Agama Islam
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah
Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah
menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan
agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka.
Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka
peluk. Oleh sebab itu tidak ada suatu agama pun yang diterima
selain Islam.
Allah ta’ala berfirman,
ً ان هَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِيما َ ِّين َو َك َ ان م َُح َّم ٌد َأ َبا َأ َح ٍد مِّن رِّ َجالِ ُك ْم َو َلكِن رَّ سُو َل هَّللا ِ َو َخا َت َم ال َّن ِبي
َ مَّا َك
“Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki
diantara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup
para Nabi.” (QS. Al Ahzab: 40)
Allah ta’ala juga berfirman,
ً يت َل ُك ُم اِإلسْ الَ َم دِينا ُ ِمْت َع َل ْي ُك ْم ِنعْ َمتِي َو َرض ُ ت َل ُك ْم دِي َن ُك ْم َوَأ ْت َم
ُ ْال َي ْو َم َأ ْك َم ْل
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian,
dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah
ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)
Allah ta’ala juga berfirman,
ين عِ ن َد هّللا ِ اِإلسْ الَ ُم َ ِإنَّ ال ِّد
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah
Islam.” (QS. Ali Imran: 19)
Allah ta’ala berfirman,
ينَ َو َمن َي ْب َت ِغ َغي َْر اِإلسْ الَ ِم دِينا ً َف َلن ُي ْق َب َل ِم ْن ُه َوه َُو فِي اآلخ َِر ِة م َِن ْال َخاسِ ِر
“Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak
akan pernah diterima darinya dan di akhirat nanti dia akan
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)
Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk
beragama demi Allah dengan memeluk agama ini. Allah
berfirman kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
وbَ bض ال ِإ َلـ َه ِإالَّ ُه ِ ْت َواَألر ِ َم َاواbالس َّ ك ُ b ُه م ُْلbا ً الَّذِي َلbو ُل هّللا ِ ِإ َل ْي ُك ْم َجمِيعbقُ ْل َيا َأ ُّي َها ال َّناسُ ِإ ِّني َر ُس
ون َ ِيت َفآ ِم ُنو ْا ِباهّلل ِ َو َرسُولِ ِه ال َّن ِبيِّ اُألمِّيِّ الَّذِي يُْؤ مِنُ ِباهّلل ِ َو َكلِ َما ِت ِه َوا َّت ِبعُوهُ َل َعلَّ ُك ْم َت ْه َت ُدُ يُحْ ِيـي َو ُيم
“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah
utusan Allah bagi kalian semua, Dialah Dzat yang memiliki
kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan yang haq
selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka
berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya seorang Nabi
yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada Allah serta
kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan
hidayah.” (QS. Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang
diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang
artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya.
Tidaklah ada seorang manusia dari umat ini yang mendengar
kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas
dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran
yang aku bawa melainkan dia pasti termasuk salah seorang
penghuni neraka.”
Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan
apa yang beliau bawa dengan disertai sikap menerima dan patuh,
bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah maka Abu
Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallamwalaupun dia membenarkan
ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani bersaksi bahwasanya
Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan
yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam
yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama
terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di
setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun. Allah
ta’ala berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ِ ص ِّدقا ً لِّ َما َبي َْن َي َد ْي ِه م َِن ْال ِك َتا
ً ب َو ُم َه ْيمِنا َ اب ِب ْال َح ِّق ُم
َ ك ْال ِك َت َ َوَأ
َ نز ْل َنا ِإ َل ْي
“Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar
sebagai pembenar kitab-kitab yang terdahulu serta batu ujian
atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)
Maksud dari pernyataan Islam itu cocok diterapkan di setiap
masa, tempat dan masyarakat adalah dengan berpegang teguh
dengannya tidak akan pernah bertentangan dengan kebaikan
umat tersebut di masa kapan pun dan di tempat manapun.
Bahkan dengan Islamlah keadaan umat itu akan menjadi baik.
Akan tetapi bukanlah yang dimaksud dengan pernyataan Islam itu
cocok bagi setiap masa, tempat dan masyarakat adalah Islam
tunduk kepada kemauan setiap masa, tempat dan masyarakat,
sebagaimana yang diinginkan oleh sebagian orang.
Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang
telah mendapatkan jaminan pertolongan dan kemenangan dari
Allah ta’ala bagi siapa saja yang berpegang teguh dengannya
dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman,
ون ِ ِين ْال َح ِّق لِي ُْظ ِه َرهُ َع َلى ال ِّد
َ ين ُكلِّ ِه َو َل ْو َك ِر َه ْال ُم ْش ِر ُك ِ ه َُو الَّذِي َأرْ َس َل َرسُو َل ُه ِب ْالهُدَى َود
“Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
Petunjuk dan Agama yang benar untuk dimenangkan di atas
seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang musyrik
tidak menyukainya.” (QS. Ash Shaff: 9)
Allah ta’ala berfirman,
ِين مِن َ ف الَّذ َ َت ْخ َلb اس
ْ اbbض َك َم ِ ْ َت ْخلِ َف َّنهُم فِي اَأْلرb ت َل َي ْس
ِ ال َِحاb الص َّ واbbُوا مِن ُك ْم َو َع ِملbbِين آ َم ُن َ َو َعدَ هَّللا ُ الَّذ
ون َ ِر ُكb ُدو َننِي اَل ي ُْشb ا ً َيعْ ُبb ضى َل ُه ْم َو َل ُي َب ِّد َل َّنهُم مِّن َبعْ ِد َخ ْوف ِِه ْم َأمْنَ َق ْبل ِِه ْم َو َل ُي َم ِّك َننَّ َل ُه ْم دِي َن ُه ُم الَّذِي ارْ َت
ونَ ُِئك ُه ُم ْال َفاسِ ق َ ك َفُأ ْو َل
َ ِِبي َشيْئا ً َو َمن َك َف َر َبعْ َد َذل
“Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman serta beramal salih diantara kalian untuk menjadikan
mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana orang-orang
sebelum mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah
pasti akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, sebuah
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka peluk. Dan Allah
pasti akan menggantikan rasa takut yang sebelumnya
menghinggapi mereka dengan rasa tenteram, mereka
menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu
apapun. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 55)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan
dan syariat/hukum. Islam adalah ajaran yang sempurna, baik
ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya:
1. Islam memerintahkan untuk menauhidkan Allah ta’ala dan
melarang kesyirikan.
2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang
dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang
aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan
melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang
pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua
dan melarang perbuatan durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan
kekerabatan yang terputus) dengan sanak famili dan Islam
melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan
tetangga dan melarang bersikap buruk kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam
memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak
yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal
salih dan melarang segala amal yang jelek. Allah ta’ala berfirman,
ُ ر َو ْال َب ْغي َيعbbاء َو ْالمُن َكbرْ َبى َو َي ْن َهى َع ِن ْال َفحْ َشbbُاء ذِي ْالقbbان َوِإي َت ْأ
ِظ ُك ْم ِ ِ ِ b ْد ِل َواِإلحْ َسbِإنَّ هّللا َ َي ُم ُر ِب ْال َع
ُون َ َل َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan
memberikan nafkah kepada sanak kerabat. Dan Allah melarang
semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta tindakan
melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau
mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)
ْأ ِ َي ْو َم َن ْط ِوي ال َّس َمآ َء َك َطيِّ ال ِّس ِج ِّل ل ِْل ُك ُت
ٍ bدَ َنآ َأوَّ َل َخ ْلbbا َبbbب َك َم
َ اعِ لbbآ ِإ َّنا ُك َّنا َفbb ًدا َع َل ْي َنbْ ُدهُ َوعbق ُّنعِيb
{ ِين
}104
“Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung
lembaran – lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai
panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah
suatu janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang
akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiyaa’:104)
Hari kebangkitan merupakan kebenaran yang sudah pasti.
Ditetapkan oleh Al Quran, As Sunnah dan Ijmaa’ (konsensus)
kaum muslimin. Allah Ta’alaberfirman,
}26{ } ُث َّم ِإنَّ َع َل ْي َنا ِح َسا َبهُم25{ ِإنَّ ِإ َل ْي َنآ ِإيَّا َب ُه ْم
“Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka(25). kemudian
sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS. Al
Ghasiyah:25-26)
اbbيئة فلم يعملهbbرا ومن هم بسbbومن هم بحسنة فلم يعملها كتبت له حسنة فإن عملها كتبت له عش
}19{
“(Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan
isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan)
di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua
mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk
orang-orang yang zalim.”” (QS. Al A’raf: 19)
Surga ada setelah ditiupkannya ruh pada diri Adam. Hal ini
menunjukkan surga sudah ada sebelum penciptaan Adam. [9].
Keempat: Surga dan Neraka Sudah Ditentukan Siapakah
Yang Akan Menjadi Penghuninya
ْأ
ِ َو َل َق ْد َذ َر َنا ل َِج َه َّن َم َك ِثيرً ا م َِن ْال ِجنِّ َو ْاِإل
نس
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia … ”(QS. Al A’raf: 179)
Dari ‘Aisyah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
ا وهم فيbbار أهال خلقهم لهbbق للنbbائهم وخلbbالب آبbbإن هللا خلق للجنة أهال خلقهم لها وهم في أص
أصالب آبائهم
“… Sesungguhnya Allah telah menciptakan para penghuni untuk
jannah. Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya,
sedangkan mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak
mereka. Allah juga telah menciptakan para penghuni bagi neraka.
Allah telah menentukan mereka sebagai penghuninya, padahal
mereka masih dalam tulang sulbi bapak-bapak mereka” [10].[11]
Kelima: Surga dan Neraka Kekal Abadi
Allah Ta’ala berfirman,
آ ًءbك َع َط َ ات َو ْاَألرْ ضُ ِإالَّ َم
َ آ َء َر ُّبbاش ُ َم َاوbالس
َّ تِ ادَا َمbا َمbِين فِي َه َ َوَأمَّا الَّذ
َ دbِ ِع ُدوا َففِي ْال َج َّن ِة َخالbِين ُس
دا وإن لكم أنbbوا أبbbوا فال تموتbbدا وإن لكم أن تحيbbقموا أبbbحوا فال تسbbاد إن لكم أن تصbbينادي من
ودوا أن تلكمbbل { ونbbتشبوا فال تهرموا أبدا وإن لكم أن تنعموا فال تبأسوا أبدا فذلك قوله عز وج
ِ bالخ ْل
،قb َ الج َّن َة َوال َّن
َ َلbار َق ْب َ هللا َت َعا َلى َخ َل َق ِ ان َأ َب ًدا َوال َت ِبي
َ َّ َفِإن،ْدَان ِ الج َّن ُة َوال َّنا ُر َم ْخلُ ْو َق َت
ِ الَ َت ْف َن َي،ان َ َو
َ هللا َغي َْر ْال َح ِّق َو ُكن ُت ْم َعنْ َءا َيا ِت ِه َتسْ َت ْك ِبر
}93{ ُون ِ ون َع َلى ِ اب ْاله
َ ُُون ِب َما ُكن ُت ْم َتقُول َ َع َذ
“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-
orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang
para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata):
“Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa
yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan
terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu
selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al
An’am: 93). [14]
Adapun dalil tentang adanya siksa kubur adalah tentang kisah
pertanyaan malaikat di alam kubur kepada mayit
tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah Ta’ala lalu
meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang
mantap, sehingga dengan kemantapannya ia menjawab,
”Rabbku adalah Allah, agamaku Islam, dan nabiku adalah Nabi
Muhammad”. Sebaliknya Allah menyesatkan orang-orang yang
dzalim. Orang yang kafir hanya bisa menjawab, ”Hah…hah!Aku
tidak tahu” sementara itu orang munafik atau orang yang ragu
menjawab :” Aku tidak tahu. Aku dengar orang-orang
mengatakan sesuatu, lalu aku ikut pula mengaatkannya”[15].
Faedah Iman yang Benar
Keimanan yang benar akan memberikan faedah yang
bermanfaat. Demikian pula keimanan yang benar terhadap hari
akhir akan memberikan manfaat yang besar, di antaranya :
1. Merasa senang dan bersemangat dalam melakukan kataatan
dengan mengharapkan pahalanya kelak di ahri akhir.
2. Merasa takut ketika melakukan kemaksiatan dan tidak suka
kembali pada maksiat karena khawatir mendapat siksa di hari
akhir.
3. Hiburan bagi orang-orang yang beriman terhadap apa yang
tidak mereka dapatkan di dunia dengan mengharapkan
kenikmatan dan pahala di akhirat. [16].
Demikian penjelasan singkat tentang pokok-pokok keimanan
kepada hari akhir. Terdapat banyak perincian yang harus kita
imani dari hal-hal yang pokok tersebut. Insya Allah akan
dijelaskan lebih rinci dalam kesempatan lain. Semoga Allah
meneguhkan iman kita hingga ajal menjemput kita.Wallahul
muwafiq.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Memahami Takdir Ilahi
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut
generasi muda untuk bisa melek akan hal itu. Sehingga orang tua
pun berlomba-lomba bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar
komputer dan lancar bercuap-cuap ngomong English. Namun
sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia
sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari,
kegiatan belajar Al Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit
dari generasi muda saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan
ada yang sampai buku Iqro’ pun tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
َ ُُون َظا ِهرً ا م َِن ْال َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا َو ُه ْم َع ِن اَآْلخ َِر ِة ُه ْم َغافِل
ون َ َيعْ َلم
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan
dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu
‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-
benar mengetahui berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap
urusan agama, mereka benar-benar jahil (bodoh). (Tafsir Ath
Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di
atas, “Ilmu mereka hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun
mereka tidak mengetahui dunia dengan sebenarnya. Mereka
hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu mengetahui
kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak
mengetahui dunia secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya
dunia dan tidak tahu kalau dunia itu terlaknat. Mereka memang
hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak mengetahui
kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka
mengetahui yang zhohir (yang nampak saja dari kehidupan
dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari
penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian,
pembangunan, bercocok tanam, dan selain itu. Sedangkan
mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.” (Tafsir Al Jalalain,
hal. 416)
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan ayat
di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja
seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian,
perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar
lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib
mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian
ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan
akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat
tersebut, “Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang
akan membahagiakan mereka di akhirat. Mereka pun tidak
mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa rahmat.
Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan
mencapai bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut.
Kebanyakan manusia mengetahui dunia secara lahiriyah seperti
mencari penghidupan dari bercocok tanam, industri dan
perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka
terhadap dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak
mengetahui. Sebagaimana pula mereka benar-benar lalai dari
kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja yang dapat
membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita
berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat
kita lupa akan negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan
siapakah yang bahagia dan akan sengsara.” (Aysarut Tafasir,
4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan
mengenai kondisi orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun
menjangkiti kaum muslimin. Mereka lebih memberi porsi besar
pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama
menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita,
orang tua lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai
membaca Iqro’ dan Al Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu
wudhu dan shalat karena terlalu diberi porsi lebih pada ilmu dunia
sehingga lalai akan agamanya. Sungguh keadaan yang
menyedihkan.
Bahaya Jahil akan Ilmu Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya,
maka tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu
pula jika seseorang jahil atau tidak paham akan ilmu agama,
tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri dan orang lain
yang mencontoh dirinya.
Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan
dengan mengetahui ilmunya terlebih dahulu. Ingin melaksanakan
shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa, harus dengan ilmu. Ingin
terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk beluk hukum
dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus
dengan ilmu. Allah Ta’ala berfirman,
كَ َفاعْ َل ْم َأ َّن ُه اَل ِإ َل َه ِإاَّل هَّللا ُ َواسْ َت ْغفِرْ لِ َذ ْن ِب
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang
berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi
dosamu” (QS. Muhammad: 19). Dalam ayat ini, Allah memulai
dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah
yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu,
sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa
ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan
keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu
Nu’aim dalam Al Hilyahketika menjelaskan biografi Sufyan dari
jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini,
lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah
memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah
memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat
adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu.
Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-
harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini
bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen).
Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni
Baththol, 1/144)
Gara-gara tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-
buat ibadah tanpa tuntunan atau amalannya jadi tidak sah. Jika
seseorang tidak paham shalat, lalu ia mengarang-ngarang tata
cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu pula
mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan
baca surat Yasin, padahal nyatanya tidak ada dasar dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-
sia belaka. Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau
mempelajari fiqih berdagang terlebih dahulu. Ia pun
mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut diminta
diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan
malas belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam
transaksi riba. Maka berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal.
Mu’adz bin Jabal berkata,
الع َم ِل َوال َع َم ُل َت ِاب ُع ُهَ الع ِْل ُم ِإ َما ُم
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang
setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil
Mungkar, hal. 15)
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut jauh dari
tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu
jadi sia-sia dan tertolak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْس َع َل ْي ِه َأمْ ُر َنا َفه َُو َر ٌّد
َ َمنْ َع ِم َل َع َمالً َلي
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang
akan dihasilkan. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
ان َما ُي ْفسِ ُد َأ ْك َث َر ِممَّا يُصْ لِ ُح َ هللا ِب َغي ِْر عِ ْل ٍم َك
َ ََمنْ َع َبد
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia
akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan
kebaikan.” (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang Adil
Bukan berarti kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu
kondisi mempelajari ilmu dunia bisa menjadi wajib jika memang
belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu tersebut.
Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent
sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada
kewajiban bagi sebagian orang di desa tersebut untuk
mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah kebutuhan
masyarakat.
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua
hanya memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat
anaknya memiliki kecerdasan dan kejeniusan. Orang tua lebih
senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2 dan S3,
menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama
anaknya tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung,
namun bagaimanakah mengerti masalah ibadah yang akan
mereka jalani sehari-hari, mereka tidak paham. Untuk mengerti
bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan
dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak
tahu kalau itu syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi
wajib yang harus seorang anak tahu karena jika ia tidak
mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau melakukan
yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang
harus dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi
seorang dokter atau seorang insinyur, ia harus paham
bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara wudhu,
tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak
itu cerdas dan tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat
baik baik sekali jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena
mempelajari Islam juga butuh orang-orang yang ber-IQ tinggi dan
cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu seperti Imam Asy
Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk
umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia,
jangan sampai ia tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia
pelajari.
Dengan paham agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah
kebaikan, terserah dia adalah dokter, engineer, pakar IT dan
lainnya. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ َمنْ ي ُِر ِد هَّللا ُ ِب ِه َخيْرً ا ُي َف ِّق ْه ُه فِى ال ِّد
ين
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh
kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang
agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi bukanlah harta,
namun ilmu diin. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِإنَّ اَأل ْن ِب َيا َء َل ْم ي َُورِّ ُثوا دِي َنارً ا َوالَ ِدرْ َهمًا ِإ َّن َما َورَّ ُثوا ْالع ِْل َم َف َمنْ َأ َخ َذ ِب ِه َأ َخ َذ ِب َح ٍّظ َواف ٍِر
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang
mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang
banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682,
Shahih)
Semoga tulisan ini semakin mendorong diri kita untuk tidak
melalaikan ilmu agama. Begitu pula pada anak-anak kita, jangan
lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami untuk bekal
amalan keseharian mereka. Wallahu waiyyut taufiq. (*)
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar Islam
Tawakkal
Jangan Marah…
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di zaman ini, akhlak baik kepada orang tua seakan semakin
sirna. Apalagi sudah disibukkan dengan anak dan istri. Atau
barangkali ada kesibukan yang sebenarnya tidaklah urgent,
namun ketika ortu memanggil, jawaban sang anak, “Aduh Mama,
ini lagi asyik nih. Trus saja Oci (panggilan akrabnya) diganggu.”
Gitulah anak muda. Karena terpengaruh TV, lingkungan dan
lainnya.
Tak tahukah kita bahwa bermuamalah baik dengan ortu adalah
jalan menuju surga?
Coba kita lihat hadits berikut ini yang disebutkan oleh Imam Al
Bukhari rahimahullah dalam kitab Al Adabul Mufrod.
Dari Thaisalah bin Mayyas , ia berkata,
َأ َ َفَأ، ت
اb َم:ا َ َلb ق.رb َ bْن ُع َم ِ ك ِالبbِ َ ت َذال ِ bا ِإالَّ م َِن ْال َك َبbْت َذ ُن ْوبًا الَ َرا َه
ُ ْ َذ َكرb َف،اِئرb ُ صب ُ ُك ْن
ِ ت َم َع ال َّن َجدَا
را ُرb َ bِ َو ْالف،ٍ َو َق ْت ُل ِنسْ َمة،هلل ِ ك ِبا ُ ْاِإل ْش َرا:ٌ هُنَّ ِتسْ ع،اِئر ِ ت َه ِذ ِه م َِن ْال َك َب َ َلي: َقا َل.ُ َك َذا َو َك َذا:ت
ْ ْس ْ ُِى؟ قلَ ه
ْ َوالَّ ِذي،ِ ِجدb ا ُد فِي ْال َم ْسb َوِإ ْل َح،ال ْال َي ِتي ِْمb َأ َأ
ِ b ُل َمb َو ْك،اbb ُل الرِّ َبb َو ْك،ِ َنةb ص ْ
َ ْذفُ ْالمُحbb َو َق، ِ فb ْالزح َّ م َِن
َو ُتحِبُّ َأنْ َت ْد ُخ َل ْال َج َّن َة؟، ار َ َأ َت َفرَّ ُق ال َّن: لِي ابْنُ ُع َم َر: قا َ َل،ْن م َِن ْال ُعقُ ْو ِق ِ َو ُب َكا ُء ْال َوالِدَ ي، َيسْ َتسْ ِخ ُر
اbb َوَأ ْط َعمْ َت َه،ا ْال َكالَ َمbbت َل َه ِ َف َو: َقا َل. ْ عِ ْن ِديْ ُأمِّى:ت
َ هللا! َل ْو َأ َل ْن َ َأ َحيٌّ َوال:هللا! َقا َل
ُ ِدَاك؟ ُق ْل ِ َو، ْ ِإي:ت ُ قُ ْل
َ ْت ْال َك َب
اِئر َّ
َ َل َت ْد ُخ َلنَّ ْال َج َّن َة َما اجْ َت َنب،الط َعا َم.
“Ketika tinggal bersama An Najdaat, saya melakukan perbuatan
dosa yang saya anggap termasuk dosa besar. Kemudian saya
ceritakan hal itu kepada ‘Abdullah bin ‘Umar. Beliau lalu bertanya,
”Perbuatan apa yang telah engkau lakukan?” ”Saya pun
menceritakan perbuatan itu.” Beliau menjawab, “Hal itu tidaklah
termasuk dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan, yaitu
mempersekutukan Allah, membunuh orang, lari dari
pertempuran, memfitnah seorang wanita mukminah (dengan
tuduhan berzina), memakan riba’, memakan harta anak yatim,
berbuat maksiat di dalam masjid, menghina, dan [menyebabkan]
tangisnya kedua orang tua karena durhaka [kepada keduanya].”
Ibnu Umar lalu bertanya, “Apakah engkau takut masuk neraka
dan ingin masuk surga?” ”Ya, saya ingin”, jawabku. Beliau
bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Saya
masih memiliki seorang ibu”, jawabku. Beliau berkata, “Demi
Allah, sekiranya engkau berlemah lembut dalam bertutur
kepadanya dan memasakkan makanan baginya, sungguh
engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-
dosa besar.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 8, shahih.
Lihat Ash Shahihah 2898)
Lihatlah akhi … saksikanlah ukhti … bagaimana dengan sikap
lemah lembut pada orang tua yang mengandung dan
membesarkan kita bisa memasukkan dalam
surga! Subhanallah … Ternyata begitu ringan amalan tersebut
bagi siapa yang Allah mudahkan.
Disebutkan oleh Imam Al Bukhari pula dalam kitab yang sama,
dari Urwah, ia berkata mengucapkan firman Allah,
الذ ِّل م َِن الرَّ حْ َم ِة ُّ اح
َ اخفِضْ َل ُه َما َج َن ْ َو
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan.” (QS. Al Isro’: 24)
ُأحبَّاهَ “الَ َت ْم َت ِنعْ ِمنْ َشيْ ٍء:قا َ َل
Lalu ia berkata, “Janganlah engkau menolak sesuatu yang
diinginkan oleh keduanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod
no. 9, shahih secara sanad)
Cobalah renungkan kedua hadits di atas. Berlemah lembut pada
ortu sungguh luar biasa. Amalan sederhana. Namun memang
butuh dilatih. Apalagi kita mesti menghadapi orang tua yang
mudah emosi, sedikit-sedikit marah. Memang butuh kesabaran.
Kalau kita mengingat balasan lemah lembut, sungguh itu akan
membuat kita berakhlak baik pada mereka. Cobalah membalas
keburukan dengan kebaikan. Moga saja kita dimudahkan oleh
untuk bisa melakukannya. Allah Ta’ala berfirman,
َاوةٌ َكَأ َّن ُه َولِيٌّ َحمِي ٌم َ ِي َأحْ َسنُ َفِإ َذا الَّذِي َب ْي َن
َ ك َو َب ْي َن ُه َعد َ َواَل َتسْ َت ِوي ْال َح َس َن ُة َواَل ال َّس ِّيَئ ُة ْاد َفعْ ِبالَّتِي ه
)35( ص َبرُوا َو َما ُي َل َّقا َها ِإاَّل ُذو َح ٍّظ َعظِ ٍيم َ ِين َ ) َو َما ُي َل َّقا َها ِإاَّل الَّذ34(
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Sahabat yg mulia, Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-
mengatakan, “Allah memerintahkan pada orang beriman untuk
bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan
kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada
yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah
akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan
musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi
teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini.”
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Namun yang mampu
melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran.
Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan
adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, 12/243)
Semoga kita kembali teringat dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
رbِ b َد ْال ِك َبb ِه عِ ْنbك َوالِ َد ْي َ قِي َل َمنْ َيا َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل « َمنْ َأ ْد َر.» َرغِ َم َأ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم َأ ْنفُ ُه ُث َّم َرغِ َم َأ ْنفُ ُه
َأ َح َد ُه َما َأ ْو ِك َلي ِْه َما ُث َّم َل ْم َي ْد ُخ ِل ْال َج َّن َة
“Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang
bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh
hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih
hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua,
namun justru ia tidak masuk surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Jadikanlah bakti pada orang tua, berlemah lembut pada mereka
sebagai jalan menuju surga yang penuh kenikmatan yang tiada
tara.
Dari Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
ط الرَّ بِّ فِي َس َخطِ ْال َوالِ ِد ُ ضا ْال َوالِ ِد َو َس َخ
َ ضا الرَّ بِّ فِي ِرَ ِر
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah
tergantung pada murka orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul
Mufrod no. 2. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan jika sampai pada sahabat, namun shahih jika sampai pada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam)
Semoga kita mengingat perkataan amat bagus dari Ka’ab Al
Ahbar. Beliau pernah ditanyakan mengenai perkara yang
termasuk bentuk durhaka pada orang tua, beliau mengatakan,
إذا أمرك والدك بشيء فلم تطعهما فقد عققتهما العقوق كله
“Apabila orang tuamu memerintahkanmu dalam suatu perkara
(selama bukan dalam maksiat, pen) namun engkau tidak
mentaatinya, berarti engkau telah melakukan berbagai macam
kedurhakaan terhadap keduanya.” (Birrul Walidain, hal. 8, Ibnul
Jauziy)
Semoga Allah beri taufik dan kemudahan bagi kita sekalian untuk
berlemah lembut dan berakhlak pada orang tua kita yang amat
kita kasihi. Wallahu waliyyut taufiq.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat -
Hakikat Sabar (1)
Sombong vs Tawadhu
Siapakah Salaf Itu?
Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang
dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para
sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di
atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi
nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para
sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi
Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para
syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al
Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang
saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah
salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama
itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah
maupun dakwah.
Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul
sesudah jelas petunjuk baginya. dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)
Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud
adalah para sahabat Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka
dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka serta
menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-
sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100).
Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari
pengaruh-pengaruh peradaban lama dan warisan berbagai
kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan
pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah
Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan
Rasulullah telah menegaskan saat beliau sakit mendekati
wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya,
Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan
sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salaf bagimu” (HR.
Muslim). Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak
menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab mereka.
Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka
mengatakan, “Dan setiap kebaikan itu dengan mengikuti
kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari bid’ahnya
kaum kholaf (belakangan)”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang
menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya, bahkan
wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah
kebenaran.
Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat
Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut
dengan kembalinya umat pada agama Islam yang murni, yaitu
dengan meniti manhajsalaf. Di tengah maraknya perpecahan
umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-
beda dan saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang
benar yaitu jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah yang kemudian disebut dengan kembali
kepada pemahaman yang benar, pemahamannya Rasulullah dan
tiga generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’
tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para
imam dan ulama. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebenaran
dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali
kepada pemahaman salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat terakhir ini kecuali
dengan apa yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”
Wallahu a’lam.
Mari Mengenal Manhaj Salaf
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi akhir zaman, kepada keluarga, para sahabat, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Dengan berbagai macam cara seseorang akan mencurahkan
usahanya untuk membuktikan cintanya pada kekasihnya. Begitu
pula kecintaan pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap
orang pun punya berbagai cara untuk membuktikannya. Namun
tidak semua cara tersebut benar, ada di sana cara-cara yang
keliru. Itulah yang nanti diangkat pada tulisan kali ini. Semoga
Allah memudahkan dan memberikan kepahaman.
Kewajiban Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
َ ير ُت ُك ْم َوَأم َْوا ٌل ا ْق َت َر ْف ُتمُو َها َوت َِج
ْو َنb ارةٌ َت ْخ َش َ ِان َآ َباُؤ ُك ْم َوَأ ْب َناُؤ ُك ْم َوِإ ْخ َوا ُن ُك ْم َوَأ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش
َ قُ ْل ِإنْ َك
ُ ض ْو َن َها َأ َحبَّ ِإ َل ْي ُك ْم م َِن هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َو ِج َها ٍد فِي َس ِبيلِ ِه َف َت َر َّبصُوا َح َّتى َيْأت َِي هَّللا َ َْك َسادَ َها َو َم َساكِنُ َتر
َ ِبَأم ِْر ِه َوهَّللا ُ اَل َي ْهدِي ْال َق ْو َم ْال َفاسِ ق
ِين
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.” (QS. At Taubah: 24). Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Jika semua hal-hal tadi lebih
dicintai daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan
Allah, maka tunggulah musibah dan malapetaka yang akan
menimpa kalian.”[1] Ancaman keras inilah yang menunjukkan
bahwa mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
makhluk lainnya adalah wajib.
Bahkan tidak boleh seseorang mencintai dirinya hingga melebihi
kecintaan pada nabinya. Allah Ta’ala berfirman,
ِين ِمنْ َأ ْنفُسِ ِه ْم َوَأ ْز َوا ُج ُه ُأ َّم َها ُت ُه ْم َ ال َّن ِبيُّ َأ ْو َلى ِب ْالمُْؤ ِمن
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri.” (QS. Al Ahzab: 6). Syihabuddin Al
Alusi rahimahullah mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah memerintahkan sesuatu dan tidak ridho pada
umatnya kecuali jika ada maslahat dan mendatangkan
keselamatan bagi mereka. Berbeda dengan jiwa mereka sendiri.
Jiwa tersebut selalu mengajak pada keburukan.”[2] Oleh karena
itu, kecintaan pada beliau mesti didahulukan daripada kecintaan
pada diri sendiri.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar
bin Khaththab radhiyallahu’anhu. Lalu Umar berkata,
”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian
Nabishallallahu ’alaihi wa sallam berkata,
كَ ِْك ِمنْ َن ْفسَ ون َأ َحبَّ ِإ َليَ الَ َوالَّذِى َن ْفسِ ى ِب َي ِد ِه َح َّتى َأ ُك
”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum
sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu
sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah.
Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.”
Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini
pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).”[3]
Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam?
Mencintai seseorang dapat kembali kepada 2 alasan :
Alasan pertama: berkaitan dengan sosok yang dicintai
Semakin sempurna orang yang dicintai, maka di situlah tempat
tumbuhnya kecintaan. Sedangkan Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam adalah manusia yang paling luar biasa dan sempurna
dalam akhlaq, kepribadian, sifat dan dzatnya. Di antara sifat
beliau adalah begitu perhatian pada umatnya, begitu lembut dan
kasih sayang pada umatnya. Sebagaimana Allah Ta’ala mensifati
beliau dalam firman-Nya,
ِين َرءُوفٌ َرحِي ٌم َ َل َق ْد َجا َء ُك ْم َرسُو ٌل ِمنْ َأ ْنفُسِ ُك ْم َع ِزي ٌز َع َل ْي ِه َما َع ِن ُّت ْم َح ِريصٌ َع َل ْي ُك ْم ِب ْالمُْؤ ِمن
”Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At
Taubah: 128)
Alasan kedua: berkaitan dengan faedah yang akan diperoleh jika
seseorang mencintai nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di
antara faedah tersebut adalah:
[1] Mendapatkan manisnya iman
Dari Anas radhiyallahu ’anhu , Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bersabda:
َّ َوا ُه َما َوَأنْ ُيحِبb ِه ِممَّا ِسbْولُ ُه َأ َحبَّ ِإ َليbون هَّللا ُ َو َر ُسb
َ ان َأنْ َي ُكb ِ دَ َحاَل َو َة اِإْلي َمbث َمنْ ُكنَّ فِي ِه َو َج ٌ َثاَل
ِ ف فِي ال َّن
ار َ ْال َمرْ َء اَل ُي ِح ُّب ُه ِإاَّل هَّلِل ِ َوَأنْ َي ْك َر َه َأنْ َيعُودَ فِي ْال ُك ْف ِر َك َما َي ْك َرهُ َأنْ ُي ْق َذ
“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan
manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari
selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan
benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan
dalam api.”[4]
[2] Akan menjadikan seseorang bersama beliau di akhirat
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang
bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi
hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk
menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah
mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak
shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku
persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata,
َ ت َم َع َمنْ َأحْ َبب
ْت َ َأ ْن
“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang
engkau cintai.”[5]
Dalam riwayat lain, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah
merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika
mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a
man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau
cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku
berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada
mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan
mereka.”[6]
[3] Akan memperoleh kesempurnaan iman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ اس َأجْ َمع
ِين ِ ون َأ َحبَّ ِإ َل ْي ِه ِمنْ َو َل ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوال َّن
َ اَل يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى َأ ُك
“Seseorang tidaklah beriman (dengan sempurna) hingga aku
lebih dicintainya dari anak dan orang tuanya serta manusia
seluruhnya.”[7]
Dengan dua alasan inilah tidak ada alasan bagi siapa pun untuk
tidak mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.[8]
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pertama: Mendahulukan dan mengutamakan beliau dari siapa
pun
Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
makhluk pilihan dari Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْش َبنِى ٍ ريbَ bُ َط َفى ِمنْ قbاص
ْ َة َوbا ِمنْ ِك َنا َنbْش ً َط َفى قُ َريbاص ْ مَاعِ ي َل َوb ِد ِإ ْسbِإنَّ هَّللا َ اصْ َط َفى ِك َنا َن َة ِمنْ َو َل
هَاشِ ٍم َواصْ َط َفانِى ِمنْ َبنِى هَاشِ ٍم
“Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah yang terbaik dari
keturunan Isma’il. Lalu Allah pilih Quraisy yang terbaik dari
Kinanah. Allah pun memilih Bani Hasyim yang terbaik dari
Quraisy. Lalu Allah pilih aku sebagai yang terbaik dari Bani
Hasyim.”[9]
Di antara bentuk mendahulukan dan mengutamakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siapa pun yaitu apabila
pendapat ulama, kyai atau ustadz yang menjadi rujukannya
bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka yang didahulukan adalah pendapat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Imam Asy Syafi’i rahimahullah, “Kaum muslimin telah
sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya
untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.”[10]
Kedua: Membenarkan segala yang disampaikan oleh
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Termasuk prinsip keimanan dan pilarnya yang utama ialah
mengimani kemaksuman Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari
dusta atau buhtan (fitnah) dan membenarkan segala yang
dikabarkan beliau tentang perkara yang telah berlalu, sekarang,
dan akan datang. Karena Allah Ta’ala berfirman,
و ِإاَّلbَ b) ِإنْ ُه3( وىbَ b ُق َع ِن ْال َهb ِا َي ْنطbb) َو َم2( وىb َ bا َغbbصا ِح ُب ُك ْم َو َم
َ ض َّل َ ) َما1( َوال َّنجْ ِم ِإ َذا َه َوى
)4( ُوحى َ َوحْ يٌ ي
”Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak
sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS.
An Najm: 1-4)
Ketiga: Beradab di sisi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
Di antara bentuk adab kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah memuji beliau dengan pujian yang layak baginya.
Pujian yang paling mendalam ialah pujian yang diberikan oleh
Rabb-nya dan pujian beliau terhadap dirinya sendiri, dan yang
paling utama adalah shalawat dan salam kepada beliau.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ْْال َبخِي ُل الَّذِي َمنْ ُذ ِكر
َ ت عِ ْندَ هُ َف َل ْم ي
َُّص ِّل َع َلي
“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku
disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”[11]
Keempat: Ittiba’ (mencontoh) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta berpegang pada petunjuknya.
Allah Ta’ala berfirman,
ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ُم هَّللا ُ َو َي ْغفِرْ َل ُك ْم ُذ ُنو َب ُك ْم
َ قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu”.” (QS. Ali Imron: 31)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ضال َل ٌةَ ُك ُّل ِب ْد َع ٍة، َوال َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم،ا َّت ِبعُوا
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah
membuat bid’ah. Karena (ajaran Nabi) itu sudah cukup bagi
kalian. Semua amalan yang tanpa tuntunan Nabi (baca: bid’ah)
adalah sesat .”[12]
Kelima: Berhakim kepada ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Sesungguhnya berhukum dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam adalah salah satu prinsip mahabbah (cinta)
dan ittiba’ (mengikuti Nabishallallahu ’alaihi wa sallam). Tidak ada
iman bagi orang yang tidak berhukum dan menerima dengan
sepenuhnya syari’atnya. Allah Ta’ala berfirman,
َ يbض
ْت َ ا ِممَّا َقbً ِه ْم َح َرجbُوك فِي َما َش َج َر َب ْي َن ُه ْم ُث َّم اَل َي ِج ُدوا فِي َأ ْنفُ ِس َ ون َح َّتى ي َُح ِّكم َ ك اَل يُْؤ ِم ُن َ َفاَل َو َر ِّب
َوي َُسلِّمُوا َتسْ لِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati
mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang
keluar dari ajaran dan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka Allah telah bersumpah dengan diri-Nya yang
disucikan, bahwa dia tidak beriman sehingga ridha dengan
hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala yang
diperselisihkan di antara mereka dari perkara-perkara agama dan
dunia serta tidak ada dalam hati mereka rasa keberatan terhadap
hukumnya.”[13]
Keenam: Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Membela dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah salah satu tanda kecintaan dan pengagungan.
Allah Ta’ala berfirman,
ْ اًل م َِن هَّللا ِ َو ِرbbض
َوا ًناbbض َ ار ِه ْم َوَأمbb ين الَّذ َ ُأ َ ا ِج ِرbbرا ِء ْال ُم َهbb َ ل ِْلفُ َق
َ م َي ْب َت ُغbْ وال ِِهbbْ
ْ ون َفbb ِ وا ِمنْ ِد َيbbُِين ْخ ِرج
ونَ ُِئك ُه ُم الصَّا ِدق َ ُون هَّللا َ َو َرسُو َل ُه ُأو َل
َ صر ُ َو َي ْن
“(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung
halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia
dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan
RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hasyr:
8)
Di antara contoh pembelaaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam seperti diceritakan dalam kisah berikut. Ketika umat Islam
mengalami kekalahan, Anas bin Nadhr pada perang Uhud
mengatakan, ”Ya Allah, aku memohon ampun kepadamu
terhadap perbuatan para sahabat dan aku berlepas diri dari-Mu
dari perbuatan kaum musyrik.” Kemudian ia maju lalu Sa’ad
menemuinya. Anas lalu berkata, ”Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga.
Demi Rabbnya Nadhr, sesungguhnya aku mencium bau surga
dari Uhud.” ”Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat
sebagaimana yang diperbuatnya,” ujar Sa’ad. Anas bin Malik
berkata, ”Kemudian kami dapati padanya 87 sabetan pedang,
tikaman tombak, atau lemparan panah. Kami mendapatinya telah
gugur dan kaum musyrikin telah mencincang-cincangnya. Tidak
ada seorang pun yang mengenalinya kecuali saudara
perempuannya yang mengenalinya dari jari telunjuknya.”[14]
Bentuk membela Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam mengharuskan beberapa hal, di antaranya:
[1] Membela para sahabat Nabi –radhiyallahu ’anhum-
Rasulullah shallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
َ اَل َت ُسبُّوا َأ َح ًدا ِمنْ َأصْ َح ِابي َفِإنَّ َأ َحدَ ُك ْم َل ْو َأ ْن َف َق م ِْث َل ُأ ُح ٍد َذ َهبًا َما َأ ْد َر
ك ُم َّد َأ َح ِد ِه ْم َواَل َنصِ ي َف ُه
”Janganlah mencaci maki salah seorang sahabatku. Sungguh,
seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas
sebesar gunung Uhud, maka itu tidak menyamai satu mud (yang
diinfakkan) salah seorang mereka dan tidak pula
separuhnya.”[15]
Di antara hak-hak para sahabat adalah mencintai dan meridhoi
mereka. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
ِ b َبقُو َنا ِباِإْلي َمb ِين َس
ْل فِيbان َواَل َتجْ َعb َ ا الَّذbbا َوِإِل ْخ َوا ِن َنbbاغفِرْ َل َن
ْ ون َر َّب َنا َ ُِين َجاءُوا ِمنْ َبعْ ِد ِه ْم َيقُول َ َوالَّذ
ك َرءُوفٌ َرحِي ٌم َ وب َنا غِ اًّل لِلَّذ
َ ِين َآ َم ُنوا َر َّب َنا ِإ َّن ِ ُقُل
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari
kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al Hasyr: 10)
Sungguh aneh jika ada yang mencela sahabat sebagaimana
yang dilakukan oleh Rafidhah (Syi’ah). Mereka sama saja
mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik dan
selainnya rahimahumullah mengatakan, “Sesungguhnya
Rafidhah hanyalah ingin mencela Rasul. Jika seseorang
mengatakan bahwa orang itu jelek, maka berarti sahabat-
sahabatnya juga jelek. Jika seseorang mengatakan bahwa orang
itu sholih, maka sahabatnya juga demikian.”[16] Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun Rafidhah, maka
merekalah orang-orang yang sering mencela sahabat Nabi dan
perkataan mereka. Hakikatnya, apa yang ada di batin mereka
adalah mencela risalah Muhammad.”[17]
[2] Membela para isteri Nabi, para Ummahatul Mu’minin –
radhiyallahu ’anhunna-
Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Siapa saja yang mencela
Abu Bakr, maka ia pantas dihukum cambuk. Siapa saja yang
mencela Aisyah, maka ia pantas untuk dibunuh.” Ada yang
menanyakan pada Imam Malik, ”Mengapa bisa demikian?” Beliau
menjawab, ”Barangsiapa mencela mereka, maka ia telah
mencela Al Qur’an karena Allah Ta’ala berfirman (agar tidak lagi
menyebarkan berita bohong mengenai Aisyah, pen),
َ ِظ ُك َم هَّللا ُ َأنْ َتعُو ُدوا لِم ِْثلِ ِه َأ َب ًدا ِإنْ ُك ْن ُت ْم مُْؤ ِمن
ِين ُ َيع
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat
yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang
beriman.” (QS. An Nur: 17)”[18]
Ketujuh: Membela ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam
Termasuk membela ajaran beliau shallallahu ’alaihi wa
sallam ialah memelihara dan menyebarkannya, menjaganya dari
ulah kaum batil, penyimpangan kaum yang berlebih-lebihan
dan ta’wil (penyimpangan) kaum yang bodoh, begitu pula dengan
membantah syubhat kaum zindiq dan pengecam sunnahnya,
serta menjelaskan kedustaan-kedustaan mereka.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah mendo’akan
keceriaan wajah bagi siapa yang membela panji sunnah ini
dengan sabdanya,
َنض ََّر هَّللا ُ ام َْرًأ َسم َِع ِم َّنا َش ْيًئ ا َف َبلَّ َغ ُه َك َما َسم َِع ُه َفرُبَّ ُم َبلِّ ٍغ َأ ْو َعى ِمنْ َسام ٍِع
“Semoga Allah memberikan kenikmatan pada seseorang yang
mendengar sabda kami lalu ia menyampaikannya sebagaimana
ia mendengarnya.Betapa banyak orang yang diberi berita lebih
paham daripada orang yang mendengar.”[19]
Kedelapan: Menyebarkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Di antara kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ialah berkeinginan kuat untuk
menyebarkan ajaran (sunnah)nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َبلِّ ُغوا َع ِّني َو َل ْو آ َي ًة
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.”[20] Yang disampaikan
pada umat adalah yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
Bukti Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Bukanlah
dengan Berbuat Bid’ah
Sebagaimana telah kami sebutkan di atas bahwa di antara bukti
cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
menyebarkan sunnah (ajaran) beliau. Oleh karenanya,
konsekuensi dari hal ini adalah dengan mematikan bid’ah,
kesesatan dan berbagai ajaran menyimpang lainnya. Karena
sesungguhnya melakukan bid’ah (ajaran yang tanpa tuntunan)
dalam agama berarti bukan melakukan kecintaan yang
sebenarnya, walaupun mereka menyebutnya cinta.[21] Oleh
karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َ مْر َنا َه َذا َما َلي
ْس ِم ْن ُه َفه َُو َر ٌّد َأ َ َْمنْ َأح
ِ دَث فِى
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[22]
Kecintaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
sebenarnya adalah dengan tunduk pada ajaran beliau, mengikuti
jejak beliau, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta
bersemangat tidak melakukan penambahan dan pengurangan
dalam ajarannya.[23]
Contoh cinta Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang keliru adalah
dengan melakukan bid’ah maulid nabi. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu
selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu Idul Fithri dan Idul
Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul
Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari
bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan
orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan ’Idul Abror-; ini
semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka
juga tidak pernah melaksanakannya.”[24]
Pandangan Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
[Pertama] Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy
membawakan pasal “Di bulan Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”.
Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah mengatakan, “Bulan
Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan
yang di dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-
kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan oleh syari’at. …
Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya
beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari
kelahiran beliau sekaligus juga kematiannya[?] Jika hari kelahiran
beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang
bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam
akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu mengapa perayaan ini
dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat
lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak
disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah
kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan,
orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia
dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam,
“Lantas faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa
diraih dari penghamburan harta yang memberatkan [?]”[25]
[Kedua] Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali
–yang lebih terkenal dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa
maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Beliau
memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil
Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan
Maulid)”.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa
maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali.
Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah
(teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu
bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang
senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula
disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau mau
dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu
wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat
perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’
(kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu yang
dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang
dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya.
Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan
ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap
hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah
karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut
mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan terlarang atau
haram.”[26]
Penutup
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bukanlah dengan
merayakan Maulid. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan
mentaatinya. Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia
juga akan semakin mentaatinya. Dari sinilah sebagian salaf
mengatakan:
ُ ُّون هَّللا َ َفا َّت ِبعُونِي يُحْ ِب ْب ُك ْم هَّللا ُ لهذا لما َك ُث َر األدعياء
َ قُ ْل ِإنْ ُك ْن ُت ْم ُت ِحب, طولبوا بالبرهان
Tatkala banyak orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka
dituntut untuk mendatangkan bukti. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya): ”Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
Ali Imron: 31).[27] Orang yang cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentu hanya mau mengikuti ajaran yang beliau syariatkan
dan bukan mengada-ada dengan melakukan amalan yang tidak
ada tuntunan, alias membuat bid’ah.
Insya Allah, pada kesempatan selanjutnya kita akan membahas
kerancuan yang dikemukakan oleh orang-orang yang
menyatakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung
acara Maulid Nabi. Semoga Allah mudahkan.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan
menjadi sempurna.
Diselesaikan pada tanggal 8 Rabi’ul Awwal 1431 H, di Pangukan-
Sleman.
Mencintai dan Mengagungkan Sunnah Nabi
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:
Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:
Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah
manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan
tersebut.
Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga
dijuluki karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan
tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini merupakan
penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat
(ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak
(ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak
dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang
dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah
apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap
kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat,
nama, pakaian, maupun cara-cara buatan.
Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha
Allah”.
Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:
ِ ا ٌل ال ُت ْل ِهbال ِر َج
يه ْم ِ bص َ ُدوِّ َواآْلbا ِب ْال ُغbb ُه فِي َهbت َأذ َِن هَّللا ُ َأنْ ُترْ َف َع َوي ُْذ َك َر فِي َها اسْ ُم ُه ي َُس ِّب ُح َل
ٍ ﴿ فِي ُبيُو
ُوبbbُ ِه ْالقُلb ا ً َت َت َقلَّبُ فِيb ون َي ْوم
َ ُ افbا ِة َي َخbbالز َك َّ ا ِءbbال ِة َوِإي َتb الص ِ هَّللاb ٌع َعنْ ِذ ْكbارةٌ َوال َب ْي
َّ امb ِ bر ِ َوِإ َقb َ bت َِج
)37_36b:صارُ﴾(النور َ َواَأْل ْب
Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan
dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih
dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati
yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat
memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).
Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan
Islam”.
Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya
(sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):
.ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها،ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها
“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat
minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri,
sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”
(Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Artikel www.muslim.or.id
Pengeboman = Jihad???
Keutamaan-Keutamaan Al Qur’an
[1] al-Qur’an adalah Cahaya
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba
dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur’an
dan cahaya iman. Keduanya dipadukan oleh Allah ta’ala di dalam
firman-Nya (yang artinya), “Dahulu kamu -Muhammad- tidak
mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi
kemudian Kami jadikan hal itu sebagai cahaya yang dengannya
Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-
hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syura: 52)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua
hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala
kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah
ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada
hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya
selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa
Syarafuhu, hal. 38)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia,
sungguh telah datang kepada kalian keterangan yang jelas dari
Rabb kalian, dan Kami turunkan kepada kalian cahaya yang
terang-benderang.” (QS. an-Nisaa’: 174)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi
orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir
itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka
dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.”(QS. al-Baqarah: 257)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apakah orang yang
sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang
membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak,
sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia
tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah
bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.
al-An’aam: 122)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata mengenai tafsiran ayat
ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah
dulunya mati akibat kebodohan yang meliputi hatinya, maka Allah
menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allah berikan cahaya
keimanan yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah-tengah
orang banyak.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
[2] al-Qur’an adalah Petunjuk
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab
yang tidak ada sedikit pun keraguan padanya. Petunjuk bagi
orang-orang yang bertakwa.”(QS. al-Baqarah: 1-2).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya al-Qur’an ini
menunjukkan kepada urusan yang lurus dan memberikan kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal
salih bahwasanya mereka akan mendapatkan pahala yang
sangat besar.” (QS. al-Israa’: 9).
Oleh sebab itu merenungkan ayat-ayat al-Qur’an merupakan
pintu gerbang hidayah bagi kaum yang beriman.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ini adalah sebuah kitab
yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar
mereka merenungi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka tidak
merenungi al-Qur’an, ataukah pada hati mereka itu ada gembok-
gemboknya?” (QS. Muhammad: 24). Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Apakah mereka tidak merenungi al-Qur’an, seandainya
ia datang bukan dari sisi Allah pastilah mereka akan menemukan
di dalamnya banyak sekali perselisihan.” (QS. an-Nisaa’: 82)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang
mengikuti petunjuk-Ku, niscaya dia tidak akan sesat dan tidak
pula celaka.” (QS. Thaha: 123).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah memberikan
jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur’an dan
mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya, bahwa dia
tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di
akherat.” Kemudian beliau membaca ayat di atas (lihat Syarh al-
Manzhumah al-Mimiyah karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul
Muhsin al-Badr, hal. 49).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-
Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa maksud dari mengikuti
petunjuk Allah ialah:
1. Membenarkan berita yang datang dari-Nya,
2. Tidak menentangnya dengan segala bentuk
syubhat/kerancuan pemahaman,
3. Mematuhi perintah,
4. Tidak melawan perintah itu dengan memperturutkan
kemauan hawa nafsu (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal.
515 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
[3] al-Qur’an Rahmat dan Obat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia!
Sungguh telah datang kepada kalian nasehat dari Rabb kalian
(yaitu al-Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada,
hidayah, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.
Yunus: 57). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami
turunkan dari al-Qur’an itu obat dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman. Akan tetapi ia tidaklah menambah bagi orang-
orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Israa’: 82)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Sesungguhnya al-
Qur’an itu mengandung ilmu yang sangat meyakinkan yang
dengannya akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia
juga mengandung nasehat dan peringatan yang dengannya akan
lenyap segala keinginan untuk menyelisihi perintah Allah. Ia juga
mengandung obat bagi tubuh atas derita dan penyakit yang
menimpanya.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet.
Mu’assasah ar-Risalah)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam
salah satu rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan turun
kepada mereka ketenangan, kasih sayang akan meliputi mereka,
para malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun akan
menyebut nama-nama mereka diantara para malaikat yang ada
di sisi-Nya.” (HR. Muslim dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a’ wa
at-Taubah wa al-Istighfar [2699])
[4] al-Qur’an dan Perniagaan Yang Tidak Akan Merugi
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang
yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat serta
menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka
secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka
berharap akan suatu perniagaan yang tidak akan merugi. Supaya
Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah tambahkan
keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang
beriman maukah Aku tunjukkan kepada kalian suatu perniagaan
yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang sangat
pedih. Yaitu kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
kalian pun berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian.
Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Maka
niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan
memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan tempat tinggal yang baik di surga-
surga ‘and. Itulah kemenangan yang sangat besar. Dan juga
balasan lain yang kalian cintai berupa pertolongan dari Allah dan
kemenangan yang dekat. Maka berikanlah kabar gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. ash-Shaff: 10-13)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah telah
membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa dan harta mereka,
bahwasanya mereka kelak akan mendapatkan surga. Mereka
berperang di jalan Allah sehingga mereka berhasil membunuh
(musuh) atau justru dibunuh. Itulah janji atas-Nya yang telah
ditetapkan di dalam Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Dan siapakah
yang lebih memenuhi janji selain daripada Allah, maka
bergembiralah dengan perjanjian jual-beli yang kalian terikat
dengannya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. at-
Taubah: 111)
[5] al-Qur’an dan Kemuliaan Sebuah Umat
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’
bin Abdul Harits bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan (sebuah wilayah
diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu ‘Umar
mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun
bertanya kepadanya, “Siapakah yang kamu angkat sebagai
pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu
Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia
menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama
kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang
bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’
menjawab, “Dia adalah seorang yang menghafal Kitab Allah
‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.” ‘Umar pun
berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam
memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat
dengan Kitab ini sebagian kaum dan dengannya pula Dia akan
menghinakan sebagian kaum yang lain.”.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang
mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari
dalam Kitab Fadha’il al-Qur’an [5027])
[6] al-Qur’an dan Hasad Yang Diperbolehkan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada hasad kecuali dalam dua
perkara: seorang lelaki yang diberikan ilmu oleh Allah tentang al-
Qur’an sehingga dia pun membacanya sepanjang malam dan
siang maka ada tetangganya yang mendengar hal itu lalu dia
berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang
diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal
sebagaimana apa yang dia lakukan.” Dan seorang lelaki yang
Allah berikan harta kepadanya maka dia pun menghabiskan harta
itu di jalan yang benar kemudian ada orang yang berkata,
“Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan
kepada si fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa
yang dia lakukan.”.”(HR. Bukhari dalam Kitab Fadha’il al-
Qur’an [5026])
[7] al-Qur’an dan Syafa’at
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah al-
Qur’an! Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat
untuk memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim
dalam Kitab Sholat al-Musafirin [804])
[8] al-Qur’an dan Pahala Yang Berlipat-Lipat
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang membaca satu huruf dalam Kitabullah maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas
dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif
Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf,
dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dalam Kitab Tsawab al-
Qur’an [2910], disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
[9] al-Qur’an Menentramkan Hati
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman
dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah,
ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan
merasa tentram.” (QS. ar-Ra’d: 28). Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa pendapat terpilih
mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah
mengingat/merenungkan al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati
manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan
iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara
iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan al-Qur’an (lihat Tafsir al-Qayyim, hal. 324)
[10] al-Qur’an dan as-Sunnah Rujukan Umat
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan juga ulil amri di
antara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang sesuatu
maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, jika kalian benar-
benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59)
Maimun bin Mihran berkata, “Kembali kepada Allah adalah
kembali kepada Kitab-Nya. Adapun kembali kepada rasul adalah
kembali kepada beliau di saat beliau masih hidup, atau kembali
kepada Sunnahnya setelah beliau wafat.” (lihat ad-Difa’ ‘anis
Sunnah, hal. 14)
[11] al-Qur’an Dijelaskan oleh as-Sunnah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan
kepadamu adz-Dzikr/al-Qur’an supaya kamu menjelaskan
kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka itu, dan
mudah-mudahan mereka mau berpikir.” (QS. an-Nahl: 44).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul
itu maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. an-Nisaa’:
80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada
bagi kalian teladan yang baik pada diri Rasulullah, yaitu bagi
orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir.” (QS. al-Ahzab:
21)
Mak-hul berkata, “al-Qur’an lebih membutuhkan kepada as-
Sunnah dibandingkan kebutuhan as-Sunnah kepada al-
Qur’an.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13). Imam Ahmad
berkata, “Sesungguhnya as-Sunnah itu menafsirkan al-Qur’an
dan menjelaskannya.” (lihat ad-Difa’ ‘anis Sunnah, hal. 13)
Wallahu a’lam bish showab. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
ْف َتصْ َن ُع ِب ِه َ ِإحْ دَا َنا يُصِ يبُ َث ْو َب َها ِمنْ دَ ِم ْال َح ْي
َ ض ِة َكي
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang
harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
َ ض ُح ُه ُث َّم ُت
صلِّى فِي ِه َ ص ُه ِب ْال َما ِء ُث َّم َت ْن
ُ َت ُح ُّت ُه ُث َّم َت ْق ُر
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut
kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air,
lalu cucilah[10]. Kemudian shalatlah dengannya.”[11]
Kalau masih ada bekas darah haidh yang tersisa setelah
dibersihkan tadi, maka hal ini tidaklah mengapa.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Khaulah
binti Yasar berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اغسِ لِى َم ْوضِ َع ال َّد ِم ُث َّم ِ ْ َقا َل « َفِإ َذا َطهُر.ِْس لِى ِإالَّ َث ْوبٌ َوا ِح ٌد َوَأ َنا َأحِيضُ فِيه
ْ ت َف َ َيا َرسُو َل هَّللا ِ َلي
» ُت َيا َرسُو َل هَّللا ِ ِإنْ َل ْم َي ْخرُجْ َأ َث ُرهُ َقا َل « َي ْكفِيكِ ْال َما ُء َوالَ َيضُرُّ كِ َأ َث ُره
ْ َقا َل.» صلِّى فِي ِه
َ
“Wahai Rasulullah, aku hanya memiliki satu pakaian. Bagaimana
ketika haidh saya memakai pakaian itu juga?”
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau
telah suci, cucilah bagian pakaianmu yang terkena darah lalu
shalatlah dengannya.”
Lalu Khaulah berujar lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau
masih ada bekas darah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Air tadi sudah
menghilangkan najis tersebut, sehingga bekasnya tidaklah
membahayakanmu.”[12]
Jika wanita ingin membersihkan darah haidh tersebut dengan
menggunakan kayu sikat atau alat lainnya atau dengan
menggunakan air plus sabun atau pembersih lainnya untuk
menghilangkan darah haidh tadi, maka ini lebih baik[13]. Dalilnya
adalah hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan,
ُأ
ِ ِإ ِّنى ام َْرَأةٌ طِ ي ُل َذ ْيلِى َوَأمْ شِ ى فِى ْال َم َك.
ان ْال َقذ ِِر
“Aku adalah wanita yang berpakaian panjang. Bagaimana kalau
aku sering berjalan di tempat yang kotor?”
Ummu Salamah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
» ِيه َما َ ظرْ َفِإنْ َرَأى فِى َنعْ َل ْي ِه َق َذرً ا َأ ْو َأ ًذى َف ْل َي ْم َسحْ ُه َو ْلي
ِ ُص ِّل ف ُ « ِإ َذا َجا َء َأ َح ُد ُك ْم ِإ َلى ْال َمسْ ِج ِد َف ْل َي ْن
“Apabila salah seorang di antara kalian pergi ke masjid, maka
lihatlah, jika terdapat kotoran (najis) atau suatu gangguan di
sandal kalian, maka usaplah sandal tersebut (ke tanah) dan
shalatlah dengan keduanya.”[25]
Ash Shon’ani rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan
disyariatkannya shalat dengan menggunakan sendal[26]. Hadits
ini menunjukkan pula bahwa mengusap sendal yang terkena najis
(ke tanah), itu sudah menyucikannya. Kotoran (najis) yang
dimaksud di sini mencakup yang basah atau pun yang kering.
Sebab cerita hadits ini adalah bahwasanya Jibril mengabarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di sendal beliau
terdapat kotoran ketika beliau shalat. (Lalu beliau pun mencopot
sendalnya) dan terus melanjutkan shalat. Oleh karena itu, jika
seseorang berada dalam shalat dan ia terkena najis tanpa ia
ketahui atau lupa, kemudian ia mengetahuinya ketika di
pertengahan shalat, maka ia wajib menghilangkan najis tersebut.
Kemudian ia pun terus melanjutkan shalatnya.”[27]
8 – Menyucikan tanah
Dari Abu Hurairah, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
ُوهbbلم – « َد ُعbb َف َقا َل َل ُه ُم ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وس، َُقا َم َأعْ َر ِابىٌّ َف َبا َل فِى ْال َمسْ ِج ِد َف َت َن َاو َل ُه ال َّناس
َ ِرbbا ُبع ِْث ُت ْم ُم َي ِّسbb َفِإ َّن َم، ا ٍءbbا ِمنْ َمbbً َأ ْو َذ ُنوب، ا ٍءbbجْ الً ِمنْ َمbb ِه َسbbِوا َع َلى َب ْولbbَُو َه ِريق
واbb َو َل ْم ُت ْب َع ُث، ين
» ين
َ م َُعس ِِّر
“Seorang arab badui pernah kencing di masjid, lalu para sahabat
ingin menghardiknya. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada para sahabatnya, “Biarkan dia! (Setelah
dia kencing), siramlah kencing tersebut dengan seember air.
Kalian itu diutus untuk mendatangkan kemudahan dan bukan
bukan untuk mempersulit”.” [28]
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
menyiram tanah yang terkena kencing tadi dengan air dengan
maksud untuk mempercepat sucinya tanah dari najis. Seandainya
tanah tersebut dibiarkan hingga kering, lalu hilang bekas najisnya,
maka tanah tersebut juga sudah dinilai suci. Hal ini berdasarkan
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mengenai anjing yang
keluar-masuk masjid dan kencing di sana, namun dibiarkan
begitu saja tanpa disiram atau diperciki dengan air. Beliau
berkata,
لم – َف َل ْمbbه وسbbُول هَّللا ِ – صلى هللا علي ِ ت ْال ِكالَبُ َتبُو ُل َو ُت ْق ِب ُل َو ُت ْد ِب ُر فِى ْال َمسْ ِج ِد فِى َز َم
ِ ان َرس ِ َكا َن
Nawaqidul Wudhu
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir
zaman.
Tulisan kali ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya
mengenai lima hal yang menyebabkan mandi wajib. Saat ini kami
akan memaparkan serial kedua dari tiga serial secara
keseluruhan tentang tata cara mandi wajib (al ghuslu). Semoga
pembahasan kali ini bermanfaat.
Niat, Syarat Sahnya Mandi
Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk
membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah
ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan
mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar
bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ِإ َّن َما اَألعْ َما ُل ِبال ِّنيَّا
ت
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR.
Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Rukun Mandi
Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu
mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
ُث َّم ُيفِيضُ ْال َما َء َع َلى َج َس ِد ِه ُكلِّ ِه
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR.
An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Penguatan makna dalam
hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air
ke seluruh tubuh.”[1]
Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan
tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu beliau bersabda,
اِئر َج َسدِى ِ ض ُه َبعْ ُد َع َلى َس ُ َأمَّا َأ َنا َفآ ُخ ُذ ِم ْل َء َك ِّفى َثالَثا ً َفَأصُبُّ َع َلى َرْأسِ ى ُث َّم ُأفِي
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan
pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua
tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari Muslim)
Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan
dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan
selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah.
Ia mengatakan,
ْكِ َأنbا َي ْكفِيbا َل « الَ ِإ َّن َمb ِة َقb ِل ْال َج َنا َبb ُه لِ ُغ ْسbض ُ ُى َفَأ ْنقbض ْف َر َرْأ ِس َ ش ُّد ُ ت َيا َرسُو َل هَّللا ِ ِإ ِّنى ام َْرَأةٌ َأ ُ قُ ْل
.» ين َ ين َع َل ْيكِ ْال َما َء َف َت ْطه ُِرَ ِت ُث َّم ُتفِيض ٍ ث َح َث َيا َ ََتحْ ثِى َع َلى َرْأسِ كِ َثال
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang
mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka
kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu
buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali,
kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah
suci.” (HR. Muslim no. 330)
Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya
dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu).
Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air
mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap
sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam
hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah
perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.[2]
Tata Cara Mandi yang Sempurna
Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan.
Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih
sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil
yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
ان ِإ َذاb َ bلم – َكbbه وسbbلى هللا عليbbلم – َأنَّ ال َّن ِبىَّ – صbbَعنْ عَاِئ َش َة َز ْو ِج ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وس
، ص ِاب َع ُه فِى ْال َما ِء َ ُث َّم ي ُْد ِخ ُل َأ، صالَ ِةَّ ضُأ لِل َّ ضُأ َك َما َي َت َو َّ ُث َّم َي َت َو، اغ َت َس َل م َِن ْال َج َنا َب ِة َبدَ َأ َف َغ َس َل َيدَ ْي ِه
ْ
ُث َّم ُيفِيضُ ْال َما َء َع َلى ِج ْل ِد ِه ُكلِّ ِه، ف ِب َي َد ْي ِه
ٍ ث ُغ َر َ ََفي َُخلِّ ُل ِب َها ُأصُو َل َش َع ِر ِه ُث َّم َيصُبُّ َع َلى َرْأسِ ِه َثال
Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya
dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau
berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau
memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke
kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya
dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali,
kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR.
Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
Hadits kedua:
، ِهb ُول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – َما ًء َي ْغ َتسِ ُل ِب ِ ت ل َِرس ُ ْضع َ ت َم ْيمُو َن ُة َو ْ َّاس َقا َل َقا َلٍ ْن َعب ِ َع ِن اب
َ َف َغ َس َل َم َذاك، ُث َّم َأ ْف َر َغ ِب َيمِي ِن ِه َع َلى شِ َمالِ ِه، ْن َأ ْو َثالَ ًثا
ُِيره ِ ْن َمرَّ َتي ِ َف َغ َس َل ُه َما َمرَّ َتي، َفَأ ْف َر َغ َع َلى َيدَ ْي ِه
ُث َّم، اbb ُث َّم َغ َس َل َوجْ َه ُه َو َي َد ْي ِه ُث َّم َغ َس َل َرْأ َس ُه َثالَ ًث، ض َواسْ َت ْن َش َق َ ُث َّم َمضْ َم، ض ِ ْك َيدَ هُ ِباَألر َ ُث َّم دَ َل،
ُث َّم َت َنحَّ ى ِمنْ َم َقا ِم ِه َف َغ َس َل َقدَ َم ْي ِه، َأ ْف َر َغ َع َلى َج َس ِد ِه
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku
pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua
tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali.
Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada
telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya.
Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian
beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian
beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh
badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu
mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR.
Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)
Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang
disunnahkan sebagai berikut.
Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali
sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum
mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi
tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk
membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya
adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”[3]
Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan
tangan kiri.
Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan
menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang
yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika
selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau
semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke
tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”[4]
Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika
hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan
mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup
dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa
didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al
ghuslu).”[5]
Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh
anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu
mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir.
Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci
kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.
Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat
kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua
cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa
sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan
berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita
mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam
riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan
mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci
wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur
air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.
Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi
(apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan
Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini
ada kelapangan.”[6]
Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga
sampai ke pangkal rambut.
Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala
bagian kiri.
Ketujuh: Menyela-nyela rambut.
Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
ُو َءهb ض ُ َُأ وb ض ْ ان َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – ِإ َذا
َّ َو َت َو، ِهbاغ َت َس َل م َِن ْال َج َنا َب ِة َغ َس َل َي َد ْي َ َك
ا َءbb ِه ْال َمbاض َع َل ْيَ َأ َف، َح َّتى ِإ َذا َظنَّ َأنْ َق ْد َأرْ َوى َب َش َر َت ُه، ُ ُث َّم ي َُخلِّ ُل ِب َي ِد ِه َش َع َره، اغ َت َس َل
ْ صالَ ِة ُث َّمَّ لِل
َ ُث َّم َغ َس َل َس، ت
اِئر َج َس ِد ِه ٍ ث َمرَّ ا َ ََثال
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau
mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk
shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan
tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata
mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke
atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR.
Bukhari no. 272)
Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
، ُث َّم َتْأ ُخ ُذ ِب َي ِد َها َع َلى شِ ِّق َها اَأل ْي َم ِن، ت ِب َيدَ ْي َها َثالَ ًثا َف ْو َق َرْأسِ َها ْ َأ َخ َذ، ت ِإحْ دَا َنا َج َنا َب ٌة ْ صا َب َ ُك َّنا ِإ َذا َأ
َو ِب َي ِد َها اُأل ْخ َرى َع َلى شِ ِّق َها اَأل ْي َس ِر
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia
mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas
kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke
bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan
tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh
sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)
Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi
yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ُور ِه َوفِى َشْأ ِن ِه ُكلِّ ِه ُ
ِ ان ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – يُعْ ِج ُب ُه ال َّت َيمُّنُ فِى َت َن ُّعلِ ِه َو َت َرجُّ لِ ِه َوطه َ َك
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang
kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan
dalam setiap perkara (yang baik-baik).” (HR. Bukhari no. 168 dan
Muslim no. 268)
Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja
sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang
mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad
dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[7]
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?
Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi
yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam
hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku
seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku
harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda,
“Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada
kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air,
maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)
Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan
mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut
ini:
Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta
air.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
اb دَا ُكنَّ َما َء َهbْذ ِإحb ُ bا َل « َتْأ ُخbbِيض َف َق ِ ِل ْال َمحb َعنْ ُغ ْس-صلى هللا عليه وسلم- َّت ال َّن ِبى ِ َأنَّ َأسْ َما َء َسَأ َل
ون َرْأسِ َها َ ُور ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه د َْل ًكا َشدِي ًدا َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ َ الطه ُّ َُوسِ ْد َر َت َها َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ سِ ن
ا َلbbْف َت َط َّه ُر ِب َها َف َق َ ت َأسْ َما ُء َو َكيْ َف َقا َل.» ص ًة ُم َم َّس َك ًة َف َت َط َّه ُر ِب َهاَ ْ ُث َّم َتْأ ُخ ُذ فِر.ُث َّم َتصُبُّ َع َل ْي َها ْال َما َء
ِلb َأ َل ْت ُه َعنْ ُغ ْسb َو َس.ِين َأ َث َر ال َّد ِم
َ ت َعاِئ َش ُة َكَأ َّن َها ُت ْخفِى َذل َِك َت َت َّبع ْ َف َقا َل.» ين ِب َها َ ان هَّللا ِ َت َطه َِّر
َ « ُسب َْح
َهاbبُّ َع َلى َرْأ ِسb ص ُ ور – ُث َّم َتb َ bالط ُه ُّ ُغb ِور – َأ ْو ُت ْبلb
َ bالط ُه ُّ ُنb ْال َج َنا َب ِة َف َقا َل « َتْأ ُخ ُذ َما ًء َف َت َط َّه ُر َف ُتحْ ِس
» ون َرْأسِ َها ُث َّم ُتفِيضُ َع َل ْي َها ْال َما َء َ َف َت ْدلُ ُك ُه َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah
seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara,
lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian
hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu
menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar
rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air
pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas
bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata,
“Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda,
“Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata
-seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-
bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia
bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau
bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan
sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci
kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya
hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air
padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)
Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal
rambut.
Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ون َرْأسِ َهاَ ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه د َْل ًكا َشدِي ًدا َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya,
lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar
rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan
hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan
mengenai mandi junub disebutkan,
ون َرْأسِ َها ُث َّم ُتفِيضُ َع َل ْي َها ْال َما َء َ ُث َّم َتصُبُّ َع َلى َرْأسِ َها َف َت ْدلُ ُك ُه َح َّتى َت ْبلُ َغ شُُئ
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya
hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air
padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan
keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi
karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita
disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk
mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-
sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada
kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum
lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang
tidak enak karena bekas darah haidh.
Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?
Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
ضُأ َبعْ َد ْال ُغسْ ِل
َّ ان الَ َي َت َو َ َك-صلى هللا عليه وسلم- ََّعنْ عَاِئ َش َة َأنَّ ال َّن ِبى
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai
no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
وَأيُّ وُ ضُو ٍء َأ َع ُّم م َِن ْال ُغسْ ِل؟:َ سُِئ َل َع ِن ْالوُ ضُو ِء َبعْ دَ ْال ُغسْ ِل؟ َف َقا َل
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau
menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari
mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf[8])
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi berkata, “Para ulama tidak berselisih
pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol
juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam
masalah ini.[9]
Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika
seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur
seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu
berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.
Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah
Mandi?
Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi,
lalu diakhir hadits disebutkan,
َفا ْن َط َل َق َوهْ َو َي ْنفُضُ َيدَ ْي ِه، َُف َن َاو ْل ُت ُه َث ْوبًا َف َل ْم َيْأ ُخ ْذه
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak
mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari
badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276).
Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan
mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits
tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan
beberapa alasan:
1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih
mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak
mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya
yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan
badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau
beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
2. Hadits ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan
badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau,
maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa
mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena
keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah
mengapa.[10]
Demikian pembahasan kami seputar mandi wajib (al ghuslu).
Tata cara di atas juga berlaku untuk mandi yang sunnah yang
akan kami jelaskan pada tulisan selanjutnya (serial ketiga atau
terakhir).
Semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Selesai susun di wisma MTI, 7 Jumadits Tsani 1431 H
(20/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Pembatal-Pembatal Puasa
Berikut adalah penjelasan mengenai pembatal puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan
para ulama[1]. Makan dan minum yang dimaksudkan adalah
dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh melalui mulut,
baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti
roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau
diharamkan (seperti khomr dan rokok[2]), atau sesuatu yang tidak
ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu)[3].
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
َيا َم ِإ َلىbالص ِّ ِر ُث َّم َأ ِتمُّواbْْط اَأْل ْب َيضُ م َِن ْال َخ ْيطِ اَأْلسْ َو ِد م َِن ْال َفج ُ َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َح َّتى َي َت َبي ََّن َل ُك ُم ْال َخي
اللَّي ِْل
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya
tidaklah batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
ُ َفِإ َّن َما َأ ْط َع َم ُه هَّللا ُ َو َس َقاه، ص ْو َم ُه َ ِإ َذا َنسِ َى َفَأ َك َل َو َش ِر
َ ب َف ْل ُي ِت َّم
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa,
hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah
telah memberi dia makan dan minum.”[4]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ان َو َما اسْ ُت ْك ِرهُوا َع َل ْي ِه َ ض َع َعنْ ُأ َّمتِى ْال َخ َطَأ َوال ِّنسْ َي َ ِإنَّ هَّللا َ َو
“Sesungguhnya Allah menghilangkan dari umatku dosa karena
keliru, lupa, atau dipaksa.”[5]
Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan
melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa,
batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama
dengan makan dan minum.[6]
Siapa saja yang batal puasanya karena makan dan minum
dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’
puasanya, tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.
[7]
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ض ِ ضا ٌء َوِإ ِن اسْ َت َقا َء َف ْل َي ْق َ ْس َع َل ْي ِه َق
َ صاِئ ٌم َف َلي َ َمنْ َذ َر َع ُه َقىْ ٌء َوه َُو
“Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam
keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila
dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar
qodho’.”[8]
3. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-
tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya
batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Ibnu
Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan nifas
membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.”[9]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ان دِي ِن َها ِ ص َ َقا َل « َف َذل َِك ِمنْ ُن ْق. قُ ْل َن َب َلى. » ص ْم َ ت َل ْم ُت
ُ ص ِّل َو َل ْم َت ْ اض َ » َأ َلي
َ ْس ِإ َذا َح
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga
tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan
agama wanita.”[10]
Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’
puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.”[11] Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita
yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’
puasanya ketika ia suci.[12]
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa
hubungan jima’ seperti mengeluarkan mani dengan tangan,
dengan cara menggesek-gesek kemaluannya pada perut atau
paha, dengan cara disentuh atau dicium. Hal ini menyebabkan
puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan
kafaroh. Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dalil hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ك َط َعا َم ُه َو َش َرا َب ُه َو َشه َْو َت ُه ِمنْ َأجْ لِى ُ َي ْت ُر
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan
makan, minum dan syahwat karena-Ku”[13]. Mengeluarkan mani
dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal
puasa sebagaimana makan dan minum.[14]
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal.
Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika
sekali memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal.
Sedangkan jika sampai berulang kali memandangnya lalu keluar
mani, maka puasanya batal.[15]
Lalu bagaimana jika sekedar membayangkan atau berkhayal
(berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya tidak batal.
[16] Alasannya, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ِإنَّ هَّللا َ َت َج َاو َز َعنْ ُأ َّمتِى َما َح َّد َث
َما َل ْم َتعْ َم ْل َأ ْو َت َت َكلَّ ْم، ت ِب ِه َأ ْنفُ َس َها
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang
dalam hati mereka, selama tidak melakukan atau pun
mengungkapnya”[17]
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam
keadaan berpuasa. Jika telah bertekad bulat dengan sengaja
untuk membatalkan puasa dan dalam keadaan ingat sedang
berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia tidak
makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َوِإ َّن َما لِ ُك ِّل ام ِْرٍئ َما َن َوى
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia
niatkan.”[18] Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa
berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan
berpuasa, maka puasanya batal.”[19] Ketika puasa batal dalam
keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari
lainnya.[20]
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan
Ramadhan membatalkan puasa, wajib mengqodho’ dan
menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika memenuhi dua
syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban
untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat
keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang
yang mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang
yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap
nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka
ia hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.[21]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ت ُ و َل هَّللا ِ َه َل ْكb َف َقا َل َيا َر ُس، َب ْي َن َما َنحْ نُ جُ لُوسٌ عِ ْندَ ال َّن ِبىِّ – صلى هللا عليه وسلم – ِإ ْذ َجا َءهُ َر ُج ٌل
َف َقا َل َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم. صاِئ ٌم َ امْرَأتِى َوَأ َنا َ ت َع َلى ُ ْ َقا َل َو َقع. » ك َ َقا َل « َما َل.
ا َلbb َق. » ْن ِ َقا َل « َف َه ْل َتسْ َتطِ ي ُع َأنْ َتصُو َم َشه َْري. َ َقا َل ال. » – « َه ْل َت ِج ُد َر َق َب ًة ُتعْ ِتقُ َها
ِ ْن ُم َت َت ِاب َعي
لمbbث ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وس َ َقا َل َف َم َك. َ َقا َل ال. » ين ِمسْ كِي ًنا َ َف َقا َل « َف َه ْل َت ِج ُد ِإ ْط َعا َم سِ ِّت. َال
ُلbb َف َب ْي َنا َنحْ نُ َع َلى َذل َِك ُأت َِى ال َّن ِبىُّ – صلى هللا عليه وسلم – ِب َع َر ٍق فِي َها َت ْم ٌر – َو ْال َع َر ُق ْالم ِْك َت، –
اbbر ِم ِّنى َيb َ b َف َقا َل الرَّ ُج ُل َأ َع َلى َأ ْف َق. » ص َّد ْق ِب ِه َ َقا َل « ُخ ْذ َها َف َت. َف َقا َل َأ َنا. » – َقا َل « َأي َْن السَّاِئ ُل
ُّك ال َّن ِبى
َ ِحb ض َ َف، ِل َب ْيتِىb ْت َأ ْف َق ُر ِمنْ َأه ٍ ْن – َأهْ ُل َب ْي ِ َرسُو َل هَّللا ِ َف َوهَّللا ِ َما َبي َْن الَ َب َت ْي َها – ي ُِري ُد ْال َحرَّ َتي
ك َ َت َأ ْن َيا ُب ُه ُث َّم َقا َل « َأ ْط ِعمْ ُه َأهْ َل
ْ » – صلى هللا عليه وسلم – َح َّتى َبد
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan,
“Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas
menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang
puasa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang
dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau
mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,
“Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang
miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas diam. Tatkala kami dalam
kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang
bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi
mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih
miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih
miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa
sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada
keluargamu.”[22]
Menurut mayoritas ulama, jima’ (hubungan badan dengan
bertemunya dua kemaluan dan tenggelamnya ujung kemaluan di
kemaluan atau dubur) bagi orang yang berpuasa di siang hari
bulan Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas
kehendak sendiri (bukan paksaan), mengakibatkan puasanya
batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah dengan menunaikan
kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak. Wanita
yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa),
puasanya pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama
mengenai hal ini. Namun yang nanti jadi perbedaan antara laki-
laki dan perempuan apakah keduanya sama-sama dikenai
kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama
Syafi’iyah dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya,
bahwa wanita yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak
punya kewajiban kafaroh, yang menanggung kafaroh adalah si
pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari
untuk membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini
menunjukkan bahwa seandainya wanita memiliki kewajiban
kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu akan
mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh
adalah hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-
laki sebagaimana mahar.[23]
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai
berikut.
a) Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
b) Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
c) Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.
Setiap orang miskin mendapatkan satu mud[24] makanan.[25]
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan
Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh
tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia
mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-
piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An
Nawawi rahimahullah.[26]
Semoga sajian ini bermanfaat.
Yang Dibolehkan Ketika Puasa (1)
5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang
yang berpuasa.
ِر ٌمbْ َو مُحbْ َوه، لم – احْ َت َج َمbbَّاس – رضى هللا عنهما – َأنَّ ال َّن ِبىَّ – صلى هللا عليه وس ٍ ْن َعبِ َع ِن اب
َ َواحْ َت َج َم َوهْ َو.
صاِئ ٌم
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan
berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
ِلbْ ِإالَّ ِمنْ َأج. َا َل الbاِئم َق َ bس ب َْن َمالِكٍ – رضى هللا عنه – َأ ُك ْن ُت ْم َت ْك َر ُه
َّ َة لbون ْالح َِجا َمb
ِ bِلص َ يُسْ َأ ُل َأ َن
ِالضَّعْ ف
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak
menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata,
“Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no.
1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah,
Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa.
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu
‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama
salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang
meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian,
maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam,
aku tidak menganggap puasanya batal.”[1]
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya
orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang
telah di mansukh(dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan
oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:
َّاِئم َو ْالح َِجا َم ِة ْ
ِ فِى القُ ْب َل ِة لِلص-صلى هللا عليه وسلم- ُّص ال َّن ِبى َ َر َّخ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh)
bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan
berbekam.”[2]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa
batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang
dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama
sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu
Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan
(rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad
hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang
namanyarukhsoh (keringanan) pasti ada setelah
adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini
menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa
dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang
yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[3]
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al
Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur
adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-.
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan
batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus
(dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di
atas.”[4]
Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang
dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka
hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal
puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut
adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa
terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang
menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur
Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ِة َو ْالم َُوb َن َهى َع ِن ْالح َِجا َم-لمbbه وسbbلى هللا عليbbص- ِ َأنَّ َرسُو َل هَّللا
ا ًء َع َلىbbا ِإ ْب َقbb َل ِة َو َل ْم ي َُحرِّ ْم ُه َمbاص
َأصْ َح ِاب ِه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan
puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih
berlaku bagi sahabatnya.”[5]
Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat
jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah.
Anas ditanya,
ِ ِإالَّ ِمنْ َأجْ ِل الضَّعْ ف. ََّاِئم َقا َل ال ِ ُون الح َِجا َم َة لِلص
ْ َ َأ ُك ْن ُت ْم َت ْك َره
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang
berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa
menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama
kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa.
Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi
lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah
hukum donor darah karena keduanya sama-sama
mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]
6.
Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,
َ الخ َّل َأ ْو ال َّشيْ َء َما َل ْم َي ْد ُخ ْل َح ْل َق ُه َوه َُو
صاِئ ٌم َ الَ َبْأ
َ س َأنْ َي ُذ ْو َق
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi
cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke
kerongkongan.”[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan
dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan
puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana
berkumur-kumur ketika berpuasa.”[8]
Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah
makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah
makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang
wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia
dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘.
‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari
Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,
ض َع ُه فِي َف ِم الص َِّبي َ مْض ُغ ُه ُث َّم ي ُْخ ِر ُج ُه ِمنْ فِ ْي ِه َي
َ صاِئ ٌم َي َ َرَأ ْي ُت ُه َي
َ مْض ُغ لِلص َِّبي َط َعامًا َوه َُو
“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -
sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah
kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari
mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[9]
7. Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu
Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal
ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian
dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan
dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah
haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada
kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita
sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada
satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung
sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus),
dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal).
Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak
membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if(lemah). Hadits
tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun
selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut
juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi
lainnya.”[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
ْ ْأ
ِ اَل َب س ِبال ُكحْ ِل لِلص
َّاِئم
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.”[12]
8. Mandi dan menyiramkan air di kepala
untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk
orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya adalah
dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat
mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mandi
yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan
tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai
larangan orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi.
Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan sanad
dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka
melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”[13]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin
‘Abdirrahman, beliau berkata,
اِئ ٌم م َِنbص َ وbَ bا َء َو ُهbb ِه ْال َمbبُّ َع َلى َرْأ ِسbص ُ َل َق ْد َرَأي
ْ b ِب-لمbbه وسbbصلى هللا علي- ِ ْت َرسُو َل هَّللا
ُ ال َعرْ ِج َيb
ِّش َأ ْو م َِن ْال َحر ْ
ِ ال َع َط.
“Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat
haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam
keadaan berpuasa. ”[14]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil
bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari
cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian
atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan
mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau
mubah.” [15]
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan
dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama
seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]
10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu
jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada
gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka
seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau
makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah,
puasanya jadi batal.[18]
11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam
keadaan lupa.
12. Muntah yang tidak sengaja.
Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal
puasa, namun masih dibolehkan ketika berpuasa. Semoga
bermanfaat.
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Para pembaca Muslim.Or.Id sekalian -yang semoga senantiasa
mendapat penjagaan Allah-, insya Allah dalam beberapa serial ke
depan, kami dari pihak redaksi akan mengetengahkan bahasan
yang cukup urgent karena bahasan ini adalah bagian dari rukun
Islam, yaitu mengenai zakat. Seluk beluk zakat akan dipaparkan
satu per satu dimulai dari keutamaan zakat, syarat zakat, harta-
harta yang dizakati dan siapakah yang berhak menerima zakat,
juga beberapa perincian lainnya yang dianggap penting untuk
dibahas. Semoga para pembaca bisa bersabar menantikan serial
ini hingga tuntas dan moga bermanfaat.
Pengertian Zakat
ّ
Zakat –secara bahasa- berarti “والزيادة ”ال ّنماء والرّ يعberarti bertambah
atau tumbuh. Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali bin
Abi Tholib,
العلم يزكو باإلنفاق
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”
Zakat secara bahasa juga berarti “الحbbb”الص, ّ yang lebih baik.
Sebagaimana dapat kita lihat pada firman Allah Ta’ala,
َفَأ َر ْد َنا َأنْ ُي ْب ِد َل ُه َما َر ُّب ُه َما َخيْرً ا ِم ْن ُه َز َكا ًة
“Dan kami menghendaki, supaya Rabb mereka mengganti bagi
mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari
anaknya itu” (QS. Al Kahfi: 81).[1]
Secara bahasa, zakat juga berarti “يرbbbbb ”تطهmensucikan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
َق ْد َأ ْف َل َح َمنْ َز َّكا َها
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”
(QS. Asy Syams: 9). Zakat mensucikan seseorang dari sikap
bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يه ْم ِب َهاِ صدَ َق ًة ُت َط ِّه ُر ُه ْم َو ُت َز ِّك
َ مْوال ِِه ْم َ ُخ ْذ ِمنْ َأ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah:
103).[2]
Secara istilah syar’i, zakat berarti penunaian kewajiban pada
harta yang khusus, dengan cara yang khusus, dan disyaratkan
ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun)
dan nishob (ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun
kadang dimaksudkan untuk harta yang dikeluarkan.
Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang memiliki
harta dan mengeluarkan zakatnya.[3]
Kita dapat mengambil pelajaran dari definisi di atas bahwa zakat
dapat disebut zakat karena pokok harta itu akan tumbuh dengan
bertambah barokah ketika dikeluarkan dan juga orang yang
mengeluarkan akan mendapatkan berkah dengan do’a dari orang
yang berhak menerima zakat tersebut. Harta lain yang tersisa
juga akan bersih dari syubhat, ditambah dengan terlepasnya dari
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan harta tersebut.[4]
Hukum Zakat
Zakat disyari’atkan pada tahun kedua hijriyah dekat dengan
waktu disyari’atkannya puasa Ramadhan.[5] Zakat ini merupakan
suatu kewajiban dan bagian dari rukun Islam. Hal ini tidak bisa
diragukan lagi karena telah terdapat berbagai dalil dari Al Qur’an,
As Sunnah, dan ijma’ (kata sepakat ulama).
Dalil yang menyatakan wajibnya zakat di antaranya terdapat
dalam ayat,
َّ صاَل َة َوَآ ُتوا
الز َكا َة َّ َوَأقِيمُوا ال
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruku’” (QS. Al Baqarah: 43). Perintah zakat ini
berulang di dalam Al Qur’an dalam berbagai ayat sampai
berulang hingga 32 kali.[6]
Begitu pula dalam hadits ditunjukkan mengenai wajibnya melalui
haditsd dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَّللا هَّللا َأ َأ
ا ِءbb َوِإي َت، الَ ِةbالص
َّ امb ِ b َوِإ َق، ِ ْس َش َهادَ ِة نْ الَ ِإ َل َه ِإالَّ ُ َو نَّ م َُح َّم ًدا َرسُو ُل ٍ ُبن َِى اِإلسْ الَ ُم َع َلى َخم
ان
َ ض َ ص ْو ِم َر َم َ َو، َو ْال َح ِّج، الز َكا ِة َّ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat;
menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan
Ramadhan.”[7]
Begitu juga dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
memerintahkan pada Mu’adz yang ingin berdakwah ke Yaman,
ِ b ُذ ِمنْ َأ ْغ ِن َيb ُتْؤ َخ، وال ِِه ْمb
اِئه ْمb َ b َد َق ًة فِى َأ ْمbص
َ ض َع َلي ِْه ْم
َ رb َ bَأعْ لِ ْم ُه ْم َأنَّ هَّللا َ ا ْف َتbك َف َ ِذلbَ bِ اعُوا لbَفِإنْ ُه ْم َأ َط
ِ َو ُت َر ُّد َع َلى ُف َق َر
اِئه ْم
“… Jika mereka telah mentaati engkau (untuk mentauhidkan
Allah dan menunaikan shalat ), maka ajarilah mereka sedekah
(zakat) yang diwajibkan atas mereka di mana zakat tersebut
diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan kemudian
disebar kembali oleh orang miskin di antara mereka.”[8]
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata, “Zakat adalah suatu
kepastian dalam syari’at Islam, sehingga tidak perlu lagi kita
bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya.
Para ulama hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya.
Adapun hukum asalnya telah disepakati bahwa zakat itu wajib,
sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia menjadi kafir.”[9]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah dalam syari’at
Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua:
(1) wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian
masyarakat bahwa zakat adalah yang hukum, sedangkan
sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang
tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu digunakan untuk
istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban
dan pemaafan.”[10]
Keutamaan Menunaikan Zakat
1. Menyempurnakan keislaman seorang hamba. Zakat
merupakan bagian dari rukun Islam yang lima. Apabila seseorang
melakukannya, maka keislamannya akan menjadi sempurna. Hal
ini tidak diragukan lagi merupakan suatu tujuan/hikmah yang
amat agung dan setiap muslim pasti selalu berusaha agar
keislamannya menjadi sempurna.
2. Menunjukkan benarnya iman seseorang. Sesungguhnya harta
adalah sesuatu yang sangat dicintai oleh jiwa. Sesuatu yang
dicintai itu tidaklah dikeluarkan kecuali dengan mengharap
balasan yang semisal atau bahkan lebih dari yang dikeluarkan.
Oleh karena itu, zakat disebut juga shodaqoh (yang berasal dari
kata shiddiq yang berarti benar/jujur, -pen) karena zakat akan
menunjukkan benarnya iman muzakki (baca: orang yang
mengeluarkan zakat) yang mengharapkan ridha Allah dengan
zakatnya tersebut.
3. Membuat keimanan seseorang menjadi sempurna. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,
ال يُْؤ مِنُ َأ َح ُد ُك ْم َح َّتى ُيحِبَّ َألخِي ِه َما ُيحِبُّ لِ َن ْفسِ ِه
“Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga dia
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya
sendiri.”[11] Sebagaimana kita mencintai jika ada saudara kita
meringankan kesusahan kita, begitu juga seharusnya kita suka
untuk meringankan kesusahan saudara kita yang lain. Maka
pemberian seperti ini merupakan tanda kesempurnaan iman kita.
4. Sebab masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ ُور َها َف َقا َم َأعْ َر ِابىٌّ َف َقا َل لِ َمنْ ه
ِى َيا ُ ُ ُ ُ
ِ ِإنَّ فِى ْال َج َّن ِة ُغ َر ًفا ُت َرى ظهُو ُر َها ِمنْ بُطو ِن َها َوبُطو ُن َها ِمنْ ظه
صلَّى هَّلِل ِ ِباللَّي ِْل َوال َّناسُ ِن َيا ٌم ِّ الط َعا َم َوَأدَا َم ال
َ ص َيا َم َو َّ اب ْال َكالَ َم َوَأ ْط َع َمَ َرسُو َل هَّللا ِ َقا َل لِ َمنْ َأ َط
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar yang luarnya dapat
terlihat dari dalamnya dan dalamnya dapat terlihat dari luarnya.”
Kemudian ada seorang badui berdiri lantas bertanya, “Kepada
siapa (kamar tersebut) wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi
orang yang berkata baik, memberi makan (di antaranya lewat
zakat, pen), rajin berpuasa, shalat karena Allah di malam hari di
saat manusia sedang terlelap tidur.”[12] Setiap kita tentu saja
ingin masuk surga.
5. Menjadikan masyarakat Islam seperti keluarga besar (satu
kesatuan). Karena dengan zakat, berarti yang kaya menolong
yang miskin dan orang yang berkecukupan akan menolong orang
yang kesulitan. Akhirnya setiap orang merasa seperti satu
saudara. Allah Ta’ala berfirman,
َ َوَأحْ سِ نْ َك َما َأحْ َس َن هَّللا ُ ِإ َلي
ْك
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu” (QS. Al Qoshosh: 77)
6. Memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang
miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup mewah.
Orang kaya dapat memakai kendaraan yang dia suka (dengan
berganti-ganti) atau tinggal di rumah mana saja yang dia mau.
Tidak ragu lagi, pasti akan timbul sesuatu (kemarahan, -pen)
pada hati orang miskin. Apabila orang kaya berderma pada
mereka, maka padamlah kemarahan tersebut. Mereka akan
mengatakan,”Saudara-saudara kami ini mengetahui kami berada
dalam kesusahan”. Maka orang miskin tersebut akan suka dan
timbul rasa cinta kepada orang kaya yang berderma tadi.
7. Menghalangi berbagai bentuk pencurian, pemaksaan, dan
perampasan. Karena dengan zakat, sebagian kebutuhan orang
yang hidupnya dalam kemiskinan sudah terpenuhi, sehingga hal
ini menghalangi mereka untuk merampas harta orang-orang kaya
atau berbuat jahat kepada mereka.
8. Menyelamatkan seseorang dari panasnya hari kiamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اس َ صدَ َق ِت ِه َح َّتى ُي ْف
ِ ص َل َبي َْن ال َّن َ ُك ُّل ام ِْرٍئ فِى ظِ ِّل
“Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya
hingga ia mendapatkan keputusan di tengah-tengah
manusia.”[13]
9. Seseorang akan lebih mengenal hukum dan aturan Allah.
Karena ia tidaklah menunaikan zakat sampai ia mengetahui
hukum zakat dan keadaan hartanya. Juga ia pasti telah
mengetahui nishob zakat tersebut dan orang yang berhak
menerimanya serta hal-hal lain yang urgent diketahui.
10. Menambah harta. Terkadang Allah membuka pintu rizki dari
harta yang dizakati. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang
artinya,
ٍ صدَ َق ٌة ِمنْ َم
ال َ ت ْ ص
َ َما َن َق
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[14]
11. Merupakan sebab turunnya banyak kebaikan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َو َل ْم َي ْم َنعُوا َز َكا َة َأم َْوال ِِه ْم ِإالَّ ُم ِنعُوا ْال َق ْط َر م َِن ال َّس َما ِء َو َل ْوالَ ْال َبهَاِئ ُم َل ْم ُي ْم َطرُوا
“Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-
harta mereka, melainkan mereka akan dicegah dari mendapatkan
hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang
ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan.”[15]
12. Zakat akan meredam murka Allah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits,
ب الرَّ بِّ َو َت ْد َف ُع مِي َت َة السُّو ِء
َ ضَ ِإنَّ الصَّدَ َق َة َل ُت ْطفُِئ َغ
“Sedekah itu dapat memamkan murka Allah dan mencegah dari
keadaan mati yang jelek.”[16]
13. Dosa akan terampuni. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
َ َوالصَّدَ َق ُة ُت ْطفُِئ ْال َخطِ يَئ َة َك َما ي ُْطفُِئ ْال َما ُء ال َّن
ار
“Sedekah itu akan memadamkan dosa sebagaimana air dapat
memadamkan api.”[17] [18]
-bersambung insya Allah-
Zakat