada
mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan
mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada
dalam kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan
timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.
7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan
perampasan. Karena dengan zakat, sebagian kebutuhan orang
yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal
ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya
atau berbuat jahat kepada mereka.
8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫اس‬ َ ‫صدَ َق ِت ِه َح َّتى ُي ْف‬
ِ ‫ص َل َبي َْن ال َّن‬ َ ‫ُك ُّل ام ِْرٍئ فِى ظِ ِّل‬
“Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya
hingga ia mendapatkan keputusan di tengah-tengah
manusia.”[13]
9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah.
Karena ia tidaklah menunaikan zakat sampai ia mengetahui
hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah
mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak
menerimanya serta hal-hal lain yang urgent diketahui.
10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari
harta yang dizakati. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang
artinya,
ٍ ‫صدَ َق ٌة ِمنْ َم‬
‫ال‬ َ ‫ت‬ ْ ‫ص‬
َ ‫َما َن َق‬
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[14]
11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َو َل ْم َي ْم َنعُوا َز َكا َة َأم َْوال ِِه ْم ِإالَّ ُم ِنعُوا ْال َق ْط َر م َِن ال َّس َما ِء َو َل ْوالَ ْال َبهَاِئ ُم َل ْم ُي ْم َطرُوا‬
“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-
harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan
hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang
ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.”[15]
12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
‫ب الرَّ بِّ َو َت ْد َف ُع مِي َت َة السُّو ِء‬
َ ‫ض‬َ ‫ِإنَّ الصَّدَ َق َة َل ُت ْطفُِئ َغ‬
“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari
keadaan mati yang jelek.”[16]
13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ‫َوالصَّدَ َق ُة ُت ْطفُِئ ْال َخطِ يَئ َة َك َما ي ُْطفُِئ ْال َما ُء ال َّن‬
‫ار‬
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat
memadamkan api.”[17] [18]
-bersambung insya Allah-

Panduan Zakat (2): Hukum Orang yang Enggan Menunaikan

Zakat

Pertama: Orang yang mengingkari kewajiban zakat.


Kita sudah pahami bahwa zakat adalah bagian dari rukun Islam.
Para ulama bersepakat (berijma’) bahwa siapa yang menentang
dan mengingkari kewajiban zakat, maka ia telah kafir dan murtad
dari Islam. Karena ini adalah perkara ma’lum minad diini bid
doruroh, yaitu sudah diketahui akan wajibnya. Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Barangsiapa mengingkari
kewajiban zakat di zaman ini, ia kafir berdasarkan kesepakatan
para ulama.”[1] Ibnu Hajar berkata, “Adapun hukum asal zakat
adalah wajib. Siapa yang menentang hukum zakat ini, ia kafir.”[2]
Kedua: Orang yang enggan menunaikan zakat dala rangka bakhil
dan pelit.
Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini
wajibnya, ia adalah orang fasik dan akan mendapatkan siksa
yang pedih di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
‫ا‬bb‫و َم يُحْ َمى َع َل ْي َه‬bْ b‫ َي‬ ‫ب َأل ٍِيم‬ ٍ ‫يل هَّللا ِ َف َب ِّشرْ ُه ْم ِب َع َذا‬
ِ ‫ض َة َواَل ُي ْنفِقُو َن َها فِي َس ِب‬ َّ ِ‫ب َو ْالف‬ َّ ‫ون‬
َ ‫الذ َه‬ َ ‫ِين َي ْك ِن ُز‬َ ‫َوالَّذ‬
ُ b‫ ُك ْم َف‬b‫ز ُت ْم َأِل ْنفُ ِس‬b
‫ا ُك ْن ُت ْم‬bb‫ذوقُوا َم‬b ُ ‫و ُب ُه ْم َو‬bb‫فِي َنار َج َه َّن َم َف ُت ْك َوى ِب َها ِج َبا ُه ُه ْم َو ُج ُن‬
ْ b‫ا َك َن‬bb‫ َذا َم‬b‫و ُر ُه ْم َه‬bb‫ظ ُه‬ ِ
َ ‫َت ْك ِن ُز‬
‫ون‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada
hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu
dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka
(lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang
kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At Taubah: 34-35).
Di dalam beberapa hadits disebutkan ancaman bagi orang yang
enggan menunaikan zakat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ َفاِئ ُح‬b ‫ص‬ َ ‫ ُه‬b‫ت َل‬ ْ ‫ف َِح‬b ‫ص‬ َ ‫ض ٍة الَ ُيَؤ ِّدي ِم ْن َها َح َّق َها ِإالَّ ِإ َذا َك‬
ُ ‫ ِة‬b‫و َم القِ َيا َم‬bْ b‫ان َي‬ َّ ِ‫ب َوالَ ف‬ ٍ ‫ب َذ َه‬ ِ ‫صا ِح‬ َ ْ‫َما ِمن‬
‫ ِه‬b‫َت ِإ َل ْي‬ ‫ُأ‬ ْ ‫ ُكلَّ َما َب ُرد‬،ُ‫ َفي ُْك َوى ِب َها َج ْب َه ُت ُه َو َج ْن ُب ُه َو َظ ْه ُره‬،‫ار َج َه َّن َم‬ ‫ُأ‬
ْ ‫ د‬b‫َت عِ ْي‬ ِ ‫ِي َع َل ْي َها فِي َن‬ َ ‫ َف حْ م‬،‫ار‬ ٍ ‫ِمنْ َن‬
ِ ‫ َوِإمَّا ِإ َلى ال َّن‬،ِ‫الج َّنة‬
‫ار‬ َ ‫ َف َي َرى َس ِب ْي َل ُه ِإمَّا ِإ َلى‬،ٍ‫ف َس َنة‬ َ ‫فِي َي ْو ٍم َكان ِم ْقدَا ُرهُ َخمْ سِ ي َْن َأ ْل‬
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak
mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan
disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan
dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan
punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin
akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari
yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia
melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”[3]
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku
datang menemui Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang
sedang berlindung di bawah naungan Ka’bah. Beliau bersabda,
‘Merekalah orang-orang yang paling merugi, demi Rabb Pemilik
Ka’bah’. Beliau mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar berkata,
“Aku pun menjadi sedih, aku menarik nafas lalu berkata, ‘Ini
merupakan peristiwa yang buruk pada diriku. Aku bertanya,
Siapakah mereka? Ayah dan ibuku menjadi tebusannya?’”
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫ك‬ ُ ‫ ُر‬b‫ت َف َي ْت‬
ُ ‫و‬bْ b‫ل َي ُم‬bٍ b‫ا ِمنْ َر ُج‬bb‫هللا َه َك َذا َو َه َك َذا َو َقلِ ْي ٌل َما ُه ْم َم‬ ِ ‫ ِإالَّ َمنْ َقا َل فِي عِ َبا ِد‬،ً‫مْواال‬ َ ‫اَأل ْك َثر ُْو َن َأ‬
ُ‫ َأه‬b‫ َمنُ َح َّتى َت َط‬b‫ونُ َوَأ ْس‬bْ b‫ا َت ُك‬bb‫ ِة َأعْ َظ ُم َم‬b‫و َم القِ َيا َم‬bْ b‫َغ َنمًا اَ ْو ِإ ِبالً َأ ْو َب َقرً ا الَ ُيَؤ ِّدي َز َكا َت َها ِإالَّ َجا َء ْت ُه َي‬
‫لى ُأ ْخ َرا َها‬َ ‫اس ُث َّم َتع ُْو ُد ُأ ْوالَ َها َع‬ِ ‫ َح َّتى َي ْقضِ َي هللاُ َبي َْن ال َّن‬،‫ َو َت ْنطِ ُح ُه ِبقُر ُْو ِن َها‬،‫ِبَأ ْظالَفِ َها‬
 “Orang-orang yang banyak hartanya! Kecuali yang
menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah begini dan
begini. Namun sangat sedikit mereka itu. Tidaklah seorang lelaki
mati lalu ia meninggalkan kambing atau unta atau sapi yang tidak
ia keluarkan zakatnya melainkan hewan-hewan itu akan datang
kepadanya pada hari kiamat dalam bentuk yang sangat besar
dan sangat gemuk lalu menginjaknya dengan kukunya dan
menanduknya dengan tanduknya. Hingga Allah memutuskan
perkara di antara manusia. Kemudian hewan yang paling depan
menginjaknya kembali, begitu pula hewan yang paling belakang
berlalu, begitulah seterusnya.”[4]

Panduan Zakat (3): Syarat-Syarat Zakat

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam masalah


kewajiban zakat. Syarat tersebut berkaitan
dengan muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dan berkaitan
dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki: (1) islam, dan (2)
merdeka.[1]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki harta dan
memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti
akan dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat
terkuat dan dipilih oleh mayoritas ulama.[2]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang dikeluarkan: (1) harta
tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut adalah harta
yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4)
telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun),
(5) harta tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok.[3]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah
Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
‫ِين َآ َم ُنوا ِم ْن ُك ْم َوَأ ْن َفقُوا َل ُه ْم َأجْ ٌر َك ِبي ٌر‬ َ ‫َآ ِم ُنوا ِباهَّلل ِ َو َرسُولِ ِه َوَأ ْن ِفقُوا ِممَّا َج َع َل ُك ْم مُسْ َت ْخ َلف‬
َ ‫ِين فِي ِه َفالَّذ‬
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al Qurthubi menjelaskan,
“Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta adalah
milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang
Allah ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan
Allah sebagaimana halnya seseorang yang mengeluarkan harta
orang lain dengan seizinnya, maka ia akan mendapatkan pahala
yang melimpah dan amat banyak.”[4]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah dikuasakan pada
manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap
sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini adalah harta
tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan
dengan hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas
pilihannya sendiri dan faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.
[5]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat? Pendapat yang tepat
dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
1. Piutang yang diharapkan bisa dilunasi karena diutangkan
pada orang yang mampu untuk mengembalikan. Piutang
seperti ini dikenai zakat, ditunaikan segera dengan harta
yang dimiliki oleh orang yang member utangan dan
dikeluarkan setiap haul (setiap tahun).
2. Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi karena
diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya.
Piutang seperti ini tidak dikenai zakat sampai piutang
tersebut dilunasi.[6]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut mendatangkan
keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri
berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama
membagi harta yang berkembang menjadi dua macam: (a) harta
yang berkembang secara hakiki (kuantitas), seperti harta
perdagangan dan hewan ternak hasil perkembangbiakan, (b)
harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
‫صدَ َق ٌة فِى َع ْب ِد ِه َوالَ َف َرسِ ِه‬َ ‫ْس َع َلى ْالمُسْ ل ِِم‬
َ ‫َلي‬
“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat pada budak dan
kudanya.”[7]
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang disimpan untuk
kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan,
dan rumah.[8]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai zakat.  Dari
Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ون َخم‬
‫ْس‬ َ ‫ َو َلي‬، ‫ َد َق ٌة‬b ‫ص‬
َ ‫ا ُد‬bb‫ْس فِي َم‬ َ ‫مْس َذ ْو ٍد‬
ِ ‫ون َخ‬
َ ‫ْس فِي َما ُد‬َ ‫ َو َلي‬، ‫صدَ َق ٌة‬ ٍ ‫مْس َأ َو‬
َ ‫اق‬ ِ ‫ون َخ‬ َ ‫ْس فِي َما ُد‬َ ‫َلي‬
‫صدَ َق ٌة‬ ٍ ‫َأ ْوس‬
َ ‫ُق‬
“Tidak zakat bagi perak di bawah 5 uqiyah[9], tidak ada zakat
bagi unta di bawah 5 ekor dan tidak ada zakat bagi tanaman di
bawah 5 wasaq[10].”[11]
Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ada ketentuan
nishob masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai masa satu tahun
atau 12 bulan Hijriyah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ال َز َكاةٌ َح َّتى َيحُو َل َع َل ْي ِه ْال َح ْو ُل‬ َ ‫َو َلي‬
ٍ ‫ْس فِى َم‬
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.”[12]
Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata uang dan hewan ternak.
Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat haul.
Zakat pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[13]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan pokok, itulah
sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau
berkecukupan. Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, maka seperti ini dikatakan tidak
mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan,
maka seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat
tinggal, dan pakaian. [14]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib dikenai zakat
adalah:
1. Atsman (emas, perak dan mata uang).
2. Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
3. Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan anggur).
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Kaum muslimin yang ingin menitipkan harta zakatnya, untuk
disalurkan kepada saudara-saudari kita yang termasuk dalam
delapan golongan yang berhak menerima zakat, dapat
menunaikannya melalui Layanan Penyaluran Harta Zakat Peduli
Muslim.
[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 11-12.
[2] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 12-13 dan Az Zakat, 64-66.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 13 dan Az Zakat, 63.
[4] Tafsir Al Qurthubi, 17: 238
[5] Lihat Az Zakat, 67.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
[7] HR. Bukhari no. 1464
[8] Lihat Az Zakat, 69-70.
[9] Satu uqiyah sama dengan 40 dirham. Jadi nishob perak
adalah 5 uqiyah x 40 dirham/uqiyah = 200 dirham (Lihat Syarh
‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376).
[10] Satu wasaq sama dengan 60 sho’. Jadi nishob zakat tanama
adalah 5 wasaq x 60 sho’/wasaq = 300 sho’ (Lihat Syarh
‘Umdatul Ahkam, Syaikh Sa’ad Asy Syatsri, 1: 376). Satu sho’
kira-kira sama dengan 3 kg. Sehingga nishob zakat tanaman =
300 sho’ x 3 kg/sho’ = 900 kg.
[11] HR. Bukhari no. 1405 dan Muslim no. 979.
[12] HR. Abu Daud no. 1573, Tirmidzi no. 631 dan Ibnu Majah no.
1792. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[13] Lihat Az Zakat, 70-71.
[14] Lihat Az Zakat, 71-72.

Tuntunan Ibadah Haji (1)

Sungguh Allah Ta’ala tidaklah menciptakan manusia dan jin


kecuali hanya untuk menyembah-Nya semata, sebagaimana
firman-Nya:
‫وما خلقت الجن و اإلنس إال ليعبدون‬
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku. (QS. Adz dzariyat:56)
kemudian untuk merealisasikan penyembahan tersebut
dibutuhkan suatu media yang dapat menjelaskan makna dan
hakikat penyembahan yang dikehendaki Allah Ta’ala, maka
dengan hikmah-Nya yang agung Dia mengutus para Rasul dalam
rangka membawa dan menyampaikan risalah dan syariat-Nya
kepada jin dan manusia. Dan risalah tersebut merupakan
petunjuk yang jelas dan hujjah atas para hamba-Nya. Dan
diantara kesempurnaan Islam Allah yang Maha Bijaksana
menetapkan ibadah Haji ke Baitullah Al Haram sebagai salah
satu dari syiar-syiar Islam yang agung. Bahkan ibadah haji
merupakan rukun yang kelima dari rukun-rukun Islam dan
merupakan salah satu sarana dan media bagi kaum muslimin
untuk bersatu, meningkatkan ketaqwaan dan meraih surga yang
telah dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa.Oleh karena itu
Islam dengan kesempurnaan syari’atnya telah menetapkan suatu
tatacara atau metode yang lengkap dan terperinci sehingga tidak
perlu adanya penambahan dan pengurangan dalam pelaksanaan
ibadah ini. Dan sebagai seorang muslim yang baik tentunya akan
berusaha dan bersemangat untuk mempelajarinya kemudian
mengamalkannya setelah Allah memberikan pertolongan,
kemudahan dan kemampuan baginya untuk menunaikan ibadah
yang mulia ini.
Dari sinilah penulis berusaha untuk memberikan apa yang
Allah Ta’ala karuniakan dari hal-hal yang berhubungan dengan
ibadah yang mulia ini, sebuah ibadah yang selalu diharap-harap
dan dicita-citakan kaum muslimin yang berpegang teguh dengan
agamanya, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat pula memperbaiki kesalahan-kesalahan yang banyak
dilakukan sebagian para jama’ah haji serta dapat dijadikan
sebagai petunjuk bagi mereka yang akan menunaikannya dan
mudah-mudahan Allah Ta’ala menjadikan amalam yang kecil ini
sebagai bekal bagi penulis ketika menghadap Rabb-Nya di hari
yang tidak ada pertolongan dan belas kasihan kecuali dari-Nya
yang Maha Kuasa lagi Maha Adil dan Maha Bijaksana.
1. Definisi Haji
a. Secara Etimologi
Kata haji berasal dari bahasa arab yang bermakna tujuan dan
dapat dibaca dengan dua lafazh Al-hajj dan Al-Hijj [1]
b. Secara terminologi syariat
Haji menurut istilah syar’i adalah beribadah kepada Allah dengan
melaksanakan manasik yang telah ditetapkan dalam sunnah
RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam [2] dan ada pula ulama
yang berpendapat: “Haji adalah bepergian dengan tujuan ke
tempat tertentu pada waktu yang tertentu untuk melaksanakan
suatu amalan yang tertentu pula[3]. Akan tetapi definisi ini kurang
pas karena haji lebih khusus dari apa yang didefinisikan di sini,
karena seharusnya ditambah dengan satu ikatan yaitu ibadah,
maka apa yang ada pada definisi pertama lebih sempurna dan
menyeluruh.
2. Dalil Pensyari’atannya
Haji merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan dia
merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan bagi
seorang muslim yang mampu, sebagaimana telah digariskan dan
ditetapkan dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.
Adapun dalil dari Al-Qur’an:
‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيالً ومن كفر فإن هللا غني عن العـالمين‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam”. (QS. Ali Imran, 97)
dan firman Allah Ta’ala
‫غ‬b‫تى يبل‬b‫كم ح‬b‫وا رؤوس‬b‫دي وال تحلق‬b‫ر من اله‬b‫ا استيس‬b‫وأتموا الحج والعمرة هلل فإن أحصرتم فم‬
‫إذا‬bb‫ك ف‬bb‫الهدي محلة فمن كان منكم مريضًا أو به ًأذى من رأسه ففدية من صيام أو صدقة أو نس‬
‫ام فى الحج‬bb‫ة أي‬bb‫أمنتم فمن تمتع بالعمرة إلى الحج فما استيسر من الهدي فمن لم يجد فصيام ثالث‬
‫وا هللا‬bb‫رام واتق‬bb‫جد الح‬bb‫رى المس‬bb‫ه حاض‬bb‫وسبعة إذا رجعتم تلك عشرة كاملة ذلك لمن لم يكن أهل‬
‫واعلموا أن هللا شديد العقاب‬
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika
kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu
mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat
penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada
gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajiblah
atasnya berfidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau
berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa
yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan
Haji), (wajiblah dia menyembelih) kurban yang mudah didapat.
Tetapi jika dia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak
mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh
(hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah)
bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota
Mekkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketauhilah bahwa
Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Baqarah,196)
Dalil dari As-Sunnah:
Hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu
Hurairah Radhiallahu’anhu:
‫ خطبنا رسول هللا‬ ‫فقال يأأيها الناس قد فرض هللا عليكم الحج فحجوا‬
“Telah berkhutbah Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam kepada kami dan berkata: “Wahai sekalian manusia!
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan atas kalian untuk
berhaji, maka berhajilah kalian.” (HR. Muslim)
Dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‫اء‬b‫الة وإيت‬b‫ام الص‬b‫ول هللا وإق‬bb‫ ًدا رس‬b‫ه إال هللا وأن محم‬bb‫هادة أن ال إل‬bb‫الم على خمس ش‬b‫ني اإلس‬bb‫ب‬
‫الزكاة وحج البيت وصوم رمضان‬
“Islam itu didrikan atas lima perkara yaitu persaksian bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah (dengan benar) kecuali
Allah dan bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan
zakat,berhaji ke baitullah dan puasa di bulan ramadhan.” (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Dalil ijma’ (konsesus) para Ulama’
Para ulama dan kaum muslimin dari zaman
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sampai sekarang telah
bersepakat bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib.[4]
3. Syarat-syarat haji
Haji diwajibkan atas manusia dengan lima syarat:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Memiliki kemampuan perbekalan dan kendaraan
5. Merdeka
4. Miqat-miqat untuk haji
Miqat adalah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh
syari’at untuk suatu ibadah baik tempat atau waktu.[5] Dan haji
memiliki dua miqat yaitu miqat zamani dan makani.
Adapun miqat zamani dimulai dari malam pertama bulan syawal
menurut kosensus para ulama, akan tetapi para ulama berbeda
pendapat tentang kapan berakhirnya bulan haji. Perbedaan ini
terbagi menjadi tiga pendapat yang masyhur yaitu:
1.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari dari Dzul Hijjah dan ini
merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan
Ibnu Zubair dan ini yang dipilih madzhab hanbali.
2.Syawal, Dzul Qa’dah, dan 9 hari dari Dzul Hijjah dan ini yang
dipilih madzhab Syafi’i.
3.Syawal, Dzul Qa’dah, dan Dzul Hijjah ini yang dipilih madzhab
malikiyah
Dan yang rajih -wallahu’alam- bahwa bulan Dzul Hijjah
seluruhnya termasuk bulan haji dengan dalil firman Allah Ta’ala:
‫الحج أشهر معلومات فمن فرض فيهن الحج فال رفث وال فسوق وال جدال فى الحج‬
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.
Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat kefasikan,
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS
Al-Baqarah, 197)
dan firman Allah Ta’ala :
‫وأذان من هللا ورسوله إلى الناس يوم الحج األكبر أن هللا بريء من المشركين‬
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada
manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyirikin.” (QS At-
Taubah 9:3)
Dalam surat Al-Baqarah ini Allah Ta’ala berfirman (‫هر‬bb‫ )أش‬dan
bukan dua bulan sepuluh hari atau dua bulan sembilan hari.
padahal (‫ )أشهر‬jamak dari (‫ )شهر‬dan hal itu menunjukkan paling
sedikit tiga bulan dan pada asalnya kata (‫ )شهر‬masuk padanya
satu bulan penuh dan tidak dirubah asal ini kecuali dengan dalil
syar’i [6] maka tidak boleh berhaji sebelum bulan syawal dan
tidak boleh mengakhirkan suatu amalan haji setelah bulan
Dzulhijjah.
Sebagai contoh seorang yang berhaji pada bulan Ramadhan
maka ihramnya tersebut tidak dianggap sah untuk haji akan tetapi
berubah menjadi ihram untuk Umrah.
Adapun miqat makani, maka berbeda-beda tempatnya
disesuaikan dengan negeri dan kota yang akan menjadi tempat
awal para haji untuk melakukan ibadah hajinya. Hal ini telah
dijelaskan oleh Rasullulah Shallallahu’alaihi
Wasallam sebagaimana dalam hadits Ibnu
Abbas Radhiallahu’anhu:
‫ وقت رسول هللا‬ ‫ل اليمن‬bb‫رن وأله‬bb‫ألهل المدينة ذا الحليفة وألهل الشام الجحفة وألهل النجد ق‬
‫ان‬bb‫رة فمن ك‬bb‫د الحج و العم‬bb‫ان يري‬bb‫ير أهلهن ممن ك‬bb‫ال هن لهن لمن أتى عليهن من غ‬bb‫يلملم ق‬
‫دونهن مهله من أهله وكذلك أهل مكة يهلون منها‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah menentukan miqat
bagi ahli Madinah Dzul Hulaifah * dan bagi ahli Syam Al-
Juhfah dan bagi ahli NajdQarn dan bagi ahli
Yamam Yalamlam lalu bersabda: “mereka (miqat-miqat) tersebut
adalah untuk mereka dan untuk orang-orang yang mendatangi
mereka selain penduduknya bagi orang yang ingin haji dan
umrah. Dan orang yang bertempat tinggal sebelum miqat-miqat
tersebut, maka tempat mereka dari ahlinya, dan demikian pula
dari penduduk Makkah berhaji (ihlal) dari tempatnya
Makkah.” (H.R Bukhari 2/165, 166; dan 3/21, Muslim 2/838-839,
Abu Dawud 1/403, Nasa’i 5/94,95,96)
Dari hadits diatas Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
menerangkan bahwa miqat ahli Madinah adalah Dzul
Hulaifah yang dikenal sekarang dengan nama Abyar Ali yaitu
sebuah tempat di Wadi Aqiq yang berjarak enam mil atau 5 2/3 mil
kurang seratus hasta[7] yang setara kurang lebih 11 km. dari
Madinah. Dan dari makkah sejauh sepuluh marhalah atau kurang
lebih 430 Km dan sebagian ulama mengatakan 435 Km.
Dan miqat penduduk Syam adalah al-Juhfah yaitu suatu tempat
yang sejajar dengan Raabigh dan dia berada dekat laut, jarak
antara Raabigh (tempat yang sejajar dengannya) dengan
makkah adalah lima marhalah atau sekitar 201 Km, dan berkata
sebagian ulama sekitar 180 km. Akan tetapi karena banyaknya
wabah di al-Juhfah, maka para jamaah haji dari Syam
mengambil Raabigh sebagai ganti al-Juhfah. Miqat ini juga
sebagai miqat penduduk Mesir, Maghrib, dan Afrika Selatan
seperti Somalia jika datang melalui jalur laut atau darat dan
berlabuh di Raabigh, akan tetapi kalau mereka datang
melaluiYalamlam maka miqat mereka adalah miqat ahli Yaman
yaitu Yalamlam. Yalamlam yang dikenal sekarang dengan
daerah As Sa’diyah adalah bukit yang memisahkan Tuhamah
dengan As-Saahil, berjarak dua marhalah atau sekitar 80 km dari
Makkah, dan berkata sebagian ulama sekitar 92 km.
Demikian pula miqat penduduk Najd adalah Qarnul
Manazil atau Qarnul Tsa’alib, yaitu sebuah bukit yang ada di
antara Najd dan Hijaz. Jaraknya dari makkah dua marhalah atau
sekitar 80 Km. dan berkata sebagian ulama sekitar 75
Km* demikian juga ahli Thaif dan Tuhamah Najd serta sekitarnya.
[8]Kemudian ada satu miqat lagi yaitu Dzatu ‘Irq yaitu tempat
yang sejajar denagn Qarnul Manazil yang terletak antara desa
al-Mudhiq dan Aqiq Ath-Thaif, jaraknya dari Makkah dua
marhalah atau sekitar 80 km. Dan miqat ini juga untuk penduduk
Iraq. Akan tetapi terjadi perselisihan dari para ulama tetang
penetapan Dzatul ‘Irq sebagai miqat, apakah didasarkan dari
perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam atau dari perintah Umar
bin KhaththabRadhiallahu’anhu?
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa Nabilah yang
menetapkannya sebagaimana dalan hadits Abu Dawud dan An-
Nasa’i dari ‘Aisyah beliau berkata:
‫أن رسول هللا وقت ألهل العراق ذات العرق‬
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
menentukan miqat ahli ‘Iraq adalah Dzatul ‘irq” (H.R Abu Dawud
no. 1739 dan an-Nasa’i 2/6)[9]
b. Pendapat kedua mengatakan bahwa Umar bin
Khaththab Radhiallahu’anhu yang menetapkannya. Sebagaimana
dalam Shahih Bukhari ketika penduduk Bashrah dan Kufah
mengadu kepada Umar tentang jauhnya mereka dari Qarnul
Manazil, bekata Umar Radhiallahu’anhu:
‫فانظروا حذوها من طريقكم‬
“Lihatlah tempat yang sejajar dengannya (Qarnul Mnazil) dari
jalan kalian.” Lalu Umar menetapkan Dzatul ‘Irq (H.R Bukhary
1/388) dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Yang rajih –wallahu’alam- bahwa miqat tersebut telah ditetapkan
oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan penetapan Umar
tersebut bersesuian dengan apa yang telah ditetapkan
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan ini adalah pendapatnya
Ibnu Qudamah.
Miqat-miqat diatas diperuntukkan bagi ahli tempat-tempat
tersebut dan orang-orang yang lewat melaluinya dari selain
ahlinya, sehingga setiap orang yang melewati miqat yang bukan
miqatnya maka wajib baginya untuk berihram darinya. Misalnya:
orang Indonesia yang melewati Madinah dan tinggal disana satu
atau dua hari kemudian berangkat umrah atau haji maka wajib
baginya untuk berihram dari Dzul Hulaifah atau ahli Najd atau
ahli Yaman yang melewati Madinah tidak perlu pergi ke Qarnul
Manazil atau Yalamlam akan tetapi diberi kemudahan oleh
Allah Ta’ala untuk berihram dari Dzul Hulaifah.kecuali ahli Syam
yang melewati madinah dan Al-Juhfah, maka ada perselisihan
para ulama tentang kebolehan mereka menunda ihramnya
sampai ke Al-Juhfah,
a. pendapat pertama membolehkan bagi mereka untuk
mengakhirkan ihram mereka sampai Al-Juhfah, dan ini
merupakan pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik. Mereka
berdalil bahwa seorang yang melewati dua miqat wajib baginya
berihram dari salah satu dari keduanya. Satu dari keduanya
adalah cabang, yaitu Dzul Hulaifah, dan yang kedua adalah asal,
yaitu Al-Juhfah ,maka boleh mendahulukan asal dari cabangnya.
dan pendapat ini yang dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sebagaimana dinukilkan Al-Ba’ly dalam Ikhtiyarat al-
Fiqhiyah halaman 117.
b. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa mereka wajib
berihram dari Dzul Hulaifah karena zhahir hadits dari Ibnu Abbas
diatas, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Dan ini adalah
pendapat yang lebih hati-hati kerena keumuman sabda
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
‫ولمن أتى عليهن من غير أهلهن‬
“Dan bagi yang datang melaluinya dari selain ahlinya” (Hadits
Ibnu Abbas).
Adapun mereka yang berada di antara miqat dengan makkah
maka wajib berihram dari tempat dia tetapkan niatnya untuk
berhaji atau berumrah. Maka hal ini menguatkan penduduk yang
berada di antara Dzul Hulaifah dan Al-Juhfah seperti penduduk
ar-Rauha’, penduduk Badr dan Abyar al-Maasy untuk berihram
dari tempat mereka. Demikian juga kalau ada seorang penduduk
madinah kemudian bepergian ke Jeddah dan tinggal di sana satu
atau dua hari kemudian ingin berumrah atau berhaji maka
miqatnya adalah Jeddah kecuali kalau asal tujuan bepergiannya
adalah umrah atau haji maka hajatnya tersebut ikut asal
tujuannya sehingga dia ihram dari miqatnya yaitu Dzul Hulaifah.
contohnya: Seorang mengatakan saya ingin pergi umrah dan
saya akan turun dulu di Jeddah sebelum umrah untuk membeli
barang-barang yang saya butuhkan, maka disini kepergiannya ke
Jeddah adalah ikut kepada asal tujuannya yaitu umrah. Akan
tetapi kalau asal tujuannya adalah pergi ke Jeddah dikarenakan
ada kebutuhan yang sangat penting kemudian berkata: “Kalau
dikendaki Alah dan saya mempunyai kesempatan, saya akan
berumrah, maka disini umrah ikut kepada asal tujuan yaitu ke
Jeddah. Maka dia berihram di Jeddah dan jika dia memilliki dua
tujuan yang sama kuat maka diambil tujuan melaksanakan umrah
sebagai asal. Demikian juga bagi ahli Makkah, mereka berihram
dari Makkah untuk berhaji. Sedangkan untuk umrah, maka
mereka harus keluar tanah haram Makkah yang paling dekat.
Dengan dalil hadits Ibnu Abbas yang terdahulu dan hadits Aisyah
ketika beliau berumrah setelah haji maka
Rasululllah Shallallahu’alaihi Wasallam menyuruh Abdurrahman
bin Abi Bakar untuk mengantarnya ke Tan’im, sebagaimana
dalam hadits Abdurrahman, beliau berkata:
‫ أمرني رسول هللا‬ )‫أن أردف عائشة وأعمرها من التنعم (متفق عليه‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah memerintahkanku
untuk menemani Aisyah dan (Aisyah) berihram untuk umrah dari
Tan’im “(H.R Mutafaq ‘alaih)
Demikianlah miqatnya ahli Makkah baik dia penduduk asli
maupun pendatang berihram dari rumah-rumah mereka jika akan
berhaji dan keluar ke tempat yang halal (di luar tanah haram
Makkah) yang terdekat jika akan berumroh. Kemudan bagi
mereka yang tidak melewati miqat-miqat tersebut, maka wajib
bagi mereka untuk berihram dari tempat yang sejajar dengan
miqat yang terdekat dari jalan yang dilewati tersebut.
Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa mansia itu tidak lepas
dari 3 keadaan:
1. Dia berada di dalam batas haram Makkah, ini dinamakan al-
Harami atau al-Makki maka dia berikhram untuk haji dari tempat
tinggalnya, dan kalau berumrah maka harus keluar dari haram
dan berihram darinya.
2. Berada di luar haram Makkah dan berada sebelum Miqat maka
mereka berihram dari tempatnya untuk berhaji dan berumrah.
3. Berada di luar Miqat maka mereka memiliki dua keadaan:
a. Melewati Miqat, maka wajib berihram dari miqat
b. Tidak melewati miqat kalau ke Makkah, maka mereka berihram
dari tempat yang sejajar atau memilih miqat yang terdekat
dengannya.
Adapun seorang yang pergi ke Makkah tidak lepas dari dua
keadaan:
1. Pergi ke Makkah dengan niat haji atau umrah atau keduanya
bersama-sama maka tidak boleh dia masuk makkah kecuali
dalam keadaan berihram.
2. Pergi ke Makkah dengan niat tidak berhaji dan umrah, maka
dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua:
a. Orang yang melewati miqat dan ingin masuk makkah wajib
berihram baik ingin haji dan umrah ataupun yang lainnya, ini
merupaka madzhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Berdalil dengan atsar Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu:
‫إنه ال يدخل إال من كان محرمًا‬
“Sesungguhnya tidaklah masuk (ke haram makkah) kecuali
dalam keadaan berihram”.
Mereka berkata: “Ini menunjukkan bahwa seorang mukalaf kalau
melewati miqat dengan niat masuk makkah maka tidak boleh
memasukinya kecuali dalam berihram. Demikian juga Allah telah
mengharamkan makkah dan keharaman tersebut mengharuskan
masuknya dengan cara yang khusus dan kalau tidak maka sama
saja dengan yang lainnya.”
b. Boleh bagi yang melewati miqat dan tidak berniat haji atau
umrah untuk tidak berihram dan ini adalah madzhab Syafi’i.
Mereka berdalil sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
)‫لمن أراد الحج و العمرة (متفق عليه‬
“Bagi siapa saja yang ingin melaksanakan haji dan
umrah” (Mutafaqun ‘Alaih)
Di sini Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam membatasi perintah
berihram kepada orang yang berniat melaksanakan haji dan
umrah, hal ini menunjukkan bahwa selainnya dibolehkan tidak
berihram jika ingin masuk makkah
Berhujjah dengan masuknya Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam ke Makkah pada fathul Makkah dalam keadaan
memakai topi baja pelindung kepala (al-Mighfar)
Dan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat kedua yang
membolehkan karena asalnya adalah tidak diwajibkan untuk
berihram sampai ada dalil yang menunjukkannya. Dan ini adalah
pendapat yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah dan Bahaudin al-
Maqdisy serta Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-
Syanqithy.
Dari pembahasan yang lalu menunjukkan wajibnya berihram dari
miqat-miqat yang telah ditentukan oleh syar’i, lalu bagi mereka
yang melewat miqat dan dia berniat haji atau umrah dan belum
berihram maka dia tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Melewati miqat dan belum berihram, lantas dia
melampaui miqat beberapa jauh, kemudian kembali ke miqat
untuk berihram darinya, maka hukumnya adalah boleh dan tidak
terkena apa-apa, karena dia telah berihram dari tempat yang
Allah perintahkan untuk berhram.
2. Melewati miqat, walaupun hanya satu kilometer, lalu berihram
dan dia tidak kembali ke miqat, masalah ini ada dua gambaran:
a.Dia memiliki udzur syar’i sehingga tidak mampu untuk kembali,
seperti takut kehilangan haji kalau kembali dan lain sebagainya.
b.Tidak memiliki udzur syar’i.
maka hukum kedua-duanya adalah sama, yaitu wajib
menyembelih sembelihan, karena dia telah kehilangan kewajiban
haji, yaitu berihram dari miqat.
3. Melewati miqat dan melampauinya, kemudian berihram setelah
melampaui miqat, lalu kembali dan berihram lagi untuk kedua kali
dari miqat maka dalam hal ini ada lima pendapat ulama:
a. Wajib atasnya dam (sembelihan) baik kembali atau tidak
kembali, ini pendapat malikiyah dan hanabillah.
b. Tidak ada dam selama belum melaksanakan satu amalan-
amalan haji atau umrah, ini madzhab Syafi’iyah
c. Kalau kembali ke miqat dalam keadaan bertalbiyah maka tidak
ada dam (sembelihan) dan kalau kembali tidak bertalbiyah maka
wajib atasnya dam.
d. Rusak hajinya atau umrahnya dan wajib mengulangi ihramdari
miqat, ini pendapat Sa’id bin Jubair.
e. Tidak apa-apa, ini pendapat al-Hasan al-Bashry, al-Auza’i, dan
ats-Tsaury.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh
Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syanqithy
dalam Mudzakirat Syarh ‘Umdah hal. 23.
5. Jenis-jenis Manasik Haji
Jenis-jenis manasik haji yang telah ditetapkan syariat ada
tiga,yaitu:
1. Ifrad
Ifrad merupakan salah satu dari jenis manasik haji yang hanya
berihram untuk haji tanpa dibarengi dengan umroh,maka seorang
yang memilih jenis manasik ini harus berniat untuk haji saja,
kemudian pergi ke Makkah dan ber-thawaf qudum, apabila telah
ber-thawaf maka dia tetap berpakaian ihram dan dalam keadaan
muhrim sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul hijah dan tidak
dibebani hadyu (sembelihan),serta tidak ber-Sa’i kecuali sekali
dan umrohnya dapat dilakukan pada perjalanan yang lainnya.
Diantara bentuk-bentuk Ifrad adalah:
a. Berumroh sebelum bulan-bulan haji dan tinggal menetap di
Makkah sampai haji.
b. Berumroh sebelum bulan-bulan haji, kemudian pulang
ketempat tinggalnya dan setelah itu kembali ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji.
2. Tamattu’
Tamatu’ adalah berihram untuk umrah di bulan-bulan haji setelah
itu berihram untuk haji pada tahun itu juga. Dalam hal ini
diwajibkan baginya untuk menyembelih hadyu (sembelihan). Oleh
karena itu setelah thawaf dan sa’i dia mencukur rambut dan pada
tanggal 8 Dzul Hijjah berihram untuk haji.
3. Qiran
Qiran adalah berihram untuk umrah dan haji sekaligus, dan
membawa hadyu (sembelhan) sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan qiran ini memiliki tiga
bentuk:
a. Berihram untuk haji dan umrah bersamaan, dengan
menyatakan “‫ر ًة وحجً ا‬bbbbbbbbb‫ك عم‬bbbbbbbbb‫ ” لبي‬dengan dalil bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam didatangi Jibril u dan berkata:
‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi
hajjatin” (H.R Bukhari)
b. Berihram untuk umrah saja pertama kali kemudian
memasukkan haji atasnya sebelum memulai thawaf. Dengan dalil
hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ketika beliau berihram untuk
umrah kemudian haidh di Saraf. Lalu Rasulullah memerintahkan
beliau untuk berihlal (ihram) untuk haji dan perintah tersebut
bukan merupakan pembatalan umrah dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits tersebut:
‫سعيك طوافك لحجك وعمرتك‬
“Cukuplah bagi kamu thawafmu untuk haji dan umrahmu” (H.R
Muslim no. 2925/132)
c. Berihram untuk haji kemudan memasukkan umrah atasnya.
Tentang kebolehan hal ini para ulama ada dua pendapat:
Boleh dengan dalil hadits ‘Aisyah:
‫ أهل رسول هللا‬ ‫بالحج‬
“Rasululloh berihlal (ihrom) dengan haji”.
dan hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhu:
‫صل في هذا الوادى المبارك و قل عمرة فى حجة‬
“Shalatlah di wadi yang diberkahi ini dan katakan “‘Umrah fi
hajjatin” (H.R Bukhari)
‫دخل العمرة فى الحج إلى يوم القيامة‬
“telah masuk umroh kedalam haji sampa hari kiamat”.
Dalil-dalil ini menunjukkan kebolehan memasukkan umrah
kedalam haji.
Tidak boleh dan ini adalah pendapat yang masyhur dalam
madzhab hanbali. Berkata Syaikhul Islam: “Dan seandainya dia
berihram dengan haji kemudian memasukkan umrah ke
dalamnya, maka tidak boleh menurut pendapat yang rajih dan
sebaliknya dengan kesepakatan para ulama” [10]
Kemudian berselisih para ulama dari ketiga macam/jenis manasik
ini dan dapat kita simpulkan menjadi tiga pendapat:
1. Tamattu’ lebih utama dan ini merupakan pendapat Ibnu Umar,
Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, ‘Aisyah, Alhasan, ‘Atha’, Thawus,
Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qarim, Saalim, Ikrimah, Ahmad bin
Hanbal, dan madzhab ahli zhahir serta merupakan pendapat
yang masyhur dari madzhab hanbali dan satu daru dua pendapat
Imam Syafi’i.
2. Qiran lebih utama dan ini merupakan pendapat madzhab
Hanafi dan Tsaury berhujjah dengan:
Hadits Anas, beliau berkata:
‫ سمعت رسول هللا‬ )‫ لبيك عمرة و حجً ا (متفق عليه‬،‫ لبيك عمرة و حجً ا‬:‫أهل بها جمي ًعا‬
“Aku mendengar Rasulullah berihlal dengan keduanya: ‘Labbaik
Umrotan wa hajjan’“ (Mutafaqun Alaih)
Hadits Adh-Dhabi bin Ma’bad ketika talbiyah dengan keduanya,
kemudian datang umar lalu dia menanyakannya,maka beliau
berkata: “Kamu telah mendapatkan sunah Nabimu” (HR Abu
Dawud no. 1798; Ibnu Majah no. 2970 ddengan sanad shahih)
Perbuatan Ali dan perkataannya kepada Utsman ketika
menegurnya:
)‫سمعت النبي يلبي بها جميعا فلم أكن أدع قول رسول هللا لقولك (رواه البيهقي‬
“Aku mendengar Rasulullah bertalbiyyah dengan keduanya
sekalgus, maka aku tidak akan meninggallkan ucapan Rasulullah
karena pendapatmu “(H.R Baihaqi)
Karena pada Qiran ada pembawaan hadyu, maka lebih utama
dari yang tidak membawa.
3. Ifrad lebih utama dan ini merupakan pendapat Imam Malik dan
yang terkenal dari Madzhab Syafi’i serta pendapat Umar, Utsman,
Ibnu Umar, Jabir dan ‘Aisyah; dengan hujjah:
 Hadits Aisyah dan Jabir yang menjelaskan bahwa
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan haji ifrad
 Karena haji tersebut sempurna tanpa membutuhkan penguat,
maka yang tidak membutuhkan lebih utama dari yang
membutuhkan.
 Amalan Khulafaur Rasyidin
Sedangkan yang rajih –wallahu’alam- adalah pendapat pertama
dengan dalil:
a. Hadits Ibnu Abbas, beliau berkata: ketika Rasulullah sampai di
Dzi Thuwa dan menginap disana , lalu setelah shalat subuh
beliau berkata:
‫من شاء أن يجعلهاعمرة فلييجعلها عمرة‬
“Barang siapa yang ingin menjadikannya umrah maka jadikanlah
dia sebagai umrah” (Mutafaqun Alaihi)
b. Hadits Aisyah:
‫ خرجنل مع رسول هللا‬ ‫ فلما قدما مكة تطوفنا بالبيت فأمر رسول هللا‬،‫ وال أريد إال أنه الحج‬
‫دي‬b‫قن الله‬b‫اؤه لم يس‬b‫دي و ن‬b‫اق اله‬b‫ل من لم يكن س‬b‫الت فح‬b‫ ق‬،‫ل‬b‫ديي أن يح‬b‫اق اله‬b‫ما لم يكن س‬
‫فاحللنا‬
“Kami telah berangkat bersama Rasulullah dan tidaklah kami
melihat kecuali itu adalah haji, ketika kami tiba di makkah kami
thawaf di ka’bah, lalu Rasulullah memerintahkan orang yang tidak
membawa hadyu (senmbelihan) untuk bertahalul, berkata Aisyah:
maka bertahalullah orang yang tidak membawa hadyu dan istri-
istri beliatidak membawa hadyu maka mereka bertahalul
” (Mutafaqun ‘Alaih)
c. Juga terdapat riwayat Jabir dan Abu Musa bahwa Rasulullah
memerintahkan sahabat-sahabatnya ketika selesai thawaf di
ka’bah untuk tahalul dan menjadikannya sebagai umrah.
Maka perintah pindah dari Ifrad dan Qiran kepada tamatu’
menujukkan bahwa tamattu’ lebih utama. Karena, tidaklah beliau
memindahkan satu hal kecuali kepada yang lebih utama.
d. Sabda Raslullah Shallallahu’alaihi Wasallam
‫لو استقبلت من أمري ما استدبرت ما سقت الهدي و لجملتها عمرة‬
“Seandainya saya dapat mengulangi apa yang telah lalu dari
amalan saya maka saya tidak akan membawa sembelihan dan
menjadikannya Umrah”.(H.R Muslim Ahmad no. 6/175)
e. Kemarahan dan kekesalan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam kepada para sahabatnya yang masih bimbang dengan
anjuran beliau agar mereka menjadikan haji mereka umrah
sebagaimana hadits Aisyah:
‫عرت أني‬bb‫ا ش‬bb‫ال أوم‬bb‫ من اغضبا يا رسول هللا اخله هللا النار؟ ق‬:‫فدخل علي و هو غضبان فقلت‬
‫أمرت الناس بأمر فإذا هم يترددون‬
“Maka masuklah Ali dan beliau dalam keadaan marah, lalu aku
berkata: “Siapa yang membuatmu marah wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Apakah kamu tidak tahu, aku memerintahkan
orang-orang dengan suatu perintah , lalu mereka bimbang. (ragu
dalam melaksanakannya) “(H.R Muslim)
Maka jelaslah kemarahan beliau ini menunjukan satu keutamaan
yang lebih dari yang lainnya, Wallahu’alam.
Sedangkan Syaikul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa
hukumnya disesuaikan dengan keadaan, kalau dia
membawa hadyu (sembelihan) makaqiran lebih utama, dan
apabila dia telah berumrah sebelum bulan-bulan haji
maka ifrad lebih utama dan
selainnya tama Radhiallahu’anhutu’ lebih utama. Beliau berkata:
“Dan yang rajih dalam hal ini adalah hukumnya berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan orang yang berhaji, kalau dia
bepergian dengan satu perjalanan umrah dan satu perjalanan
untuk haji atau bepergian ke Makkah sebelum bulan-bulan haji
dan berumrah kemudian tinggal menetap disana sampai haji,
maka dalam keadaan ini ifrad lebih utama baginya, dengan
kesepakatan imam yang empat. Dan apabila dia mengerjakan
apa yang telah dilakukan kebanyakan orang, yaitu
mengabungkan antara umrah dan haji dalam satu kali perjalanan
dan masuk Makkah dalam bulan-bulan haji, maka dalam keadaan
ini qiran lebih utama baginya kalau dia membawa hadyu, dan
kalau dia tidak membawa hadyu maka, ber-tahallul dari ihram
untuk umrah lebih utama”[11]

Tuntunan Ibadah Haji (2)

Hal-hal yang diwajibkan dalam haji


1.Ihram dari Miqot
Kata ihram diambil dari bahasa arab dari Al-haram yang
bermakna terlarang atau tercegah, dinamakan hal tersebut
dengan ihram karena seseorang dengan niatnya masuk kepada
kehormatan ibadah haji, maka dia dilarang berkata dan beramal
dengan hal-hal tertentu seperti jima’, menikah, berucap ucapan
kotor dan lain-sebagainya.Sehingga dapat diambil satu definisi
syar’i bahwa ihram adalah salah satu niat dari dua nusuk (yaitu
haji dan umrah) atau kedua-duanya secara bersamaan 1, dari sini
jelas terpahami sebagai suatu kesalahan apa yang telah
dipahami sebagian kaum muslimin bahwaihram adalah
berpakaian dengan kain ihram karena ihram adalah niat masuk
kedalam haji atau umrah, sedangkan berpakaian dengan kain
ihram hanya merupakan satu keharusan bagi seorang yang telah
berihram .
Dan melakukan ihram dari miqat merupakan satu kewajiban dari
hal-hal yang wajib dilakukan oleh seorang yang ingin menunaikan
haji atau umrah adalah pengambilan miqat sebagai tempat
berihram sehingga mereka yang tidak berihram dari miqat berarti
meninggalkan suatu kewajiban dalam haji dan wajib atas mereka
untuk menggantinya dengan Dam (denda).
Adapun cara berihram , maka seorang yang telah berketetapan
untuk haji atau umrah maka disunnahkan baginya untuk
mencontoh RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dalam
melakukan hal-hal yang berhubungan dengan amalannya
sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh hadits-hadits yang
shahih .
Adapun cara-caranya adalah :
1. Disunnahkan untuk mandi sebelum ihram bagi laki-laki dan
perempuan baik dalam keadaaan suci atau haidh, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Jabir Radhiallahu’anhu, beliau berkata:
‫لت‬bb‫ر فأرس‬bb‫د بن أبي بك‬bb‫ماء بنت عميس محم‬bb‫دت أس‬bb‫ة فول‬bb‫ا ذا الحليف‬bb‫تى أتين‬bb‫ه ح‬bb‫ا مع‬bb‫فخرجن‬
‫ الىرسول هللا‬ )‫ اغتسلي واستثفري بثوب واحرمي (رواه مسلم‬: ‫كيف أصنع؟ قال‬
“Lalu kami keluar bersamanya Shallallahu’alaihi Wasallam lalu
tatkala sampai Dzul hulaifah Asma binti ‘Umais melahirkan
Muhammad bin Abi Bakr, maka ia (Asma) mengutus (seseorang
untuk bertemu) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam (dan berkata): ‘Apa yang aku kerjakan? maka
beliauShallallahu’alaihi Wasallam menjawab: “Mandilah dan
beristitsfarlah  2 dan berihramlah.” (Riwayat Muslim (2941) 8/404,
Abu Daud no. 1905 dan 1909, dan Ibnu Majah no.3074.)
Apabila tidak mendapatkan air maka tidak ber-tayammum karena
bersuci yang disunnahkan, apabila tidak dapat menggunakan air
maka tidak bertayamum karena Allah menyebutkan tayamum
dalam bersuci dari hadats sebagai firman-Nya:
‫حو‬bb‫ق وامس‬bb‫ديكم الى المراف‬bb‫وهكم واي‬bb‫لوا وج‬bb‫ فاغس‬b‫لوة‬bb‫وا اذا قمتم الى الص‬bb‫ذين ءامن‬bb‫ا ال‬bb‫ا أيه‬bb‫ي‬
‫اء‬b‫فر أو ج‬b‫برؤوسكم وارجلكم إلى الكعبين وان كنتم جنبًا فاطهروا وان كنتم مرضى أو على س‬
‫أحدمنكم أو الغائط أو لمستم النساء فلم تجد ماء فتيمموا صعي ًدا طيبًا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau
kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); “(QS.Al
Maidah :6)
maka tidak bisa dianalogikan (di-qiyas-kan) kepada yang
lainnya,dan juga tidak ada contoh atau perintah dari
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk ber-tayammum, apalagi
kalau mandi ihram tersebut adalah untuk kebersihan dengan dalil
perintah beliau kepada Asma bintu Umais yang sedang haidh
untuk mandi tersebut.
2. Disunnahkan untuk memakai minyak wangi ketika ihram
sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
‫كنت أطيب النبي الحرامه قبل ان يحرم و لحله قبل أن يطوف بالبيت‬.
“Aku memakaikan nabi wangi-wangian untuk ihramnya sebelum
berihram dan ketika halalnya sebelum thawaf di Ka’bah” (HR,
Bukhory no.1539 dan Muslim no. 1189).
Dan hanya diperbolehkan pada anggota badan dan bukan pada
pakaian ihramnya karena Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
‫ال تلبسوا ثوبا مسه الزعفران و ال الورس‬
“Janganlah kalian memakai pakaian yang terkena minyak wangi
za’faran dan wars.”(Muttafaqun alaih).
Memakai minyak wangi ini ada dua keadaan:
1. Memakainya sebelum mandi dan berihram,dan ini sepakat
tidak ada permasalahan
2. Memakainya setelah mandi dan sebelum berihram dan minyak
wangi tersebut tidak hilang, maka ini dibolehkan oleh para ulama
kecuali Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengan
pendapatnya.
Dalil pembolehannya adalah hadits Aisyah, beliau berkata:
‫ كان رسول هللا‬ ‫ه و‬bb‫دهن في رأس‬bb‫د ثم أرى وبيص ال‬bb‫ا يج‬bb‫أطيب م‬bb‫اذا اراد أن يحرم يتطيب ب‬
‫لحيته بعد ذلك رواه مسلم‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kalau ingin berihram
memakai wangi- wangian yang paling wangi yang beliau
dapatkan kemudian aku melihat kilatan minyak di kepalanya dan
jenggotnya setelah itu”.(HR.Muslim no.2830 ).
Dan Aisyah berkata pula:
‫ كأني أنظر الى وبيص المسك في مفرق رسول هللا‬ ‫و هو محرم‬
“Seakan akan aku melihat kilatan misk (minyak wangi misk) di
bagian kepala Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedangkan
beliau dan keadaan ihram “. (HR. Muslim no. 2831 dan Bukhory
no. 5923).
Masalah: Apabila sesorang memakai wangi- wangian di
badannya yaitu di kepala dan jenggotnya, lalu minyak wangi
tersebut menetes atau meleleh ke bawah, apakah hal ini
mempengaruhi atau tidak?
Jawab: Tidak mempengaruhi , karena perpindahan minyak wangi
tersebut dengan sendirinya dan tidak dipindahkan, dan juga
karena tampak pada NabiShallallahu’alaihi Wasallam dan
sahabatnya tidak menghiraukan kalau minyak wangi tersebut
menetes karena mereka memakainya pada keadaan yang
dibolehkan 3
Kemudian jika seorang yang berihram (muhrim) akan berwudhu
dan dia telah mamakai minyak rambut yang wangi, maka tentu
akan mengusap kepalanya dengan kedua telapak tangannya, jika
dia lakukan maka akan menempelah minyak tersebut ke kedua
telapak tangannya walaupun hanya sedikit, maka apakah perlu
memakai kaos tangan ketika akan mengusap kepala tersebut?
Maka masalah ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-
Utsaimin dengan mengatakan: “Tidak perlu, bahkan hal itu
merupakan berlebih-lebihan dalam agama dan tidak ada dalilnya
demikian juga tidak mengusap kepalanya dengan kayu atau kulit,
cukup dia mengusapnya dengan telapak tangannya karena ini
termaasuk yang dimaafkan:.4
3. Mengenakan dua helai kain putih yang dijadikan sebagai
sarung (izar) dan selendang (rida’), sebagaimana
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
‫ليحرم أحدكم فى إزار و رداء و نعلين‬
“Hendaklah salah seorang dari kalian berihram dengan
menggunakan sarung dan selendang serta sepasang sandal.”(H.
R Ahmad 2/34 dan dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Ahmad
Syakir)
dan diutamakan yang berwarna putih berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫حير ثيابكم البياض فالبسوها وكفنوا فبها موتكم‬
“Sebaik-baik pakaian kalian adalah yang putih, maka kenakanlah
dia dan kafanilah mayat kalian padanya” (H.R Ahmad lihat
syarahahmadsyakir 4/2219 dan berkata isnadnyaa shahih)
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitab Manasik (hal. 21): “Dan
disunnahkan untuk berihram dengan dua kain yang bersih, maka
kalau keduanya berwarna putih maka itu lebih utama dan di
bolehkan ihram dengan segala jenis kain yang dibolehkan dari
katun shuf (bulu domba) dan lain sebagainya. Dan dibolehkan
berihram dengan kain putih dan yang tidak putih dari warna-
warna yang diperbolehkan, walaupun berwarna-warni”.5
Sedangkan bagi wanita tetap memakai pakaian wanita yang
menutup semua auratnya, kecuali wajah dan telapak tangan.
4. Disunahkan berihram setelah shalat. sebagaimana dalam
hadits Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam shahih Bukhary
bahwa RasulullahShallallahu’alaihi Wasallambersabda:
‫ صل فى هذا الوادى المبارك وقل عمر ًة فى حجة‬: ‫أتاني الليلة آت من ربي فقال‬
“Telah datang tadi malam utusan dari Rabbku lalu berkata:
“Shalatlah di Wadi yang diberkahi ini dan katakan: Umrotan fi
hajjatin.”
Dan hadits Jabir:
‫ فصلى رسول هللا‬ ‫ل‬bb‫داء أه‬bb‫ه على البي‬bb‫ه ناقت‬bb‫توت ب‬bb‫في المسجد ثم ركب القصواء حتى اذا اس‬
‫بالحج‬
“Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam Shalat di masjid
(Dzulhulaifah) kemudian menunggangi Al Qaswa’ (nama onta
beliau) sampai ketika ontanya berdiri di al-Baida’ berihram untuk
haji”. (HR.Muslim).
Maka yang sesuai dengan sunnah, lebih utama dan sempurna
adalah berihram setelah shalat fardhu.  Akan tetapi apabila tidak
mendapatkan waktu shalat fardhu maka terdapat dua pendapat
dari para ulama:
a. Tetap disunnahkan shalat dua rakaat dan ini pendapat jumhur
berdalil dengan keumuman hadits Ibnu
Umar Radhiallahu’anhuma:
‫صل في هذا الوادي‬
“Shalatlah di Wadi ini”
b. Tidak disyariatkan shalat dua rakaat dan ini pendapat syaikhul
islam Ibnu Taimyah. Sebagaimana beliau katakan dalam Majmu’
Fatawa 26/108: “Disunnahkan berihram setelah shalat baik fardhu
maupun sunnah. Kalau ia berada pada waktu tathawu’ menurut
salah satu dari dua pendapatnya dan yang lain kalau dia shalat
fardhu maka berihram setelahnya dan jika tidak maka tidak ada
bagi ihram shalat yang khusus dan ini yang rajih.”
Dan berkata didalam Al Ikhtiyarat (hal. 116): “Dan berihram
setelah shalat fardhu kalau ada atau sunnah (nafilah) karena
ihram tidak memiliki shalat yang khusus untuknya”.
Demikianlah tidak ada shalat dua rakaat khusus untuk ihram.
5. Berniat untuk melaksanakan salah satu manasik dan
disunnahkan untuk diucapkan dan dibolehkan untuk memilih
salah satu dari tiga nusuk yaitu ifrad, qiran dan tamatu’
sebagaimana yang dikatakan Aisyah:
‫ خرجنا مع رسول هللا‬ ‫رة و‬bb‫ل بحج و عم‬bb‫ا من اه‬bb‫رة و من‬bb‫ل بعم‬bb‫عام حجة الوداع فمنا من اه‬
‫ل بحج‬bb‫ا من اه‬bb‫ه و ام‬bb‫منا من اهل بحج و أهل رسول هللا فا ما من أهل بعمرة فحل عنه قدوص‬
)‫أو جمع بين الحج والعمرة فلم يحلوا حتى كان يوم النحر (متفق عليه‬
“Kami telah keluar bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pada tahun haji wada’ maka ada diantara kami yang
berihram dengan umrah dan ada yang berihram dengan haji dan
umrah dan ada yang berihram dengan haji saja, sedangkan
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berihram dengan haji
saja, adapun yang berihram dengan umrah maka dia halal
setelah datangnya(*)  dan yang berihram dengan haji atau yang
menyempurnakan haji dan umrah tidak halal (lepas dari
ihramnya) sampai dia berada dihari nahar(**)  “ (Mutafaq alaih)
Maka seorang yang ber-manasik ifrad mengatakan:
‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬
dan seorang yang bermanasik tamatu’ mengatakan:
‫ لبيك عمرة‬atau ‫لبيك اللهم عمرة‬
dan ketika hari tarwiyah (8 Dzulhijah) menyatakan:
‫ لبيك حجا‬atau ‫لبيك اللهم حجا‬
dan sunnah yang ber-manasik Qiran menyatakan: ‫لبيك عمرة و حجا‬
6. Ber-talbiyah, yaitu membaca:
‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الحمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬
Labbaika Allahumma labbaik labbaika laa syariika laka labbaik
Innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syariikaa laka, dan yang
sejenisnya.
6.1. Waktu Talbiyyah
Waktu talbiyah adalah dimulai setelah berihram ketika akan
melakukan perjalanan, sebagaimana yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hajinya, berkata
Jabir Radhiallahu’anhu :
‫…… حتى إذا استوت به ناقته على البيداء أهل بالحج فأهل بالتوحيد لبيك اللهم لبيك‬
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mulai membaca talbiyah
ketika telah tegak ontanya di al-Baida beliau ihlal (ihram) dengan
haji lalu bertalbiyah dengan tauhid, labbaika allahumma
labaik ……” (H.R Muslim)
6.2. Bacaan Talbiyah
Adapun bacaan talbiyah yang ma’tsur dalam hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam adalah:
a.6 ‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك والملك ال شريك لك‬
b. )‫لبيك لبيك و سعديك و الخير بيدك و الرغباء إليك و العمل (متفق عليه من تلبية ابن عمر‬
c. )‫لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك إن الجمد ونعمة لك (عن عائشة رواه البخارى‬
d. Talbiyah yang poin “a” namun ditambah kalimat:
)‫لبيك ذا المعارج لبيك ذا الفواضل (حديث جابر رواه مسلم‬
6.3. Sebab dan maknanya
Sebab disyariatkannya talbiyah adalah dalam rangka menjawab
panggilan Allah Ta’ala. Sebagaimana dalam al-Qur’an surah al-
Hajj ayat 27.
‫وأذن في الناس بالحج يأتتوك رجاال وعلى كل ضامر يأتين من كل فج عميق‬
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya
mereka akan datang kepadamudengan berjalan kaki,dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru
yang jauh.’ (QS. al-Hajj 22:27)
Berkata Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu dalam menafsirkan firman
Allah Ta’ala ini : “Ketika Allah Ta’ala memerintahkan Ibrahim
‘Alaihissalam untuk mengkhabarkan manusia agar berhajji, dia
berkata:
‫جر أو‬bb‫يا أيها الناس إن ربكم اتحذ بي ًتا و أمركم أن تحجوه فاستجاب له ما سمعه من حجر أو ش‬
)106\17 ‫أكمة أو تراب أو شيئ فقالوا لبيك اللهم لبيك (رواه ابن جرير‬
“Wahai manusia sesungguhnya Rabb kalian telah membangun
satu rumah (ka’bah) dan memerintahkan kalian untuk berhaji
kepadanya. Lalu beliau menerima panggilan ini apa saja yang
mendengarnya dari batu-batuan, pepohonan, bukit-bukit debu
atau apasaja yang ada, lalu mereka berkata  ‫( …… لبيك اللهم لبيك‬H.R
Ibnu Jarir 17/106)
Berkata Ibnu Hajar ; ” Berkata Ibnu Abdil Barr: ‘Telah berkata
sejumlah dari sebagian dari Ulama’: “Makna Talbiyah adalah
jawaban panggilan Ibrahim ‘Alaihissalam ketika memberitahukan
manusia untuk berhaji””, 7
Adapun ma’na dari kata-kata dalam talbiyah tersebut adalah :
(‫ )اللهم‬:Wahai Allah
(‫ )لبيك‬:Adalah penegas yang memiliki ma’na baru (lebih), maka
saya mengulang-ulang dan menegaskan bahwa saya menjawab
atau menerima panggilan Rabb saya dan tetap dalam keta’atan
kepada-Nya
(‫ريك لك‬bb‫ )ال ش‬:Berma’na tidak ada satupun yang menyekutukan
Engkau (Allah) dalam segala sesuatu
(‫ )لبيك‬:Sebagagi penegas bahwa saya menerima panggilan haji
tersebut karena Allah, bukan karena pujian, ingin terkenal, ingin
harta, dan lain-lain, akan tetapi saya berhaji dan menerima
panggilan tersebut karena Engkau saja
(‫ك والملك‬bbbb‫ة ل‬bbbb‫د و النعم‬bbbb‫ )إن الحم‬:Sesungguhnya saya berikrar dan
mengimani bahwa semua pujian dan nikmat itu hanyalah milik-Mu
demikikan juga kekuasaan
(‫ )ال شريك لك‬:Yang semua itu tidak ada sekutu bagimu
Kalau kita melihat kepada ma’na kata-kata yang ada dalam
talbiyah tersebut didapatkan adanya penetapan tauhid dan jenis-
jenisnya sebagaimana yang dikatakan oleh Jabir (‫ل‬bbbbb‫أه‬
‫)بالتوحيد‬ (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bertalbiyah
dengan tauhid”) Dan hal ini tampak kalau kita mentelaah dan
memahami makna kata-kata tersebut, lihatlah dalam kata-kata (
‫ )لبيك اللهم لبيك لبيك ال شريك لك لبيك‬terdapat peniadaan kesyirikan dalam
peribadatan, kemudian (‫ )ال شريك لك لبيك‬terdapat tauhid rububiyyah
karena kita telah menetapkan kekuasaan yang mutlak hanya
kepada Allah Ta’ala semata, dan hal itupun mengharuskan
seorang hamba untuk mengakui terhadap tauhid uluhiyyah,
karena iman kepada tauhid rububiyyah mengharuskan iman
kepada tauhid uluhiyyah, dan dalam kata (‫ة لك‬bbb‫د و النعم‬bbb‫)إن الحم‬
terdapat penetapan sifat-sifat terpuji pada zat dan perbuatan
Allah Ta’ala adalah hak dan hal ini adalah merupakan tauhid
asma’ dan sifat Allah Ta’ala.
Kalau demikian keharusan orang yang bertalbiyah maka dia akan
selalu merasakan keagungan Allah dan akan selalu menyerahkan
amal ibadahnya hanya untuk Allah semata bukan hanya sekedar
mengucapkan tanpa dapat merasakan hakikat dari talbiyah
tersebut.
6.4. Cara membacanya
Talbiyah ini dibaca dengan mengangkat suara bagi kaum laki-laki
sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
‫أتنى جبريل فأمرنى أن آمر أصحابى أن يرفعوا أصواتهم بالتلبية‬
“Telah datang kepadaku jibril dan dia memerintaahkan aku untk
memerintahkan sahabat-sahabatku agar mengangkat suara-
suara mereka dalam bertalbiyah. “
Dan tidak disyari’atkan bertalbiyah dengan berjamaah akan tetapi
apabila terjadi kebersamaan dalam talbiyah tanpa disengaja dan
tidak dipimpin maka hal itu tidak mengapa karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertalbiyah
dalam satu waktu padahal jumlah mereka sangat banyak maka
hal tersebut sangat memungkinan untuk terjadinya talbiyah
dengan suara yang berbarengan, akan tetapi mengangkat suara
dalam talbiyah ini jangan sampai mengganggu dan menyakiti
dirinya sendiri sehingga dia tidak dapat terus bertakbir.
Sedangkan untuk wanita tidak disunahkan mengangkat suara
mereka bahkan mereka diharuskan untuk merendahkan suara
mereka dalam bertalbiyah.
6.5. Waktu Berhenti Talbiyah.
Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penentuan
waktu berhenti talbiyah bagi orang yang berumroh atau berhaji
dengan tamatu’ menjadi beberapa pendapat :
1. Ketika masuk haram,dan ini pendapat Ibnu Umar,Urwah dan Al
Hasan serta mazdhab maliki,mereka berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan An Nasaai yang lafadznya;
‫بح‬bb‫ه الص‬bb‫لى ب‬bb‫ذي طى ويص‬bb‫بيت ب‬bb‫ة ثم ي‬b‫ك عن التلبي‬b‫رم أمس‬b‫ل ادني الح‬b‫ر إذا دخ‬bb‫كان ابن عم‬
‫ ويغتسل ويحدث ان النبي‬ ‫كان يفعل ذلك‬
“Ibnu Umar ketika masuk pinggiran haram menghentikan talbiyah
kemudian menginap dzi thuwa dan beliau sholat shubuh disana
serta mandi dan beliau berkata bahwa Nabipun berbuat
demikian”
2. Ketika melihat rumah-rumah penduduk Makkah dan ini
pendapat Said bin Al Musayyib
3. Ketika sampai ke Ka’bah dan memulai thawaf dengan
menyentuh (Istilam) hajar aswad dan ini pendapat Ibnu Abbas,
Atha’, Amr bin Maimun, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsaury, Asy-
Syafi’i, Ahmad dan Ishaq serta mazdhab Hanafi. Berdalil dengan
hadits Ibnu Abbas secara marfu’:
‫كان يمسك عن التلبية في العمرة إذا اتلم الحجر‬
“Dia menghentikan talbiyah dalam umoh kalau telah menyentuh
(istilam) hajar aswad” (HR Abu Daud,At Tirmidzy daan Al Baihaqy
dan dilemahkan oleh Al Albany dalam Irwa’ 4/297) dan juga
hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dengan
lafazh:
‫ اعتمر رسول هللا‬ ‫ثالثا عمر كلها في ذي القعدة فلم يزل يلبي حتى استلم الحجر‬ ً
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melakukan umrah tiga
kali umrah seluruhnya di bulan dzul qa’dah dan terus bertalbiyah
sampai menyentuh (istilam) hajar aswad” (H.R Ahmad dan
Baihaqi denan sanad yang lemah karena ada Hajaaj bin Abdullah
bin Arthah dan dilemahkan oleh AL-Albanny dala Irwa’ 4/297)
Dan mereka berkata : “Karena talbiyah adalah memenuhi
panggilan untuk ibadah maka dihentikan ketika memulai ibadah
yaitu thawaf”. Dan ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikul
Islam8 dan Ibnu Qudamah 9 akan tetapi yang rajih adalah
pendapat pertama karena penjelasan dari Ibnu Umar bahwa
Rasulullah juga melakukan hal itu,dan itu menunjukkan bahwa
Ibnu Umar berlaku demikian karena melihat Rasulullah telah
melakukannya, dan ini yang dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah 10 .
Demikian juga pada haji terdapat beberapa pendapat ulama;
1. Menghentikannya ketika berada di Arafah setelah
tergelincirnya matahari dan ini pendapat Aisyah, Sa’ad bin Abi
Waqash, Ali, Al-Auza’i, Al-hasan Al-bashry dan madzhab
malikiyah. Berdalil dengan hadits:
‫الحج عرفة‬
“Haji itu adalah wuquf di Arafah”
Maka kalau telah sampai Arafah maka akan habis pemenuhan
panggilan karena telah sampai kepada inti dan rukun pokok
ibadah tersebut. akan tetapi dalil ini lemah karena bertentangan
dengan riwayat bahwa Raululloh masih bertalbiyah setelah
tanggal 9 Dzuljhijjah tersebut.
2 Menghentikannya ketika melempar jumroh aqobah dan ini
pendapat jumhur ,akan tetapi mereka berselisih menjadi dua
pendapat;
a. Menghentikan di awal batu yang di lempar dalam jumroh
aqobah dan ini pendapat kebanyakan dari mereka, dengan dalil
hadits Al fadl bin Al Abbas
‫ كنت رديف النبي‬ )‫من جمع إلى منى فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة (رواه الحماعة‬
”Aku membonceng nabi dari Arafah ke Mina dan teru meneru
bertalbiyah sampi melempar jumroh Aqobah “(HR jama’ah)
dan hadits Ibnu Mas’ud dengan lafadz:
‫ول هللا‬bb‫ خرجت مع رس‬ ‫ير أو‬bb‫ا بتكب‬bb‫ة إال أن يخلطه‬bb‫رة العقب‬bb‫تى رمى جم‬bb‫ة ح‬bb‫رك التلبي‬bb‫ا ت‬bb‫فم‬
‫تهليل‬.
“Aku berangkat bersama Rasulullah dan beliau tidak
mmeninggalkan talbiyah sampai beliau melempar jumrah Aqobah
agar tidak tercampur dengan tahlil atau takbir” (HR Thohawi dan
Ahmad dan sanadnya dihasankan oleh Al Albani dalam Irwa’,
/2966).
Pendapat ini dirajihkan oleh Syakhul Islam Inu Taimiyah dan
beliau menyatakan: Dan secara ma’na, maka seorang yang telah
sampar Arafah- walaupun telah ampai pada tempat wuquf ini-
maka dia masih terpanggil setelahnya kepada tempat wukuf yang
lainnya yaitu Muzdalifah dan kalau dia telah wukuf di Muzdalifah
maka dia terpanggil untuk melempar jumrah, dan kalau telah
mmemulai dalam melempar jumrah maka telah selesai
panggilannya (Majmu’ Fatawa 26/173)
b. Menghentikannya diakhir lemparan dalam jumroh Aqobah dan
ini pendapat Ahmad dan sebagian pengikut Syafi’i serta dirojihkan
oleh Ibnu Khuzaimah dengan dalil lafadz hadits Fadhl:
‫ أفضت مع النبي‬ ‫ع‬bb‫من عرفة فلم يزل يلبي حتى رمى جمرة العقبة يكبر مع كل حصاة ثم قط‬
)‫التلبية مع آخر حصاة (رواه ابو خزيمة‬
“Aku telah keluar bersama Nabi dari Arafah lalu beliau terus
bertalbiyah ampai melempar jumroh Aqobah, Beliau bertakbir
setiap lemparan batu, kemudian menghentikan talbiyah bersama
akhir batu yang dilempar” (HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya
dan beliau berkata :” ini hadit hahih yang menafsirkan apa yang
belum jelas dalam riwayat- riwayat yang lain).

[Bersambung]
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel www.muslim.or.id

1 Lihat Muzakirat Syarah Umdah hal 65 dan Syarhul Mumti’ 6/67
2 Istitsfar adalah suatu usaha untuk mencegah keluarnya daarah
dari kemaluan orang yang haidh atau nifas dengaan cara
mengambil kain yang memanjang yang diletakkan pada tempat
darah tersebut dan dilapisi oleh bahan yang tidak tembus darah
yang diambil ujung-ujunnya untuk diikatkan di perutnya, akan
tetapi pada zaman sekarang telah ada softex (pembalut wanita).
Lihat syarah Muslim 8/404.
3 Lihat Syarhul Mumti’ 6/73-74
4 Syarhul Mumti’ 6/74
5 dinukil dari Syarhul Mumti‘ 6/75
 (*) setelah melakukan umrah dengan melakukan thawaf dan
sya’i
 (**) pada tanggal 10 Dzul Hijjah
6 dari hadits Jabir dalam Muslim dan Ibnu Umar dalamm shahih
Bukhari & Muslim
7 Fathul Bari 3/406
8 Syarah Umdah 2/461
9 Al-Mughny 5/256
10 Shahih Ibnu Khuzaimah 4/205-207

Anda mungkin juga menyukai